• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potency and Characteristics Natrium Alginate of Padina australis from Different Location in Sumbawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potency and Characteristics Natrium Alginate of Padina australis from Different Location in Sumbawa"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI DAN KARAKTERISTIK NATRIUM ALGINAT

Padina australis PADA KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN

YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMBAWA

NERI KAUTSARI

SEKOLAH PASCASARJ ANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi dan Karakteristik Natrium Alginat Padina australis pada Kondisi Lingkungan Perairan yang Berbeda di Kabupaten Sumbawa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Neri Kautsari

(4)

RINGKASAN

NERI KAUTSARI. Potensi dan Karakteristik Natrium Alginat Padina australis

pada Kondisi Lingkungan Perairan yang Berbeda d i Kabupaten Sumbawa. Dibimbing oleh ARIO DAMAR dan JOKO SANTOSO.

Alginat merupakan komponen utama penyusun dinding sel rumput laut coklat yang tersusun atas asam alginat, mannuronat dan galakturonat. Alginat

merupakan bahan baku yang banyak dimanfaatkan oleh beberapa industri sebagai pengatur keseimbangan, pengemulsi dan pembentuk lapisan tipis tahan minyak

Padina australis yang termasuk salah satu rumput laut coklat yang memiliki potensi sebagai sumber alginat, tumbuh di sepanjang perairan Kabupaten Sumbawa. Rumput laut tersebut hidup pada beberapa karakteristik lingkungan perairan yang berbeda diantaranya di daerah intertidal di pa ntai berbatu dan pada beberapa perairan lainnya yang memiliki substrat berpasir dan kondisi lingkungan yang berbeda. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa biomassa dan kandungan alginat rumput laut coklat (Phaeophyta) bervariasi secara temporal dan spasial yang disebabkan oleh perbedaan faktor fisika, kimia dan biologi perairan. Informasi dan kajian mengenai parameter lingkungan yang mempengaruhi biomassa dan kandungan alginat pada rumput laut coklat masih sangat jarang dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui parameter fisika kimia dan lokasi yang mendukung kehidupan dan kandungan natrium alginat P. australis.

Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober 2012 sampai dengan Februari 2013 di perairan Kabupaten Sumbawa. Pengamatan lapang d ilakukan terhadap jumlah individu dan biomassa P. australis dengan menggunakan metode transek kuadrat. Parameter fisika kimia perairan yang diamati meliputi suhu, salinitas, kecepatan arus, pH, nitrat, nitrit, amonia, fosfat dan substrat. Pengamatan terhadap kandungan dan karakterisasi natrium alginat dilakukan di laboratorium.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah individu dan jumlah biomassa

P. australis dipengaruhi oleh substrat dan interaksi antara parameter fisika kimia perairan. Kandungan natrium alginat dipengaruhi oleh salinitas perairan. Jumlah biomassa dan kandungan natrium alginat tertinggi diperoleh pada perairan dengan kondisi substrat berbatu, arus 0,40 m s-1, nitrat 1,5 µg.At /l, nitrit 0,06 µg.At/l, ammonia 0,27 µg.At/l, fosfor 0,21 µg.At /l, pH 8, suhu 32°C dan salinitas 32 psu. Karakteristik natrium alginat P. australis memiliki kadar abu yang cukup tinggi yaitu 38 – 41,76%. Nilai viskositas tergolong rendah (low viscocity) yaitu 25 – 153 cps. Kekuatan gel tergolong rendah yaitu 7,30 – 19,33 g/cm2 dan tidak terdeteksi adanya kandunga Pb.

(5)

SUMMARY

NERI KAUTSARI. Potency and Characteristics Natrium Alginate of Padina australis from Different Location in Sumbawa. Supervised by ARIO DAMAR and JOKO SANTOSO.

Alginate is the main content of the cell wall of brown algae and is mainly consisted of β-D mannuronic acid and α-L guluronic acid units. Extracts of alginate play a key role in food industries, textiles, health and cosmetics. In food industry, alginates are used to stabilize mixtures dispersions and emulsions, which increase viscosity and forms gel, such as jam and jellies. Alginates can be used in the manufacture of soft capsules and consumed as a beverage for lowering blood sugar level. In the textile industry, alginate is used as an additive for textile dye.

Padina australis is one of brown algae which mostly found in Sumbawa coastal waters. This species has potential as a raw material for alginate prod uction. Differences in P. australis habitat may influence the alginate content as weel as characteristics. Several studies have shown that biomass and alginate content of brown algae are different on temporal and spatial scale. Spatial and temporal variations of biomass and alginate content are determined by differences in several physical and biological factors. Information and studies about the enviromental factor affecting biomass and alginate content of brown seaweed is rarely performed. Therefore, this study aims to determine the physical chemical parameters and location are appropriate for life and alginate content of Padina australis.

Data were collected in the period between October 2012 to February 2013. Transect square method and visual observation was applied to determine condition of P. australis. Water parameters were analyzed in situ and in laboratory. Data analysis using analysis of varians (ANOVA) and Pearson correlation were performed.

The result shows that biomass and alginate content of Padina australis is significantly influenced by interaction of physical and chemical enviromental factor. Padina australis grew in station 1 on October had the highest biomass and alginate content with characteristics of physical and chemical enviromental were hard substrate, current 0,40 m s-1, nitrate 1,5 µg.At/l, nitrite 0,06 µg.At/l, ammonia 0,27 µg.At /l, phosphorus 0,21 µg.At /l, pH 8, temperature 32 °C and salinity 32 psu.

Ash content of alginate (38,48 – 41,76%) of Padina australis at all three stations were high considered, the value of viscosity (25 – 153 cps) is low viscosity, gel strength (7,30 – 19,33 g/cm2) is categorized as low and no detectable presence of Pb contents.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

POTENSI DAN KARAKTERISTIK ALGINAT NATRIUM

Padina australis PADA KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN

YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMBAWA

SEKOLAH PASCASARJ ANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(8)

2

(9)

3 Judul Tesis : Potensi dan Karakteristik Natrium Alginat Padina australis pada

Kondisi Lingkungan Perairan yang Berbeda di Kabupaten Sumbawa

Nama : Neri Kautsari NIM : C251110061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Ario Damar, MSi Ketua

Dr Ir Joko Santoso, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr Ir Enan M Adiwilaga

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

4

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 ini ialah Potensi dan Karakteristik Natrium Alginat Padina australis pada Kondisi Lingkungan Perairan yang Berbeda di Kabupaten Sumbawa.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ario Damar dan Bapak Dr Ir Joko Santoso selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(11)

5

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian Error! Bookmark not defined.

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Alginat 3

Rumput Laut dan Alginat 6

Bioekologi Padina australis 8

Kondisi Lingkungan dan Karakteristik Alginat Rumput Laut 11

3 METODE PENELITIAN 12

Lokasi dan Waktu Penelitian 12

Pengumpulan Data Lapangan 13

Metode Ekstraksi dan Karakterisasi Kandungan Natrium Alginat 14

Analisis Data 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Parameter Fisika Kimia Perairan 16

Kepadatan dan Biomassa Padina australis 18

Kandungan Natrium Alginat Padina australis 22

Karakteristik dan Kandungan Pb Alginat Padina australis 24

5 SIMPULAN 27

DAFTAR PUSTAKA 27

RIWAYAT HIDUP 35

(12)

6

DAFTAR TABEL

1 Spesifikasi mutu asam alginat, natrium alginat dan propilen glikol

alginat 5

2 Spesifikasi natrium alginat sebagai food grade 5

3 Parameter fisika kimia perairan 16

4 Kondisi fisik Padina australis 18

5 Nilai korelasi Pearson antara parameter lingkunga dengan biomassa

Padina australis 20

6 Nilai korelasi Pearson anatara parameter lingkungan dengan kandungan

alginat Padina australis 23

7 Karakteristik dan kandungan Pb alginat Padina australis 24

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur asam alginat 4

2 Struktur polimannuronat, poliguluronat, dan kopolimer berselang 4

3 Skema biosintesa alginat 7

4 Morfologi Padina australis 8

5 Sel Padiana australis 8

6 Siklus hidup Padina 9

7 Peta lokasi penelitian 12

8 Skema transek kuadrat dalam pengamatan Padina australis 14

9 Kepadatan dan Biomassa Padina australis 19

10 Kandungan alginat Padina australis 23

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rata-rata dan simpangan baku beberapa sifat físik dan kimia tanah dari 78 contoh tanah di Kebun Percobaan CiheuleutError! Bookmark not defined.

