SKRIPSI
DETERMINAN PERILAKU OPORTUNISTIK DALAM PENYUSUNAN ANGGARAN (Studi Pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara)
OLEH
ARY TANTYA DEWI 110503014
PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul “Determinan Perilaku Oportunistik dalam
Penyusunan Anggaran pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas
akademik guna menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari lembaga, dan/atau saya
kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin, dan/atau dituliskan
sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam
skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Agustus 2015 Yang membuat pernyataan,
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana wa ta’ala sebagai
pengatur semesta alam, atas rahmat dan hidayah-Nyalah skripsi ini dapat
terselesaikan. Serta salawat dan salam penulis haturkan kepada nabi besar
Muhammad SAW yang telah yang telah membawa manusia dari alam kegelapan
menuju alam yang terang benderang seperti saat ini.
Skripsi yang berjudul Determinan Perilaku Oportunistik dalam
Penyusunan Anggaran pada Pemerintah Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara di tulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis juga banyak memperoleh masukan,
motivasi, dukungan, dan doa dari berbagai pihak selama perkuliahan hingga
pembuatan dan penyelesaian skripsi ini. Penulis ingin menyampaikan terimakasih
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, S.E., M.Ec., Ak selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Syafruddin Ginting Sugihen, MAFIS, Ak selaku Ketua
Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Sumatera Utara dan Bapak Drs. Hotmal Ja’far, MM, Ak selaku Sekretaris Departemen Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Firman Syarif, M.Si, Ak selaku Ketua Program Studi S-1
Akuntansi dan Ibu Dra. Mutia Ismail, MM, Ak selaku Sekretaris Program
4. Bapak Drs. Rasdianto, M.Si, Ak. selaku Dosen Pembimbing yang telah
berkenan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Hasan Sakti Siregar, M.Si, Ak selaku Dosen Pembanding serta
Bapak Drs. Hotmal Ja’far, M.M.,Ak selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan masukan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orangtua penulis, Ayahanda tercinta Muhammad Amin dan Ibunda
terkasih Jumi yang selalu memberikan doa dan motivasi yang tak terhingga,
juga kepada adik-adik tercinta: Andry Angraini dan Adji Wira Hadi Kesuma
serta sahabat-sahabat terbaikku Fajarhari, Gantara, Rizki, Zahra, Irfan, Sri,
Ayu, Kiki dan GAMADIKSI USU terimakasih atas segala kebersamaan,
semangat, dan inspirasi.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan
mendatangkan ridho bagi kita semua.
Medan, Agustus 2015 Penulis,
ABSTRAK
DETERMINAN PERILAKU OPORTUNISTIK DALAM PENYUSUNAN ANGGARAN (Studi Pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara)
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh PAD, DAU, dan SiLPA, terhadap oportunistik penyusunan anggaran kabupaten/kota di Sumatera Utara, serta untuk mengetahui indikator mana yang mempunyai pengaruh paling dominan.
Data penelitian ini diambil selama tiga periode, yaitu antara tahun 2011-2013 dengan jumlah sampel sebanyak 14 kabupaten/kota di propinsi Sumatera Utara. Data penelitian ini adalah data sekunder yaitu, data dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan yaitu berupa laporan anggaran pendapatan dan belanja daerah pada periode 2011-2013. Model analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling.
Berdasarkan uji F, dapat disimpulkan bahwa variabel pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan sisa lebih pembiayaan anggaran secara simultan berpengaruh signifikan terhadap oportunistik penyusunan anggaran. Selanjutnya, hasil uji t menunjukkan bahwa variabel pendapatan asli daerah, dana alokasi umum dan sisa lebih pembiayaan anggaran berpengaruh signifikan terhadap oportunistik penyusunan anggaran. Dari model regresi yang dihasilkan, dana alokasi umum mempunyai koefisien terbesar sehingga dapat dikatakan bahwa dana alokasi umum adalah indikator yang paling dominan.
ABSTRACT
DETERMINANTS IN BUDGETING OPORTUNISTIC BEHAVIOR (STUDY AT DISTRICT/CITY IN NORTH SUMATERA)
ERA This study aims to examine the regiona l own revenue, genera l a lloca tion fund, a ndfina ncing surplus for oportunictic budgeting a lloca tion of district/city in north suma tera as well a s to determine which indicators are most dominant influence.
The research data was taken during the three periods, namely between the years 2011-2013 with a sample of 14 districts / cities in the province of North Sumatra. The data of this study is secondary data, namely, data from the Directorate General of Fiscal Balance of the Ministry of Finance reports that the budget revenue and expenditure in the period 2011-2013. Analytical model used is multiple linear regression. Sampling technique using a purposive sampling method.
Based on the F test, it can be concluded that the to proxy with PAD, DAU, and SiLPA for the simultaneous effect on the oportunistic budgeting. Furthermore, the t test results indicate that the va riable regional own revenue, genera l fund allocations and SiLPA significantly influence the oportunistic budgeting .Of the resulting regression model, the general fund allocations has the largest coefficient so that it can be said that the general fund allocations is the most domina nt indicator.
