• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbaikan Kualitas Sifat Mekanis Jenis Kayu Cepat Tumbuh Jabon [Anthocephalus Cadamba (Roxb.) Miq.] Dengan Metode Pemadatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbaikan Kualitas Sifat Mekanis Jenis Kayu Cepat Tumbuh Jabon [Anthocephalus Cadamba (Roxb.) Miq.] Dengan Metode Pemadatan"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

Tumbuh Jabon [Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.] dengan Metode Pemadatan. Dibimbing oleh Ir. T.R. Mardikanto, MS. Dan Dr. Lina Karlinasari, S. Hut, M. Sc, F. Trop.

Menurunnya pasokan kayu dari hutan alam diantisipasi dengan cara mengalihkan perhatian kepada jenis-jenis kayu yang berasal dari hutan tanaman dan hutan rakyat. Namun pada dasarnya kayu-kayu yang berasal dari hutan tersebut merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing species) yang memiliki beberapa kelemahan jika dibandingkan dengan kayu yang berasal dari hutan alam terutama dari segi kekuatan (berat jenis rendah). Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan daya guna kayu berkualitas rendah untuk keperluan konstruksi dilakukan usaha perbaikan sifat mekanis kayu yaitu dengan cara meningkatkan kerapatannya melalui teknik pemadatan kayu (densifying by compression).

Pada penelitian ini dilakukan proses pemadatan kayu jabon [Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.] dengan perlakuan pendahuluan pengukusan. Tujuan penelitian adalah untuk memperbaiki kerapatan dan sifat mekanis kayu jabon dengan teknologi pemadatan serta mengetahui pengaruh posisi variasi horizontal pada pohon dan lama proses pengukusan terhadap sifat mekanis kayu jabon yang terpadatkan.

Log kayu jabon dengan diameter ±30 cm dan panjang 200 cm digergaji untuk mendapatkan bahan contoh uji papan tangensial tanpa cacat pada posisi horizontal kayu (teras, gubal dan transisi) dengan ukuran tebal = 2,5 cm, lebar = 2 cm dan panjang = 50 cm. Kemudian, bahan contoh uji tersebut dipotong kedalam beberapa kelompok pengujian. Perlakuan yang diberikan adalah pengukusan dengan air (lama pengukusan: 30, 60 dan 90 menit) dan pengempaan dengan kempa panas. Target pemadatan adalah 20% dari ketebalan contoh uji. Pengujian yang dilakukan adalah pengujian sifat fisis dan sifat mekanis kayu. Ukuran contoh uji pengujian mengacu pada standar JIS. Analisis data dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktorial (pengukusan dan posisi kayu) menggunakan program statistik SAS 9.1 for Windows.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemadatan pada kayu jabon dapat memperbaiki sifat fisis mekanis kayu terutama kerapatan kayu yang meningkat ±11% dan kekuatan lentur (MOR) hingga meningkat ±35% dari kayu kontrolnya. Semakin lama waktu pengukusan (t = 90 menit) sebelum pengempaan maka semakin tinggi nilai sifat mekanisnya (MOE, MOR, tekan sejajar serat, dan kekerasan). Variasi posisi kayu yaitu gubal, transisi dan teras tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan sifat mekanis kayu jabon terpadatkan. Kayu jabon terpadatkan memiliki karakteristik permukaan yang lebih gelap, lebih mengkilap dan lebih halus dibandingkan dengan kayu utuhnya. Kayu jabon terpadatkan telah meningkatkan kelas kuat jabon dari kelas kuat IV menjadi kelas kuat III (0,4 – 0,6) berdasarkan berat jenisnya dan nilai MOR serta tekan sejajar seratnya meningkat menjadi kelas kuat II menurut PKKI NI 5-1961. Hasil analisis sidik ragam yang dilakukan menunjukkan perlakuan pengukusan dan pengempaan memberikan pengaruh yang nyata terhadap perbaikan sifat fisis dan mekanis kayu jabon terpadatkan.

(2)

Fast-Growing Timber Species Jabon [Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.]

with The Densification Method.

Rakhmat Hidayat1, T.R. Mardikanto2, Lina Karlinasari2

INTRODUCTION : The reduced supply of timber from natural forests can be anticipated by diverting attention to other wood species from plantation forests. However, those woods have some weaknesses compared with the others woods from natural forests, especially in terms of strength properties due to its low density. One of the way improving the performance of low-quality timber for construction purposes is an attempt the improve of mechanical properties of wood by increasing the density of wood using densified by compression technique.

METHOD : A jabon’s log with ± 30 cm in diameter and 200 cm length was sawn to obtain sample of tangential boards with minimum defects. The log was divided in horizontal position of cross section (heartwood, sapwood and transition) with 2,5 cm (thickness), 2 cm (width) and 50 cm (length) in size. The samples are then converted to sample testing of physical and mechanical properties refering to JIS. The treatments were steaming with water (steaming time: 30, 60 and 90 minutes) and heat compression. The densified target after treatment was 20% of the wood thickness before. The physical and mechanical properties of densified wood sample were determined in this study. The statistical test was carried out with a Completely Randomized Design (CRD) with two factorial (steaming and timber position) using the statistical program SAS 9.1 for Windows.

RESULT : The results showed that the densification of jabon improved physical mechanical properties of wood, especially wood density up to ± 11% and bending strength (MOR) increased up to ± 35% from the control. The longer the steaming time (t = 90 minutes) before compression, the higher the mechanical properties of wood (MOE, MOR, compressive strength parallel to grain, and hardness). The horizontal position of the wood didn’t give a significant influence on improvement the mechanical properties of compressed jabon. The appearance characteristics of compressed wood were : the surface becomes darker, more polished and more refined than the original. Densification treatment has increased the strength class of jabon, from IV to III (0.4 to 0.6) based on the specific gravity, MOR value and compressive strength parallel to grain also increases to the strength class II refer to PKKI NI 5-1961. Results of analysis of variance revealed that steaming and compression treatment gave a significant influence on improvement of physical and mechanical properties of compressed jabon’s wood.

KEYWORDS: jabon, compression, densification, mechanical properties 1.

Student of Forest Products Department, Faculty of Forestry IPB 2.

(3)

1.1. Latar Belakang

Kayu merupakan hasil hutan primer yang memiliki keragaman jenis dan kelebihan untuk masing-masing jenis. Manfaat kayu beraneka ragam mulai dari bahan konstruksi ringan hingga perabot rumah tangga. Namun saat ini ketersediaan kayu berkualitas dari hutan alam semakin berkurang yang disebabkan degradasi hutan akibat penebangan liar, kebakaran hutan, dan konversi lahan menjadi areal perkebunan dan pertanian. Kawasan hutan tropika mengalami kerusakan yang cukup parah. Penebangan tanpa diimbangi dengan upaya regenerasi serius menjadi penyebab utama masalah ini.

Departemen Kehutanan RI (Departemen Kehutanan 2010) menyatakan bahwa total produksi kayu bulat di Indonesia sebesar 34,32 juta m3, sebanyak 55,22% (18,95 juta m3) diantaranya dihasilkan dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 11,07% (3,80 juta m3) dihasilkan dari hutan rakyat dan kayu perkebunan. Hutan tanaman adalah hutan yang dibangun dengan teknik silvikultur dan ditanami jenis-jenis tanaman tertentu untuk tujuan pelestarian lingkungan dan menjadi suplai bahan baku industri.

(4)

Menurunnya pasokan kayu dari hutan alam diantisipasi dengan cara mengalihkan perhatian kepada jenis-jenis kayu yang berasal dari hutan tanaman dan hutan rakyat. Namun pada dasarnya kayu-kayu yang berasal dari hutan tanaman dan hutan rakyat merupakan jenis yang cepat tumbuh dan memiliki beberapa kelemahan jika dibandingkan dengan kayu yang berasal dari hutan alam terutama dari segi kekuatan (berat jenis rendah) dan keawetan. Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan daya guna kayu berkualitas rendah untuk keperluan konstruksi dilakukan usaha perbaikan sifat mekanis kayu yaitu dengan cara meningkatkan kerapatannya melalui teknik densifikasi atau pemadatan kayu.

Beberapa syarat kayu untuk digunakan sebagai bahan konstruksi dan bangunan adalah memiliki kerapatan dan kekuatan yang tinggi. Kerapatan kayu sangat berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis kayu terutama kekuatan kayu. Semakin tinggi kerapatan menunjukkan kesesuaian bahan tersebut untuk digunakan sebagai bahan struktural karena memiliki kekuatan yang tinggi (Thelandersson & Larsen 2003).

Salah satu jenis kayu yang cepat tumbuh dan banyak tersedia di tanam di kebun rakyat adalah jabon [Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.]. Kayu jabon memiliki kelas kuat III-IV dengan berat jenis 0,29 – 0,56 yang tergolong kelas kuat sedang.Kekuatan kayu berkaitan dengan kerapatannya. Semakin tinggi nilai

kerapatan kayu maka semakin tinggi pula nilai berat jenisnya. Kayu jabon memiliki kisaran berat jenis 0,29 - 0,56 sehingga kekuatannya tergolong sedang.

(5)

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Memperbaiki kerapatan dan sifat mekanis kayu jabon dengan teknologi pemadatan.

2. Mengetahui pengaruh variasi horizontal pada pohon dan lama proses pengukusan terhadap sifat mekanis kayu jabon yang terpadatkan.