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting sebagai bahan makanan dan keperluan industri (Critchley et al. 2006). Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan makanan dan keperluan industri tergantung pada senyawa di dalamnya serta sifat fisik kimia senyawa tersebut. Rumput laut merah (Rhodophyta) dilaporkan oleh peneliti sebelumnya mengandung karaginan dan agar (Widyastuti 2009). Eucheuma sp dan Gracilaria

sp merupakan rumput laut merah yang telah banyak dibudidayakan di Indonesia. Penelitian mengenai faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan kandungan karaginan Eucheuma spdan Gracilaria sp telah banyak dilakukan.

Senyawa lain yang merupakan kandungan rumput laut yang sangat potensial selain karaginan dan agar adalah alginat. Alginat merupakan senyawa rumput laut yang banyak dimanfaatkan oleh berbagai industri (Bangun 2001) sebagai pengatur keseimbangan, pengemulsi dan pembentuk lapisan tipis tahan minyak (Rasyid 2003; Bixler dan Porse 2011). Meningkatnya pemanfaatan alginat pada berbagai industri menyebabkan tingginya permintaan pasar akan alginat. Indonesia merupakan negara yang masih mengimpor alginat dari negara-negara produsen alginat (Rasyid 2009). Kebutuhan impor alginat Indonesia sebesar 1.100 ton per tahun dengan nilai US $ 420.000 (Rasyid 2003). Peningkatan kebutuhan alginat berdampak pada semakin meningkatnya permintaan rumput laut penghasil alginat yang umumnya masih diperoleh dari hasil petikan di alam.

Umumnya alginat merupakan hasil ekstraksi dari rumput laut coklat (Phaeophyta). Rumput laut coklat jenis Ascophyllum, Laminaria, dan Mycrocystis

merupakan sumber utama alginat di dunia. Beberapa rumput laut coklat lainnya yang memiliki potensi sebagai sumber alginat adalah Sargassum, Durvillea,

Eklonia, Lessonia, dan Turbinaria (Bixler dan Porse 2011). Sargassum, Turbinaria dan Padina merupakan rumput laut coklat yang banyak ditemukan di perairan Indonesia, namun sampai sekarang ekstraksi alginat di Indonesia masih bergantung pada jenis Sargassum.

Padina australis merupakan salah satu rumput laut coklat yang memiliki potensi sebagai sumber alginat (Rasyid 2007). Rumput laut ini banyak ditemukan di perairan Kabupaten Sumbawa, namun hingga sekarang belum dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Penentuan potensi kandungan alginat dari P. australis

(14)

dan faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan dan kandungan alginat P. australis sehingga dapat dijadikan acuan dalam pengembangan industri rumput laut penghasil alginat.

Perumusan Masalah

Alginat merupakan kandungan utama dari dinding sel rumput laut coklat, tersusun atas 1,4 -D-asam manuronat dan -L-guluronat (Draget et al. 2005; Donati dan Paoletti 2009; Ertesvag et al. 2009). Kandungan alginat rumput laut coklat bervariasi tergantung dari jenis, kondisi lingkungan, musim, metode ekstraksi, serta bagian tanaman dari rumput laut coklat yang diekstraksi (Draget et al. 2000; Mirshafiey dan Rhem 2009).

P. australis termasuk salah satu jenis rumput laut coklat yang memiliki potensi sebagai sumber alginat dan banyak tumbuh di sepanjang perairan Kabupaten Sumbawa. Sampai saat ini rumput laut tersebut belum dimanfaatkan secara ekonomis oleh penduduk setempat. P. australis hidup pada beberapa karakteristik lingkungan perairan yang berbeda diantaranya di daerah intertidal, di pantai berbatu dan pada beberapa perairan lainnya yang memiliki substrat berpasir dan kondisi lingkungan yang berbeda. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan rumput laut coklat (Phaeophyta) yang hidup di zona intertidal diketahui bervariasi secara temporal dan spasial yang disebabkan oleh perbedaan faktor fisika, kimia dan biologi perairan (Diez et al. 2003; Goldberg dan Kendrick 2004; Palomo et al. 2004; Schiel dan Foster 2006). Beberapa penelitian yang mengekstraksi alginat rumput laut coklat dari spesies yang sama namun dari perairan dan waktu yang berbeda menunjukkan perbedaan kandungan alginat (Mafra dan Cunha 2006; Rasyid 2007, 2009; Mirsafiey dan Rehm 2009; Widyastuti 2009; Mushollaeni 2011). Informasi dan kajian mengenai parameter lingkungan yang mempengaruhi biomassa dan kandungan alginat pada rumput laut coklat masih sangat jarang dilakukan, terutama P.australis.

Berdasarkan informasi tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. bagaimanakah potensi alginat dari P. australis yang ada di Kabupaten Sumbawa?

2. parameter fisika kimia kunci apa saja yang mempengaruhi kehidupan serta kandungan dan karakteristik alginat rumput laut P. australis

3. bagaimanakah lokasi yang dapat mendukung kehidupan dan memberikan kandungan serta karakteristik alginat yang baik pada P. australis di perairan Kabupaten Sumbawa?

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

(15)

2. mengetahui parameter fisika kimia perairan kunci yang mempengaruhi biomassa dan kandungan alginat P. australis

3. mengetahui arahan penentuan lokasi yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut dengan kandungan alginat yang maksimum di perairan Kabupaten Sumbawa

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dengan mengetahui potensi serta pengaruh kondisi lingkungan terhadap kehidupan dan kandungan alginat P. australis diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam pengembangan industri rumput laut khususnya dalam penentuan lokasi rumput laut penghasil alginat.

TINJAUAN PUSTAKA

Alginat

Definisi Alginat

Alginat adalah istilah untuk senyawa dalam bentuk garam dan turunan asam alginat. Asam alginat tersusun atas polimer asam D-mannuronat dan L-guluronat, digambarkan berupa karbohidrat yang membentuk koloid hidrofilik yang diekstraksi dengan garam alkali dari bermacam-macam jenis alga laut coklat.

Alginat adalah phycocoloid yang merupakan satu kelompok polisakarida yang terbentuk dalam dinding sel alga. Alginat merupakan komponen utama dan senyawa penting dalam dinding sel spesies alga yang tergolong kedalam kelas

Phaeophyceae (Draget et al. 2005; Cardozo et al. 2007; Ertesvag et al. 2009) dan memegang peranan penting dalam mempertahankan struktur jaringan alga (Chapman dan Chapman 1980).

Struktur dan Sifat Fisiko-Kimia Alginat

Pada awalnya alginat dianggap sebagai suatu asam polimannuronat, namun sejak tahun 1964 asam alginat lebih dikenal sebagai kopolimer dari asam L-guluronat dan asam D-mannuronat. Prinsipnya alginat terdiri dari tiga macam

struktur, yaitu homopolisakarida α-1,4-L-guluronat, β -1,4-D-mannuronat, dan heteropolisakarida yang merupakan bentuk selang-seling asam α -1,4-L-guluronat

dan asam β -1,4-D-mannuronat (Renn 1984).

(16)

Gambar 1 Struktur alginat (Draget et al. 2005)

Gambar 2 Struktur polimannuronat, poliguluronat, dan kopolimer berselang (Nussinovitch 1997)

Perbandingan blok-M, blok-G dan blok-MG alginat ditentukan oleh genus dan spesies dari rumput laut coklat yang diekstrak. Perbandingan tersebut mempengaruhi kekuatan gel larutan alginat (Hoefler 2004). Rumus molekul dari natrium alginat adalah (C6H7O6Na)n (Yunizal 2004).

