Lampiran 1. Bagan Penelitian
5 m
Juring 1
P
K
P
1,35 m
5 j
ur
ing
Juring 3 Juring 2
Lampiran 2. Kebutuhan pupuk N atau pupuk Urea. Luas 1 tanaman = 1,35 m x 0,33 m
= 0,44 m2 1. Dosis N 45 kg/ha
Dosis N 1 tanaman = 4,5 g/ m2
1 / 0,44 m 2
=
1,98 g/tanamanKebutuhan Urea (45% N) = 1,98 g
45
x 100 =
4,4 g2. Dosis N 90 kg/ha
Dosis N 1 tanaman = 9 g/ m 2
1 / 0,44 m 2
=
3,96 g/tanamanKebutuhan Urea (45% N) = 3,96 g
45
x 100 =
8,8 g3. Dosis N 135 kg/ha
Dosis N 1 tanaman = 13,5 g/ m 2
1 / 0,44 m 2
=
5,94 g/tanamanKebutuhan Urea (45% N) = 5,94 g
45
x 100 = 13,2 g
4. Dosis N 180 kg/ha
Dosis N 1 tanaman = 18 g/ m 2
1 / 0,44 m 2
=
7,92 g/tanamanKebutuhan Urea (45% N) = 7,92 g
Lampiran 3. Jadwal penelitian 1 Persiapan Lahan Penelitian X
2 Pengolahan Lahan X X
3 Pemupukan Dasar X
4 Penanaman Bibit X
5 Pemeliharaan
Disesuaikan dengan Kondisi Lahan Penyiraman
Pengendalian Hama dan Penyakit
Pemupukan Lanjutan X
Penyiangan dan Pembubunan X X X X
6 Pengamatan Parameter
Lampiran 4. Deskripsi Tanaman Tebu Varietas BZ 134 Sifat – Sifat Morfologis
1. Daun
Helai daun : warna daun hijau – kuning dengan ukuran sedang, kedudukan daun hampir tegak dengan ujung melengkung kurang dari1/4 panjang helai daunnya.
Pelepah daun : telinga daun sebelah dalam pertumbuhan kuat dan berkedudukan tegak hampir serong.
2. Batang
Ruas : ruas – ruas terususn lurus bentuk kelos hampir konis dengan penampang melintang ruas yang bulat. Warna ruas hijau – ungu agak kemerahan dengan lapisan lilin yang tebal.
Buku ruas : cincin tumbuh, melingkar mendatar dibelakang puncak mata, kadang mellingkar mendatar diatas pucuk mata.
3. Mata
Sifat – sifat umum, mata duduk pada berkas pangkal pelepah daun, bentuk mata pada umumnya belah ketupat dengan bagian terlebar di tengah mata.
Sifat – Sifat Agronomis 1. Pertumbuhan
a. Kecepatan Tumbuh : kecepatan pertumbuhan sejak awal hingga akhir lebih
Data dari Negara Asal
Kekhususan jenis ini adalah baik untuk tanah yang beririgasi
Resistensi Terhadap Hama Penyakit a. Mosaik
Dari hasil pengujian resistensi terhadap mosaik yang diselenggarakan di P3GI, ternyata BZ 134 tergolong resistensi dengan persentase 0 % b. Bledok
Lampiran 5. Data Pengamatan Tinggi Tanaman 1 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 6. Sidik Ragam Tinggi Tanaman 1 BST
Lampiran 7. Data Pengamatan Tinggi Tanaman 3 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 8. Sidik Ragam Tinggi Tanaman 3 BST
Lampiran 9. Data Pengamatan Tinggi Tanaman 5 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 10. Sidik Ragam Tinggi Tanaman 5 BST
Lampiran 11. Data Pengamatan Diameter Batang 1 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
J1NI 15,69 15,65 15,22 46,56 15,52
J1N2 14,34 15,79 15,76 45,89 15,30
J1N3 14,40 12,57 13,81 40,78 13,59
J1N4 11,83 14,04 14,23 40,10 13,37
J2N1 15,22 14,61 14,41 44,24 14,75
J2N2 16,26 15,55 15,63 47,44 15,81
J2N3 14,31 12,81 12,63 39,75 13,25
J2N4 13,16 13,58 13,77 40,51 13,50
J3N1 14,28 14,06 14,43 42,77 14,26
J3N2 17,88 18,27 17,29 53,44 17,81
J3N3 12,44 12,97 12,85 38,26 12,75
J3N4 12,17 12,40 12,13 36,70 12,23
Total 171,98 172,30 172,16 516,44
Lampiran 13. Data Pengamatan Diameter Batang 3 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 14. Sidik Ragam Diameter Batang 3 BST
Lampiran 15. Data Pengamatan Diameter Batang 5 BST
7Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 16. Sidik Ragam Diameter Batang 5 BST
Lampiran 17. Data Pengamatan Jumlah Daun 1 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 18. Sidik Ragam Jumlah Daun 1 BST
Lampiran 19. Data Pengamatan Jumlah Daun 3 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 20. Sidik Ragam Jumlah Daun 3 BST
Lampiran 21. Data Pengamatan Jumlah Daun 5 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 22. Sidik Ragam Jumlah Daun 5 BST
Lampiran 23. Data Pengamatan Jumlah Anakan 1 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 24. Sidik Ragam Jumlah Anakan 1 BST
Lampiran 25. Data Pengamatan Jumlah Anakan 3 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 26. Sidik Ragam Jumlah Anakan 3 BST
Lampiran 27. Data Pengamatan Jumlah Anakan 5 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 28. Sidik Ragam Jumlah Anakan 5 BST
Lampiran 29. Data Pengamatan Jumlah Ruas 5 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
J1NI 7.20 8.20 8.60 24.00 8.00
J1N2 7.60 8.40 8.40 24.40 8.13
J1N3 7.40 8.00 8.40 23.80 7.93
J1N4 8.00 9.00 9.20 26.20 8.73
J2N1 7.40 7.40 7.40 22.20 7.40
J2N2 7.60 8.00 8.20 23.80 7.93
J2N3 7.60 8.40 8.80 24.80 8.27
J2N4 7.40 8.20 8.40 24.00 8.00
J3N1 7.00 9.00 9.00 25.00 8.33
J3N2 8.40 9.00 9.20 26.60 8.87
J3N3 7.00 8.80 8.80 24.60 8.20
J3N4 7.60 8.20 8.00 23.80 7.93
Total 90.20 100.60 102.40 293.20
Lampiran 31. Data Pengamatan Luas Daun 5 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 32. Sidik Ragam Luas Daun 5 BST
Lampiran 33. Data Pengamatan Bobot Kering Tajuk 5 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 34. Sidik Ragam Bobot Kering Tajuk 5 BST
Lampiran 35. Data Pengamatan Bobot Kering Akar 5 BST
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Lampiran 36. Sidik Ragam Bobot Kering Akar 5 BST
DAFTAR PUSTAKA
Adams, C.R., K.M. Banford and M.P. Early. 1995. Principles of Horticulture. 2nd edition. Butterworth-Heinemann Ltd. Oxford. London.
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat. 2013. Pembibitan Tebu.
Chairunnisa, C. 2005. Pengelolaan Hama Tebu di Wilayah Kerja Pabrik Gula kebon Agung, Kabupaten Malang-Jawa Timur, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hal 3.
Danuwinata, A. 1998. Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Genotip Cabai Merah. Majalah Ilmiah Vol. 8 No. 8. Universitas Winaya Mukti. Bandung
Djumali, 2014. Juring Ganda Meningkatkan Produktivitas dan Rendemen Tebu. P3GI. Kediri
Harjadi, S. S. M. M. 1991. Pengantar Agronomi. PT Gramedia. Jakarta.
Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Herlina. 2011. Kajian variasi jarak dan waktu tanam jagung manis dalam sistem tumpang sari jagung manis (Zea mays saccharata Sturt) Dan kacang tanah (Arachis hypogaea L). Tesis Universitas Andalas, Padang.
Ikhtiyanto, R.E. 2010. Pengaruh Pupuk Nitrogen Dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tebu (Saccharum officinarum L.). Skripsi. Departemen Agronomi Danhortikultura. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Indrawanto, C.2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. ESKA Media. Jakarta.
Indryanti, A.L. 2010. Pengaruh Jarak Tanam dan Jumlah Benih Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Jagung Muda. Media Sains. Vol 2.(2).
Khuluq, A.D., dan R. Hamida. 2014. Peningkatan Produktivitas dan Rendemen Tebu Melalui Rekayasa Fisisologis Pertunasan. Perspektif. Vol. 13 No. (1). 13 – 24. BPTPS. Malang.
Marliah, A., t. hidaya, dan N. husna. 2012. Pengaruh Varietas dan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan Kedelai (Glycine max (L.) Merill). Jurnal Agrista 16 91): 22 – 28.
Marliani, V.P., 2011. Analisis Kandungan Hara N Dan P Serta Klorofil Tebu Transgenik Ipb 1 Yang Ditanam Di Kebun Percobaan Pg Djatiroto, Jawa Timur. Skripsi Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB, Bogor.
