• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Bank Indonesia Dalam Kebijakan Pengaturan Peredaran Uang Terhadap Penanggulangan Inflasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Bank Indonesia Dalam Kebijakan Pengaturan Peredaran Uang Terhadap Penanggulangan Inflasi"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdullah, Burhanuddin. Strategi Kebijakan Moneter dalam Mendorong

Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan. Bandung: Universitas Padjajaran, 2003

Anderson, James E. Public Policy Making. New York: Holt, Rinehart and

Winston, 1984

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta, 2010

Bambang, Waluyo. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,

2002

Bank Indonesia. Ikhtisar Undang-undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank

Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia, 1999

Boediono. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE, 1998

Dendawijaya, Lukman. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009

Djauhari, Ramdan Achmad. Pengaruh Ketidakseimbangan Eksternal Terhadap

Kebijakan Moneter Dan Neraca Pembayaran Di Indonesia. Jakarta : Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 2007

Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2000

Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern, cetakan pertama. Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 1999

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya:

Bayu Media, 2007

Iswardono. Uang Dan Bank. Yogyakarta: BPFE,1991

Julaihah, Umi. Analisis Dampak Kebijakan Moneter Terhadap Variabel

Makreoekonomi di Indonesia. Jakarta : Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 2007

K, Rimsky Judisseno. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. Jakarta:

(2)

Kasmir. Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Kuncoro, Mudrajat. Ekonomi Pembangunan Teori, Masalah Dan Kebijakan.

Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2004

Manurung, Mandala. Uang, Perbankan, Dan Ekonomi Moneter. Jakarta : Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia, 2004

Mishkin, Frederick. Ekonomi Uang, Perbankan, Pasar Keuangan 2. Jakarta:

Salemba Empat, 2009

Nazil, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010

Nopirin. Ekonomi Moneter II. Yogyakarta: BPFE, 1992

Perry Warjiyo dan Solikin. Kebijakan Moneter Di Indonesia. Jakarta: Pusat

Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, 2003

Pramono, Nindyo. Mengenal Lembaga Perbankan Di Indonesia. Yogyakarta:

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1999

Prijambodo, Bambang. Evaluasi Implementasi Langkah-Langkah Penguatan

Kebiakan Moneter Dengan Sasaran Akhir Kestabilan Harga. Jakarta: Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 2006

R, Ridwan H.Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003

Rachbini, Didik J. Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral. Jakarta:

PT. Mardi Mulyo, 2000

Raharjo, Dawam. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta:

LP3ES, 1995

Samuelson, Paul A. Makro Ekonomi. Jakarta:IKAPI, 1997

Santoso, Agus. Tugas Dan Kedudukan Bank Indonesia Menurut Pasal 23 D UUD

1945, Jakarta: Bank Indonesia, 2003

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986

Solikin dan Imam Sugema. Respon Kebijakan Moneter Yang Optimal Di Indonesia. Jakarta: Buletin Ekonomi Dan Perbankan, 2004

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press,

2010

(3)

176

Suryabrata, Sumaidi. Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo, 2004

Tambunan, Tulus. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000

Tarmidi, Lepi T. Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan

Saran. Jakarta: Bank Indonesia, 1999

To, Oey Beng. Sejarah Kebijakan Moneter Di Indonesia. Jakarta : Lembaga

Pembangunan Perbankan Indonesia, 1991

B. Undang-Undang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia

C. Makalah Seminar

Nopirin, Kebijakan Moneter Dengan Target Inflasi, Yogyakarta, 29 September

2000

D. Jurnal

Falaakh, Mohammad Fajrul. Bank Sentral Dalam Hukum Konstitusi. Mimbar

Hukum, UGM, No. 2, Vol. 41, 2009

Ismail, Maqdir. Bank Indonesia Dalam Tata Pemerintahan Indonesia. Jurnal

Hukum, FH Univ. Al-Azhar Indonesia, No. 3, Vol. 17, 2010

Permono, Iswardono S. Kebijakan Moneer Di Indonesia (Indonesian monetary

Policy). Journal of Economics, FE UII, No. 2, Vol. 3, 1997

E. Skripsi

Kausarina, Riezka. Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Tingkat

(4)

Purba, Maris. Status Dan Kedudukan Hukum Bank Indonesia Menurut UU No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral Dan UU no. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2006

F. Website

Kebijaka Oktober 2015)

Kebijakan Moneter

Kedudukan Aturan Kebijaka tanggal 11 Februari 2016)

Kebijakan Moneter, pada tanggal 14 Februari 2016)

Arif Christiono, Kedudukan Hukum Peraturan /Kebijakan Dibawah Peraturan

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapenas, www.birohukum.bappenas.go.id, (Diakses pada tanggal 11 Februari 2016)

G. Lain-lain

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Bank Indonesia. Naskah Bank Indonesia 25 Tahun. Jakarta: Bank Indonesia, 1993

Bank Indonesia. Sosialisasi ITF Paket A Murni. Jakarta: Bank Indonesia, 2006

Bank Indonesia. Sosialisasi ITF Paket B. Jakarta: Bank Indonesia, 2006

Bank Indonesia. Sosialisasi ITF Paket C. Jakarta:Bank Indonesia, 2006

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan

I-2006. Jakarta : Bank Indonesia, 2006

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan II-2006. Jakarta : Bank Indonesia, 2006

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

(5)

178

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV-2006. Jakarta : Bank Indonesia, 2006

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan

I-2007. Jakarta : Bank Indonesia, 2007

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan II-2007. Jakarta : Bank Indonesia, 2007

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan III-2007. Jakarta : Bank Indonesia, 2007

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV-2007. Jakarta : Bank Indonesia, 2007

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan

I-2008. Jakarta : Bank Indonesia, 2008

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan II-2008. Jakarta : Bank Indonesia, 2008

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan III-2008. Jakarta : Bank Indonesia, 2008

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV-2008. Jakarta : Bank Indonesia, 2008

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan

I-2009. Jakarta : Bank Indonesia, 2009

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan II-2009. Jakarta : Bank Indonesia, 2009

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

(6)

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV-2009. Jakarta : Bank Indonesia, 2009

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan

I-2010. Jakarta : Bank Indonesia, 2010

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan II-2010. Jakarta : Bank Indonesia, 2010

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan III-2010. Jakarta : Bank Indonesia, 2010

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV-2010. Jakarta : Bank Indonesia, 2010

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan

I-2011. Jakarta : Bank Indonesia, 2011

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan II-2011. Jakarta : Bank Indonesia, 2011

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan III-2011. Jakarta : Bank Indonesia, 2011

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV-2011. Jakarta : Bank Indonesia, 2011

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan

I-2012. Jakarta : Bank Indonesia, 2012

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan II-2012. Jakarta : Bank Indonesia, 2012

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

(7)

180

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV-2012. Jakarta : Bank Indonesia, 2012

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan

I-2013. Jakarta : Bank Indonesia, 2013

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan II-2013. Jakarta : Bank Indonesia, 2013

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan III-2013. Jakarta : Bank Indonesia, 2013

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV-2013. Jakarta : Bank Indonesia, 2013

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan

I-2014. Jakarta : Bank Indonesia, 2014

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan II-2014. Jakarta : Bank Indonesia, 2014

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan III-2014. Jakarta : Bank Indonesia, 2014

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV-2014. Jakarta : Bank Indonesia, 2014

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan

I-2015. Jakarta : Bank Indonesia, 2015

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan II-2015. Jakarta : Bank Indonesia, 2015

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan:

(8)

Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia. Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV-2015. Jakarta : Bank Indonesia, 2015

Perwono, Iswardono. Kebijakan Moneter Di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru

(9)

BAB III

PERANAN BANK INDONESIA DALAM KEBIJAKAN PENGATURAN PEREDARAN UANG TERHADAP PENANGGULANGAN INFLASI

A. Kedudukan Kebijakan Dalam Sistem Hukum Di Indonesia

Kenyataan sehari-hari, badan atau pejabat administrasi negara seringkali

menempuh berbagai langkah kebijakan tertentu, antara lain menciptakan apa yang

sering dinamakan aturan kebijakan (beleidsregel, policy rule). Produk semacam

ini tidak terlepas dari kaitan penggunaan freies ermessen, yaitu kebijakan yang

bersifat bebas (vrijbeleid) ditetapkan oleh pejabat administrasi negara berdasarkan

kewenangan kebebasan yang bersangkutan merumuskan kebijakan dalam pelbagai

bentuk seperti peraturan, pedoman, pengumuman, dan surat edaran.67

Kebijakan yang bersifat bebas ditetapkan dan dijalankan oleh pejabat

administrasi negara dalam rangka menyelesaikan suatu keadaan (masalah konkret)

yang pada dasarnya belum ada aturannya atau belum diatur dalam undang-undang

(peraturan perundang-undangan).68

Kebijakan pejabat administrasi negara dalam menegakkan asas konsistensi

yang bersifat bebas perlu dituangkan dalam suatu bentuk formal atau suatu format

tertentu yang lazim disebut peraturan kebijakan. Dengan demikian peraturan

kebijakan merupakan produk kebijakan yang bersifat bebas yang ditetapkan oleh

pejabat-pejabat administrasi negara dalam rangka menyelenggarakan tugas

pemerintahan. Kebijakan pejabat administrasi negara tersebut kemudian

67

Arif Christiono, Kedudukan Hukum Peraturan /Kebijakan Dibawah Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapenas, www.birohukum.bappenas.go.id , diakses pada tanggal 11Februari 2016 19.53

(10)

dituangkan dalam suatu format tertentu supaya dapat diberlakukan secara umum

(berlaku sama bagi setiap warga negara).69

Kebijakan memiliki unsur, yaitu:70

1. Kebijakan merupakan tata aturan, apabila dilihat dari tampak luar

seolah-olah tata aturan biasa seperti halnya dengan peraturan

perundang-undangan yang dikenal jenis, bentuk dan tata urutannya. Namun, disebut

legislasi semu karena menyerupai peraturan perundang-undangan, namun

sebenarnya bukan perundang-undangan;

2. Kebijakan dibuat oleh organ pemerintahan yang bersangkutan, berarti

legislasi semu dibentuk, diterbitkan atau dibuat oleh badan-badan

pemerintahan (badan tata usaha negara) baik di tingkat pusat maupun

daerah, yang menyelenggarakan tugas umum pemerintahan;

3. Kebijakan dibuat tidak berdasarkan kepada suatu ketentuan

perundang-undangan yang secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah

untuk membentuk atau menerbitkannya. Pemberian kewenangan

mengeluarkan legislasi semu (aturan kebijakan tersebut) merupakan

doktrin dalam hukum tata pemerintahan. Hukum tata pemerintahan

menegaskan bahwa suatu organ pemerintahan dibolehkan memiliki

kewenangan secara implisit untuk menyusun aturan kebijakan dalam

rangka menjalankan tugas umum pemerintahan.

4. Substansi kebijakan tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan;

69 Ibid. 70

(11)

44

Menurut Bagir Manan dengan adanya peraturan kebijakan akan menjamin

ketaatasasan tindakan administrasi negara dan untuk setiap peristiwa yang

mengandung persamaan, kepastian hukum dan tindakan-tindakan dapat dipercaya

karena didasarkan pada peraturan yang sudah tertentu.71

Kebijakan pejabat administrasi negara yang bersifat bebas dituangkan

dalam suatu peraturan kebijakan, setiap anggota masyarakat dapat dengan mudah

mengetahuinya sehingga setiap orang yang memenuhi syarat-syarat memiliki

kesempatan dan peluang yang sama untuk memperoleh keuntungan-keuntungan

yang mungkin dapat diperoleh dari kebijakan tersebut.72

Pembentukan peraturan kebijakan dalam praktik penyelenggaraan

pemerintahan merupakan suatu hal yang lumrah terjadi. Menurut Philipus M.

Hadjon “pelaksanaan pemerintahan sehari-hari menunjukkan betapa badan atau

pejabat administrasi negara acapkali menempuh berbagai langkah kebijaksanaan

tertentu, antara lain menciptakan apa yang kini sering dinamakan peraturan

kebijaksanaan (beleidsregel, policy rule)”. dengan demikian, jelas ada hubungan

yang erat antara asas diskresi atau asas freies ermessen dengan peraturan

kebijakan. Peraturan kebijakan adalah wujud formal kebijakan yang ditetapkan

oleh pejabat administrasi negara berdasarkan asas diskresi tersebut.73

Bentuk formal peraturan kebijakan dalam hal tertentu sering tidak berbeda

atau tidak dapat dibedakan dari format peraturan perundang-undangan. Menurut

A. Hamid S Attamimi: “dilihat dari bentuk dan formatnya, peraturan kebijakan

sama benar dengan peraturan perundang-undangan, lengkap dengan pembukaan

berupa konsiderans “menimbang” dan dasar hukum “mengingat”, batang tubuh

71

Arif Christiono, Loc. Cit. 72

Ibid., hlm 5 73

(12)

yang berupa pasal-pasal, bagian-bagian dan bab-bab serta penutup, yang

sepenuhnya menyerupai peraturan perundang-undangan”.74

Selain memiliki persamaan dengan peraturan perundang-undangan

sebagaimana dikemukakan diatas, ada juga peraturan kebijakan yang berbeda

dengan peraturan perundang-undangan dari segi bentuk formalnya. Oleh karena

itu, peraturan-peraturan kebijakan tersebut dengan mudah dibedakan dari

peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, format peraturan kebijakan

tersebut tersebut lebih sederhana daripada format peraturan perundang-undangan

misalnya nota dinas, surat edaran, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis,

pengumuman dan sebagainya.75

Meskipun ada bentuk peraturan kebijakan yang memiliki persamaan

dengan peraturan perundang-undangan, namun Bagir Manan secara tegas

mengemukakan bahwa peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan

perundang-undangan: “peraturan kebijakan bukan peraturan perundang-undangan,

meskipun menunjukkan sifat atau gejala sebagai peraturan

perundang-undangan”76

Pejabat administrasi negara dalam perspektif teori hukum administrasi

negara adalah sebagai subyek hukum atau sebagai pendukung hak-hak dan

kewajiban-kewajiban. Sebagai subyek hukum, pejabat administrasi negara

melakukan berbagai tindakan baik tindakan nyata maupun tindakan hukum.

Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan

hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum, sedangkan

tindakan hukum pejabat admnistrasi negara itu merupakan pernyataan kehendak

74

Ibid., hlm. 5 75

Ibid., hlm. 5 76

(13)

46

sepihak dari organ pemerintahan dan membawa akibat pada hubungan hukum

atau keadaan hukum yang ada, maka kehendak organ tersebut tidak boleh

mengandung cacat seperti kekhilafan / dwalling, penipuan / bedrog, paksaan /

dwang, dan lain-lain yang menyebabkan akibat-akibat hukum yang tidak sah.