Tepung asam alginat berwarna putih, sedangkan natrium alginat berwarna gading. Kadar abu natrium alginat jauh lebih tinggi daripada asam alginat karena adanya unsur natrium. Kandungan air yang lebih tinggi dalam natrium alginat disebabkan adanya pengaruh garam yang bersifat higroskopis. Kandungan air dalam alginat bervariasi tergantung pada kelembaban lingkungannya. Semakin tinggi kelembaban lingkungan, maka semakin tinggi pula kandungan air dalam natrium alginat. Natrium, kalium, dan propilen glikol alginat (PGA) dapat dilarutkan dalam air untuk meningkatkan kekentalan (Yunizal 2004).

Asam alginat tidak larut dalam air dingin maupun air panas, tetapi mudah sekali larut dalam larutan yang mengandung hidroksida. Garam karbonat dari logam alkali, asam alginat akan membentuk larutan garam alginat yang berviskositas tinggi. Alginat yang mengandung kation (K atau Na) dan propilen glikol alginat dapat larut dalam air dingin maupun air panas serta membentuk larutan yang stabil dan membentuk gel pada larutan asam (Yunizal 2004). Kation ini mengikat air sangat kuat karena kandungan ion karboksilat yang tinggi (Klose dan Glicksman 1972).

(17)

Standar Mutu Alginat

Spesifikasi alginat secara komersial bervariasi tergantung pemakaiannya dalam bidang industri. Alginat yang digunakan dalam industri makanan dan farmasi harus memenuhi persyaratan bebas dari selulosa dan warnanya sudah dipucatkan sehingga berwarna putih terang. Pharmaceutical grade, biasanya bebas dari selulosa dan dipucatkan hingga berwarna agak putih sampai putih bersih. Industrial grade masih mengizinkan adanya bagian dari selulosa dengan warna granula bervariasi dari coklat sampai putih (McNeely dan Pettitt 1973).

Harga dari alginat tergantung pada grade dan komposisi yang dikandungnya (McNeely dan Pettit 1973). Spesifikasi mutu asam alginat, natrium alginat dan

Tabel 2 Spesifikasi natrium alginat sebagai food grade

No Spesifikasi Kandungan

Alginat digunakan secara luas dalam industri sebagai bahan pengental, pensuspensi, penstabil, pembentuk film, pembentuk gel, disintegrating agent, dan bahan pengemulsi. Banyaknya fungsi alginat menyebabkan tingginya kebutuhan alginat oleh berbagai industri, seperti industri farmasi (5%), tekstil (50%), makanan dan minuman (30%), kertas (6%), serta industri lainnya (9%) (Anggadiredja et al. 2006). Friedli dan Schlager (2005) menyatakan bahwa alginat digunakan dalam industri farmasi pada proses enkapsulasi.

(18)

bahan minyak rambut dan larutan pencuci rambut (Anggadiredja et al. 2006). Industri kosmetik menggunakan alginat sebagai bahan untuk skin lotion dan produk lainnya berupa jeli dan krim (Yunizal 2004).

Garam-garam alkali dapat juga digunakan sebagai pengental bahan untuk pewarnaan di industri percetakan, sebagai penguat dan perekat benang-benang yang digunakan untuk tenun, sebagai bahan perekat di industri briket khususnya yang terbuat dari batubara atau liginit. Pada industri briket 2,5% larutan digunakan sebagai medium pengikat. Penggunaan lain dari garam alginat tergantung pada kemampuan sebagai pengemulsi, misalnya cat emulsi kasein. Sifat pengemulsi ini digunakan untuk bahan-bahan yang tidak larut dalam air, misalnya produk-produk lemak, bensin, minyak, dan disinfektan. Menurut Chapman dan Chapman (1980), sifat suspensi dari natrium alginat digunakan pada obat-obatan (misalnya penisilin), semir mobil, cat, kosmetik, dan insektisida.

Salah satu pemanfaatan alginat yang penting khususnya di Amerika Serikat adalah sebagai penstabil yang dapat memberikan kelembutan pada kulit dan tekstur es krim serta mencegah terbentuknya kristal yang kasar. Menurut Chapman dan Chapman (1980), pemanfaatan alginat sebagai penstabil harus dalam larutan alkali sebab jika dalam larutan asam akan terbentuk gel.

Pemanfaatan alginat dalam industri makanan didasarkan pada beberapa faktor antara lain:

1. kemampuan untuk membentuk larutan yang viskos 2. stabil pada temperatur dan pH tinggi

3. reaktivitas terhadap ion Ca2+ yang dapat membentuk gel dan 4. stabilitas panas dari gel (Anullman's 1998).

Menurut Astawan (1997), alginat memiliki afinitas (daya ikat) yang tinggi terhadap logam berat dan unsur radioaktif. Alginat merupakan bahan makanan yang tidak mudah dicerna, sehingga konsumsi alginat membantu membersihkan logam berat dan unsur radioaktif yang masuk ke dalam tubuh.

Pada pengolahan hasil perikanan, alginat digunakan dalam pembekuan ikan yaitu sebagai glazing untuk menghindari reaksi oksidasi dan digunakan dalam proses pengalengan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hasil ekstraksi natrium alginat dari Sargassum dapat digunakan untuk menghambat proses pematangan dan pembusukan buah. Ekstrak natrium alginat pada konsentrasi 15% digunakan sebagai konsentrasi optimum dalam pengawetan buah jeruk dengan rata-rata masa simpan selama 58,2 hari (Bahar 2012)

Rumput Laut dan Alginat

Rumput Laut Penghasil Alginat

Penghasil alginat adalah rumput laut coklat antara lain dari jenis Sargassum

dan Turbinaria yang sampai sekarang masih dipanen dari alam. Pemanfaatan rumput laut coklat di Indonesia masih terbatas pada jenis Sargassum sp saja yang dimanfaatkan secara komersial sebagai obat antikanker, sedangkan jenis

Turbinaria belum dimanfaatkan secara komersial (Darmawan et al. 2006)

(19)

pyrifera yang tumbuh di sepanjang pantai barat kepulauan Amerika Utara yaitu dari Mexico sampai California. Di Canada, alginat diekstraksi dari Ascophyllum nodosum yang tumbuh sepanjang pantai bagian selatan Nova Scotia, sementara itu industri-industri alginat di Eropa terutama di Inggris, Norwegia, dan Perancis melakukan ekstraksi alginat dari Ascophyllum nodosum, Laminaria hyperborea

dan Laminaria digitata. Alga coklat penting lainnya yang digunakan untuk ekstraksi alginat adalah Ecklonia maxima dan Lessonia nigrescans (Othmer 1994). Ecklonia maxima banyak ditemukan di perairan Afrika Selatan, sedangkan

Lessonia nigrescans banyak ditemukan di perairan Amerika Selatan (Chapman dan Chapman 1980). Di perairan pantai Indonesia juga ditemukan beberapa jenis alga coklat yang memiliki potensi sebagai bahan baku pengolahan alginat, yaitu

Sargassum binderi, Sargassum duplicatum, Sargassum echinocarpum, Sargassum plagyophyllum, Sargassum polycystum, Sargassum crassifolium, Turbinaria conoides, Turbinaria decurrens, Turbinaria ornata, Hormophysa triquetra dan

Padina australis (Atmadja 1996).

Biosintesis Alginat oleh Alga

Pada proses biosintesis alginat, suatu sistem sel dari Fucus garneri yang digunakan untuk mendeteksi enzim-enzim yang berperan dalam biosintesis alginat. Skema biosintesis dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Skema biosintesis alginat (Draget 2005)

Enzim-enzim yang berperan dalam proses biosintesis alginat terdiri dari hexokinase, phosphomannose isomerase dan D-mannose-1-fosfat transferase guanylyl yang mengkatalisis pembentukan gula nukleotide GDP-D-mannose. Guanosine difosfat mannose dehydrogenase memiliki aktivitas dalam mengoksidasi asam GDP-D-mannuronik yang pada akhirnya mengikat asam mannuronat dalam pembentukan alginat (Stephen 1995).