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Batasan Masalah ... 5
1.4 Tujuan Penelitian ... 6
1.5 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Landasan Teori ... 8
2.1.1 Teori Keagenan... 8
2.1.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ... 9
2.1.2.1 Pengertian APBD ... 9
2.1.2.2 Struktur APBD ... 11
2.1.2.3 Fungsi APBD ... 12
2.1.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 14
2.1.4 Dana Alokasi Umum (DAU) ... 16
2.1.5 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA ... 17
2.1.6 Perilaku Oportunistik ... 18
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu... 19
2.3 Kerangka Konseptual ... 20
2.4 Hipotesis Penelitian ... 22
BAB III METODE PENELITIAN ... 23
3.1 Jenis Penelitian ... 23
3.2 Defenisi Operasinal dan Variabel Penelitian ... 23
3.2.1 Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran (OPA) ... 24
3.2.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 26
3.2.3 Dana Alokasi Umum (DAU) ... 26
3.2.4 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA)... 27
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian... 28
3.3.1 Populasi Penelitian ... 28
3.4 Jenis dan Data Penelitian ... 29
3.5 Teknik Pengumpulan Data... 30
3.6 Metode Analisis Data ... 30
3.6.1 Uji Asumsi Klasik ... 30
3.6.1.1 Uji Normalitas ... 31
3.6.1.2 Uji Multikolonearitas ... 32
3.6.1.3 Uji Heterokedastisitas ... 34
3.6.1.4 Uji Autokorealsi ... 34
3.7 Model dan Teknik Analisis Data ... 35
3.8 Pengujian Hipotesis ... 36
3.8.1 Uji Signifikan Parsial (Uji-t) ... 36
3.8.2 Uji Signifikan Simultan (Uji-F)... 37
3.8.3 Uji Determinasi( �2) ... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39
4.1 Data Penelitian ... 39
4.2 Analisis Hasil Penelitian ... 41
4.2.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 41
4.2.2 Uji Asumsi Klasik ... 42
4.2.2.1 Uji Normalitas ... 42
4.2.2.2 Uji Heteroskedastisitas ... 45
4.2.2.3 Uji Autokorelasi ... 46
4.2.2.4 Uji Multikolinearitas... 47
4.2.3 Analisis Regresi ... 48
4.2.4 Pengujian Hipotesis ... 48
4.2.4.1 Uji Signifikansi Koefisien Regresi Parsial (Uji-t) ... 49
4.2.4.2 Uji Signifikansi Koefisien Regresi Simultan (Uji F) ... 51
4.2.4.3 Analisis Koefisien Determinasi ... 52
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 53
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 55
5.2 Keterbatasan Penelitian ... 55
5.3 Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 57
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 19
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian ... 41
Tabel 4.2 Hasil Statistik dengan Kolmogrov-Smirnovv ... 45
Tabel 4.3 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 46
Tabel 4.4 Hasil Uji Autokorelasi ... 47
Tabel 4.5 Hasil Uji Multikolinearitas ... 48
Tabel 4.6 Hasil Analisis regresi Linier Berganda ... 48
Tabel 4.7 Hasil Uji –t ... 50
Tabel 4.8 Hasil Uji-F ... 51
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Judul Halaman
Lampiran 1 Daftar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara .. 60
Lampiran 2 Data Variabel Penelitian ... 61
Lampiran 3 Statistik Deskriptif ... 63
Lampiran 4 Hasil Uji Analisis Grafik dengan Histogram ... 63
Lampiran 5 Hasil Uji Analisis dengan Normal Probability Plot .... 64
Lampiran 6 Hasil Uji Statistik dengan Kolmogorov-Smienov ... 65
Lampiran 7 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 65
Lampiran 8 Hasil Uji Autokorelasi ... 66
Lampiran 9 Hasil Uji Multikolinearitas ... 66
ABSTRAK
DETERMINAN PERILAKU OPORTUNISTIK DALAM PENYUSUNAN ANGGARAN (Studi Pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara)
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh PAD, DAU, dan SiLPA, terhadap oportunistik penyusunan anggaran kabupaten/kota di Sumatera Utara, serta untuk mengetahui indikator mana yang mempunyai pengaruh paling dominan.
Data penelitian ini diambil selama tiga periode, yaitu antara tahun 2011-2013 dengan jumlah sampel sebanyak 14 kabupaten/kota di propinsi Sumatera Utara. Data penelitian ini adalah data sekunder yaitu, data dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan yaitu berupa laporan anggaran pendapatan dan belanja daerah pada periode 2011-2013. Model analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling.
Berdasarkan uji F, dapat disimpulkan bahwa variabel pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan sisa lebih pembiayaan anggaran secara simultan berpengaruh signifikan terhadap oportunistik penyusunan anggaran. Selanjutnya, hasil uji t menunjukkan bahwa variabel pendapatan asli daerah, dana alokasi umum dan sisa lebih pembiayaan anggaran berpengaruh signifikan terhadap oportunistik penyusunan anggaran. Dari model regresi yang dihasilkan, dana alokasi umum mempunyai koefisien terbesar sehingga dapat dikatakan bahwa dana alokasi umum adalah indikator yang paling dominan.
ABSTRACT
DETERMINANTS IN BUDGETING OPORTUNISTIC BEHAVIOR (STUDY AT DISTRICT/CITY IN NORTH SUMATERA)
ERA This study aims to examine the regiona l own revenue, genera l a lloca tion fund, a ndfina ncing surplus for oportunictic budgeting a lloca tion of district/city in north suma tera as well a s to determine which indicators are most dominant influence.
The research data was taken during the three periods, namely between the years 2011-2013 with a sample of 14 districts / cities in the province of North Sumatra. The data of this study is secondary data, namely, data from the Directorate General of Fiscal Balance of the Ministry of Finance reports that the budget revenue and expenditure in the period 2011-2013. Analytical model used is multiple linear regression. Sampling technique using a purposive sampling method.
Based on the F test, it can be concluded that the to proxy with PAD, DAU, and SiLPA for the simultaneous effect on the oportunistic budgeting. Furthermore, the t test results indicate that the va riable regional own revenue, genera l fund allocations and SiLPA significantly influence the oportunistic budgeting .Of the resulting regression model, the general fund allocations has the largest coefficient so that it can be said that the general fund allocations is the most domina nt indicator.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung
jawab dalam pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah. Pemerintah telah mengeluarkan landasan hukum penerapan otonomi
daerah dalam UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan
tegas antara fungsi Pemerintahan Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif). Pemisahan fungsi tersebut membawa
perubahan, dimana legislatif memilih dan memberhentikan kepala daerah.
Perubahan ini juga berimplikasi pada kian besarnya peran legislatif dalam
pembuatan kebijakan publik, termasuk penganggaran daerah.
Eksekutif juga memiliki kekuatan yang lebih besar karena memiliki
pemahaman terhadap birokrasi dan administrasi, seluruh aturan dan
perundang-undangan yang melandasinya serta hubungan langsung dengan masyarakat yang
telah berlangsung dalam waktu lama mengakibatkan penguasaan informasi
eksekutif lebih baik dari pada legislatif (Florensia, 2009). Selain lebih dominan
dalam proses penyusunan anggaran, pejabat eksekutif juga bertindak sebagai
pelaksana anggaran, sehingga memiliki informasi keuangan yang lebih baik
dibanding pejabat legislatif.