Disamping itu, karena setiap tindakan hukum itu harus didasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku, maka dengan sendirinya tindakan tersebut

tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan yang bersangkutan,

yang dapat menyebabkan akibat-akibat hukum yang muncul itu batal / nietig atau

dapat dibatalkan / nietigbaar.77

Para pejabat admnistrasi negara memang diberikan fries ernessen yaitu

membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya, atau

mengimplementasikan peraturan yang sesuai dengan kenyataan. Pencakupan yang

demikian disebut discretionary power. Selain itu pejabat administrasi negara

mempunyai droit function yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas

maupun mempersempit) sendiri mengenai ketentuan-ketentuan yang bersifat

enusiatif.78

Penggunanaan, “keistimewaan-keistimewaan” tersebut juga ada

pembatasannya berupa syarat-syarat, yaitu:79

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut

dilakukan,

3. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya,

77

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 81

78 Ibid. 79

(14)

4. Pertimbangan yang layak berdasar keadaan yang memaksa dan,

5. Tetap menghormati hak asasi manusia.

Sumber utama hukum positif di Indonesia adalah peraturan

perundang-undangan, maka kedudukan peraturan perundangan di Indonesia sangat kuat.

Sedangkan sudah dibahas sebelumnya jika kebijakan bukanlah bagian dalam

peraturan perundangan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12

tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun masuk

kedalam lingkup aturan kebijakan / fries ernessen pejabat administrasi negara.

Walaupun begitu bukan berarti kebijakan tidaklah penting. Dewasa ini kebutuhan

dan kepentingan manusia berkembang secara dinamis dan cepat, sehingga

peraturan perundangan seringkali tidak bisa mengakomodasinya secara tuntas.80

Kebijakan di Indonesia dikonsepkan sekedar menjelaskan dan / atau

memberi petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan

mendesak yang belum ada / belum jelas aturannya di peraturan perundangan

sebagai sumber utama hukum positif di Indonesia, bukan untuk menentang hukum

atau peraturan perundangan. Peraturan perundangan umumnya memuat

pasal-pasal sanksi hukum bagi pelanggar ketentuan persyaratan yang sudah ditetapkan

oleh peraturan perundangan tersebut, sedangkan kebijakan hanyalah aturan dari

pejabat yang tidak memiliki akibat hukum apapun. Jadi apabila terjadi

pertentangan antara peraturan perundangan dan kebijakan maka peraturan

perundangan memiliki kedudukan yang lebih kuat (seharusnya) lebih didahulukan

daripada kebijakan tersebut.81

80

Ibid. hlm. 82 81

(15)

48

B. Kebijakan Bank Indonesia Dalam Pengaturan Peredaran Uang

1. Kebijakan Peredaran Uang

Perekonomian suatu negara, jika pemerintah memandang bahwa

pembangunan ekonomi yang berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka

pemerintah akan mengambil serangkaian tindakan kebijakan untuk menstabilkan

kembali situasi perekonomian tersebut. Diantaranya kebijakan peredaran uang.

Lembaga yang paling berwenang mengambil langkah kebijakan peredaran uang

ialah Bank Sentral, dalam hal ini Bank Indonesia.82

Mengutip pendapat Mankiw dinyatakan bahwa : “Monetary policy is not

easy. Central bankers have multiple objectives and over time, must confront a

variety of economic circumstances. They know their actions have powerful effects

on the economy, but timing, magnitude, and channel of those effects are not fully

understood. Their job is made all the more difficult by widespread disagreements

among economists. Some economists view monetary policy as a potential cure of

economic fluctuations. Others would be satisfied if monetary policy could avoid

being a cause of fluctuations.”83

Kebijakan peredaran uang, menurut Warjiyo dan Solikin merupakan

kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran

moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan.

Dalam hal ini, besaran moneter antara lain dapat berupa Jumlah Uang Beredar

(JUB), uang primer atau kredit perbankan. Dalam prakteknya, kegiatan

perekonomian yang diinginkan tersebut adalah stabilitas ekonomi makro yang

82

Frederick Mishkin, Ekonomi Uang, Perbankan, Pasar Keuangan 2 ( Jakarta: Salemba Empat, 2009) hlm. 62

83

(16)

antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya

perkembangan real output (pertumbuhan ekonomi), serta cukup luasnya

kesempatan kerja yang tersedia. Efektivitas kebijakan peredaran uang tersebut

tergantung pada hubungan antara uang beredar dengan variabel ekonomi seperti

output dan inflasi.84

Kebijakan peredaran uang juga merupakan proses mengatur persediaan

uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi,

mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan peredaran uang dapat

melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, margin requirement, kapitalisasi

untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui

persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.85

Kebijakan peredaran uang pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang

bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang

tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal

(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro,

yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja,

kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila

kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan peredaran

uang dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan

peredaran uang pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang

kemudian ditransfer pada sektor riil.86

84 Ibid. 85

Kebijakan Moneter, tanggal14 Februari 2016 16.12

(17)

50

Sampai saat ini ada beberapa perbedaan pendapat mengenai bagaimana

uang mempengaruhi perekonomian serta transmisi (jalur pengaruh) perubahan

Jumlah Uang Beredar. Sehingga ada beberapa jalur yang bisa dipakai untuk

menerangkan bagaimana perubahan Jumlah Uang Beredar mempengaruhi

kegiatan ekonomi:87

a. Jalur Biaya Modal (The Cost Of Capital Channel)

Menurut Keynes, tingkat bunga merupakan penghubung utama

antara sektor moneter dan sektor riil. Misalnya, perubahan jumlah uang

yang akan beredar akan mempengaruhi tingkat bunga. Selanjutnya,

melalui perubahan tingkat bunga pemerintah akan dapat mempengaruhi

investasi atau mungkin juga konsumsi yang selanjutnya akan

mempengaruhi investasi atau mungkin juga konsumsi, yang selanjutnya

akan mempengaruhi pula permintaan agregat atau pengeluaran total.

Perubahan dalam pengeluaran total pada akhirnya mempengaruhi

keseimbangan pendapatan nasional (GDP) riil. Dengan demikian, tingkat

bunga uang merupakan biaya modal dapat dipandang sebagai indikator

pengaruh kebjakan moneter / sektor moneter terhadap keseimbangan

pendapatan nasional (sektor riil).

b. Jalur Kekayaan (Wealth Channel)

Pengaruh perubahan Jumlah Uang Beredar terhadap pendapatan

nasional dapat juga diterangkan melalui jalur kekayaan. Pengertian

kekayaan disini meliputi :

a. Barang Fisik ( tanah, rumah, dan sebagainya)

87

(18)

b. Surat Berharga

c. Uang Tunai

Hubungan antara kekayaan dengan pengeluaran total ialah

perubahan nilai uang kas riil (real cash balance) baik disebabkan oleh

karena turunnya harga (dengan jumlah uang tetap) ataupun naiknya

Jumlah Uang Beredar (dengan harga tetap) akan mempengaruhi tingkat

konsumsi yang merupakan bagian dari pengeluaran total. Perubahan

pengeluaran uang total ini pada gilirannya akan mempengaruhi

keseimbangan pendapatan. Dengan demikian, kebijakan peredaran uang

akan mempengaruhi jumlah kekayaan (uang) yang selanjutnya akan

mempengaruhi konsumsi melalui apa yang disebut real cash balance atau

Pigou effect.

c. Jalur Harga Relatif (Teori Portofolio)

Teori portofolio merupakan dasar yang rasional mengapa

seseorang memegang sesuatu (beberapa) kekayaan tertentu termasuk

dalam bentuk uang. Beberapa anggapan teori ini antara lain sebagai

berikut :

1) Setiap orang akan selalu berusaha untuk menyamakan

pendapatan marginal (marginal return) dari masing-masing

bentuk kekayaan dalam portofolionya.

