i
PENGGUNAAN KHAMIR ANTAGONIS
UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA
PADA BUAH AVOKAD SELAMA PENYIMPANAN
YULI FITRIATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Penggunaan Khamir Antagonis untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Selama Penyimpanan” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2012
i
ABSTRACT
YULI FITRIATI. The Use of Antagonistic Yeast for Anthracnose Disease Control in Avocado Fruit during Storage. Supervised by SURYO WIYONO and IVONE OLEY SUMARAUW
Anthracnose caused by Colletotrichum gloeosporioides is an important disease in avocado fruit during storage. An effective, cheap, and safe control method is necessary as an alternative to subtitute the use of fungicides in postharvest disease control. This research aims 1) to get a yeast antagonist from avocados that are effective in controlling anthracnose disease on avocado fruit, 2) to identify effective yeast antagonists to control anthracnose disease on avocado fruit, and 3) to examine mechanism of action of yeast antagonists in controlling anthracnose disease on avocado fruit. Research started with isolation of C. gloeosporioides and yeast from avocado fruit, followed by bioassay in vivo, antibiosis test, and chitinolitic activity test. In vivo testing was done by dipping avocado fruit on yeast cell suspension to suppress the anthracnose disease in avocado fruits. The isolation of yeasts from avocado obtained 23 yeasts isolates. Based on bioassay in vivo, there were eight yeast isolates (A28, A32, A33, A34, A35, A36, A37, A38) that effectively inhibited anthracnose disease in avocado fruit at a concentration of 106 cells/ml and 107 cells/ml. However, only four isolates were chosen for further characterization based on morphological and molecular identification. Two species of yeast was identified, i.e Pichia anomala (isolates A33 and A37) and Candida intermedia (isolates A35 and A36).
iii
RINGKASAN
YULI FITRIATI. Penggunaan Khamir Antagonis untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Selama Penyimpanan. Dibimbing oleh SURYO WIYONO dan IVONE OLEY SUMARAUW
Avokad (Persea americana Mill.) merupakan salah satu produk hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan potensi pasar yang baik serta merupakan komoditas target ekspor. Antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporioides merupakan salah satu penyakit penting pada buah avokad selama penyimpanan. Perlakuan pascapanen penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit pascapanen menimbulkan residu yang tidak dikehendaki oleh konsumen dan negara tujuan. Oleh karena itu, diperlukan metode pengendalian yang efektif, murah, dan aman. Salah satu agens pengendali hayati yang telah dilaporkan dapat mengendalikan beberapa patogen pada berbagai sayuran dan buah-buahan adalah khamir.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendapatkan khamir antagonis dari buah avokad yang efektif untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad, 2) mengidentifikasi khamir antagonis untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad, dan 3) meneliti mekanisme kerja khamir antagonis dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Wilayah Kerja Bogor. Sampel buah diambil dari desa Limbangan Tengah, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Tahapan penelitian meliputi isolasi C. gloeosporioides dari buah avokad, dilanjutkan dengan pengujian in vivo khamir terhadap penyakit antraknosapada buah avokad, uji antibiosis in vitro khamir terhadap C. gloeosporioides, uji kemampuan kitinolitik, dan identifikasi khamir.
Cendawan C. gloeosporioides diisolasi dari buah avokad dengan menggunakan media Green Bean Agar (GBA) dan Potato Dextrose Agar (PDA). Isolat khamir diisolasi dari buah avokad dengan menggunakan media YGC dan YGCA. Hasil isolasi khamir dari buah avokad diperoleh 23 isolat khamir.
iv
Uji in vitro dilakukan untuk mengetahui mekanisme kerja khamir dalam menghambat perkembangan C. gloeosporioides pada media PDA. Uji antibiosis dilakukan dengan menggoreskan sebanyak 1 lup inokulasi isolat khamir secara tegak luruspada PDA dan menanam C. gloeosporioides pada sisi kanan dan kiri khamir dengan jarak 3 cm. Pengamatan dilakukan terhadap zona hambat khamir terhadap C. gloeosporioides selama 15 hari pengamatan. Hasil uji in vitro terhadap aktivitas antibiosis khamir terhadap C. gloeosporioides pada media PDA menunjukkan bahwa tidak ada khamir yang memberi zona hambatan. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme kerja dari keempat isolat khamir dalam menekan pertumbuhan cendawan C. gloeosporioides bukan merupakan antibiosis.
Uji kemampuan kitinolitik dilakukan dengan menggoreskan dalam sebanyak 1 lup inokulasi isolat khamir secara tegak lurus pada media kitin agar 0.2%. Pengamatan dilakukan terhadap zona bening yang terbentuk di sekitar khamir. Hasil pengamatan uji kemampuan kitinolitik terhadap seluruh isolat khamir yang diisolasi dari buah avokad pada media kitin agar 0.2% hingga hari ketujuh tidak ditemukan adanya zona bening pada seluruh isolat.
Hasil uji antibiosis dan kemampuan kitinolitik secara in vitro menunjukkan bahwa antibiosis dan produksi enzim kitinase bukan merupakan mekanisme kerja khamir dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan.
Karakterisasi khamir secara morfologi dan molekuler hanya dilakukan terhadap empat isolat khamir yaitu isolat A33, A35, A36, dan A37. Morfologi keempat isolat khamir pada media PDA terlihat koloni yang berwarna putih, permukaan koloni licin, bentuk tepi koloni halus, dan bentuk sel bulat. Namun, elevasi koloni isolat A33 dan A37 cembung sedangkan elevasi koloni isolat A36 dan A36 datar.
Identifikasi secara molekuler dilakukan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer umum 18 S rDNA dengan forward primer ITS1 (5’-TCC GTA GGT GAA CCT GCG G-3’) dan reverse primer ITS4 (5’-TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’). Hasil analisis BLAST terhadap isolat A33 dan A37 menunjukkan tingkat kesamaan sikuen nukleotida dengan Pichia anomala sedangkan hasil analisis BLAST terhadap isolat A35 dan A36 menunjukkan tingkat kesamaan sikuen nukleotida dengan Candida intermedia.
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vii
PENGGUNAAN KHAMIR ANTAGONIS
UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA
PADA BUAH AVOKAD SELAMA PENYIMPANAN
YULI FITRIATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
viii
ix Judul Tesis : Penggunaan Khamir Antagonis untuk Pengendalian Penyakit
Antraknosa pada Buah Avokad Selama Penyimpanan Nama : Yuli Fitriati
NIM : A352100184
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr. Ir. Ivone Oley Sumarauw, M.Si. Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Fitopatologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Penggunaan Khamir Antagonis untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Selama Penyimpanan”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Fitopatologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Agr.Sc dan Ibu Ir. Ivone Oley Sumarauw, M.Si sebagai komisi pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah memberikan arahan, pengkayaan wawasan, saran, kritik serta dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Efi Toding Tondok, SP., M.Sc. sebagai penguji luar yang telah memberikan masukan dan saran untuk kesempurnaan tulisan ini, Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa program khusus karantina, Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Ibu Trisnasari, Jati Adiputra, rekan-rekan di Bidang Non Benih Tumbuhan Badan Karantina Pertanian, Mbak Ita di Laboratorium Klinik Tanaman IPB yang telah banyak membantu dan mendukung pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua tercinta Bapak Suparmin dan Ibu Widiastuti di Klaten, Bapak Paidjan dan Ibu Sutiyem di Yogyakarta serta adik-adikku (Nugraha, Danang, Rindha) yang banyak memberikan dukungan, dorongan, kasih sayang, do’a serta semangatnya kepada penulis selama ini. Teruntuk suami terkasih Arif Kurniawan juga ananda tersayang Anindha Naazih Ramadhani, ibu mengucapkan terima kasih banyak atas semua yang telah kalian berikan untuk ibu selama ini.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Aprida Cristin, Selamet, Ratih Rahayu, Erna Maryana, Dwi Wahidati Oktarima, Aulia Nusantara, Rahma Susila, Joni Hidayat, Nur Fitriawati, Sri Setiyawati, Nurul Dwi Handayani, Lulu Sugiharto, Catur Yogo Hendro dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas dukungan, persahabatan dan kerjasamanya selama ini. Semoga ini menjadi awal yang baik dan sukses selalu untuk kita semua.
Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat.
Bogor, April 2012
xiii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 29 Juli 1980 dari Ayah Suparmin dan Ibu Widiastuti. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.
Penulis melanjutkan studi ke Universitas Gadjah Mada pada Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan pada tahun 1998 melalui seleksi Penyaringan Bibit Unggul Daerah (PBUD) dan mendapatkan gelar sarjana tahun 2002. Penulis bekerja di Badan Karantina Pertanian sejak tahun 2005 sebagai petugas fungsional Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT). Tahun 2005-2007 penulis ditugaskan di Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Tanjung Pandan dan mulai tahun 2008 penulis pidah tugas ke Badan Karantina Pertanian di Jakarta.
xv
Pengujian in Vivo Khamir terhadap Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad ... 16
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Kandungan komposisi zat gizi dalam 100 gram buah avokad segar 1 2 Kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi
C. gloeosporioides dan diberi perlakuan dengan khamir ... 24 3 Hasil uji in vivo terhadap diameter (Ø) bercak inokulasi C.
gloeosporioides dan tingkat hambatan relatif (THR) khamir dalam
menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad 25 4 Morfologi koloni dan bentuk sel khamir pada media PDA ... 32 5 Isolat khamir pada GenBank yang dibandingkan dengan empat
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Gejala penyakit antraknosa pada buah avokad: gejala awal (a dan
b), gejala di penyimpanan (c) ... 6 2 Massa konidia (a) dan miselium(b) C. gloeosporioides pada media
PDA (perbesaran 10 x 40) ... 8 3 Tubuh buah C. gloeosporioides di bawah mikroskop : aservulus
(a), seta (b), konidia (c) dan miselium (d) pada perbesaran 10 x 40 8 4 C. gloeosporioides pada media PDA : biakan murni (a), konidia
(berwarna kuning/oranye) dan miselium (berwarna putih) (b) ... 9 11 Hasil inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad (4 hari
setelah inokulasi: perlakuan benomil (a), tanpa perlakuan (b), perlakuan khamir isolat A12(c), perlakuan khamir isolat A31(d), perlakuan khamir isolat A33 (e), isolat A35 (f), isolat A36 (g),
isolat A37 (h) ... 27 12 Hasil inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad (5 hari
setelah inokulasi: perlakuan benomil (a), tanpa perlakuan (b), perlakuan khamir isolat A12(c), perlakuan khamir isolat A31(d), perlakuan khamir isolat A33 (e), isolat A35 (f), isolat A36 (g),
isolat A37 (h) ... 28 13 Uji antibiosis in vitro khamir (a) terhadap C. gloeosporioides (b)
pada media PDA ... 29 14 Zona bening sebagai tanda aktivitas kitinolitik khamir tidak terlihat
di sekitar khamir yang digoreskan pada bagian tengah media kitin
agar 0.2% ... 30 15 Morfologi koloni 4 isolat khamir pada media PDA: khamir isolat
A33 (a), isolat A35 (b), isolat A36 (c), dan A37 (d) ... 32 16 Morfologi sel 4 isolat khamir: isolat A33 (a), isolat A35 (b), isolat
A36 (c), dan A37 (d) ... 33 17 Hasil PCR khamir isolat A33, A35, A36, dan A37 menggunakan
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Analisis sidik ragam kejadian penyakit (KP) antraknosa pada buah
avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides dan diberi perlakuan
dengan khamir ... 49 2 Analisis sidik ragam hasil uji in vivo terhadap diameter (Ø) bercak
inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad ... 49 3 Analisis sidik ragam hasil uji in vivo terhadap tingkat hambatan
relatif (THR) khamir dengan kerapatan 107 sel/ml untuk
menghambat perkembangan penyakit antraknosapada buah avokad
pada hari ketujuh ... 49 4 Analisis sidik ragam hasil uji in vivo terhadap tingkat hambatan
relatif (THR) khamir dengan kerapatan 106 sel/ml untuk
menghambat perkembangan penyakit antraknosapada buah avokad
pada hari ketujuh ... 50 5 Komposisi media Martin Agar, Yeast Glucose Chloramphenicol
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Avokad (Persea americana Mill.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai gizi tinggi (Tabel 1) serta
Tabel 1 Kandungan komposisi zat gizi dalam 100 gram buah avokad segar
No Unsur Penyusun Daging Buah Kadar
1 Air 84.30 g
Sumber : Menegristek 2000
Penyebab utama mutu buah avokad masih rendah adalah serangan penyakit yang terjadi pada saat prapanen sampai pascapanen. Dalam rangka menghadapi tantangan era perdagangan bebas melalui AFTA (Asean Free Trade Agreement), perlu dilakukan langkah-langkah dalam mengantisipasi muncul dan berkembangnya penyakit sehingga mutu dapat lebih baik (Sugipriatini 2009).
2
dipanen di negara maju akibat penanganan pascapanen diperkirakan mencapai 20%–25% . Kerugian pascapanen di negara-negara berkembang seringkali lebih tinggi karena penyimpanan dan fasilitas transportasi yang kurang memadai (Sharma et al. 2009). Pengemasan yang kurang baik dapat menimbulkan kontaminasi, misalnya: Aspergillus rot dan stem end rot (Prabawati et al. 1993).
Busuk buah avokad pascapanen adalah masalah besar terutama pada buah yang akan diekspor. Cendawan penting yang terlibat dalam busuk buah avokad adalah Colletotrichum gloeosporioides yang menyebabkan penyakit antraknosa dengan gejala warna coklat pada buah dan termasuk penyakit yang bersifat laten. Meskipun buah sudah terinfeksi sebelum panen, infeksi laten oleh cendawan penyebab busuk buah menjadi aktif dan gejala akan muncul pada saat buah menjadi lembut. Pada kondisi yang sesuai untuk perkembangannya, kerusakan buah akibat penyakit antraknosa dapat mencapai 50% (Hashem & Alamri 2009).
Perlakuan pascapanen terhadap buah-buahan dan sayuran pada umumnya dilakukan dengan pengelolaan lingkungan abiotik pada saat penyimpanan serta penggunaan fungisida (Sharma et al. 2009). Sampai saat ini, untuk mengurangi kerugian hasil akibat penyakit antraknosa banyak menggunakan fungisida sintetik sebagai cara perlindungan yang paling umum dijumpai. Akibat intensifnya penggunaan fungisida dilaporkan bahwa beberapa jenis patogen telah resisten terhadap fungisida dan tertinggalnya residu bahan kimia pada produk pertanian (Indratmi 2008). Fungisida sintetik seperti imazil, tiabendazol, pirimetanil, dan prokloraz adalah fungisida yang umum digunakan untuk mengendalikan patogen pascapanen (Hao et al. 2010).
3 (Droby 2006). Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah residu pestisida adalah dengan pengendalian hayati yang telah banyak dikembangkan dan telah dilaporkan cukup efektif untuk mengendalikan penyakit pascapanen (Indratmi 2008; Kefialew & Ayalew 2009).
Strategi umum pengendalian hayati adalah penggunaan mikroorganisme antagonis dalam pengendalian penyakit pascapanen dan prapanen. Beberapa pendekatan biologi termasuk penggunaan mikrooorganisme antagonis atau bahan alami, telah dikembangkan sebagai alternatif penggunaan fungisida sintetik untuk pengelolaan penyakit pascapanen (Janisiewicz & Korsten 2002) dan mengendalikan pembusukan pada buah dan sayuran pascapanen (Ippolito & Nigro 2000). Khamir dan bakteri antagonis telah banyak dilaporkan secara alami terdapat pada permukaan buah (Qin et al. 2004; Droby 2006; Sharma et al. 2009).
4
antibiotik, kompetisi ruang dan nutrisi, produksi enzim penghancur dinding sel (Qin et al. 2004).