Mayadewi , N. N. A. 2007. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Gulma dan Hasil Jagung Manis. Jurusan Budidaya Pertanian. Vol 26 (4) : 153 - 159 (2007). Fa ku ltas Pertanian Unud, Denpasar
Murwandono. 2013. Budidaya Tebu di Indonesia. Makalah Seminar Bulanan Balittas Oktober 2013. Malang
Novizan. 2003. Petunjuk Penggunaan Pupuk yang Efektif. Agromedia Pustaka, Jakarta
Pawirosemadi, M., 2011. Dasar- Dasar Teknologi Budidaya Tebu dan Pengolahan Hasilnya. Universitas Negri Malang Press, Malang.
Purwanti, E., 2008. Pengaruh Dosis Pupuk Majemuk Dan Konsentrasi Em-4 Terhadap Pertumbuhan Bibit Stek Tebu (Saccharum Officinarum L.). Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Srkakarta.
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3G1) Kediri. 2014. Teknologi Bud chip. http://www.puslitgula10.com. Diakses tanggal 29 Maret 2014.
.
Rohedin, 2012. Pengaruh Jarak Tanam Antar Barisan dengan Dosis Pupuk
Nitrogen terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bibit Tebu (Saccharum officinarum L.). Skripsi. Unand. Padang.
Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid I, II, dan III. Terjemahan dari : Plant Physiology. Penerjemah : D. R. Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB, Bandung.
Sitompul S.M. dan Bambang G. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soedhono. 2009. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pola Tanaman Tebu. http://www.DisbunJatim.co.id. Diakses tanggal 18 Januari 2014.
Soemarno. 2011. Pentingnya Nitrogen Bagi Tanaman Tebu. Bahan Kajian MK. Pupuk dan Pemupukan. Jurusan Tanah FPUB.
Sudiatso, S. 1999. Tanaman bahan baku pemanis dan produksi pemanis. Departemen Budidaya pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sukarmen, A., Endanf, S., Kusnadi., Sumedi., Untung, M., 2011. Berbagai Pengalaman Mengembangkan Sistem Single Bud Planting (SBP) di Pabrik Gula Semboro. Makalah Sidang Seksi On Farm – B2-1.
Sundara, B. 1998. Sugarcane Cultivation. First Edition. Vikas Publishing House Pvt Ltd, New Delhi.292 p
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. IPB. Bogor. 591 hal. Sutejo, M.M. 1992. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bina Aksara. Jakarta. Sutardjo, RME. 1994. Budidaya Tanaman Tebu. Jakarta: Penerbit PT Bumi
Aksara.
Triyono, A., Purwanto,dan Budiyono. 2013. Efisiensi Penggunaan Pupuk –N Untuk Pengurangan Kehilangan Nitrat Pada Lahan Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan 2013. Wijayanti, W.A. 2008. Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) di
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Perkebunan Tebu PTPN II Kebun Tanjung
Jati dengan ketinggian tempat ± 50-60 m diatas permukaan laut, dimulai pada bulan Agustus 2014 sampai Januari 2015.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan antara lain bibit bud chip tebu umur 2 bulan dengan varietas BZ 134, pupuk Urea sebagai perlakuan pupuk N, pupuk TSP dan
KCL sebagai pupuk pelengkap serta air untuk menyiram tanaman.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi cangkul untuk
mengolah lahan, meteran untuk mengukur tinggi tanaman, jangka sorong untuk mengukur diameter batang, oven untuk mengeringkan tanaman, keranjang sebagai
tempat penyimpanan bud chips, timbangan analitik untuk menimbang tanaman, ,
kamera sebagai alat dokumentasi, plang, pacak, cat sebagai penanda sampel
tanaman, dan alat tulis.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial, terdiri dari 2 faktor perlakuan, yaitu:
Faktor I : Jarak tanam dalam barisan tebu J1 = 33 cm
J2 = 40 cm
Faktor II : Pupuk Nitrogen (N)
N1 = 45 kg N/ha (1,98 g N/tanaman) N2 = 90 kg N/ha (3,96 g N/tanaman)
N3 = 135 kg N/ha (5,94 g N/tanaman) N4 = 180 kg N/ha (7,92 g N/tanaman)
Diperoleh kombinasi perlakuan sebagai berikut:
J1N1 J2N1 J3N1
J1N2 J2N2 J3N2
J1N3 J2N3 J3N3
J1N4 J2N4 J3N4
Jumlah ulangan = 3 ulangan
Jumlah plot = 36 plot
Ukuran plot = 5 juring x 5 m
Jarak antar plot = 1,35 m Jarak antar blok = 1,5 m Jumlah sampel per plot = 5
Jumlah sampel seluruhnya = 180
Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam dengan model linier
sebagai berikut:
Yijk = μ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + €ijk
I = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3 k = 1, 2, 3, 4
Yijk = Hasil pengamatan pada blok ke-I yang diberi perlakuan jarak antar baris tebu (J) pada taraf ke-j dan pupuk nitrogen (N) pada taraf ke-k
ρi = Pengaruh blok pada taraf ke-i
αj = Pengaruh perlakuan jarak antar baris tebu pada taraf ke-j
βk = Pengaruh pupuk nitrogen pada taraf ke-k (αβ)jk = Pengaruh interaksi kedua perlakuan
€ijk = Pengaruh galat pada blok ke-I yang mendapat perlakuan jarak antar
baris tebu pada taraf ke-j dan pupuk nitrogen pada taraf ke-k
Data pengamatan yang diperoleh dianalisis mengunakan analisis ragam (uji F) pada taraf 5%. Apabila terdapat beda nyata (F hitung > F table 5%), maka
Pelaksanaan Penelitian Persiapan lahan
Lahan yang digunakan untuk penelitian merupakan lahan yang
sebelumnya ditanami tebu dengan dosis pupuk standar perusahaan yaitu pupuk Urea 300 kg/ha, pupuk TSP 150 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha. Lahan dibersihkan
dari sisa tebangan atau tunggul tebu. Gulma dibabat, dibuang atau dibakar. Kemudian lahan dibersihkan dari segala kotoran.
Pengolahan tanah
Pengolahan tanah dilakukan sebanyak 3 kali dengan menggunakan cangkul. Pengolahan tanah pertama bertujuan untuk memecah dan membalik
tanah. Hal ini akan memberikan kesempatan proses oksidasi dan membusukkan bahan organik yang masih mentah. Pengolahan tanah yang kedua bertujuan untuk mencacah ulang serasah dan sisa tebangan yang masih terdapat di dalam tanah
dan menghancurkan bongkahan tanah. Setelah 7 hari, dilanjutkan pengolahan tanah ketiga agar bongkahan tanah memiliki tekstur remah.
Selanjutnya dilakukan plotting perlakuan sebanyak 36 petak yang
masing-masing berukuran 3 juring x 5 m. Pembuatan kair/alur tanaman dengan jarak pusat ke pusat (PKP) juring 1.35 m dan kedalaman juring 40 cm.
Pemupukan Dasar
Pemupukan dasar diberikan pada saat penanaman di lahan sebanyak 1/3 dosis dari perlakuan untuk N, yaitu N1:15 kg/ha, N2:30 kg/ha N3:45 kg/ha dan
Penanaman
Bibit yang ditanam berumur 2 bulan dari Kebun Bibit Dasar (KBD) yang berasal dari bibit bud chip. Pada saat penanaman bibit disesuaikan dengan
perlakuan jarak tanam yaitu 33 cm, 40 cm, dan 47 cm. kemudian bibit ditimbun dengan tanah hingga kedalaman 10-15 cm.
Pemupukan Lanjutan
Pemupukan kedua diberikan pada saat tanaman berumur 2 Bulan Setelah Tanam (BST) sebanyak 2/3 dosis perlakuan Nitrogen, yaitu N1:30 kg/ha, N2:60
kg/ha, N3:90 kg/ha, N4:120 kg/ha, dan pupuk Kalium diberikan seluruhnya sebanyak 100 kg/ha.
Pemeliharaan Penyiraman
Penyiraman dilakukan 2 kali sehari yaitu, pada pagi dan sore hari secara
teratur. Menggunakan gembor dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan atau cuaca.
Penyiangan dan Pembumbunan
Penyiangan dilakukan secara manual yakni dengan mencabut gulma yang tumbuh di dalam plot. Setelah 1 – 2 BST dilakukan penggemburan yang bertujuan
untuk menimbun tebu dan memberikan aerasi pada tanah. Pada 3 BST dilakukan pengguludan dengan menggunakan cangkul.
Pengendalian Hama dan Penyakit
Parameter Pengamatan Tinggi batang (cm)
Tinggi batang diukur pada 5 rumpun contoh yang telah ditetapkan dengan
mengukur tinggi batang tanaman induk dari permukaan tanah sampai cincin teratas. Pengukuran dilakukan pada umur 1, 3, dan 5 BST.
Diamater batang (mm)
Diameter batang diukur pada umur 1, 3, dan 5 BST. Diameter batang diukur dengan menggunakan jangka sorong. Tanaman contoh yang diukur sama
dengan pada pengukuran tinggi batang, tiap petak percobaan diukur 5 rumpun contoh.
