• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Pemberian Ekstrak Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) terhadap Proliferasi dan Diferensiasi Sel Tulang Tikus secara In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Pemberian Ekstrak Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) terhadap Proliferasi dan Diferensiasi Sel Tulang Tikus secara In Vitro"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

IRMA AMALIA PRATIWI. Efek Pemberian Ekstrak Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) terhadap Proliferasi dan Diferensiasi Sel Tulang Tikus Secara In Vitro. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan ADI WINARTO.

Penelitian ini dilakukan secara in vitro pada sel tulang tikus berumur empat minggu dalam medium DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium) yang diberi penambahan 10% NBCS (Newbor Calf Serum), 10% AANE (Asam Amino Non Esensial), NaHCO3, 1 µl/mL ITS (Insulin Transferrin Selenium), dan 50 µg/mL gentamicyn (mDMEM), dengan/tanpa penambahan ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.). Terdapat lima grup yang diberi perlakuan, terdiri atas kontrol positif (mDMEM+Dexametason 10-8M), kontrol negatif (mDMEM), dosis 1 (mDMEM+CQ 0.3 mg/mL), dosis 2 (mDMEM+CQ 0.6 mg/mL), dan dosis 3 (mDMEM+CQ 1.2 mg/mL). Kultur diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37 °C dan 5% CO2 selama tujuh hari. Parameter yang diamati adalah Population Doubling Time (PDT) yang dihitung menggunakan hemositometer. Osteoblas dan osteosit diwarnai dengan Hematoksilin Eosin kemudian dihitung jumlah dan diukur diameternya dengan menggunakan mikrometer. Data kuantitatif dianalisis menggunakan uji ANOVA dan DUNCAN. Hasil menunjukkan bahwa ekstrak batang sipatah-patah dengan dosis 0.3 mg/mL, 0.6 mg/mL, dan 1.2 mg/mL dapat meningkatkan proliferasi (P<0.05) dan pada dosis 0.6 mg/mL dapat menginduksi terjadinya diferensiasi osteoblas menjadi osteosit (P<0.05). Diferensiasi dapat dilihat dengan adanya penurunan diameter osteoblas dan peningkatan persentase osteosit dalam kultur. Dosis optimal pemberian ekstrak tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) untuk proliferasi dan diferensiasi sel tulang secara in vitro adalah 0.6 mg/mL.

Kata kunci : kultur sel, ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.), tulang.

(2)

(

Cissus quadrangula

Salisb.) TERHADAP PROLIFERASI DAN

DIFERENSIASI SEL TULANG TIKUS SECARA

IN VITRO

IRMA AMALIA PRATIWI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Efek Pemberian Ekstrak Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) terhadap Proliferasi dan Diferensiasi Sel Tulang Tikus secara In Vitro adalah karya saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir skripsi.

Bogor, Oktober 2011

(4)

IRMA AMALIA PRATIWI. The Effect of Cissus quadrangula Salisb. Extract Against The Proliferation and Differentiation of Rat Bone Cells In Vitro. Under direction of ITA DJUWITA and ADI WINARTO.

Research has been conducted on in vitro culture of four weeks old rat (Sprague Dawley) bone cells in DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium) containing 10% NBCS (Newborne Calf Serum), 10% NEAA (Non Essential Amino Acid), NaHCO3, 1 µl/mL ITS (Insulin Transferrin Selenium), and 50 µg/mL gentamycin (mDMEM), with and without Cissus quadrangula Salisb. extracts (CQ). There are five groups of treatment, consisted of positive control (mDMEM+dexamethasone 10-8 M), negative control (mDMEM), dose 1 (mDMEM+CQ 0.3 mg/mL), dose 2 (mDMEM+CQ 0.6 mg/mL), and dose 3 (mDMEM+CQ 1.2 mg/mL). Culture was done in 5% CO2 incubator at 37 0 C for 7 days. The parameters observed were Population Doubling Time (PDT) done based on calculation using hemocytometer. Osteoblast and osteocyte were stained with Hematoxylin Eosin (HE), and the compotition and diameter of the cell were counted and measured using micrometer. Data were analyzed using statistical ANOVA and Duncan test. The results showed that Cissus quadrangula Salisb. extract at doses 0.3 mg/mL, 0.6 mg/mL, and 1.2 mg/mL increased the bone cells proliferation (P<0.05) and at dose 0.6 mg/mL induced differentiation osteoblast to osteocyte (P<0.05). Differentiation showed by the decreasing diameter of osteoblast thus by increased percentage of osteocyte.In conclusion, the optimal dose of Cissus quadrangula Salisb. extract for in vitro bone cells proliferation and differentiation is 0.6 mg/mL.

(5)

IRMA AMALIA PRATIWI. Efek Pemberian Ekstrak Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) terhadap Proliferasi dan Diferensiasi Sel Tulang Tikus Secara In Vitro. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan ADI WINARTO.

Penelitian ini dilakukan secara in vitro pada sel tulang tikus berumur empat minggu dalam medium DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium) yang diberi penambahan 10% NBCS (Newbor Calf Serum), 10% AANE (Asam Amino Non Esensial), NaHCO3, 1 µl/mL ITS (Insulin Transferrin Selenium), dan 50 µg/mL gentamicyn (mDMEM), dengan/tanpa penambahan ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.). Terdapat lima grup yang diberi perlakuan, terdiri atas kontrol positif (mDMEM+Dexametason 10-8M), kontrol negatif (mDMEM), dosis 1 (mDMEM+CQ 0.3 mg/mL), dosis 2 (mDMEM+CQ 0.6 mg/mL), dan dosis 3 (mDMEM+CQ 1.2 mg/mL). Kultur diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37 °C dan 5% CO2 selama tujuh hari. Parameter yang diamati adalah Population Doubling Time (PDT) yang dihitung menggunakan hemositometer. Osteoblas dan osteosit diwarnai dengan Hematoksilin Eosin kemudian dihitung jumlah dan diukur diameternya dengan menggunakan mikrometer. Data kuantitatif dianalisis menggunakan uji ANOVA dan DUNCAN. Hasil menunjukkan bahwa ekstrak batang sipatah-patah dengan dosis 0.3 mg/mL, 0.6 mg/mL, dan 1.2 mg/mL dapat meningkatkan proliferasi (P<0.05) dan pada dosis 0.6 mg/mL dapat menginduksi terjadinya diferensiasi osteoblas menjadi osteosit (P<0.05). Diferensiasi dapat dilihat dengan adanya penurunan diameter osteoblas dan peningkatan persentase osteosit dalam kultur. Dosis optimal pemberian ekstrak tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) untuk proliferasi dan diferensiasi sel tulang secara in vitro adalah 0.6 mg/mL.

Kata kunci : kultur sel, ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.), tulang.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

(

Cissus quadrangula

Salisb.) TERHADAP PROLIFERASI DAN

DIFERENSIASI SEL TULANG TIKUS SECARA

IN VITRO

IRMA AMALIA PRATIWI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama Mahasiswa NIM

: :

Irma Amalia Pratiwi B04070088

Disetujui

Dr. Drh. Ita Djuwita, M.Phil Pembimbing I

Drh. Adi Winarto, Ph.D Pembimbing II

Diketahui

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

(9)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik oleh penulis. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2011 yang bertempat di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi FKH IPB. Skripsi ini berjudul “Efek Pemberian Ekstrak Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) terhadap Proliferasi dan Diferensiasi Sel Tulang Tikus secara In Vitro”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Ita Djuwita, M. Phil.dan drh. Adi Winarto, Ph. D sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan pembelajaran kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Drh. Mustafa Sbari, Drh. Huda Darusman dan Drh. Min Rahminiwati, MS, Ph.D atas bimbingannya, Seluruh dosen dan staf Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi FKH IPB; Kak Vid, Kak Rani, Kak Devi, Kak Yeni, Ibu Eka, Mas Wahyu, Mas Iwan, Pak Maman atas bantuannya selama penelitian berlangsung; teman-teman satu penelitian (Yunita, Ani, Disa, dan Yeni) atas kerjasama, bantuan serta pelajaran selama penelitian.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda (Priyanto), ibunda (Marsitiningsih), Kakak dan adik (Arif, Endah, dan Okta) yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis. Ucapan terima kasih kepada Yoga Herawan atas dukungan, semangat, doa, dan kebersamaannya. Terakhir keluarga besar GIANUZZI 44 FKH IPB yang telah bersama dalam suka dan duka selama menempuh pendidikan di FKH IPB.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan. Akhirnya, semoga skripsi ini memberikan manfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca.