Perlakuan khamir tersebut lebih efektif dibandingkan dengan perlakuan konvensional dengan klorin (Chanchaichaovivat et al. 2007). Lima strain khamir (Pichia anomala Moh 93, P. anomala Moh 104, P. guilliermondii Moh 10, Lipomyces tetrasporus Y-115 dan Metschnikowia lunata Y-1209) juga telah diketahui dapat mengendalikan busuk diplodia pada jambu yang disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae (Hashem & Alamri 2009). Khamir Aureobasidium pullulans dan Rhodotorula mucilaginosa yang diisolasi dari pir dapat menekan kejadian penyakit hingga 33% dan mengurangi pembusukan setelah 60 hari inkubasi akibat infeksi Penicillium expansum (Robiglio et al. 2011).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mendapatkan khamir antagonis dari buah avokad yang efektif untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad, 2) mengidentifikasi khamir antagonis untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad, dan 3) meneliti mekanisme kerja khamir antagonis dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah 1) penggunaan khamir antagonis efektif menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan, 2) antibiosis dan kemampuan kitinolitik khamir berperan dalam pengendalian hayati.
Manfaat Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
Arti Penting Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad
Antraknosa adalah penyakit utama pascapanen yang disebabkan oleh C. gloeosporioides yang menyerang buah-buahan di daerah tropis dan sub tropis (Capdeville 2007), salah satunya adalah buah avokad (Nelson 2008). Penyakit ini menyerang semua bagian tanaman, kecuali akar. Bagian yang terinfeksi berwarna cokelat karat, kemudian daun, bunga, buah/cabang tanaman yang terserang akan gugur (Rukmana 1997).
Colletotrichum sp. adalah penyebab penyakit antraknosa dan memainkan peranan penting pada ekonomi subsistem pertanian di seluruh dunia. Patogen ini menginfeksi sejumlah tanaman mulai dari monokotil hingga tanaman dikotil. Meskipun infeksi antraknosa dapat terjadi pada semua stadia tanaman, namun stadia yang harus diwaspadai adalah terjadinya infeksi pada berbagai macam buah-buahan pascapanen (Dickman 1993).
C. gloeosporioides merupakan bentuk anamorf dari Glomerella cingulata, sedangkan G. cingulata merupakan bentuk teleomorf dari cendawan patogen ini (CAB Internasional 2007). Patogen dapat menginfeksi buah dan batang avokad, mempunyai kisaran inang yang luas, merupakan patogen parasit fakultatif, mampu hidup sebagai saprofit pada bagian tanaman yang mati dan sisa-sisa tanaman sakit dan mengkolonisasi bagian tanaman avokad yang telah mati yang terkumpul di bawah tajuk tanaman atau berada di permukaan tanah. Cendawan dapat menyebabkan beberapa masalah selama musim buah (Nelson 2008).
6
yang belum matang terhadap serangan C. gloeosporioides berkaitan dengan adanya komponen anti cendawan 1-acetoxy-2-hydroxy-4-oxoheneicosa-12,15-diene (1-acetoxy-2-hydroxy-4-oxoheneicosa-12,15-diene) pada perikarp buah yang belum matang (Beno-Moualem & Prusky 2000).
Gejala Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad
Gejala serangan penyakit antraknosa dapat muncul di seluruh bagian tanaman yang terserang. Gejala serangan pada daun adalah terjadinya bercak coklat sampai ungu dan daun cepat rontok. Gejala pada cabang dan ranting adalah terjadinya kematian ujung ranting (die back), sedangkan pada bunga adalah terjadinya perubahan warna bunga menjadi cokelat tua dan mudah rontok/berguguran (Rukmana 1997).
Gambar 1 Gejala penyakit antraknosa pada buah avokad: gejala awal (a dan b), gejala di penyimpanan (c)
Serangan cendawan C. gloeosporioides pada buah menimbulkan gejala Bercak berwarna gelap, cekung, berbentuk bulat pada kulit buah (Gambar 1) yang meluas secara cepat dan menjadi lunak, menyebabkan pembusukan (Nelson 2008). Warna gelap/coklat akibat serangan C. gloeosporioides muncul karena cendawan tersebut menghasilkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa kulit buah sehingga kulit buah terdisintegrasi dan lunak sehingga berubah warna menjadi coklat yang dapat meluas dan akhirnya membusuk. Proses pembusukan semakin cepat ketika buah mencapai kematangan puncak (Kotzé 1978; Ippolito & Nigro 2000)
7 Ciri khas dari penyakit ini adalah terbentuknya massa spora lengket. Bercak memiliki ukuran yang bervariasi dan dapat terjadi di setiap bagian buah avokad yang dapat berkembang dan berwarna salmon. Gejala dapat muncul secara cepat selama 1 atau 2 hari terutama dalam kondisi penyimpanan hangat dan lembab. Bercak berbentuk bulat, berwarna gelap ini biasanya muncul dalam infeksi laten pada kulit buah setelah panen dan pematangan buah. Ukuran diameter Bercak bervariasi tergantung kultivar avokad dan berkisar antara millimeter sampai sentimeter (Nelson 2008).
Antraknosa dapat berkembang pada buah yang belum matang di pohon, menyertai luka yang disebabkan oleh serangga. Buah biasanya rontok karena serangan patogen sebelum pematangan buah. Gejala bercak pada cabai juga dapat terjadi pada avokad (CAB Internasional 2007).
Morfologi dan Daur Penyakit
8
Gambar 2 Massa konidia (a) dan miselium(b) C. gloeosporioides pada media PDA (perbesaran 10 x 40)
Gambar 3 Tubuh buah C. gloeosporioides di bawah mikroskop : aservulus (a), seta (b), konidia (c) dan miselium (d) pada perbesaran 10 x 40
C. gloeosporioides merupakan cendawan yang umum terdapat di berbagai tanaman. Cendawan ini merupakan parasit lemah yang dapat menginfeksi dan berkembang pada jaringan yang telah menjadi lemah, khususnya karena proses penuaan. Cendawan ini dapat menginfeksi melalui luka atau lentisel. Konidium jamur dipencarkan oleh angin dan air hujan. Infeksi buah banyak terjadi dari konidium yang berasal dari bercak pada daun dan tangkai daun. Pada cuaca menguntungkan, cendawan membentuk konidium. Konidium dipencarkan oleh
9 percikan air hujan dan siraman karena terbentuk dalam massa spora yang lengket (CAB International 2007).
Cendawan dapat diisolasi dari jaringan tanaman tropis yang tampak sehat dan berada baik di permukaan mikroflora maupun sebagai endofit (Gambar 4). Patogen ini menimbulkan serangan berat pada kondisi kelembaban dan suhu yang tinggi. Cendawan dapat tumbuhan pada suhu rendah 4 0C, tetapi optimum pada suhu 25–29 °C. Perkecambahan spora, infeksi dan produksi askospora memerlukan kelembaban relatif mendekati 100%, namun ekspresi penyakit akan muncul pada kondisi kering karena infeksi laten atau quiescent akan aktif pada jaringan yang rusak (CAB Internasional 2007).
Gambar 4 C. gloeosporioides pada media PDA : biakan murni (a), konidia (berwarna kuning/oranye) dan miselium (berwarna putih) (b)
Kondisi iklim yang sesuai pada saat terjadinya infeksi sangat menentukan terjadinya epidemi penyakit. Penyakit antraknosa ini dapat menimbulkan kehilangan yang signifikan pada iklim hangat dan lembab (CAB Internasional 2007). Spora hanya dapat berkecambah bila ada air bebas, atau bila kelembaban nisbi udara tidak kurang dari 95%. Infeksi tidak akan terjadi bila kelembaban udara tidak kurang dari 96%. Spora tumbuh paling baik pada suhu 25–28 oC, sedang dibawah 5 oC dan di atas 40 oC spora tidak dapat berkecambah. Bailey dan Jeger (1992) menyatakan bahwa infeksi cendawan pada percobaan di rumah kaca dan laboratorium terjadi pada kelembaban lebih dari 96% pada suhu 26–31 oC (Semangun 2000).
10
Gambar 5 Siklus hidup C. gloeosporioides pada avokad (Kotzé 1978)
Patogen bertahan di dalam biji, sampah, dan gulma inang, dan dipencarkan melalui percikan air, aliran air, serangga atau benda lain yang menyentuh cendawan. C. gloeosporioides menyebabkan penyakit pada bagian daun, bunga dan buah (Gambar 5). Pada jaringan tua, perkembangan penyakit lebih lambat, seringkali quiescent atau tinggal sebagai cendawan endofit yang tidak berbahaya hingga kondisi fisiologi memungkinkan untuk perkembangan cendawan (Rukmana 1997).