2) Bertambahnya salah satu bentuk kekayaan akan

menurunkan harga bentuk kekayaan tersebut relatif

(19)

52

3) Individu tersebut akan menukarkan bentuk kekayaan yang

harganya turun tersebut dengan bentuk kekayaan lain yang

harganya lebih tinggi.

4) Proses penukaran tersebut (juga proses perubahan susunan

bentuk kekayaan akan berjalan terus) sampai pendapatan

marginal dari masing-masing bentuk kekayaan sama besar.

Perubahan harga relatif yang terjadi sebenarnya merupakan

konsekuensi dari proses penyusunan portofolio seseorang. Misalnya,

penambahan jumlah uang sebagai akibat dari kebijakan peredaran uang

membeli surat berharga oleh Bank Indonesia, akan menyebabkan individu

kelebihan uang kas dalam portofolionya, yang kemudian ia akan

menukarkan kelebihan uang kasnya dalam bentuk kekayaan lain. Harga

kekayaan lain akan naik, produksi (termasuk investasi) pada bentuk

kekayaan lain juga akan naik. Dengan naiknya investasi maka akan

menaikkan pendapatan, sehingga jelaslah dari contoh diatas bahwa

kenaikan jumlah uang akan menaikkan pendapatan nasional.

d. Jalur Langsung (Teori Monetaris)

Teori ini menjelaskan bahwa kebijakan peredaran uang bisa

mempengaruhi pendapatan nasional secara langsung. Menurut teori ini,

karena sebenarnya mekanisme transmisi itu begitu kompleks, maka sulit

untuk digambarkan, sehingga tidak bisa dinyatakan secara spesifik dan

tidak bisa digambarkan secara terperinci. Pengaruh Jumlah Uang Beredar

terhadap pengeluaran total adalah melalui harga.

(20)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Pasal 10 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menegaskan

bahwa untuk menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia

berwenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan peredaran uang

melalui penetapan sasaran moneter dengan memperhatikan laju inflasi dan

pengendalian moneter.88

Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan peredaran uang diterapkan

dengan menggunakan instrumen langsung dan tidak langsung. Instrumen

langsung adalah instrumen pengendalian peredaran uang yang dapat secara

langsung mempengaruhi sasaran operasional yang diinginkan oleh Bank

Indonesia.89

Instrumen tidak langsung merupakan usaha untuk mengendalikan besaran

moneter dengan cara mempengaruhi neraca Bank Indonesia. Terpenting didalam

instrumen tidak langsung ialah Bank Indonesia dapat mempengaruhi posisi base

money dan base reserve yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kredit dan

penawaran uang. Cara ini disebut tidak langsung karena dalam mencapai sasaran

kebijakan Bank Indonesia dapat mempengaruhi kondisi pasar uang melalui salah

satu fungsinya sebagai badan yang mempunyai wewenang untuk mengedarkan

uang dengan mempengaruhi kondisi yang mendasari permintaan dan penawaran

uang, Usaha untuk mengendalikan besaran moneter juga dilakukan dengan

mempengaruhi neraca Bank Indonesia itu sendiri, khususnya pada sisi pasiva,

yaitu reserve money yang pada gilirannya akan mempengaruhi suku bunga,

88

Maris Purba, Status Dan Kedudukan Hukum Bank Indonesia Menurut UU No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral Dan UU no. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, (Skripsi, Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara), hlm. 32

89

(21)

54

kuantitas uang dan kredit di dalam keseluruhan sistem perbankan.90 Instrumen

yang dapat dipergunakan oleh Bank Indonesia dalam kebijakan peredaran uang,

sebagai berikut :91

a. Fasilitas Diskonto

Fasilitas diskonto merupakan kebijakan yang diambil Bank

Indonesia dengan mengambil suatu tindakan merubah-rubah tingkat bunga

yang harus dibayar oleh bank umum yang meminjam dana

Bank umum harus memenuhi ketentuan cadangan wajib minimum

setiap waktu, maka ia harus meminjam semua cadangan baru dari Bank

Indonesia yang merupakan cadangan kelebihan. Dalam peminjaman

tersebut, Bank Indonesia mengenakan tingkat suku bunga pinjaman yang

dinamakan suku bunga diskonto. Diskonto ini ditetapkan oleh Bank

Indonesia pada saat peminjaman dan bukan pada saat pembayaran kembali

oleh bank umum. Dalam hal ini Bank Indonesia mempunyai wewenang

untuk mengubah suku bunga diskonto tersebut, yang bagi bank-bank

umum suku bunga diskonto tersebut merupakan biaya untuk memperoleh

tambahan cadangan.

Bank Indonesia menaikkan diskonto untuk mengurangi keinginan

dari bank-bank umum untuk meminjam dana dari Bank Indonesia sebab

ongkos untuk meminjam dana dari Bank Indonesia akan naik. Disamping

itu Bank Indonesia juga harus menaikkan suku bunga bank terhadap

pinjaman yang dilakukan masyarakat. Dengan demikian hal ini

menghalangi masyarakat untuk menambah penawaran uang giral dengan

90 Ibid. 91

(22)

meminjam dari bank-bank umum, sehingga akibat selanjutnya adalah

jumlah uang yang beredar di masyarakat dapat ditekan/dikurangi. Hal

sebaliknya terjadi jika Bank Indonesia mengenakan diskonto rendah atas

peminjaman yang dilakukan oleh bank-bank umum, sehingga bank-bank

umum juga menurunkan tingkat suku bunga yang dikenakan pada

peminjaman yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian akan

mendorong pertambahan uang yang beredar di masyarakat.

b. Operasi Pasar Terbuka (Open Market)

Politik Pasar Terbuka merupakan kebijakan dari Bank Indonesia

dalam mempengaruhi likuiditas rupiah di pasar uang yang pada akhirnya

akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Untuk keperluan operasi pasar

terbuka, sejak Februari 1984 Bank Indonesia menerbitkan instrumen

moneter berupa Sertifikat Bank Indonesia (SBI). SBI ini merupakan

instrumen moneter tidak langsung yang dilakukan Bank Indonesia untuk

menyedot kelebihan likuiditas perbankan jika kondisi moneter terlalu

ekspansif. Operasi pasar terbuka merupakan instrumen kebijakan

peredaran uang yang penting karena dapat mempengaruhi suku bunga

ataupun jumlah uang beredar secara lebih efektif. Pelaksanaan operasi

pasar terbuka dilakukan secara terbuka dan pembentukan suku bunganya

ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Selain itu, operasi pasar terbuka

juga dapat dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dengan frekuensi dan

kuantitas sesuai dengan yang diinginkannya,

Operasi pasar terbuka berbentuk jual-beli surat-surat berharga oleh

(23)

56

mekanisme lelang maupun nonlelang. Jika Bank Indonesia ingin

mengurangi jumlah uang beredar (kebijakan uang ketat atau tight money

policy) atau dengan kata lain menekan laju inflasi, maka pemerintah

menarik jumlah uang beredar dari masyarakat dengan jalan membuat

masyarakat semakin banyak membeli SBI. Cara yang dilakukan untuk

menarik minat masyarakat membeli SBI adalah dengan menaikkan tingkat

suku bunga SBI oleh Bank Indonesia. Jika pemerintah ingin menambah

jumlah uang beredar, maka Bank Indonesia dapat menarik SBI yang

berada di masyarakat, maka Bank Indonesia menurunkan tingkat suku

bunga SBI dan ini akan mendorong laju inflasi.

c. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)

Cadangan wajib adalah jumlah alat likuid minimum yang wajib

dipelihara oleh bank dan disebut cadangan primer (primary reserves).

