DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adisasmita, sakti adji, 2011, Jaringan Transportasi Teori Dan Analisis, GrahaIlmu, Yogyakarta.
Adisasmita, Raharjo, 2011, Manajemen Transportasi Darat,Mengatasi Kemacetan Lalu Lintas di Kota Besar, Grahailmu, yogyakarta.
Arassjid, Chainur, 2001, Dasar-DasarIlmuHukum,SinarGrafika,Jakarta
Asikin, Zainal, 2013, Hukum Dagang, PT Grafindo Persada, Jakarta.
Awan, Som dan Shofie Yusuf, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),Piramedia, Jakarta.
Budiono, Herlien, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjiandan Penerapan. di Bidangkenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Baraktullah, Halim Abdul, 2010, Hak-Hak Konsumen, Nusa media, Bandung.
Bram, AlDjafar, 2011, Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku I): Pengertian Asas-Asas, Hak dan Kewajiban Para Pihak, Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta.
Darus, mariam dan Sjahdeini Remy Sutan, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta.
Dillah, Philips H, 2013, metode penelitian hukum, Alfabeta, 2013.
Gunawan, Randy, Perlindungan Hak Konsumen Pengguna Bus Trans Jakarta-Busway Sesuai Dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,UI, jakarta.
Harahap,Yahya M, 1989, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
Komariah, 2013, Hukum Perdata, UMM Press, Malang.
Miru, Ahmadi, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, raja GrafindoPersada, jakarta.
---, 2008, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, rajaGrafindo Persada, 2008.
Madmuji Sri, 2005, Penelitiandan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra Aitya Bakti, Bandung.
Muchsin, Perlindungandan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, 2003 Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Ningrum, Lestari, 2004, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra Adityabakti, Bandung.
Nasution, Nur M, 2004, Manajemen transportasi, Ghalia Indonesia, jakarta.
Nugroho, Adi Susanti, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Media Grafika, 2008.
Purwosutjipto, H. M. N, 2008, Pengertian Hukum Pokok Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta.
---, 1991, Pengertian Pokok Hukum Dagang Jilid III, Djambatan, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono R, 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, bandung.
Raharjo, Satjipto, 1989, Ilmu Hukum, Almumni, Bandung.
Soekanto, Soejono, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Suhamoko, 2004, Hukum Perjanjian, Pemada media, Jakarta.
Sularsi, 2001, Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, dalam Lika-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Yayasan lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta.
Subekti, R, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Bandung
Sudjana, Nana, 2009, Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah, Sinarbaru Algensindo, Bandung
Shofie, Yusuf, 2002, Pelakuusaha, Konsumendan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, jakarta.
Sidabalok, janus, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra AdityaBakti, Bandung.
Uli, Sinta, 2006, Pengangkutan, Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport, Angkutan Laut, Angkutan Darat, Angkutan Udara, USU Press, Medan.
Usman, Sution, Hukum Pengagkutan di Indonesia, RinekaCipta, Jakarta.
Wulandari, Rezky Sri Andini, 2014, Buku Ajar Hukum Dagang, Mitra Wacana Media, Jakarta.
Widjaya, Gunawan dan Muljakartini, 2004, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta.
B. Journal
Nasution, Krisnadi, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang
Bus Umum, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, volume. 8 No.
16.
Natalia, Dian, 2011, Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa
(penumpang) Angkutan Umum Berdasarkan UU No. 22 Tahun
2009, USU, Medan.
Purba, Putra Luth Freddy, 2013, Perlindungan Konsumenatas Kerusakan dan Kehilangan Bagasi Penumpang Pesawat Udara Oleh Maskapai Penerbangan, Jurnal Hukum Ekonomi, Volume 1, Medan.
Sucihati, AisyahSiti, 2011, Peningkatan Kualita spelayanan Pada Biro Perjalanan Wisata Ermi Tour di Padang, Sumatera Barat, Universitas Udayana Denpasar, Denpasar.
TajaliNurInsan, 2006, Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Jasa Transportasi Dalam Memberikan Pelayanan Maksimal dan Kompensasi Kepada konsumen,Samarinda, Universitas Mulawarman.
Vanindia, Vinna,2012, Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Angkutan Udara, Studikasus Pada PT. Garuda Indonesia, Universitas pembangunan Nasional, Surabaya.
Zazili, Ahmad, 2008, Perlindungan Hukum terhadap penumpang Pada Transportasi Udara Niaga Berjadwal nasional, Universitas Diponogoro, Semarang.
C. Makalah
D. Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BurgerlijkWetboek).
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98 Tahun 2013
tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang Dengan Kendaraan
Bermotor Umum DalamTrayek.
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2015
tentang Standar Keselamatan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.
Peraturan Mentri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 133 Tahun 2015
tentang Pengujian Berkala kendaraan Bermotor.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
BAB III
ASPEK HUKUM PERJANJIAN PENGANGKUTAN SERTA HAK DAN KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA JASA
ANGKUTAN DARAT
A. Pengertian dan Uraian Umum Mengenai Perjanjian Pengangkutan
1. Pengertian Perjanjian Pengangkutan
Suatu perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak
yang menunjuk pada hubungan hukum dan lapangan harta kekayaan antara dua
pelaku atau lebih orang ataupun pihak, dimana hubungan hukum tersebut
melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hukum
tersebut.44
Perjanjian adalah sumber terpenting yang melahirkan perikatan, disamping
perikstsn yang berasal dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atu
dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-Hubungan hukum yang menerbitkan perikatan itu, bersumber pada apa
yang disebut dengan perjanjian atau sumber lainnya, yaitu Undang-Undang.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah banhwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan.
