1 Catatan Pagi:
Menggapai Kemuliaan Hidup
dengan Rûh (Spirit) al-Ihsân
SETELAH dicermati, sekurang-kurangnya sebelas kali Allah
menggunakan kata “ihsân” dalam al-Quran untuk menyebut perbuatan yang
baik. Dua di antaranya memakai “alif-lâm”, al-ihsân, yaitu pada QS ar-Rahmân [55]: 60,
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
dan an-Nahl [16]: 90,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.”
Bila diterjemahkan secara harfiah, keduanya berarti: “kebaikan
atau kebajikan”.
Yang pertama Allah menjelaskan: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” Sedang yang kedua, penjelasan itu berbunyi: ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan (ihsân), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
2
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah (ihsân) kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil darimu, dan kamu selalu
berpaling.”
Pada ayat tersebut, Allah menyebut “ihsân” sejajar dengan larangan berbuat syirik, perintah berbuat baik kepada orang tua dan kaum kerabat, berbuat baik kepada fakir miskin da anak-anak yatim, mengucapkan kata-kata yang baik kepada sesama manusia, serta mendirikan shalat dan
menunaikan zakat. Secara sederhana dapat dipahami bahwa konsep “ihsân” adalah sama dan sebangun dengan konsep akhlak, baik akhlak kepada Sang Pencipta, maupun akhlak kepada sesama manusia.
Pendeknya, dapat pula diartikan bahwa faktor “ihsân” harus selalu hadir menyertai seluruh perilaku dan perilaku manusiawi. Ihsân sejatinya menjadi napas dan inspirasi dari keseluruhan amal manusia, bersenyawa dengan jenis pekerjaan dan profesi apapun. Karena itu ihsân adalah juga pengendali motif-motif insani yang mendasari keseluruhan tindakan aktivitas yang dilaluinya setiap saat.
Itulah sebabnya, ketika berdialog dengan Rasulullah s.a.w., Jibril menempatkan pertanyaan tentang ihsân ini pada urutan terakhir setelah
“iman dan islam”. Ihsân dalam hal ini menjadi dimensi penggenap amal setelah seseorang menyatakan keimanan dan melaksanakan serangkaian ajaran seperti disyariatkan Islam. Ihsân merupakan kekuatan moral yang menyempurnakan setiap tindakan.
Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi serta budaya masyarakat saat ini, kita perlu menghidupkan kembali rûh (spirit) ihsân yang mungkin telah mati, sehingga tidak ada lagi kebijakan, program, dan tindakan yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi ataupun kelompok. Semuanya merupakan implementasi pengabdian hanya kepada-Nya untuk mewujudkan kebaikan.
3
”(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri (ber-Islam) kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan (ber-ihsan), maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati” (QS, al-Baqarah [2]: 112).
Mari kita berbenah diri untuk menuju sikap Ihsân, agar diri kita menjadi hamba yang dimuliakan oleh Allah, dan oleh karenanya ‘kita’ dapatkan kemulian duniawi dan ukhrawi. Āmîn Yâ Rahmân Yâ Rahîm.
Ibda’ bi nafsik!