Bogor, Oktober 2011

(10)

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 23 Desember 1989 dari pasangan Bapak Priyanto dan Ibu Marsitiningsih. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tulang... ... 4

Perkembangan Tulang (Osteogenesis)... . 5

Struktur Tulang... ... 6

Osteoblas... .. 6

Osteosit... ... 7

Osteoklas... .. 8

Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) ... 9

Kultur In Vitro ... 12

Kultur Tulang ... 14

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 16

Alat dan Bahan ... 16

Metode ... 16

Ekstrak Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) ... 16

Persiapan Kultur Sel Tulang ... 16

Isolasi dan Kultur Sel Tulang ... 17

Evaluasi Hasil Kultur Sel Tulang ... 17

Tingkat Proliferasi (PDT) ... 17

Identifikasi Diferensiasi Osteoblas dan Osteosit... 18

Rancangan Percobaan ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT) ... 20

Diferensiasi Sel Tulang ... 21

Komposisi Jumlah Osteoblas dan Osteosit... 21

Diameter Osteoblas dan Osteosit... ... 23

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 26

Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tingkat proliferasi sel tulang pada masing-masing perlakuan ... 20

2 Persentase osteoblas dan osteosit pada masing-masing perlakuan ... 22

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Gambaran sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan osteoklas... ... 9

2 Morfologi tanaman sipatah-patah ... 10

3 Osteoblas ... 15

4 Osteosit ... 15

5 Morfologi sel tulang dalam kultur ... ... 21

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil analisis ANOVA dan Duncan (PDT) ... 32

2 Hasil analisis ANOVA dan Duncan (Persentase osteoblas dan osteosit) 34

3 Hasil analisis ANOVA dan Duncan (Diameter osteoblas dan osteosit) 36

 

(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tulang merupakan bagian tubuh yang memiliki banyak fungsi diantaranya

pembentuk rangka tubuh, alat gerak tubuh, tempat penyimpanan kalsium dan pada

tulang panjang terdapat sumsum tulang yang memiliki sifat pluripoten yang dapat

menghasilkan sel-sel lain bagi tubuh. Tulang terdiri atas interseluler material

terkalsifikasi, matriks tulang, dan tiga tipe sel yaitu osteosit yang dapat ditemukan

di ruang (lakuna) diantara matriks; osteoblas yang merupakan tempat sintesis

komponen organik dari matriks; dan osteoklas yang merupakan sel raksasa

multinuklear yang terlibat dalam proses resorpsi dan pembentukan jaringan tulang

(Junqueira dan Carneiro 2005).

Salah satu penyakit pada tulang adalah osteoporosis. Osteoporosis adalah

penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan kepadatan tulang yang rendah dan

kerusakan jaringan tulang pada struktur mikro tulang yang menyebabkan

terjadinya kerapuhan pada tulang (WHO 2003). Osteoporosis sering dijumpai

pada manusia usia lanjut terutama wanita pascamenopause (Ott 2002). Salah satu

upaya untuk menanggulangi osteoporosis ini adalah dengan menggunakan

preparat estrogen sintesis namun memiliki banyak efek samping diantaranya dapat

menyebabkan timbulnya kanker. Estrogen merupakan salah satu faktor yang

sangat diperlukan dalam mengaktifkan osteoblas di jaringan endosteum di sekitar

jaringan myeloid sumsum merah pada individu dewasa. Faktor lain yang

mempengaruhi aktivitas osteoblas adalah nutrisi, hormon paratiroid, vitamin D,

sitokin, kortisol, dan aktivitas individu (Smith 1993). Kini telah banyak

dikembangkan pengobatan osteoporosis antara lain dengan menambahkan asupan

mineral dalam tubuh, konsumsi vitamin A, vitamin C, vitamin D, peningkatan

aktivitas fisik, dan penggunaan bahan alami dari tanaman yang mengandung

fitoestrogen.

Sejak dahulu masyarakat telah mengenal beberapa tanaman untuk

(16)

penyakit kelamin, dan osteoporosis (Shirwaikar et al. 2003). Di Indonesia, khususnya di Aceh, telah diketahui tanaman yang memiliki khasiat mempercepat

persembuhan tulang secara tradisional adalah tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.). Tanaman sipatah-patah di Aceh sering digunakan untuk pengobatan beberapa penyakit di antaranya adalah rematik dan patah tulang.

Pengobatan rematik dilakukan dengan meminum rebusan daun tanaman tersebut,

yang ditambahkan dengan unsur-unsur yang lain. Sementara itu untuk mengobati

patah tulang, dilakukan dengan cara menggerus daun sipatah-patah lalu

ditempelkan pada tempat yang patah. Tanaman ini memiliki morfologi yang

hampir serupa dengan tanaman yang berasal dari India (Cissus quadrangularis

Linn.). Menurut Sabri (2011), kandungan kalsium, fosfor serta fitoestrogen yang

berasal dari ekstrak batang ini telah dibuktikan secara in vivo dapat mencegah osteoporosis pada tikus betina prapubertas dan mengobati osteoporosis pada tikus

ovariektomi.

Kepadatan tulang sangat ditentukan oleh keutuhan mikroarsitektur tulang

sebagai hasil keseimbangan antara proses remodeling tulang yaitu proses formasi dan reabsorbsi tulang. Kepadatan tulang yang didapat selama masa pertumbuhan

merupakan faktor yang menentukan terjadinya kasus osteoporosis di kemudian

hari. Individu dengan kepadatan tulang yang tinggi pada masa pertumbuhan

sampai masa premenopause akan terhindar dari osteoporosis pada masa

pascamenopause (Compston et al. 1993). Kepadatan tulang antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni cara hidup (pola makan, aktivitas fisik,

asupan kalsium, dan merokok), obesitas, jumlah anak, laktasi, usia pertama kali

hamil, penyakit kelenjar tiroid, dan penggunaan obat-obat kontrasepsi hormonal

(Winarno 1998). Pada percobaan yang dilakukan oleh Sabri (2011) pada tikus

prapubertas, pemberian ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) secara in vivo dapat meningkatkan kepadatan tulang dilihat dari densitas tulang yang semakin radiopaque pada hasil gambaran radiologi tulang dibandingkan dengan kontrol. Kandungan kalsium, fosfor dan fitoestrogen yang tinggi dari

ekstrak ini dapat meningkatkan kepadatan tulang pada masa prapubertas dan dapat

(17)

Efek pemberian ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) pada sel tulang tikus muda (prapubertas) secara in vitro belum diketahui sehingga dilakukan penelitian untuk mengetahui efek ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) terhadap proliferasi dan diferensiasi sel tulang tikus secara

in vitro.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian ekstrak

batang (Cissus quadrangula Salisb.) terhadap proliferasi dan diferensiasi sel tulang tikus yang ditumbuhkan secara in vitro pada beberapa tingkatan konsentrasi ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.).

1.3 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kemampuan

(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tulang

Tulang merupakan jaringan penghubung yang terdiri dari material

interselular yang terkalsifikasi, matriks tulang, dan tiga tipe sel tulang yaitu

osteosit yang dapat ditemukan di ruang (lakuna) diantara matriks; osteoblas yang

merupakan tempat sintesis komponen organik dari matriks; dan osteoklas yang

merupakan sel raksasa multinuklear yang terlibat dalam proses resorpsi dan

pembentukan jaringan tulang (Junqueira dan Carneiro 2005). Secara makroskopis

tulang tersusun atas beberapa bagian, yakni diafise, epifise, metafise, tulang rawan

artikular, periosteum, ruang medullar, dan osteum. Secara mikroskopis tulang

terbentuk atas tiga jenis sel tulang, matriks ekstraselular tulang, dan

saluran-saluran yang tersusun secara sempuna dan kompak (Tortora dan Derrickson

2009). Tulang mempunyai beberapa fungsi utama, antara lain (1) sebagai

penyokong tubuh, dengan membentuk kerangka dan tempat perlekatan tendon

otot; (2) sebagai pelindung organ internal tubuh; (3) membantu pergerakan tubuh

bersama otot; (4) homeostasis mineral terutama kalsium dan fosfor; (5) produksi

sel darah merah oleh sumsum tulang merah; dan (6) penyimpanan trigliserida oleh

sumsum tulang kuning (Junqueira dan Carneiro 2005; Tortora dan Derrickson

2009).

Tulang secara dinamis dan terus menerus melakukan proses remodeling,

yakni proses penyusunan jaringan tulang baru dan perombakan jaringan tulang

lama. Proses remodeling sangat aktif terjadi pada individu muda 200 kali lebih cepat dibanding individu dewasa. Proses remodeling dan fungsi homeostasis mineral terutama kalsium dan fosfor pada tulang antara lain dipengaruhi oleh

hormon dalam tubuh seperti parathormon, kalsitonin, dan estrogen. Defisiensi

kalsium pada individu muda dapat menyebabkan terjadinya penyakit riketsia

sedangkan pada individu dewasa menyebabkan osteomalacia. Osteomalacia

berbeda dengan osteoporosis pada individu dewasa. Osteomalacia diakibatkan

oleh defisiensi kalsium per unit dari matriks tulang sehingga kalsifikasi tulang

terganggu. Sedangkan osteoporosis lebih sering terjadi pada individu dewasa

(19)

proses resorpsi tulang lebih tinggi dibanding dengan proses pembentukan tulang

(Junqueira dan Carneiro 2005).

2.1.1 Perkembangan Tulang (Osteogenesis)

Proses pembentukan tulang disebut osteogenesis atau osifikasi.

Perkembangan sel prekusor tulang dibagi ke dalam tahapan perkembangan yakni

1. mesenchymal stem cells 2. Sel-sel osteoprogenitor 3. Pre-osteoblas 4.