1.3. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai upaya pemanfaatan kayu jabon untuk bahan konstruksi ringan, sehingga dapat menambah pasokan bahan baku kayu konstruksi.

(6)

2.1. Pemadatan Kayu

Modifikasi kayu merupakan langkah yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kualitas kayu dalam hal ini sifat fisis dan mekanisnya sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku industri perkayuan. Modifikasi dapat dilakukan baik secara fisik, mekanis maupun kimia ataupun kombinasi dari cara-cara tersebut. Salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu adalah dengan cara memadatkan kayunya (densifying by compression).

Proses pemadatan kayu terbagi dalam tiga tahap, yaitu: (1) pelunakan (softening/plastization), (2) deformasi (deformation), dan (3) fiksasi (fixation). Pelunakan dapat dilakukan secara fisik maupun kimia. Secara fisik, pelunakan terjadi bila tiga komponennya yaitu air dalam kayu, temperatur yang tinggi dan tekanan ada secara bersama-sama. Pelunakan secara fisik dapat dilakukan melalui pemberian panas dengan menggunakan oven, perendaman panas dan dingin, perebusan dan pengukusan dengan autoklaf, sedangkan secara kimia dengan menggunakan bahan kimia. Menurut Bodig & Jayne (1982), plastisasi adalah

perubahan karakteristik kayu menjadi lebih lunak sehingga memungkinkan untuk dilengkungkan atau dibentuk dan dipadatkan dengan energi yang lebih rendah dan kerusakan yang lebih kecil dibandingkan kayu tanpa plastisasi. Dengan kata lain, proses plastisasi dapat menjadikan kayu menjadi lebih lunak sehingga mudah untuk dibentuk dan dipadatkan.

(7)

Pemadatan atau densifikasi dilakukan melalui pengempaan kayu dengan suhu dan tekanan tertentu, terutama untuk meningkatkan berat jenisnya. Pemadatan kayu solid ditujukan untuk meningkatkan sifat-sifat kayu baik sifat fisis maupun mekanisnya. Pada produk-produk komposit, kegiatan pengempaan lebih ditujukan untuk membantu meningkatkan ikatan rekat antara kayu dengan perekatnya (Kollman et al. 1975).

Menurut Kollman et al. (1975), kayu dapat dipadatkan melalui impregnasi (densifying by impregnation), pengempaan (densifying by compression), dan kombinasi antara impregnasi dan pengempaan (kompregnasi). Pada kegiatan impregnasi, struktur rongga kayu diisi dengan berbagai zat yang akan menyebabkan struktur kayu menjadi lebih padat. Zat-zat tersebut dapat berupa polimer resin fenol formaldehida, larutan finil, resin alam cair, lilin, sulfur dan logam ringan. Sementara itu pengempaan merupakan usaha memodifikasi sifat-sifat kayu di bawah kondisi plastis tanpa merusak struktur sel kayu.

Dari berbagai hasil penelitian diketahui bahwa kayu-kayu yang terpadatkan dapat meningkat sifat fisis dan mekanisnya. Sulistyono (2001) melakukan pemadatan kayu agatis dengan memberikan perlakuan pendahuluan perendaman, perebusan dan pengukusan dengan air. Perlakuan pendahuluan yang dilakukan dapat mengurangi cacat kempa dan dapat membuat kayu menjadi lebih

stabil. Urutan perlakuan pendahuluan dari yang terbaik adalah pengukusan dan perebusan. Akibat pemadatan kayu agatis, struktur mikroskopis kayu (rongga sel dan dinding sel) menjadi lebih pipih dan padat, sehingga meningkatkan kekuatan lebih dari 100% dan stabilitas dimensi. Manfaat produk pemadatan kayu digunakan untuk lantai, furniture, bahan interior, dan bahan komposit keteknikan (Dwianto 1999).

(8)

Hal ini berarti pemadatan kayu akan menyebabkan berkurangnya volume kayu terpadatkan, bahkan bisa mencapai 50%. Hal ini tergantung dari tekanan kempa dan ukuran target yang diharapkan, sehingga kerapatan kayu menjadi meningkat (Hartono 2008).

Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa pemadatan kayu dapat meningkatkan sifat mekanis kayu. Murhofiq (2000) melakukan pemadatan kayu sengon dan agatis dengan menggunakan alat upward skala laboratorium dengan pemadatan arah radial yang meningkatkan sifat mekanis kayu dari 100% sampai 200%. Bahkan daya dukung bautnya meningkat sampai 300%.

Dengan alat yang sama Rilatupa (2001) melakukan pemadatan kayu dengan melakukan perebusan terlebih dahulu sebelum dikempa selama satu jam dengan suhu tertentu yang menghasilkan papan agatis yang lebih stabil dimensinya. Sifat mekanisnya meningkat lebih dari 100% dan sesuai digunakan untuk pelat buhul sebagai sambungan rangka karena kekuatannya meningkat menjadi kelas kuat I dan lebih menyatu dengan rangka. Akibat pemadatan kayu agatis, struktur mikroskopis kayu (rongga sel dan dinding sel) menjadi lebih pipih dan padat, sehingga meningkatkan kekuatan lebih dari 100% dan stabil dimensinya (Sulistyono 2001).

Hasil penelitian Darwis (2008) menunjukkan bahwa kerapatan, berat jenis (BJ) dan sifat mekanis kayu yang dipadatkan meningkat secara signifikan. BJ meningkat sampai 1,25-1,40 kali, sementara keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan tariknya meningkat secara proposional seiring dengan meningkatnya BJ. Semakin tinggi tingkat pemadatan, semakin besar nilai BJnya.

(9)

2.3. Pengujian Nondestruktif Gelombang Ultrasonik

American Sosiety of Nondestructive Testing (ANST) mendefinisikan Nondestructive Testingand Evaluating (NDT&E) sebagai metode yang digunakan untuk menguji suatu benda, bahan, atau sistem tanpa merusaknya sehingga masih dapat dimanfaatkan untuk penggunaan selanjutnya. Sedangkan The Canadian Institute of Nondestructive Testing (CINDT) memberikan batasan sebagai suatu kesatuan metode pengujian teknik secara khusus yang menyediakan informasi data mengenai kondisi suatu bahan dan komponen tanpa menyebabkan perusakan pada bahan dan komponen tersebut. Definisi lain untuk NDT&E adalah suatu metode yang tidak merusak fungsi dari struktur bahan dan dapat dilakukan re-testing pada lokasi yang sama untuk mengevaluasi perubahan sifatnya menurut waktu (Malik, et al. 2002).

Nondestructive Testing (NDT) digunakan tanpa merusak atau menyebabkan kerusakan terhadap suatu bahan atau produk karena pengujian yang dilakukan tidak mengganggu produk akhirnya. NDT ini memberikan suatu kesimbangan antara kontrol terhadap kualitas dan efektifitas biaya. Sedangkan NDE lebih bersifat penilaian kuantitas secara alami, sebagai contoh adalah untuk cacat pada kayu, dimana tidak hanya lokasi cacat saja tetapi juga termasuk penentuan bentuk, ukuran, dan arah orientasi cacatnya. NDE dapat digunakan untuk penentuan sifat bahan seperti fracture tougness, formidability, dan sifat fisik kayu lainnya (Malik, et al. 2002).

Metode ultrasonik merupakan peningkatan dari metode gelombang tegangan (stress wave) dengan frekuensi sonik. Variabel dasar yang digunakan dalam metode ultrasonik adalah kecepatan gelombang frekuensi ultrasonik. Parameter akustik dari suatu kayu adalah: sound velocity (kecepatan suara); acoustic impedance (impedansi akustik), damping dan logarithmic decrement. Gelombang frekuensi yang biasa digunakan dengan teknik ultrasonik adalah lebih dari 20 kHz (Malik, et al. 2002 dan Sandoz, et al. 2000, 2002).

(10)

tanah, dan cuaca (Olievera, et al. 2002; W.R. Smith 1989). Lebih dalam beberapa faktor yang dapat dicatat mempengaruhi kecepatan gelombang ultrasonik adalah:

1. Kadar air; peningkatan kadar air menyebabkan peningkatan kecepatan gelombang

2. Arah serat; kecepatan gelombang lebih cepat pada arah longitudinal (searah serat), diikuti arah radial, dan yang terlama adalah pada arah tangensial. Selain itu semakin panjang serat semakin cepat gelombang mengalir

3. Dinding sel dengan porositas dan permeabilitas yang tinggi akan memperlambat kecepatan gelombang ultrasonik

4. Semakin besar kerapatan kayu semakin cepat gelombang ultrasoniknya 5. Daerah kristalin pada dinding sel (kaya akan selulosa) lebih cepat

mengalirkan gelombang ultrasonik dibandingkan dengan daerah amorph (kaya akan lignin dan hemiselulosa)

Umumnya metode gelombang suara ini digunakan untuk menentukan modulus of elasticity (MOE). Dengan penentuan waktu rambat gelombang tegangan dan diketahuinya jarak dari dua buah transducer yang digunakan maka dapat ditentukan kecepatannya sehingga kemudian dapat digunakan untuk menghitung MOE dinamis (MOEd) dari bahan. Nilai MOE dinamis ini berguna

untuk memperkirakan kekuatan bahan tersebut melalui pendekatan korelasi statistik terhadap nilai MOE sebenarnya atau pengujian standar (MOE statis, MOEs).