Fructosa-6-P D-Mannosa-6-P D-Mannosa-1-P

GDP-D-Mannosa

GDP-D-Mannouronic acid Mannuronan (ManA) n+1

ALGINAT

(ManA) n

(20)

Bioekologi P. australis

Morfologi Padina australis

Padina merupakan alga coklat (brown alga) yang termasuk dalam phylum

Heterokontophyta, kelas Phaeophyceae dan ordo Dictyotales (Lee 1999), genus

Padina menyebar di daerah beriklim tropis dan subtropis serta sangat mudah dikenali. Padina australis merupakan salah satu spesies yang terdapat di Indonesia (Lee dan Kamura 1991; Huisman 2000).

Tallus dari Padina termasuk P. australis berbentuk tegak, lembaran (frond) berbentuk kipas dan memiliki sel parenkim, melekat pada substrat dengan

holdfast rhizoid. Pada tanaman yang terendam, lembaran yang berbentuk kipas akan melengkung dan akan membentuk sebuah corong. Garis konsentrik yang terdapat pada lembaran P. australis terbentuk oleh rambut.

Pemeriksaan makroskopis menunjukkan bahwa tallus Padina seperti kipas membentuk segmen-segmen lembaran dengan garis-garis radial dan bagian permukaan berkapur. Warna coklat kekuningan dan kadang-kadang memutih karena perkapuran, lembaran mudah robek. Ukuran lembaran tallus 5-10 cm. Alat penempel berupa serabut tebal. Alga ini tidak mengalami perubahan warna dalam keadaan kering. Gambar morfologi P. australis dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Morfologi P. australis (Dokumentasi pribadi)

Pemeriksaan mikroskopis irisan melintang tallus dalam kloralhidrat menunjukkan bahwa tallus P. australis terdiri dari epidermis dan sel parenkim. Hasil pemeriksaan mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan: (1) sel epidermis dan (2) sel meristematik

(21)

Sistem Reproduksi dan Siklus Hidup Padina australis

Sistem reproduksi terdiri dari sporangia atau oogonia. Struktur reproduksi, sporangia, oogonia dan antheridia, muncul diantara rambut dan garis radial.

Padina merupakan organisme yang melakukan isomorphic generation yang melibatkan sprofit diploid dan gametofit haploid. Siklus hidupnya merupakan tipe isomorphic diplohaplontik.

Sporofit Padina menghasilkan aplonaspora haploid (tetraspora) melalui proses miosis dari tetrasporangia yang berkembang pada sel epidermal. Sporangia, oogonia dan antheridia terbentuk pada baris konsentrik pada permukaan blade (daun). Siklus hidup Padina dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Siklus hidup Padina (Lee 1999)

Padina menunjukkan pergantian generasi isomorfik, dan isogamous. Menurut Allender (1977) dan Rengasamy (1990), sistem perkembangbiakan

Padina dilakukan dengan fase sporophytic dan fase gametophytic, namun umumnya fase sporophytic sebanyak 86% sedangkan fase gametophytes 14%. Sporofit adalah fase bantalan spora atau generasi dalam siklus hidup tanaman.

Habitat dan Distribusi Padina

Genus Padina banyak ditemukan di daerah intertidal dan subtidal (Rodriguez 2009). Tumbuh pada substrat yang keras dan pada sebagian atau sepenuh periode tumbuh pada substrat berpasir. Tanaman tumbuh di wilayah yang lebih dalam sublitoral (1-10 m), melekat pada pasir atau batu dan karang, dan kadang-kadang terlihat epifit pada alga lainnya. Padina merupakan genus yang biasanya berasosiasi dengan Sargassum.

Penyebaran Padina sangat luas diantaranya Pantai Gading, Kamerun, Gabon, Angola, Jepang, Cina, Taiwan, Korea Selatan, Vietnam, Indonesia, Filipina, Kepulauan Hawaii, Fiji, Afrika Timur, Thailand, Bangladesh, India, Kuwait, Australia dan Selandia Baru. Terdapat sekitar 50 taksa Padina di seluruh dunia, namun sebagian besar kurang dikenal dan tidak memiliki nama (Lee dan Kamura 1991).

Faktor Fisika Kimia Perairan terhadap Kehidupan Padina

Padina yang hidup di zona intertidal sangat dipengaruhi oleh faktor fisika kimia perairan dan khususnya berdampak pada pertumbuhan rumput laut. Kandungan nutrien (Schaffelke 1999; Ichiki et al. 2000; Kuffner dan Paul 2001; Szmant 2002; Lapointe et al. 2004; Palomo et al. 2004; Roberson dan Coyer 2004), intensitas cahaya (Hansen 1977; Flores-Moya et al. 1996; Ateweberhan

Male gametophytes (n) Antheridia Sperm (n) Female gametophytes (n) Oogonia Egg (n) Spores (n)

meiosis

(22)

2006; Plougruerne et al. 2006), gelombang (Paryi 1984; Prathep dan Tantiprapes 2006), suhu (Hwang et al. 2004), tipe substrat (Quartino et al. 2001; Diez et al.

2003) dan faktor biologi (Lewis et al. 1987; Steneck dan Dethier 1994; Van Alstyne et al. 2001) merupakan faktor fisika kimia yang mempengaruhi kehidupan Padina. Faktor tersebut diketahui berpengaruh terhadap distribusi (Campbell et al. 1998) dan diketahui sebagai faktor pembatas pertumbuhan dan reproduksi alga (Graham 2002).

Garreta et al (2007) menyatakan bahwa suhu perairan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan gamet pada P. pavonica. Pada suhu yang tinggi, gametofit cenderung diocious, namun ketika suhu rendah terjadi peningkatan rasio monoecism. Suhu yang dapat ditoleransi oleh Padina berkisar antara 23 sampai 28 °C (Subbaraju et al. 1982). Kebutuhan suhu untuk beberapa jenis rumput laut berbeda satu sama lain, namun kebutuhan suhu rata-rata rumput laut berkisar antara 20 sampai 30 °C (Komarawidjaja 2003).

Pengaruh salinitas, pH dan suhu pada spora P. tetrastomatica Hauck telah dipelajari (Subbaraju et al. 1982). Alga menunjukkan toleransi pada salinitas antara 27 sampai 32 psu. Pada salinitas < 17,9 psu dan > 32,1 psu tidak ada spora yang dapat bertahan dan pH 8,0–8,5 merupakan pH optimal untuk pertumbuhan

Padina. Beberapa bentik alga memiliki respon yang berbeda terhadap pengaruh lingkungan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa nutrien merupakan penyebab utama meningkatnya kelimpahan makroalga. Schaffelke (1999) menyatakan bahwa jumlah fotosintesis bersih meningkat dengan meningkatnya nutrien dan diduga bahwa pertumbuhan terjadi lebih cepat (Nordemar et al. 2007).

Menurut Sulistijo dan Atmadja (1987), kandungan nitrat yang mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut adalah sebesar 0,014 mg/l. Law (1969) dalam Syahputra (2005) bahwa perairan dengan kandungan fosfat di atas 0,110 mg/l tergolong dalam perairan dengan kriteria subur.

Berkaitan dengan pertumbuhan rumput laut, fosfor berperan sebagai faktor pembatas dalam proses fotosintesis (Lapointe 1987), dengan perbandingan antara N, P, dan K yang diperlukan oleh rumput laut adalah 15:5:1,8 (Round 1977). Menurut Soepomo (1974), kisaran fosfat yang terdapat di laut adalah 0,021-0,201 mg/l dan permukaan air laut mengandung fosfat terlarut lebih rendah dibanding perairan laut yang lebih dalam.

Kandungan fosfor (P) dalam sel alga mempengaruhi laju serapan fosfat, yaitu berkurang sejalan dengan meningkatnya kandungan fosfat dalam sel. Beberapa jenis alga mampu menyerap fosfat melebihi kebutuhan (luxury consumption) dan mampu menyerap fosfat pada konsentrasi yang sangat rendah serta mempunyai enzim alkalinase. Kekurangan P akan lebih kritis bagi tanaman akuatik termasuk alga, dibandingkan dengan bila kekurangan N di perairan. Orthofosfat (PO4) merupakan bentuk dari fosfat yang dapat dimanfaatkan langsung oleh tanaman akuatik (Fritz 1986).