Osteoblas, dan 5. Osteosit matang. Setelah sel progenitor membentuk garis

osteoblastik, kemudian dilanjutkan dengan tiga tahap perkembangan diferensiasi

sel yaitu proliferasi, pematangan matrik, dan mineralisasi. Faktor pertumbuhan

tulang tergantung pada herediter, nutrisi, vitamin, mineral, hormon, dan latihan

atau stres pada tulang (Scalon dan Sanders 2007). Osifikasi adalah istilah lain

untuk pembentukan tulang. Osifikasi (osteogenesis) berdasarkan asal

embriologisnya terdapat dua jenis osifikasi, yaitu ossifikasi intramembran yang

terjadi pada sel mesenkim yang berdiferensiasi menjadi osteoblas di pusat

ossifikasi secara langsung tanpa pembentukan kartilago terlebih dahulu dan

osifikasi endokondral yaitu mineralisasi jaringan tulang yang dibentuk melalui

pembentukan kartilago terlebih dahulu (Leeson et al. 1996; Junqueira dan Carneiro 2005).

a. Osifikasi intramembran

Pada osifikasi intramembran, perkembangan tulang terjadi secara

langsung. Selama ossifikasi intramembran, sel mesenkim berproliferasi ke dalam

area yang memiliki vaskularisasi yang tinggi pada jaringan penghubung

embrionik dalam pembentukan kondensasi sel atau pusat osifikasi primer (Leeson

et al. 1996; Junqueira dan Carneiro 2005). Sel ini akan mensintesis matriks tulang pada bagian periperal dan sel mesenkimal berlanjut untuk berdiferensiasi menjadi

osteoblas. Setelah itu, tulang akan dibentuk kembali dan semakin digantikan oleh

tulang lamela matang/dewasa. Proses osifikasi ini merupakan sumber

pembentukan tulang pipih, salah satu diantaranya yaitu tulang pipih kepala. Pada

awal perkembangan tulang pipih atap kepala, tulang yang baru dibentuk

diendapkan pada pinggir dan permukaan tulang tersebut. Untuk tetap menjaga

(20)

dengan cara resorpsi tulang pada permukaan luar dan permukaan dalam oleh

osteoklas, bersamaan dengan terjadinya pengendapan tulang yang terus menerus

pada kedua permukaan tulang (Leeson et al. 1996; Junqueira dan Carneiro 2005). b. Osifikasi endokondral

Semua sel tulang lainnya di dalam tubuh dibentuk melalui proses osifikasi

endokondral. Proses ini terjadi secara tidak langsung yaitu melalui pembentukan

model tulang rawan terlebih dahulu dan kemudian mengalami penggantian

menjadi tulang dewasa. Ossifikasi endokondral dapat dilihat pada proses

pertumbuhan tulang panjang. Pada proses pertumbuhan tulang panjang akan

terbentuk pusat osifikasi primer dimana penulangan pertama kali terjadi yaitu

proses dimana kartilago memanjang dan meluas melalui proliferasi kondrosit dan

deposisi matriks kartilago. Setelah pembentukan tersebut, kondrosit di daerah

sentral kartilago mengalami proses pemasakan menuju hypertropic kondrosit

(Leeson et al. 1996; Junqueira dan Carneiro 2005). Setelah pusat osifikasi primer terbentuk maka rongga sumsum mulai meluas ke arah epifise. Perluasan rongga

sumsum menuju ke ujung-ujung epifisis tulang rawan dan kondrosit tersusun

dalam kolom-kolom memanjang pada tulang dan tahapan berikutnya pada

osifikasi endokondral berlangsung pada zona-zona pada tulang secara berurutan

(Leeson et al. 1996; Junqueira dan Carneiro 2005).

 

2.1.2 Struktur Sel Tulang Osteoblas

Osteoblas terbentuk dari sel osteoprogenitor yang telah berdiferensiasi.

Dalam penelitian Reid (1996) ditemukan bahwa di dalam osteoblas terdapat

reseptor dari estrogen dan juga kalsitriol. Osteoblas memiliki diameter antara

20-30 µm dan terlihat sangat jelas pada sekitar lapisan osteoid dimana tulang baru

terbentuk. Membran plasma osteoblas memiliki sifat khas yakni kaya akan enzim

alkali fostatase, yang konsentrasinya dalam serum digunakan sebagai indeks dari

adanya pembentukan tulang. Sel osteoblas yang telah matang memiliki banyak

aparatus golgi yang berkembang dengan baik yang berfungsi sebagai sel sekretori,

sitoplasma yang basofilik, dan banyak sekali retikulum endopasma. Osteoblas

(21)

aktif sedangkan dalam keadaan tidak aktif osteoblas akan berbentuk pipih

(Einhorn 1996; Kierszenbaum 2002). Osteoblas berasal dari sel pluripoten

mesenkim dan menyimpan osteoid, yakni matriks organik yang tidak

termineralisasi pada tulang. Osteoblas berfungsi untuk menginisiasi dan

mengontrol proses mineralisasi osteoid (Kierszenbaum 2002).

Osteoblas menghasilkan faktor pertumbuhan bersama dengan protein tulang

morfogenetik. Osteoblas berperan dalam sintesis protein, glikosilasi, dan sekresi

menghasilkan kolagen tipe I (90% dari total protein), osteocalcin, protein yang

bukan kolagen diantaranya osteonectin, osteopontin, sialoprotein tulang, faktor

pertumbuhan tulang, sitokin, dan tentunya reseptor dari hormon-hormon

(Kierszenbaum 2002). Osteocalcin merupakan protein sekretori spesifik yang

timbul hanya pada akhir diferensiasi osteoblas di bawah pengaruh Cbfa1 ( core-binding factor) (Kierszenbaum 2002). Osteocalcin banyak terdapat pada protein nonkolagen berfungsi meregulasi kristal apetit pertumbuhan dan mengikat

hidroksiapatit. Osteonectin merupakan polipeptida rantai tunggal yang terdapat

pada beberapa jaringan karena ada saat awal perkembangan tulang. Osteonectin

terbentuk karena adesi osteoblas yang mengikat hidroksiapatit. Sialoprotein

tulang merupakan polipeptida rantai tunggal pada tulang dan jaringan ikat

termineralisasi berfungsi mengikat sel melalui ikatan integrin dan hidroksiapatit

(Meyer dan Wiesmann 2006).

Osteosit

Osteositmerupakan sel tulang yang telah dewasa dan sel utama pada tulang

yang berperan dalam mengatur metabolisme seperti pertukaran nutrisi dan kotoran

dengan darah. Osteosit berasal dari osteoblas yang berdeferensiasi dan terdapat di

dalam lacuna yang terletak diantara lamela-lamela matriks pada saat

pembentukan lapisan permukaan tulang berlangsung. Jumlahnya 20.000 – 30.000

per mm3 dan sel-sel ini secara aktif terlibat untuk mempertahankan matriks tulang

dan kematiannya diikuti oleh resorpsi matriks tersebut sehingga osteosit lebih

penting saat perbaikan tulang daripada pembentukan tulang baru (Junqueira dan

Carneiro 2005; Tortora dan Derrickson 2009).

Setelah pembentukan tulang selesai, sebagian kecil (10-20%) dari osteoblas

(22)

osteosit (Junqueira dan Carneiro 2005; Lian dan Stein 1996). Kanalikuli

merupakan suatu kanal dimana terdapat pembuluh darah yang berfungsi sebagai

penyalur nutrisi dan pertukaran gas yang akan digunakan oleh osteosit (Lian dan

Stein 1996). Osteosit lebih kecil dari osteoblas dan osteosit telah kehilangan

banyak organel pada sitoplasmanya. Osteosit muda lebih menyerupai osteoblas

tetapi merupakan sel dewasa yang memiliki aparatus golgi dan retikulum

endoplasma kasar yang sedikit lebih jelas tetapi memiliki jumlah lisosom yang

lebih banyak. Osteosit (Gambar 1) dapat berhubungan satu sama lain melalui

penjuluran sitoplasma yang melewati kanalikuli yang berperan dalam membantu

koordinasi respon tulang terhadap stres atau deformasi (Stevenson dan Marsh

1992).

Osteoklas

Osteoklas (Gambar 1) adalah sel raksasa hasil peleburan monosit (jenis sel darah putih) yang terkonsentrasi di endosteum dan melepaskan enzim lisosom

untuk memecah protein dan mineral di matriks ekstraseluler. Osteoklas memiliki

progenitor yang berbeda dari sel tulang lainnya karena tidak berasal dari sel

mesenkim, melainkan dari jaringan mieloid yaitu monosit atau makrofag pada

sumsum tulang (Smith 1993; Ott 2002). Osteoklas bersifat mirip dengan sel

fagositik lainnya dan berperan aktif dalam proses resorbsi tulang. Osteoklas

merupakan sel fusi dari beberapa monosit sehingga bersifat multinukleus (10-20

nuklei) dengan ukuran besar dan berada di tulang kortikal atau tulang trabekular

(Marcus et al. 1996). Osteoklas berfungsi dalam mekanisme osteoklastogenesis, aktivasi resorpsi kalsium tulang, dan kartilago, dan merespon hormonal yang

dapat menurunkan struktur dan fungsi tulang (Boyle et al. 2003). Osteoklas dalam proses resorpsi tulang mensekresi enzim kolagenase dan proteinase lainnya, asam

laktat, serta asam sitrat yang dapat melarutkan matriks tulang. Enzim-enzim ini

memecah atau melarutkan matriks organik tulang sedangkan asam akan

melarutkan garam-garam tulang (Telford dan Bridgman 1995). Melalui proses

resorpsi tulang, osteoklas ikut mempengaruhi sejumlah proses dalam tubuh yaitu

dalam mempertahankan keseimbangan kalsium darah, pertumbuhan dan

(23)

memiliki reseptor untuk kalsitokinin, yakni suatu hormon tiroid. Akan tetapi

osteoblas memiliki reseptor untuk hormon paratiroid dan begitu teraktivasi oleh

hormon ini, osteoblas akan memperoduksi suatu sitokin yang disebut faktor

perangsang osteoklas. Osteoklas bersama hormon parathyroid berperan dalam

pengaturan kadar kalsium darah sehingga dijadikan target pengobatan

osteoporosis (Junqueira dan Carneiro 2005; Tortora dan Derrickson 2009).