Keadaan ini dapat ditelaah melalui perspektif keagenan dalam proses
Daerah–masyarakat. Halim dan Abdullah (2006:54), menyatakan bahwa dalam
hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif adalah agen dan
legislatif adalah prinsipal, sedangkan dalam hubungan legislatif dan rakyat
(pemilih), pemilih adalah prinsipal dan legislatif adalah agen. Permasalahan
timbul sebab dalam interaksinya, masing-masing pihak baik agen maupun
prinsipal akan berusaha untuk mengutamakan kepentingannya masing-masing.
Pelaksanaan otonomi daerah memberi kewenangan kepada daerah untuk
menggali potensi pendapatannya seluas mungkin. Terdapat dua komponen utama
pendapatan daerah yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan.
Dalam penentuan PAD legislatif akan mendorong eksekutif untuk selalu
meningkatkan target sehingga dapat meningkatkan alokasi untuk program yang
mendukung kepentingannya. Hal ini ditengarai sebagai perilaku oportunistik.
Masalah lain dalam pengalokasian anggaran adalah tidak diperhatikannya
jangka waktu penetapan perubahan APBD, yang biasanya dilakukan beberapa
bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran. Hal ini menjadikan anggaran tidak
efektif atau bahkan tidak terserap sepenuhnya saat tahun anggaran berakhir, dan
berdampak pada tingginya SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran), dimana
dana yang seharusnya dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat
ternyata tidak terserap sepenuhnya. SiLPA ini memiliki pengaruh pada
pengalokasian APBD periode selanjutnya, karena SiLPA akan digunakan untuk
menyeimbangkan anggaran yaitu dengan menutupi pengeluaran pembiayaan.
Peluang perilaku oportunistik lain ditengarai juga terjadi pada sumber pendapatan
Alokasi Umum (DAU). DAU berperan sebagai pemerata fiskal antar daerah
(fisca l equa liza tion) dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan
geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. DAU
merupakan block grant yakni hibah yang penggunaannya cukup fleksibel atau
tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu (Maryono, 2013). Dengan
demikian kenaikan jumlah DAU dapat dimanfaatkan sebagai ruang untuk
mengusulkan alokasi belanja yang baru, yang bisa berbeda dengan prioritas
pengalokasian pada tahun sebelumnya.
Menurut Jaya (2005) penyalahgunaan sumber daya dapat terjadi karena
agen melepaskan tanggung jawabnya tanpa sepengetahuan prinsipal. Sebaliknya
prinsipal karena kekuasaan yang dimiliknya dapat berlaku semena-mena berkaitan
dengan pengalokasian sember daya tersebut. Implikasinya, baik prinsipal ataupun
agen dapat berperilaku oportunistik untuk mendahulukan kepentingannya
masing-masing. Perilaku oportunistik legislatif sebagai agen dari rakyat, terjadi bila
legislatif sebagai agen seharusnya membela kepentingan rakyat. Namun,
kenyataannya seringkali berbeda. Rakyat tidak selalu mengetahui seluruh
informasi yang ada, dan bagaimana proses pengalokasian anggaran berlangsung.
Kekuatan penuh yang dimiliki legislatif menyebabkan tekanan kepada
eksekutif menjadi semakin besar. Posisi eksekutif yang “sejajar” dengan legislatif membuat eksekutif sulit menolak “rekomendasi” legislatif dalam pengalokasian
sumberdaya yang memberikan keuntungan kepada legislatif, sehingga
menyebabkan pengeluaran anggaran dalam bentuk pelayanan publik mengalami
merupakan bagian dari sistem informasi yang dapat digunakan untuk mengurangi
oportunisme agen (Eisenhardt,1989 dalam Abdullah dan Asmara, 2006),
kenyataannya dalam proses pengalokasian sumberdaya selalu muncul konflik
kepentingan di antara pelaku (Jackson, 1982 dalam Abdullah dan Asmara, 2006).
Untuk menjelaskan fenomena self-interest dalam penganggaran publik tersebut,
teori keagenan dapat dipakai sebagai landasan teoritis (Cristinsen, 1992; Johnsin,
1994; Smith & Bertozi, 1998 dalam Abdullah dan Asmara, 2006).
Alokasi sumberdaya dalam anggaran mengalami penyimpangan ketika
politisi berperilaku korup. Perilaku korup ini terkait dengan peluang untuk
mendapatkan keuntungan pribadi pada proyek-proyek yang akan dibiayai dengan
anggaran, yakni pengalokasian pada proyek-proyek yang mudah dikorupsi
(Mauro, 1998a; 1998b dalam Abdullah dan Asmara, 2006) dan memberikan
keuntungan politisi bagi politisi (Keefer & Khemani, 2003 dalam Abdullah dan
Asmara, 2006). Artinya, korupsi dan rent-seeking activities di pemerintahan
berpengaruh terhadap jumlah dan komposisi pengeluaran pemerintah. Menurut
Garamfalvi, 1997 (dalam Abdullah dan Asmara, 2006), korupsi dapat terjadi pada
semua level dalam penganggaran, sejak perencanaan sampai pada pembayaran
dana-dana publik. Korupsi secara politis (political corruption) terjadi pada fase
penyusunan anggaran di saat mana keputusan publik sangat dominan, dengan cara
mengalihkan alokasi sumberdaya publik. Sementara korupsi yang terjadi dalam
pelaksanaan anggaran disebut korupsi administratif (administrative corruption)
karena keputusan administrasi lebih dominan. Pada akhirnya korupsi politik akan
Motivasi yang mendasari penelitian ini karena secara faktual banyak
penyimpangan (fraud) dalam penggunaan dana APBD, dimana penyimpangan
tersebut diawali dari proses penyusunan anggaran yang ditengarai karena praktek
perilaku oportunistik para pemangku kepentingan. Data lain yang dilansir oleh
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyatakan adanya
penyalahgunaan dana APBD 2012 di seluruh Indonesia sebesar Rp 21 triliun.
Dengan melihat hal – hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk meneliti
“Determinan Perilaku Oportunistik dalam Penyusunan Anggaran (Studi Pada Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara)”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Apakah jumlah PAD, SiLPA dan
DAU berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap perilaku oportunistik penyusunan anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara?”
