• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluation of Compartments Using in Floating Cage Culture On The Level of Stress and Growth of Spiny Lobsters Panulirus homarus.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluation of Compartments Using in Floating Cage Culture On The Level of Stress and Growth of Spiny Lobsters Panulirus homarus."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PEMANFAATAN KOMPARTEMEN DI

KERAMBA JARING APUNG TERHADAP TINGKAT STRES

DAN PERTUMBUHAN LOBSTER PASIR

Panulirus homarus

DUDI LESMANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Pemanfaatan Kompartemen di Keramba Jaring Apung Terhadap Tingkat Stres dan Pertumbuhan Lobster Pasir Panulirus homarus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

DUDI LESMANA. Evaluasi Pemanfaatan Kompartemen di Keramba Jaring Apung Terhadap Tingkat Stres dan Pertumbuhan Lobster Pasir Panulirus homarus. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan KUKUH NIRMALA.

Masih ditemukan kelemahan pada budidaya lobster pasir yaitu tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang rendah, hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti tingkat stres yang ditimbulkan dari media budidaya yang digunakan seperti pemeliharaan lobster pasir di jaring tanpa menggunakan shelter, padahal shelter berguna sebagai tempat berlindung dari kanibalisme. Sehingga diperlukan inovasi pengembangan wadah budidaya lobster yang dapat meninimalisir tingkat stres dan meningkatkan pertumbuhan seperti membuat kompartemen khusus yang di lengkapi dengan shelter.

Kompartemen pada penelitian ini dibuat dari fiber berbentuk kubus yang digantungkan dalam keramba jaring apung dan lobster pasir yang digunakan pada penlitian ini berukuran ± 50gr/ekor yang berasal dari tangkapan nelayan sekitar perairan Pelabuhan Ratu. Adapun pakan yang diberikan berupa pakan ikan rucah jenis ikan tembang dengan kadar protein 63.22% dan pemeliharaan lobster pasir dilakukan selama 30 hari.

Parameter uji yang diamati selama penelitian terdiri atas tingkat stres (kadar kortisol dan glukosa dalam hemolim), laju pertumbuhan relatif, laju pertumbuhan spesifik, tingkat kelangsungan hidup, tingkah laku dan kualitas perairan. Perlakuan pada penelitian ini terdiri dari perlakuan kontrol (K) dimana lobster pasir dipelihara di jaring tanpa menggunakan kompartemen dan shelter dengan kepadatan 20 ekor/m2, perlakuan KM1 dimana lobster pasir dipelihara menggunakan kompartemen dan shelter dengan kepadatan 25 ekor/m2 dan perlakuan KM2 dimana lobster pasir dipelihara menggunakan kompartemen dan shelter dengan kepadatan 50 ekor/m2. Data kadar kortisol, glukosa, pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup, dianalisis menggunakan ANOVA dengan uji lanjut menggunakan uji Tukey. Adapun software yang digunakan untuk analisis data adalah MINITAB 16.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat stres lobster pasir tertinggi adalah pada perlakuan kontrol, hal ini terlihat dari tingginya kadar kortisol (1.59±0.28 nmol/l) dan kadar glukosa (17.13±1.27mg/dl), sedangkan terendah adalah pada perlakuan KM1 dengan kadar kortisol (1.17±0.14 nmol/l) dan kadar glukosa (8.34±0.5 mg/dl). Tingkat kelangsungan hidup tertinggi adalah pada perlakuan KM2 (95±0.03%) dan terendah pada perlakuan kontrol (62.50±0.02%). Pengamatan pertumbuhan meliputi laju pertumbuhan relatif dan laju pertumbuhan spesifik, dimana laju pertumbuhan relatif (26.29±1.69%) dan laju pertumbuhan spesifik (0.77±0.014) pada perlakuan KM1 adalah tertinggi, sedangkan laju pertumbuhan relatif (13.51±4.47%). dan laju pertumbuhan spesifik (0.42±0.13) terendah adalah pada perlakuan KM2.

(5)

Laju pertumbuhan relatif memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat stres, hal ini terlihat dari menurunnya kadar kortisol dan glukosa ketika ada peningkatan laju pertumbuhan relatif. Kadar kortisol dan glukosa pun memiliki hubungan yang positif, dimana peningkatan kadar kortisol diikuti oleh peningkatan kadar glukosa, hal ini sesuai dengan pendapat Hemre and Krogdahl (1996) dan Falahatkar and Barton (2007) bahwa kortisol dapat meningkatkan kadar glukosa pada hemolim, gangguan pada sekresi kortisol dapat mengubah respon nilai glukosa dan peningkatan glukosa dapat dikaitkan dengan perbedaan mekanisme aksi dari kortisol.

Lobster pasir yang dipelihara menggunakan kompartemen menunjukkan pola tingkah laku yang normal seperti berlindung pada shelter pada pagi sampai dengan siang hari, bergerombol antar sesama, mengambil pakan walaupun pakan diberikan pada pagi dan siang hari, sebagian lobster ada yang membawa pakan tersebut ke dalam shelter, merambat ke atas kompartemen dan melakukan aktivitas molting

(6)

SUMMARY

DUDI LESMANA. Evaluation of Compartments Using in Floating Cage Culture On The Level of Stress and Growth of Spiny Lobsters Panulirus homarus. Supervised by EDDY SUPRYONO and KUKUH NIRMALA.

Still found weaknesses in survival rates and low productivity of spiny lobster, it is thought to be influenced by environmental factors such as stress levels arising from the cultivation of media used such as maintenance of the spiny lobster captured without the use of shelters, but shelter is useful as a shelter of cannibalism. So that the necessary development innovation of lobster container that can minimalized of stress levels and increase productivity such as making special compartment equipped with shelter.

Compartments in this study is made of fiber-shaped cube that hung in floating net cages and lobster-sized used is ± 50gr/lobster derived from fishermen around the waters of Pelabuhan Ratu with the feed is trash fish with protein levels of 63.22%. Maintenance performed using a compartment in floating cages for 30 days.Test parameters were observed during the study consisted of the level of stress (kortisol and glucose levels in the hemolim), survival rates, weight gain, specific growth rate, behavior and quality of water. Experimental design applied in this study is completely randomized design. Treatments of this study consisted of (1) control treatment (K) that spiny lobsters were kept/cultivated in nets that did not use compartment and shelter with density of 20 lobster/m2, (2) KM1 treatment that spiny lobsters were cultivated used compartment with density of 25 lobsters/m2 and (3) KM2 treatment that spiny lobsters were cultivated used compartment and shelter with density 50 lobster /m2. Data of cortisol glucose and levels, survival and growth, were analyzed using ANOVA and with helped of software MINITAB 16.

The results showed that the highest stress levels of spiny lobsters was found in control treatment, it was shown by the high levels of cortisol (1.59±0.28 nmol/l) and glucose (17.13±1.27 mg/dl), while the lowest stress levels was found in KM1 treatment with cortisol (1.17±0.14 nmol/l) and glucose level (8.34±0.5 mg/dl). The highest survival rate of spiny lobsters was found in KM2 treatment (95±0.03%) and the lowest survival rate was found in the control treatment (62.50 ±0.02%). The highest weight gain (26.29±1.69%) and highest specific growth rate (0.77±0.014%) were found in KM1 treatment, while the lowest weight gain (13.51±4.47%) and lowest specific growth rate (0.42±0.13%) was found in KM2 treatment. Spiny lobsters growths were cultivated using compartments and shelters was better than without using compartments and shelters. Spiny lobsters cultivated in floating nets without using compartments and shelters tend to be more stressful and caused decreasing of the growth and survival rates.