Jumlah daun per tanaman (helai)
Dihitung pada tanaman induk yang terdapat di rumpun contoh. Rumpun contoh yang diamati sama dengan untuk peubah sebelumnya, tiap petak 5 rumpun
contoh. Jumlah daun ditentukan dengan menghitung daun yang telah membuka sempurna (dan masih hijau) sampai cincin teratas. Penghitungan dilakukan pada umur 1, 3, dan 5 BST
Jumlah anakan per rumpun
Jumlah anakan per rumpun dihitung pada umur 1, 3, dan 5 Bulan Setelah
Tanam (BST). Pengamatan dilakukan pada rumpun contoh yang telah ditetapkan, dengan menghitung jumlah anakan yang muncul dari tanaman induk, tanaman induk tidak ikut dihitung. Tiap petak percobaan diambil 5 rumpun contoh.
Jumlah ruas
Ruas batang dihitung bersamaan dengan pengukuran diameter batang.
contoh yang diukur sama dengan pada pengukuran tinggi batang, tiap petak percobaan diukur 5 rumpun contoh.
Luas Daun (cm²)
Total luas daun dihitung dengan metode kertas timbang. Pengukuran ini dilakukan dengan menggambar daun pada kertas patron (kertas HVS yang sudah
diketahui berat dan luasnya). Kemudian kertas digunting sesuai gambar dan ditimbang beratnya.
Total luas daun dihitung menggunakan rumus:
Berat patron X Luas kertas Berat kertas HVS
Keterangan:
Luas kertas = 621.5 cm2 Berat kertas = 4.54 g
(Sitompul dan Bambang, 1995).
Bobot Kering Tajuk (g)
Bobot kering tajuk diukur pada akhir pengamatan, setelah sampel tanaman masing-masing perlakuan diovenkan selama 3 x 24 jam dengan suhu ± 70oC
sampai beratnya konstan. Berat kering tajuk ditimbang menggunakan timbangan analitik.
Bobot Kering Akar (g)
Bobot kering akar tanaman dihitung pada akhir pengamatan, setelah
sampel tanaman masing-masing perlakuan diovenkan selama 3 x 24 jam dengan suhu ± 70oC sampai beratnya konsta. Berat kering akar ditimbang menggunakan
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh jarak tanam dan pemupukan N
serta interaksinya tertera pada Tabel.1. Pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan tanaman tebu, berbeda nyata terhadap diameter batang 3 dan 5 BST,
jumlah anakkan 3 dan 5 BST, jumlah ruas 5 BST, dan luas daun 5 BST.
Pengaruh pemupukan N berpengaruh nyata terhadap diameter batang 1, 3, dan 5 BST, jumlah anakkan 1 BST, dan luas daun 5 BST.
Interaksi perlakuan hanya berpengaruh nyata terhadap diameter batang 1 BST dan jumlah ruas 5 BST.
Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam penmgaruh jarak tanam tebu dan dosis pemupukan N serta interaksinnya
Peubah amatan Pengamatan (BST)
Nilai F Hitung
Jarak Tanam Nitrogen Interaksi
Tinggi Tanaman 1 tn tn tn
Tinggi Tanaman (cm)
Data hasil pengamatn sidik ragam tinggi tanaman 1, 3, dan 5 BST dapat dilihat pada lampiran 5 – 10. Perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N serta
interaksi perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman.
Rataan tinggi tanaman pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan
N dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan tinggi tanaman tebu umur 1, 3, dan 5 BST (cm) pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N.
BST Jarak Tanam
Dosis Pemupukan N (Kg/ha)
Rataan
Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam memberikan
pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman, namun terdapat kecenderungan data tertinggi 5 BST diperoleh pada perlakuan J1 (33 cm) yakni 146.81 cm dan
terendah pada J2 (40 cm) yakni 144.60 cm.
Perlakuan dosis pemupukan N juga memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman. Namun terdapat kecenderungan bahwa data tertinggi
Diameter Batang (mm)
Data hasil pengamatan sidik ragam diameter batang 1, 3, dan 5 BST dapat dilihat pada Lampiran 11 – 16. Perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata
terhadap diameter batang pada 3 dan 5 BST, dan dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap diameter batang pada 1, 3 dan 5 BST, sedangkan interaksi
perlakuan berpengaruh nyata terhadap diameter batang 1 BST. Rataan diameter batang 1, 3, dan 5 BST pada perlakuanm jarak tanam dan dosis pemupukan N dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan diameter batang tebu umur 1, 3, dan 5 BST (mm) pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N.
BST Jarak Tanam
Dosis Pemupukan N (Kg/ha)
Rataan Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%
Gambar 1 . Diameter batang dari 1 sampai 5 BST pada perlakuan jarak tanam.
Gambar 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang umur 1-5 BST pada perlakuan jarak tanam dimana diameter batang tanaman tebu terbesar pada perlakuan jarak tanam J3 (47 cm) dan diameter batang terkecil pada
perlakuan jarak tanam J1 (33 cm).
Pertumbuhan diameter batang dari 1 sampai 5 BST pada dosis pemupukan
N dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang 1-5 BST pada dosis pemupukkan N mengalami peningkatan dimana diameter tanaman terbesar pada perlakuan dosis pemupukan N3 (135 kgN/ha) sedangkan yang
terendap pada perlakuan N1 (45 kgN/ha).
Pada 1 BST, perlakuan dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap
diameter batang. Diameter batang tertinggi yaitu pada perlakuan N2 (16,31 mm), sedangkan yang terendah pada perlakuan N4 (13,04). Perlakuan N2 berbeda nyata dengan N1, N3 dan N4. Hubungan dosis pemupukan N dengan diameter batang
dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 3 . Hubungan diameter batang dengan dosis pemupukan N pada umur 1BST.
Gambar 3 menunjukkan bahwa pemberian dosis pemupukan N menunjukkan hubungan kuadratik positif dimana diameter batang optimum
sebesar 15.31 mm dengan dosis pemupukkan N 66 kgN/ha.
Tabel 3 menunjukkan interaksi perlakukan jarak tanam dengan dosis
pemupukan N berpenngaruh nyata terhadap diameter batang. Diameter batang tertinggi yaitu pada perlakuan J3N2 (17,81 mm), sedangkan yang terendah pada
perlakuan J3N4 (12,23 mm). Hubungan diameter batang dengan jarak tanam pada
dosis pemupukan N pada umur 1 BST dapat dilihat pada Gambar 4. Interaksi antara jarak tanam dengan perlakuan N1 dan N2 berbeda nyata dan menunjukkan
hubungan linier, namun pada N3 dan N4 berbeda tidak nyata.
Gambar 4. Hubungan diameter batang dengan jarak tanam pada berbagai dosis pemupukan N pada umur 1 BST.
Gambar 3 menunjukkan hubungan antara jarak tanam dengan diameter
batang pada perlakuan pemupukan N1, N2, N3 dan N4. Pada dosis pemupukan N1, N3, N4 persamaan regresinya menunjukkan linier negatif yang berarti semakin panjang jarak tanam maka semakin kecil diameter batang tebu. Pada
dosis pemupukan N2, 90 kgN/ha persamaan regresinya menunjukkan linier positif yang artinya semakin besar jarak tanam mengakibatkan diameter batang semakin
Gambar 5. Hubungan diameter batang dengan dosis pemupukan N pada berbagai jarak tanam pada umur 1 BST.
Gambar 4 menunjukkan hubungan antara dosis pemupukan N dengan diameter batang pada perlakuan jarak tanam J1, J2 dan J3. Pada jarak tanam J1 (33 cm) dan J2 (40 cm) persamaan regresinya berbentuk linier negatif yang
artinya semakin besar dosis pemupukkan N mengakibatkan diameter batang semakin kecil. Pada jarak tanam J3 (47 cm) persamaan regresinya berbentuk
kuadratik positif dimana diameter batang optimum sebesar 15.867 mm dengan dosis pemupukkan N 88.5 kgN/ha.
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada 3 BST perlakuan jarak tanam
berpengaruh nyata terhadap diameter batang. Perlakuan J2 berbeda nyata dengan
J1, namun tidak berbeda nyata dengan J3.
Gambar 6 . Hubungan diameter batang dengan jarak tanam pada umur 3 BST.
Gambar 6 menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam menunjukkan hubungan linier positif yang artinya semakin panjang jarak tanam maka semakin besar diameter batang tebu.
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada 3 BST, perlakuan dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap diameter batang. Diameter batang tertinggi yaitu
pada perlakuan N2 (23,54 mm), sedangkan yang terendah pada perlakuan N4 (21,
42 mm). Perlakuan N2 berbeda nyata dengan N1, N3 dan N4, namun N1, N3 dan N4
berbeda tidak nyata.
Gambar 7. Hubungan diameter batang dengan dosis pemupukan N pada umur 3 BST.
Gambar 7 menunjukkan bahwa pemberian dosis pemupukan N menunjukkan hubungan kuadratik positif dimana diameter batang optimum sebesar 23.28 mm dengan dosis pemupukkan N 116 kgN/ha.
Hubungan dosis pemupukan N dengan diameter batang 5 BST dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam menunjukkan hubungan linier positif yang artinya semakin panjang jarak tanam maka semakin besar diameter batang tebu.
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada 5 BST, perlakuan dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap diameter batang. Diameter batang tertinggi yaitu
pada perlakuan N3 (25,23 mm), sedangkan yang terendah pada perlakuan N1
(23,33 mm). Perlakuan N3 berbeda nyata dengan N1, dan N4, namun berbeda
tidak nyata dengan N2. Hubungan dosis pemupukan N dengan diameter batang
dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 . Hubungan diameter batang dengan dosis pemupukan N pada umur 5 BST.