(23)

Salah satu komponen penting yang berperan dalam pertumbuhan dan keberadaan jenis rumput laut adalah substrat. Hal ini didukung oleh pernyataan Bold (1985) yang menyatakan bahwa seaweed hidup sebagai makrobenthos dengan melekatkan diri pada substrat yang bervariasi seperti batu-batuan atau karang, pada lumpur atau pasir, atau dengan kata lain pada kondisi atau tipe substrat yang sesuai suatu jenis rumput laut ditemukan melimpah.

Kondisi Lingkungan dan Karakteristik Alginat Rumput Laut

Kondisi lingkungan merupakan faktor yang memegang peranan dalam sintesis phycocoloid pada rumput laut termasuk alginat. Hal ini didasarkan pada hasil-hasil penelitian pada beberapa daerah yang menunjukkan bahwa kandungan

phycocoloid berbeda untuk tiap lokasi yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap S. polycystum yang diperoleh dari Pulau Pari menunjukkan kadar natrium alginat sebesar 26,88%, kadar air sebesar 14,25%, viskositas sebesar 64 cps (25 °C) dan kekuatan gel sebesar 235,80 gcm-2.

Sargassum sp yang diperoleh dari perairan Pulau Batam sebesar 26,85%, kadar air sebesar 14,90 %, viskositas sebesar 49,7 cps (25 °C) dan 19,7 cps (65 °C) dan kekuatan gel sebesar 181,04 gcm-2 (Rachmat 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar alginat dalam Sargassum longifolium sebesar 17%, Sargassum sp sebesar 24,8–34,6%. Pada tahun 1973, penelitiannya tentang kadar alginat dalam

Sargassum sp yaitu sebesar 13% (Chapman and Chapman 1980). Hal ini menunjukkan bahwa Sargassum asal perairan Kepulauan Spermonde mengandung alginat yang cukup tinggi. Perbedaan kadar natrium alginat dari ke-tiga sampel yang diuji dengan hasil penelitian yang pernah dilaporkan menunjukkan adanya pengaruh lingkungan yang meliputi suhu, salinitas, unsur hara dan kedalaman.

Jenis rumput laut coklat yang lebih banyak tidak bersentuhan dengan dasar pantai, memiliki kadar abu yang lebih rendah dibandingkan dengan rumput laut yang berhabitat pada karang dasar. Jumlah daun menentukan kadar alginat yang ada, karena didalam daun terdapat alginat yang lebih banyak daripada pada batang dan akar. Kondisi ini memungkinkan kandungan alginatnya lebih banyak (Atmadja 1996). Habitat alginofit yang lebih banyak terkena ombak langsung, hidup dengan akar melekat kuat pada karang, dan ukuran rumpun yang lebih tinggi mempunyai kadar alginat yang lebih banyak. Rumput laut seperti

Turbinaria decurrens yang hidup di pantai berkarang atau rataan terumbu karang, banyak mengandung alginat dari tipe asam guluronat. Menurut Taylor (1979), kandungan alginat rumput laut coklat tergantung dari metode ekstraksi, umur, jenis dan habitat rumput laut.

Alginofit yang tumbuh di daerah yang terkena ombak langsung, mempunyai

(24)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Kabupaten Sumbawa dan dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 - Februari 2013. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Ekstraksi alginat dilakukan di Laboratoriun Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) – Institut Pertanian Bogor. Analisis karakteristik alginat dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Analisis kualitas air yaitu nitrat, nitrit, ammonia dan fosfat dilakukan di Laboratorium Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok.

Penentuan stasiun penelitian didasarkan pada survei pendahuluan yaitu survei untuk mengamati keberadaan P. australis di perairan Kabupaten Sumbawa. Berdasarkan hasil survei tersebut, ditetapkan tiga stasiun penelitian yang merupakan daerah tempat tumbuhnya P. australis dan memiliki kondisi perairan yang berbeda. Kondisi heterogen diindikasikan antara lain oleh adanya kelompok-kelompok alga atau tumbuhan laut lainnya yang berbeda dan perbedaan kondisi parameter fisika-kimia perairan (arus, kedalaman, nitrat, fosfat, salinitas, substrat, pH dan suhu). Hal ini dimaksudkan untuk melihat kondisi perairan yang memiliki potensi baik untuk biomassa, kandungan dan karakteristik alginat P. australis. Adapun tiga stasiun pengamatan tersebut yaitu :

Stasiun 1 : merupakan daerah pantai dengan substrat berbatu, memiliki arus dan gelombang yang cukup kuat, pinggir pantai ditumbuhi oleh mangrove jenis Sonneratia sp.

Stasiun 2 : memiliki substrat berpasir, sedikit terlindung dari arus dan gelombang. Didominasi oleh padang lamun serta terdapat rumput laut coklat jenis Sargassum

Stasiun 3 : merupakan daerah di pinggir bukit, perairan yang tenang, didominasi dari jenis Halimeda sp dan Gracilaria sp.

(25)

Pengumpulan Data Lapangan

Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui pengamatan terhadap kondisi habitat P. australis yang meliputi pengamatan terhadap kualitas air, substrat, alga atau lamun yang berasosiasi dengan P. australis. Pengamatan kepadatan dan kondisi fisik P. australis juga dilakukan.

Pengukuran kualitas perairan dilakukan pada saat pasang dan surut dan dilakukan secara insitu dan eksitu (laboratorium). Kualitas perairan yang diukur secara insitu meliputi suhu, pH, salinitas, kecepatan arus dan kedalaman. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer Hg. Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan portable refractometer. Pengukuran kecepatan arus dilakukan secara manual yaitu menggunakan botol plastik berukuran 500 ml yang diisi ¾ air dan untuk menghitung kecepatannya menggunakan stopwatch. Pengukuran pH perairan menggunakan kertas pH. Pengukuran kedalaman dengan menggunakan tongkat berskala. Pengamatan substrat dilakukan secara visual dan mengacu pada klasifikasi substrat oleh Michael (1994). Pengambilan sampel air untuk analisis nitrat, fosfat, ammonia dan nitrit perairan dilakukan dengan menggunakan botol plastik polipropilene 250 ml kemudian sampel dimasukkan ke dalam cooler box yang memiliki suhu 4 °C. Sampel kemudian dianalisis di Laboratorium Balai Budidaya Laut Lombok dengan waktu antara pengambilan sampel dengan filtrasi nutrien adalah 20 jam. Pengukuran nitrat, nitrit, fosfat dan ammonia dengan menggunakan metode spektrofotometri (APHA 2005).

Pengamatan P. australis dilakukan dengan melihat kepadatan, biomassa dan kondisi kesegaran. Pengamatan kepadatan dilakukan dengan menggunakan metode transek plot kuadrat yang berbentuk bujur sangkar berukuran 1 x 1 m2. Metode transek plot kuadrat dipilih karena metode ini dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Tiga garis transek pada tiap stasiun ditarik tegak lurus terhadap pantai ke arah laut sejauh 100 m dengan jarak antara titik plot sejauh 10 m dan jarak antara ke-tiga garis transek adalah 50 m. Pada setiap transek dihitung jumlah P. australis yang tumbuh, kemudian dihitung jumlah kepadatannya dengan melihat jumlah individu/m2. Pengamatan juga dilakukan terhadap substrat dasar dalam plot serta alga atau tumbuhan laut lainnya yang berasosiasi dengan

P. australis.

Rumput laut yang ada pada setiap plot diambil dan dimasukkan ke dalam kantung plastik yang berukuran 1 kg. Setelah diberi tanda rumput laut ditimbang untuk memperoleh berat basah. Berat basah diperlukan untuk mengetahui biomassa rumput laut. Biomassa menurut Bower (1977) dalam Atmadja (1996) adalah berat total organisme dalam area studi. Pada penelitian ini, biomassa dihitung pada tiap meter persegi (g basah/m2). Pengamatan fisik P. australis dilakukan secara visual. Pengamatan terdiri atas pengamatan kesegaran, warna, rangkaian tallus dan panjang frond. Panjang frond diukur dengan menggunakan penggaris.