Nilai kecepatan gelombang suara dan MOEd ditentukan dengan rumus:

dan MOEd =

dimana:

MOEd = Modulus of Elasticity dinamis (kg/cm2)

ρ = kerapatan (kg/m3)

v = kecepatan gelombang (m/detik)

d = jarak tempuh gelombang antara 2 transducer (m) t = waktu tempuh gelombang antara 2 transducer (detik) g = percepatan gravitasi bumi (m/detik2)

(11)

2.4. Sifat Fisis 2.4.1. Kadar Air

Kadar air merupakan berat air dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur (BKT). Pengujian kadar air pada contoh uji dimaksudkan untuk mengetahui berapa besar persentase kadar air yang masih terkandung di dalam kayu atau mengetahui contoh uji sudah atau belum kering. Kadar air ini mempengaruhi kekuatan kayu. Jika terjadi penurunan kadar air atau kayu tersebut mengering maka kekuatan kayu akan meningkat. Pengaruh penurunan kadar air terhadap sifat kekuatan kayu tampak jelas apabila kadar air berada dibawah titik jenuh serat. Air dalam kayu terdiri atas air bebas dan air terikat dimana keduanya secara bersama-sama menentukan kadar air kayu. Dalam satu jenis pohon kadar air segar bervariasi tergantung pada tempat tumbuh dan umur pohon (Haygreen et al. 2003).

2.4.2. Kerapatan dan Berat Jenis

Kerapatan didefinisikan sebagai massa atau berat persatuan volume dan biasanya dinyatakan dalam kilogram per meter kubik (Haygreen et al. 2003). Menurut Tsoumis (1991), kerapatan bervariasi pada arah vertikal maupun horizontal. Pada arah vertikal, bagian kayu yang posisinya lebih tinggi memiliki

kerapatan yang rendah. Hal ini diakibatkan karena faktor mekanis dan faktor biologis. Pada arah horizontal, kerapatan dipengaruhi oleh umur. Kayu yang umurnya lebih muda memiliki kerapatan lebih rendah.

(12)

2.5. Sifat Mekanis

Sifat mekanis kayu merupakan ukuran ketahanan kayu terhadap gaya luar yang cenderung merubah bentuk benda. Ketahanan kayu tersebut tergantung pada besarnya gaya dan cara pembebanan (tarik, tekan, geser, pukul). Kayu menunjukan perbedaan sifat mekanis dalam arah pertumbuhan yang berbeda (aksial, radial, dan tangensial) (Tsoumis 1991).

2.5.1. Kekuatan Tekan Maksimum Sejajar Serat

Menurut Tsoumis (1991), kekuatan tekan maksimum sejajar serat adalah kemampuan kayu untuk menahan beban atau tekanan yang berusaha memperkecil ukurannya. Kekuatan tekan aksial lebih tinggi dari kekuatan tekan transversal (sampai 15 kali). Pada softwood kekuatan tekan pada arah tangensial lebih tinggi daripada radial, sedangkan untuk hardwood kekuatan tekan radial lebih tinggi dibandingkan tangensialnya. Kekuatan tekan kayu pada arah aksial lebih rendah dibandingkan dengan logam, tetapi jika dibandingkan dengan bahan konstruksi lainnya kekuatan tekan kayu lebih tinggi.

2.5.2. Kekerasan

Kekerasan merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan kikisan pada permukaannya, sifat kekerasan ini dipengaruhi oleh kerapatan kayu, keuletan kayu, ukuran serat, daya ikat antar serat. Nilai yang di dapat dari hasil pengujian merupakan uji pembanding, yaitu besar gaya yang dibutuhkan untuk memasukan bola baja berdiameter 0.444 inchi pada kedalamaan 0.22 inchi.

2.5.3. Modulus of Elasticity (MOE)

Menurut Haygreen et al. (2003) kekakuan lentur atau Modulus of Elasticity (MOE) adalah suatu nilai yang konstan dan merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan dibawah batas proporsi. Tegangan didefinisikan sebagai distribusi gaya per unit luas, sedangkan renggangan adalah perubahan panjang per unit panjang bahan. Modulus elastisitas (MOE) berkaitan dengan

(13)

atau gelagar dengan ukuran tertentu pada beban tertentu dan semakin tahan terhadap perubahan bentuk.

2.5.4. Modulus of Rupture (MOR)

Menurut Kollman dan Cote (1968) kekuatan lentur atau Modulus of Rupture (MOR) merupakan sifat mekanis kayu yang berhubungan dengan kekuatan kayu yaitu ukuran kemampuan kayu untuk menahan beban atau gaya luar yang bekerja padanya dan cenderung merubah bentuk ukuran kayu tersebut. MOR dihitung dari beban maksimum (beban pada saat patah) dalam uji keteguhan lentur dengan menggunakan pengujian yang sama untruk MOE (Haygreen et al. 2003).

2.6. Jabon [Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.] 2.6.1. Klasifikasi dan Penyebaran

Jabon [Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.] merupakan jenis pohon cepat tumbuh dengan nama dagang Kadam. Adapun klasifikasi taksonomi jenis ini adalah sebagai berikut (Dallwitz et al. 1995) :

Divisi : Spermatophyta

Spesies : Anthocephalus cadamba Roxb.

(14)

ketinggian 0 - 1000 m dpl dengan tipe curah hujan A-D dan suhu rata-rata 20-32°C/tahun (Martawijaya et al. 1992).

2.6.2. Deskripsi Botani

Jenis Anthocephalus cadamba Roxb. ini bersinonim dengan Anthocephalus chinensis Lamk. dan Anthocephalus indicus A. Rich. Jabon [Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.] merupakan pohon yang dapat mencapai tinggi sampai 45 meter, mempunyai batang yang lurus dan silindris dengan batang bebas cabang lebih dari 25 meter. Diameter batang dapat mencapai 100 - 160 cm, batang berbanir dengan tinggi banir hingga 2 meter dan lebar sampai 60 cm. Jabon mempunyai daun tunggal dengan ujung daun berbentuk runcing sampai meruncing serta berdaun penumpu.

Jabon mempunyai tajuk yang tinggi dengan cabang mendatar, berbanir sampai ketinggian 1,50 m. Kayunya berwarna putih krem sampai sawo kemerah-merahan, sedikit beralur dangkal. Bunga jenis ini berwarna jingga berukuran kecil, berkelopak rapat, berbentuk bulat. Jabon berbuah setiap tahun mulai bulan Juni-Agustus, buahnya majemuk berbentuk bulat dan lunak, mengandung biji yang sangat kecil, jumlah biji kering udara 18 - 26 juta butir/kg, sedangkan jumlah buah 33 butir/kg atau 320 butir/kaleng minyak tanah. Jabon tidak memiliki

hama dan penyakit yang serius, tanaman muda sering dimakan binatang liar seperti rusa dan banteng, serangga dan jamur Gloeosporium anthocephali Desm. and Mont., yang menyerang daun sehingga menyebabkan defoliasi dan mati pucuk (Martawijaya et al. 1992).

2.6.3. Karakteristik Kayu Jabon

(15)

panjang seratnya 1979µ, diameter 54µ, tebal dinding 3,2µ, dan diameter 47,6µ (Martawijaya et al. 1992).

Kayu jabon mempunyai berat jenis 0,42 (0,29 - 0,56) dengan kelas kuat III-IV, penyusutan sampai kadar air 12% adalah 3,0% (radial) dan 6,9% (tangensial). Kayu jabon termasuk kelas awet V dan kelas keterawetan sedang yang berarti kayu jabon tergolong tidak awet pada kondisi terbuka dan bersentuhan dengan tanah, sedangkan pada kondisi tertutup kayu mempunyai ketahanan sedang. Kayu jabon mudah digergaji, dapat dibentuk, dibuat lubang persegi, dan diamplas dengan hasil yang baik, sedangkan penyerutan, pemboran, dan pembubutan hanya memberikan hasil yang sedang. Kayu jabon termasuk mudah dikeringkan dengan sedikit cacat berupa pecah dan retak ujung serta sedikit mencekung, Perekatan vinir kayu jabon dengan urea formaldehida (UF) menghasilkan kayu lapis yang memenuhi persyaratan standar Indonesia, Jepang, dan Jerman (Martawijaya et al. 1992). Secara detail sifat mekanis kayu jabon dapat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Sifat mekanis kayu jabon

Sifat Satuan Kondisi Basah

Kondisi Kering Keteguhan lentur statis

Tegangan padabatas proporsi kg/cm2 294 387 Tegangan pada batas patah kg/cm2 516 691

Modulus elastisitas kg/cm2 42.900 68.000

(16)

Saat ini jabon menjadi andalan industri perkayuan untuk bahan baku vinir dan kayu lapis. Kemampuan tumbuh jabon sepadan dengan sengon apabila mendapat perawatan yang optimal. Dari hasil uji coba yang telah dilakukan oleh Soerianegara & Lemmens (1994), keunggulan tanaman jabon dapat diuraikan dari beberapa sisi, diantaranya adalah diameter batang dapat tumbuh berkisar 10 cm/tahun, masa produksi jabon singkat hanya 4 – 5 tahun, berbatang silinder dengan tingkat kelurusan yang sangat bagus, permukaan kayu licin, berwarna putih kekuningan mirip meranti kuning, batang mudah dikupas, dikeringkan, direkatkan, bebas dari cacat mata kayu dan susutnya rendah serta tidak memerlukan pemangkasan karena pada masa pertumbuhan cabang akan rontok sendiri (self pruning).