Gambar 9 menunjukkan hubungan antara dosis pemupukan N dengan
diameter batang tebu berbentuk kuadratik positif diamana diameter optimum sebesar 24.93 mm dengan dosis pemupukan N 109 kgN/ha.
Jumlah Daun
Data hasil pengamatan sidik ragam jumlah daun 1, 3, dan 5 BST dapat dilihat pada lampiran 17 – 22. Perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N
serta interaksi perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun. Rataan jumlah daun pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan jumlah daun tebu umur 1, 3, dan 5 BST pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N.
BST Jarak Tanam Dosis Pemupukan N (Kg/ha) Rataan N1 (45) N2 (90) N3 (135) N4 (180 )
Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun, namun terdapat kecenderungan data tertinggi 5 BST diperoleh pada perlakuan J3 (47 cm) yakni 14.27 helai dan
terendah pada J1 (40 cm) yakni 13.72 helai.
Perlakuan dosis pemupukan N juga memberikan pengaruh tidak nyata
Jumlah Anakkan
Berdasarkan data parameter dan analisis sidik ragam jumlah anakan tebu umur 1, 3 dan 5 BST dapat dilihat pada Lampiran 23 – 28. Hasil analisis statistik
menunjukan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah anakkan pada 1, 3 dan 5 BST dan dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap jumlah
anakkan pada 1 BST, sedangkan interaksi kedua perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Rataan jumlah anakkan pada umur 1, 3 dan 5 BST dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan jumlah anakkan tebu umur 1, 3, dan 5 BST pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N.
BST Jarak
Tanam
Dosis Pemupukan N (Kg/ha)
Rataan
Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%
Pertumbuhan jumlah anakkan dari 1 sampai 5 BST pada perlakuan jarak
Gambar 10 . Jumlah anakkan dari 1 sampai 5 BST pada perlakuan jarak tanam.
Gambar 10 menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah anakkan umur 1-5 BST pada perlakuan jarak tanam dimana jumlah anakkan tanaman tebu terbesar
pada perlakuan jarak tanam J3 (47 cm) dan jumlah anakkan terkecil pada perlakuan jarak tanam J1 (33 cm).
Pertumbuhan jumlah anakkan dari 1 - 5 BST pada dosis pemupukan N
dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah anakkan 1-5 BST pada dosis pemupukkan N mengalami peningkatan dimana jumlah anakkan tanaman terbesar pada perlakuan dosis pemupukan N2 (90 kgN/ha) sedangkan
yang terendap pada perlakuan N3 (135 kgN/ha).
Pada Tabel. 5 menunjukkan bahwa pada 1 BST, perlakuan dosis
pemupukan N berpengaruh nyata terhadap jumlah anakkan. Jumlah anakan tertinggi yaitu pada perlakuan N3 (2,07), sedangkan yang terendah pada perlakuan
N4 (1,16). Perlakuan N3 berbeda nyata dengan N4, namun tidak berbeda nyata
dengan N1 dan N2. Hubungan dosis pemupukan N dengan jumlah anakkan dapat
dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Hubungan jumlah anakkan dengan dosis pemupukan N pada umur 1 BST.
Gambar 12 menunjukkan hubungan linier negatif antara jumlah
anakkan dengan dosis pemupukkan N yang berarti semakin tinggi dosis pemupukkan N dapat menurunkan jumlah anakkan tebu.
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pada 3 BST perlakuan jarak tanam
berpengaruh nyata terhadap jumlah anakkan. Jumlah anakkan tertinggi yaitu pada
perlakuan J3 (3,09), sedangkan yang terendah pada perlakuan J1 (2,47). Perlakuan
J3 berbeda nyata dengan J1, namun berbeda tidak nyata pada J2.
Hubungan jarak tanam dengan jumlah anakkan umur 3 BST dapat
dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 . Hubungan jumlah anakkan dengan jarak tanam pada umur 3 BST.
Gambar 13 menunjukkan menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam menunjukkan hubungan linier positif yang artinya semakin panjang jarak tanam maka semakin banyak jumlah anakkan tebu.
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pada 5 BST bahwa perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah anakkan. Jumlah anakkan tertinggi
yaitu pada perlakuan J3 (3,42), sedangkan yang terendah pada perlakuan J1 (2,67).
Perlakuan J3 berbeda nyata dengan J1, namun berbeda tidak nyata pada J2.
Hubungan jumlah anakkan dengan jarak tanam pada umur 5 BST dapat
dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 . Hubungan jumlah anakkan dengan jarak tanam pada umur 5 BST. Gambar 14 menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam menunjukkan hubungan linier positif yang artinya semakin panjang jarak tanam maka semakin
banyak jumlah anakkan tebu.
Jumlah Ruas
Hasil pengamatan parameter jumlah ruas dan analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 29 dan 30, hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah ruas tebu dan
dosis pemupukan N berpengaruh tidak nyata, sedangkan interaksi perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah ruas tebu.
Rataan jumlah ruas tebu pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan
N dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan jumlah ruas tebu 5 BST pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N.
Jarak Tanam Dosis Pemupukan N (Kg/ha) Rataan
N1 (45) N2 (90) N3 (135) N4 (180 )
J1 (33 cm) 8.00 bcde 8.13 bcd 7.93 cdef 8.87 a 8.20 a
J2 (40 cm) 7.40 f 7.53 ef 8.27 bc 8.00 bcde 7.90 b
J3 (47 cm) 8.33 b 8.87 a 8.20 bc 7.93 cdef 8.33 a
Rataan 7.87 8.36 8.07 8.27 8.14
Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%
Pada Tabel 6 menujukkan bahwa perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah ruas. Jumlah ruas tertinggi yaitu pada perlakuan J3 (8,33),
sedangkan yang terendah pada perlakuan J1 (7,90). Perlakuan J3 berbeda nyata
dengan J2, namun berbeda tidak nyata pada J1.
Hubungan jarak tanam dengan jumlah ruas 5 BST dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 . Hubungan jumlah ruas dengan jarak tanam pada umur 5 BST.
Gambar 15 menunjukkan bahwa, perlakuan jarak tanam menunjukkan hubungan kuadratik negatif nilai minimum perlakuan jarak tanam adalah 39.273 cm dengan jumlah ruas 7.923.
Hubungan jumlah ruas dengan jarak tanam pada dosis pemupukan N pada umur 5 BST dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Hubungan jumlah ruas dengan jarak tanam pada dosis pemupukan N pada umur 5 BST.
Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah ruas
dengan jarak tanam pada berbagai perlakuan dosis pemupukkan N1, N2, N3 dan N4. Pada pemupukkan N1 (45 kg/ha) persamaan regresinya berbentuk kuadratik negatif dengan nilai minimum perlakuan jarak tanam adalah 39.355 cm dengan
jumlah ruas 7.318. Pada pemupukkan N2 (90 kg/ha) persamaan regresinya berbentuk kuadratik negatif dengan nilai minimum perlakuan jarak tanam adalah
37.620 cm dengan jumlah ruas 7.923, sedangkan pada pemupukkan N4 (180
kg/ha) persamaan regresinya berbentuk linier negatif yang artinya semakin lebar jarak mengakibatkan jumlah ruas semakin sedikit.
Hubungan jumlah ruas dengan dosis pemupukan N pada jarak tanam
pada umur 5 BST dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Hubungan jumlah ruas dengan dosis pemupukan N pada jarak tanam pada umur 5 BST
Gambar 14 menunjukkan hubungan antara dosis pemupukan N jumlah ruas pada berbagai perlakuan jarak tanam J1, J2 dan J3. Pada jarak tanam J1 (33
cm) dan J2 (40 cm) persamaan regresinya berbentuk linier positif yang artinya semakin besar dosis pemupukkan N mengakibatkan jumlah ruas semakin banyak. Pada jarak tanam J3 (47 cm) persamaan regresinya berbentuk linier nrgatif yang
Luas Daun (cm2)
Data hasil pengamatan sidik ragam luas daun dapat dilihat pada lampiran 31 dan 32. Perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N berpengaruh
nyata terhadap luas daun, sedangkan interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata. Rataan luas daun pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan luas daun tebu 5 BST (cm2) pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N.
Jarak Tanam Dosis Pemupukan N (Kg/ha) Rataan
N1 (45) N2 (90) N3 (135) N4 (180 )
J1 (33 cm) 535.19 561.63 614.25 552.18 565.81 b
J2 (40 cm) 539.91 596.25 622.67 567.21 581.51 b
J3 (47 cm) 571.24 615.58 646.73 567.17 600.18 a
Rataan 548.78 b 591.16 a 627.88 a 562.19 b 582.50 Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%
Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam berpengaruh
nyata terhadap luas daun. Luas daun tertinggi yaitu pada perlakuan J3 (600,18
cm2), sedangkan yang terendah pada perlakuan J1 (565,81 cm2). Perlakuan J3
berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya.
Gambar 16 . Hubungan antara luas daun dengan jarak tanam pada umur 5 BST.
Gambar 16 menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam menunjukkan hubungan linier positif yang artinya semakin panjang jarak tanam maka semakin lebar luas daun tebu.