(7)

can be attributed to differences in the mechanism of action of cortisol. Spiny lobsters cultivated using compartment showed normal behavior patterns such refuge in shelters in the morning until noon, huddled among others, took the feed even though the feed was given in the morning and during the day, mostly lobster there that bring the feed into the shelter, creeping to the upper compartment and moulting activities.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

EVALUASI PEMANFAATAN KOMPARTEMEN DI

KERAMBA JARING APUNG TERHADAP TINGKAT STRES

DAN PERTUMBUHAN LOBSTER PASIR

Panulirus homarus

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)
(12)

Judul Tesis : Evaluasi Pemanfaatan Kompartemen di Keramba Jaring Apung Terhadap Tingkat Stres dan Pertumbuhan Lobster Pasir Panulirus homarus

Nama : Dudi lesmana

NRP : C151110211

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Eddy Supriyono, MSc Ketua

Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr Ir Sukenda, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Evaluasi Pemanfaatan Kompartemen di Keramba Jaring Apung Terhadap Tingkat Stres dan Pertumbuhan Lobster Pasir Panulirus homarus.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Eddy Supriyono dan Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada rekan-rekan yang banyak membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri dan anak-anak serta seluruh keluarga dan sahabat, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(14)

xiii

Kepadatan, Pertumbuhan, Kelangsungan Hidup dan Kualitas Air 4 Kadar Kortisol dan Glukosa Krustasea (Indikator Respon Terhadap

Stres) 6

Keramba Jaring Apung dan Kompartemen 8

3 METODE 9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Tingkat stres lobster pasir 12

Kadar Kortisol 12

Pola Hubungan Antara Pertumbuhan dan Tingkat Stres 15

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

1 Metode Analisis Kualitas Air 10

2 Pola tingkah laku lobster pasir selama pemeliharaan 16

DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi Panulirus homarus 3

2 Rerata kadar kortisol lobster pasir pada setiap perlakuan 12 3 Rerata kadar glukosa lobster pasir pada setiap perlakuan 13 4 Laju pertumbuhan relatif lobster pasir pada setiap perlakuan 14 5 Laju pertumbuhan spesifik lobster pasir pada setiap kepadatan 15 6 Tingkat kelangsungan hidup lobster pasir pada setiap perlakuan 15 7 Pola hubungan antara pertumbuhan dengan tingkat stres 16

8 Data suhu harian 17

9 Data salinitas harian 17

10 Data pH harian 18

11 Data DO harian 18

12 Data rata-rata kualitas air 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pengambilan hemolim di bagian pleopod lobster pasir 25

2 Prosedur analisis glukosa hemolim 25

3 Prosedur spektrofotometri pengukuran kadar glukosa 25 4 Kadar glukosa lobster pasir pada setiap perlakuan 26 5 Kadar kortisol lobster pasir pada setiap perlakuan 26 6 Pertumbuhan relatif lobster pasir pada setiap perlakuan 27 7 Laju pertumbuhan spesifik lobster pasir pada setiap perlakuan 27 8 Tingkat kelangsungan hidup lobster pasir pada setiap perlakuan 27 9 Analisis ragam dan uji lanjut untuk kadar kortisol lobster pasir pada

setiap perlakuan 27

10 Analisis ragam dan uji lanjut untuk kadar glukosa lobster pasir pada

setiap perlakuan 29

11 Analisis ragam dan uji lanjut untuk laju pertumbuhan relatif lobster pasir

pada setiap perlakuan 29

12 Analisis ragam dan uji lanjut untuk laju pertumbuhan spesifik lobster

pasir pada setiap perlakuan 29

13 Analisis ragam dan uji lanjut untuk tingkat kelangsungan hidup lobster

(16)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lobster pasir (Panulirus homarus) merupakan komoditas ekspor dengan nilai ekonomis tinggi dan banyak tertangkap di perairan Indonesia. Lobster pasir sangat diminati oleh pasar setelah spesies lobster mutiara (Panulirus ornatus). Permintaan pasar akan lobster pasir sangat signifikan dan terus meningkat, harga yang dibayarkan ke eksportir cukup baik; P. homarus dihargai Rp 250,000-Rp 300,000/kg (Suastika et al. 2008).

Permintaan pasar yang meningkat ini berdampak terhadap peningkatan eksploitasi lobster pasir di alam, yang apabila tidak dikendalikan dapat mengarah pada overfishing dan penurunan jumlah lobster di perairan. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), tercatat terjadi penurunan udang tangkapan (udang+lobster) sebesar 2.97% untuk periode tahun 2007-2011, produksi udang tangkapan (udang+lobster) pada tahun 2007 adalah sebesar 258.98 ton, menurun menjadi 228.87 ton pada tahun 2011. Untuk menghindari kegiatan overfishing ini beberapa nelayan mulai membudidayakan lobster pasir di keramba jaring apung.

Kegiatan budidaya lobster di keramba jaring apung (KJA) mulai berkembang baik di Indonesia dan negara lain, seperti Selandia Baru. Usaha pembesaran lobster di Kabupaten Lombok menggunakan KJA masih terdapat kelemahan, yaitu KJA tidak dilengkapi shelter dan tingkat kelangsungan hidup yang dicapai masih rendah (40-50%) (Suastika et al. 2008). Begitupun dengan usaha pembesaran lobster pasir di Kabupaten Sukabumi, lobster dipelihara langsung di dalam jaring tanpa shelter dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 40-60%.

(17)

2

Perumusan Masalah

Lobster pasir P. homarus sudah mulai dibudidayakan di beberapa wilayah Indonesia seperti Kabupaten Lombok dan Sukabumi. Dalam perkembangannya, seringkali tingkat kelangsungan hidupnya rendah. Hal ini diduga berkaitan dengan besarnya pengaruh faktor eksternal (wadah budidaya) dan internal (tingkat stres). Oleh sebab itu, diperlukan penelitian yang dapat menimimalisir tingkat stres dan menghasilkan tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang baik dengan memanfaatkan kompartemen dan shelter pada saat pemeliharaan. Dengan demikian dapat disimpulkan apakah pemanfaatan kompartemen ini berdampak pada tingkat stres dan pertumbuhan P. homarus.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis keragaan kortisol dan glukosa (indikator stres) lobster pasir dalam merespon penggunaan kompartemen, menganalisis laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup lobster pasir, dan mengevaluasi tingkah laku lobster pasir selama pemelihaaraan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah bagi masyarakat tentang tingkat stres dan pertumbuhan lobster pasir (P. homarus) yang dipelihara menggunakan kompartemen dan shelter, sehingga dapat membantu para pembudidaya dalam meningkatkan produktivitas lobster pasir saat panen.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah diduga ada pengaruh pemanfaatan kompartemen dan kepadatan terhadap tingkat stres dan laju pertumbuhan dari lobster pasir P. homarus.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi

Panulirus homarus

Lobster pasir Panulirus homarus merupakan salah satu Spiny lobster dengan klasifikasi menurut Wikipedia (2012) adalah sebagai berikut:

(18)

3

Ordo : Decapoda

Famili : Palinuridae Genus : Panulirus

Species : Panulirus homarus

Lobster pasir dapat diidentifikasi dengan melihat pola-pola pewarnaan tubuh, ukuran dan bentuk kepala. Selain itu, pola-pola duri di kepala, dapat juga dijadikan sebagai tanda spesifik dari setiap jenis lobster. Lobster pasir mudah dibedakan dari jenis udang lain, karena kulitnya yang kaku dan keras dan berwarna indah, sedangkan kulit udang biasa tipis, bening dan tembus cahaya. Kulit Lobster pasir yang keras dan berwarna indah sebenarnya tidak mengandung zat-zat warna hidup. Sifat-sifat pewarnaan yang indah sebenarnya disebabkan oleh zat warna yang dipancarkan oleh butir-butir warna (chromatoblast) pada lapisan kulit lunak yang ada dibawahnya (Subani 1978)

Bentuk fisik lobster pasir hampir sama dengan jenis udang karang lainya yaitu secara umum terdiri atas dua bagian yaitu bagian depan disebut (cephalotorax) dan bagian belakang disebut abdomen. Seluruh tubuh lobster dilindungi oleh kerangka luar (cangkang) yang keras dan terbagi atar ruas-ruas. Bagian depan (kepala dan dada) terdiri atas tiga belas ruas dan bagian badan terdiri atas enam ruas. Pada bagian kepala (rostrum) terdapat organ seperti rahang (mandibula), insang, mata majemuk, antenulla, antenna dan lima pasang kaki jalan (pereiopoda). Pada bagian badan terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda) dan sirip ekor (uropoda) (Gambar 1).

Lobster pasir memiliki dua buah antena, dimana antena kesatu lebih kokoh, panjang dan ditutupi duri yang berfungsi sebagai perlindungan. Hal ini terlihat saat lobster merasa terancam, yaitu dengan reaksi menyilangkan kedua antena tersebut. Antena yang kedua berukuran lebih pendek, tidak berduri, bercabang dan lebih halus. yang berfungsi sebagai indera perasa yang cukup peka terhadap rangsangan suara, cahaya dan bau (Subani 1978)

(19)

4

Kepadatan, Pertumbuhan, Kelangsungan Hidup dan Kualitas Air

Kepadatan, pertumbuhan, kelangsungan hidup dan kualitas air adalah parameter yang selalu berkaitan satu sama lain. Padat penebaran erat kaitannya dengan produksi dan pertumbuhan ikan (Hickling 1971). Hepher dan Pruginin (1981) menyatakan hasil panen per unit area merupakan fungsi dari laju pertumbuhan dan padat penebaran. Ketika pertumbuhan yang terjadi tidak dipengaruhi oleh padat tebar ikan, maka hasil akan meningkat secara linier sejalan dengan peningkatan padat tebar. Pada titik ketika intake pakan hanya mencukupi untuk pemeliharaan tubuh namun tidak cukup untuk pertumbuhan, maka peningkatan padat tebar dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan. Selama penurunan pertumbuhan tersebut tidak terlalu besar dibandingkan peningkatan padat tebar maka hasil akan tetap meningkat meski tidak terjadi secara linier. Ketika penurunan pertumbuhan yang terjadi semakin besar maka penurunan hasil akan terjadi hingga mencapai tingkat pertumbuhan nol. Hal ini berarti bahwa hasil ikan yang ditebar mendekati nilai carrying capacity atau daya tampung maksimum wadah budidaya.