2.6.4. Pemanfaatan

Pohon jabon merupakan jenis pohon yang dapat digunakan untuk pohon ornamental dan naungan atau untuk reforestasi dan agroforestri. Sedangkan kayunya dapat digunakan untuk berbagai macam kegunaan, diantaranya adalah untuk korek api, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, vinir, kayu lapis, pulp dan kertas, kayu lamina, serta konstruksi darurat yang ringan (Martawijaya et al. 1992), obat tradisional (daun dan kulit kayu), serta bunga dan

(17)

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2011 – Januari 2012 dan dilaksanakan di Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Bagian Kimia Hasil Hutan, Bagian Biokomposit dan Bagian Peningkatan Mutu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu log kayu jabon [Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.] berdiameter ±30 cm umur 5 tahun dengan panjang 200 cm yang dipotong menjadi beberapa papan berukuran lebar 30 cm, tebal 2,5 cm dan panjang 200 cm. Log kayu jabon ini didapat dari daerah Cianjur, Jawa Barat. Bahan lain yang dipakai adalah air untuk pengukusan dan kertas kalkir. Alat yang digunakan untuk proses pemadatan kayu adalah mesin kempa panas, klem, autoklaf (untuk mengukus), kaliper (untuk mengukur dimensi contoh uji), moisture meter (untuk mengukur kadar air), oven (untuk mengeringkan contoh uji), desikator, jam, Universal Testing Machine merk Instron® tipe 3369 dan Amsler®. Alat lain yang digunakan adalah kamera digital untuk mendokumentasikan contoh uji hasil pemadatan. Alat uji gelombang ultrasonik merk SylvatestDuo® (frekuensi = 22 kHz) digunakan untuk pengujian kecepatan rambatan gelombang suara.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Persiapan Contoh Uji

(18)

kontrol (tanpa perlakuan) dan 36 contoh uji lainnya mendapat perlakuan. Tabel 2 menunjukkan detail jumlah contoh uji berdasarkan perlakuan penelitian dan posisi kayu pada penampang lintang batang. Selanjutnya bahan contoh uji dikeringkan selama ± 2 minggu untuk memperoleh kadar air kayu kering udara (KA ± 15%). Tabel 2 Jumlah contoh uji yang dibuat berdasarkan perlakuan dan posisi kayu pada penampang lintang

Variasi lama waktu

pengukusan

Posisi kayu

Teras Transisi Gubal

Kontrol 4 contoh uji 4 contoh uji 4 contoh uji

30 menit 4 contoh uji 4 contoh uji 4 contoh uji

60 menit 4 contoh uji 4 contoh uji 4 contoh uji

90 menit 4 contoh uji 4 contoh uji 4 contoh uji

Keterangan: Transisi adalah posisi kayu diantara kayu teras dengan kayu gubal

Keterangan: Ti = Kayu Teras, Ri = Kayu Transisi, Gi = Kayu Gubal

Gambar 1 Pembagian log menjadi contoh uji

Sebelum pemotongan log menjadi bahan untuk contoh uji dilakukan pendokumentasian gambaran penampang melintang log pada kedua ujungnya untuk ke-4 bagian log.

3.3.2. Pengujian Nondestruktif Tahap Awal

Pengujian nondestruktif gelombang ultrasonik menggunakan

(19)

sebelumnya dilakukan pengeboran. Contoh uji dilubangi menggunakan bor berdiameter 0,5 cm sedalam 2 cm. Transduser terdiri dari transduser pengirim gelombang suara dan transduser penerima gelombang suara di ujung lainnya. Pengujian dilakukan terhadap contoh uji berukuran (2 x 2,5 x 30) cm. Parameter yang digunakan adalah waktu rambat (t) dan kecepatan rambat gelombang ultrasonik (v).

Gambar 2 Pengujian Nondestruktif dengan SylvatestDuo® (frekuensi = 22 kHz)

3.3.3. Perlakuan Pendahuluan

Contoh uji yang berjumlah 36 batang diberi perlakuan pengukusan. Pengukusan dilakukan dengan autoklaf menggunakan air pada suhu 120°C dengan variasi lama waktu pengukusan untuk setiap set contoh uji masing-masing: 30 menit, 60 menit dan 90 menit. Dua belas contoh uji sisanya tidak diberi perlakuan apapun yang digunakan sebagai kontrol.

(20)

3.3.4. Tampilan Kayu

Pendokumentasian tampilan kayu dilakukan untuk membandingkan penampilan kayu sebelum dan sesudah dipadatkan menggunakan kamera digital. Dari tampilan tersebut dapat dilihat perubahan penampilan contoh uji secara langsung dari segi warna dan ketebalan.

3.3.5. Perlakuan Kempa Panas

Tiga puluh enam contoh uji yang telah dikukus dengan air kemudian dipadatkan dengan mesin kempa panas dengan posisi pengempaan arah tegak lurus serat contoh uji, pada suhu 150°C hingga ketebalan target mencapai 2 cm dari ketebalan awal 2,5 cm (Gambar 4a). Pada saat pemadatan dihitung lamanya waktu pemadatan dan dicatat besarnya tekanan yang diperlukan sampai ketebalan target tercapai. Selanjutnya contoh uji didiamkan pada mesin kempa selama 15 menit untuk pengkondisian.

(a) (b)

Gambar 4 (a) Pemadatan dengan kempa panas, (b) pengkondisian dengan klem

Selanjutnya contoh uji dikeluarkan dari mesin kempa dan diklem (Gambar 4b). Contoh uji yang sudah dipadatkan tersebut dikering udarakan dengan cara diangin-anginkan dengan bantuan fan

(21)

3.3.6. Pengujian Nondestruktif Setelah Pemadatan

Sama seperti pengujian nondestruktif awal, parameter yang diuji adalah waktu rambat gelombang dan kecepatan rambat gelombang ultrasonik setelah pemadatan. Diduga ada perubahan terhadap kedua parameter tersebut akibat perlakuan pemadatan.

3.3.7. Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis

Pengujian sifat fisis dan mekanis dilakukan terhadap contoh uji yang telah dipadatkan dan contoh uji kontrol. Pengujian sifat fisis meliputi kadar air, kerapatan, berat jenis dan perubahan dimensi tebal. Sementara sifat mekanis yang diuji adalah MOE, MOR, tekan sejajar serat, dan kekerasan. Pengujian sifat fisis ini mengacu pada standar JIS Z 2102 (1957) dan JIS Z 2103 (1957), untuk sifat mekanis yang diuji mengacu pada standar JIS Z 2113 (1963). Pada Gambar 5 dapat dilihat pembagian contoh uji untuk pengujian sifat fisis dan mekanis.

Keterangan:

a = contoh uji untuk KA, kerapatan (ρ) dan BJ ukuran (2 x 2 x 2) cm b = contoh uji nondestruktif, MOE dan MOR (2 x 2 x 30) cm c = contoh uji tekan // serat (2 x 2 x 6) cm

d = contoh uji kekerasan (2 x 2 x 6) cm

# contoh uji KA, ρ, BJ setelah pemadatan menggunakan contoh uji pada MOE dan MOR

(22)

3.3.7.1. Kadar Air

Contoh uji pengukuran kadar air diambil dari dekat bagian yang mengalami kerusakan pada pengujian lentur dengan ukuran (2 x 2 x 2) cm. Contoh uji kemudian ditimbang beratnya sebelum dioven untuk mengetahui berat awal (W1). Setelah dioven selama 24 jam dengan suhu 103±2°C kemudian ditimbang kembali untuk mengetahui berat kering oven (W2). Kadar air kayu Jabon terpadatkan dihitung dengan rumus:

3.3.7.2. Kerapatan

Contoh uji yang digunakan sama dengan contoh uji untuk kadar air (2 x 2 x 2) cm, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering udara (W). Dimensinya diukur untuk mengetahui volume kering udaranya (V). Kerapatan kayu Jabon terpadatkan

dihitung dengan rumus:

3.3.7.3. Berat jenis

Contoh uji dari pengujian kadar air dan kerapatan (2 x 2 x 2) cm dikeringkan dengan oven selama 24 jam dengan suhu 103±2°C, lalu ditimbang untuk mengetahui berat kering tanurnya (W). Selain itu juga diukur dimensi setelah pengempaan (V), dan selanjutnya diperbandingkan dengan benda standard (kerapatan air 1 g/cm³)

Berat Jenis =

3.3.7.4. Perubahan Dimensi

Perubahan dimensi merupakan perubahan dimensi tebal setelah perlakuan terhadap kondisi akhir setelah mencapai kestabilan dimensi. Contoh uji yang digunakan berukuran tebal 2 cm, lebar 2

W/V

(23)

cm dan panjang 30 cm. Pengukuran tebal dilakukan sesaat setelah proses pemadatan menggunakan kempa panas di tiga titik (T1) (Gambar 6). Setelah pengkondisian menggunakan klem untuk mencapai stabilitas dimensi dan kadar air kering udara dilakukan kembali pengukuran tebal pada ketiga titik yang sama (T2).