(26)

Gambar 8 Skema transek kuadrat dalam pengamatan P. australis

Metode Ekstraksi Kandungan dan Karakterisasi Natrium Alginat

Metode Ekstraksi Kandungan Alginat

Metode ekstraksi Na-alginat mengikuti metode yang digunakan dalam penelitian Mushollaeni (2007). Alginofit yang diperoleh dari lapangan dibersihkan dari kotoran yang melekat, dicuci dan dikeringkan dengan sinar matahari selama 2-3 hari hingga kering. P. australis yang telah kering kemudian dibungkus dengan kertas koran dan disimpan pada tempat yang kering sebelum dianalisa di laboratorium. Ekstraksi alginat di laboratorium dimulai dengan

leaching I dengan CaCl2 1% selama 30 menit dan dicuci. Leaching II dengan HCl 5% selama 30 menit pada suhu 30-40 °C dan dicuci. Ditambahkan larutan KOH 0,5% selama 60 menit pada suhu 50-60 °C dan dicuci. Ekstraksi dilakukan dengan Na2CO3 2,25% pada suhu 50-60 °C selama 1 jam dan disaring. Filtrat yang diperoleh, dipucatkan dengan NaOCl 10%, diaduk dan dibiarkan selama lima jam. Pengendapan dengan HCl 5% dilakukan sampai terbentuk endapan dalam bentuk asam alginat, dicuci, disaring dan dinetralkan dengan Na2CO3 10% pada pH 6-7, diaduk dan disaring. Pemurnian dilakukan dengan isopropanol 95% dan dikeringkan pada suhu 50-60 °C selama 17 jam, digiling hingga didapatkan tepung natrium alginat. Rendemen alginat diperoleh dengan menghitung persentase berat alginat dengan berat awal alginofit.

50 m 1 m

1 m

Transek

Kuadrat

(27)

Kadar Abu

Analisis kadar abu dilakukan menurut metode gravimetri AOAC (1990), dengan melakukan pembakaran sampel dalam tanur pada suhu 600 °C. Kadar abu alginat dinyatakan sebagai persentase berat abu terhadap berat sampel kering.

Viskositas

Analisis viskositas mengacu metode James (1995), yaitu menggunakan

viscotester. Sampel yang digunakan sebanyak 250 ml, yang didapatkan dengan cara membuat 1% larutan alginat yang dipanaskan pada suhu 50 °C.

Kekuatan Gel (Farida et al. 2006)

Larutan alginat 1,6% dan KCl 0,16% dipanaskan dalam air mendidih dengan pengadukan secara teratur sampai suhu 80 °C. Volume larutan dibuat sekitar 50 ml. Larutan panas dimasukkan ke dalam cetakkan berdiameter 4 cm dan dibiarkan pada suhu 10 °C selama 2 jam. Gel dalam cetakan dimasukkan ke dalam alat ukur (Rheoner RE-3305). Evaluasi hasil pengukuran dilakukan dengan membaca grafik yang dihasilkan. Gaya tekan maksimal dibaca pada recorder.

Kadar Pb

Penentuan kadar Pb dilakukan menurut metode James (1995), yang menggunakan spektrofotometer serapan atom.

Analisis Data

Analisis Kepadatan (jumlah individu) dan Biomassa P. australis

Menurut Saito (1976) formula yang digunakan dalam analisis kepadatan dan biomassa adalah:

Kepadatan spesies = a a

²

Perbedaan Kepadatan P. australis antar Stasiun Pengamatan

Analisis perbedaan kepadatan dan biomassa P. australis antar stasiun pengamatan menggunakan Analisis of Variance (ANOVA) pada p-value 0,05. Jika terdapat perbedaan yang signifikan maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie 1989).

Hubungan Parameter Lingkungan terhadap Biomassa, Kandungan dan Karakteristik P. australis

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Fisika Kimia Perairan

Hasil pengukuran parameter fisika kimia perairan menunjukkan bahwa kualitas fisika kimia perairan berbeda pada ke-tiga stasiun dan terjadi fluktuasi selama tiga bulan pengamatan. Kualitas fisika kimia perairan pada ke-tiga stasiun disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Parameter fisika kimia perairan Parameter

lingkungan Satuan

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Okt Nov Jan Okt Nov Jan Okt Nov Jan

Nitrat µg.At/l 1,50 1,00 2,40 1,80 0,95 2,10 2,80 1,70 2,30

Nitrit µg.At/l 0,06 0,03 0,09 0,04 0,05 0,06 0,09 0,08 0,08

Ammonia µg.At /l 0,27 0,41 0,33 0,33 0,32 0,24 0,43 0,43 0,40

Fosfat µg.At /l 0,21 0,23 0,35 1,23 0,14 0,20 0,55 0,24 0,16

pH 8 8 8 8 7 7 8 7 7

Salinitas psu 32 32 31 34 34 33 35 35 34

Suhu (°C) 32 34 29 33 34 32 34 34 34

Kecepatan

arus m s-1 0,40 0,45 3,66 0,02 0,02 0,05 0,03 0,03 0,04

Substrat Berbatu Berpasir Berpasir

Nutrien di perairan bersama suhu, cahaya dan pergerakan air memiliki peranan dalam mestimulasi pertumbuhan alga termasuk P. australis (Smith 2002). Perubahan nutrien dapat mempengaruhi struktur komunitas dan mestimulasi pertumbuhan alga (Anderson et al. 2002). Umumnya nitrogen dibutuhkan dan dimanfaatkan dalam bentuk yang luas seperti ammonia, nitrat dan asam amino. Nitrat dan ammonia merupakan bentuk utama nitrogen yang dibutuhkan dalam meningkatkan aktivitas fotosintesis melalui sintesis klorofil a dan fikoeritrin. Nitrogen berperan dalam pembentukan makromolekul (protein, asam nukleat, pigmen) dan pertumbuhan rumput laut (Lobban dan Horrizon 1994).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata nitrat, nitrit dan ammonia relatif lebih tinggi pada stasiun 3 dibandingkan stasiun 1 dan stasiun 2. Karakteristik stasiun 3 yang merupakan perairan yang relatif tenang memberikan pengaruh terhadap tingginya konsentrasi nutrien di lokasi tersebut. Luasan area (surface area), kedalaman, volume, laju pembilasan (flushing rate), waktu tinggal air (residence time), pasang surut (tidal exchange), percampuran (vertical mixing) dan stratifikasi merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi respon perairan terhadap masukan bahan organik dan akan berpengaruh terhadap transport, transformasi, retensi dan ekspor nutrien (Cloern 2001; Koropitan et al. 2009).

(29)

Lobban dan Harrison (1994) dan Choi et al. (2010) menyatakan bahwa parameter kualitas air yang sangat berperan terhadap pertumbuhan, pembentukan tallus dan perkembangan morfogenetik rumput laut adalah salinitas, karena terkait langsung dengan osmoregulasi yang terjadi di dalam sel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salinitas stasiun 1 (31–32 psu) lebih rendah dibandingkan stasiun 2 dan 3 (34–35 psu). Hal ini menunjukkan bahwa P. australis dapat tumbuh pada kisaran salinitas 31 sampai 35 psu.

Derajat keasaman atau pH digambarkan sebagai keberadaan ion hidrogen. Nilai pH berpengaruh terhadap kelarutan dan ketersediaan ion mineral sehingga mempengaruhi penyerapan nutrien oleh sel. Kisaran pH di stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan stasiun 2 dan 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH di tiga stasiun berkisar antara 7 sampai 8. Rata-rata stasiun menunjukkan penurunan nilai pH pada bulan Januari yang merupakan musim hujan. Kisaran pH di tiga stasiun penelitian menunjukkan kisaran pH yang normal pada perairan laut.

Suhu mempengaruhi adaptasi morfologi, ultrastruktur, aktivitas enzim, fisiologi, komposisi biokimia dan ekspresi gen (Stibal dan Elster 2005). Kim et al. (2007) menyatakan bahwa suhu berpengaruh secara signifikan terhadap laju pertumbuhan rumput laut. Penelitian yang dilakukan oleh Pedersen (2004) menunjukkann bahwa peningkatan suhu 10 °C dapat meningkatkan pertumbuhan rumput laut jenis P. suborbiculata. menunjukkan bahwa suhu memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap penyerapan nutrien oleh alga (Ozaki et al. 2001).