Pengendalian Penyakit Pascapanen
Pembusukan buah-buahan dan sayuran pascapanen berasal dari infeksi yang terjadi baik antara pembungaan dan pematangan buah, atau selama penanganan panen, dan penyimpanan (Droby 2006). Infeksi dapat terjadi sebelum panen (preharvest)dan tetap bertahan sampai buah menjadi tua sampai pascapanen dan selama penyimpanan. Namun, sebagian besar infeksi terjadi melalui luka yang ditimbulkan permukaan komoditas pada saat panen, pascapanen dan pada penanganan selanjutnya. Kerugian akibat infeksi ini dapat ditangani dengan
11 menggunakan fungisida yang diaplikasikan di lapangan atau setelah panen (Droby 2006).
Selama dekade terakhir, pengendalian penyakit komoditas hortikultura semakin sulit dilakukan (Bautista-Bañosa et al. 2006). Fungisida sintetik adalah bahan utama yang digunakan untuk mengendalikan pembusukan pascapanen (Sharma et al. 2009). Residu pestisida pada buah-buahan dan sayuran menjadi perhatian utama konsumen dalam industri buah dan sayuran. Peningkatan kesehatan dan perhatian terhadap residu pestisida pada produk segar, perkembangan strain patogen yang tahan terhadap fungisida, dan pendaftaran kembali beberapa fungisida yang lebih efektif, telah mendorong pengembangan alternatif yang lebih aman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Droby 2006).
Saat ini banyak dilakukan alternatif pengendalian yang lebih aman dan aman terhadap lingkungan dalam mengendalikan pembusukan pascapanen (Sharma et al. 2009). Salah satu teknik pengendalian pascapanen yang saat ini sedang dikembangkan adalah pengendalian hayati. Strategi umum pengendalian hayati adalah penggunaan mikroorganisme hidup untuk mengendalikan mikroorganisme yang lain (Druvefors 2004). Penggunaan agen pengendali hayati perlu mempertimbangkan keamanan pangan dan penerimaan masyarakat terhadap agens pengendali hayati. Salah satu agen hayati yang digunakan untuk pengendalian penyakit pascapanen adalah khamir dan pelapis produk untuk memperpanjang masa simpan buah. Pelapis digunakan untuk memperpanjang masa simpan produk segar dan melindungi kerusakan buah dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, misalnya serangan mikroorganisme (Sugipriatini 2009).
Penggunaan Khamir untuk Pengendalian Hayati Penyakit
12
dilaporkan dapat menghambat patogen tanaman, khususnya patogen yang berada di dalam buah dan sayuran, serta beberapa produk komersial (Janisiewicz & Korsten, 2002). Jones dan Prusky (2002) melaporkan bahwa beberapa khamir antagonis juga telah dilaporkan efektif untuk menghambat patogen pascapanen pada beberapa buah-buahan dan dapat digunakan sebagai agens pengendali hayati cendawan pascapanen penyebab busuk pada buah apel, grey dan blue mold yang disebabkan oleh Botrytis cinerea dan Penicillium italicum, dan pada buah jeruk (McLaughlin et al. 1990). Secara khusus, kehadiran khamir secara alami pada buah-buahan dan sayuran berpotensi sebagai antagonis penyakit pascapanen (Droby 2006). Khamir (Pichia guilliermondii strain US-7 dan Hanseniaspora uvarum strain 138) diketahui dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai patogen penyebab pembusukan pada jeruk, buah pome, dan tomat (Chalutz & Wilson, 1990). Debaromyces hansenii dilaporkan dapat mengendalikan busuk buah jeruk pascapanen (Wisniewski et al. 1991) dan beberapa spesies Cryptococcus sp. dapat digunakan untuk mengendalikan pembusukan pascapanen pada buah apel dan pir (Roberts 1990). Keberadaan mikrob antagonis baik secara alami maupun buatan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit pascapanen (Wisniewski & Wilson 1992). Keuntungan dari penggunaan khamirantagonis, dapat diisolasi dari alam, bersifat non patogenik terhadap tanaman dan binatang termasuk manusia, mudah dibiakkan, dan reproduksinya cepat (Payne & Bruce 2001). Khamir juga memiliki banyak kegunaan, biasanya tidak menghasilkan spora alergik atau mikotoksin seperti cendawan miselial. Sel khamir juga mengandung vitamin, mineral, dan asam amino penting yang telah dimanfaatkan dalam makanan dan pakan (Hashem & Alamri 2009).
13 hayati, seperti P. guilliermondii dalam mengendalikan Penicillium digitatum (Droby et al. 1989), Candida guilliermondii, Cryptococcus laurentii dan Metschnikowia pulcherima dalam mengendalikan Botrytis cinerea dan Penicillium expansum (Vero et al. 2002).
Penggunaan khamir menunda pemasakan buah saat penyimpanan. Konsentrasi suspensi khamir yang digunakan di laboratorium umumnya 107 cfu/ml. Suspensi sel khamir pada konsentrasi 106 sampai 107 cfu/ml efektif menghambat perkembangan penyakit (Droby et al. 1997).
Strain tertentu dari khamir Saccharomyces cerevisiae dilaporkan dapat memproduksi toksin yang dapat membunuh strain lain dalam spesies yang sama. Beberapa toksin yang dihasilkan oleh khamir juga dilaporkan memiliki pengaruh terhadap spesies khamir lain termasuk bakteri dan cendawan (Izgu & Altinbay 1997). Droby et al. (1991) membuktikan bahwa P. guilliermondii dapat menstimulasi produksi etilen pada anggur. Etilen pada jeruk dapat menstimulasi produksi fitoaleksin (Rodov et al. 1994). Aureobasidium pullulans dan Candida saitoana diketahui dapat menginduksi ß-1,3-glukanase, kitinase dan peroksidase pada apel (Ippolito et al. 2000). Hal ini dapat menstimulasi mekanisme pertahanan suatu tanaman (Druvefors 2004).
15
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok Wilayah Kerja Bogor, mulai bulan Oktober 2011 sampai Februari 2012.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah isolat C. gloeosporioides dan isolat khamir hasil isolasi dari buah avokad, buah avokad lokal dari Garut, akuades steril, media Potato Dextrose Agar (PDA), Martin Agar (MA), Yeast Glucose Chloramphenicol (YGC), Yeast Glucose Chloramphenicol Agar (YGCA), Kitin Agar 0.2%, Green Bean Agar (GBA), Potato Dextrose Broth (PDB), alkohol 70%, fungisida benomil, dan primer umum 18S rDNA dengan forward primer ITS1 (5’-TCC GTA GGT GAA CCT GCG G-3’) dan reverse primer ITS4 (5’-TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’).
Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad
Isolasi C. gloeosporioides dilakukan dengan metode penanaman jaringan buah avokad yang bergejala antraknosa pada media GBA dan PDA.
16
Isolasi Khamir dari Buah Avokad
Isolasi khamir dilakukan dengan metode pencucian dan pengkayaan. Metode pencucian dilakukan dengan merendam buah avokad dalam air steril sebanyak dua kali berat buah kemudian digoyang dengan kecepatan 120 rpm selama 24 jam. Air rendaman buah avokad kemudian diencerkan dengan seri pengenceran 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5 kemudian disebar pada media Martin Agar. Khamir yang tumbuh kemudian dimurnikan dengan mengambil koloni tunggal khamir dan menggoreskannya pada media PDA yang telah ditambah Streptomycin 2%. Isolat yang telah murni disiapkan untuk perlakuan selanjutnya.
Metode pengkayaan dilakukan dengan mengambil daging buah avokad yang telah matang sebanyak 10 g, kemudian dimasukkan dalam 90 ml media YGC dan digoyang dengan kecepatan 140 rpm selama 72 jam. Bagian bawah diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam 9 ml air steril dan diencerkan berseri mulai 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, 10-5. Setiap pengenceran diambil 0.1 ml dan diratakan pada media YGCA kemudian diinkubasi selama 48 jam. Pemurnian khamir dilakukan dengan mengambil koloni tunggal khamir pada media YGCA dan disimpan pada media PDA miring.