Secara definisi, pertumbuhan merupakan perubahan ukuran, baik bobot maupun panjang dalam suatu periode atau waktu tertentu dan kelangsungan hidup suatu populasi merupakan nilai persentase jumlah organisme yang hidup dari jumlah yang ditebar dalam suatu wadah selama masa pemeliharaan tertentu (Effendie 1997). Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor utama: (1) faktor internal yang berkaitan dengan organisme itu sendiri meliputi karakteristik genetik dan kondisi fisiologis, serta (2) faktor eksternal yang berkaitan dengan lingkungan diantaranya komposisi kimia air, suhu, tingkat metabolisme, ketersediaan oksigen dan pakan. Pertumbuhan akan terhenti saat mencapai carrying capacity jika ketersediaan pakan hanya cukup untuk pemeliharaan tubuh, namun tidak mencukupi untuk pertumbuhan. Untuk menjaga tingkat potensial pertumbuhan terhadap critical standing crop (CSC), jumlah pakan harus ditingkatkan atau dengan penambahan food suplement. Cara lain untuk menjaga tingkat potensial pertumbuhan adalah dengan mengurangi tingkat kepadatan (Hepher and Pruginin 1981).

Tingkat kelangsungan hidup lobster menentukan jumlah produksi yang diperoleh. Kepadatan yang tinggi akan mengakibatkan menurunnya kualitas air terutama kandungan oksigen terlarut dan konsentrasi amoniak. Penurunan kualitas air bisa menyebabkan stres pada lobster, bahkan apabila penurunan mutu air telah melampaui batas toleransi maka akan berakibat pada kematian. Selain itu penurunan mutu air juga dapat mempengaruhi nafsu makan. Saat nafsu makan berkurang, asupan pakan ke dalam tubuh ikan pun berkurang sehingga energi untuk pemeliharaan dan pertumbuhan tidak terpenuhi. Hal ini bila berlangsung lama akan menyebabkan kematian (Effendi 2004).

(20)

5

nutrisi serta ruang gerak. Pertumbuhan, kelangsungan hidup, produksi dan konversi pakan dapat diperbaiki dengan adanya penambahan substrat tambahan atau habitat buatan dalam wadah. Adanya shelter memudahkan lobster untuk mencari perlindungan saat molting, sehingga bisa memacu pertumbuhan karena pertumbuhan lobster ini tidak akan terjadi tanpa didahului dengan ganti kulit atau molting.

Lobster mengalami pergantian kulit selama hidupnya sehingga panjang tubuhnya bertambah panjang. Aktivitas molting pada lobster berfungsi selain untuk merangsang atau mempercepat pertumbuhan, juga untuk proses pematangan gonad terutama pada induk, sehingga akan cepat menghasilkan telur. Molting juga untuk menumbuhkan kembali bagian tubuh yang rusak atau patah. Kaki atau capit yang patah akan tumbuh normal kembali dengan cepat setelah molting. Namun demikian kaki yang patah tersebut tidak sebesar kaki yang belum patah.

Sebagai hewan dengan eksekleton (kerangka luar), lobster perlu mengganti kerangkanya tersebut bila tumbuh membesar, hal ini dilakukan lobster karena kerangka luarnya tidak ikut tumbuh. Untuk itu lobster perlu harus keluar dari kerangka lamanya dan membentuk kerangka baru. Molting merupakan proses yang rumit. Dalam perjalannya proses ini melalui proses-proses yang bersifat hormonal.

Laju pertumbuhan lobster secara internal tergantung pada kelancaran proses ganti kulit dan tingkat kerja osmotik (osmoregulasi) uang dialaminya (Hartnoll 1982). Proses ganti kulit dan osmoregulasi dikontrol oleh kerja sistem neuroendokrin yaitu: (a) Molt Inhibiting Hormone (MIH) dan hormon osmoregulasi yang dikeluarkan oleh sel-sel neurosekresi organ-X dan kelenjar sinus pada tangkai mata serta organ periokardial; (b) krustekdison atau Molt Accelerating Hormone (MAH) yang dikeluarkan oleh organ-Y yang terletak dibagian posterior rahang atas.

Sedangkan menurut Quackenbush (1986), diketahui bahwa ada 2 faktor yang mempengaruhi molting pada krustasea yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal diantaranya; adanya stressor, nutrisi, photoperiod dan temperatur sedangkan faktor internal terkait dengan produksi hormon ekdisteroid dan Molt Inhibiting Hormone (MIH). Pelepasan hormon ekdisteroid oleh organ-Y yang bervariasi berdasarkan stadium yang dilaluinya dalam siklus ganti kulit dan juga tergantung pada kadar hormon ekdisteroid yang terdapat dalam hemolim.

(21)

6

mengaktifkan enzim cAMP-fosfodiesterase membentuk 5 AMP, sehingga produksi ekdison dapat ditingkatkan kembali. Kenaikan kadar kalsium pada awal ganti kulit dan akan turun kembali pada saat ganti kulit , keadaan ini berhubungan dengan perubahan ekdisteroid hemolim.

Keberhasilan usaha budidaya lobster pasir di keramba jaring apung tidak dapat terlepas dari kondisi lingkungan sekitarnya, terutama kualitas air sebagai media yang secara langsung mempengaruhi aktivitas budidaya lobster pasir. Kisaran nilai optimum oksigen terlarut bagi pertumbuhan krustasea adalah 5 mg/l. Meskipun demikian, kandungan oksigen telarut 4.21 hingga 5.43 mg/l masih dapat memberikan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang baik (Boyd 1982).

Tingkat pertumbuhan antar spesies lobster bervariasi, suhu air sangat mempengaruhi pertumbuhan juvenil lobster. Secara umum lobster dalam air hangat dapat tumbuh pada tingkat tercepat. Berbagai macam suhu telah ditolerir oleh lobster. Suhu di atas ambien (tetapi sampai maksimum) biasanya menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat, lebih besar daripada yang terlihat di alam liar. Menurut (Philips and Kiitaka 2000), pertumbuhan optimal dalam juvenil terjadi pada sekitar 18-200C (untuk J. edwardsii dari Australia) sampai 29-300C (P.argus dari Antigua). Pertumbuhan yang lebih cepat terutama berasal dari frekuensi molting yang tinggi.

Lobster pasir merupakan biota air yang dapat mentolerir nilai salinitas, karena lobster pasir merupakan spesies palinurid poikilosmotik yaitu masih bisa mentolerir salinitas diperairan laut sampai 20% dibawah salinitas laut selama beberapa hari. Salinitas air laut yang mempengaruhi rasa daging lobster berduri (Philips and Kiitaka, 2000). Kebutuhan oksigen lobster juga akan meningkat saat mengkonsumsi makanan dan kebutuhan oksigen pada malam hari jauh lebih tinggi dibandingkan siang hari. Tingkat oksigen yang rendah (0.5 dan 3.0 mg/l) dapat mematikan lobster. (Philips and Kiitaka 2000).

Kadar Kortisol dan Glukosa Krustasea (Indikator Respon Terhadap Stres)

Stres adalah fenomena biologi yang non-spesifik dari suatu perubahan lingkungan atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi daya adaptasi homeostasis, dimana konstalasi proses perubahan secara stabil tersebut akan mempengaruhi proses fisiologis yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan fisik bahkan kematian (Pickering 1981). Lebih lanjut, menurut Adams (1990) mengemukakan bahwa stres didefinisikan sebagai pengaruh beberapa perubahan lingkungan yang memperluas homeostasis atau proses penstabilan diluar batas normalnya pada berbagai tingkat organisasi biologi.