Tabel 7 menunjukkan bahwa pada 5 BST, perlakuan dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap luas daun. Luas daun tertinggi yaitu pada
perlakuan N3 (627,88 cm2), sedangkan yang terendah pada perlakuan N1 (548,78
Gambar 17 menunjukkan bahwa terdapat hubungan luas daun dengan dosis pemupukkan N berbentuk kuadratik positif dimana luas daun tertinggi sebesar 617.42 cm2 diperoleh pada dosis pemupukkan N 119.28 kgN/ha.
Bobot Kering Tajuk (g)
Data hasil pengamatan sidik ragam berat kering tajuk dapat dilihat pada
Lampiran 33 dan 34. Hasil analisis menunjukan bahwa perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N serta interaksinya berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering tajuk. Rataan bobot kering tajuk pada perlakuan jarak tanam dan dosis
pemupukan N dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan bobot kering tajuk tebu 5 BST (g) pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N.
Jarak Tanam Dosis Pemupukan N (Kg/ha) Rataan
N1 (45) N2 (90) N3 (135) N4 (180 )
J1 (33 cm) 2964.48 2796.38 3070.60 3081.65 2978.28
J2 (40 cm) 2802.07 2681.10 3134.70 3008.57 2906.61
J3 (47 cm) 3002.60 3062.04 3020.42 2795.55 2970.15
Rataan 2923.05 2846.51 3075.24 2961.92 2951.68
Tabel 8 menunjukkan bobot kering tajuk tebu tertinggi diperoleh pada perlakuan jarak tanam J1 (33 cm) yaitu 2978.28 g dan terendah pada perlakuan
jarak tanam J2 (40 cm) yaitu 2906.61 g, dan bobot kering tajuk tebu tertinggi pada dosis pemupukkan N3 (135 kgN/ha) yaitu 3075.24 g dan terendah pada dosis
pemupukkan N2 (90 kgN/ha) yaitu 2846.51 g. Bobot Kering Akar (g)
Data pengamatan bobt kering akar serta sidik ragamnya dapat dilihat pada
Lampiran 35 dan 36, yang menunjukkan perlakuan dosis pemupukan N dan perlakuan jarak tanam serta interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata
Rataan bobot kering akar pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan bobot kering akar tebu 5 BST (g) pada perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N.
Jarak Tanam Dosis Pemupukan N (Kg/ha) Rataan
N1 (45) N2 (90) N3 (135) N4 (180 )
J1 (33 cm) 45.73 48.05 47.55 45.79 46.78
J2 (40 cm) 47.19 46.01 46.41 45.48 46.27
J3 (47 cm) 45.56 48.17 46.89 46.54 46.79
Rataan 46.16 47.41 46.95 45.93 46.61
Tabel 9 menunjukkan bobot kering akar tebu tertinggi diperoleh pada
perlakuan jarak tanam J3 (33 cm) yaitu 46.79 g dan terendah pada perlakuan jarak tanam J2 (40 cm) yaitu 46.27 g, dan bobot kering tajuk tebu tertinggi pada dosis pemupukkan N2 (90 kgN/ha) yaitu 47.41 g dan terendah pada dosis pemupukkan
N4 (180 kgN/ha) yaitu 45.93 g.
Pembahasan
Pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan tanaman tebu (Saccharum officinarum L.)
Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam menunjukkan bahwa
perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap diameter batang 3 dan 5 BST, jumlah anakkan 3 dan 5 BST, jumlah ruas 5 BST, dan luas daun 5 BST.
Pada peubah amatan diameter batang 5 BST (Tabel 3), perlakuan jarak tanam 47 cm memberikan hasil rataan diameter batang tertinggi yaitu 25,32 mm dibandingkan jarak tanam 33 cm yaitu 23,06 mm. Hal ini disebabkan karena jarak
tanam yang semakin rapat menyebabkan tanaman tebu terjadi persaingan akan cahaya serta mempengaruhi tanaman dalam pengambilan air dan unsur hara yang
bahwa jarak tanam mempengaruhi kompetisi antara tanaman dalam menggunakan air dan zat hara sehingga mempengaruhi penampilan dan produksi tanaman.
Pada peubah amatan jumlah anakkan 3 dan 5 BST (Tabel 5), perlakuan
jarak tanam 47 cm memberikan hasil rataan jumlah anakkan tertinggi yaitu 3,08 tunas pada 3 BST dan 3,42 tunas pada 5 BST.Ha ini disbabkan jarak tanam yang
lebih luas akan menjadikan tanaman memperoleh intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi sehingga dapat memicu pertumbuhan tunas baru. Menurut Murwandono (2013) sumberdaya alam yang dibutukan pada fase pertunasan tebu
antara lain: air, sinar matahari (berpengaruh pada hormon pemacu pertumbuhan anakan), hara N dan P serta oksigen untuk pernapasan dan pertumbuhan akar.
Pernyataan ini sejalan dengan Pawirosemedi (2011) yang menyatakan bahwa pada keadaan intensitas cahaya matahari yang tinggi, maka aliran zat pengatur tumbuh ke bawah berkurang. Akibatnya laju pemanjangan batang menurun dan tingkat
hambatan pengembangan mata tunas berkurang, dan menghasilkan pertunasan. Pada peubah amatan jumlah ruas 5 BST (Tabel 6), perlakuan jarak tanam 47 cm memberikan hasil rataan jumlah ruas tertinggi yaitu 8,33 dibandingkan
dengan perlakuan konsentrasi yang lain. Pertumbuhan ruas memiliki korelasi dengan pertambahan jumlah daun karena ruas daun akan berkembang setelah
terbentuknya daun dan pelepah daun hal ini sesuai dengan pernyataan Pawirosemadi (2011) yang menyatakan dalam proses pertumbuhan, daun menyelesaikan terlebih dahulu pertumbuhannya hingga sempurna, kemudian baru
Jarak tanam yang semakin rapat menyebabkan tanaman tebu terjadi persaingan akan cahaya yang mempengaruhi tanaman dalam pengambilan air dan unsur hara yang yang digunakan dalam pertumbuhan suatu tanaman. Harjadi
(1991) menyatakan bahwa jarak tanam mempengaruhi kompetisi antara tanaman dalam menggunakan air dan zat hara sehingga mempengaruhi penampilan dan
produksi tanaman. Hal ini didukung oleh penelitian Rohedi (2012) yang menyatakan bahwa jarak tanam antar barisan dengan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi batang umur 6 bulan setelah
tanam (BST), jumlah ruas batang per tanaman, jumlah batang per petak, kandungan klorofil daun dan bobot basah batang bibit tebu per petak.
Pada peubah amatan luas daun 5 BST (Tabel 7), perlakuan jarak tanam 47 cm memberikan hasil rataan luas daun tertinggi yaitu 600,18 cm2, sedangkan rataan luas daun terendah pada perlakuan jarak tanam 33 yaitu 565,81 cm2. Hal ini
disebabkan pengaturan jarak tanam berpengaruh terhadap besarnya intensitas cahaya dan ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh optimal. Jarak tanam yang lebar menyebabkan intensitas
cahaya yang diterima dapat menyentuh seluruh permukaan daun dan semakin banyak ketersediaan unsur hara bagi individu tanaman. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Indrayanti (2010) yang menyatakan bahwa kepadatan populasi tanaman yang tinggi akan mempengaruhi petumbuhan tanaman dan pada akhirnya penampilan tanaman secara individu akan menurun karena
persaingan dalam intersepsi radiasi sinar matahari, absorbs air dan unsure hara serta pengambilan CO2 dan O2. Pengaturan jarak tanam sangat
pada luas daun, berat kering tanaman, sistem perakaran, banyaknya sinar matahari yang diterima, dan banyaknya unsur hara yang diserap dari dalam tanah.
Pengaruh dosis pemupukan N terhadap pertumbuhan tanaman tebu (Saccharum officinarum L.)
Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam menunjukkan bahwa
perlakuan dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap diameter batang 1, 3, dan 5 BST, jumlah anakkan 1 BST, dan luas daun 5 BST.
Perlakuan dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap parameter diameter batang 5 BST dimana diameter batang tertinggi pada dosis pemupukan N 135 kg/ha yaitu 25,23 mm dibandingkan dengan perlakuan
konsentrasi yang lain. Hal ini dikarenakan Apabila persediaan nitrogen cukup banyak maka sedikit sekali yang mengendap karena sebagian besar dijadikan
protein dan membentuk protoplasma. Protoplasma akan mengikat air sehingga tanaman menjadi meruah atau voluminous (Leiwakabessy et al., 2003). Hal ini diduga kuat berkaitan dengan fungsi N didalam pertumbuhan vegetatif
tanaman. Nitrogen merupakan pembentuk protein, asam nukleat, klorofil dan secara umum untuk pertumbuhan tanaman (Adams et al, 1995). Dengan meningkatnya konsentrasi nitrogen maka kecenderungan pertumbuhan pun akan
semakin tinggi. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Soepardi (1983) bahwa nitrogen memberikan pengaruh paling menyolok dan cepat, terutama merangsang
pertumbuhan vegetatif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ikhtiyanto (2010) semakin tinggi dosis pupuk Nitrogen meningkatkan BK daun, jumlah tanaman per juring, diameter batang bagian tengah dan bawah.