44
Undang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia
yang terdiri dari para pihak.45
Menurur R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah: “Suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.
Menurut Pasal 1313 Perdata menyatakan bahwa perjaanjian yaitu “suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”.
46
Menurut M. Yahya Harahap mengemukakan “perjanjian mengandung
suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih,
yang mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.47
2. Tujuan Perjanjian Pengangkutan
Purwosujipto mengatakan perjanjian pengangkutan adalah “perjanjian
timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan/atau orang dati suatu tempat ke tempat tujuan tertentu
dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya
pengangkutan”. Definisi tersebut hanya meliputi perjanjian antara pengangkut
dan penumpang.
Perjanjian pengangkutan mempunyai tujuan untuk melindungi hak dari
penumpang yang kurang terpenuhi oleh ulah para pelaku usaha angkutan karena
45
Suharnoko, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Pernada Media, 2004), hal. 117
46
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Intermasa, 1987), hal. 9
47
dengan adanya perjanjian pengangkutan maka memberikan jaminan kepastian
hukum bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) telah
memberikan suatu asas keadilan yaitu asas pelaksanaan perjanjian secara itikad
baik jaminan keadilan itu juga dipedomani pada pasal 1337 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu perjanjian akan dapat dibatalkan jika
bertentangan dengan Undang-Undang Kesusilaan yang baik dan/atau ketertiban
umum.Perjanjian pejhngangkutan dibuat agar pelaku usaha angkutan harus
bertanggung jawab atas apa yang terjadi bila sewaktu waktu terhadap penumpang.
1. Asas-asas Hukum Perjanjian Pengangkutan
Satjipto Raharjo mengatakan asas hukum merupakan “jantungnya”
peraturan hukum, disebut demikian karena asas hukum merupakan landasan yang
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa
peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya dapat dikembalikan kepada asas-asas
tersebut.48
Ada empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan, yaitu :49
a. Asas konsensual
Asas ini mengisyaratkan bentuk perjanjian pengangkutan secara tertulis,
sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak.Dalam
kenyataannya hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat
48
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: Alumni, 1989), hal. 85 49
secara tertulis, tetapi selalu didukung oleh dokumen
pengangkutan.Dokumen-dokumen tersebut tidak merupakan unsur dari perjanjian pengangkutan, tetapi
hanya merupakan salah satu tanda bukti tentang adanya perjanjian pengangkutan.
Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis oleh karena kewajiban
dan pihak-pihak telah di tentukan oleh Undang-undang.Tetapi apabila apabila
Undang-Undang tidak menentukan (tidak mengatur) kewajiban hak dan hak yang
wajib dipenuhi, diikutilah kebiasaan yang berakar pada kepatutan.Apabila terjadi
perselisihan mereka selesaikan secara musyawarah, atau melalui arbitrase, atau
melalui pengadilan.Tetapi kenyataan, sedikit sekali, atau hampir tidak ada perkara
mereka yang diselesaikan secara arbitrase atau pengadilan.Mereka memegang
prinsip lebih baik rugi sedikit daripada rugi banyak karena biaya pengadilan, yang
belum tentu memuaskan semua pihak.
b. Asas koordinasi
Asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam
perjanjian pengangkutan.Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan “pelayan
jasa”, asas subordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian
pengangkutan.Berdasarkan hasil penelitian dalam perjanjian perburuhan tidak
berlaku pada perjanjian pengangkutan.Dalam perjanjian pengangkutan darat, laut,
dan udara ternyata pihak pengangkut bukan buruh pihak pengirim atau
penumpang dan dalam perjanjian perburuhan tidak berlaku pada perjanjian
pengangkutan serta dalam perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara ternyata
pihak pengangkut bukan buruh pihak pengirim atau penumpang.
Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian,
yaitu:50
1) Pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut. Hal ini terbukti dengan adanya ketetapan dalam Pasal 361, Pasal 371 KUHD dan lain-lain. 2) Penyimpanan barang dari pengirim kepada pengangkut, terbukti dengan
adanya ketetapan dalam Pasal 468 KUHD yang berbunyi “Perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut”.
3) Melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut hal ini didasarkan pada Pasal 1061-b, KUHPerdata.51
Ketentuan-ketentuan dari tiga jenis perjanjian itu berlaku juga dalam
perjanjian pengangkutan dan hasil ketentuan dalam pengangkutan itulah yang
berlaku. Jika dalam perjanjian pengangkutan tidak dapat diatur lain, maka diantara
ketentuan ketiga jenis perjanjian-perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada
hubungannya dengan asas konsensual.
d. Asas tidak ada hak retensi
Pengangkut tidak punya hak retensi terhadap barang-barang angkutan,
yaitu hak menahan barang-barang angkutan bila penerima menolak untuk
membayar uang angkutan.Pasal 439 ayat (1) KUHD berbunyi “Dengan tak
mengurangi ketentuan ayat (2) Pasal ini, maka guna menjamin uang angkutan dan
sumbangan avary-grosse, tak berhak si pengangkut menahan barang yang
diangkutnya itu.Setiap janji yang bertentangan dengan ini adalah batal”. Dari
bunyi pasal ini jelas bahwa pengangkut tidak mempunyai hak retensi. Kalau
penerima menolak untuk membayar uang angkutan maka harus menuntutnya
melalui Hakim Pengadilan Negeri stempat (Pasal 94 KUHD). Dalam hal ini
50
Ibid, hal. 29 51
hakim dapat memerintahkan penjualan umum atas barang-barang muatan itu
secukupnya bagi pelunasan pembayaran uang angkutan itu. Selama persoalan itu
dalam proses, maka Hakim dapat memrintahkan menyimpan barang-barang
angkutan itu dalam gudang umum.