Menurut Pickering (1981), penyebab stres atau stressor dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Perubahan lingkungan (environmental change), yang terdiri dari perubahan suhu, kepadatan, salinitas, perubahan tekanan air, polusi, pH, penyakit, perubahan arus air, muatan-muatan sedimen, konsentrasi DO dan ketersediaan makanan

(22)

7

c. Penangkapan (capture) dengan pukat harimau, trammel net dan gill net. Glukosa adalah karbohidrat yang memiliki peran yang besar dalam proses bioenergetika hewan, dimana akan ditransformasikan menjadi energi kimia (ATP), yang selanjutnya akan menjadi energi mekanik (Lucas 1996 in Martinez et al. 2009). Dalam kondisi suboptimum atau stres (internal atau eksternal) sel-sel akan melepaskan hormon chromaffin katekolamin, adrenalin dan noradrenalin di dalam sirkulasi hemolim. Hormon - hormon stres ini terkait mobilisasi kortisol dalam meningkatkan produksi glukosa melalui jalur glukogenesis dan glikogenolisis untuk mengatasi energi yang dihasilkan oleh stressor. Sebagian besar produksi glukosa dimediasi oleh aksi kortisol yang merangsang glukoneogenesis hati dan juga menghentikan serapan perifer gula (Wedemeyer et al. 1990 in Martinez et al 2009). Glukosa kemudian dilepaskan (dari hati dan otot) dari sirkulasi hemolim dan masuk ke dalam sel melalui aksi insulin.

Beberapa faktor dapat secara tidak langsung mengubah respon kadar glukosa dalam hemolim seperti status kelengkapan nutrisi dapat mempengaruhi respon stres dan glukosa. Perlu mempertimbangkan faktor ekstrinsik seperti diet, tahap kehidupan, waktu makan terakhir, musim, dll, karena faktor ini dapat mempengaruhi komposisi glikogen di hati (Barton et al. 1988). Nilai nutrisi merupakan faktor yang dapat memiliki efek dalam respon glukosa. Asupan diet dengan lipid yang berbeda dan kadar protein mengakibatkan berbagai respon glukosa hemolim (Cheng et al. 2006). Kadar dan tahap pengembangan Glukosa juga bervariasi antara spesies (Hemre et al. 2002).

Woodward and Strange (1987) mengamati kortisol ikan trout pelangi mengalami peningkatan 3 kali lebih besar dari ikan hatchery saat terkena perlakuan wadah yang bersih dan kejutan listrik. Di sisi lain seperti yang dinyatakan sebelumnya, stres hormon seperti katekolamin, kortisol dan lain-lain dapat dipengaruhi oleh faktor internal atau kondisi eksternal (Anoxia, polusi, stres nutrisi, stres fisik).

Kortisol dikenal untuk meningkatkan glukosa pada hemolim, gangguan pada sekresi kortisol dapat merubah respon nilai glukosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa peningkatan glukosa dapat dikaitkan dengan perbedaan mekanisme aksi dari kortisol. Penurunan glukosa terkait dengan menipisnya cadangan energi, tetapi respon glukosa masih lebih bervariasi dibandingkan dengan respon kortisol. Biasanya peningkatan glukosa dalam plasma tidak secepat untuk kortisol. Banyak peneliti mendokumentasikan peningkatan glukosa dalam menit atau hari setelah stres (Hemre & Krogdahl 1996, Falahatkar & Barton 2007) karena kortisol memicu produksi glukosa.

Kortisol adalah glukokortikoid utama yang disekresikan oleh jaringan interrenal (sel steroidogenik) dan terletak di ginjal. Hormon ini dilepaskan oleh aktivasi dari sumbu hipotalamus-hipofisis-interrenal (HPI axis). Ketika suatu organisme mengalami kondisi stres, hipotalamusrilis corticotropin-releasing factor (CRF) terhadap sirkulasi hemolim merangsang sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dari kelenjar hipofisis anterior yang akhirnya mengaktifkan pelepasan kortisol oleh jaringan interrenal (Mommsen et al. 1999 in Martinez et al. 2009).

(23)

8

pelepasan katekolamin yang akan lebih meningkatkan glikogenolisis dan memodulasi kardiovaskular dan fungsi pernafasan. Beberapa faktor luar yang dapat mempengaruhi berbagai fungsi biosintesis kortisol adala warna lingkungan (Van der Salm et al. 2004) dan intensitas cahaya yang tinggi (Rotllant et al. 2003) dilaporkan memiliki efek pada sekresi kortisol. Intensitas cahaya yang lebih tinggi didokumentasikan pada ikan Pargus pargus yang menyesuaikan diri dalam warna tank hitam dibandingkan dengan warna tank abu-abu dan putih saat ikan terkena stres kepadatan.

Besarnya respon stres pada beberapa spesies bervariasi baik sebelum maupun sesudah aklimatisasi (Stouthart et al. 1998). Menurut Koldkjær et al. (2004) ada perbedaan jumlah plasma kortisol pada ikan Rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) ketika di bulan hangat dan bulan dingin. Stouthart et al. (1998) menyatakan bahwa suhu pemeliharaan untuk telur dan larva ikan dapat mempengaruhi induksi respon kortisol. Perbedaan intensitas respon mungkin terjadi pada organisme domestikasi dibandingkan dengan yang berasal dari alam tanpa domestikasi (Jentoft et al. 2005). Hati adalah organ utama untuk pembuangan kortisol dengan sistem hepato-bilier sebagai jalur biokimia utama (Wilson et al. 1998). Dengan demikian, uji kortisol adalah pilihan yang baik dalam percobaan stres akut, tetapi diperlukan untuk mengukur kortisol pasca stres dan sehingga probabilitas lebih tinggi dan terlihat signifikansinya.

Beberapa bahan kimia dapat mempengaruhi jalur metabolisme yang pada akhirnya akan mempengaruhi saraf dan fungsi jaringan interrenal. Maka sekresi kortisol dapat dipengaruhi oleh kontaminan lingkungan karena bahan kimia dapat mengakibatkan sekresi ACTH bioaktif, yang pada gilirannya akan merilis kortisol pada jaringan interrenal (Aluru et al. 2004).

Keramba Jaring Apung dan Kompartemen

Kegiatan budidaya lobster di keramba jaring apung mulai berkembang baik di Indonesia maupun negara lain seperti Selandia Baru. Desain keramba jaring apung untuk usaha budidaya lobster telah dibuat dan dimodifikasi sesuai jenis lobster dan karakteristik lokasi agar mudah diaplikasikan, aman dan dapat meningkatkan nilai ekonomi. Kondisi di Kabupaten Lombok, keramba jaring apung dilengkapi dengan shelter rumput laut dalam rangka menghindari atau mengurangi kanibalisme antar sesama lobster saat molting. Namun demikian, tingkat kelangsungan hidup yang dicapai masih rendah (≥ 60%) (Suastika et al. 2008). Adapun usaha pembesaran lobster pasir dalam keramba jaring apung (KJA) telah berkembang di kalangan masyarakat Kabupaten Sukabumi khususnya di sekitar pantai Pelabuhan Ratu sejak tahun 2007. Namun metode wadah masih konvensional, keramba jaring apung yang dibuat berbentuk rakit tanpa menggunakan shelter.

(24)

9

dengan membuat kompartemen menggantung berbentuk tabung (0.4m x 0.3m) dan kubus (0.31m x 0.38m) sebagai wadah pembesaran lobster di perairan Hauraki Gulf dan Waltemata Harbour, Selandia Baru dengan tingkat kelangsungan hidup 22-49%.

3

METODE

Metode penelitian yang digunakan berupa percobaan lapangan, dengan objek penelitian lobster pasir Panulirus homarus yang diberikan perlakuan perbedaan wadah budidaya dan kepadatan. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan yaitu: lobster pasir dipelihara tanpa menggunakan kompartemen dan shelter dengan kepadatan 20 ekor/m2 (K); menggunakan kompartemen dan shelter dengan kepadatan 25 ekor/m2 (KM1); menggunakan kompartemen dan shelter dengan kepadatan 50 ekor/m2 (KM2). Setiap perlakuan diulang sebanyak dua kali sehingga diperoleh 6 unit percobaan.

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian lapangan dilaksanakan mulai bulan Oktober 2012 hingga Januari 2013 di perairan Pelabuhan Ratu (Kawasan Wisata Cibangban), Desa Pasir Batu, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Analisis glukosa dan kortisol dilakukan di Laboratorim Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Laboratorim Isotop Balai Penelitian Ternak Kementerian Pertanian.

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi juvenil lobster pasir Panulirus homarus ukuran ± 50gr/ekor yang diperoleh dari nelayan di kawasan wisata Cibangban dan pakan ikan tembang dan bahan untuk pengukuran kortisol menggunakan kit yang diimport dari Negara Hungaria (Budapest).

Alat

(25)

10

Prosedur Penelitian

Tahapan persiapan meliputi desain penelitian dan pembuatan desain wadah khusus pembesaran lobster (kompartemen) dan penempatan shelter didalam kompartemen. Adapun spesifikasi umum dari kompartemen dan shelter ini, antara lain: bahan kompartemen terbuat dari fiber berbentuk kubus dengan ukuran 1x1x1 m, sedangkan shelter yang digunakan adalah pipa dengan diameter 15-20 cm dengan panjang pipa 50cm. Desain penelitian terdiri 6 kotak dengan kode K (tanpa kompartemen dengan kepadatan 20 ekor/m2, KM1 (kompartemen dengan kepadatan 25 ekor/m2), KM2 (kompartemen dengan kepadatan 50 ekor/m2).