135 kg/ha yaitu 2,07 tunas. Hal ini dikarenakan dosis pupuk nitrogen yang tepat dapat meningkatkan dan memacu pertumbuhan anakkan. Peningkatan pemberian nitrogen akan selalu meningkatkan jumlah tunas hingga tercapainya suatu
optimum, penambahan nitrogen selanjutnya tidak akan memberikan pengaruh lagi (Pawirosemadi, 2011). Khuluq dan Hamida (2014) mengindikasikan bahwa tanah
yang memiliki kandungan nitrogen yang tinggi menjadi salah satu faktor yang memberikan pengaruh produksi anakan tinggi sampai pada musim akhir mendekati panen.
Pada peubah amatan luas daun 5 BST (Tabel 7), perlakuan dosis pemupukan N 135 kg/ha memberikan hasil rataan luas daun tertinggi yaitu 627,88
cm2, dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi yang lain. Hal ini disebabkan karena pupuk N yang dibrikan dapat memperlebar helaian daun dan mempercepat munculnya daun-daun baru. Dengan adanya unsur N yang cukup maka daun
tanaman akan tumbuh melebar dan memperluas permukaan yang tersedia untuk fotosintesis. Jumlah unsur N yang tersedia akan mempercepat pengubahan
karbohidrat menjadi protein dan kemudian diubah menjadi protoplasma
(Sugito et al., 1999; Purwanti, 2008).
Pertumbuhan tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) pada interaksi perlakuan jarak tanam dan dosis pemupukan N
Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam menunjukkan bahwa
interaksi jarak tanam dan dosis pemupukan N berpengaruh nyata terhadap diameter batang 1 BST dan jumlah ruas 5 BST.
Interaksi perlakuan jarak tanam (47 cm x 135 cm) dengan dosis
jarak tanam J3 (47 cm) dan dosis pemupukan pada N2 ( 90 kg/ha) terjadi interaksi yang baik dalam pertumbuhan tanaman tebu, dimana ruang tumbuh, unsur hara, dan cahaya yang tersedia untuk jarak tanam J3 (47 cm) lebih besar, sehingga
pertumbuhan tanaman tebu menjadi lebih baik. Hal ini sesuai pernyataan Danuwinata (1998) yang menyatakan jarak tanam mempengaruhi populasi
tanaman dan efisiensi dalam pengunaan cahaya, kompotisi antar tanaman dalam penggunaan air dan zat hara baik antar tanaman pokok maupun antar tanaman pokok dengan gulma yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan dan
hasil. Ditambah lagi pupuk nitrogen yang diberikan dapat merangsang pertumbuhan vegetatif tebu baik itu pertumbuhan batang, pemebentukan tunas,
pembentukan daun maupun pemebentukan akar . Hal ini sesuai dengan pernyataan Sundara (1998) Nitrogen merupakan unsur hara utama yang mempengaruhi hasil dan kualitas tebu. Hal ini dibutuhkan untuk pertumbuhan vegetatif, yaitu
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap diameter batang 3 dan
5 bulan setelah tanam (Bulan Setelah Tanam), jumlah anakkan 3 dan 5 BST, jumlah ruas 5 BST, dan luas daun 5 BST dengan perlakuan jarak tanam 47 cm (J3) yang paling baik dibandikan lainnya.
2. Perlakuan dosis pemupukan Nitrogen berpengaruh nyata terhadap diameter batang 1, 3, dan 5 BST, jumlah anakkan 1 BST, dan luas daun 5
BST dengan perlakuan terbaik yaitu dosis N 135 kg/ha (N3)
3. Interaksi perlakuan jarak tanam dan dosis pupuk Nitrogen berpengaruh nyata terhadap diameter batang 1 BST dan jumlah ruas 5 BST dengan
perlakuan terbaik yaitu pada perlakuan jarak tanam 47 cm dengan dosis pupuk nitrogen 90 kg/ha (J3N2).
Saran
Sebaiknya jarak tanam yang digunakan yaitu 47 cm x 135 cm, karena pengaruhnya memberikan hasil yang lebih optimal pada pertumbuhan bud chip
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman
Sistematika tebu (Saccharum officinarum L.) adalah sebagai berikut;
Kingdom : Plantae; Divisio : Spermatophyta; Sub divisi : Angiospermae; Kelas : Monocotyledonae; Ordo : Poales; Familia : Poaceae; Genus : Saccharum;
Spesies : Saccharum officinarum L. (Steenis, 2005).
Akar yang pertama kali terbentuk dari bibit stek adalah akar adventif yang berwarna gelap dan kurus. Setelah tunas tumbuh, maka fungsi akar ini akan
digantikan oleh akar sekunder yang tumbuh di pangkal tunas. Pada tanah yang cocok akar tebu dapat tumbuh panjang mencapai 0,5 – 1,0 meter. Tanaman tebu
berakar serabut maka hanya pada ujung akar-akar muda terdapat akar rambut yang berperan mengabsorpsi unsur-unsur hara (Wijayanti, 2008).
Batang tanaman tebu berdiri lurus dan beruas-ruas yang dibatasi dengan
buku-buku. Pada setiap buku terdapat mata tunas. Batang tanaman tebu berasal dari mata tunas yang berada dibawah tanah yang tumbuh keluar dan berkembang membentuk rumpun. Diameter batang antara 3-5 cm dengan tinggi batang antara
2-5 meter dan tidak bercabang(Indrawanto, 2010).
Daun tebu berbentuk busur panah seperti pita, berseling kanan dan kiri,
berpelepah seperti daun jagung dan tak bertangkai. Tulang daun sejajar, ditengah berlekuk. Tepi daun kadang-kadang bergelombang serta berbulu keras (Indrawanto, 2010).
Bunga tebu berupa malai dengan panjang antara 50-80 cm. Cabang bunga pada tahap pertama berupa karangan bunga dan pada tahap selanjutnya berupa
dua kepala putik dan bakal biji. Buah tebu seperti padi, memiliki satu biji dengan besar lembaga 1/3 panjang biji. Biji tebu dapat ditanam di kebun percobaan untuk mendapatkan jenis baru hasil persilangan yang lebih unggul (Indrawanto, 2010).
Fase pertumbuhan tanaman dalam proses perkecambahan sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit. Bibit
dengan kualitas yang jelek, misalnya diperoleh dari umur bibit yang sudah tua yang kondisi distribusi air dan hara dalam jaringan lembaga tunas sudah berkurang akan menyulitkan terjadinya inisiasi tumbuh tunas. Selain itu misalnya
kondisi bibit yang terinfeksi hama penyakit akan menyebabkan hambatan dalam proses inisiasi pertunasan dan fase pertumbuhan tanaman lainnya. Kemudian
jumlah bibit yang ditanam sangat mempengaruhi jumlah tunas dan populasi pertumbuhan tanaman. Meskipun pada awal perkecambahan, jumlah tunas berkorelasi dengan jumlah mata yang berinisiasi menjadi tunas, namun
sesungguhnya pola pertumbuhan populasi tebu akan mengalami keseimbangan mencapai populasi optimal disebabkan antara masing-masing tunas akan terjadi persaingan terhadap faktor lingkungan tumbuh. Artinya pola pertumbuhan
populasi tanaman pada periode pertunasan maksimal, akan diikuti penurunan populasi tanaman sampai mencapai pertumbuhan populasi batang optimal
(Soedhono, 2009).
Penggunaan varietas tebu bersifat dinamis. Setiap periode waktu, varietas yang telah lama digunakan secara terus menerus tidak selalu menguntungkan,
sebagai akibat terjadinya penurunan kualitas genetik, kepekaan terhadap hama dan penyakit yang dapat meyebabkan merosotnya perolehan hasil gula. Oleh karena
varietas di lapangan untuk mempersiapkan perolehan varietas pengganti dimana varietas tebu sebaiknya tidak ditanam lebih dari 8 tahun (Soedhono, 2009).
Syarat Tumbuh Iklim
Tanaman tebu dapat tumbuh di daerah beriklim panas dan sedang dengan
daerah penyebaran antara 35ºLS dan 39ºLU. Namun umumnya tanaman tebu tumbuh baik di daerah beriklim tropis. Tebu memerlukan suhu tertentu, yaitu 22 – 27 ºC dengan kelembaban nisbi 65 – 85 % untuk menghasilkan
sukrosa yang tinggi. Di daerah tropik yang bersuhu tinggi, altitude menjadi pembatas kemungkinan pengembangan pengusahaan tebu. Sebagai
perbandingan, umur tanaman tebu memerlukan 12 bulan pada ketinggian bekisar 200 m dpl, sedangkan pada ketinggian 2.500 m dpl memerlukan waktu 24 bulan (Sudiatso, 1999).
Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik didaerah dengan curah hujan berkisar antara 1.000 – 1.300 mm per tahun dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering. Distribusi curah hujan yang ideal untuk pertanaman tebu adalah: pada
periode pertumbuhan vegetatif diperlukan curah hujan yang tinggi (200 mm per bulan) selama 5-6 bulan. Periode selanjutnya selama 2 bulan dengan curah hujan
125 mm dan 4 – 5 bulan dengan curah hujan kurang dari 75 mm/bulan yang merupakan periode kering. Periode ini merupakan periode pertumbuhan generative dan pemasakan tebu (Indrawanto, 2010).