Gambar 6 Pengukuran dimensi tebal pada tiga titik

Perubahan Dimensi (%) = x 100

3.3.7.5. Kekakuan Lentur (MOE) dan Kekuatan Lentur (MOR)

Pengujian MOE dan MOR dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine merk Instron® tipe 3369. Ukuran contoh uji yang digunakan adalah (2 x 2 x 30) cm dengan panjang bentang 28 cm. Pengujian ini dilakukan untuk menentukan kekakuan lentur dan kekuatan lentur contoh uji (Gambar 7)

(a) (b)

Gambar 7 (a) Pengujian MOE dan MOR di UTM Instron, (b) Contoh uji sebelum dan sesudah pengujian

(24)

Besarnya MOE dan MOR dapat ditentukan dengan rumus:

Dengan keterangan sebagai berikut: MOE = kekakuan lentur (kg/cm²) MOR = kekuatan lentur (kg/cm²)

P = beban di bawah batas proporsi (kg)

L = jarak sangga contoh uji (cm)

ΔY = defleksi yang terjadi akibat beban P (cm) b = lebar penampang contoh uji (cm)

h = tinggi penampang contoh uji (cm)

B = beban maksimum sampai patah (kg)

3.3.7.6. Kekuatan Tekan Sejajar Serat

Untuk pengujian tekan sejajar serat contoh uji yang digunakan berukuran (2 x 2 x 6) cm. Pengujian dilakukan dengan UTM merk Instron tipe 3369 (Gambar 8).

(a) (b)

(25)

Nilai keteguhan tekan sejajar serat dihitung dengan rumus:

Keterangan:

P = Beban Maksimum (kg)

A = Luas permukaan bidang tekan (cm²)

3.3.7.7. Kekerasan

Contoh uji berukuran (2 x 2 x 6) cm digunakan untuk pengujian kekerasan permukaan dengan UTM Amsler (Gambar 9). Pengujian dilakukan dengan memasukkan setengah bola baja berdiameter 0,444 inchi (1cm) dengan luas penampang 1 cm² ke dalam kayu. Kemudian bola tersebut ditekan sedalam 0,222 inchi (0,5 cm).

(a) (b)

Gambar 9 (a) Pengujian kekerasan kayu (b) Contoh uji sebelum dan sesudah pengujian

Nilai kekerasan dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan: P = Beban (kg)

(26)

Yijk= µ + αi+ βj+ (αβ)ij+ εijk 3.4. Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif sederhana untuk menentukan nilai rata-rata, standard deviasi, dan koefisien variasi. Selain itu untuk mengetahui pengaruh pemadatan dilakukan dengan perancangan percobaan rancangan acak lengkap (RAL) dengan percobaan faktorial. Faktor yang digunakan adalah variasi lama waktu pengukusan dan posisi kayu (teras, transisi dan gubal). Model umum rancangan percobaan yang digunakan adalah:

Keterangan:

Yijk = Pengamatan pada faktor waktu pengukusan taraf ke-i, faktor posisi kayu taraf ke-j dan ulangan ke k (empat kali ulangan),

μ = Nilai rata-rata pengamatan

αi = Pengaruh utama perlakuan pengukusan ke i (1 = 30 menit, 2 = 60 menit, 3 = 90 menit, 4 = kontrol)

βj = Pengaruh utama perlakuan posisi kayu ke j (1 = gubal, 2 = transisi, 3 = teras)

(αβ)ij = Interaksi dari perlakuan pengukusan dan perlakuan posisi kayu

εijk = Kesalahan percobaan

(27)

4.1 Tampilan Kayu

Pemadatan kayu menghasilkan warna yang berbeda dengan warna aslinya, dimana warnanya menjadi sedikit lebih gelap sebagai akibat dari pengaruh suhu pengeringan saat proses kayu berlangsung (Inoue et al. 1993). Gambar 10 menunjukkan contoh uji dengan perlakuan pendahuluan pengukusan menggunakan air sebelum dan sesudah pemadatan dengan menggunakan kempa panas.

Gambar 10 Perbandingan tampilan warna kayu kontrol dengan kayu yang diberikan perlakuan

Dari Gambar 10 dapat dibandingkan kondisi kayu sebelum pemadatan dengan kayu hasil pemadatan. Pemadatan kayu jabon pada suhu 150°C menyebabkan perubahan warna pada permukaan. Kayu yang mengalami pemadatan berubah menjadi sedikit lebih gelap dari warna aslinya. Hal ini diduga akibat pengaruh suhu yang tinggi pada saat pengukusan dan

pengempaan. Kayu yang terpadatkan memiliki kesan raba yang lebih halus dan kilap yang lebih jelas dibandingkan dengan kayu kontrol.

(28)

yang lebih halus dan kilap yang lebih jelas dibandingkan dengan kayu kontrol.

Pemadatan kayu menghasilkan warna yang berbeda dari warna aslinya. Kayu terpadatkan memberikan tampilan warna yang atraktif, dimana warnanya berubah menjadi sedikit gelap sebagai akibat dari pengaruh suhu pengeringan saat proses pemadatan kayu berlangsung (Inoue et al. 1992).

4.2 Evaluasi Perubahan Dimensi Setelah Pemadatan

Pemadatan dilakukan menggunakan mesin kempa panas dimana untuk mencapai target dimensi ketebalan yang diinginkan diperoleh waktu (t) = 4 - 5 menit dengan tekanan (P) = 25 kg/cm2 pada suhu (T) = 150°C. Hasil pengukuran terhadap ketebalan menunjukkan sedikit perbedaan antara target awal dengan realisasinya, dimana ketebalan kayu jabon terpadatkan sedikit lebih besar dari yang diinginkan. Hal ini terjadi diduga oleh adanya fenomena springback, yaitu pemulihan tebal pada waktu tekanan dilepaskan.

Tabel 3 Nilai rata-rata perubahan dimensi kayu jabon terpadatkan

Perlakuan Dimensi awal Dimensi T1 Dimensi T2 Δ dimensi T2-T1 (%) Pengukusan Tebal Lebar Tebal Lebar Tebal Lebar Tebal Lebar

30 menit 2,450 2,007 2,104 2,037 2,113 2,040 0,43 0,20 60 menit 2,476 1,993 2,150 2,021 2,156 2,025 0,28 0,20 90 menit 2,505 2,022 2,134 2,064 2,141 2,067 0,33 0,15

Keterangan: T1 = dimensi setelah pemadatan T2 = dimensi setelah kondisi klem

(29)

Dari Gambar 11 diketahui bahwa hasil dari pemadatan setelah pengkondisian dalam klem mengalami perubahan dimensi pada bagian tebal 0,28 - 0,43%. Perubahan dimensi tebal terbesar terjadi pada contoh uji pengukusan 30 menit yaitu 0,43%, sedangkan yang terendah terjadi pada pengukusan 60 menit yaitu 0,28%. Hal ini diduga terjadi karena kayu sebagai benda mempunyai internal stress sehingga akan memberikan reaksi apabila ada gaya dari luar yang mempengaruhinya, kayu akan berusaha untuk kembali ke bentuk semula sebagai perlawanan terhadap tekanan pada waktu pengempaan. Pada tahap pengkondisian klem dengan bantuan fan, dinding sel kayu akan mengikat rantai OH bebas sehingga mengalami pengembangan tebal kembali.

Pada saat proses pengempaan berlangsung, dimensi lebar contoh uji ikut mengalami peningkatan sebesar 0,15 - 0,20% akibat tekanan yang diberikan dari mesin kempa panas. Perubahan dimensi lebar terbesar terjadi pada contoh uji pengukusan 60 menit yaitu 0,20%, sedangkan yang terendah terjadi pada pengukusan 90 menit yaitu 0,15%. Gambar 12 menunjukkan perubahan dari ketebalan awal 2,5 cm sampai ketebalan target 2 cm.

Gambar 12 Perbandingan kayu jabon kontrol dengan kayu jabon terpadatkan

Penelitian Sulistiyono (2001) juga menunjukkan bahwa untuk jenis papan tangensial kayu agatis yang mengalami perlakuan awal berupa

(30)

adanya kondisi suhu dan kelembaban pada lingkungan. Jadi mengembang akibat dikeringanginkan (spring back).

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai pengembangan tebal yang dihasilkan lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Sulistiyono, yaitu hanya berkisar 0,28 - 0,43%. Hasil ini memberi gambaran bahwa kayu yang dipadatkan dengan perlakuan pendahuluan yang tepat akan membuat dimensi kayu lebih stabil.

Pemberian perlakuan pendahuluan dengan memanaskan kayu dengan uap air suhu tinggi (steam treatment) dalam autoklaf mengakibatkan tercapainya fiksasi permanen yang lebih cepat jika dibandingkan dengan metode perlakuan suhu tinggi pada kayu kering dan tidak banyak mempengaruhi atau menurunkan sifat mekanik kayu. Fiksasi permanen pada suhu 180°C dapat dicapai dalam waktu sekitar 10 menit (Inoue et al. 1993).

4.3 Sifat Fisis

Data hasil pengujian sifat fisis dan kecepatan gelombang ultrasonik kayu jabon disajikan pada Tabel 4 sementara itu untuk analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% ditampilkan dalam Tabel 5.