Budidaya Panulirus homarus

Sebelum di beri perlakuan, lobster pasir diaklimatisasi terlebih dahulu selama 2 hari. Setelah diaklimatisasi, lobster dipindahkan secara bersamaan dan ke dalam wadah penelitian sesuai dengan tingkat kepadatan yang diterapkan. Selama penelitian lobster diberi pakan ikan rucah dengan kadar protein 63.22%, kadar lemak 9.09% dan BETN 12.95%. Untuk mengetahui pertumbuhan dilakukan pengukuran bobot awal dan akhir penelitian. Pengukuran bobot menggunakan timbangan.

Untuk mengetahui kondisi perairan di lokasi pengamatan dilakukan pengukuran parameter kualitas air. Waktu sampling kualitas air dilakukan bersamaan dengan sampling pengambilan sampel hemolim di titik kaki renang (pleopod) paling belakang dekat abdomen (lampiran 1) yaitu pada hari ke 0, 7, 14, dan 30. Alat dan metode yang digunakan dalam pengukuran parameter kualitas air tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Metode analisis kualitas air

No Parameter Jenis Sampel Metode/alat

1 Suhu Air laut YSI Pro

Adapun parameter uji yang diamati selama penelitian adalah: a. Kelangsungan Hidup (Survival Rate)

Tingkat kelangsungan hidup dapat dihitung berdasarkan rumus berikut (Goddard 1996):

S=Nt.No-1 x 100%

S=tingkat kelangsungan hidup

(26)

11

Menurut Rao et al. (2010), parameter pertumbuhan meliputi pengukuran parameter laju pertumbuhan relatif/weight gain (%) dan laju pertumbuhan spesifik/specific growth rate (%) dengan rumus sebagai berikut:

- Laju pertumbuhan relatif/Weight Gain (%) PR = (Wt-Wo)Wo-1 x 100%

PR = pertumbuhan relatif (%)

Wt = bobot ikan pada waktu t (gram) Wo = bobot ikan pada waktu tebar (gram) - Laju pertumbuhan spesifik/ SGR (%) SGR = (ln Wt- ln Wo)t-1x 100% Wt = bobot ikan pada waktu t (gram) Wo = bobot ikan pada waktu tebar (gram) t = waktu pemeliharaan

c. Glukosa dan Kortisol

Tingkat stres lobster pasir selama pemeliharaan diukur dari kadar glukosa dan kortisol. Pengukuran kadar glukosa dan kortisol ini dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada hari ke 0, 7, 14, dan ke-30. Pengambilan hemolim lobster diambil pada pagi hari dengan cara mengambil hemolim di titik kaki renang (pleopod) paling belakang dekat abdomen (Lampiran 1). Glukosa lobster diukur dengan metode Wedemeyer & Yasutake (1977) dalam Hastuti et al. 2003.Sampel hemolim yang ditampung dalam tabung evendop disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan putaran 1000 rpm untuk memisahkan plasma hemolim. Selanjutnya plasma hemolim sebanyak 0.5 ul ditambahkan ke dalam 3,5 ml reagen warna ortho-toluidin dalam asam asetat glasial. Campuran tersebut dimasukkan dalam air mendidih selama 10 menit. Setelah didinginkan dalam suhu ruang, konsentrasi glukosa hemolim diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 635 nm. Selanjutnya nilai absorbansinya dikonversi menjadi kadar glukosa hemolim dalam mg/100 ml. Pengukuran kortisol dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air IPB dengan menggunakan sistem RIA dengan penggunaan KIT dari Negara Hungaria (Budapest).

Kadar glukosa hemolim lobster pasir dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Wedemeyer dan Yasutake (1977) dalam Hastuti et al. 2003 sebagai berikut:

[GD]= AbsSp X [GSt] AbsSt

Keterangan: [GD] = Konsentrasi glukosa hemolim (mg/dl) AbsSp = Absorbansi sampel

AbsSt =Absorbansi standat

[GSt] = Konsentrasi glukosa standar (mg/dl) d. Tingkah Laku Lobster

(27)

12

meter, dilengkapi dengan sinyal 20 meter berisolasi dan kabel listrik, memiliki kualitas CCD sensor gambar yang tinggi, dan kapasitas power yang besar, dilengkapi kabel dengan panjang 20 meter dan SD Card untuk media penyimpanan. Video yang disimpan dalam bentuk format Video Viewer.

Adapun spesifikasi video kamera ini adalah: Image Sensor: Color CCD dengan Sensor Size: 1 / 4 Inch , color system: PAL , bidang sudut pandang: 92 deg (f = 3.6mm, f/2.0), backlight dengan kompensasi: Auto Electronic Shutter: 1/50 ~1/12, 000 detik, white balance: otomatis gamma koreksi:> 0.45, resolusi: 420 TV lines (H), fitur max range untuk objects: 6-8 meter kondisi standar, 2-3 meter dalam kegelapan, maksiimum kedalaman sampai dengan 20 meter, koneksi: BNC atau RCA (termasuk coupler), video dan power cable: 20 meter panjang, jenis kabel : tahan air, termasuk Wireless Transmitter, Transmision Range: 15m, mengirimkan frekuensi: 2400~2483Mhz (frekuensi terkunci), jumlah saluran: 4, sumber daya: baterai (1800mAH li-ion rechargeable ) dan dimensi: 95x150x40

Analisis Data

Data hasil penelitian tentang kadar glukosa, kortisol, laju pertumbuhan relatif laju pertumbuhan spesifik dan tingkat kelangsungan hidup diolah dengan ANOVA dan uji Tukey. Sofware yang digunakan untuk analisis data ini adalah MINITAB 16.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tingkat Stres Lobster Pasir

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat stres lobster pasir, maka perlu diketahui indikator stres akibat perlakuan. Dalam penelitian ini, indikator stres yang diukur adalah kadar kortisol dan glukosa pada hemolim.

Kadar kortisol

Hasil pengukuran kadar kortisol lobster pasir pada setiap perlakuan disajikan pada Gambar 2 dan Lampiran 4. Kadar kortisol tertinggi adalah pada perlakuan K (kontrol tanpa kompartemen dan shelter) dengan kepadatan 20 ekor/m2 sebesar 1.59 nmol/l dan terendah pada kepadatan KM1 (kompartemen) dengan kepadatan 25 ekor/m2 sebesar 1.17 nmol/l. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap kadar kortisol lobster pasir pada tingkat kepercayaan (p>0.05) (Lampiran 9)

(28)

13

Gambar 2 Rerata kadar kortisol lobster pasir Panulirus homarus

Kadar glukosa

Hasil pengukuran kadar glukosa dan lobster pasir pada setiap perlakuan disajikan pada Gambar 3 dan Lampiran 5. Kadar glukosa tertinggi adalah pada perlakuan K (kontrol tanpa kompartemen dan shelter) dengan kepadatan 20 ekor/m2 sebesar 17.31 mg/dl dan terendah pada kepadatan KM1 (kompartemen) dengan kepadatan 25 ekor/m2 sebesar 8.34 mg/dl. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh terhadap kadar glukosa lobster pasir pada tingkat kepercayaan (p<0.05). Berdasarkan uji lanjut, perlakuan kontrol berbeda nyata dengan perlakuan KM1 namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan KM2 (Lampiran10)

Gambar 3 Rerata kadar glukosa lobster pasir Panulirus homarus

(29)

14

Pertumbuhan

Laju pertumbuhan relatif

Hasil pengukuran laju pertumbuhan relatif lobster pasir pada setiap perlakuan disajikan pada Gambar 4 dan Lamiran 6. Laju pertumbuhan relatif tertinggi adalah pada perlakuan KM1 (kompartemen) dengan kepadatan 25 ekor/m2 sebesar 26.29% sedangkan terendah adalah pada perlakuan KM2 (kompartemen) dengan kepadatan 50 ekor/m2 sebesar 13.51%. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan relatif lobster pasir pada tingkat kepercayaan (p<0.05). Berdasarkan uji lanjut, perlakuan KM1 berbeda nyata dengan perlakuan KM2 namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (K) (Lampiran 11)

Gambar 4 Laju pertumbuhan relatif lobster pasir pada kepadatan yang berbeda

Laju pertumbuhan spesifik

(30)

15

Gambar 5 Laju pertumbuhan spesifik lobster pasir pada perlakuan yang berbeda

Tingkat Kelangsungan Hidup

Hasil pengukuran tingkat kelangsungan hidup lobster pasir pada setiap perlakuan disajikan pada Gambar 6 dan Lampiran 8. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi adalah pada perlakuan KM2 (kompartemen) dengan kepadatan 50 ekor/m2 sebesar 95% sedangkan terendah adalah pada perlakuan K (non kompartemen) dengan kepadatan 20 ekor/m2 sebesar 62.5%. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup lobster pasir pada tingkat kepercayaan (p<0.05). (Lampiran 13)

Gambar 6 Tingkat kelangsungan hidup lobster pasir pada perlakuan yang berbeda

Pola Hubungan Pertumbuhan dengan Tingkat Stres

Pola hubungan antara laju pertumbuhan relatif dengan kadar glukosa dan kortisol relatif disajikan pada Gambar 7. Berdasarkan scatterplot 3 dimensi terlihat bahwa pertumbuhan tertinggi diperoleh ketika ada penurunan kadar glukosa dan kortisol didalam hemolim lobster pasir.