Cadangan primer atau lebih dikenal dengan reserve requirement adalah

instrumen tidak langsung yang merupakan ketentuan Bank Indonesia yang

mewajibkan bank-bank memelihara sejumlah alat likuid sebesar

presentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Sebagian alat likuid tersebut

ada yang harus dipelihara dalam bentuk kas dan ada sebagian lainnya

dalam bentuk rekening giro bank tersebut pada Bank Indonesia,

Cadangan primer ini termasuk instrumen tidak langsung karena

pada satu sisi akan mempengaruhi kemampuan bank memberikan kredit

dan pada sisi lain tingkat suku bunga. Meskipun merupakan instrumen

(24)

non-market based karena jumlah cadangan primer ditentukan oleh Bank

Indonesia.

Rasio Cadangan Wajib yakni peraturan dari Bank Indonesia

kepada bank-bank umum dengan menentukan besar kecilnya tingkat

cadangan minimum. Apabila Bank Indonesia menaikkan cadangan

minimum bank-bank umum akan mengakibatkan berkurangnya ekspansi

pemberian kredit oleh bank-bank umum kepada masyarakat. Hal ini akan

mempengaruhi Jumlah Uang Beredar yang ada di masyarakat secara

berangsur-angsur dan dapat juga berarti menekan inflasi. Sebaliknya

apabila Bank Indonesia menurunkan cadangan minimum maka daya

ekspansi kredit bank umum akan meningkat, sehingga jumlah uang

beredar bertambah.

d. Himbauan Moral (Moral Persuasion)

Himbauan moral adalah kebijakan Bank Indonesia untuk mengatur

Jumlah Uang Beredar dengan jalan memberi himbauan kepada pelaku

ekonomi. Dalam menghindari kemungkinan buruk akibat perluasan

ataupun kontraksi pembelian kredit baik itu terhadap bekerjanya sistem

perbankan maupun kegiatan ekonomi secara keseluruhan, maka

dibutuhkan bujukan / himbauan moral dari otoritas moneter. Persuasi

moral ini bertujuan agar para pelaku ekonomi mentaati kebijakan yang

telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Kebijakan ini akan lebih efektif jika

didukung oleh tindakan yang lebih positif oleh Bank Indonesia, antara lain

dengan cara : pidato-pidato Gubernur Bank Indonesia, publikasi-publikasi

(25)

58

Himbauan ini ditujukan baik terhadap kredit perbankan secara keseluruhan

maupun kepada suatu jenis kredit tertentu atau kepada sektor tertentu.

Kebijakan persuasi moral ini hanya akan bermanfaat pada saat tertentu

saja sampai kebijakan yang fundamental dilakukan.

e. Pengendalian Kredit Selektif ( Selective Credit Control)

Bank Indonesia menerapkan kebijakan pengendalian kredit

selektif untuk membatasi penggunaan kredit yang terlalu besar atau terlalu

cepat pada sektor-sektor tertentu dan terutama untuk mengurangi

penggunaan kredit untuk tujuan spekulasi pembelian surat-surat obligasi.

Caranya adalah dengan menaikkan ketentuan maksimum kredit yang bisa

dipinjam untuk membiayai pembelian spekulatif tersebut, yang dilakukan

dengan menurunkan presentase kredit maksimum yang dapat digunakan

untuk membiayai pembelian tersebut dengan demikian akan mengurangi

permintaan kredit dengan tujuan pembelian spekulatif tersebut.

Pengendalian kredit selektif dengan cara menaikkan menurunkan

minimum pembayaran kredit juga dilakukan dibidang kredit konsumsi

misalnya kredit perumahan. Dengan ini akan menaikkan besarnya

pembayaran cicilan selanjutnya yang akan semakin besar, sehingga

diharapkan akan mempengaruhi terhadap keputusan permintaan kredit

untuk pembelian tersebut. Hal ini dilakukan apabila memang permintaan

kredit untuk pembelian / konsumsi perumahan tadi sudah terlalu besar

(26)

C. Peranan Bank Indonesia Dalam Kebijakan Pengaturan Peredaran Uang Terhadap Penanggulangan Inflasi

1. Inflasi

Inflasi merupakan salah satu peristiwa moneter yang menunjukkan suatu

kecenderungan akan naiknya harga barang-barang secara umum yang berarti

terjani penurunan nilai uang. Kenaikan harga dari satu atau dua jenis barang saja

tidak dapat dikatakan sebagai inflasi, kecuali keadaan tersebut meluas hingga

mengakibatkan kenaikan harga barang-barang jenis lainnya.92 Syarat adanya

kecenderungan menaik yang terus-menerus juga perlu diingat. Kenaikan

harga-harga karena misalnya musiman, menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi

sekali saja dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan tidak disebut inflasi. Kenaikan

harga semacam ini tidak dianggap sebagai salah satu permasalahan ekonomi dan

tidak diperlukan kebijakan khusus untuk menanggulanginya.93

Inflasi juga merupakan suatu kenaikan tingkat harga umum dan laju inflasi

adalah tingkat perubahan dari tingkat harga umum tersebut. Inflasi merupakan

proses kenaikan harga-harga secara umum yang berlangsung terus-menerus dalam

jangka waktu yang lama, yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat

serta jatuhnya nilai riil mata uang yang dinyatakan dalam persentase. Pengertian

inflasi yang lain yaitu tingkat harga agregat naik atau inflasi adalah keadaan

dimana harga barang pada umumnya mengalami kenaikan terutama disebabkan

karena penawaran akan uang jauh melebihi permintaan akan uang.94

92

Rimsky Judisseno K, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia,( Jakarta: Gra \media Pustaka Utama, 2002), hlm. 16

93

Boediono, Ekonomi Moneter Edisi Ke-3, (Yogyakarta: BPFE, 1998), hlm. 161 94

(27)

60

Pengertian-pengertian inflasi tersebut memiliki kesamaan prinsip bahwa

inflasi merupakan suatu fenomena atau dilemma ekonomi. Ada tiga aspek yang

tercakup didalam pengertian inflasi tersebut:95

a. Adanya kecenderungan (tendensi) harga-harga untuk meningkat.

b. Peningkatan harga-harga tersebut berlangsung secara

terus-menerus (substained).

c. Mencakup pengertian “tingkat harga umum” (general level prices)

yang berarti kenaikan harga tidak terjadi untuk satu komoditi saja.

Inflasi terjadi karena jumlah uang yang diedarkan melebihi jumlah uang

yang dibutuhkan masyarakat sehingga terdapat kelebihan dana di masyarakat.

Inflasi yang tinggi akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Jika harga

umum mengalami kenaikan, maka daya beli masyarakat menjadi berkurang

karena pendapat riil masyarakat yang turun. Turunnya daya beli masyarakat suatu

negara menggambarkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

2. Jenis Inflasi

Inflasi dapat dibedakan berdasarkan sifat, laju atau kecepatan, asal ataupun

berdasarkan penyebabnya :

a. Berdasarkan sifatnya :96

1) Inflasi yang merayap (Creeping Inflation)

Inflasi ini ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang

dari 10% tahun), kenaikan harga berjalan secara lambat,

dengan presantase yang kecil serta daam jangka waktu yang

relatif lama.

95 Ibid. 96

(28)

2) Inflasi menengah (galloping inflation)

Inflasi ini ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar

(biasanya double digit atau bahkan triple digit) dan kadang

kala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta

mempunyai sifat akselerasi. Artinya, harga-harga

minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan

seterusnya. Efeknya terhadap perekonomian lebih berat

daripada creeping inflation.