2. Syarat sahnya perjanjian pengangkutan
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat agar suatu
perjanjian dinyatakan sah, antara lain:
a. Kesepakatan bagi mereka yang mengikat dirinya.
Kesepakatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak
antara pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan
ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun dengan tidak
tertulis. Dikatakan tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi dengan
cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan menggunakan
simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan.52
Dengan sepakat dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, setuju seia kata mengenai hal-hal yang pokok dari
perjanjian yang diadakan itu.Apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang satu
juga diketahui oleh pihak yang lain. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu
perjanjian itu harus diberikan secara bebas.53
Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik. Dalam
hal persetujuan ini, kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai
52
Mariam Darus, Sutan Reemy Sjahdeini, Heri Soepraptomo, H. Faturrahman Djamil, Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 73
53
kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus
dinyatakan.Dengan demikian kata sepakat antara kedua belah pihak atau lebih di
dalam mengadakan perjanjian itu harus tanpa cacat, sebab jika terdapat cacat
dalam perjanjian itu, persetujuan itu dapat dimintakan pembatalannya kepada
pengadilan.Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa “tiada kesepakatan sah apabila kesepakatan itu diberikan
secara kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.54
Mengenai pengertian penipuan (bedrog) ini terjadi, apabila suatu pihak
dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai Mengenai kekhilafan/kekeliruan yang dapat dibatalkan, harus mengenai
intisari pokok perjanjian, harus mengenai objek atau prestasi yang
dikehendaki.Sedangkan kekhilafan/kekeliruan mengenai orangnya tidak
menyebabkan perjanjian dapat menjadi batal (Pasal 1322 KUHPerdata).
Paksaan (drang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena
ia takut pada suatu ancaman. Dalam hal ini yang diancamkan oleh
Undang-Undang harus merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau yang tidak diizinkan
(tidak dibenarkan) Undang-undang. Jika suatu perbuatan yang diancam itu dapat
dibenarkan atau diizinkan oleh Undang-Undang, misalnya ancaman akan
menggugat yang bersangkutan dimuka hakim dengan penyitaan barang, hal
seperti itu tidaklah dikatakan suatu paksaan.
54
dengan kelicikan-kelicikan sehingga pihak lain terbujuk untuk melakukan sesuatu
atau memberikan sesuatu.55
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Syarat ke dua sahnya suatu perjanjian adalah adanya kecakapan
hukum.Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum (perjanjian).Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21
tahun atau telah meikah, walaupun usianya belum mencapai 21 tahun.56
Kecakapan hukum merupakan ketentuan umum, sedangkan
ketidakcakapan merupakan pengecualian darinya.Terminologi yang digunakan
Undang-Undang, kecakapan (bekwaamheid) dan ketidakcakapan
(onbekwaamheid) harus dimaknai secara berbeda dari arti umum yang diberikan
kepadanya dalam pergaulan sehari-hari dan juga tidak merujuk pada sifat alamiah
sesorang.57
Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh Undang-Undang
dilarang melakukan tindakan hukum, terlepas dari apakah secara faktual ia
mampu memahami konsekuensi tindakan-tindakannya. Mereka yang dianggap
tidak cakap adalah orang yang belum dewasa atau anak-anak dibawah umur
(minderjarig) dan mereka yang ditempatkan dibawah pengampuan.Mereka ini,
tanpa seizin wakil, yakni orang tua atau wali mereka menurut Undang-Undang,
55
Ibid, hal. 177 56
Ahmadi Miru, Op, cit, hal. 68 57
dinyatakan tidak dapat melakukan tindakan hukum terkecuali melalui lembaga
perwakilan.58
1) Orang-orang yang belum dewasa
Ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa “Belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun
dan tidak terlebih dulu telah kawin”. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan
bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah
2) Mereka yang dibawah pengampuan
3) Perempuan yang telah kawin (dengan adanya UU No.1 Tahun 1974, ketentuan ini tidak berlaku lagi) dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat persetujuan tertentu.59
Dalam ketiga hal tersebut melakukan perjanjian tanpa izin dari yang
mengawasinya maka dikatakan perjanjian tersebut bersifat cacat, oleh karena itu
perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh hakim baik secara langsung maupun
melalui orang yang mengawasinya.
Menurut Pasal 433 KUHPerdata, “orang yang diletakkan dibawah
pengampuan adalah setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit
otak, atau mata gelap dan boros”.
Hal ini dikarenakan dari sudut keadilan, orang yang membuat suatu
perjanjian nantinya akan terikat oleh perjanjian itu dan sedangkan dari sudut
hukum, karena orang membuat suatu perjanjian itu berarti dengan sendirinya ia
mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah orang yang
sungguh-sungguh berhak berbuat dengan harta kekayaannya. Tegasnya syarat
58
Ibid, hal. 103 59
kecakapan untuk membuaat suatu perjanjian mengandung kedaran untuk
melindungi baik bagi dirinya maupun dalam hubungan dengan keselamatan
dirinya.
c. Suatu hal tertentu
Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai
bendanya.Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, “suatu hal tertentu artinya barang
yang menjadi objek perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya,
sedangkan jumlah tidak menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian”.
Hal tertentumengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan
didalam perjanjian mengenai:60
1) Jenis barang
2) Kualitas dan mutu barang
3) Buatan pabrik dan dari negara mana, 4) Buatan tahun berapa
5) Warna barang
6) Ciri khusus barang tersebut 7) Jumlah barang
8) Uraian lebih lanjut mengenai barang itu.
d. Suatu sebab yang halal.
Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan
syarat tentang isi perjanjian. Kata halal disini bukan dengan maksud untuk
memperlawankan dengan kata haram dalam hukum islam, tetapi yang dimaksud
adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan
Undang-Undang kesusilaan dan ketertiban umum.61
60
Dian Natalia, Op, cit, hal. 29 61
Sebab atau causa yang dimaksudkan Undang-Undang adalah isi perjanjian
itu sendiri, jadi sebab atau causa tidak berarti sesuatu yang menyebabkan sesorang
membuat perjanjian yang dimaksud.
Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, “suatu sebab adalah terlarang, apabila
dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum”.Akibat hukum dari perjanjian yang berisi causa yang tidak
halal, mengakibatkan perjanjian itu batal demi hukum.Dengan demikian tidak ada
dasar untuk membuat pemenuhan perjanjian dimuka hakim.62
3. Subjek dan objek hukum pengangkutan
a. Subjek hukum pengangkutan
Menurut Abdulkadir Muhammad, subjek hukum pengangkutan adalah:
“pendukung kewajiban dan hak dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitupihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan.Mereka itu adalah pengangkut, pengirim, penumpang, penerima, ekspeditur, agen perjalanan, pengusaha muat bongkar, dan pengusaha pergudangan.Subjek hukum pengangkutan dapat berstatus badan hukum, persekutuan bukan badan hukum, dan perseorangan”.63
1) Pengangkutan
Dalam perjanjian pengangkutan barang, pihak pengangkut yakni pihak
yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkut an, barang dan berhak atas
penerimaan pembayaran tarif angkutan sesuai yang telah di janjikan. Dalam
perjanjian pengangkutan penumpang, pihak pengangkut yakni pihak yang
62
Herlien, Op, cit, hal. 175 63
berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan penumpang dan berhak atas
penerimaan pembayaran tarif (ongkos) angkutan sesuai yang telah di tetapkan..
KUHD tidak ada mengatur definisi pengangkutan secara umum, kecuali
dalam pengangkutan laut.Tetapi dilihat dari pihak dalam perjanjian pengngkutan,
pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan
tertentu dengan selamat.Singkatnya, pengangkut adalah pihak penyelenggara
pengangkutan.
2) Pengirim (consinger)
Sama halnya dengan pengangkut, pengirim adalah pihak dalam perjanjian
pengangkutan.Dalam KUHD juga diatur definisi pengirim secara umum.Tetapi
dilihat dari pihak perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang
mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.Pengirim dalam bahasa
Inggris disebut “consinger”.
Menurut H. M. N Purwosutjipto, pengirim adalah “ pihak yang
mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan serta yang memberikan
muatan”.64
Pengirim adalah pemilik barang, atau penjual (eksportir), atau majikan
penumpang dalam perjanjian pengangkutan serombongan penumpang.Pemilik
barang dapat berupa manusia pribadi, atau perusahaan perseroan, atau perusahaan
persekutuan badan hukum, dan bukan badan hukum, atau perusahaan umum
(Perum).Sedangkan penjual (eksportir) selalu berupa perusahaan persekutuan
64
badan hukum atau badan hukum.Majikan penumpang adalah kepala rombongan
atau ketua organisasi tertentu.
3) Penumpang (Passanger)
Penumpang adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan penumpang.
Penumpang mempunyai dua kedudukan, yaitu sebagai subjek karena ia adalah
pihak dalam perjanjian, sebagai objek karena ia adalah muatan yang diangkut.
Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus sudah dewasa
atau mampu melakukan perubahan hukum atau mampu membuat perjanjian
(Pasal 1320 KUHPerdata).65
4) Ekspeditur
Ekspeditur dalam bahasa Inggris disebut “cargo forwader”, dinyatakan
sebagai subjek perjanjian pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan pengirim, atau pengangkut, atau penerima, walaupun ia bukan pihak
dalam perjanjian pengangkutan. Ekspeditur berfungsi sebagai “perantara”, dalam
perjanjian pengangkutan, diatur dalam Buku I Bab V bagian 2 Pasal 86 s/d 90
KUHD.66
Menurut ketentuan Pasal 86 ayat (1) KUHD, ekspeditur adalah “orang
yang pekerjaannya mencarikan pengangkut barang di darat atau di perairan bagi
pengirim, ekspeditur adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar provisi
kepada ekspeditur”. Ekspeditur adalah pengusaha yang menjalankan perusahaan
persekutuan badan hukum dalam bidang usaha ekspedisi muatan barang, seperti
65
Abdulkadir Muhammad, Op, cit,hal. 65 66
Ekspedisi Muatan Kereta Api (EMKA), Ekspedisi Muatan Kapal laut(EMKL),
Ekspedisi Muatan Kapal udara (EMKU).
Ekspeditur berfungsi sebagai pengantara dalam perjanjian pengangkutan
yang bertindak atas nama pengirim. Pengusaha transpor seperti ekspeditur bekerja
dalam lapangan pengangkutan barang-barang namun dalam hal ini ia sendirilah
yang bertindak sebagai pihak pengangkut. Hal ini tampak sekali dalam perincian
tentang besarnya biaya angkutan yang di tetapkan.Seorang ekspeditur
memperhitungkan atas biaya muatan dari pihak pengangkut jumlah biaya dan
provisi sebagai upah untuk pihaknya sendiri, yang tidak dilakukan oleh pengusaha
transpor, berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui kriteria ekspeditur menurut
ketentuan Undang-Undang yaitu67
a) Perusahaan pengantara pencari pengangkut barang :
b) Bertindak untuk dan atas nama pengirim, c) Menerima provisi dari pengirim.