1.3. Batasan Masalah
Agar penelitian ini terfokus pada topik yang dipilih maka peneliti memberi
batasan masalah sebagai berikut:
1. Laporan APBD selama tiga tahun berturut turut (2011-2013)
Propinsi Sumatera Utara pada Laporan APBD pemerintahan
Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara.
2. Data PAD , SiLPA, dan DAU dari Laporan APBD pemerintahan
Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara selama tiga tahun berturut
turut (2011-2013).
1.4. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tujuan yang dicapai dalam penelitian ini
adalah :
1 Untuk mengetahui apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih
Pembiayaan (SiLPA), Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh
signifikan secara simultan terhadap perilaku oportunistik penyusunan
anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
2 Untuk mengetahui apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih
Pembiayaan (SiLPA), Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh
signifikan secara parsial terhadap perilaku oportunistik penyusunan
anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
1.5. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat
1. Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti
sehubungan dengan determinan perilaku oportunistik penyusunan
anggaran pada pmerintahan kabupaten/kota di provinsi Sumatera
Utara dan sebagai salah satu syarat dalam menempuh gelar Sarjana
Ekonomi pada program studi Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Sumatera Utara.
2. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai
bahan dan masukan dalam melakukan penelitian pada bidang yang
sejenis. Penelitian ini juga bermanfaat untuk kemungkinan penelitian
topik-topik yang berkaitan, baik yang bersifat lanjutan, melengkapai,
maupun menyempurnakan.
3. Bagi pemerintah pusat dan daerah, memberikan masukan dalam hal
penyusunan kebijakan di masa yang akan datang dalam hal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Teori Keagenan
Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya
berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori
prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual diantara dua atau lebih individu,
kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak,
baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan
bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh
prinsipal dimana dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang (Halim dan
Abdullah, 2006: 54).
Lupia & Mc Cubbins (2000) dalam Halim dan Abdullah (2006: 54)
menyatakan pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang
(principal) memilih orang atau kelompok lain (agent) untuk bertindak sesuai
dengan kepentingan prinsipal. Pihak lain (agent) yang dimaksud adalah
pemerintah daerah. Pemerintah daerah (agent) melakukan pekerjaan yang telah
ditetapkan oleh principal. Hubungan principal-agent terjadi apabila tindakan yang
dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain atau ketika seseorang
sangat tergantung pada tindakan orang lain.
Menurut Moe (1984) yang dikutip oleh Halim dan Abdullah (2006: 56)
kesepakatan-kesepakatan principal-agent yang dapat ditelusuri melalui proses anggaran:
pemilih-legislatur, legislatur-pemerintah, menteri keuangan-pengguna anggaran,
perdana menteri-birokrat, dan pejabat-pemberi pelayanan
2.1.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2.1.2.1. Pengertian APBD
Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar
dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah
disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk provinsi
maupun kabupaten dan kota.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya
merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk
meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Menurut Halim (2004 : 15) :Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) adalah suatu anggaran Daerah yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut : rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci; adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan; jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka; periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun.
Menurut UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan, bahwa Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang disebut APBD adalah rencana
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
Sedangkan menurut Kemendagri Nomor 23 tahun 2014. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana keuangan tahuna
Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD.
Menurut Permendagri Nomor 37 Tahun 2014. Anggaran pendapatan
dan belanja daerah yang selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan
bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun berdasarkan
pendekatan kinerja, yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya
pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang
ditetapkan. Selanjutnya dikatakan bahwa Pemerintah daerah bersama-sama DPRD
menyusun Arah dan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang memuat petunjuk dan ketentuan umum yang disepakati sebagai
pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Permendagri Nomor 37 Tahun 2014 menyatakan bahwa APBD tahun
2015 disusun berdasarkan urusan dan kewenangan pemerintah daerah, sesuai
dengan tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundangundangan, dan memudahkan masyarakat mengetahui dan mendapatkan
keadilan, kepatutan, dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan
yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya.
APBD harus memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja,
standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen
kegiatan yang bersangkutan, serta bagian pendapatan APBD yang digunakan
untuk membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan
dan belanja modal/investasi.
Unsur-Unsur APBD menurut Halim (2004 : 15-16) adalah sebagai
berikut:
1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci.
2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan.
3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. Periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun.
2.1.2.2. Struktur APBD
Struktur APBD yang terbaru adalah berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan
daerah. Adapun bentuk dan susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri 13/ 2006 pasal 22 ayat (1) terdiri atas 3 bagian, yaitu : “pendapatan daerah,
belanja daerah, dan pembiayaan daerah.”
dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan piutang daerah. Pengeluaran pembiayaan mencakup pembentukan dana cadangan, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah. (Permendagri 13/ 2006).
Oleh karena penelitian ini menggunakan laporan APBD yang memakai
format Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2014, maka APBD yang berdasarkan format tersebut terdiri atas 3 bagian, yaitu : “pendapatan, belanja, dan
pembiayaan.”
Pendapatan dibagi menjadi 3 kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja digolongkan menjadi 4 yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasi menjadi 3 kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Pembiayaan dikelompokkan menurut sumber-sumber pembiayaan yaitu: sumber penerimaan daerah dan sumber pengeluaran daerah. Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah adalah : sisa lebih anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi, hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan dan transfer dari dana cadangan. Sumber pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri atas : pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer ke dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun sekarang. (Halim, 2004 : 18).
2.1.2.3. Fungsi APBD
Fungsi APBD pada dasarnya sama dengan fungsi APBN. Fungsi APBD
1. Fungsi otoritasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar
untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan.
Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki
kekuatan untuk dilaksanakan.
2. Fungsi perencanaan mengandung makna bahwa anggaran daerah
menjadi pedoman bagi manajemen merencanakan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan.
3. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah
menjadi pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan
penyelenggaraan pemerintah daerah.
4. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus
diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi
pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan
efisiensi dan efektivitas perekonomian daerah.
5. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam
penganggaran daerah harus memperlihatkan rasa keadilan dan
kepatuhan.
Fungsi stabilitas memiliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat
untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian
2.1.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Dalam menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan
pertanggung jawaban diperlukan kewenangan dan kemampuan yang menggali
sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah. untuk menjamin terselenggaranya otonomi daerah yang semakin
mantap, maka diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan
sendiri yakni dengan upaya peningkatan penerimaan penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah
ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan
yang ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat.