3) Inflasi tinggi (hyper inflation)

Inflasi ini merupakan yang paling parah akibatnya.

Harga-harga naik sampai 5 atau 6 kali. Masyarakat tidak lagi

berkeinginan untuk menyimpan uang karena nilai uang

merosot dengan tajam sehingga masyarakat lebih memilih

untuk menukarkannya dengan barang. Perputaran uang

makin cepat, harga naik secara akselerasi. Inflasi jenis ini

biasanya timbul apabila pemerintah mengalami defisit

anggaran belanja yang ditutupi dengan mencetak uang.

b. Berdasarkan kecepatan atau lanjutnya :97

1) Inflasi ringan :10% setahun

2) Inflasi sedang :10%-30% setahun

3) Inflasi berat :30%-100% setahun

4) Hyper Inflasi :>100% setahun

c. Berdasarkan asalnya :98

97

(29)

62

1) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)

Inflasi yang berasal dari dalam negeri dapat timbul

dikarenakan terjadinya defisit anggaran belanja yang

dibiayai dengan mencetak uang baru, panen yang gagal dan

sebagainya.

2) Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)

Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang

timbul dikarenakan kenaikan harga-harga di luar negeri

atau di negara-negara yang menjadi mitra dagang.

Kenaikan harga barang-barang yang di impor

mengakibatkan :

a) Kenaikan indeks biaya hidup secara langsung

karena sebagian dari barang-barang yang tercakup

didalamnya merupakan barang impor

b) Secara tidak langsung dapat mengakibatkan

kenaikan indeks harga melalui pertambahan biaya

produksi dari berbagai barang yang menggunakan

bahan mentah atau mesin-mesin yang diimpor

c) Secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga

didalam negeri karena kemungkinan kenaikan harga

barang-barang impor mengakibatkan kenaikan

pengeluaran pemerintah atau swasta yang berusaha

mengimbangi kenaikan harga impor tersebut.

98

(30)

d. Berdasarkan penyebabnya :99

1) Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation)

Inflasi ini disebabkan kenaikan permintaan diatas

kemampuan produksi. Inflasi yang terjadi bermula dari

adanya kenaikan permintaan total (agregat demand),

sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan

kerja penuh (full employment). Apabila kesempatan kerja

penuh telah tercapai, penambahan permintaan selanjutnya

hanya akan menaikkan harga saja (sering disebut dengan

inflasi murni). Apabila kenaikan permintaan ini

menyebabkan keseimbangan Gross National Product

(GNP) berada diatas full employment maka akan terdapat

inflationary gap. Inflationary gap inilah yang menyebabkan

inflasi. Inflasi ini terjadi karena bertambahnya pengeluaran

pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang baru,

atau bertambahnya investasi swasta karena memperoleh

kredit murah dari bank. Peningkatan perrmintaan tanpa

diimbangi peningkatan penawaran akan mendorong

peningkatan harga yang pada akhirnya akan terjadi inflasi.

2) Inflasi desakan biaya (cost push inflation)

Inflasi desakan biaya biasanya ditandai dengna kenaikan

harga serta turunnya produksi. Jadi ini berarti inflasi yang

dibarengi dengan resesi. Keadaan ini biasanya dimulai dengan

99

(31)

64

adanya penurunan dalam penawaran total (aggregate supply)

sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Beberapa faktor yang

dapat menyebabkan kenaikan biaya produksi yaitu:

a) Perjuangan serikat buruh yang berhasil untuk

menuntut kenaikan upah.

b) Suatu industri yang sifatnya monopolistis, manager

dapat menggunakan kekuasaannya di pasar untuk

menentukan harga yang lebih tinggi.

c) Kenaikan harga bahan baku industri.

3. Indikator Inflasi

Beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengetahui laju

inflasi selama satu periode tertentu, yaitu :100

a. Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)

Indeks harga konsumen (IHK) adalah angka indeks yang

menunjukkan tingkat harga barang dan jasa dalam satu periode tertentu

yang di konsumsi masyarakat. Angka IHK diperoleh dengan menghitung

harga-harga barang dan jasa utama yang dikonsumsi masyarakat dalm satu

periode tertentu. Masing-masing harga barang dan jasa tersebut diberi

bobot (weighted) berdasarkan tingkat keutamaannya. Barang dan jasa yang

dianggap paling penting diberi bobot yang paling besar.

Di Indonesia, perhitungan IHK dilakukan dengan

mempertimbangkan sekitar beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih

mencerminkan keadaan yang sebenarnya, penghitungan IHK dilakukan

100

(32)

dengan meliha perkembangan regional, yaitu dengan mempertimbangkan

tingkat inflasi kota-kota besar, terutama ibukota propinsi-propinsi di

Indonesia.

b. Indeks Harga Perdagangan Besar (Wholesale Price Index)

Indeksi Harga Perdagangan Besar (IHPB) melihat inflasi dari sisi

produsen (producer price index). IHPB menunjukkan tingkat harga yang

diterima produsen pada berbagai tingkat produksi.

c. Indeks Harga Implisit (GDP Deflator)

IHK dan IHPB memberikan gambaran laju inflasi yang sangat

bermanfaat, namun sangat terbatas. Sebab, dilihat dari metodenya, kedua

indikator tersebut hanya mencakup beberapa puluh atau mungkin ratus

jenis barang dan jasa, di beberapa puluh kota saja. Padahal dalam

kenyataan, jenis barang dan jasa yang diproduksi atau dikonsumsi dalam

sebuah perekonomian dapat mencapai ribuan, puluhan ribu bahkan

mungkin ratusan ribu jenis. Kegiatan ekonomi juga tidak hanya terjadi di

beberapa kota saja, melainkan seluruh pelosok wilayah. Untuk

mendapatkan gambaran inflasi yang paling mewakili keadaan sebenarnya,

dipergunakan indeks harga implisit (IHI).

4. Teori Inflasi

Secara garis besar, teori mengenai inflasi ada tiga yaitu teori kuantitas

(teori Irving Fisher), teori Keynes dan teori strukturalis:101

a. Teori Kuantitas (Teori Irving Fisher)

101

(33)

66

Teori ini sesuai untuk menganilisis sebab-sebab timbulnya inflasi

di negara berkembang karena teori ini lebih menyoroti terjadinya inflasi

yang disebabkan dua faktor berikut :

1) Inflasi hanya bisa terjadi jika ada penambahan volume

jumlah uang beredar (baik uang kartal maupun uang giral).

Tanpa adanya kenaikan jumlah uang beredar maka tidak

akan terjadi inflasi, meskipun terjadi kenaikan harga.