Pengujian in Vivo Khamir terhadap Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad
17
C. gloeosporioides tersebut pada buah dengan 3 (tiga) titik inokulasi pada bagian ujung, tengah dan pangkal buah.
Seluruh perlakuan diulang tiga kali. Kejadian penyakit diamati dan dihitung setiap hari selama 7 hari pengamatan dengan rumus sebagai berikut :
KP =
KP = Kejadian penyakit
= Jumlah titik inokulasi yang menunjukkan gejala sakit = Jumlah titik inokulasi yang diamati
Uji Antibiosis in Vitro Khamir terhadap C. gloeosporioides
Khamir digoreskan pada media PDA tepat di tengah petridish (Ø 9 mm) secara tegak lurus sebanyak 1 lup inokulasi. Biakan murni C. gloeosporioides berumur 14 hari yang diambil dengan bor gabus (Ø 5 mm), diletakkan pada sisi kanan dan kiri goresan khamir dengan jarak + 3 cm kemudian diinkubasikan pada suhu kamar. Pengamatan dilakukan dengan mengukur lebar zona hambat khamir terhadap C. gloeosporioides setiap hari sampai hari ke-15 inkubasi (Gambar 6).
Gambar 6 Uji antibiosis in vitro khamir terhadap C. gloeosporioides
18
diinkubasikan pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 7 hari terhadap zona bening yang terbentuk pada tepi koloni khamir (Gambar 7).
Gambar 7 Uji kemampuan kitinolitik khamir pada media kitin agar 0.2%
Identifikasi Khamir
Empat isolat khamir yang dipilih diidentifikasi secara morfologi dan molekuler dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer umum 18S rDNA dengan forward primer ITS1 (5’-TCC GTA GGT GAA CCT GCG G-3’) dan reverse primer ITS4 (5’-TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’) (Mirhendi et al. 2007).
a). Ekstraksi DNA khamir
19
b). Polymerase Chain Reaction (PCR)
Sebanyak 2 µl larutan DNA diamplifikasi dengan volume reaksi 25 µl yang terdiri atas 12.5 µl master mix (Qiagen), 1 µl forward primer (ITS1), 1 µl reverse primer (ITS4), dan 8.5 µl dH2O. Amplifikasi menggunakan primer
18S rDNA yaitu pasangan forward primer ITS1 (5’-TCC GTA GGT GAA CCT GCG G-3’) dan reverse primer ITS4 (5’-TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’). Amplifikasi dilakukan dengan mesin PCR Fast Thermal Cycler Gene Amp PCR System 9800 (PE Applied Biosystems, Norwalk, USA) dengan siklus denaturasi awal 95 0C selama 5 menit, denaturasi 95 0C selama 45 detik, annealing 55 0C selama 30 detik dan extension 72 0C selama 1 menit 30 detik. Langkah ke 2–4 diulang sebanyak 35 siklus dan final extension 72
0C selama 7 menit. Elektroforesis dilakukan dalam 1.5% w/v gel agarose
(TopVision, Frementas) dengan marker GeneRuler 50 bp DNA Ladder (Fermentas) dan diwarnai dengan ethidium bromide.
Hasil PCR disikuen di PT First Base Genetica Science menggunakan pasangan primer ITS1 dan ITS4. Analisis homologi nukleotida khamir menggunakan BLAST (Blast Local Alignment Search Tool) pada situs National Center for Biotechnology Information (NCBI) di www.blast.ncbi.nlm.nih.gov.
Analisis Data
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad
Isolasi C. gloeosporioides diambil dari bagian buah yang menunjukkan gejala antraknosa (Gambar 8). Hasil isolasi cendawan dari buah avokad pada media PDA, diperoleh kultur cendawan C. gloeosporioides dengan ciri-ciri morfologi miselium berwarna putih hingga putih keabu-abuan, massa konidia kebasah-basahan berwarna seperti warna ikan salmon (Gambar 9).
Gambar 8 Gejala awal serangan antraknosa pada buah avokad
Gambar 9 Morfologi C. gloeosporioides pada media PDA: biakan C. gloeosporioides (a), massa konidia (b dan c)
Selain itu, ujung konidia membulat, hialin, bersel satu, memiliki seta pendek dan konidiofor yang tegak. Menurut CAB Internasional (2007), ukuran konidia C. gloeosporioides dalam media buatan sangat bervariasi. Dalam media PDA, konidia berukuran 6–9 x 1–4 µm (Gambar 10). Ukuran ini lebih kecil apabila
b
22
dibandingkan dengan ukuran konidia C. gloeosporioides yang diambil langsung dari buah avokad yang terserang antraknosa dari lapangan yang dapat mencapai 10–15 x 5–7 µm. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan nutrisi yang tersedia secara alami pada inang dan ketersediaan nutrisi yang ada pada media buatan. Seta berwarna coklat tua dan berada di tepi aservulus.
Gambar 10 Konidia C. gloeosporioides
Isolasi Khamir dari Buah Avokad
Hasil isolasi khamir dari tiga sampel buah avokad dengan menggunakan media YGC diperoleh 23 isolat khamir yang memiliki koloni berbeda pada media YGCA. Seluruh isolat khamir ini selanjutnya diuji kemampuannya dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad dan menunjukkan tingkat hambatan relatif tinggi terhadap perkembangan C. gloeosporioides pada buah avokad. Penggunaan media YGC dilakukan untuk pengkayaan khamir yang ada dalam buahsehingga lebih banyak khamir yang dapat diisolasi dari buah avokad.
23 2011). Berdasarkan hal tersebut, maka khamir diisolasi secara langsung dari buah avokad untuk mendapatkan khamir antagonis sudah beradaptasi dengan kondisi buah dan lingkungan sehingga diperoleh khamir yang efektif mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad.
Beberapa strain khamir menunjukkan aktivitas antagonis yang kuat terhadap cendawan di lapangan dan penyimpanan. Khamir memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati terhadap cendawan penyebab penyakit tumbuhan, khususnya dalam menghambat cendawan penyebab busuk buah pascapanen, karena khamir adalah kompetitor yang baik dalam mendapatkan ruang dan nutrisi. Saat ini, terdapat tantangan untuk mengetahui bagaimana khamir bekerja di lingkungan pertanian, atau menemukan bagaimana mikroorganisme ini dapat membantu dalam proses produksi, serta mengetahui perannya menjaga keseimbangan ekosistem dalam mengurangi penggunaan fungisida (Rosa-Magri et al. 2011). Khamir memiliki sifat untuk dapat digunakan sebagai alternatif fungisida sintetik. Selain tidak memproduksi mikotoksin atau spora alergik, pada umumnya khamir tidak bersifat patogenik terhadap manusia dan binatang dan beberapa spesies khamir mampu hidup dengan jumlah air dan oksigen yang rendah (Coda et al. 2011).
24
Pengujian in Vivo Khamir terhadap Penyakit Antraknosa
pada Buah Avokad
Pengujian in vivo dilakukan untuk mengetahui kemampuan khamir hasil isolasi dari buah avokad dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi dengan C. gloeosporioides. Selain itu, pengujian in vivo dilakukan untuk mengetahui tingkat hambatan relatif khamir terhadap perkembangan C. gloeosporioides pada buah avokad.
Tabel 2 Kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides dan diberi perlakuan dengan khamir
Isolat Khamir
25 Tabel 2 menunjukkan bahwa pada konsentrasi sel khamir 106 sel/ml, terdapat 14 isolat khamir yang efektif mengurangi kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides, yaitu isolat A22, A23, A25, A26. A27, A28, A31, A32, A33, A34, A35, A36, A37, A38. Hasil pengamatan kejadian penyakit antraknosa pada buah yang dicelupkan dalam suspensi khamir 107 sel/ml menunjukkan terdapat 11 isolat khamir yang efektif mengurangi kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides, yaitu isolat A23, A24, A27, A28, A32, A33, A34, A35, A36, A37, A38.