(30)

Kepadatan dan Biomassa P. australis analisis ragam menunujukkan bahwa kepadatan dan biomassa P. australis di ke-tiga stasiun berbeda nyata (p<0,05). Kepadatan pada masing-masing stasiun berbanding lurus dengan jumlah biomassa. Kepadatan dan biomassa P. australis

(31)

(a) (b)

Keterangan: huruf pada histogram (a, b dan c) menunjukkan beda nyata antar bulan pengamatan pada masing-masing stasiun, sedangkan huruf (p, q) menunjukkan beda nyata antar stasiun pengamatan

Gambar 9 (a) Kepadatan (ind/m2) dan (b) Biomassa (g basah/m2) P. australis Tingginya kepadatan (jumlah individu) dan biomassa P. australis pada bulan Oktober di stasiun 1 disebabkan oleh substrat dari stasiun 1 yang berbatu sehingga merupakan substrat yang kuat sebagai tempat melekatnya P. australis. Tersedianya nutrien (nitrat, nitrit, ammonia dan fosfat) dan kecepatan arus yang relatif sedang pada bulan Oktober yaitu 0,45 m s-1 memberikan manfaat pada P.

australis. Kecepatan arus dalam kisaran sedang memberikan kesempatan dalam penyerapan nutrien, membersihkan rumput laut dari sedimen dan tidak membuat tallus terlepas dari substrat tempat menempel (Hurd 2000). Pada bulan Januari, kecepatan arus di stasiun 1 mencapai 3,66 m s-1 dan termasuk arus yang kuat dibandingkan dengan arus bulan Oktober, kisaran kecepatan arus pada bulan Januari memberikan dampak negatif terhadap P. australis, hal ini dapat dilihat dari rendahnya jumlah P. australis pada bulan tersebut. Pada penelitian ini, arus dengan kecepatan sekitar 3,66 m s-1 mengakibatkan terlepasnya P. australis dari substrat tempat melekatkan diri. Kisaran arus yang kuat, juga berpengaruh terhadap kurangnya penyerapan nutrien oleh alga.

(32)

kepadatan P. australis. Penelitian yang dilakukan oleh Subbaraju et al. (1982) menunjukkan bahwa Padina toleran pada salinitas 27 sampai 32 psu. Pada salinitas < 17,9 dan > 32 psu spora tidak dapat berkembang dengan baik. Suhu antara 23 sampai 28 °C dan pH 8.0 sampai 8,5 merupakan kisaran optimal untuk pertumbuhan Padina. Pada penelitian ini dapat dikatakan bahwa karakteristik perairan stasiun 2 dan 3 kurang baik dalam mendukung kehidupan P. australis.

Perbedaan kepadatan dan biomassa P. australis di ke-tiga lokasi penelitian selama tiga bulan pengamatan menunjukkan bahwa adanya fluktuasi jumlah dan biomassa dipengaruhi oleh lokasi dan waktu. Wong dan Phang (2004) menyatakan bahwa kepadatan makroalga sangat dipengaruhi oleh pergantian musim dan kondisi substrat dasar. Kelimpahan alga dapat berfluktuasi karena perubahan musim yang menyebabkan perubahan parameter fisika perairan atau disebabkan oleh gangguan lainnya (Downes et al. 2000). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rogerio et al. (2012) menunjukkkan bahwa variasi temporal dan spasial mempengaruhi kelimpahan dan keragaman makroalga.

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara pH dan fosfat dengan biomassa, sedangkan nitrat, nitrit, ammonia, salinitas dan suhu memiliki korelasi yang negatif dengan biomassa dan untuk arus memiliki korelasi positif yang sangat lemah. Nilai korelasi Pearson antara parameter lingkungan dengan biomassa P. australis disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai korelasi Pearson antara parameter lingkungan dengan biomassa P. australis dalam penyerapan nutrien. Natasya (2009) menjelaskan bahwa derajat keasaman (pH) menentukan kelarutan dan ketersediaan ion mineral sehingga mempengaruhi penyerapan nutrien oleh sel alga. Hal ini juga diungkapkan pada penelitian yang dilakukan oleh Johnson et al. (2012) yang menyatakan bahwa penyerapan mineral dan pembentukan klorofil a dan klorofil b dipengaruhi oleh pH dan berdampak pada peningkatan biomassa alga.

(33)

satu parameter dengan parameter lainnya biasanya dipengaruhi oleh interaksi parameter lainnya. Hal ini dapat dilihat di stasiun 3 yang memiliki konsentrasi nitrat, nitrit dan ammonia yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 1, namun memiliki biomassa yang rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya pengaruh dari substrat dan arus. Substrat berpasir yang terdapat pada stasiun 3 menyebabkan P.australis tidak dapat tumbuh dan melekat dengan kuat, sehingga tingginya konsentrasi nitrat, nitrit dan ammonia tidak memberikan dampak yang positif terhadap biomassa P. australis. Nilai korelasi tersebut juga dipengaruhi oleh arus. Pergerakan yang lambat diduga membatasi penyerapan nutrien. Menurut Hurd (2000) dan Barr et al (2008) menunjukkan bahwa pada gerakan air yang lambat, nitrogen tidak memberikan dampak terhadap pertumbuhan rumput laut, hal ini disebabkan oleh lambatnya penyerapan nutrien karena terganggunya proses difusi yang biasanya distimulasi oleh adanya gerakan air pada permukaan rumput laut. Berbeda dengan unsur nitrogen, fosfat memberikan korelasi positif namun nilai korelasinya tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai fosfat dapat meningkatkan nilai biomassa P. australis. Menurut Effendi (2003), fosfat merupakan unsur esensial bagi alga dan berperan dalam transfer energi dalam sel yang akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan biomassa alga. Nilai korelasi antara fosfat dengan biomassa tergolong rendah, hal tersebut sama halnya dengan unsur nitrogen yang umumnya disebabkan adanya pengaruh dari beberapa parameter lainnya seperti substrat, arus, salinitas dan suhu yang dapat mempengaruhi penyerapan nutrien termasuk fosfat. N itrat, nitrit, ammonia dan fosfat sangat berperan dalam pertumbuhan rumput laut yang tumbuh di zona intertidal termasuk P. australis namun pengaruhnya sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan parameter perairan lainnya.

Korelasi negatif yang ditunjukkan oleh salinitas terkait dengan proses osmoregulasi oleh organisme. Semakin tinggi salinitas lingkungan, maka semakin banyak energi yang digunakan dalam menyeimbangkan konsentrasi di dalam tubuh, hal ini berdampak pada berkurangnya energi yang digunakan dalam pertumbuhan alga (Xiong dan Zhu 2002). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa

P. australis mampu mentoleransi salinitas 32–35 psu dan dapat tumbuh dengan baik di stasiun 1 yang memiliki salinitas 32 psu. Subbaraju et al. (1982) menyatakan bahwa kisaran salinitas yang dapat ditoleransi oleh Padina adalah 31–35 psu. Nilai korelasi negatif, selain ditunjukkan oleh salinitas perairan, juga ditunjukkan oleh suhu. Suhu memiliki korelasi yang negatif, namun nilai korelasinya sangat lemah. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu tidak diikuti dengan peningkatan biomassa P. australis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pereira et al. (2006) menunjukkan bahwa P. ceoucosticta, P. linearis, P. umbilicalis meningkat dengan menurunnya suhu perairan sedangkan pertumbuhan

P. amplissima meningkat dengan meningkatnya suhu perairan. Berdasarkan hasil penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh Pereira et al. (2006) menunjukkan bahwa suhu memberikan pengaruh yang berbeda terhadap jenis alga yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu tidak memberikan pengaruh yang kuat terhadap biomassa P. australis.