Tanaman tebu membutuhkan penyinaran 12-14 jam setiap harinya. Proses asimilasi akan terjadi secara optimal, apabila daun tanaman memperoleh radiasi
akan mempengaruhi intensitas penyinaran dan berakibat menurunnya proses fotosintesa sehingga pertumbuhan terhambat. Kecepatan angin sangat berperan dalam mengatur keseimbangan kelembaban udara dan kadar CO2 disekitar tajuk
yang mempengaruhi proses fotosintesa. Angin dengan kecepatan kurang dari 10 km/jam disiang hari berdampak positif bagi pertumbuhan tebu, sedangkan angin
dengan kecepatan melebihi 10 km/jam akan mengganggu pertumbuhan tanaman tebu bahkan tanaman tebu dapat patah dan roboh (Indrawanto, 2010).
Tanah
Dilihat dari jenis tanah, tanaman tebu dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah seperti tanah alluvial, grumosol, latosol dan regusol dengan ketinggian
antara 0 – 1400 m diatas permukaan laut. Akan tetapi lahan yang paling sesuai adalah kurang dari 500 m diatas permukaan laut. Sedangkan pada ketinggian > 1200 m diatas permukaan laut pertumbuhan tanaman relative lambat. Kemiringan
lahan sebaiknya kurang dari 8%, meskipun pada kemiringan sampai 10% dapat juga digunakan untuk areal yang dilokalisir. Kondisi lahan terbaik untuk tebu adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2% apabila tanahnya ringan
dan sampai 5 % apabila tanahnya lebih berat (Indrawanto, 2010).
Tanaman tebu dapat tumbuh pada berbagai macam tanah. Tanaman tebu
akan tumbuh baik pada tanah bertekstur lempung-berliat, lempung-berpasir dan lempung-berdebu, dengan kedalaman solum yang cukup dalam (0,5 – 1,0 m) dan drainase baik. Drainase yang jelek dapat mengakibatkan pertumbuhan yang
terhambat karena terjadinya kerusakan-kerusakan pada akar (Wijayanti, 2008). Persyaratan lahan yang dibutuhkan tanaman tebu adalah pada daerah
m di atas permukaaan laut pertumbuhan tebu relatif lambat. Bentuk lahan bergelombang antara 0-15 % dengan kemiringan kurang dari 8 %, kemiringan 10 % dapat juga digunakan untuk areal yang dilokalisasi. Sifat fisik
tanah yang ideal adalah tanah gembur sehingga aerasi udara dan perakaran berkembang sempurna.
Struktur tanah yang baik untuk pertanaman tebu adalah tanah yang gembur sehingga aerasi udara dan perakaran berkembang sempurna, oleh karena itu upaya pemecahan bongkahan tanah atau agregat tanah menjadi partikel-partikel kecil
akan memudahkan akar menerobos. Sedangkan tekstur tanah, yaitu perbandingan partikel - partikel tanah berupa lempung, debu dan liat, yang ideal bagi
pertumbuhan tanaman tebu adalah tekstur tanah ringan sampai agak berat dengan kemampuan menahan air cukup dan porositas 30 %. Tanaman tebu menghendaki solum tanah minimal 50 cm dengan tidak ada lapisan kedap air dan permukaan air
40 cm. Sehingga pada lahan kering, apabila lapisan tanah atasnya tipis maka pengolahan tanah harus dalam. Demikian pula apabila ditemukan lapisan kedap air, lapisan ini harus dipecah agar sistem aerasi, air tanah dan perakaran tanaman
berkembang dengan baik (Indrawanto, 2010).
Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH 6
‐ 7,5, akan tetapi masih toleran pada pH tidak lebih tinggi dari 8,5 atau tidak
lebih rendah dari 4,5. Pada pH yang tinggi ketersediaan unsur hara menjadi terbatas. Sedangkan pada pH kurang dari 5 akan menyebabkan keracunan Fe dan
klor (Cl), kadar Cl dalam tanah sekitar 0,06 – 0,1 % telah bersifat racun bagi akar tanaman (Indrawanto, 2010).
Jarak Tanam Tebu
Pengaturan jarak tanam merupakan suatu usaha untuk mengendalikan lingkungan mikro di sekitar pertanaman. Pengaturan dan penentuan jarak tanam
yang tepat tergantung pada daya kecambah benih, daya tumbuh kecambah, tingkat kesuburan tanah, musim, dan kultivar yang digunakan. Jarak tanam mempengaruhi populasi tanaman dan efisiensi dalam pengunaan cahaya,
kompotisi antar tanaman dalam penggunaan air dan zat hara baik antar tanaman pokok maupun antar tanaman pokok dengan gulma yang pada akhirnya akan
mempengaruhi pertumbuhan dan hasil (Danuwinata, 1998)
Kerapatan tanaman, yang ditentukan oleh jarak tanam dalam barisan dan antar barisan tanaman, akan mempengaruhi penampilan dan produksi tanaman
terutama karena keefisienan penggunaan cahaya. Pada umumnya, produksi yang tinggi per satuan luas akan dicapai dengan populasi yang tinggi, karena tercapainya penggunaan cahaya secara maksimum pada awal pertumbuhan. Akan
tetapi pada akhirnya, penampilan masing-masing tanaman secara individu menurun karena persaingan terhadap cahaya dan faktor-faktor tumbuh lainnya
(Harjadi, 1991).
Jarak tanam berhubungan erat dengan populasi tanaman. Jika jarak tanam antar barisan tetap dan jarak tanam dalam barisan sempit, populasi tanaman tinggi.
Sebaliknya, populasi tanaman rendah bila jarak tanam dalam barisan lebar. Menurut Beets (1982), hasil komunitas tanaman adalah fungsi dari hasil per
dapat menguntungkan, bergantung pada sumberdaya lingkungan. Pada saat sumberdaya yang tersedia terbatas, populasi tanaman rendah (jarak tanam dalam baris lebar), jika sumberdaya berlebih, populasi dapat ditingkatkan (jarak tanam
dalam baris sempit).
Kepadatan populasi tanaman yang tinggi akan mempengaruhi
petumbuhan tanaman dan pada akhirnya penampilan tanaman secara individu akan menurun karena persaingan dalam intersepsi radiasi sinar matahari, absorbs air dan unsur hara serta pengambilan CO2 dan O2. Pengaturan jarak
tanam sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Hal ini akan berpengaruh pada luas daun, berat kering tanaman, sistem perakaran, banyaknya
sinar matahari yang diterima, dan banyaknya unsur hara yang diserap dari dalam tanah. Penggunaan jarak tanam yang tepat akan menaikkan hasil, tetapi penggunaan jarak tanam yang kurang tepat akan menurunkan hasil
(Indrayanti, 2010)
Jarak tanam berhubungan dengan luas atau ruang tumbuh yang ditempatinya dalam penyediaan unsur hara, air dan cahaya. Jarak tanam yang
terlalu lebar kurang efisien dalam pemanfaatan lahan, bila terlalu sempit akan terjadi persaingan yang tinggi yang mengakibatkan produktivitas rendah.
Kepadatan populasi tanaman dapat ditingkatkan sampai mencapai daya dukung lingkungan, karena keterbatasan lingkungan pada akhirnya akan menjadi pembatas pertumbuhan tanaman. Menurut prinsip faktor pembatas leibig, materi
esensial yang tersedia minimum cenderung menjadi faktor pembatas pertumbuhan Odum (1959) dan Boughey (1968) dalam Herlina (2011). Pengaturan kepadatan
dimaksudkan untuk menekan kompetisi antara tanaman. Setiap jenis tanaman mempunyai kepadatan populasi tanaman yang optimum untuk mendapatkan produksi yang maksimum. Apabila tingkat kesuburan tanah dan air tersedia
cukup, maka kepadatan populasi tanaman yang optimum ditentukan oleh kompetisi di atas tanah daripada di dalam tanah atau sebaliknya (Herlina, 2011).
Jarak tanam yang terlalu jarang mengakibatkan besarnya proses penguapan air dari dalam tanah, sehingga proses pertumbuhan dan perkembangan terganggu. Sebaliknya jarak tanam yang terlalu rapat
menyebabkan terjadinya persaingan tanaman dalam memperoleh air, unsur hara dan intensitas matahari. Tingkat kerapatan tanaman berhubungan dengan
populasi tanaman dan sangat menentukan hasil tanaman (Marliah, et al., 2012) Jarak tanam di dalamn dan antara barisan (leng, juringan, jolangan) berpengaruh baik terhadap pertunasan maupun jumlah batang yang diperoleh pada
saat panenan atau tebang. Umumnya makin rapat jarak tanam, makin tinggi jumlah batang tebu giling yang diperoleh pada saat panen atau tebang. Sejumlah percobaan lapangan di Jawa menunjukan adanya hubungan erat antara varietas
tebu dan jarak barisan (leng, juringan, jolangan) tanaman optimum yang akan memberikan hasil dan gula maksimal (Pawirosemadi, 2011)
Sistem single bud planting (SBP) di Colombia menggunakan jarak tanam 60 cm dengan jarak pusat ke pusat/antar baris (pkp) sebesar 165 cm. Pada tahap awal Sukramen, et al tidak berani menggunakan jarak tanam/pkp selebar itu,
sehingga sebagian besar kebun – kebun SPB masih menggunakan jarak tanam/pkp konvensional (jarak tanam 30 – 40 cm; pkp 100 – 110 cm). Namun Sukarmen
160 cm). Terkait dengan jarak tanam/pkp ini, dapat disimpulkan bahwa dengan bibit SBP yang anakkannya lebih banyak, maka dengan jarak tanam yang lebih besar hasil tebu (yield, ton tebu/ha) lebih tinggi (Sukarmen, et al., 2011).