Tabel 3 Hasil uji in vivo terhadap diameter (Ø) bercak inokulasi C. gloeosporioides dan tingkat hambatan relatif (THR) khamir dalam
26
Hasil pengukuran terhadap THR khamir terhadap perkembangan penyakit antraknosa pada uji in vivo diketahui bahwa pada konsentrasi sel khamir 106 sel/ml, terdapat 13 isolat khamir yang memiliki THR tidak berbeda nyata dengan fungisida yaitu A33, A32, A25, A38, A26, A34, A23, A22, A37, A31, A36, A35, dan A28 dengan nilai THR sebesar 66.67 % sampai 100%. Hasil pengukuran THR terhadap isolat khamir pada konsentrasi 107 sel/ml, terdapat 10 isolat khamir yang memiliki THR tidak berbeda nyata dengan fungisida yaitu isolat A37, A36, A34, A27, A24, A28, A35, A33, A32, dan A38 dengan nilai THR sebesar 80.02% sampai 100% (Tabel 3).
Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa 8 (delapan) isolat khamir hasil isolasi dari buah avokad efektif dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada buah avokad dan memberikan tingkat hambatan relatif yang tidak berbeda nyata dengan fungisida benomil. Delapan isolat khamir yang berpotensi untuk dapat digunakan sebagai agens pengendali hayati C. gloeosporioides di penyimpanan adalah isolat A28, A32, A33, A34, A35, A36, A37 dan A38. Namun, hanya 4 isolat yang dikarakterisasi lebih lanjut yaitu isolat A33, A35, A36 dan A37.
27 Salah satu faktor yang menentukan daya saing suatu produk dalam perdagangan bebas yaitu adanya jaminan mutu dan keamanan (safety) pangan bagi konsumen dalam mengkonsumsi/menggunakan produk yang bersangkutan (Mentan 2008). Selain itu, dengan ditetapkannya batas maksimum residu produk pertanian khususnya benomil pada avokad sebesar 0.5 mg/kg (Menkes & Mentan 1996) serta peningkatan kesehatan dan perhatian lingkungan mengenai limbah pestisida dan residunya pada produk segar mendorong pengembangan metode pengendalian yang lebih efektif dan aman terhadap manusia dan lingkungan (Droby 2006).
Keberadaan mikroba filoplan memberikan peranan terhadap besarnya kejadian timbulnya infeksi oleh patogen tanaman. Tanaman dengan populasi mikroba filosfer yang rendah diduga lebih rentan terhadap serangan patogen. Tanaman dengan komplek populasi mikroba filosfer yang tinggi diduga dapat lebih tahan atau terlindungi dari serangan patogen. Hal ini disebabkan karena mikroba filosfer epifit maupun endofit memberikan barier alami terhadap serangan patogen. Selain itu diantara mikroba tersebut sangat mungkin bertindak sebagai kompetitor ataupun bersifat antagonis terhadap patogen sehingga menguntungkan tanaman (Indratmi 2008). Jeffries dan Koomen (1992) menyatakan bahwa metode pengendalian dengan mikroorganisme antagonis terhadap Colletotrichum sp. bertujuan untuk mengurangi sejumlah infeksi awal.
Gambar 11 Hasil inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad (4 hari setelah inokulasi: perlakuan benomil (a), tanpa perlakuan (b), perlakuan khamir isolat A12(c), perlakuan khamir isolat A31(d), perlakuan khamir isolat A33 (e), isolat A35 (f), isolat A36 (g), isolat A37 (h)
a b c d
28
Gambar 12 Hasil inokulasi C. gloeosporioides pada buah avokad (5 hari setelah inokulasi: perlakuan benomil (a), tanpa perlakuan (b), perlakuan khamir isolat A12(c), perlakuan khamir isolat A31(d), perlakuan khamir isolat A33 (e), isolat A35 (f), isolat A36 (g), isolat A37 (h)
Gambar 11 dan 12 menunjukkan perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad yang diinokulasi C. gloeosporioides pada konsentrasi 107 konidia/ml. Perkembangan bercak antraknosa pada buah avokad yang diberi perlakuan dengan fungisida benomil tidak terlihat pada titik inokulasi C. gloeosporioides, sedangkan pada buah avokad yang tidak diberi perlakuan terlihat muncul bercak yang menandai perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad pada titik inokulasi. Bercak antraknosa juga tidak terlihat pada buah avokad yang diberi perlakuan dengan khamir A33, A35, A36, dan A37, sedangkan pada buah avokad yang diberi perlakuan dengan khamir lainnya tampak bergejala dan ditumbuhi konidia cendawan C. gloeosporioides pada titik inokulasi. Hal ini menunjukkan bahwa keempat isolat khamir tersebut efektif dalam menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad.
Uji Antibiosis in Vitro Khamir terhadap C. gloeosporioides
Pengamatan hasil uji antibiosis secara in vitro menunjukkan bahwa hingga hari ke-15 tidak terjadi aktivitas antibiosis khamir terhadap C. gloeosporioides. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya zona hambatan khamir terhadap perkembangan C. gloeosporioides pada media PDA (Gambar 13). Keadaan ini membuktikan bahwa mekanisme kerja dari keempat isolat khamir dalam menekan pertumbuhan cendawan C. gloeosporioides bukan merupakan antibiosis.
a b c d
29
Gambar 13 Uji antibiosis in vitro khamir (a) terhadap C. gloeosporioides (b) pada media PDA
Sebagian potensi pengendalian yang dikembangkan mengarah pada penentuan mekanisme antagonisme antara agens pengendali hayati dengan patogen target. Mekanisme penghambatan ini penting diketahui karena berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi penerapan agens pengendali hayati selanjutnya. Kejadian antagonisme dapat terjadi karena adanya kontak langsung antara agens pengendali biologi dengan patogen, maupun antara zat/senyawa yang dihasilkan oleh agens pengendali hayati berupa metabolit sekunder antimikroba dengan patogen (Indratmi 2008). Tingginya efisiensi khamir sebagai agens pengendali hayati karena daya adaptasi khamir yang tinggi pada berbagai lingkungan serta kondisi nutrisi yang berbeda, kemampuannya tumbuh pada suhu yang rendah, dan kemampuannya untuk menutup luka (Robiglio et al. 2011).
Uji Kemampuan Kitinolitik
Hasil uji kemampuan kitinolitik khamir selama tujuh hari pengamatan menunjukkan bahwa seluruh isolat khamir hasil isolasi dari buah avokad tidak melakukan aktivitas kitinolitik. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya zona bening di sekitar isolat khamir yang digoreskan secara tegak lurus pada media kitin agar 0.2% sebagai tanda terjadinya aktivitas khamir menguraikan kitin (Gambar 14).
a
30
Kitin merupakan unsur penting penyusun dinding sel cendawan. Pemanfaatan mikroba kitinolitik sebagai agens pengendali hayati merupakan salah satu cara pengendalian hayati yang efektif untuk cendawan patogen tanaman karena mekanisme pengendaliannya tidak tergantung pada ras patogen dan tidak merangsang timbulnya resistensi. Kitinase yang terdapat pada bakteri, serangga, virus, tumbuhan, dan hewan memainkan peran penting dalam fisiologi dan ekologi (Ohno et al. 2001).
Gambar 14 Zona bening sebagai tanda aktivitas kitinolitik khamir tidak terlihat di sekitar khamir yang digoreskan pada bagian tengah media kitin agar 0.2%
Kitinase yang diproduksi mikrob dapat menghidrolisis struktur kitin yang merupakan senyawa utama penyusun dinding sel tabung kecambah konidia dan miselia, sehingga cendawan tidak mampu melakukan infeksi. Oleh karena itu, salah satu penyakit yang berpotensi untuk dikendalikan dengan mikrob kitinolitik adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides (El-Katany et al. 2000).
Ujung hifa merupakan bagian yang rentan terhadap aktivitas litik mikroba kitinolitik. Enzim kitinase mampu menghidrolisis kitin menjadi derivate kitin. Pengendalian hayati cendawan dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik didasarkan pada kemampuannya menghasilkan kitinase dan β-1,3-glucanase yang dapat melisis sel cendawan (El-Katany et al. 2000).
31 khamir dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan. Selain produksi kitinase, terdapat beberapa mekanisme khamir dalam menghambat patogen (El Gaouth et al. 2003) yaitu dengan menghasilkan sekresi yang menghambat patogen (Guetsky et al. 2002), mampu melekat pada dinding sel cendawan, aktivitas peroksidase (El Gaouth et al. 2003), kompetisi ruang dan nutrisi serta induksi ketahanan (Guetsky et al. 2002; El Gaouth et al. 2003). Mekanisme penghambatan cendawan sangat bervariasi tergantung pada spesies khamir, sifat cendawan target, dan parameter fisik sistem pengendali hayati (Coda et al. 2011).