Gambar 1 Gambaran sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan osteoklas (dimodifikasi dari Leeson et al. 1996).

2.2 Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.)

Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) ditemukan di Aceh. Tanaman ini umumnya ditemukan di kawasan hutan dan dapat tumbuh dengan cepat jika

dipindahkan ke tempat lain. Herbarium Bogoriensis menyatakan bahwa spesies

ini adalah Cissus quadrangula Salisb. Taksonomi tanaman tersebut adalah sebagai berikut.

Divisi : Spermatophyta

Class : Magnoliophyita

Ordo : Sapindales

Family : Vitaceae

Genus : Cissus

Spesies: Cissus quadrangula Salisb. (Sabri 2011)

Penampang melintang batangnya berbentuk segi empat sehingga tanaman

ini dinamakan quadrangula. Pada setiap sudutnya terdapat tonjolan yang tipis ke

samping, dan di antara masing-masing tonjolan terletak terpisah. Bentuk batang

berbuku-buku dan setiap satu meter batang terdapat 4-5 buku, batang berwarna

(24)

samping. Di antara buku-buku yang telah ada muncul 1-2 daun penumpu, dan di

bagian bawah daun penumpu ini muncul calon batang baru. Pada bagian ujung

batang muncul 1-2 daun penumpu, dan di antara daun penumpu ini muncul batang

baru ke atas (Gambar 2). Menurut Versteegh-Kloppenburgh (2006), batang

tanaman ini memiliki morfologi bertekuk-tekuk dan daunnya jarang. Daun

sipatah-patah berbentuk runcing, memiliki panjang daun sekitar 4-5 cm, dan

terdapat pada pertemuan diantara buku-buku serta cepat rontok.

Tanaman sipatah-patah di Aceh sering dipergunakan untuk pengobatan

beberapa penyakit di antaranya adalah rematik dan patah tulang. Pengobatan

rematik dilakukan dengan meminum rebusan daun tanaman tersebut, yang

ditambahkan dengan unsur-unsur yang lain. Sementara itu untuk mengobati patah

tulang, dilakukan dengan cara menggerus daun sipatah-patah lalu menempelkan

pada tempat yang patah. Selain itu tanaman ini juga sangat manjur untuk

mengobati wanita lanjut usia yang mengalami sakit sendi dan patah tulang (Sabri

2011). Tanaman ini memiliki kesamaan dengan tanaman dari India yaitu Cissus quadrangularis Linn. baik secara morfologi dan kandungannya.

Gambar 2 Morfologi tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) dari Aceh (Sabri 2011).

Batang Cissus quadrangularis Linn. secara luas digunakan untuk pengobatan fraktur tulang, tumor, wasir, sariawan, dan tukak lambung (Nadkarni

1954; Warrier et al. 1994). Ekstrak tanaman ini juga mempunyai sifat antiosteoporotik (Shirwaikar et al. 2003), analgesik, antioksidan, antimikroba, hipotensi, antibakterial, antifungal (Austin dan Jagdeesan 2004), obat anti kanker

(25)

anabolik dan androgenik (Mishra et al. 2010; Dalimartha 2003). Getah batang tanaman digunakan untuk pengobatan patah tulang, penyakit telinga dan mata,

sariawan, asma, menstruasi tidak teratur, wasir, tumor, dan luka (Kritikar dan

Basu 2000). Batang Cissus quadrangularis Linn. mengandung triterpenoid dan polifenol yang diketahui menekan pembentukan sitokin (Jainu dan Devi 2006).

Sedangkan Leiro et al. (2004) dan Thuong et al. (2005) menyatakan bahwa triterpenoid dan polifenol menurunkan pembentukan TNFα dan IL1-β. Pada

penelitian yang dilakukan Shirwaikar et al. (2003), penggunaan ekstrak Cissus quadrangularis Linn. melalui intraperitoneal pada mencit dapat mengakibatkan kematian (LD 50 ) pada dosis 5000 mg/kg.

Menurut Sabri (2011), batang sipatah-patah ini mengandung beberapa

komponen biologis yaitu kalsium, fosfor, alkaloid, flavonoid, tanin (polifenolat),

dan triterpenoid. Kadar kalsium yang ditemukan pada batang sipatah-patah

mencapai 4,33% dari bobot keringnya. Dengan demikian kandungan kalsium yang

tinggi pada batang sipatah-patah ini dapat digunakan sebagai sumber kalsium

dalam pembentukan tulang atau pemenuhan kebutuhan kalsium tubuh. Selain itu

dari ekstrak sipatah-patah didapatkan bahwa ekstrak tersebut mengandung

sebanyak 33 senyawa fitokimia dan 14 senyawa diantaranya termasuk golongan

steroid. Golongan steroid tersebut 7 diantaranya termasuk dalam golongan

fitoestrogen. Senyawa fitoestrogen itu antara lain A-noncholestan-3-one-5-ethenyl

(22.67%), Stigmast-5-en-3-ol (15.52%), Stigmast-4-en-3-one (8.53%),

Lup-20(29)-en-3-ol (3.beta) (7.49%), Ergost-22-en-3-ol (5.74%),

Stigmast-5,23-dren-3.beta-ol (2.55%) dan Methyl (25RS)-3β-hydrokxyl-5 cholesten (2.36%).

Menurut Jainu dan Devi (2006), senyawa fitoestrogen yang ada dalam

Cissus quadrangularis antara lain isoflavon, ligni, coumestan, triterpan, glicoside, dan asiklik. Selain itu terdapat juga kandungan flavonoid seperti kersetin, vitamin

C, resveratrol, piceantannol, palidol, ketosteroid, dan karoten (Swamy et al.

2006). Fitoestrogen memiliki kesamaan struktur kimia dan aktivitas yang sama

dengan hormon estrogen (Anderson dan Garner 1998; Dewell et al. 2002). Menurut Jefferson et al. (2002), fitoestrogen memiliki banyak kesamaan pada dua gugus –OH dan mempunyai gugus fenol serta jarak antara gugus hidroksil yang

(26)

estrogen di tulang. Tiga unsur utama dari fitoestrogen adalah isoflavon,

caumenstan, dan lignan. Isoflavone memiliki unsur utama yaitu genistien dan

daidzein. Isoflavone mampu mengikat reseptor estrogen beta dalam osteoblas dan

dapat menstimulasi proliferasi dari osteoblas (Yamaguchi 2002). Selain itu

isoflavon juga menginduksi terjadinya diferensiasi dari osteoblas yakni melalui

aktivasi transforming-growth factor β (TGF-β) (Kim 1998). Menurut Reid (1996), di dalam osteoblas terdapat reseptor dari estrogen dan juga kalsitriol.

Rachman et al. (1996), penggunaan fitoestrogen memiliki efek keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan estrogen sintetis atau obat-obat hormonal

pengganti (hormonal replacement therapy/HRT). Pada saat kadar estrogen menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat,

walaupun afinitasnya rendah, fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor

tersebut. Fitoestrogen menstimulasi aktivitas osteoblas melalui aktivitas

reseptor-reseptor estrogen dan mampu meningkatkan produksi hormon pertumbuhan

insulin-like growth factors-1 (IGF-1) yang memiliki hubungan positif terhadap pembentukan massa tulang. Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause

(Rachman 1996), memperbaiki kadar lipid atau lemak dalam plasma, menghambat

perkembangan ateriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau

kanker pada payudara dan endometrium (Dewell et al. 2002).

2.3 Kultur In Vitro

Kultur sel (cell culture) didefinisikan teknik menumbuhkan dan memelihara sel-sel dari organisme multiseluler di luar tubuh organisme terutama dalam wadah

khusus yang ditempatkan pada kondisi lingkungan menyerupai kondisi tubuh

organisme seperti temperatur, kelembaban, nutrisi, dan kondisi bebas

kontaminasi. Sel, jaringan, dan organ yang diisolasi serta dipelihara pada

laboratorium merupakan objek hidup yang dikultur. Perkembangan kultur sel

berkaitan erat dengan kultur jaringan dan organ.

Menurut Butler (2004) kultur sel asal hewan memiliki beberapa tujuan,

antara lain (1) mengetahui fisiologi normal atau proses biokimia yang terjadi

dalam sel, seperti memperlajari metabolisme sel; (2) menguji berbagai pengaruh

senyawa kimiawi ataupun obat pada tipe sel spesifik, seperti senyawa metabolit,

(27)

dievaluasi dalam kultur sel; (3) mempelajari kombinasi variasi tipe sel sehingga

menghasilkan jaringan buatan, seperti menghasilkan kulit buatan untuk perawatan

kulit terbakar; (4) mensintesis produk biologis bernilai pada kultur sel skala besar.

Produk biologis seluler memiliki cakupan luas termasuk protein spesifik ataupun

virus yang memerlukan sel hewan dalam perkembangannya, seperti protein yang

jumlahnya sangat sedikit dalam tubuh dapat disintesis dalam jumlah gram hingga

kilogram dengan menumbuhkan sel secara genetis secara in vitro. Jumlah produk biologis yang bernilai komersial telah meningkat dengan cepat selama beberapa

dekade terakhir. Pada kultur skala besar penting untuk menghindari kontaminasi

seperti virus dan protein tak diinginkan yang dapat menyebabkan kerugian besar.