Menurut Halim (2004 : 67) tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD)
yaitu:
“Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu : pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah.”
Sebagaimana disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan
penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, maka
diharapkan tiap-tiap pemerintah daerah dapat membangun infrastruktur ekonomi
yang baik di daerahnya masing-masing, guna meningkatkan pendapatannya. Menurut UU No. 33 Tahun 2004, “Pendapatan Asli Daerah selanjutnya
disebutkan PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut
PAD bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk
mendanai pelaksanaan otonomi sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan
desentralisasi. Sumber-sumber penerimaan daerah yang dimasukkan dalam pos
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, serta Lain-lain PAD yang sah.
Klasifikasi PAD berdasarkan Permendagri 13/2006 adalah sebagai
berikut:
pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusaahaan milik pemerintah/ BUMN, dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/ atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran / cicilan penjualan.
Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakannya
sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut
yang diterima, maka akan semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah
tersebut dalam melaksnakan kebijakannya. Upaya meningkatkan kemampuan
penerimaan daerah, khususnya penerimaan dari pendapatan asli daerah harus
diarahkan pada usaha yang terus menerus dan berlanjut agar pendapatan asli
daerah tersebut terus meningkat, sehingga pada akhirnya diharapkan akan dapat
memperkecil ketergantungan terhadap sumber penerimaan dari pemerintah
diatasnya (pemerintah pusat).
2.1.4. Dana Alokasi Umum (DAU)
Menurut Pemendagri 13 Tahun 2006, “Kelompok pendapatan dana
perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.”
Menurut UU No. 34 Tahun 2004, “Dana Alokasi Umum, selanjutnya
disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.”
Halim (2004 : 141), “Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah
untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.”
DAU dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan
potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, tingkat
dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. DAU suatu daerah
ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang
merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal
ca pa city), alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi
kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil, namun
kebutuhan fiskal besar, akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara
implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan
kapasitas fiskal.
Pada dasarnya, dengan diberlakukannya otonomi daerah diharapkan
ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat tentang keuangan
daerah diharapkan semakin kecil (sumbangan DAU kecil), atau dengan kata lain
sumber pendapatan daerah bisa bersumber pada daerah sendiri (sumbangan PAD
besar).
2.1.5. Sisa Lebih Pembiayaaan Anggaran (SiLPA)
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) berdasarkan Permendagri
No.13 tahun 2006 adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran
anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya
mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana
perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah,
pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada
pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana
SiLPA merupakan suatu indikator yang menggambarkan efisiensi
pengeluaran pemerintah. SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena
SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi
pembiayaan netto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari
komponen pengeluaran pembiayaan. Jika SiLPA positif maka ada pembiayaan
netto setelah dikurangi defisit anggaran, tetapi jika SiLPA negatif berarti bahwa
pembiayaan netto belum dapat menutupi defisit anggaran yang terjadi.
2.1.6. Perilaku Oportunistik
Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai
keinginan dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun. Faktor yang
mempengaruhi perilaku oportunistik adalah kekuatan (power) dan kemampuan
(a bility) (Maryono, 2013). Perilaku oportunistik mengarah pada terjadinya
a dverse selection (menyembunyikan informasi) dan mora l ha za rd
(penyalahgunaan wewenang).
Hasil penelitian Tanzi & Davoodi (1997) memberi bukti tentang perilaku
oportunistik politisi dalam pembuatan keputusan investasi publik. Karena capital
spending is highly descretiona ry, para politisi membuat keputusan-keputusan
terkait dengan (1) besaran anggaran investasi publik, (2) komposisi anggaran
investasi publik tersebut, (3) pemilihan proyek-proyek khusus dan lokasinya, dan
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Tinjauan Penelitian Terdahulu Nama dan
Tahun
Variabel Penelitian Hasil Penelitian
Sularso & Restianto & Istiqomah (2014) Variabel Dependen: Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran
Variabel Independen:
Pendapatan Asli
Daerah, Selisih Lebih Pembiayaan Anggaran, Dana Alokasi Umum
Semakin besar jumlah PAD, jumlah SiLPA dalam APBD, dan jumlah DAU yang diterima dan dimiliki oleh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, maka akan semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran
Fathony (2011)
Variabel Dependen: Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran
Variabel Independen: Pendapatan Asli Daerah,
Selisih Lebih
Pembiayaan Anggaran, Dana Alokasi Umum
Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap Perilaku
Oportunistik Penyusun Anggaran di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) berpengaruh negatif terhadap Perilaku Oportunistik
Penyusun Anggaran
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Nurmayanti (2008)
Variabel Dependen: perilaku oportunistik legislative dan perilaku oportunistik eksekutif
Variabel Independen: penganggaran daerah
dimiliki masing-masing badan itu berbeda, maka perilaku oportunistik yang ditunjukkan juga berbeda. Perbedaan antara perilaku oportunistik legislatif dengan perilaku oportunistik eksekutif dalam kebijakan penganggaran daerah, Hal ini terlihat dari strategi yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan masing-masing, yaitu
DPRD cenderung untuk
memperbesar belanja publik (dahulu disebut belanja rutin), sedangkan eksekutif cenderung
membesarkan belanja
pembangunan. Abdullah dan Asmara ( 2006) Variabel Dependen: perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran (OL) perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran (OL). Variabel Independen:
sumber pendapatan
berupa pendapatan
sendiri yang diukur
dengan sprea d
pendapatan asli daerah (PPAD)
Legislatif sebagai agen dari voters berperilaku oportunistik dalam penyusunan APBD, Besaran PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif, dan APBD digunakan sebagai sarana untuk melakukan political corruption.
2.3. Kerangka Konseptual
Perspektif keagenan menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam
proses penyusunan anggaran memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan
utilitasnya melalui pengalokasian sumber daya. Penganggaran menjadi
mekanisme terpenting untuk pengalokasian sumber daya, karena keterbatasan
& Asmara, 2006), penganggaran sektor publik merupakan proses tawar menawar
antara eksekutif dan legislatif.