5) Biro perjalanan
Dalam perjanjian pengangkutan penumpang, pihak yang encarikan
pengangkut bagi penumpang adalah biro perjalanan (travel agent), ia bertindak
atas nama penumpang, yang menjadi pihak adalah penumpang. Seperti halnya
ekspeditur, pengusaha biro perjalanan juga menjalankan perusahaan persekutuan,
ada yang badan hukum dan ada yang bukan badan hukum, dalam bidang muatan
penumpang.
Perusahaan biro perjalanan dalam bahasa Inggrisnya disebut “travel
agency”.Damardjati menjelaskan biro perjalanan adalah “perusahaan yang khusus
67
mengatur dan menyelenggarakan perjalanan dan persinggahan orang-orang
termasuk kelengkapan perjalanannya, dari suatu tempat ke tempat lain, baik di
dalam negri, dari dalam negri, keluar negeri atau dalam negri itu sendiri”.68
6) Pengatur muat bongkar (stevedoring)
Travel agency sangat besar peranannya dalam memajukan parawisata.Pada
umumnya turis manca negara berhubungan dengan travel agency untuk
memperoleh tiket penumpang.
Pengatur muatan adalah orang yang menjalankan usaha dalam bidang
pemuatan barang ke kapal dan pembongkaran dari kapal.Pengatur muatan adalah
orang-orang yang ahli dan pandai menempatkan barang-barang dalam ruangan
kapal yang terbatas itu sesuai dengan sifat barang, ventilasi yang dibutuhkan, dan
barang-barang tidak mudah bergerak.Demikian juga membongkar barang-barang
dari kapal diperlukan keahlian, sehingga dapat ditangani secara mudah, efisien
dan tidak merugikan atau menimbulkan kerusakan.
Pengatur muatan adalah perusahaan yang berdir sendiri, atau dapat juga
merupakan bagian dari perusahaan pelayaran (pengangkut).Perusahaan pengatur
muatan sering juga bergabung dengan perusahaan pengangkutan pelabuhan, yang
menyelanggarakan pengngkutan dengan tongkang dan kapal tunda, muatan kapal
yang dimuat kemudian dibongkar dari kapal yang terlambat atau berlabuh diluar
dermaga.Berlabuhnya kapal diluar dermaga pelabuhan tidak selalu karena
68
menunggu giliran terlambat, melainkan karena biaya yang sangat mahal jika
bertambat di dermaga dan melakukan kergiatan muat bongkar disitu.69
7) Perusahaan Pergudangan (werehousing)
Menurut Pasal 1 alinea kedua Peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 1969,
perusahaan pergudangan adalah “perusahaan yang bergerak di bidang usaha
penyimpanan barang-barang di dalam gudang pelabuhan selama barang yang
bersangkutan menunggu muatan kapal, atau menunggu pengeluarannya dari
gudang yang berada dibawah pengawasan Dinas Bea cukai”.
Dalam sebuah pelabuhan terdapat tiga macam gudang, yaitu gudang
bebas, gudang enterpot (bounded warehouse), dan gudang pabean. Dalam rangka
pengapalan, gudang pabean ini adalah yang terpenting karena barang barang yang
baru saja diturunkan dari kapal atau barang-barang yang segera akan dimuat ke
kapal dismpan dalam gudang pabean ini.
8) Penerima (consignee)
Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin penerima sendiri
mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan.Dalam hal penerima adalah
pengirim, maka peneirima adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan.Dalam hal
penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penerima bukan pihak dalam
perjanjian pengangkutan, tetapi tergolong juga sebagai subjek hukum
pengangkutan.Kenyataannya, penerima adalah pengirim yang dapat diketahui dari
dokumen pengangkutan.Selain itu, juga dari dokumen pengangkutan dapat
diketahui bahwa penerima adalah pembeli (importir), jadi sebagai pihak ketiga
69
yang berkepentingan.Penerima adalah pihak yang memperoleh kuasa untuk
menerima barang yang dikirimkannya kepadanya. Jadi, penerima berposisi atas
nama pengirim. Pengirim yang berposisi sebagai importir selalu pengusaha yang
menjalankan perusahaan badan hukum atau bukan badan hukum.70
b. Objek hukum pengangkutan
Objek hukum pengangkutan, yang diartikan sebagai “objek hukum” segala
sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum, yang diartikan dengan
objek hukum pengangkutan adalah segala sesuatu yang digunakan mencapai
tujuan hukum pengangkutan. Tujuan hukum pengangkutan adalah terpenuhinya
kewajiban dan hak pihak-pihak dalam pengangkutan, maka yang menjadi objek
hukum pengangkutan adalah sebagi berikut:
1) Muatan barang
Muatan barang lazim disebut dengan barang saja.Barang yang dimaksud
adalah yang sah menurut Undang-Undang.Dalam pengertian barang termasuk
juga hewan.Barang diangkut dari satu tempat ketempat tujuan dengan
menggunakan alat pengangkutan. Barang terdiri dari berbagai jenis menurut
keperluan atau kegunaannya:71
a) Barang sandang, misalnya tekstil, sarung, baju: b) Barang pangan, misalnya beras, gula, buah-buahan c) Barang perlengkapan rumah tangga, misalnya mebel d) Barang perlengkapan buku, misalnya buku-buka e) Barang cair, misalnya minyak, gas alam
f) Barang insdustri, misalnya zat kimia, carbide, semen g) Hewan, misalnya sapi potong, sapi ternak, ikan hias.