Sel hewan memiliki bentuk dan karakteristik tertentu yang bersatu

membentuk jaringan berbeda-beda. Menurut Butler (2004) terdapat lima jenis sel

dalam jaringan yang sering digunakan pada kultur sel, antara lain (1) Jaringan

epitel, tersusun atas selapis sel yang menutup organ dan saluran seperti kulit dan

saluran pencernaan. Sel-sel epitel tumbuh dengan baik pada kultur sebagai sel

tunggal monolayer. (2) Jaringan ikat membentuk komponen utama struktur tubuh

hewan. Fibroblas merupakan jenis sel jaringan ikat yang paling banyak

digunakan untuk kultur sel karena mampu tumbuh dengan baik pada laju

pertumbuhan 18-24 jam. Osteoblas merupakan sel dalam jaringan tulang yang

dapat ditumbuhkan dalam kultur. (3) Jaringan otot mampu tumbuh dalam kultur

khususnya sel myoblas. Sel tersebut mampu berdiferensiasi membentuk

myotubes, yakni suatu proses yang hanya bisa diamati dalam kultur. (4) Jaringan

saraf dapat ditumbuhkan pada kultur dengan menambahkan growth factors pada kultur neuron sehingga membentuk neurit. Kultur sel saraf sering digunakan

untuk mengetahui pertumbuhan neuroblastoma. (5) Darah dan getah bening

(lymph) mengandung suspensi sel yang dapat tumbuh dalam kultur. Limfoblast merupakan salah satu jenis sel darah putih yang secara luas digunakan dalam

kultur karena mampu mensekresikan senyawa immunoregulasi.

Menurut Malole (1990), kondisi in vitro diciptakan menyerupai kondisi in vivo antara lain temperatur (37°C), pH (7.4), oksigen, CO2 (5%), tekanan osmosis,

permukaan untuk melekat sel, nutrien, proteksi terhadap zat toksik, hormon, dan

(28)

kultur antara lain gelatin, kolagen, laminin, atau fibronectin (Freshney 2005). Malole (1990), medium dasar berfungsi untuk mengatur pH, tekanan osmosis

dalam medium, dan sumber ion organik yang esensial. Menurut Frehsney (2005)

medium pertumbuhan yang sering digunakan dalam kultur in vitro adalah

Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM). DMEM mengandung konsentrasi asam amino dua kali lipat lebih banyak dari Eagle’s Minimal Essential Medium

(MEM), empat kali vitamin, dan mengatur konsentrasi HCO3 dan CO2. Sedangkan

menurut Buttler (2004), DMEM mengandung asam amino dan vitamin empat kali

lebih banyak dibanding Eagle’s Basal Medium (EBM). Nutrisi lainnya yaitu dengan penambahan serum yang berasal dari sapi (Fetal Calf Serum (FCS) dan

Newborne Calf Serum (NCBS)), serum asal manusia, dan serum asal kuda. Penambahan serum dalam medium berkisar antara 5-20%. Serum berfungsi

sebagai sumber faktor pertumbuhan, faktor hormonal, faktor pelekat sel, dan fakto

penyebar sel (Malole 1990). Untuk mengatasi adanya kontaminasi pada kultur

dapat ditambahkan antibiotik pada medium (Buttler 2004).

2.4 Kultur Tulang

Kultur primer adalah menempatkan sel secara langsung yang berasal dari

jaringan hewan ke dalam medium pertumbuhan (Butler 2004). Tulang merupakan

salah satu jaringan ikat yang dapat dikembangkan dan ditumbuhkan secara in vitro

(di luar tubuh hewan) untuk tujuan tertentu, seperti mengetahui tingkat proliferasi

osteoblas (Butler 2004). Pada individu muda sel osteoblas lebih cepat

berproliferasi dan berdiferesisasi dibanding individu dewasa (Pradel et al. 2008).

Kultur osteoblas (Gambar 3) dilakukan antara lain untuk mengetahui biokimia dan

fisiologi dari pembentukan tulang, mengetahui hingga tingkat molekuler dan

seluler dari penyakit tulang, mengetahui peran sel pada garis osteoblastik dalam

meregulasi penyerapan tulang, menguji agen terapeutik yang potensial, untuk

mengembangkan dan menguji biomaterial baru, dan untuk menggunakan terapi

sel pada teknik jaringan dan transplantasi tulang (Gallagher 2003).

Menurut Binderman et al. (1974), sel tulang tikus memiliki population doubling time sekitar 2-4 hari. Sel tulang pada penelitian tersebut didapat dengan cara mengisolasi secara langsung tulang tikus. Medium yang digunakan pada

(29)

selain mengetahui proliferasi juga dapat mengetahui diferensiasi sel tulang yang

dikultur. Secara in vitro, diferensiasi ini mudah didapatkan dengan menambahkan media penginduksi kedalam medium kultur. Media penginduksi diferensiasi

osteogenik pada kultur antara lain penambahan asam askorbat, β

-glycerophosphate, 1α, 25-dihydroxyvitamin D3, dan dexamethason (Gallagher

2003). Penambahan asam ascorbat dalam medium kultur sel tulang yaitu sebesar

50 µg/mL. Penambahan asam askorbat (vitamin C) pada medium kultur sel tulang

dapat mengotimalkan peningkatan diferensiasi sel tulang yang dikultur (Pradel et al. 2008).

Dexamethason merupakan senyawa glukokortikoid yang biasa digunakan

dalam medium osteogenik dalam kultur in vitro dengan dosis sebesar 10 nM (Freshney 2005). Berdasarkan penelitian Guzman-Morales et al. (2009), dexamethasone diketahui dapat menginduksi diferensiasi osteogenik dari sumsum

tulang belakang manusia secara in vitro, dapat mempengaruhi aktivitas pembelahan sel yang lambat (meningkatkan proliferasi) serta dapat meningkatkan

perlekatan sel pada substrat. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Beloti dan

Rosa (2005), dexamethason dapat memberikan efek dalam mendiferensiasi

sumsum tulang menjadi osteoblas matang.

   

Gambar 3 Osteoblas (Anonim 2011a).

    

(30)

III.

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Oktober 2011 di

Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi,

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gunting bedah, pinset,

mikrofilter, spoit 10 mL dan 1 mL, gelas objek, kaca penutup, cawan petri,

hemositometer, mikropipet, gelas ukur, erlenmeyer, gelas beaker, tabung

sentrifus, timbangan digital, inkubator, mikroskop dan biosafety cabinet.

Bahan yang digunakan antara lain tulang tikus (Rattus norvegicus) umur 4 minggu, medium kultur mDMEM [Dubelcco’s Modified Eagle Medium (DMEM) yang diberi tambahan asam amino non-essensial (AANE; Sigma) 10%, Newborn Calf Serum (NBCS) 10%, sodium bicarbonat (NaHCO3) 3,7 µg/mL, gentamycin

50 µg/mL, insulin transferrin selenium (ITS) 1µl/mL], mPBS [phosphate buffered saline (PBS) yang diberi tambahan NBCS 0.1% dan gentamycin 50 µg/mL], Dexamethason 10-8 M, ekstrak Cissus quadrangula Salisb. dan pewarna Hematoksilin Eosin (HE).

3.3 Metode

3.3.1. Ekstrak Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.)

Ekstrak batang sipatah-patah (CQ) yang dipakai pada penelitian ini

merupakan ekstrak siap pakai yang berasal dari Laboratorium Farmasi FKH IPB

yang dibuat menggunakan metode maserasi etanol.

3.3.2. Persiapan Kultur Sel Tulang

Sebelum digunakan, cawan petri (Corning®) dilapisi dengan 1 mL gelatin

0.1% dan didiamkan pada suhu kamar selama 1 jam. Setelah satu jam, gelatin

dibuang dan dicuci dengan PBS kemudian didiamkan selama 5 menit. Cawan

(31)

0.3 mg/mL, 0.6 mg/mL, dan 1.2 mg/mL sebanyak 2 mL kemudian diinkubasi

selama minimal satu jam ke dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37 oC.

3.3.3. Isolasi dan Kultur Sel Tulang

Sel tulang diisolasi dari tulang femur, tibia dan fibula tikus (Rattus norvegicus) umur empat minggu. Tulang dicacah hingga halus dan disuspensi di dalam mPBS menggunakan spuit 1 cc. Suspensi tulang disentrifugasi dengan

kecepatan 200 g selama 10 menit, pencucian ini dilakukan dengan mPBS

sebanyak empat kali dan mDMEM sebanyak satu kali. Sebelum dikultur, jumlah

sel dihitung menggunakan hemositometer. Sel dengan konsentrasi 3 x 104 sel/mL

dalam 100 µl dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi medium perlakuan

sebanyak 2 mL. Setiap kultur dilakukan rangkap dua, terdiri dari cawan petri

yang diberi dan tidak diberi kaca penutuppada dasar cawan petri tersebut. Cawan

petri yang tidak diberi kaca penutup digunakan untuk menghitung proliferasi sel

sedangkan cawan petri yang diberi kaca penutup digunakan untuk pewarnaan HE.

Kultur diinkubasi di dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37 oC. Medium

mDMEM dan perlakuan diganti setiap 2 hari sekali sebanyak 2 mL setiap

penggantian. Kultur dilakukan sampai hari ketujuh.

3.4. Evaluasi Hasil Kultur Sel Tulang

3.4.1.Tingkat Proliferasi (population doubling time)

Tingkat proliferasi ditentukan dengan menghitung jumlah sel pada saat

sebelum dikultur dan setelah kultur hari ketujuh. Pada hari ketujuh medium

dibuang lalu sel hasil kultur dicuci dengan PBS kemudian dimasukkan larutan

tripsin 0.1% dalam mPBS sebanyak 1 mL. Sel diinkubasi selama 5 menit sampai

sel terlihat soliter dan diamati di bawah mikroskop. Pemipetan berulang dapat

dilakukan untuk mempermudah disosiasi sel. Sel yang telah terdisosiasi

disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 200 g di dalam mPBS.