Pengalokasian anggaran yang tidak diperhatikannya jangka waktu
penetapan perubahan APBD menjadikan anggaran tidak efektif atau bahkan tidak
terserap sepenuhnya saat tahun anggaran berakhir, dan berdampak pada tingginya
SiLPA, dimana dana yang seharusnya dapat digunakan untuk peningkatan
kesejahteraan rakyat ternyata tidak terserap sepenuhnya. SiLPA ini memiliki
pengaruh pada pengalokasian APBD periode selanjutnya, karena SiLPA akan
digunakan untuk menyeimbangkan anggaran yaitu dengan menutupi pengeluaran
pembiayaan.
Sementara DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk
mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Berkaitan
dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut
merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah.
Untuk menyederhanakan alur pemikiran tersebut, maka kerangka
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
2.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah. Erlina (2011:30), “Hipotesis adalah proporsi yang dirumuskan dengan maksud untuk
diuji secara empiris”. Proporsi meruapakan ungkapan atau pernyataan yang dapat
dipercaya, disangkal, atau diuji kebenarannya mengenai konsep atau konstruk
yang menjelaskan atau memprediksi fenomena-fenomena. Dengan demikian
hipotesis merupakan penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena atau
keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi.
Berdasarkan kerangka konseptual diatas, maka peneliti membuat hipotesis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah PAD, SiLPA dan DAU berpengaruh
secara simultan dan parsial terhadap Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. PAD
Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran SILPA
[image:35.595.114.527.109.294.2]BAB III
METODsE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian asosiatif kausal yaitu
penelitian yang bertujuan untuk menganalisis hubungan antara suatu variabel
dengan variabel yang lainnya (Umar, 2003 : 30).
Dalam penelitian ini terdapat variabel independen/ variabel yang
mempengaruhi/ variabel bebas dan variabel dependen /dipengaruhi/ variabel
terikat. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan pengaruh Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), dan Dana Alokasi
Umum (DAU) sebagai variabel independen terhadap Perilaku Oportunistik
Penyusun Anggaran (OPA) sebagai variabel dependen.
3.2. Defenisi Operasional dan Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdapat tiga (3) variabel
independen, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum(DAU),
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA). Sedangkan variabel dependennya
adalah Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (OPA). Definisi operasional dan
alat ukur operasinal dari masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian
3.2.1. Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran (OPA)
Perilaku oportunistik yaitu perilaku yang berusaha mencapai keinginan
dengan segala cara bahkan dengan cara yang ilegal sekalipun, dapat menyebabkan
hubungan prinsipal-agen yang terjadi dalam suatu kontrak akhirnya mengarah
pada terjadinya adverse selection (menyembunyikan informasi) dan moral hazard
(penyalahgunaan wewenang). Faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik
adalah kekuatan (power) dan kemampuan (ability) (Maryono, 2013). Tahap
pengukuran OPA diadopsi dari penelitian Abdullah dan Asmara (2006) yaitu:
Spread (Δ) = APBD
tahun berjalan (t) – APBD tahun sebelumnya (t-1)
Spread (Δ) terjadi karena adanya perbedaan preferensi dalam
pengalokasian sumberdaya.
OPA = ΔPdk + Δkes + ΔPU + Δpbgnan + Δperhub + Δlinghidup + Δpendcapi + ΔKBklg + Δsos + Δktngkrjn + ΔkopUKM + Δpenmodal + Δkbdyn + ΔpmdOR + Δksbgpol+
Δotda+ Δpembermasy + Δkomin + Δprtnian + Δkhtanan + Δprwst + Δ
klautan
+Δperdag + Δindus
Dimana:
ΔPdk : spread anggaran pendidikan,
Δkes : spread anggaran kesehatan,
ΔPU : sprea d anggaran pekerjaan umum,
Δpbgnan : spread anggaran pembangunan,
Δlinghidup :sprea d anggaran lingkungan hidup,
Δpendcapi :sprea d anggaran kependudukan dan capil,
ΔKBklg :sprea d anggaran Keluarga Berencana dan Keluarga
Sejahtera,
Δsos :sprea d anggaran sosial,
Δktngkrjn :sprea d anggaran ketenagakerjaan,
ΔkopUKM :sprea d anggaran koperasi dan UKM,
Δpenmodal :sprea d anggaran penanaman modal,
Δkbdyn : spread anggaran kebudayaan
ΔpmdOR : spread anggaran pemuda dan olahraga
Δksbgpol :sprea d anggaran kesatuan bangsa dan politik,
Δotda sprea d anggaran otonomi daerah,
Δpembermasy :sprea d anggaran pemberdayaan masyarakat,
Δkomin :sprea d anggaran komunikasi dan informasi,
Δprtnian :sprea d anggaran pertanian,
Δkhtanan :sprea d anggaran kehutanan,
Δprwst : spread anggaran pariwisata
Δklautan : spread anggaran kelautan
Δperdag :spread anggaran perdagangan,
3.2.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah yang diperoleh dari
sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai
perwujudan desentralisasi (warsito dan abdul, 2008). Pendapatan Asli Daerah
dapat diketahui dari nilai Rupiah (Rp) yang terdapat pada pos Pendapatan Asli
Daerah dalam Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah daerah Kabupaten/Kota di
Provinsi Sumatera Utara pada Tahun Anggaran 2011 - 2013.
PAD = spread PAD APBD tahun berjalan (t) - APBD tahun sebelumnya (t-1)
Spread (Δ) terjadi karena adanya perbedaan preferensi dalam
pengalokasian PAD tahun yang sedang berjalan dengan PAD tahun sebelumnya
dalam APBD.
3.2.3. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN, yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer yang bersifat umum dari Pemerintah
Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatasi ketimpangan horisontal dengan
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer dana dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah yang dimaksudkan untuk menutupi kesenjangan fiskal
(fiscal gap) dan pemerataan kemampuan fiskal antar daerah dalam rangka
membantu kemandirian pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya untuk melayani masyarakat (Stasistik Keuangan BPS,2011). Tujuan
DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum dapat diketahui dari nilai Rupiah (Rp) yang terdapat pada
pos Dana Alokasi Umum dalam Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah daerah
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun anggaran 2011 - 2013.