70
Ibid, hal. 168
71
Pengangkutan barang yang memiliki sifat berbahaya mengandung resiko
besar karena besar akan terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Karena itu
pengangkut perlu mendapat keterangan lengkap mengenai sifat bahaya dari itu,
sehingga pengangkut sedapat mungkin berusaha menghindari terjadinya peristiwa
yang merugikan.
2) Muatan penumpang
Muatan penumpang lazim disebut penumpang saja. Sama halnya dengan
barang, penumpang juga tidak ad definisinya dalam undang-undang.Tetapi dilihat
dari perjanjian pengangkutan selaku objek perjanjian, penumpang adalah setiap
orang yang berada dalam alat pengangkutan yang memiliki tiket penumpang,
yang diangkut dari satu tempat ke tempat tujuan.
Setiap penumpang yang diangkut memperoleh pelayanan yang wajar dari
pengangkut, bergantung dari jenis pengangkutan, jarak pengangkutan, jumlah
biaya pengangkutan.Pelayanan trutama terdiri dari hiburan dan bacaan selama
dalam perjalanan.
3) Alat pengangkutan
Sebagai pengusaha pengangkutan, pengangkut memiliki alat
pengangkutan sendiri, atau menggunakan alat pengangkutan orang lain dengan
perjanjian sewa. Alat pengangkutan darat adalah kendaraan bermotor adalah
kendaraan yang di jalankan oleh pengemudi (sopir).Alat pengangkutan yang
menggunakan rel adalah kereta api yang dijalankan oleh masinis, alat
pengangkutan laut atau kapal di kemudikan oleh nahkoda, alat pengangkutan
4) Biaya pengangkutan
Dalam KUHD tidak diatur secara umum mengenai biaya pengangkutan.
Tetapi dilihat dari perjanjian pengangkutan, biaya pengangkutan adalah kontra
prestasi terhadap penyelenggaraan pengangkutan yang di bayar oleh pengrim atau
penerima atau penumpang kepada pengangkut. Dalam pengangkutan barang,
biaya pengangkutan dapat di bayar lebih dahulu oleh pengririm, atau dibayar
kemudian oleh penerima.
Dalam pengangkutan penumpang Pasal 533 KUHD menentukan bahwa
biaya pemeliharaan penumpang selama peengangkutan termasuk dalam biaya
pengangkutan, dengan demikian, biaya pengangkutan trdiri dari dua unsur, yaitu:
a) kontra prestasi penyelenggaraan pengangkutan
b) biaya pemeliharaan yang meliputi makan dan minum selama
pengangkutan.
Menurut Pasal 533 KUHD biaya pengangkutan penumpang harus dibayar
terlebih dahulu.
4. Berahirnya suatu perjanjian pengangkutan
Menurut Pasal 1338 KUHperdata:
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik oleh para pihak”.
Dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tersebut dapat dilihat bahwa
ketentuan hukum, mengikat para pihak yang membuat atau dibuat secara sah yang
berarti dalam perbuatan perjanjian itu adalah sesuai dengan ketentuan pasal 1320
KUHPerdata sehingga dengan demikian perjanjian dengan dibuat itu mengikat
dan mempunyai kekuatan hukum bagi kedua belah pihak yang berlaku sebagai
Undang-undang.
Berahirnya suatu perjanjian berbeda dengan berakhirnya suatu
perikatan.Mengenai berakhirnya suatu perjanjian pada umumnya telah ditentukan
sendir oleh pihak yang membuat suatu perjanjian tersebut, misalnya jika tujuan
dari perjanjian tersebut telah tercapai yaitu masing-masing pihak telah saling
menerima prestasi, sebagaimana yang mereka kehendaki bersama dalam
mengadakan perjanjian tersebut.
Buku III dari BW, berkepala “Pemusnahan Perjanjian” dan Pasal pertama
yaitu Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan 10 (sepuluh) macam cara berakhirnya
perjanjian, yakni:72
a. Pembayaran
Pembayaran adalah setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela,
misalnya pembayaran uang oleh pembeli pemenuhan perjanjian kerja oleh buruh,
yang dimaksud dengan pembayaran oleh hukum perikatan bukan sebagaimana
ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang,
tetapi setiap tindakan pemenuhan prestasi, bagaimanapun sifat dari prestasi
tersebut. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat
72
sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah
pembayaran.
b. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan diatur dalam
Pasal 1404 KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai terjadi apabila dalam suatu
perjanjian kreditur tidak bersedia menerima prestasi yang dilakukan oleh debitur.
Untuk membebaskan diri dari perikatan tersebut, maka kreditur dapat melakukan
penawaran pembayaran tunai. Prosedur penawaran tersebut diatur dalam Pasal
1405 KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai tersebut diikuti dengan
penitipan dari benda atau uang yang akan diserahkan di pengandilan negri.
c. Pembaharuan utang (novasi)
Menurut Pasal 1413 KUHPerdata ada 3(tiga) macam jalan untuk
melaksanakan pembaharuan utang (novasi), yaitu:
1) Apabila seseorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya.
2) Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. 3) Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, sesorang berpiutang
ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.
4) Perjumpaan utang atau kompensasi
Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berhutang satu pada yang lain dengan mana hutang-hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh Undang-Undang ditentukan bahwa diantara kedua orang tersebut telah terjadi suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (Pasal 1425KUHPerdata).73
73
d. Perjumpaan hutang atau Kompensasi
e. Pencampuran utang
Pencampuran utang adalah salah satu hapusnya perikatan karena
kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang.
Pencampuran ini terjadi secara otomatis atau demi hukum.