Selanjutnya sel dihitung menggunakan hemositometer Improved Neubauer

dengan perhitungan :

 

(32)

Sedangkan Population Doubling Time (PDT) dihitung menggunakan rumus (Davis 2011):  

 

 

 

3.4.2. Identifikasi Diferensiasi Osteoblas dan Osteosit

Identifikasi jumlah dan diameter sel-sel tulang yang dikultur yakni dengan

menggunakan teknik pewarmaan Hematoksilin Eosin. Kultur sel yang

ditumbuhkan di atas cover glass dicuci dengan PBS kemudian difiksasi dalam larutan buffer paraformaldehid 4%. Kultur yang telah difiksasi dan siap diwarnai

terlebih dahulu dimasukkan ke dalam alkohol 70% selama 5 menit, kemudian

alkohol 50% selama 5 menit, aquades 10 menit sebanyak 3 kali perendaman

sebagai rehidrasi. Setelah itu direndam dalam hematoksilin selama 10 menit dan

dibilas dengan aquades selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan perendaman dalam

eosin selama 5 menit, dibilas dengan aquades selama 5 menit, dan dilakukan

dehidrasi bertingkat menggunakan alkohol. Setelah itu dilanjutkan dengan

perendaman pada xylol dua kali ulangan masing-masing selama 10 menit, kemudian cover glass ditempelkan dengan object glass menggunakan entelan dan diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 untuk dihitung jumlah

sel-sel tulang yang ada. Penghitungan dilakukan pada 16 lapang pandang kemudian

dipersentasekan dengan total sel yang dihitung. Perhitungan dilakukan sebanyak

tiga kali ulangan dan kemudian dirata-ratakan. Pada penghitungan diameter

dilakukan dengan menggunakan mikrometer Eyepiece dan diamati dengan mikroskop pada pembesaran 40 x 10. Penghitungan diameter dilakukan pada 20

osteoblas dan 20 osteosit yang ada pada masing-masing perlakuan. Perhitungan

dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dan kemudian dirata-ratakan.

3.5. Rancangan Percobaan

Terdapat lima kelompok perlakuan yang terdiri dari kontrol negatif

(mDMEM), kontrol positif (mDMEM + dexamethason 10-8 M), pemberian

ekstrak batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb. atau CQ) yakni CQ 0.3 1

PDT (hari) =

(log jumlah sel akhir-log jumlah sel awal) x 3,32

(33)

(mDMEM + CQ 0.3 mg/mL), CQ 0.6 (mDMEM + CQ 0.6 mg/mL), dan CQ 1.2

(mDMEM + CQ 1.2 mg/mL). Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas

satu cawan yang dilapisi cover glass untuk pewarnaan HE dan satu cawan tanpa

cover glass untuk menghitung Population Doubling Time (PDT). Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Parameter yang diamati yaitu

PDT, jumlah osteoblas dan osteosit, serta diameter osteoblas dan osteosit. Data

PDT, jumlah osteoblas dan osteosit, serta diameter osteoblas dan osteosit

dianalisis menggunakan uji statistik ANOVA dan dilanjutkan dengan uji statistik

(34)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT)

Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua kali dari jumlah semula. Semakin

kecil nilai PDT menandakan semakin cepat proliferasi sel yang terjadi. Hasil PDT

kultur sel tulang yang diberi perlakuan ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.). dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Proliferation Doubling Time (PDT) sel tulang pada kultur yang diberi ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) (hari)

Perlakuan PDT

Kontrol positif 2.34 ± 0.22a

Kontrol negatif 3.57 ± 0.40b

CQ 0.3 2.18 ± 0.12a

CQ 0.6 2.39 ± 0.25a

CQ 1.2 2.55 ± 0.35a

Ket: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan

nyata (P<0,05). Kontrol negatif (mDMEM); kontrol positif (mDMEM+Dexamethason 10-8 M); ekstrak batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb. atau CQ) CQ 0.3 (mDMEM+CQ 0.3 mg/mL); CQ 0.6 (mDMEM+0.6 mg/mL); CQ 0.3 (mDMEM+CQ 1.2 mg/mL).

Nilai PDT pada kontrol negatif dan kontrol positif adalah 3.57 ± 0.40 hari

dan 2.34 ± 0.22hari, sedangkan nilai PDT pada pemberian ekstrak CQ 0.3, CQ

0.6, dan CQ 1.2 masing-masing adalah 2.18 ± 0.12hari, 2.39 ± 0.25 hari, dan 2.55

± 0.35 hari. Menurut Binderman et al. (1974), sel tulang memiliki PDT sekitar 2-4 hari. Pemberian ekstrak batang tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula

Salisb.) pada kultur sel tulang dengan konsentrasi CQ 0.3, CQ 0.6, dan CQ 1.2

menurunkan nilai PDT jika dibandingkan dengan kontrol negatif (P<0.05). Hal

ini sejalan dengan kontrol positif yang juga menunjukkan terjadinya penurunan

nilai PDT. Nilai PDT yang semakin kecil menandakan pemberian ekstrak dapat

meningkatkan terjadinya proliferasi pada sel tulang yang dikultur. Hal ini sesuai

(35)

Cissus quadrangulais Linn. pada kultur sumsum tulang menyebabkan terjadinya proliferasi bone marrow mesenkhimal stem cell (MSCs).

Salah satu komponen yang terkandung dalam ekstrak batang sipatah-patah

adalah fitoestrogen (Sabri 2011). Senyawa fitoestrogen tersebut antara lain

isoflavon, lignin, coumestan, triterpen, asiklik, dan glicoides (Jainu dan Devi

2006). Isoflavon memiliki kemampuan dalam mengikat reseptor estrogen β dalam

osteoblas dan menstimulasi proliferasi osteoblas (Yamaguchi 2002). Selain itu,

menurut Rachman et al. (1996) fitoestrogen mampu meningkatkan produksi

insulin-like growt factor (IGF-1) yang memiliki hubungan positif terhadap pembentukan massa tulang. IGF-1 merupakan protein yang menyerupai hormon

insulin endogen dan berperan penting dalam pertumbuhan dan metabolisme sel.

IGF-1 juga berperan dalam proliferasi sel dan menghambat kematian sel (LeRoith

et al. 1992). Kandungan fitoestrogen yang terdapat dalam ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) dipercaya dapat meningkatkan proliferasi sel tulang yang dikultur.

4.2 Diferensiasi Sel Tulang

Diferensiasi merupakan proses transformasi sel menjadi bentuk matang dan

memiliki fungsi khusus. Dalam hal ini terjadi proses diferensiasi dari osteoblas

menjadi osteosit.

4.2.1 Diameter Osteoblas dan Osteosit

Sel tulang yang dikultur dengan penambahan ekstrak batang sipatah-patah

[image:35.612.127.514.513.662.2]

(Cissus quadrangula Salisb.). dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Morfologi sel tulang dalam kultur. (A) Osteoblas, (B) Osteoblas mengecil, (C) Osteosit, (D) Osteosit muda. Pewarnaan HE. Bar: 20µm.

(36)

Osteoblas merupakan sel yang berbentuk kubus atau kolumnar dalam

keadaan aktif sedangkan dalam keadaan tidak aktif osteoblas akan berbentuk pipih

(Einhorn 1996; Kierszenbaum 2002). Sedangkan osteosit merupakan sel dewasa

yang memiliki aparatus golgi dan retikulum endoplasma kasar yang lebih sedikit

tetapi memiliki jumlah lisosom yang lebih banyak serta osteosit memiliki

penjuluran pada sitoplasma (Stevenson dan Marsh 1992).

Diameter osteoblas dan osteosit pada masing-masing perlakuan dapat dilihat

[image:36.612.130.509.280.428.2]

pada Tabel 2.

Tabel 2 Diameter osteoblas dan osteosit yang tumbuh dalam medium yang diberi ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) (µm)

Perlakuan Osteoblas Osteosit

Kontrol positif 19.51 ± 2.08a 12.33 ± 1.01b

Kontrol negatif 20.46 ± 3.20b 11.60 ± 1.84a

CQ 0.3 19.50 ± 1.72a 12.16 ± 1.02b

CQ 0.6 19.24 ± 1.70a 12.54 ± 1.25b

CQ 1.2 19.75 ± 2.38ab 12.56 ± 0.71b

Ket : Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0.05).

Diameter osteoblas pada perlakuan CQ 0.3, CQ 0.6, dan CQ 1.2

berturut-turut adalah 19.50 ± 1.72 µm, 19.24 ± 1.70 µm, dan 19.75 ± 2.38 µm. Osteoblas

memiliki diameter antara 20-30 µm (Kierszenbaum 2002). Diameter osteoblas

pada kultur yang diberi ekstrak lebih kecil (Gambar 5B) dibandingkan dengan

diameter osteoblas pada kontrol negatif (Gambar 5A) yang memiliki diameter

sebesar 20.46 ± 3.20. Diameter osteosit pada perlakuan CQ 0.3, CQ 0.6, dan CQ

1.2 berturut-turut adalah 12.16 ± 1.02 µm, 12.54 ± 1.25 µm, dan 12.56 ± 0.71 µm.