(31)

16

1 1.75 1.50 10

15 20

.25 25

9 12

15 1.00

18

Pe rtu m bu h an re l ati f (%)

kortisol (nmol/l)

Glukosa (mg/dl)

Pola hubungan laju pe rtumbuhan re latif de ngan kadar glukos a dan kortis ol

Gambar 7 Pola hubungan laju pertumbuhan relatif dengan tingkat stress

Tingkah Laku Lobster Pasir

Pengamatan tingkah laku lobster pasir yang dipelihara didalam kompartemen selama penelitian menujukkan aktivitas yang normal. Adapun tingkah laku dominan lobster pasir yang teridentifikasi didalam kompartemen dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Tingkah laku lobster pasir selama pemeliharan

No Tingkah laku Keterangan Gambar

1 Lobster pasir cenderung berlindung pada shelter pada pagi – siang hari

2 Lobster pasir cenderung bergerombol antar sesama

(32)

17

No Tingkah laku Keterangan Gambar

4 Lobster pasir merambat ke atas kompartemen

5 Lobster pasir melakukan aktivitas molting

Parameter Kualitas Air

Kisaran mengenai parameter kualitas air yang diukur selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 8 - Gambar 13. Data pengamatan kualitas harian menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi suhu, salinitas, TDS, DO dan pH air laut. Suhu air laut cenderung meningkat pada hari ke-3 dan ke-28 dan salinitas cenderung meningkat pada hari ke-14. Sedangkan untuk parameter TDS, DO dan pH menunjukan grafik yang sama, yaitu terjadi peningkatan pada hari ke-14 tapi menurun di hari ke-28. Nilai kualitas air selama pemeliharaan pasir berada dalam kisaran yang cukup baik. Suhu air berkisar antara 27.79-29.670C, salinitas berkisar antara 32.57-34.09 ppt, TDS berkisar antara 32.46-33.76 mg/l, kandungan oksigen terlarut (DO) berkisar antara 5.24 hingga 6.74 mg/l dan kandungan pH berkisar antara 8.2- 8.3.

(33)

18

Gambar 10 Data TDS harian Gambar 11 Data DO harian

Gambar 12 Data pH harian Gambar 13 Data rata-rata kualitas air

Pembahasan

Kadar kortisol dan glukosa lobster pasir yang dipelihara tanpa kompartemen dan shelter pada kepadatan 20 ekor/m2 cenderung tinggi dibandingkan lobster pasir yang dipelihara menggunakan kompartemen dengan kepadatan 25 ekor/m2 dan 50 ekor/m2, hal ini menunjukkan bahwa lobster pasir yang dipelihara tanpa menggunakan kompartemen dan shelter cenderung stres, diduga lobster pasir tidak mempunyai tempat berlindung ketika akan melakukan molting, sehingga lobster yang lain cenderung bersifat kanibalisme.

Sifat kanibalisme ini sering timbul pada lobster yang sehat. Sasaran pemangsaan adalah lobster yang sedang dalam proses ganti kulit (molting). Lobster yang baru molting badannya masih lembek, berwarna putih kepucatan dan mengeluarkan aroma yang menarik selera pemangsa. Makin tinggi kadar glukosa pada hemolim mengindikasikan meningkatnya level stres akibat tingginya kepadatan. Pada level stres yang sangat tinggi, peningkatan yang cepat dari glukosa dan bertahan pada level tinggi akan diikuti dengan kematian (Brown 1993).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar kortisol dan glukosa meningkat setelah diberi perlakuan. Woodward and Strange (1987) mengamati kortisol ikan trout pelangi mengalami peningkatan 3 kali lebih besar dari ikan hatchery saat terkena perlakuan wadah yang bersih dan kejutan listrik. Di sisi lain seperti yang dinyatakan sebelumnya, stres hormon seperti katekolamin, kortisol dan lain-lain dapat dipengaruhi oleh faktor internal atau kondisi eksternal (Anoxia, polusi, stres nutrisi, stres fisik). Sedangkan menurut Pickering (1981), penyebab

(34)

19

stres atau stressor diakibatkan oleh perubahan lingkungan (perubahan suhu, kepadatan, salinitas, perubahan tekanan air, polusi, pH, penyakit, perubahan arus air, muatan-muatan sedimen, konsentrasi DO dan ketersediaan makanan, penanganan/handling (pemeliharaan tank, transportasi dan pemindahan ikan dengan serok atau ember) dan penangkapan (capture) dengan pukat harimau, trammel net, dan gill net,

Selain penggunaan kompartemen, syarat lain yang harus dipenuhi dalam rangka meminimalisir tingkas stres adalah nilai nutrisi pakan dan faktor lingkungan yang sesuai selama pemeliharaan. Menurut Barton et al. (1987) status kelengkapan nutrisi dapat mempengaruhi respon stres dan glukosa. Asupan diet dengan lipid yang berbeda dan kadar protein mengakibatkan berbagai respon glukosa (Cheng et al. 2006).

Perbedaan nilai pertumbuhan dan kelangsungan hidup antar perlakuan disebabkan perbedaan tipe wadah yang digunakan lobster pasir selama pemeliharaan, dimana pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup lobster pasir yang menggunakan kompartemen dan shelter cenderung lebih tinggi dibandingkan lobster pasir yang dipelihara tanpa menggunakan kompartemen dan shelter. Hal ini diduga kanibalisme lebih banyak terjadi pada lobster pasir yang dipelihara tanpa kompartemen dan shelter. Menurut Rao et al. (2010), shelter pipa dapat mencegah terjadinya kanibalisme saat terjadi molting, sehingga perlakuan kontrol dengan kepadatan 20 ekor/m2 tanpa menggunakan shelter, memungkinkan terjadi kanibalisme lebih besar dibandingkan lobster pasir yang dipelihara dikompartemen menggunakan shelter pipa. Namun demikian, tingkat kelangsungan hidup lobster pasir yang dipelihara didalam kompartemen dengan kepadatan 50 ekor/m2 lebih tinggi dibandingkan kepadatan 25 ekor/m2, hal ini dikarenakan lobster pasir cenderung bersifat agresif dan akan mempertahankan sifat soliter dan territorial atau penguasaan wilayah, sehingga peluang kanibalisme lebih besar terjadi pada kepadatan 25 ekor/m2 (Marx and Herrnkind 1985)

Pada budidaya lobster dengan kepadatan yang cukup tinggi (intensif), peningkatan padat penebaran akan diikuti dengan meningkatnya kebutuhan pakan, oksigen, dan kotoran (metabolit dan sisa pakan), sehingga pertumbuhan lobster pasir cenderung menurun dengan kepadatan tinggi. Hal ini terlihat pertumbuhan lobster pasir pada perlakuan KM2 cenderung lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan KM1.

Laju pertumbuhan juga bergantung dari frekuensi molting dan perubahan ukuran per molting. Secara periodik lobster akan berganti kulit (molting) yaitu kulit yang lama akan ditanggalkan dan diganti dengan kulit yang baru. Pada saat pergantian kulit tersebut bisanya diikuti dengan pertumbuhan dan pertambahan berat. Menurut Quackenbush (1986), diketahui bahwa ada 2 faktor yang mempengaruhi molting pada krustasea yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal diantaranya; adanya stressor, nutrisi, photoperiod dan temperatur sedangkan faktor internal terkait dengan produksi hormon ekdisteroid dan Molt Inhibiting Hormone (MIH).

(35)

20

pun memiliki hubungan yang positif, artinya peningkatan kadar kortisol diikuti oleh peningkatan kadar glukosa, hal ini sesuai dengan pendapat Hemre and Krogdahl (1996) dan Falahatkar and Barton (2007) bahwa kortisol dapat meningkatkan kadar glukosa pada hemolim, gangguan pada sekresi kortisol dapat merubah respon nilai glukosa dan peningkatan glukosa dapat dikaitkan dengan perbedaan mekanisme aksi dari kortisol.