2) Ekspektasi atau harapan masyarakat mengenai kenaikan

harga. Ada tiga kemungkinan keadaan :

a) Pertama, bila masyarakat belum meramalkan

harga-harga untuk naik pada waktu mendatang. Maka

sebagian besar penambahan jumlah uang beredar

akan diterima masyarakat untuk menambah uang

kasnya yang berarti sebagian besar kenaikan jumlah

uang beredar tersebut tidak dibelanjakan untuk

pembelian barang. Hal ini menyebabkan tidak ada

kenaikan permintaan dan tidak ada kenaikan harga

barang-barang. Keadaan ini biasanya dijumpai pada

waktu inflasi dimulai dan masyarakat belum

menyadari adanya inflasi.

b) Kedua, dimana masyarakat mulai sadar akan adanya

inflasi dan meramalkan adanya kenaikan harga

barang-barang pada waktu mendatang. Penambahan

(34)

masyarakat untuk menambah uang kasnya

melainkan untuk membeli barang. Hal ini dilakukan

karena masyarakat ingin menghindari kerugian

akibat memegang uang kas. Keadaan ini berarti

terdapat kenaikan permintaan barang-barang

tersebut dan selanjutnya harga barang-barang

tersebut akan meningkat.

c) Ketiga, merupakan tahapan yang lebih parah yaitu

terhadap hiperinflasi. Dalam keadaan ini masyarakat

sudah kehilangan kepercayaannya terhadap nilai

mata uang. Keadaan ini ditandai dengan makin

cepatnya peredaran uang (velocity of circulation

yang menaik).

b. Teori Keynes

Menurut teori ini, inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup

diluar batas kemampuan ekonominya. Dengan demikian permintaan

masyarakat akan barang melebihi jumlah yang tersedia. Hal ini terjadi

karena masyarakat mengetahui keinginannya dan menjadikan keinginan

tersebut dalam bentuk permintaan yang efektif terhadap barang. Dengan

kata lain, masyarakat berhasil memperoleh dana tambahan diluar batas

kemampuan ekonominya sehingga golongan masyarakat ini bisa

memperoleh barang dengan jumlah yang lebih besar dari yang seharusnya.

Tentunya tidak semua golongan masyarakat bisa memperoleh dana atau

(35)

68

berpenghasilan tetap atau penghasilannya meningkat tidak secepat laju

inflasi. Bila jumlah permintaan barang meningkat, pada tingkat harga

berlaku, melebihi jumlah maksimum dari barang-barang yang bisa

dihasilkan masyarakat, maka inflationary gap akan timbul. Keadaan ini

menyebabkan harga-harga naik dan berarti rencana pembelian barang

tidak dapat terpenuhi. Pada periode selanjutnya, masyarakat akan berusaha

untuk memperoleh dana yang lebih besar lagi (baik dari percetakan uang

baru maupun dari kredit bank dan permintaan kenaikan gaji). Proses

inflasi ini akan tetap berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari

semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan

masyarakat.

c. Teori Strukturalis

Teori ini juga disebut teori inflasi jangka panjang, karena

menyoroti sebab-sebab munculnya inflasi yang berasal dari kekakuan

struktur ekonomi terutama yang terjadi di negara berkembang. Ada dua

kekakuan/ketidakelastisan dalam perekonomian di negara berkembang

yang menimbulkan inflasi, yaitu :

1) Kekakuan dari penerimaan ekspor

Hal ini dikarenakan nilai ekspor tumbuh lebih kecil dari

sektor lain dikarenakan harga di pasar dunia dari

barang-barang ekspor negara tersebut tidak menguntungkan atau

dengan kata lain term of trade semakin memburuk. Hal lain

yang menyebabkan ekspor tumbuh lebih kecil dari sektor

(36)

terhadap kenaikan harga. Hal ini akan mendorong

pemerintah menggalakkan produksi dalam negeri untuk

barang-barang yang sebelumnya diimpor (import

substitution strategy)

2) Kekakuan penawaran bahan makanan di negara

berkembang

Penawaran bahan makanan lebih lambat daripada

pertambahan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita,

sehingga kenaikan harga bahan makanan dalam negeri

cenderung untuk naik melebihi harga barang-barang

lainnya. Akibatnya timbul tuntutan dari buruh untuk

meminta upah yang lebih tinggi. Kenaikan upah berarti

kenaikan ongkos produksi. Kenaikan ongkos produksi akan

mengakibatkan kenaikan harga barang-barang yang

bersangkutan. Kenaikan harga-harga barang tersebut

mendorong terjadinya inflasi yang dikenal dengan istilah

wage push inflation.

2. Peranan Bank Indonesia Dalam Kebijakan Pengaturan Peredaran Uang

Terhadap Penanggulangan Inflasi

Sejak tahun 2000, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1999, Bank Indonesia telah menentukan dan mengumumkan

sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan peredaran uang.

Selanjutnya, dengan amandemen Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004,

(37)

70

menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi untuk jangka pendek dan

menengah yang mencerminkan proses penurunan inflasi secara bertahap

(gradual disinflation) mengarah pada sasaran inflasi jangka

menengah-panjang yang kompetitif dengan negara negara sekitar. Bank Indonesia

telah menempuh sejumlah langkah-langkah penting dalam memperkuat

persyaratan yang diperlukan bagi kebijakan peredaran uang konsisten,

termasuk:102

a. Pengembangan indikator, riset, pemodelan ekonomi untuk secara

lebih baik menganalisis dan memprakirakan inflasi dan variabel

ekonomi lainnya, mekanisme trasnmisi kebijakan peredaran uang,

maupun penentuan respon kebijakan.

b. Rapat Dewan Gubernur (RDG) secara reguler sebagai bagian

integral dan proses perumusan kebijakan peredaran uang.

c. Pengembangan laporan dan media komunikasi untuk transparansi

dan akuntabilitas kebijakan peredaran uang kepada publik.

Sejak Juli 2005, Bank Indonesia melakukan perubahan rezim

kebijakan peredaran uang, dari pendekatan base money menjadi

pendekatan Inflation Targeting Framework (ITF).

ITF merupakan kerangka kerja kebijakan peredaran uang yang

secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi

beberapa tahun kedepan yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan.

102

(38)

ITF Dalam ITF terdapat empat prinsip pokok rezim kebijakan peredaran

uang, yakni :103

a. Memiliki sasaran utama, yaitu sasaran inflasi, yang dijadikan

sebagai prioritas pencapaian (overriding objective) dan acuan

(nominal anchor) kebijakan peredaran uang.

b. Bersifat antisipatif (preemptive atau forward looking) dengan

mengarahkan respon kebijakan peredaran uang saat ini untuk

mencapai sasaran inflasi kedepan.

c. Mendasarkan pada analisis, prakiraan, dan kaidah kebijakan

tertentu dalam menetapkan pertimbangan respon kebijakan

peredaran uang (constrained disrection)

d. Sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good

governance), yaitu berkejalasan tujuan, konsisten, transparan, dan

berakuntabilitas.

Bank Indonesia melakukan beberapa elemen dasar yang menjadi langkah

penguatan kebijakan peredaran uang agar konsisten dengan penerapan ITF,

yakni:104

a. Penggunaan suku bunga (disebut BI Rate) sebagai reference rate

dalam pengendalian moneter, sebagai pengganti sasaran

operasional uang primer.

b. Penguatan proses perumusan kebijakan peredaran uang dengan

strategi antisipatif (forward looking strategy) dalam mengarahkan

103

Ibid., hlm. 9 104

(39)

72

respon kebijakan peredaran uang saat ini untuk pencapaian sasaran

inflasi ke depan.

c. Strategi komunikasi yang lebih transparan untuk memperkuat

sinyal kebijakan peredaran uang kepada pasar dan upaya

pembentukan ekspektasi inflasi.

d. Penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk

meminimalkan tekanan inflasi dari kenaikan administered prices

dan volatile foods maupun untuk sinergi kebijakan ekonomi secara

keseluruhan.

Kerangka kerja kebijakan peredaran uang ini tidak berarti bahwa kebijakan

peredaran uang tidak memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Paradigma dasar

kebijakan peredaran uang untuk menjaga keseimbangan (striking the optimal

balance) dalam pencapaian sasaran inflasi tetap dipertahankan mengingat masih

adanya berbagai faktor ketidakpastian didalam perekonomian Indonesia., baik

yang disebabkan oleh gejolak eksternal maupun domestik. Langkah-langkah

penguatan kebijakan peredaran uang tersebut diperlukan untuk menurunkan dan

mengarahkan ekspektasi inflasi ke arah sasarang yang ditetapkan, mampu

mengatasi kejutan inflasi secara lebih baik, maupun untuk menurunkan volatilitas

output dalam jangka menengah. Kebijakan peredaran uang tetap akan fleksibel

dalam mengakomodasi kejutan-kejutan inflasi temporer tanpa menggangu

pencapaian sasaran inflasi jangka menengah.