Osteosit memiliki ukuran sekitar 9-20 µm (Kogianni dan Noble 2007). Berbeda

dengan osteoblas, diameter osteosit pada kultur dengan penambahan ekstrak

tanaman sipatah-patah (Gambar 5D) lebih besar (P<0.05) dibandingkan diameter

(37)

dan perbedaan diameter antar osteosit pada medium yang diberi penambahan

ekstrak dapat menunjukkan terjadinya proses diferensiasi sel.

Transformasi osteoblas menuju osteosit melibatkan perubahan morfologi

seperti penurunan ukuran sel, peningkatan proses intraseluler, dan perubahan

dalam organel-organel intraseluler (Palumbo 1986). Sel pada tahapan diferensiasi

antara osteoblas menuju osteosit salah satunya disebut dengan osteosit muda atau

preosteosit. Sel ini berukuran lebih besar dibandingkan osteosit matang dan

memiliki aparatus golgi yang berkembang dengan sangat baik (Dallas dan

Bonewald 2010). Beberapa studi menunjukkan bahwa tergantung pada tipe tulang

dan aktivitas serta ukuran dari osteoblas yang dapat menyebabkan ukuran osteosit

berbeda-beda. Osteosit yang baru tertanam dalam tulang dapat bervariasi dalam

bentuk dan ukuran. Hal ini tergantung pada umur masing-masing osteosit dan

tingkat kematangan osteosit (Dallas dan Bonewald 2010).

4.2.2 Komposisi Jumlah Osteoblas dan Osteosit

Banyak faktor yang dapat menimbulkan ekspresi dari sifat osteoblas dalam

kultur antara lain medium kultur yang digunakan, waktu kultur dan adanya

komponen yang dapat menyebabkan sel berproliferasi dan berdiferensiasi.

Komponen tersebut antara lain dapat berupa hormon maupun faktor pertumbuhan.

Komposisi jumlah osteoblas dan osteosit dalam kultur dapat dilihat pada Tabel 3

[image:37.612.111.508.525.675.2]

berikut.

Tabel 3 Persentase osteoblas dan osteosit yang tumbuh dalam medium yang diberi ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) (%)

Perlakuan Osteoblas Osteosit

Kontrol positif 82.73 ± 4.07b 17.27 ± 4.07a

Kontrol negatif 83.41 ± 2.91b 16.58 ± 2.91a

CQ 0.3 69.00 ± 11.26ab 30.99 ± 11.26ab

CQ 0.6 62.90 ± 15.93a 37.09 ± 5.93b

CQ 1.2 72.64 ± 7.19ab 27.34 ± 7.19ab

(38)

Pemberian ekstrak pada dosis CQ 0.6 menunjukkan persentase jumlah

osteoblas terendah yakni sebesar 62.90 ± 15.93 dan persentase jumlah osteosit

tertinggi sebesar 37.09 ± 15.93. Dibandingkan dengan kontrol positif dan negatif,

persentase osteoblas pada dosis CQ 0.6 secara signifikan menurun dan persentase

osteosit semakin meningkat (P<0.05). Hal ini dapat menunjukkan bahwa

pemberian ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) menginduksi terjadinya proses diferensiasi osteoblas menjadi osteosit. Osteosit

merupakan sel akhir dari diferensiasi osteoblas dan bukan sel hasil proliferasi dari

osteoblas (Kogianni dan Noble 2007). Proporsi dari osteoblas dipengaruhi antara

lain oleh spesies hewan, umur, tipe tulang, hormon dan status penyakit (Dallas

dan Bonewald 2010).

Isoflavon yang terkandung dalam fitoestrogen akan berikatan dengan

reseptor estrogen β yang terdapat pada osteoblas dan menginduksi terjadinya

proses diferensiasi osteoblas melalui aktivasi transforming-growth factor β

(TGF-β) (Kim et al. 1998). TGF-β merupakan salah satu protein yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan yang berperan dalam proliferasi, determinan, diferensiasi,

motilitas dan kematian sel. TGF-β akan mempengaruhi kerja enzim tirosin kinase

yang merupakan enzim penting dalam pertumbuhan dan diferensiasi sel

(Massague 1998). Menurut Pradel et al. (2008), kandungan vitamin C dapat mengoptimalkan peningkatan diferensiasi sel tulang yang dikultur. Oleh karena

itu, kandungan isoflavon dan vitamin C yang terdapat dalam ekstrak tanaman

sipatah-patah dapat menginduksi terjadinya proses diferensiasi osteoblas menjadi

osteosit pada kultur. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Potu et al.

(2009), bahwa penambahan ekstrak Cissus quadrangularis Linn. ke dalam kultur

bone marrow mesenkhimal stem cell (MSCs) dapat menstimulasi proliferasi dan diferensiasi MSCs menjadi osteoblas. Diferensiasi MSCs menjadi osteoblas

melalui jalur Wnt-LRP-β-catenin. Wnt-signaling pathway merupakan protein yang berperan dalam perkembangan embrio dan diferensiasi sel bekerja sama dengan

low density lipoprotein receptor related protein 5 (LRP5) dan β-catenin (Akiyama 2000).

Berdasarkan data-data yang diperoleh, pemberian ekstrak batang

(39)

diferensiasi terhadap sel tulang tikus yang dikultur. Kandungan fitoestrogen yang

berasal dari ekstrak dapat meningkatkan proliferasi osteoblas dan meningkatkan

diferensiasi osteoblas menjadi osteosit sehingga pembentukan tulang dapat terjadi

dengan cepat dan kepadatan tulang juga akan semakin meningkat. Hal ini sejalan

dengan penelitian Sabri (2011) yang dilakukan secara in vivo yakni pemberian ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) dapat meningkatkan kepadatan tulang, pertambahan panjang tulang femur, dan peningkatan bobot

badan pada tikus prapubertas. Kandungan kalsium serta fosfor yang tinggi juga

dapat digunakan dalam pembentukan tulang sehingga kepadatan tulang akan

meningkat. Tingginya kadar kalsium dalam darah akan memicu kerja kelenjar

thiroid dalam penyimpanan kalsium ke dalam tulang. Selain itu, dapat menekan

kerja kelenjar parathiroid dalam mengaktivasi kerja osteoklas dalam perombakan

tulang. Kepadatan tulang yang didapat selama masa pertumbuhan merupakan

faktor yang menentukan terjadinya kasus osteoporosis di kemudian hari. Individu

dengan kepadatan tulang yang tinggi pada masa pertumbuhan sampai masa

premenopause akan terhindar dari osteoporosis pada masa pascamenopause

(40)

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penambahan ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) pada kultur sel tulang dapat meningkatkan proliferasi dan menginduksi terjadinya

diferensiasi osteoblas menjadi osteosit. Diferensiasi osteoblas menjadi osteosit

terlihat dari penurunan diameter osteoblas dan adanya peningkatan persentase

jumlah osteosit dalam kultur. Dosis optimal pemberian ekstrak batang

sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) untuk proliferasi dan diferensiasi sel tulang pada penelitian ini adalah 0.6 mg/mL.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek ekstrak

batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) secara in vitro pada sel lainnnya dalam tubuh serta efek ekstrak dalam menanggulangi berbagai penyakit.

Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis toksik ekstrak

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Akiyama T. 2000. Wnt/beta-batenin signaling. Cytokine Growth Factor Rev. 11(4):273-83.

Anderson JJB, Garner SC. 1998. The effect of phytoestrogens of bone. J Nutr Res

17: 1617-1632.

[Anonim]. 2011a. Osteoblast. http://www.abdn.ac.uk [07 Juli 2011].

[Anonim]. 2011b. Osteocytehttp://www.tursiops-biology.com [07 Juli 2011].

Austin A, Jagdeesan M. 2004. Gastric and duodenal antiulcer and cytoprotective effects of Cissus quadrangularis Linn. variant II in rats. Nig J Nat Prod Med 6 :1-7.

Beloti MM, Rosa Al. 2005. Osteoblast differentiation of human bone marrow sells under continous and discontinous treatment with dexamethasone. Braz Dent J 16(2): 156-161.

Binderman I, Duksin D, Harell A, Katzir E, Sachs L. 1974. Formation of bone tissue in culture from isolated bone cells. J. Cell Biology 61: 427-439. Butler, M. 2004. Animal Cell Culture and Technology. Cornwall UK: Bios

Scientific Publishers.

Boyle WJ, Simonet WS, Lacey DL. 2003. Osteoclast differentiation and

activation. Nature 10:423 [terhubung berkala].

http://www.nature.com/nature/journal/v423/n6937/abs/nature01658.html [22 Apr 2011]

Compston JE, Garraham NJ, Croucher PI, Wright CDP, Yamaguchi K. 1993. Quantitative analysis of trabecular bone structure. Bone 14: 187-1992. Dalimartha S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid II. Jakarta: Trubus

Agriwidya.

Dallas SL, Bonewald LF. 2010. Dynamics of the transition from osteoblast to osteocyte. NIH Public Access 1192:437-443.

Davis JM. 2011. Basic techniques and media, the maintenance of cell lines, and safety. Di dalam Animal cell culture essesntial methods. John MD, Editors. UK: John Wiley and Sons Ltd.

Derek S, Kalangi SJR, Wangko S. 2007. Kerja osteoklas pada perombakan tulang. BIK Biomed.

(42)

Einhorn. 1996. Cellular control of bone homeostasis. Di dalam: Mishell’s textbook of infertility, Contraception and Reproductive Endocrinology. Ed. 4. Ney York: Blackwell Science.

Freshney RI. 2005. Culture of Animal Cells a Manual Basic Technique. Ed.5. Wiley-liss, a John Wiley & Sons, Inc, Pub.