Dalam hal ini demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada diantara
kedua belah pihak tersebut (Pasal 1436 KUHPerdata).
f. Pembebasan utang
Perikatan yang termasuk dalam suatu perjanjian berdasar pokoknya atas
suatu kesuka-relaan itu maka kalau suatu pihak berhak kemudian dengan sukarela
berniat membebaskan pihak lain dari suatu perikatan, ini pada hakekatnya tidak
boleh di halang-halangi.74
g. Musnahnya barang yang terutang
Pembebasan utang adalah pernyataan dengan tegas si berpiutang atau si
kreditur bahwa ia tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitur dan melepaskan
haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Apabila terjadi pembebasan
utang, maka hapuslah hubungan utang-piutang antara kreditur dan
debitur.Pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Menurut Pasal 1444 KUHPerdata “jika barang tertentu menjadi objek
perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka perikatan
hapus”.
74
h. kebatalan atau pembatalan perjanjian
Batal atau pembatalan yang dimaksud dalam hal ini adalah dapat di
batalkan.Sebab apabila perjanjian itu batal demi hukum maka tidak ada satu
perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, sehingga tentu saja tidak dapat
dihapus.
Terdapat beberapa dasar atas batal atau kebatalan suatu perjanjian, yaitu
apabila:
1) Tidak memenuhi syarat subjektifnya (sepakat dan cakap bertindak dalam hukum).
2) Salah satu pihak melakukan wanprestasi (tidak memenuhi perjanjian), 3) Karena adanya action pauliana (gugatan untuk membatalkan suatu
perbuatan debitur yang secara curang dilakukan untuk merugikan para krediturnya).75
4) Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan Undang-Undang.
i. Berlakunya syarat batal
Berlakunya syarat batal maksudnya adalah syarat yang apabila dipenuhi
akan menghentikan atau mengakhiri perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu
kembali kepada keadaan semula seolah olah tidak pernah ada suatu perjanjian.
Berlakunya syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan
syarat batal, yaitu perikatan yang berdasarkan pada peristiwa yang masih akan
datang dan yang masih belum tentu terjadi secara mebatalkan perikatan.
75
j. Kadaluarsa, lewatwaktu (verjaring)
Lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-uandang.
Burgerlijk Wetboek mengenal dua macam daluarsa selaku cara melepaskan
diri dari suatu perikatan, yaitu:
1) Lampau waktu selama 30 tahun segala perikatan tentu yang di sebutkan
oleh Undang-Undang.
Daluarsa ini meliputi segala macam hak-hak dan kewajiban yang berdasar
atas suatu perjanjian, dalam hal ini oleh hukum dianggap.Kalau orang yang
sebetulnya berhak atas pertolongan hakim untuk pelaksanaan perjanjian, selama
tiga puluh tahun diam saja, maka hak atas pertolongan hakim ini di tetapkan
lenyap.76
76
Wirjono Prodjodikoro, Op, cit, hal. 197
Alasan untuk mengadakan peraturan semacam ini adalah untuk
melenyapkan keadaan keragu-raguan dalam suatu hubungan hukum dan juga
berhubung dengan hal bahwa, apabila selama tiga puluh tahun tidak ada persoalan
apa-apa dan baru sesudah lampau waktu yang panjang itu dimajukan soal
siapakah yang sebenarnya ada berhak atau kewajiban, maka sukar sekali untuk
mendapatkan bukti-bukti yang jitu guna menegakkan atau merobohkan hak-hak
atau kewajiban-kewajiban itu dan dapat dipercaya ketepatannya. Lampau waktu
2) Lampau waktu pendek dalam beberapa macam perhubungan hukum
tertentu yang disebutkan dalam Undang-Undang.
Pada hakekatnya adalah sama dengan lampau waktu yang ke satu dan
hanya merupakan macam istimewa dari lampau ke satu, yaitu dalam beberapa
perhubungan hukum yang tertentu dan yang disebutkan satu per satu dalam
beberapa pasal dari Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Van Koophandel.
Waktu-waktu yang amat pendek sudah cukup untuk lenyapnya hak
seseorang meminta pelaksanaan hak-hak kewajiban-kewajiban dalam suatu
perhubungan hukum.77
B. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Jasa Angkutan Darat
1. Hak dan kewajiban Pengguna Jasa Angkutan Darat
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menetapkan 9 hak-hak konsumen yaitu :78
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
77
Ibid, hal.198 78
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.79
Dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
terdapat beberapa bagian yang berhubungan dengan hak-hak konsumen pengguna
jasa angkutan darat yang khususnya bus, hak-hak tersebut yaitu:
a. Hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. Setiap konsumen atau pengguna jasa bus yang paling utama yaitu harus mendapatkan haknya yang berupa kenyamanan dan keselamatan dalam menggunakan jasa angkutan darat tersebut.
b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
c. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Setiap kejadian kecelakaan atau peristiwa yang mengakibatkan penumpang mengalami luka-luka hukumnya wajib bagi pelaku usaha pengangkutan untuk bertanggung jawab atas setiap kejadian yang merugikan penumpangnya.
d. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Selain memperoleh hak-hak tersebut, sebagai balance, konsumen atau
pengguna jasa agkutan darat juga mempunyai kewajiban-kewajiban, yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/jasa c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.80
79
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran,(Bandung: Nusa Media, 2008), hal. 23
80
Hak-hak tersebut dimaksudkan agar konsumen atau pengguna jasa
angkutan darat sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan
dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Angkutan Darat
Kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang
dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan selamat. Istilah
“menyelenggarakan pengangkutan” berarti pengangkutan dapat dilaksanakan
sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain, atas perintah pengangkut.