Fleksibilitas kebijakan peredaran diwujudkan dalam bentuk respon

kebijakan kebijakan peredaran uang yang ditetapkan yang selalu berupaya

(40)

jalur sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, konsistensi

kebijakan peredaran uang dapat tetap terjaga dengan baik.105

BI Rate adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh

Bank Indonesia secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi

sebagai sinyal kebijakan peredaran uang. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam

operasi moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang (RRT) Suku

Bunga SBI 1 bulan hasil lelang Operasi Pasar Terbuka berada disekitar BI Rate.

Dasar pemilihan SBI satu bulan ialah:

Kerangka kerja yang baru, mulai Juli 2005 suku bunga BI Rate

dipergunakan sebagai sinyal respon kebijakan peredaran uang Bank Indonesia.

Bentuk respon kebijakan peredaran uang dinyatakan dalam kenaikan, penurunan,

atau tidak berubahnya BI Rate. Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi

proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat

permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya. Perubahan

(kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan bertahap

dengan kelipatan 25 bps.

106

a. SBI satu bulan telah dipergunakan secara benchmark oleh

perbankan dan pelaku pasar dalam berbagai aktivitasnya.

b. Penggunaan SBI satu bulan akan memperkuat sinyal respon

kebijakan peredaran uang yang ditempuh Bank Indonesia.

c. Perbaikan kondisi perbankan dan sektor keuangan memperlihatkan

SBI satu bulan terbukti mampu mentransmisikan kebijakan

peredaran uang ke sektor keuangan dan ekonomi.

105

Ibid. hlm. 22 106

(41)

74

Penetapan respon kebijakan peredaran uang dilakukan dalam RDG Bank

Indonesia triwulanan (Januari, April, Juli, Oktober) untuk berlaku selama

triwulanan berjalan (satu triwulan). Apabila diperlukan, perubahan BI Rate dapat

dilakukan dalam RDG Bank Indonesia bulanan. BI Rate dapat ditetapkan oleh

Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan mempertimbangkan :107

a. Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan

dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, dan

b. Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei,

informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion, asesmen

faktor resiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan

kebijakan peredaran uang

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi

tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan peredaran uang.

Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui

perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai

variabel ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir

inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Indonesia,

perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate

mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur

kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi108

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga

deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang

mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan peredaran

107

Ibid., hlm. 23 108

(42)

uang yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas

ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga

permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat.

Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan

untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan

investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah. Sebaliknya, apabila

tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan

menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas perekonomian yang

terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar.

Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh,

akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku

bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong

investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrumen-instrumen keuangan

di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian

yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong

apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor

lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau

kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor.

Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan

ekonomi dan kegiatan perekonomian.109

Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro

melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset

109

(43)

76

seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan

perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk

melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.

Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga

mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku

bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya

inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta

upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen

kepada konsumen melalui kenaikan harga.

Mekanisme transmisi kebijakan peredaran uang ini bekerja memerlukan

waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain.

Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku

bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kondisi sektor keuangan dan

perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan peredaran

uang. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon

perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. Juga,

apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan,

penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu

direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan

suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya

permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu.

(44)

sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi

kebijakan peredaran uang.110

Perumusan kebijakan peredaran uang ditetapkan oleh Dewan Gubernur

melalui mekanisme RDG. Dalam RDG triwulanan dilakukan asesmen

menyeluruh terhadap kondisi makroekonomi, prakiraan inflasi, dan penentuan

respon kebijakan peredaran uang. Sedang dalam RDG bulanan, dilakukan

peninjauan kembali atas perkembangan inflasi, nilai tukar, dan kondisi moneter

dan likuiditas di pasar untuk memonitor dan menilai apakah sesuai dengan

prakiraan yang dilakukan dalam RDG triwulanan. Untuk mendukung proses

perumusan kebijakan peredaran uang oleh Dewan Gubernur, kualitas analisis dan

prakiraan terus ditingkatkan. Disamping sejumlah indikator, survei, riset, dan

pemodelan ekonomi ditingkat nasional, juga Kajian Ekonomi Regional (KER) di

Kantor Bank Indonesia berbagai daerah.

Bank Indonesia dalam meningkatkan kualitas kebijakan peredaran uang

agar lebih efektif, transparan, dapat dipertangung-jawabkan, dan dapat dipercaya

melakukan perumusan kebijakan peredaran uang. Dengan kerangka kerja

kebijakan peredaran uang, secara internal proses perumusan kebijakan peredaran

uang di Bank Indonesia diperkuat dengan strategi antisipatif (forward looking

strategy) dalam mengarahkan respon kebijakan peredaran uang saat ini untuk

pencapaian sasaran inflasi kedepan.

111

Bank Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004

Pasal 7 ayat (2) perlu berkordinasi dengan pemerintah agar kebijakan peredaran

uang Bank Indonesia sejalan dengan kebijakan umum pemerintah dibidang

110

Ibid., hlm. 19 111

(45)

78

perekonomian dengan tetap menjaga tugas dan wewenang masing-masing.

Koordinasi Bank Indonesia dengan pemerintah dalam penetapan sasaran inflasi

dilakukan sesuai dengan MoU yang telah disepakati antara Pemerintah (Menteri

Keuangan) dengan Bank Indonesia, diantaranya adalah:112

a. Bank Indonesia menyampaikan usulan sasaran inflasi kepada

pemerintah selambat-lambatnya bulan Mei pada tahun sebelum

periode sasaran inflasi berakhir.

b. Dalam hal terjadi kondisi yang luar biasa sehingga sasaran inflasi

yang telah ditetapkan menjadi tidak realistis dan perlu direvisa,

maka Bank Indonesia menyampaikan usulan perubahan sasaran

inflasi setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.

Pentingnya keterlibatan Pemerintah dalam menetapkan inflasi didasarkan

pada pertimbangan beberapa faktor. Pertama, tidak semua sumber inflasi di bawah

kendali kebijakan Bank Indonesia. Kebijakan pemerintah turut menyumbang

inflasi, diantaranya adalah penetapan administered price, upah minimum regional,

gaji pegawai negeri, kebijakan di bidang produksi sektoral, perdagangan domestik

<

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang telah dilakukan dengan analisis SWOT terkait dengan evaluasi pengembangan e-tourism di Pulau Lombok diketahui bahwa strategi yang harus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan perilaku konsumsi minuman keras pada remaja di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember adalah

Judul : Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Hamil Dengan Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) Di Wilayah Kerja Puskesmas Maga Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2015..

Faktor pertama ini dicirikan oleh enam subfaktor yaitu dosen memberikan isi kuliah sesuai dengan slide yang ditampilkan, dosen memberikan pengalaman berwirausaha

Proses Dapur Tinggi Listrik5. Proses

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan S kripsi

Sehingga wujud dari sebuah bangunan hotel resor, baik itu pengaruh rancangan bangunan dengan kondisi lingkungan kawasan tapak, maupun bentuk dan fasilitas bangunan itu sendiri

Hasil: Uji antibakteri ekstrak oleoresin jahe merah jahe merah terhadap bakteri streptococcus pyogenes memperlihatkan bahwa zona hambat pada penelitian ini