Gallagher JA. 2003. Human osteoblast culture. Methods Mol Med 80:3– 18. Guzman-Morales J, El-Gabalawy H, Pham MH, Tran-Khanh N, McKee MD, Wu

W, Centola M, Hoemann CD. 2009. Effect of chotosan particles and dexamethasone on human bone marrow stromal cell osteogenesis and angiogenic factor secretion. J. Elsevier bone (45): 617-626.

Jainu JM, Devi CSS. 2006. Gastroprotective effect of Cissus quadrangularis

extract in rats with experimentally induced ulcer. Indian J Med Res

123:799-806.

Jefferson WN, Padilla-Banks E, Clark G, Newbold RR. 2002. Assessing estrogenic activity of phytochemicals using transcriptional activation and immature mouse uterotrophic responses. J Chrom. B Analytical Technologies in the Biomedical and Life Sci 777(1-2):179-189.

Junqueira LC, Carneiro J. 2005. Basic Histology: Text and Atlas. Ed.11. Poule; McGraw-Hill Medical.

Kierszenbaum AL. 2002. Histology and Cell Biology: An Introduction to Pathology. St. Louis: Mosby. Inc. An Affiliate of Elsevier.

Kim H, Peterson TG, Barnes S. 1998. Mechanisms of action of the soy isoflavone genistein: emerging role for its effects via transforming growth factor β signaling pathways. Am J Clin Nutr 68:1418S-25S.

Kogianni G, Noble BS. 2007. The biology of osteocytes. Current Medicine Group LLC 5: 81-86.

Kritikar KR, Basu BD. 2000. Indian Medicinal Plants. Ed. 3. Basu LM, Allahabad, Editors. India.

LeRoith D, McGuinness M, Schemer J, Stannard B, Lanau F, et al. 1992. Insulin-like growth factors. Biol Signals. 1(14): 173-81.

Leiro JD, Garcia JA, Arranz R, Delgado ML, Sanmartin F, Orallo. 2004. An

Anacardiaceae preparation reduces the expression of inflammation-related genes in murine macrophages. Int. Immunopharmacol 4:991– 1003.

Leeson RC, Leeson TS, Paparo AA. 1996. Buku ajar histologi. Ed. 7. Tambajong

(43)

Lian JB, Stein GS. 1996. Osteoblast biology. Di dalam : Osteoporosis. Maraus R, Fieldman D, Kelsey J, Editors. San Diego: Academic Pr. Inc.

Malole MBM. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat antaruniversitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Marcus R, Feldman D, Klasey J. 1996. Osteoporosis. New York: Academic Pr. Massague J. 1998. TGF-β signal transduction. Annu. Rev. Biochem 67:753-91. Meyer U, Wiesmann HP. 2006. Bone and Cartilage Engineering. Heidelberg:

Springer.

Mishra G, Srivasta S, Nagori BP. 2010. Pharmacological and therapeutic activity of Cissus quadrangularis. J. Pharm Tech 2(2):1298-1310.

Nadkarni AK. 1954. Indian Meteria Medica, Ed.13. Bombay: Dhootapapeshwar Prakashan Ltd.

Ott SM. 2002. Osteoporosis and bone physiology. J Am Medic 228: 334-341. Palumbo C. 1986. A three-dimentional ultractructural study of osteoid-osteocyte

in tibia of chick embryos. Cell Tissue Res. 246: 125-131.

Potu BK, Bhat Kumar MR, Rao MS, Nampurath GK, Chamallamudi MR, Nayak SR, Muttigi MS. 2009. Petroleum ather extract of Cissus quadrangularis

(Linn.) enhances bone marrow mesenchymal stem cell proliferation and facilitates osteoblastogenesis. Clinical science 64(10): 993-8.

Pradel W. Mai R. Gedrange T. Lauer G. 2008. Cell passage and composition of culture medium effects proliferation and differentiation of human osteoblast-like cells from facial bone. J Phyiols Pharmacol 59(5): 47-58. Rachman IA, Baziad A, Jacoeb TZ, Isbagio H. 1996. Pengobatan estrogen dan

progesterone pada osteoporosis pascamenopause. Majalah Osbtetri dan Ginekologi Indonesia 20(2):121-127.

Reid IA. 1996. Vitamin D and its metabolites in the management of osteoporosis. Di dalam: Osteoporosis. Markus R, Fieldman D and Kelsey J, Editors. San Diego: Academic Press Inc.

Sabri M. 2011. Aktivitas ekstrak etanol batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) sebagai antiosteoporosis pada tikus (Rattus norvegicus).

[Disertasi]. Bogor : Pascasarjana IPB.

Scalon VC, Sanders T. 2007. Essentials of Anatomy and Physiology. Ed. 5. Philadelphia: F. A. Davis Comp.

(44)

Shirwaikar An, Khan S, Malini S. 2003. Antiosteoporotic effect of ethanol extract of Cissus quadrangularis Linn. on ovariectomized rat. J. ethnopharmacol

89: 245-250.

Stevenson JS, Marsh MS. 1992. An Atlas of Osteoporosis. New Jersey: Parthenon Publishing Group.

Swamy VAHM, Thippeswany AHM, Manjula DV, Cumar CBM. 2006. Some neuropharmacological effects of the methanolic root extract of Cissus quadrangularis in mice. Afr J Biomed Res 9: 69-75.

Taylor L. 2002. The healing power of rainforest herbs. Rain tree nutrition tropical plant database. [terhubung berkala] http//www.rain-tree.com/aveloz.htm [10 Juli 2011].

Telford IR, Bridgman CF. 1995. Introduction to Functional Histology. Ed. 2. Harper Collins Colloge Publisher. Hlm. 103-119.

Thuong PT, Jin W, Lee J, Seong R, Lee YM, Seong Y, Song K, Bae K. 2005. Inhibitory effect on TNF-alpha-induced IL-8 production in the HT29 cell of constituents from the leaf and stem of Weigela subsessilis, Arch. Pharm. Res. 28;1135–1141.

Tortora GJ, Derrickson B. 2009. Principles of Anatomy and Physiology.

Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.

Versteegh-Kloppenburgh J. 2006. Tanaman Berkhasiat Indonesia volume 1.

Soegiri J dan Nawangsari, penerjemah. Bogor: IPB Pr.

Warrier PK, Nambiar VPK, Ramankutty C. 1994. Indian medicinal plants, Chennai, India. Orient Longman 2:112-113.

[WHO] World Health Organization. 2003. Prevention and Management of Osteoporosis. Geneva.

Winarno B. 1998. Densitas mineral tulang wanita menyusui. [Spesialis]. Jakarta: Program Pendidikan Doster Spesialis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Yamaguchi M. 2002. Isoflavone and bone metabolism: its cellular mechanism prevention role in bone loss. J. Health Sci. 48(3): 209-220.

 

(45)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(46)

Lampiran 1 Hasil analisis ANOVA dan Duncan (PDT)

Oneway

[DataSet0]

Descriptives

PDT

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimu m

Maximu m Lower

Bound

Upper Bound

1 3 3.5777 .40166 .23190 2.5799 4.5754 3.11 3.82

2 3 2.3487 .22250 .12846 1.7959 2.9014 2.10 2.53

3 3 2.1857 .12440 .07182 1.8767 2.4947 2.05 2.29

4 3 2.3937 .24908 .14381 1.7749 3.0124 2.16 2.65

5 3 2.5557 .35547 .20523 1.6726 3.4387 2.19 2.90

Total 15 2.6123 .56901 .14692 2.2972 2.9274 2.05 3.82

Ket: Perlakuan 1(kontrol negatif); perlakuan 2 (kontrol positif); perlakuan 3 (mDMEM+CQ 0.3 mg/mL); perlakuan 4 (mDMEM+CQ 0.6 mg

Gambar

Gambar 2 Morfologi tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) dari Aceh (Sabri 2011)
Gambar 3 Osteoblas (Anonim 2011a).
Gambar 5 Morfologi sel tulang dalam kultur. (A) Osteoblas, (B) Osteoblas
Tabel 2   Diameter osteoblas dan osteosit yang tumbuh dalam medium yang diberi    ekstrak batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.)  (µm)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu komponen yang paling penting untuk menunjang keberlangsungan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah metode, yaitu cara yang dipergunakan oleh

Faktor yang mempengaruhi wanita karir menunda pernikahan di PT. Philips Batam, yaitu Mengejar karir, Memenuhi keinginan orang tua, status sosial di masyarakat, Tidak

memiliki gambaran atau inspirasi untuk menulis pantun di dalam kelas. Berdasarkan pengamatan diatas menunjukkan banyak siswa yang belum tuntas belajar pada konsep menulis

Kesimpulan : Pengetahuan, dukungan keluarga, dukungan petugas kesehatan dan ekonomi bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam manajemen kesehatan pada

Substrat yang digunakan jamur untuk tumbuh di kawasan Hutan Sekipan Desa Kalisoro Tawangmangu Karanganyar Provinsi Jawa Tengah yang paling dominan adalah pada

destructor dari labu yang telah terinfeksi ke labu baru dilakukan dengan cara menumpuk labu baru di bawah labu yang telah terinfeksi seperti terlihat pada

Tidak hanya pengakuan bersalah, terdakwa atau pengacaranya dapat membuat kesepakatan dengan jaksa penuntut umum mengenai bentuk dan lamanya hukuman yang umumnya lebih ringan..

Melaksanakan Sistem Pengendalian lntem Barang/Jasa Pemerintah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.. dan Peraturan