Tabel 4 Nilai rataan sifat fisis dan kecepatan gelombang ultrasonik (Vus) kayu jabon pada posisi kayu gubal, transisi, teras, dan waktu pengukusan (30 menit; 60 menit;90 menit)

(31)

Tabel 5 Hasil analisis sidik ragam terhadap sifat fisis kayu jabon setelah perlakuan pada selang kepercayaan 95%

Sumber

KA ρ BJ Vus

Terpadatkan Terpadatkan Terpadatkan Terpadatkan Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P

Posisi Kayu 0,8216tn 0,3153tn 0,2307tn 0,2893tn

Perlakuan <,0001* 0,0001* <,0001* 0,4836tn

Posisi Kayu

x Perlakuan 0,9863

tn

0,9103tn 0,8110tn 0,4415tn

Keterangan : * = berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% tn = tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% KA = kadar air

ρ = kerapatan BJ = berat jenis

Vus = velositas gelombang ultrasonik P = probability

4.3.1 Kadar Air

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 13 diketahui bahwa akibat proses pemadatan dengan suhu tinggi 150°C, kadar air kayu menurun dari kondisi kering udara 15,32% sampai 15,96% menjadi 8,55% sampai 9,08% pada kayu terpadatkan. Hasil pemadatan dapat menurunkan nilai kadar air kayu jabon sampai 44,78% dari kayu sebelum perlakuan.

(32)

Penurunan kadar air sampai dibawah 10% ini diduga disebabkan pengaruh panas pada waktu pengempaan. Hal ini sejalan dengan penelitian Sulistyono (2001) yang menggunakan perlakuan variasi suhu kempa panas yang cukup tinggi sebesar 125°C, 150°C, 175°C, dan 200°C menghasilkan kayu terpadatkan dengan kadar air 50% lebih rendah dari kadar air kayu sebelum perlakuan.

Suhu tinggi tersebut merusak ikatan hidrogen antar molekul air sehingga kayu mengalami pengeringan. Kadar air yang rendah diharapkan dapat meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu tersebut. Kadar air kayu yang rendah ini juga berguna untuk mengurangi terjadinya pemulihan tebal atau springback pada waktu dikeluarkan dari tekanan kempa. Selain itu diduga telah terjadi rusaknya sel dalam kayu sehingga tidak dapat berikatan dengan rantai OH bebas dari lingkungan. Rusaknya molekul air akibat perlakuan suhu tinggi menyebabkan terjadinya kerusakan pada ikatan H antar molekul-molekul di dalam matriks hemiselulosa-lignin (Amin & Dwianto 2006)

Analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% yang dilakukan (Tabel 5) menunjukkan bahwa tidak ada interaksi yang nyata antara kedua faktor perlakuan (posisi horizontal kayu dan lama pengukusan) terhadap

kadar air kayu jabon terpadatkan. Namun, faktor tunggal perlakuan pengukusan berpengaruh nyata terhadap kadar air kayu jabon terpadatkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai KA terendah terdapat pada perlakuan pengukusan 30 menit. Pada penelitian ini semakin cepat waktu pengukusan sebelum pengempaan semakin rendah nilai KA kayunya. Hal ini diduga adanya kandungan air yang masih terikat didalam kayu setelah pengukusan dalam autoklaf. Nilai KA yang rendah ini (8,55%) diduga dapat meningkatkan kekuatan kayu menjadi lebih stabil.

4.3.2 Kerapatan

(33)

kondisi setelah pemadatan atau meningkat ±11% terhadap kerapatan kayu jabon dari kondisi sebelum pemadatan. Nilai kerapatan contoh uji kayu jabon yang diberi perlakuan pengukusan dengan air selama 90 menit adalah yang paling tinggi hingga bisa meningkatkan kerapatan sampai 11,43%.

Gambar 14 Histogram nilai kerapatan kayu jabon pada kondisi sebelum dan sesudah pemadatan

Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% (Tabel 5) menunjukkan bahwa tidak ada interaksi yang nyata antara kedua faktor perlakuan (posisi horizontal kayu dan lama pengukusan) terhadap kerapatan kayu jabon terpadatkan. Namun, faktor tunggal perlakuan pengukusan berpengaruh nyata terhadap kerapatan kayu jabon terpadatkan. Sedangkan untuk faktor tunggal posisi kayu tidak memberikan pengaruh yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada perlakuan pengukusan 90 menit menghasilkan nilai kerapatan terbaik. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan sebelum pengempaan mampu meningkatkan nilai kerapatan kayu jabon terpadatkan. Kerapatan kayu berhubungan linier dengan sifat kekuatan kayu, semakin tinggi kerapatan kayu maka semakin tinggi pula sifat kekuatannya.

Pada penelitian Murhofiq (2000), pemadatan kayu agatis sampai 50% dari tebal semula mampu meningkatkan kerapatannya dari 0,41 g/cm3 menjadi 0,9 g/cm3. Sementara untuk kayu sengon dengan kerapatan 0,23

(34)

Peningkatan kerapatan kayu diduga akibat pemadatan pada suhu tinggi yang menyebabkan kayu menjadi lunak (plastis). Plastisasi dengan pengukusan pada suhu diatas 120°C menyebabkan hemiselulosa dan lignin yang berperan sebagai pengikat dan pengisi selulosa akan elastis pada suhu tersebut. Kondisi elastis dari kayu ini akan lebih memudahkan pada waktu pengempaan. Dwianto et al., (1996) menyatakan bahwa mekanisme perubahan bentuk akibat pengempaan pada saat dibawah titik proporsional deformasi mendekati elastis

4.3.3 Berat Jenis

Pada Gambar 15 menyajikan peningkatan berat jenis kayu jabon terpadatkan. Berat jenis kayu jabon terpadatkan mengalami peningkatan sebesar ±18% dari kondisi sebelum pengempaan 0,36 sampai 0,39 menjadi 0,43 sampai 0,46 pada kayu jabon terpadatkan. Sama halnya dengan kerapatan, hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan sebelum pengempaan semakin tinggi nilai berat jenis yang dihasilkan setelah pengempaan. Contoh uji dengan pengukusan 90 menit mengalami peningkatan berat jenis yang paling tinggi. Peningkatan berat jenis ini disebabkan oleh pemampatan volume sebagai akibat dari adanya

tekanan oleh plat kempa. Tomme et al. (1998) menyatakan bahwa pemadatan kayu dengan suhu tinggi dapat meningkatkan kerapatan kayu.

(35)

Peningkatan ini terjadi karena rongga sel dan dinding sel menjadi padat. Peningkatan nilai berat jenis kayu terpadatkan ada kaitannya dengan perubahan bentuk sel-sel penyusunnya. Sel-sel kayu terpadatkan cenderung memipih sehingga mengurangi volume rongga, yang sekaligus mengurangi volume kayunya, sementara beratnya tetap. Hal ini berdampak pada meningkatnya nilai BJ.

Analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% (Tabel 5) yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak ada interaksi yang nyata antara kedua faktor perlakuan (posisi horizontal kayu dan lama pengukusan) terhadap berat jenis kayu jabon terpadatkan. Namun, faktor tunggal perlakuan pengukusan berpengaruh nyata terhadap berat jenis kayu jabon terpadatkan. Sedangkan untuk faktor tunggal posisi kayu tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai terbaik untuk BJ terjadi pada perlakuan pengukusan 90 menit. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan sebelum pemadatan mampu meningkatkan nilai BJ kayu jabon yang dipadatkan. Meningkatnya BJ berbanding lurus dengan meningkatnya kerapatan kayu sehingga kekuatan kayunya juga meningkat.

Penelitian Darwis (2008) menunjukkan berat jenis kayu agatis dan

(36)

yang terpadatkan akan semakin besar sehingga volume kayu semakin berkurang.

Berat jenis kayu jabon terpadatkan pada penelitian ini berkisar antara 0,43 – 0,46. Berdasarkan pembagian kelas kuat kayu Indonesia menurut PKKI (Tabel 6), nilai berat jenis kayu jabon terpadatkan pada penelitian ini tergolong kelas kuat III yaitu 0,40 – 0,60 meningkat dari sebelum pemadatan yang hanya tergolong kelas kuat IV.

Tabel 6 Kelas kuat kayu menurut PKKI NI 5-1961 Kelas

4.3.4 Kecepatan Gelombang Ultrasonik (Vus)

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 16 diketahui bahwa nilai rata-rata kecepatan gelombang ultrasonik (Vus) kayu jabon kontrol pada pengukusan 30 menit sebesar 6096 m/detik, pengukusan 60 menit sebesar 6223 m/detik dan pengukusan 90 menit sebesar 5974

m/detik. Setelah kayu jabon terpadatkan nilai Vus mengalami penurunan 3-5%, yaitu untuk pengukusan 30 menit sebesar 5981 m/s, 60 menit sebesar

5799 m/s dan 90 menit sebesar 5780 m/s.Penurunan kecepatan gelombang ultrasonik diduga karena telah terjadi perubahan struktur sel di dalam kayu yang menyebabkan hambatan untuk perambatan gelombang ultrasonik.

(37)

Gambar 16 Histogram nilai Vus kayu jabon pada kondisi sebelum dan sesudah pemadatan

Dari Tabel 5 diketahui analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor tunggal posisi horizontal kayu, faktor tunggal perlakuan pengukusan dan interaksi keduanya tidak ada pengaruh yang nyata terhadap kecepatan gelombang ultrasonik (Vus) kayu jabon terpadatkan.

4.4 Sifat Mekanis

Sifat mekanis kayu merupakan sifat kayu yang berhubungan dengan kekuatan kayu. Pada penelitian ini sifat mekanis yang diuji adalah modulus patah (MOR), modulus lentur statis (MOE statis), modulus lentur dinamis (MOE dinamis), kekuatan tekan sejajar serat, dan kekerasan (hardness) yang nilainya tersaji dalam Tabel 7 dan selanjutnya dilakukan analisis sidik ragam yang tersaji dalam Tabel 8.