DAU = spread DAU
APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1)
Spread (Δ) terjadi karena adanya perbedaan preferensi dalam pengalokasian DAU
tahun yang sedang berjalan dengan DAU tahun sebelumnya dalam APBD.
3.2.4. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA)
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) merupakan sisa dalam
pembiayaan anggaran tahun sebelumnya. SiLPA dihitung dari total pemasukan
daerah dikurangi total pengeluaran daerah. Total pemasukan daerah mencakup
penerimaan PAD, dana perimbangan (DAU dan DAK), penerimaan lain-lain
pendapatan daerah yang sah, penghematan belanja, dan sisa dana kegiatan
lanjutan. Total pengeluaran daerah terdiri dari belanja pegawai, belanja modal,
belanja administrasi umum, belanja operasional dan pemeliharaan, belanja bagi
jumlah SiLPA yang ada di Laporan Realisasi APBD pemerintah daerah
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun anggaran 2011 – 2013.
SiLPA = spread SiLPA
APBD tahun berjalan (t) - APBD tahun sebelumnya (t-1)
Spread (Δ) terjadi karena adanya perbedaan preferensi dalam
pengalokasian SiLPA tahun yang sedang berjalan dengan SiLPA tahun
sebelumnya dalam APBD.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007 : 115).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota yang ada di
provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2013, yaitu sebanyak 25 Kabupaten dan 8
Kota pada tahun 2011 – 2013.
Data yang dianalisis dalam penulisan ini adalah data sekunder dengan
metode sensus yang bersumber dari dokumen Laporan Realisasi APBD
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS) Sumut dan Situs Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah di
internet (www.djpk.depkeu.go.id). Dari Laporan Realisasi APBD ini diperoleh
data mengenai jumlah realisasi anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sisa
3.3.2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2007 : 116). Metode pengambilan sampel dilakukan
dengan purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu.
Kriteria pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah:
1. Tersedianya data Belanja APBD 2011-2013 berdasarkan
klasifikasi urusan masing-masing Kabupaten/Kota di Propinsi
Sumatera Utara pada Laporan Realisasi APBD pemerintahan
Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara yang terdaftar dalam
situs www.djpk.depkeu..go.id periode 2011-2013.
2. Data PAD , SiLPA, dan DAU dari Laporan Realisasi APBD
pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara yang
terdaftar dalam situs www.djpk.depkeu..go.id periode
2011-2013.
Berdasarkan kedua kriteria diatas, maka jumlah Kabupaten/Kota yang
akan dijadikan sampel penelitian sebanyak 13 Kabupaten dan 1 Kota.
3.4. Jenis dan Data Penelitian
Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak lain. Penelitian ini
cross section selama periode tahun 2011 sampai dengan 2013. Data penelitian
berupa : Data PAD, SiLPA, DAU dan spread anggaran belanja dalam APBD
pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2011 sampai
dengan 2013 yang diperoleh dalam situs www.djpk.depkeu..go.id periode
2011-2013.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik dokumentasi,
yakni peneliti melakukan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara melalui www.bps.go.id/sumut dan
mendownload situs www.djpk.depkeu.go.id. Penelitian lapangan (field
resea rch). Dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang berhubungan dengan
penelitian ini pada Bagian Keuangan Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, peneliti
juga melakukan studi kepustakaan melalui buku-buku dan jurnal-jurnal yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
3.6. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis statistik dengan menggunakan software SPSS. Peneliti melakukan terlebih
3.6.1. Uji Asumsi Klasik
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
linier berganda . Variabel terikat perilaku oportunistik penyusun anggaran (OPA)
dan variabel bebas PAD, SiLPA dan DAU dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD
tahun sebelumnya (t-1). Dalam Darwanto (2007), regresi linier berganda dapat
dilakukan setelah model dari penelitian ini memenuhi syarat-syarat yaitu lolos
dari asumsi klasik. Syarat-syarat tersebut adalah data harus terdistribusi secara
normal.
Uji asumsi klasik terdiri dari:
3.6.1.1. Uji Normalitas
Ghozali (2011 : 110), uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah
model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi secara
normal. Uji normalitas perlu dilakukan untuk menentukan alat statistik yang
dilakukan, sehingga kesimpulan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau
tidak, yaitu :
1. Analisis grafik
Salah satu cara termudah untuk melihat normalitas residual adalah
dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara data
observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal. Metode
yang lebih handal adalah dengan melihat normal probability plot yang
normal akan membentuk satu garis lurus diagonal dan plotnya data
residual akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data
residual normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya
akan mengikuti garis diagonalnya.
2. Analisis statistik
Uji statistik sederhana dapat dilakukan dengan melihat nilai
kurtosis dan nilai Z-skewness. Uji statistik lain yang dapat digunakan
untuk menguji normalitas residual adalah uji statistik non parametrik
Kolmogorov-Smirnov (K-S), Jika tingkat signifikansinya > 0,05, maka
data itu terdistibusi normal dan dapat dilakukan model regresi berganda.
Pedoman pengambilan keputusan tentang data tersebut mendekati
atau merupakan distribusi normal berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov
dapat dilihat dari :
1 Nilai Sig. atau signifikan atau probabilitas < 0,05, maka distribusi
data adalah tidak normal.
2 Nilai Sig. atau signifikan atau probabilitas > 0,05, maka distribusi
data adalah normal.
3.6.1.2. Uji Multikolonearitas
Ghozali (2011 : 92), uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji
independen. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas di dalam
model regresi adalah sebagai berikut :
1. Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris
sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel independennya
banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen.
2. Menganalisis matrik korelasi variabel-variabel independen. Jika antar
variabel independen ada korelasi yang cukup tinggi (umumnya di atas
0.90), maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas.
Tidak adanya korelasi yang tinggi antar variabel independen tidak
berarti bebas dari multikolinearitas. Multikolinearitas dapat
disebabkan karena adanya efek kombinasi dua atau lebih variabel
independen.