(34)

peubah tidak terdapat hubungan, namun hubungannya tidak linear. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan atau penurunan nilai kecepatan arus tidak diikuti dengan peningkatan dan penurunan jumlah dan biomassa P. australis, dan menunjukkan bahwa P. australis memiliki kisaran nilai kecepatan arus yang optimum dalam menunjang kehidupan dan pertumbuhannya. Tidak adanya hubungan yang linear yang ditunjukkan oleh korelasi antara arus dengan biomassa terkait dengan pengaruh negatif arus lambat dan arus kuat. Arus lambat akan menghambat penyerapan nutrien karena tidak dapat menstimulasi terjadinya proses difusi pada permukaan rumput laut sedangkan arus yang terlalu kuat akan melepaskan rumput laut dari substrat tempat melekat (Buschmann et al. 2004; Barr et al. 2008). Dampak arus terhadap rumput laut coklat sangat kuat dibandingkan dengan rumput laut lainnya (Engelen et al. 2005; Wernberg dan Thomsen 2005; Fowler-Walker et al. 2006; Tuya dan Haroun 2006). Dampak negatif dari arus yang kuat, dalam penelitian ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada bulan Januari di stasiun 1 yang memiliki arus yang kuat (3,66 m s-1) memberikan efek negatif terhadap penurunan biomassa P.

australis sedangkan dampak negatif dari arus yang lemah dapat dilihat pada stasiun 2 dan 3 yang memiliki arus yang sangat tenang namun memiliki biomassa yang sangat rendah.

Hasil korelasi Pearson antara semua parameter fisika kimia perairan dengan biomassa P. australis tergolong rendah, hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang sangat mempengaruhi biomassa P. australis. Pada penelitian ini, faktor tersebut adalah substrat. Perbedaan substrat antara stasiun 1 dengan stasiun 2 dan 3 menyebabkan perbedaan jumlah biomassa P. australis. Penelitian ini menunjukkan bahwa substrat berbatu merupakan substrat yang lebih disukai oleh

P. australis sebagai tempat melekat dibandingkan substrat berpasir. P. australis

yang melekat kuat pada substrat berbatu tidak akan mudah terlepas dari substrat sehingga lebih mudah menyerap nutrien dan tidak mudah terlepas oleh pengaruh arus. Berbeda dengan substrat berbatu, P. australis yang melekat pada substrat berpasir akan mudah terlepas oleh adanya peningkatan nilai kecepatan arus sehingga tingginya konsentrasi nutrien yang ada pada stasiun 2 dan 3 tidak memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan biomassa P. australis.

Penelitian ini menunjukkan bahwa substrat dan interaksi antara parameter fisika kimia perairan sangat mempengaruhi biomassa P. australis. Wernberg dan Connell (2008) menyatakan bahwa komunitas daerah intertidal merupakan hasil dari kombinasi faktor fisika dan kimia perairan. Kondisi substrat berbatu pada stasiun 1 dan interaksi parameter fisika kimia perairan yaitu arus 0,45 m s-1, pH 8, nitrat 1,5 µg.At /l, nitrit 0,06 µg.At /l, ammonia 0,27 µg.At /l, fosfor 0,21 µg.At /l, pH 8, suhu 32°C dan salinitas 32 psu merupakan kombinasi parameter fisika kimia perairan yang mendukung kehidupan P. australis.

Kandungan Natrium Alginat P. australis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan natrium alginat di ke-tiga stasiun berbeda nyata (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa P. australis

(35)

lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 2 dan stasiun 3. Kandungan natrium alginat tertinggi diperoleh pada stasiun 1 bulan Oktober yaitu 6,65% sedangkan relatif lebih rendah pada stasiun 2 dan stasiun 3 pada bulan Januari. Rata-rata kandungan natrium alginat di ke-tiga stasiun menunjukkan penurunan pada bulan Januari yang merupakan musim hujan. Kandungan natrium alginat pada masing-masing stasiun disajikan pada Gambar 10.

Keterangan: huruf pada histogram (a, b) menunjukkan beda nyata antar stasiun

Gambar 10 Kandungan natrium alginat P. australis (% )

Hasil korelasi Pearson (Tabel 6) menunjukkan bahwa pH perairan memiliki korelasi positif dengan kandungan alginat. Hal ini terkait dengan pH yang memberikan pengaruh terhadap kerja enzim dan metabolisme dalam sel. Kondisi pH asam mengakibatkan terganggunya proses biokimia dalam sel. Hal ini termasuk dalam proses biokimia pembentukan alginat dalam sel. Pada penelitian ini terlihat bahwa nutrien (nitrat, nitrit, ammonia dan fosfor) memiliki nilai korelasi yang tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa nutrien tidak memberikan hubungan yang linear terhadap kandungan alginat. Hal ini sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rodríguez et al. (2008) yang menunjukkan bahwa nutrien bukan faktor utama yang mempengaruhi kandungan alginat pada Sargassum namun kandungan alginat lebih dipengaruhi oleh pH, salinitas dan suhu. Menurut Hu dan Gao (2006), peningkatan konsentrasi nitrat di perairan dapat menurunkan kandungan polisakarida pada alga termasuk alginat.

Tabel 6 Nilai korelasi Pearson parameter lingkungan dengan kandungan natrium alginat P. australis

(36)

Faktor lain yang diduga berkaitan dengan tingginya kandungan natrium alginat di stasiun 1 pada bulan Oktober dan November adalah ukuran individu P. australis yang lebih besar dibandingkan dengan bulan Januari. Pada bulan Januari di stasiun 1, ukuran P. australis lebih kecil sehingga diduga bahwa P. australis

berada pada masa pertumbuhan. Mafra dan Cunha (2006) menyatakan bahwa pada masa pertumbuhan energi dialokasikan pada pertumbuhan somatik, sehingga energi dalam pembentukan alginat menjadi berkurang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rao (1994) menyatakan bahwa kandungan alginat C. indica dan S. johnstonii meningkat dengan meningkatnya biomassa dan menurun pada periode reproduksi. Hasil penelitian Parthiban et al. (2012) melaporkan bahwa alginat, karbohidrat, protein, lemak dan kandungan abu dipengaruhi oleh parameter lingkungan. Diduga bahwa parameter lingkungan mempengaruhi jalur biosintesis pada pembentukan polisakarida termasuk alginat. Salinitas yang berkisar antara 34 sampai 35 psu di stasiun 2 dan stasiun 3 diduga mempengaruhi rendahnya kandungan alginat. Hal ini terkait dengan proses osmoregulasi yang dilakukan oleh rumput laut untuk menyeimbangkan cairan dalam sel agar menjadi isotonis.

Karakteristik dan Kandungan Pb Natrium Alginat P. australis

Karakteristik natrium alginat yang meliputi kadar abu, viskositas dan kekuatan gel serta kandungan Pb alginat P. australis disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Karakteristik dan kandungan Pb natrium alginat P. australis

Karakteristik Satuan

Stasiun dan Waktu Pengamatan

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Okt Nov Jan Okt Nov Jan Okt Nov Jan

Kadar Abu % 40,23 40,54 38,81 38,48 39,91 41,76 39,76 39,96 41,22

Kekuatan gel g/cm2 18,67 12,23 19,33 12,73 15,37 12,50 7,43 7,30 15,77

Viskositas cps 78 153 128 75 142 99 25 115 30

Kadar Pb ppm ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd

Keterangan: ttd = tidak terdeteksi

Kadar Abu

Kualitas kandungan rumput laut ditentukan oleh persentase kadar abu. Kadar abu yang relatif tinggi akan menyebabkan rendahnya kualitas hasil panen. Nilai kadar abu diperoleh setelah dilakukan proses pembakaran atau pengabuan dalam alat pembakaran (tanur). Bagian jaringan rumput laut berupa serat dan bahan-bahan yang mengandung karbon serta beberapa mineral tersisa menjadi abu setelah proses pembakaran. Kadar abu dalam tanaman rumput laut ditentukan oleh bahan penyusun jaringan. Semakin tinggi bahan serat dan senyawa-senyawa yang mengandung karbon dalam jaringan, maka semakin tinggi pula kadar abu yang dihasilkan saat pembakaran. Kondisi hidrologi dan hidrokimia mempengaruhi kandungan abu rumput laut (Salasa 2002; Truss et al., 2001).

Gambar

Gambar 5  Irisan melintang tallus P. australis (Fitrya 2010)
Gambar 8  Skema transek kuadrat dalam pengamatan P. australis
Tabel 3  Parameter fisika kimia perairan
Tabel 4  Kondisi fisik P. australis
+7

Referensi

Dokumen terkait