Candida guilliermondii (strain US 7 dan strain 101) serta Candida oleophila (strain I-182) pada uji in vitro dengan menggunakan media PDA diketahui dapat menghambat pertumbuhan hifa Botrytis cinerea dengan menempel kuat pada hifa cendawan. Selain itu, C. guilliermondii strain US 7 juga dilaporkan memiliki mekanisme kompetisi nutrisi dalam mengendalikan green mold pada jeruk (Saligkarias et al. 2002).
Zhang et al. (2011) menyatakan bahwa Pichia guilliermondii strain M8 dengan konsentrasi 108 sel/ml dan 109 sel/ml diketahui dapat menghambat perkecambahan spora B. cinerea dan menghambat perkembangan penyakit grey mold secara in vitro pada media jus apel dan secara in vivo pada buah apel. Sel P. guilliermondii strain M8 diketahui menempel kuat pada hifa dan spora B. cinerea, memproduksi enzim hidrolisis, termasuk β-1,3-glukanase dan kitinase. Perlakuan dengan P. guilliermondii strain M8 pada konsentrasi 108 sel/ml secara signifikan dapat mengurangi grey mold dan menginduksi ketahanan inang serta mampu berkompetisi dengan B. cinerea dalam menggunakan nitrogen dan sumber karbon.
Identifikasi Khamir
32
Tabel 4 Morfologi koloni dan bentuk sel khamir pada media PDA Biakan
khamir
Bentuk tepi koloni
Elevasi koloni
Bentuk sel Warna koloni
Permukaan koloni
A33 Halus Cembung Bulat Putih Licin
A35 Halus Datar Bulat Putih Licin
A36 Halus Datar Bulat Putih Licin
A37 Halus Cembung Bulat Putih Licin
Gambar 15 Morfologi koloni 4 isolat khamir pada media PDA: khamir isolat A33 (a), isolat A35 (b), isolat A36 (c), dan A37 (d)
a b
33
Gambar 16 Morfologi sel 4 isolat khamir: isolat A33 (a), isolat A35 (b), isolat A36 (c), dan A37 (d)
Gambar 17 Hasil PCR khamir isolat A33, A35, A36, dan A37 menggunakan primer ITS1 dan ITS4
Hasil elektroforesis produk PCR yang dilanjutkan dengan visualisasi menggunakan Gel Doc menunjukkan bahwa dengan primer umum untuk cendawan, keempat DNA khamir isolat A33, A35, A36 dan A37 dapat teramplifikasi dan tervisualisasi (Gambar 17). Hasil analisis BLAST terhadap isolat A33 dan A37 menunjukkan tingkat kesamaan sikuen nukleotida dengan Wickerhamomyces anomalus (Pichia anomala), sedangkan hasil analisis BLAST
a b
34
terhadap isolat A35 dan A36 menunjukkan tingkat kesamaan sikuen nukleotida dengan Candida intermedia (Tabel 5).
Tabel 5 Isolat khamir pada GenBank yang dibandingkan dengan empat isolat khamir yang diisolasi dari avokad
No Isolat Kode Aksesi Deskripsi Identitas Maks.
**Aksesor merupakan peneliti yang mendaftarkan sikuen isolat khamir hasil penelitiannya pada GenBank; * dipublikasikan pada jurnal.
Pichia anomala (sinonim Wickerhamomyces anomalus) termasuk dalam kelompok Ascomycetes, bersifat heterotalik, membentuk satu sampai empat askospora berbentuk hatshaped. Khamir ini pada umumnya ditemukan berasosiasi dengan makanan, pakan, buah dan bahan tanaman yang mulai membusuk (Druvefors 2004). P. anomala dapat tumbuh pada kondisi anaerob pada suhu antara 3 ºC sampai 37 ºC, dengan pH antara 2.0 sampai 12.4 (Fredlund et al. 2004)
35 antifungal P. anomala dipengaruhi oleh kecepatan respon terhadap perubahan kondisi lingkungan (ketersediaan oksigen dan gula) dan pelepasan metabolit antifungal, misalnya etanol dan etil asetat (Fredlund et al. 2004). P. anomala juga dikenal sebagai agens pengendali hayati terhadap kapang pada biji-bijian yang disimpan pada kondisi kedap (Druvefors et al. 2002).
Pada tahun 1993, Björnberg dan Schnürer menyatakan bahwa P.anomala pada dosis tertentu secara in vivo dapat menghambat Aspergillus candidus dan Penicillium roqueforti. Baik panjang hifa maupun jumlah koloni per unitnya dapat dikurangi. Selanjutnya Petersson dan Schnürer (1995) menemukan bahwa P.anomala dapat menghambat pertumbuhan P. roqueforti pada biji gandum yang disimpan pada tabung semi kedap. Selain itu, khamir diketahui efektif mengendalikan beberapa cendawan target pada lingkungan yang berbeda-beda.
P. anomala diklasifikasikan sebagai organisme yang aman dan belum ada laporan yang menyatakan bahwa khamir ini menghasilkan mikotoksin yang berbahaya atau memproduksi spora alergik. P. anomala mampu hidup pada kondisi anaerobik pada berbagai nutrisi dan hanya sedikit yang menginduksi fermentasi alkohol meskipun jumlah glukosanya tinggi. Namun, mekanisme kerja P. anomala dalam menghambat patogen tanaman belum diketahui (Fredlund 2004). Spesies yang termasuk dalam genus Pichia (P. guilliermondii, P. angusta, dan P. anomala) dikenal sangat baik dalam mengendalikan cendawan patogen pascapanen dengan menurunkan sporulasi cendawan patogen serta memproduksi mikotoksin (Coda et al. 2011).
36
strain DBVPG 3003 menghasilkan sekresi toksin yang disebut sebagai Pikt, yang memiliki aktivitas anticendawan untuk melawan khamir penyebab busuk Brettanomyces sp.dan Dekkera sp. (De Ingeniis et al. 2008). P. anomala strain 0732-1 dapat memproduksi substansi anti bakteri (anti bacterial substances/ABS) yang efektif menekan pertumbuhan A. avenae subsp. citrulli pada media King’s B. Produksi ABS oleh khamir strain 0732-1 dapat digunakan untuk mengendalikan hawar bibit pada melon hami yang disebabkan A. avenae subsp. citrulli serta sebagai perlakuan benih untuk mengurangi kejadian dan keparahan penyakit (Wang et al. 2009). Penambahan gula dalam formulasi P. anomala yang dikomersialkan dilaporkan dapat meningkatkan viabilitas dan kinerja khamir sebagai agen pengendali hayati (Druvefors et al. 2005).
Tabel 6 Mekanisme kerja P. anomala pada uji in vitro
Cendawan Target Mekanisme Kerja Referensi Aspergillus flavus dan Toksin/racun
Botrytis cinerea Enzim penghancur
dinding sel*) Petersson (1995) dan Schnürer
Penicillium camembertii Toksin/racun
39
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini menghasilkan delapan isolat khamir yang efektif sebagai agens pengendali hayati C. gloeosporioides, yaitu isolat A28, A32, A33, A34, A35, A36, A37 dan A38. Hanya empat isolat yang dikarakterisasi lebih lanjut secara morfologi dan molekuler yaitu isolat A33, A35, A36, dan A37. Hasil identifikasi molekuler terhadap isolat A33 dan A37 diketahui bahwa isolat tersebut adalah Pichia anomala yang mampu memberikan tingkat hambatan relatif terhadap perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad dalam uji in vivo sebesar 75.76–100% pada konsentrasi 106–107 sel/ml. Hasil identifikasi molekuler terhadap isolat A35 dan A36 diketahui bahwa isolat tersebut adalah Candida intermedia yang mampu memberikan tingkat hambatan relatif terhadap perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad dalam uji in vivo sebesar 66.67–100% pada konsentrasi 106–107 sel/ml.
Saran
41
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. 4nd ed. New York (US): Academic Press. Bailey JA, Jeger J. 1992. Colletotrichum : Biology, Pathology, and Control.