Keberhasilan usaha budidaya lobster pasir di keramba jaring apung tidak dapat terlepas dari kondisi lingkungan sekitarnya, terutama kualitas air sebagai media yang secara langsung mempengaruhi aktivitas budidaya lobster pasir. Kandungan oksigen terlarut (DO) yang diukur selama penelitian berkisar antara 5.24 hingga 6.74 mg/l. Nilai ini masih pada kisaran yang baik, kisaran nilai optimum oksigen terlarut bagi pertumbuhan krustacea adalah 5 mg/l. Meskipun demikian, kandungan oksigen telarut 4.21 hingga 5.43 mg/l masih dapat memberikan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang baik (Boyd 1982). Kebutuhan oksigen lobster juga akan meningkat saat mengkonsumsi makanan dan kebutuhan oksigen pada malam hari jauh lebih tinggi dibandingkan siang hari. Namun, tingkat oksigen yang rendah (0.5 dan 3.0 mg/l) dapat mematikan lobster. (Philips and Kiitaka 2000).

Tingkat pertumbuhan antar spesies lobster bervariasi, suhu air sangat mempengaruhi pertumbuhan juvenil lobster. Secara umum lobster dalam air hangat dapat tumbuh pada tingkat tercepat. Berbagai macam suhu telah ditolerir oleh lobster. Suhu di atas ambien (tetapi sampai maksimum) biasanya menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat, lebih besar daripada yang terlihat di alam liar. Pertumbuhan yang lebih cepat terutama berasal dari frekuensi molting yang tinggi. Suhu air laut yang diukur selama penelitian berkisar antara 27.79-29.670C, nilai ini masih pada kisaran yang baik. Menurut (Philips and Kiitaka, 2000), pertumbuhan optimal dalam juvenil terjadi pada sekitar 18-200C (untuk J. edwardsii dari Australia) sampai 29-300C (P.argus dari Antigua).

Salinitas perairan selama penelitian berkisar antara 32.57-34.09 ppt, masih pada kisaran yang baik, lobster pasir masih bisa mentolerir nilai salinitas, karena lobster pasir merupakan spesies palinurid poikilosmotik yaitu masih bisa mentolerir salinitas di perairan laut sampai 20% dibawah salinitas laut selama beberapa hari. Salinitas air laut dapat mempengaruhi rasa daging lobster berduri (Philips and Kiitaka, 2000).

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tingkat stres lobster pasir yang dipelihara tanpa kompartemen dan shelter lebih

tinggi dibandingkan lobster pasir yang dipelihara menggunakan kompartemen dan shelter

(36)

21

3. Lobster pasir yang dipelihara didalam kompartemen menunjukkan aktivitas yang normal seperti berlindung pada shelter pada pagi – siang hari, bergerombol antar sesama, mengambil pakan walaupun pakan diberikan pada pagi dan siang hari, membawa pakan tersebut ke dalam shelter, merambat ke atas kompartemen dan melakukan aktivitas molting

Saran

Perlu dilakukan pemeliharaan lobster pasir di kompartemen sampai periode panen untuk melihat efisiensi pemanfaatan kompartemen di dalam sistem budidaya lobster pasir.

DAFTAR PUSTAKA

Adams SM. 1990. Status and use of biological indicatorfor evaluating the effect of stress on fish. In biological indicatoros stress in fish. American Fisheries Symposium 8. Bethesda Maryland.

Anonim. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

Aluru N, Jorgensen EH, Maule AG & Vijayan MM. 2004. PCB disruption of the hypothalamus-pituitary-interrenal axis involves brain glucocorticoid receptor downregulation in anadromous arctic charr. American Journal of Physiology - Regulatory, Integrative and Comparative Physiology, 287: 787–793.

Barton BA, Schreck CB & Barton LD. 1987. Effects of chronic cortisol administration and daily acute stress on growth, physiological conditions, and stress responses in juvenile rainbow trout. Diseases of Aquatic Organisms, 2:173-185

Barton BA, Ribas L, Acerete L & Tort L. 1988. Effects of chronic confinement on physiological responses of the juvenile gilthead sea bream, Sparus aurata L. to acute handling. Aquaculture Research, 36: 172179.

Boyd CE. 1982. Water quality management for pond fish culture. Amsterdam, Elsevier Scientific Publishing Company.

Brown JA. 1993. Endocrine responses to environmental pollutions, p: 276-292. In J.F. Rankin & F.B. Jemsen (Eds). Fish Ecophy-siology. Chapman & Hall, London.

Castillo J, Castellana B, Acerete L, Planas JV, Goetz FW, Mackenzie S & Tort L. 2008. Stress-induced regulation of steroidogenicacute regulatory protein expression in head kidney of Gilthead seabream (Sparus aurata).Journal of Endocrinology, 196: 313–322.

(37)

22

Effendie MI. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. Effendi I. 2004. Pengantar akuakultur. PT Penebar Swadaya, Jakarta.

Falahatkar B & Barton BA. 2007. Preliminary observations of physiological responses to acute handling and confinement in juvenile beluga Huso huso L. Aquaculture Research,38:1786-1789

[FAO] Food and Agricultural Organization.2013. www.fao.org. Diakses tanggal 10 April 2012

Gamperl AK and Vijayan E. 1994a. Norepinephrine, and cortisol concentrations in cannulated seawater-aclimated rainbow trout (Oncorhyncus mykiss) following black-box confinement and epinephrine injection. Journal of Fish Biology, 45:313-324

Gill-Barcellos LG, Kreutz LC, Mezzalira L, Quevedo R. 2006, Previous chronic stres does not alter the kortisol response to an additional acute stressor in jundia (Rhamdia quelen, Quoy and Gaimard) fingerlings, Aquaculture, 253: 317-321.

Goddard S. 1996. Feed management in intensive aquaqulture. Chapman and Hall, New York

Hartnoll RG 1982. Growth In The Biology Crustacea. Vol. 2. Embryiology, morphology and genetics. Academic Press. A Subsidiary of Harcourt Brace Jovanovich Publisher. New York

Hastuti S, Supriyono E, Mokoginta I & Subandiyono. 2003. Respon glukosa darah ikan gurami (Osphronemus gouramy, LAC) terhadap stres perubahan suhu lingkungan. Jurnal Akuakultur Indonesia, 2(2): 73-77. Hemmre GI & Krogdahl A. 1996. Effect of handling and fish size on secondary in

carbohydrate metabolism in Atlantic salmon, Salmo salar L. Aquaculture nutrition2: 249–252

Hemmre GI, Mommsen TP & Krogdahl A. 2002 Carbohydrates in fish nutrition: effects on growth, glucose metabolism and hepatic enzymes Aquaculture Nutritioon, 8: 175-194.

Hepher B, Pruginin Y. 1981. Commercial fish farming with special reference to fish culture in Israel. John Wiley and Sons, New York.

Hickling CF. 1971. Fish culture. Faber and Faber, London.

Jentoft S, Aastveit AH, Torjesen PA & Andersen O. 2005. Effects of stress on growth, cortisol and glucose levels in nondomesticated Eurasian perch (Perca fluviatilis) and domesticated rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Comparative Biochemistry and Physiology Part A,141: 353-358.

Jeffs AG and James P. Sea-cage culture of the spiny lobster Jasus edwardsii in New Zealand. Marine Freshwater Research. 52:1419-24

(38)

23

Kittaka J. and Booth JD. 2000. Prospectus Aquaculture. In Phillips B.F and J. Kittaka (Eds).Spiny lobster fisheries and culture. Fishing News Books.A division of Blackwell Science.Ltd. Osney Mead, Oxford OX2 0EL : 465-473.

Martinez M, Martinez CF, Cordova, Ramos R & Enriuez. 2009. Pan American Jornal of Aquatic Science. 4(20: 158-178.

Marx JM & Herrnkind WF. 185. Factors regulating microhabitat use by Young Environment, volume 2,pp.1466-1473. San Diego:Academic Press

Pickering AD.1981. Stress and fish. Academic Press, New York.

Quackenbush LS. Crustacea endocrinology. Can. J. Fish. Aquat. Sci., 43 2271-2282 p.

Rao GS, George RM, Anil MK, Saleela KN, Jasmine S, Kingsly HJ and Rao GH. 2010. Cage culture of the spiny lobster Panulirus homarus (Linnaeus) at Vizhinjam, Trivandum along The South-West Coast of India. Indian Journal of Fisheries, 57: 1

Rotllant J, Tort L, Montero D, Pavlidis M, Martinez M. & Wendelaar-Bonga SE & Balm PH. 2003. Background colour influence on the stress response in cultured red porgy Pagrus pagrus. Aquaculture, 223: 129-139.