Pemadatan kayu terbukti dapat meningkatkan nilai MOE kayu jabon. Seperti penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rilatupa (2001) dan Sulistyono (2001) yang juga mengalami peningkatan nilai MOE lebih dari 100% setelah pemadatan pada suhu pengempaan optimal 125°C - 175°C, sedangkan untuk suhu pengempaan diatas 175°C cenderung menurunkan

(38)

Tabel 7 Nilai rataan sifat mekanis kayu jabon pada posisi kayu gubal,

MOEs = Modulus lentur statis MOEd = Modulus lentur dinamis σtk // Serat = kekuatan tekan sejajar serat

Tabel 8 Hasil uji statistik terhadap sifat mekanis kayu jabon pada selang kepercayaan 95%

Sumber MOR MOEs MOEd σtk // Serat Hardness

Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P

Posisi Kayu 0,6279tn 0,3615tn 0.4481tn 0,1533tn 0,0565tn

Perlakuan <.0001* <.0001* 0,0306* 0,0007* 0,4200tn

Posisi

Kayu*Pengukusan 0,9988

tn

0,9952tn 0,6366tn 0,2541tn 0,2541tn

Keterangan : * = berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% tn = tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% p = probability

(39)

kerusakan jenis cross grained tension. Gambar bentuk kerusakan kayu disampaikan pada Lampiran 3. Kerusakan ini terjadi akibat adanya gaya tarik yang arahnya miring serat. Hal ini biasa terjadi pada contoh uji yang miring serat, baik yang berupa serat diagonal, serat spiral atau yang lainnya dan terjadi di permukaan bawah balok contoh uji.

4.4.1 Pengujian Kekakuan Lentur (MOE)

Pada penelitian ini dilakukan pengujian sifat mekanis lentur secara nondestruktif dan destruktif. Pengujian nondestruktif dilakukan untuk mengetahui nilai modulus lentur dinamis (MOE dinamis) sedangkan pengujian destruktif untuk mendapatkan nilai modulus lentur statis (MOE statis) kayu jabon terpadatkan.

Gambar 17 Histogram nilai modulus lentur statis (MOE statis) dan modulus lentur dinamis (MOE dinamis) kayu jabon terpadatkan

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 17

diketahui bahwa terjadi peningkatan nilai MOE sebesar 45 % pada kayu jabon terpadatkan. Nilai MOE tertinggi dicapai pada contoh uji dengan waktu pengukusan 90 menit, yaitu 72644 kg/cm2. Pemadatan kayu terbukti dapat meningkatkan nilai MOE kayu jabon.

(40)

MOE statis kayu jabon terpadatkan, tetapi untuk faktor tunggal perlakuan pengukusan menghasilkan nilai yang berbeda nyata terhadap MOE statis kayu jabon. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai terbaik terjadi pada perlakuan pengukusan 90 menit yang hasilnya berbeda nyata terhadap MOE statis kontrol. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan sebelum pengempaan mampu meningkatkan nilai MOEs kayu jabon terpadatkan. Semakin tinggi nilai MOE maka semakin tahan kayu tersebut terhadap perubahan bentuk.

Pada Gambar 17 nilai MOE dinamis kayu jabon terpadatkan tertinggi dicapai pada contoh uji dengan waktu pengukusan 90 menit, yaitu sebesar 166666 kg/cm2. Pada penelitian ini rata-rata nilai MOE dinamis yang didapat lebih besar 144 % dibandingkan nilai MOE statisnya. Hasil ini sejalan dengan penelitian sejenis yang dilakukan oleh Karlinasari et al. (2006) untuk kayu cepat tumbuh sengon, meranti, manii, dan mangium yang menunjukkan nilai MOE dinamis kayu-kayu tersebut lebih tinggi 50% dari MOE statisnya. Hal ini disebabkan karena faktor sifat visko elastis bahan dan pengaruh efek rangkak (creep) pada pengujian secara defleksi (Bodig dan Jayne 1982).

Halabe et al. (1995) diacu dalam Olivera et al. (2002) menyatakan bahwa pengujian destruktif membutuhkan selang waktu lebih lama daripada pengujian nondestruktif dengan pembebanan yang terus meningkat sampai contoh uji patah. Semakin lama pengujian berlangsung maka lebih banyak gaya elastis yang hilang. Sementara itu, pengujian nondestruktif dengan metode perambatan gelombang ultrasonik hanya memerlukan waktu yang lebih singkat. Hal inilah yang menyebabkan nilai MOE dinamis lebih besar daripada MOE statis.

(41)

nilai terbaik terjadi pada perlakuan pengukusan 90 menit yang hasilnya berbeda nyata terhadap MOE dinamis kontrol. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan sebelum pengempaan mampu meningkatkan nilai MOEd kayu jabon yang dipadatkan.

4.4.2 Pengujian Kekuatan Lentur (MOR)

Seperti halnya MOE, pemadatan juga mampu meningkatkan nilai MOR beberapa kali lipat dari kayu awalnya. Berat jenis kayu yang meningkat diduga menjadi faktor utama peningkatan nilai MOR kayu jabon. Dari Gambar 18 dapat dilihat pada contoh uji pengukusan 90 menit nilai MOR mengalami kenaikan sampai 801,88 kg/cm2 atau sekitar 36 % dari kayu kontrol yang hanya memiliki nilai MOR 589,92 kg/cm2.

Gambar 18 Histogram nilai modulus patah (MOR) kayu jabon terpadatkan

Berdasarkan Tabel 8 analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak ada interaksi yang nyata antara kedua faktor perlakuan (posisi horizontal kayu dan lama pengukusan) terhadap nilai MOR kayu jabon terpadatkan. Namun, faktor tunggal perlakuan

(42)

terhadap MOR kontrol. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan sebelum pengukusan mampu meningkatkan nilai MOR kayu jabon yang dipadatkan. Semakin tinggi nilai MOR maka kemampuan kayu untuk menahan beban atau gaya luar yang bekerja padanya akan semakin meningkat.

Hasil perhitungan MOR tersebut dikelompokkan kelas kekuatannya berdasarkan PKKI NI 5-1961 (Tabel 6). Berdasarkan kriteria tersebut maka kisaran nilai MOR antara 761,18 kg/cm² sampai 801,88 kg/cm² (725 - 1100 kg/cm²) tergolong dalam kelas kuat II.

4.4.3 Keteguhan Tekan Sejajar Serat

Pada Gambar 19 dapat terlihat nilai keteguhan sejajar serat hasil pemadatan meningkat dari 410,31 kg/cm² sampai 432 kg/cm². Peningkatan nilai keteguhan sejajar serat pada penelitian ini mencapai ±21% dari kayu kontrol. Nilai terbesar terjadi pada contoh uji dengan pengukusan 90 menit. Keteguhan tekan sejajar serat termasuk salah satu sifat mekanis kayu yang besarnya ditentukan terutama oleh berat jenisnya.

Gambar 19 Histogram nilai keteguhan tekan sejajar serat kayu jabon terpadatkan

(43)

tekan sejajar serat kayu jabon terpadatkan. Namun, faktor tunggal perlakuan pengukusan menghasilkan nilai berbeda nyata terhadap peningkatan nilai tekan sejajar serat kayu jabon yang dipadatkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai terbaik terdapat pada perlakuan pengukusan 90 menit yang hasilnya berbeda nyata terhadap nilai tekan sejajar serat kayu kontrol. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan sebelum pengempaan mampu meningkatkan nilai keteguhan tekan sejajar serat kayu jabon yang dipadatkan.

Pada umumnya peningkatan nilai keteguhan tekan sejajar serat pada penelitian ini membuktikan bahwa pemadatan kayu menyebabkan struktur sel kayu menjadi lebih padat dan merata pada setiap bagian kayu yang dipadatkan. Hasil keteguhan tekan sejajar serat tersebut dikelompokkan kelas kekuatannya berdasarkan PKKI NI 5-1961 (Tabel 6). Berdasarkan kriteria tersebut maka keteguhan tekan sejajar serat kayu jabon terpadatkan yang berkisar antara 410,31 kg/cm² sampai 432 kg/cm² termasuk dalam kelas kuat III dan II.

4.4.3 Kekerasan (Hardness)

Pada Gambar 20 nilai kekerasan kayu jabon yang diberi perlakuan

pengukusan selama 90 menit mengalami peningkatan paling besar. Peningkatan yang terjadi setelah kayu dipadatkan yaitu dari 307,58 kg/cm² sampai 342 kg/cm² pada bidang tangensial. Peningkatan nilai kekerasan ini disebabkan rongga sel kayu menyempit, rata dan merapat akibat pemadatan.

(44)

Gambar 20 Histogram nilai kekerasan bidang tangensial dan radial kayu jabon terpadatkan

(45)

5.1Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1. Teknologi pemadatan pada kayu jabon dengan target pemadatan 20% dari tebal dapat memperbaiki sifat fisis mekanis kayu jabon terutama kerapatan yang meningkat ±11% dan kekuatan lentur (MOR) hingga meningkat ±35%.

2. Semakin lama waktu pengukusan sebelum pengempaan maka semakin tinggi nilai sifat mekanisnya (MOE, MOR, tekan sejajar serat, dan kekerasan) pada kayu jabon yang dipadatkan.

3. Variasi posisi kayu yaitu gubal, transisi dan teras tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan sifat mekanis kayu jabon terpadatkan.