Dalam sistem tanam juring tunggal, penggunaan pkp lebar (130 cm) mampu meningkatkan distribusi cahaya dalam tajuk tanaman sebesar 7,9% dari
pkp rapat (110 cm). Peningkatan distribusi cahaya tersebut menyebabkan peningkatan diameter batang sebesar 5,5%, bobot batang per tanaman sebesar 8,4% dan bobot per meter batang sebesar 9,5%. Adapun jumlah batang per meter
juring yang diperoleh kedua pkp tersebut yang tidak ada perbedaan. Meskipun penggunaan pkp lebar mampu meningkatkan bobot batang per tanaman, namun
peningkatan tersebut lebih rendah dibanding dengan peningkatan faktor juring (18,4%) yang diperoleh pkp rapat. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan pkp rapat dalam sistem tanam juring tunggal menghasilkan produktivitas 11,3% lebih
tinggi dibanding pkp lebar (Djumali, 2014)
Dalam penelitian Rohedin (2012) menyatakan bahwa jarak tanam antar barisan dengan dosis pupuk nitrogen berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tinggi batang umur 6 bulan setelah tanam (BST), jumlah ruas batang per tanaman, jumlah batang per petak, kandungan klorofil daun dan bobot basah batang bibit
tebu per petak. Sejalan dengan penelitian Basaroji (2013) yang menyatakan bahwa perlakuan jarak tanam berpengaruh sangat nyata terjadi pada variabel pengamatan jumlah daun pada umur 1, 2, 3, dan 4 bulan setelah tanam, jumlah anakkan
Pupuk Nitrogen
Nitrogen merupakan bahan penyusun asam amino, amida, basa bernitrogen, protein, dan nukleoprotein. Nitrogen juga dibutuhkan untuk
membentuk senyawa penting seperti klorofil, asam nukleat, dan enzim. Karena itu, Nitrogen dibutuhkan dalam jumlah relatif besar pada setiap tahap
pertumbuhan tanaman khususnya pada tahap pertumbuhan vegetatif, seperti pada pembentukan tunas, atau perkembangan batang dan daun (Novizan, 2003).
Nitrogen diserap oleh tanaman dengan kuantitas terbanyak dibandingkan
dengan unsur lain yang didapatkan dari tanah. Sumber nitrogen di dalam tanah adalah dari fiksasi oleh mikroorganisme, air irigasi dan hujan, absorpsi amoniak,
perombakan bahan organik, dan pemupukan. Nitrogen di dalam tanah mempunyai dua bentuk utama, yaitu nitrogen organik dan nitrogen anorganik berupa amonium (NH4), amoniak (NH3), nitrit (NO2), dan nitrat ( NO3) (Stevenson, 1982). Nitrogen
diserap tanaman dalam bentuk NO3 dan NH4. Nitrogen dalam bentuk anorganik
dijumpai dalam bentuk ion-ion yang berada di dalam larutan tanah, yang berada di kompleks adsorpsi, atau dalam bentuk ion amonium yang terfiksasi pada kisi
mineral liat ( Hanafiah et al., 2009). Pemberian nitrogen pada tanaman tebu akan meningkatkan populasi batang tebu, peningkatan pupuk nitrogen akan selalu
meningkatkan jumlah tunas hingga tercapai suatu optimum, sehingga penambahan nitrogen berikutnya tidak akan memberikan pengaruh lagi (Pawirosemadi, 2012).
Nitrogen (N) merupakan unsur hara yang paling penting. Kebutuhan
tanaman akan N lebih tinggi dibandingkan dengan unsur hara lainnya, selain itu N merupakan faktor pembatas bagi produktivitas tanaman. Kekurangan N akan
selain menghambat pertumbuhan tanaman juga akan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan (Duan, et al., 2007).
Suplai N yang cukup ditunjukkan dengan adanya aktivitas fotosintesis
yang tinggi, pertumbuhan vegetatif yang vigor, dan warna daun yang hijau tua Tumbuhan yang terlalu banyak mendapatkan N biasanya mempunyai daun yang
berwarna hijau tua dan lebat dengan sistem akar yang kerdil sehingga nisbah tajuk dan akar tinggi. Hal ini diduga karena terjadinya penurunan jumlah gula yang tersedia untuk ditranslokasikan ke akar (Salisbury dan Ross, 1995).
Nitrogen merupakan salah satu unsur hara makro primer yang sangat diperlukan oleh tanaman tebu, sehingga seringkali diperlukan pemupukan N untuk
mengoptimalkan pertumbuhan dan hasil tebu. Dosis pupuk N tergantung pada tingkat kesuburan tanah, kandungan bahan organik tanah, tekstur tanah, KTK, dan jumlah biomas tanaman yang dihasilkan. Kelebihan dan kekurangan nitrogen
menyebabkan gangguan pada pertumbuhan tanaman, produksi dan kwalitasnya. Efisiensi penyerapan nitrogen ditentukan juga oleh jumlah, frekuensi, cara, dan waktu pemupukan N. Analisa daun, analisa tanah dan percobaan pemupukan di
lapangan merupakan dasar pembuatan rekomendasi pemupukan N yang terintegrasi pada pengelolaan yang baik (Soemarno, 2011)
Menurut Novizan (2003), defisiensi Nitrogen menyebabkan tanaman tumbuh lambat dan kerdil. Daunnya berwarna hijau muda. Sementara itu, daundaun yang lebih tua menguning dan akhirnya mengering. Di dalam tubuh
muda. Dengan demikian, pada daun-daun yang lebih tua gejala kekurangan Nitrogen akan terlihat lebih awal.
Menurut Sundara (1998) Nitrogen merupakan unsur hara utama yang
mempengaruhi hasil dan kualitas tebu. Hal ini dibutuhkan untuk pertumbuhan vegetatif, yaitu pembentukan tunas, pembentukan daun, pertumbuhan batang
(pembentukan ruas, pemanjangan ruas, peningkatan ketebalan batang dan bobot batang) dan pertumbuhan akar. Pertumbuhan vegetatif secara langsung berkaitan dengan hasil tebu, sehingga Nitrogen sangat penting untuk meningkatkan
produksi. Kekurangan Nitrogen menyebabkan daun pucat, penuaan pada daun pertama, batang pendek dan kurus, akar menjadi panjang tetapi berukuran lebih
kecil. Kelebihan N juga berbahaya bagi tanaman tebu karena dapat memperpanjang pertumbuhan vegetatif, penundaan kedewasaan dan pematangan, menurunkan kadar gula dalam nira dan dengan demikian menurunkan kemurnian
nira. Selain itu, tanaman tebu menjadi sukulen dan rentan terhadap serangan hama dan penyakit
Efisiensi penggunaan pupuk-N merupakan langkah untuk memberikan
pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman,sehingga tanaman padi dapat menyerap unsur hara secara optimal dan untuk mengurangi tingkat kehilangan N akibat
akumulasi N pada lapisan tanah dalam bentuk NH4 dan NO3 ataupun menjadi gas
seperti NOx. Efisiensi penggunaan pupuk N dipengaruhi oleh (1) rasio respon
tanaman (crop response ratio) terhadap pemberian pupuk tunggal (pupuk-N)
ataupun pupuk majemuk (NPK) yang berkaitan dengan produktivitas tanaman, (2) recovery efficiency, (3) physiological efficiencyyang merupakan tingkat
productivity of fertilizermerupakan perbandingan unsur hara yang terkandung
dalam pupuk (Triyono, et al,. 2013).
Kecukupan pupuk nitrogen sangat menentukan pertumbuhan tanaman.
Indikatornya terlihat jelas pada ukuran daun, tinggi batang, luas permukaan daun dan jumlah anakan tanaman tebu. Kekurangan unsur ini membuat pertumbuhan
tanaman merana, ukuran daun mengecil, kurus dan berwarna kekuningan. Penyebab rendahnya produktivitas pada tanaman tebu memang cukup banyak, salah satu yang cukup dominan adalah masalah pemupukan. Pemberian pupuk
buatan yang terus menerus ternyata membuat tanah menjadi keras dan kecenderungan produktivitasnya semakin rendah. Penggunaan pupuk organik
secara terus menerus tanpa dibantu oleh pemberian pupuk buatan mempunyai kecenderungan produktivitasnya rendah. Namun penggunaan keduanya akan menghasilkan sinergi positip yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman.
Pemberian pupuk nitrogen dalam bentuk urea, ZA masih diperlukan dalam jumlah yang cukup banyak; karena biomas yang dihasilkan tanaman tebu sangat banyak, setiap tahunnya tidak kurang dari 100 ton biomas per ha yang dihasilkan tanaman
dan tidak kembali ke tanah lagi (Soemarno, 2011)
Nitrogen diperlukan tanaman sebagai penyusun semua protein,
klorofil, dan asam-asam nukleat serta berperan penting dalam pembentukan koenzim (Hanafiah, 2005). Penyediaan nitrogen berhubungan dengan penggunaan karbohidrat. Apabila persediaan nitrogen sedikit maka hanya
sebagian kecil hasil fotosintesis yang diubah menjadi protein dan sisanya diendapkan. Pengendapan karbohidarat menyebabkan sel vegetatif menebal.