3. Multikolinearitas dapat juga dilihat dari (a) nilai tolerance dan
lawannya (b) variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini
menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan
oleh variabel independen lainnya. Dalam pengertian sederhana setiap
variabel independen menjadi variabel dependen (terikat) dan diregres
terhadap variabel independen lainnya. Tolerance mengukur
variabilitas variabel independen yang terpilih yang tidak dijelaskan
oleh variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah
sama dengan nilai VIF tinggi (karena VIF = 1/ Tolerence). Nilai cutoff
yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas
Cara untuk mengobati jika terjadi multikolinearitas, yaitu:
1. Mengeluarkan satu atau lebih variabel independen yang
mempunyai korelasi tinggi dari model regresi dan identifikasikan
variabel independen lainnya untuk membantu prediksi.
2. Menggabungkan data cross section dan time series (pooling data ).
3. Menambah data penelitian
3.6.1.3. Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah
model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Jika varians dari residual dari suatu pengamatan ke
pengamatan lainnya tetap, maka disebut Homoskedastisitas. Dan jika varians
berbeda, maka disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang
tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2011 : 105).
Untuk mengetahui adanya masalah heteroskesdatisitas, kita bisa
menggunakan korelasi jenjang Spearman atau Park test. Bila menggunakan
korelasi jenjang Spearman, maka kita harus menghitung nilai korelasi untuk setiap
variabel independen terhadap nilai residu, baru kemudian dicari tingkat
signifikansinya. Park test memiliki dasar test yang sama yaitu meregresikan
kembali nilai residu ke variabel independen.
Cara untuk mengurangi masalah heteroskesdatisitas adalah menurunkan
menurunkan rentang data adalah melakukan transformasi (manipulasi) logaritma.
Tindakan ini bisa dilakukan bila semua data bertanda positif.
3.6.1.4. Uji Autokorelasi
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data time series,
sehingga menggunakan pengujian autokorelasi. Uji autokorelasi bertujuan untuk
menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan
pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1
(sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi.
Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan
satu sama lainnya. Masalah ini timbul karena residual (kesalahan pengganggu)
tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya (Ghozali, 2009).
Uji Autokorelasi dapat dilakukan dengan Run Test. Run Test sebagai
bagian dari statistik non-parametrik dapat pula digunakan untuk menguji apakah
antar residual terdapat korelasi yang tinggi. Jika antar residual tidak terdapat
hubungan korelasi maka dikatakan bahwa residual adalah acak atau random. Run
test digunakan untuk melihat apakah data residual terjadi secara random atau tidak
(sistematis).
H0 : residual (res_1) random (acak)
3.7. Model dan Teknik Analisis Data
Untuk menguji hipotesis (Ha) metode analisis yang digunakan adalah
regresi berganda, karena menyangkut tiga buah variabel independen dan satu buah
variabel dependen. Model persamaan regresi untuk menguji hipotesis dengan
formulasi sebagai berikut :
OPA = α + β1PAD + β2SiLPA + β3DAU + e
Dimana:
OPA : Oportunistik Penyusunan Anggaran
α : Konstanta
PAD : Pendapatan Asli Daerah
SiLPA : Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran
DAU : Dana Alokasi Umum
e : Error (pengganggu)
3.8. Pengujian Hipotesis
Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual dapat diukur
dari nilai probabilitas uji t, uji F, dan koefisien determinasi (Adjusted R2).
Perhitungan statistik disebut signifikan secara statistik apabila nilai uji statistiknya
berada dalam daerah kritis (daerah dimana Ho ditolak). Sebaliknya disebut tidak
signifikan bila nilai uji statistiknya berada dalam daerah dimana Ho diterima
3.8.1. Uji Signifikan Parsial (Uji-t)
Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah masing-masing
variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Untuk
pengujian secara parsial ini digunakan uji-t. Cara melakukan uji t adalah dengan
Quick Look yaitu bila jumlah degree of freedom (df) adalah 20 atau lebih dan
derajat kepercayaan sebesar 5 persen, maka Ho yang menyatakan bi=0 dapat
ditolak bila nilai t lebih besar dari 2 (dalam nilai absolute). Dengan kata lain, kita
menerima hipotesis alternatif, yang menyatakan bahwa suatu variabel independen
secara individual mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2009).
3.8.2. Uji Signifikan Simultan (Uji-F)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh
secara bersama-sama terhadap variabel dependen/terikat (Ghozali, 2009). Uji F
dapat dilakukan dengan melihat nilai signifikansi F pada output hasil regresi
menggunakan SPSS dengan significancelevel 0,05 (a = 5%). Jika nilai signifikansi
lebih besar dari a maka hipotesis ditolak (koefisien regresi tidak signifikan), yang
berarti secara simultan variabel-variabel bebas tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap variabel terikat. Jika nilai signifikan lebih kecil dari a maka
hipotesis diterima (koefisien regresi signifikan). Ini berarti bahwa secara simultan
variabel-variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
3.8.3. Koefisien Determinasi (R2)
Tujuan pengujian ini adalah untuk menguji tingkat keeratan atau
keterikatan antar variabel dependen dan variabel independen yang bisa dilihat
dari besarnya nilai koefisien determinasi (Adjusted R-square). Nilai koefisien
determinasi adalah antara nol dan satu (Ghozali, 2009). Nilai R2 yang kecil berarti
kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel
dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel
independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan
untukmemprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2009). Secara umum,
koefisien determinasi untuk data runtut waktu (time series) biasanya mempunyai
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Penelitian
Sumatera Utara berada di bagian barat Indonesia, terletak pada garis 1° - 4°
Lintang Utara dan 98°- 100° Bujur Timur atau terbesar ketujuh dari luas wilayah
Republik Indonesia. Batas wilayah Sumatera Utara sebagai berikut :
1.Sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.
2.Sebelah Selatan berbatasan dengan Sumatera Utara dan Riau.
3.Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
4.Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka.
Berdasarkan letak dan kondisi alamnya, Sumatera Utara dibagi atas 3
kelompok wilayah yaitu :
1) Pantai Barat (Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Sibolga, dan Nias).
2) Dataran Tinggi (Tapanuli Utara, Simalungun, Pematang Siantar, Karo, dan
Dairi).
3) Pantai Timur (Medan, Binjai, Langkat, Tebing Tinggi, Asahan, Tanjung Balai,
dan Labuhan Batu).
Pusat pemerintahan Sumatera Utara terletak di kota Medan. Sebelumnya,
Sumatera Utara termasuk ke dalam Provinsi Sumatra sesaat Indonesia merdeka