4. Perlakuan pendahuluan pengukusan hingga 90 menit dalam autoklaf efektif meningkatkan sifat mekanis kayu.

5. Kayu jabon terpadatkan memiliki karakteristik permukaan yang lebih gelap, lebih mengkilap dan lebih halus dibandingkan dengan kayu

utuhnya.

6. Pada penelitian ini kayu jabon terpadatkan telah meningkatkan kelas kuat jabon dari kelas kuat IV menjadi kelas kuat III (0,4 – 0,6) dilihat dari berat jenisnya dan jika dilihat dari nilai MOR dan tekan sejajar seratnya meningkat menjadi kelas kuat II berdasarkan PKKI NI 5-1961.

5.2Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah:

(46)

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan kayu yang lebih padat dengan meningkatkan target ketebalan kayu terpadatkan.

(47)

[

Anthocephalus cadamba

(Roxb.) Miq.]

DENGAN METODE PEMADATAN

RAKHMAT HIDAYAT

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Y dan W Dwianto. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap Air terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan menggunakan Close System Compression. J. Ilmu dan Kayu Tropis 4 (2). 55-60. Bogor.

Bodig, J and BA. Jayne. 1982. Mechanics of Wood and Wood Composites. Van Nostrand Reinhold Company. New York.

Bowyer JL, R Shmulsky and JG Haygreen. 2003. Forest Products and Wood Science: An Introduction. Four Edition. Iowa: Iowa State Press.

Dallwitz, MJ, TA Paine and EJ Zurcher. 1995. ‘User’s Guide to Intkey: a Program for Interactive Indetification and Information Retrieval. First edition. http://biocollections.org/delta/ [15 April 2012]

Darwis, A. 2008. Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan Pada Arah Radial Serta Observasi Struktur Anatominya. [Thesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2010. Statistik Kehutanan Indonesia 2009. Jakarta: Departemen Kehutanan.

Dwianto W, F Tanaka, M Inoue, and M Norimoto. 1996. Crystallinity Changes of Wood by Heat or Steam Treatment. Wood Research. No 83: 47-49.

Dwianto, W. 1999. Mechanism of Permanent Fixation of Radial Compressive Deformation of Wood by Heat or Steam Treatment. Doctor Thesis, Kyoto University. Unpublished.

Hartono, R. 2008. Pemadatan Kayu (Wood Densification). Tugas Mata Kuliah Mekanika Kayu dan Komposit. Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Haygreen JG, R Shmulsky, and JL Bowyer. 2003. Forest Products and Wood Science, An Introduction. USA: The Lowa State University Press.

Inoue M, M Norimoto, M Tanahashi, and RM Rowell. 1993. Wood and Fiber Science 25(3): 224-235.

Inoue M, T Morioka, M Norimoto, RM Rowell, G. Egawa, DV Plackett, and EA Duningham (Editor). 1992. Permanent Fixation of Compressive Deformation of Wood. (II). Mechanism of Permanen Fixation. FRI Buletin No. 176 : 181 – 189.

[JIS] Japanese Industrial Standard Z-2102. 1957. Method of Measuring Average Width of Annual Rings, Moisture Content and Specific Gravity of Wood. Japanese Standards Association. Japan.

(49)

[JIS] Japanese Industrial Standard Z-2113. 1963. Method of Bending Test of Wood. Japanese Standards Association. Japan.

Kollmann, FFP and WA Cote. 1968. Principles of Wood Science and Technology. Volume I. Spring Verlag. Berlin.

Kollmann, FFP, EW Kuezi and AJ Stamm. 1975. Principles of Wood Science and Technology. Volume II. Spring Verlag. Berlin

Karlinasari L, S Surjono, N Naresworo, dan YS Hadi. 2006. Pengujian Nondestruktif Gelombang Ultrasonik pada Balok Tiga Jenis Kayu Tanaman Indonesia. Jurnal Teknologi Hasil Hutan 19 (1): 15-22.

Malik SAM, HMA Al-Matterneh dan MF Nurudin. 2002. Review of Nondestructive Testing and Evaluation on Timber, Wood and Wood Product. Dalam Prosiding: The 7th World Conference on Timber Engineering. 12-15 Agustus 2002. Shah Alam. Malaysia. Hal: 346-353.

Mansur I, dan FD Tuheteru. 2010. Kayu Jabon. Bogor: Penebar Swadaya.

Mardikanto TR, L Karlinasari dan ET Bahtiar. 2011. Sifat Mekanis kayu. Bogor: IPB Press.

Martawijaya A, K Iding, K Kosasih, dan AP Soewanda. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Martawijaya A, I Kartasujana, K Kadir, dan SA Prawira. 1992. Indonesian Wood Atlas Vol. I. AFPRDC, AFRD, Dept. of Forestry, Bogor, Indonesia

Murhofiq, S. 2000. Pengaruh Pemadatan Arah Radial Disertai Suhu Tinggi terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salibs) dan Sengon (Paraserianthes falcataria (l.) Nielsen). [Skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. IPB.

Oliveira, FGR, JAO de Campos, and A Sales. 2002. Evaluation of Mechanical Properties of Wood Using Ultrasonic Measurements. Dalam Prosiding: The 7th World Conference on Timber Engineering. 12-15 Agustus 2002. Shah Alam. Malaysia. Hal: 110-117.

[PKKI] Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia. PKKI N.I-5. 1961. Departemen Pekerjaan Umum Umum dan Tenaga Listrik: Bandung.

Ramdhania, D. 2010. Perbaikan Sifat Mekanis Kayu Randu (Ceiba pentandra L.) Dengan Teknik Kompregnasi Menggunakan Tanin Limbah Kulit Kayu Akasia (Acacia mangium). [Skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. IPB.

(50)

Sandoz, J-L, Y. Benoit and L. Demay. 2000. Standing Tree Quality Assessments Using Acousto-Ultrasonic. Braunschweig.

Sandoz, J-L, Y Benoit dan L Demay. 2002. High Perfomance Timber by Ultrasonic Grading. In Proceeding: The 7th World Conference on Timber Engineering, WCTE 2002. August 12-15. Shah Alam. Malaysia. Hal. 328-333.

Smith, WR. 1989. Acoustic Properties. Concise Encyclopedia of Wood and Wood-Based Materials. A.P. Schniewind, R.W. Chan, dan M.B. Bever, Eds. Pergamon Press. Hal. 4-8.

Soerianegara I and RHMJ Lemmens (eds), 1994. Timber trees : Major Commercial Timbers. Plant resources of South - East Asia No. 5 (1) PROSEA Foundation, Bogor. Indonesia.

Sulistyono. 2001. Studi Rekayasa Teknis, Sifat Fisis, Sifat Mekanis dan Keandalan Konstruksi Kayu Agatis (Agathis loranthifolia Salisb) Terpadatkan. [Thesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sumardi. 2000. Kompregnasi Phenol Formaldehida Sebagai Usaha Peningkatan Kualitas Kayu Sawit (Elaeis guineensis Jacq). [Thesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Thelandersson S, and HJ Larsen. 2003. Timber Engineering. West Sussex: John Wiley and Sons.

Tomme, F. PH, F Girrardet, B Gfeller, and P Navi. 1998. Densified Wood : an Iinnovative Product With Highly Enhanched Character. Proceeding 5th Word Conference on timber Engineering vol. 2. Montreux Switzerland : 641 – 647.

(51)

[

Anthocephalus cadamba

(Roxb.) Miq.]

DENGAN METODE PEMADATAN

RAKHMAT HIDAYAT

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(52)

[

Anthocephalus cadamba

(Roxb.) Miq.]

DENGAN METODE PEMADATAN

RAKHMAT HIDAYAT E24061291

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Gambar

Tabel 5 Hasil analisis sidik ragam terhadap sifat fisis kayu jabon setelah perlakuan pada selang kepercayaan 95%
Gambar 14 Histogram nilai kerapatan kayu jabon pada kondisi sebelum dan sesudah pemadatan
Gambar 15 Histogram nilai berat jenis kayu jabon pada kondisi sebelum dan sesudah pemadatan
Gambar 16 Histogram nilai Vus kayu jabon pada kondisi sebelum dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

pula halnya dalam belajar dribling dengan kaki bagian luar pada permainan sepak bola.. Dimana peran guru yang merupakan fasilitator, memfasilitasi proses pembelajaran

Dari hasil simulasi menggunakan Evolutionary Programming didapatkan hasil penempatan Node B HSDPA dengan nilai fitness sebesar 55329, ini berarti sistem dapat meng-cover 85.66%

Berdasarkan dari rumusan masalah dan hasil penelitian mengenai pengaruh peningkatan kemampuan gerak motorik kasar anak tunagrahita (downdyndrome) di SLB C Negeri Tulungagung

M#5 dapat menggunakn transfer pricing untuk menyembunyikan profitabilitas yang sebenarnya, yaitu dengan transfer orice yang tinggi dari suatu afiliasi ke afiliasi yang lain,

Kegiatan visualisasi Peta Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) di wilayah Kelurahan Lowokwaru berbasiskan mobile SIG dilakukan menggunakan data spasial berupa

Perubahan pola penggunaan lahan memberi dampak pada pengurangan kapasitas resapan, terutama dilihat dari proporsi perubahan luasan pertanian ini dikawasan

Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Perilaku Asertif Remaja Akhir SMA 1 Semarang.. Universitas

Berdasarkan masalah tersebut penulis tertarik untuk merancang bangun sistem informasi berbasis web guna memudahkan dalam hal mengakses informasi yang berhubungan