Stouthart AJHX, Lucassen ECHET, Van Strien FJC, Balm PHM, Lock RAC, Wendelaar-Bonga SE. 1998. Stress responsiveness of the pituitary-interrenal axis during early life stages of common carp (Cyprinus carpio). Journal of Endocrinology, 157: 127–137.

Suastika M, Fatuchri, Surahman A. 2008. Studi Kelayakan: Meningkatkan pembesaran dan nutrisi lobster di Nusa Tenggara Barat. In: Jones C (Ed). ACIAR (Australian Center for International Agricultural Research)

Subani W. 1978. Perikanan udang barong (Spiny Lobster) dan prospek masa depannya. Prosiding Seminar ke II Perikanan Udang 15-18 Maret 1977. Jakarta. Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian Pengembangan Perikanan. 39-53.

Van der Salm AL, Martínez M, Flik G & Wendelaar-Bonga SE. 2004. Effects of husbandry conditions on the skin colour and stress response of red porgy, Pagrus pagrus. Aquaculture, 241: 371-386.

(39)

24

Wikipedia. 2012.www.wikipedia.org. Diakses tanggal 9 Mei 2012.

Woodward CC & Strange RJ. 1987. Physiological stress responses in wild and hatchery-reared rainbow trout. Transactions of the American Fisheries Society, 116: 574–579.

(40)

25

Lampiran 1. Pengambilan hemolim di bagian pleopod lobster pasir

Lampiran 2 Prosedur pengukuran kadar glukosa darah Reagent :

1. Larutan glukosa 100 mg dalam 100 ml (standar glukosa), 2. Perbandingan asam asetat dan ortotoluidine (94:6). Cara Kerja :

1. Darah diambil dari caudal menggunakan syringe yg telah dibilas anticoagulan lalu lmasukan darah kedalam tabung effendorf

2. Sampel di centrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 20 menit

3. Masukkan 0,05 ml plasma darah, standar glukosa dan aquadest ke dalam masing - masing tabung reaksi yang telah berisi 3,5 ml (asam asetat : ortho toluidine).

4. Panaskan dalam waterbath tertutup selama 15 menit pada temperature 100°C. angkat, dinginkan lalu baca menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 635 nm.

Perhitungannya:

Glukosa (mg/ml) = Au x Cs As

Keterangan: Au : Absorbansi sampel Cs : Konsentrasi standar As : Absorbansi standart

Lampiran 3 Prosedur pengoperasian spektrofotometer untuk analisis kadar glukosa darah (SOP CAMSPEC SERI 2001)

1. Hubungkan alat spektrofotometer dengan arus listrik

(41)

26

3. Pilih jenis pengukuran, % transmintasi, % absorbansi, konsentrasi atau faktor dengan menekan tombol (MODE) yang diikti dengan munculnya tanda lampu merah disamping jenis pengukuran yang dipilih

4. Pilih/atur panjang gelombang dengan tombol (WAVELENGTH)

5. Isi kuvet bersih dengan larutan blanko minimal ¾ dari volume kuvet, bersihkan/lap kuvet dengan tisu untuk menghilangkan sidik jari dan tetesan larutan

6. Buka tutup tempat pengukur sampel, Tempatkan kuvet blanko pada kotak tempat menyimpan sampel, lalu tutup kembali

7. Zero set/ adjust 0,000 A atau 100% T dengan tombol (0A / 100%T)

8. Bilas kuvet kedua dengan sedkit larutan standar/sampel yang akan diuji, lalu bersihkan/lap dengan tisu (jangan bersihkan/lap bagian dalam kuvet), Isi kuvet dengan stabdar/sampel sebanyak ¾ volume kuvet lalu bersihkan/lap dengan tisu

9. Tempatkan beberapa kuvet beisi larutan standar/sampel di kotak penyimpanan sampel. Untuk membaca A/100% T, posisikan standar/sampel di depan lensa/lampu di samping kotak tempat menyimpan sampel, dengan menarik/mendorong tombol hitam di bagian luar depan tempat menyimpan sampel

10. Setiap mengganti isi kuvet dengan larutan yang berbeda bilas terlebih dahulu dengan akuades beberapa kali, selanjutnya iuti petunjuk no, 8 dan 9

11. Jika ingin mengukur larutan sampel yang sama pada panjang gelombang yang berbeda ulangi langkah 3 sampai 9

12. Untuk setiap larutan sampel yang akan diukur, ulangi langkah 3 sampai 10 13. Setelah selesai pengukuran, matikan alat dengan menelkan tombol power

switch (IO), Putuskan hubungan dengan stok kontak/arus listrik

Lampiran 4 Kadar kortisol (nmol/l) lobster pasir pada setiap perlakuan

Ulangan Kepadatan (ekor/m2)

Kontrol 25 50

1 1,79 1,07 1,52

2 1,39 1,27 1,33

Rataan 1,59 ± 0,28 1,17 ± 0,14 1,43 ± 0,13 Lampiran 5 Kadar glukosa (mg/dl) lobster pasir pada setiap perlakuan

Ulangan Kepadatan (ekor/m2)

Kontrol 25 50

1 18,21 7,98 15,58

2 16,41 8,70 12,83

(42)

27

Lampiran 6 Laju pertumbuhan relatif (%) lobster pasir pada setiap perlakuan

Ulangan Kepadatan (ekor/m2)

Kontrol 25 50

1 16,33 27,49 10,34

2 15,97 25,09 16,67

Rataan 16,15 ± 0,25 26,29 ± 1,69 13,51 ± 4,47

Lampiran 7 Laju pertumbuhan spesifik (%) lobster pasir pada setiap perlakuan

Ulangan Kepadatan (ekor/m2)

Kontrol 25 50

1 0.5 0.78 0.33

2 0.49 0.76 0.51

Rataan 16,15 ± 0,25 26,29 ± 1,69 13,51 ± 4,47

Lampiran 8 Kelangsungan hidup (%) lobster pasir pada setiap perlakuan

Ulangan Kepadatan (ekor/m2)

Kontrol 25 50

Means that do not share a letter are significantly different. Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals

(43)

28

Lampiran 10 Analisa ragam dan uji lanjut untuk kadar glukosa lobster pasir pada setiap perlakuan

Means that do not share a letter are significantly different. Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals

(44)

29

Lampiran 11 Analisa ragam dan uji lanjut untuk laju pertumbuhan relatif lobster pasir pada setiap perlakuan

Means that do not share a letter are significantly different.

Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals

All Pairwise Comparisons among Levels of Kepadatan Individual confidence level = 97.50%

(45)

30

Means that do not share a letter are significantly different. Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals

All Pairwise Comparisons among Levels of Kepadatan Individual confidence level = 97.50%

Means that do not share a letter are significantly different. Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals

(46)

31

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandung pada tanggal 30 Juli 1978, dari pasangan Iwan Setiawan (Alm) dan Heni Rohaeni (Alm). Pada tahun 1990 menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 2 Cijerah dan di tahun 1993 lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 4 Cimahi. Pada tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 9 Bandung. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada program studi Ilmu Akuakultur, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada Tahun 2011.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Gambar

Gambar 1 Lobster Pasir P.homarus (FAO 2012)
Gambar 3 Rerata kadar glukosa lobster pasir  Panulirus homarus
Gambar 4 Laju pertumbuhan relatif lobster pasir pada kepadatan yang berbeda
Tabel 2 Tingkah laku lobster pasir selama pemeliharan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kriteria pencapaian tujuan pembelajaran siswa pada hasil test uji coba lapangan pencapaian tujuan pembelajaran siswa pada soal no 1 hasil tes adalah sebesar 80%,

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat penyusunan skripsi dengan judul Penggunaan Model Group Investigation

Berdasarkan uraian tentang beberapa pengertian di atas, puisi dapat didefinisikan salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair

Berarti dalam mengaplikasikan pendidikan kecakapan hidup (life skill) berpengaruh hasil belajar kelas VIII 1 MTsN Model Makassar jadi dalam penerapan pendidikan kecakapan

Metode mubahatsah ini, sudah menjadi bagian dari kurikulum yang ditetapkan oleh kepengurusan pondok pesantren Khatamun Nabiyyin sejak awal berdirinya. Pelaksanaan

Hasil dari penelitian ini dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran, yaitu dengan menerapkan metode pembelajaran diskusi yang mana antara peserta

Jika pembiasaan yang diberikan kepada anak tidak diskriminatif, maka akan terbentuk pribadi-pribadi yang baik sehingga mampu berinteraksi dengan harmonis, karena pembiasaan

Selain itu peneliti juga mempertimbangkan komposisi dan kesesuaian logo dengan konsep perancangan, maka desain yang telah terpilih akan digunakan sebagai logo LAXMI