London (UK): The British Society For Plant Pathology.
Bautista-Bañosa S, Hernández-Lauzardoa AN, Vallea MGV, Hernández-Ló peza M, Barkab EA, Bosquez-Molinac E, Wilsond CL. 2006. Chitosan as a potential natural compound to control pre and postharvest diseases of horticultural commodities. Crop Prot. 25:108–118.
Beno-Moualem D, Prusky D. 2000. Early events during quiescent infection development by Colletotrichum gloeosporioides in unripe avocado fruits. Phytopathology. 90:553-559.
Björnberg A, Schnürer J. 1993. Inhibition of the growth of grain-storage molds in vitro by the yeast Pichia anomala (Hansen) Kurtzman. Can J Microbiol. 39:623-628.
[CABI] CAB International. 2007. Crop Protection Compendium (CD-Rom). Wallingford (UK): CABI. 2nd CD-Rom dengan penuntun di dalamnya.
Chalutz E, Wilson CL. 1990. Postharvest biocontrol of green and blue mold and sour rot of citrus fruit by Debaryomyces hansenii. Plant Dis. 74:134–137. Chanchaichaovivat A, Ruenwongsa P, Panijpan B. 2007. Screening and
identification of khamir strain from fruits and vegetables: Potential for biological control of postharvest chilli anthrachnose (Colletotrichum capsici). Biol Control. 42:326-335.
Coda R, Cassone A, Rizzello CG, Nionelli L, Cardinali G, Gobbetti M. 2011. Antifungal Activity of Wickerhamomyces anomalus and Lactobacillus plantarum sourdough fermentation: identification of novel compounds and long-term effect during storage of wheat bread. Appl Environ Microbiol.
[internet]. 77(10):3484-3492. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3126437/. DOI: 10.1128/AEM.02669-10.
De Capdeville G, Souza Jr MT, Santos JPR, de Paula Miranda S, Caetano AR, Torres FAG. 2007. Selection and testing of epiphytic yeasts to control anthracnose in post-harvest of papaya fruit. Sci Hort. 111:179–185.
De Ingeniis J, Raffaelli N, Ciani M, Manazzu I. 2008. Pichia anomala DBVPG 3003 secretesa ubiquitin-like protein that has antimicrobial activity. Appl
Environ Microbiol. 75(4):1129-1134. Tersedia pada :
http://aem.asm.org/content/early/2008/12/29/AEM.01837-08.short. DOI: 10.1128/AEM.01837-08.
42
Droby S, Chalutz E, Wilson CL, Wisniewski M. 1989. Characterization of the biocontrol activity of Debaryomyces hansenii in the control of Penicillium digitatum on grapefruit. Can J Microbiol. 35:794-800.
Droby S, Chalutz E, Wilson CL. 1991. Antagonistic microorganisms as biological control agents of postharvest diseases of fruits and vegetables. Postharvest News and Information. 2:169-173.
Droby S, Chalutz E. 1994. Mode of action of biocontrol agents of postharvest disease. Di dalam: Wilson CL, Wisniewski ME, editor. Biological control of postharvest disease of fruit and vegetables theory and practice. Boca Raton (US): CRC Press. hlm 63-75.
Droby S, Wisniewski ME, Cohen L, Weiss B, Touitou D, Eilam Y, Chalutz E. 1997. Influence of CaCl2 on Penicillium digitatum, grapefruit peel tissue,
and biocontrol activity of Pichia guilliermondii. Phytopathology. 87:310-315.
Droby S. 2006. Biological control of postharvest disease of fruit and vegetables: difficulties and challenges. Phytopathology. Pol. 39:105–117.
Druvefors U, Jonsson N, Boysen ME, Schnürer J. 2002. Efficacy of the biocontrol yeast Pichia anomala during long-term storage of moist feed grainunder different oxygen and carbon dioxide regimens. FEMS Yeast Res. 2:389-394. Druvefors UÄ, Passoth V, Schnürer J. 2005. Nutrient Effects on Biocontrol of
Penicillium roqueforti by Pichia anomala J121 during Airtight Storage of Wheat. Appl Environ Microbiol. 71(4):1865-1869. Tersedia pada: http://aem.asm.org/content/71/4/1865.full. DOI: 10.1128/AEM.71.4.1865-1869.2005.
Druvefors U, Jonsson N, Boysen ME, Schnürer J. 2002. Efficacy of the biocontrol yeast Pichia anomala during long-term storage of moist feed grain under different oxygen and carbon dioxide regimens. FEMS Yeast Res. 2:389-394. Druvefors UÄ. 2004. Yeast Biocontrol of Grain Spoilage Moulds: Mode of
Action of Pichia anomala [Disertasi]. Uppsala (IN): Acta Universitatis Agriculturae Sueciae.
El Ghaouth A, Wilson CL, Wisniewski M. 2003. Control of postharvest decay of apple fruit with Candida saitoana and induction of defense responses. Phytopathology. 93:344-348.
El-Katatny MH, Somitch W, Robra KH, El-Katatny MS, Gubitz GM. 2000. Production of chitinase and β-1,3-glucanase by Trichoderma harzianum for control of the phytopathogenic fungus Sclerotium rolfsii. Food Technol Biotechnol. 38:173-180.
43 Fredlund E. 2004. Central Carbon Metabolism in the Biocontrol Yeast Pichia anomala: Influence of Oxygen Limitation [Doctoral thesis]. Uppsala (IN): Swedish University of Agricultural Sciences.
Friel D, Pessoa NMG, Vandenbol M, Jijakli MH. 2007. Separate and combined disruptions of two exo-β-1,3-glucanase genes decrease the efficiency of Pichia anomala (strain K) biocontrol against Botrytis cinerea on apple. Molecular-Mocrobe Interaction. 20:371-379.
Gholamnejad J, Etebarian HR, Sahebani N. 2009. Biological control of apple blue mold with Candida. Afr J Food Sci. 4(1):001-007.
Guetsky R, Shtienberg D, Elad Y, Fischer E, Dinoor A. 2002. Improving biological control by combining biocontrol agents each with several mechanisms of disease suppression. Phytopathology. 92:976-985.
Hashem M, Alamri S. 2009. The biocontrol of postharvest disease (Botryodiplodia theobromae) of guava (Psidium guajava L.) by the application of yeast strains. Postharvest Biol Technol. 53:123–130.
Hao W, Zhong G, Hu M, Luo J, Weng Q, Rizwan-ul-Haq M. 2010. Control of citrus postharvest green and blue mold and sour rot by tea saponin combined with imazalil and prokloraz. Postharvest Biol Technol. 56:39-43. Harju S, Fedosyuk H, Peterson KR. 2004. Rapid isolation of yeast genomic DNA:
Bust n' Grab. BMC Biotechnol [internet]. [Diunduh 2012 Feb 2]. Tersedia pada: protocol-online.org/prot/Protocols/Quick-and-Easy-Isolation-of-Genomic-DNA-from-Yeast-3451.html
Indratmi D. 2008. Mekanisme penghambatan Colletotrichum gloeosporioides patogen penyakit antraknosa pada cabai dengan khamir Debaryomyces sp. Draft Publikasi Penelitian Pengembangan Ipteks. Malang (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Malang.
Ippolito A, Nigro F. 2000. Impact of postharvest of biological control agents on postharvest disease of fresh fruit and vegetables. Crop Prot. 19:715-723 Ippolito A, El Ghaouth A, Wilson CL, Wisniewski M. 2000. Control of
postharvest decay of apple fruit by Aureobasidium pullulans and induction of defense responses. Postharvest Biol Technol. 19:265-272.
Izgu F, Altinbay D. 1997. Killer toxins of certain yeast strains have potential growth inhibitory activity on gram-positive pathogenic bacteria. Microbios. 89:15-22.
Janisiewicz WJ, Korsten L. 2002. Biological control of postharvest disease of fruits. Annu Rev Phytopathology. 40:11-441.
Jeffries P, Koomen I. 1992. Strategies and Prospects for Biological Control of Diseases Caused by Colletotrichum. Di dalam: Bailey JA, Jeger MJ, editor. Colletotrichum: Biology, Pathology and Control. Wallingford (UK): Commonwealth Mycological Institute. hlm 337–357.