Istilah “dengan selamat” berarti pengangkutan yang tidak selamat akan menjadi
tanggung jawab pengangkut, sehingga pengangkut harus membayar ganti rugi
atau membayar santunan terhadap penumpang.81
a. Hanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau diluar kemampuan pengemudi,
Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan
bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh penumpang dan/atau pemilik
barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi.
Setiap pengemudi, pemilik kendaraan bermotor dan/atau perusahaan
angkutan umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan
jalan karena kelalaian atau kesalahan pengemudi.
Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila :
b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan/atau
c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
81
Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai
keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen atau pengguna jasa,
kepada para pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur pada pasal 6 UUPK.
Hak pelaku usaha adalah:82
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang di perdagangkan
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikat tidak baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang di perdagangkan
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.83
Dari Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat beberapa
bagian yang berhubungan dengan hak pelaku usaha jasa angkutan darat yaitu:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang di perdagangkan. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktik yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang sempurna, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.84
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikat tidak baik, misalnya dengan pengawasan dan pembinaan terhadap masyarakat yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap perjalanan angkutan bus.
82
Abdul Halim Barkatullah ,Op, cit, hal. 39 83
M. Sadar, MOH. Taufik Makarao, dan Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, (jakarta: Akademia, 2012), hal. 33
84
Menurut Undang-Undang No. 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan
terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenihi oleh perusahaan angkutan umum
yaitu:
a. Menyerahkan tiket penumpang (Pasal 167 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
b. Menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam tratek (Pasal 167 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)
c. Menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada penumpang (Pasal 167 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)
d. Menyerahkan manifes kepada pengemudi penumpang (Pasal 167 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) e. Perusahaan angkutan umum wajib mengangkut oran dan/atau barang
setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh penumpang dan/atau pengirim barang (Pasal 186 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)
f. Perusahaan angkutan umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan (Pasal 187 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)
g. Perusahaan angkutan umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan (Pasal 188 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
h. Perusahaan angkutan umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya (Pasal 189 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Sedangkan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perusahaan pengangkutan umum berhak
untuk menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak memnuhi
kewajiban dalam batas waktu yang di tetapkan sesuai dengan perjanjian
pengangkutan. Perusahaan pengangkutan umum berhak memungut biaya
peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima tidak memenuhi
kewajiban sesuai dengan persepakatan sebagaimana dimaksud di atas (Pasal 195).
Jika barang yang sudah diangkut tidak diambil oleh pengirim atau penerima
sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, perusahaan pengangkutan umum
berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam
penyimpanannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal
196).Perusahaan pengangkutan umum berhak memperoleh kembali dokumen
pengangkutan dari penumpang dan/atau pengirim barang sebagai bukti bahwa
biaya pengangkutan memang sudah dibayar lunas sebelumnya dan sudah
dikembalikan kepada penumpang atau pengirim.85
Menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah kewajiban-kewajiban yang harus di penuhi, yaitu:
Disamping itu, dapat diperjanjikan pula bahwa perusahaan pengangkutan
umum berhak menolak mengangkut barang yang dilarang Undang-Undang atau
membahayakan ketertiban dan kepentingan umum.Barang yang dilarang itu,
misalnya, barang selundupan, petasan, berbagai jenis narkotika, minuman keras
ataupun hewan yang dilindungi.
86
a. Beritikad baik dalam melakukan usahanya
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku
85
Abdulkadir Muhammad, Op, cit, hal. 154 86
e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang di perdagangkan
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang di perdagangkan.
g. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian kerugian apa bila barang dan/atau barang yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.
Dalam setiap kegiatan pengangkutan darat, pelaku usaha jasa agkutan
darat juga memiliki kewajiban-kewajiban dalam melaksanakan kegiatan
usahanya, yaitu:
a. Setiap pelaku usaha angkutan darat harus beritikad baik dalam melakukan usahanya
b. Pelaku usaha angkutan darat diwajibkan memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. c. Setiap pelaku usaha harus menjamin mutu kendaraan angkutan daratnya
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku d. Memberikan kompensasi atau memberi ganti kerugian.
Perusahaan pengangkutan umum wajib mengangkut orang dan/atau barang
setelah disepakati perjanjian pengangkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya
pengangkutan oleh orang dan/atau pengirim barang (Pasal 186). Karcis
penumpang atau surat pengangkutan barang merupakan bukti telah terjadi
perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya pengangkutan.
Kewajiban utama pengangkut adalah mengangkut penumpang atau barang
serta menerbitkan dokumen pengangkutan dan sebagai imbalan haknya
memperoleh biaya pengangkutan dari penumpang atau pengirim barang.
Pihak-pihak dapat memperjanjikan bahwa disamping kewajiban utama, pengangkut
a. Menjaga serta merawat penumpang dan memelihara barang yang diangkut dengan sebaik-baiknya.
b. Melepaskan dan menurunkan penumpang di tempat pemberhentian atau ditempat tujuan dengan aman dan selamat.
c. Menyerahkan barang yang diangkut kepada penerima dengan utuh, lengkap, tidak rusak, atau tidak terlambat.87
Perusahaan pengangkutan wajib mengembalikan biaya pengangkutan yang
telah dibayar oleh penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan
pemberangkatan (Pasal 187Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang lalu
Lintas dan Angkutan Jalan).Perusahaan pengangkutan umum wajib mengganti
kerugian yang di derita penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam
melaksanakan pelayanan pengangkutan (Pasal 188Undang-Undang No. 22 Tahun
2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan).Untuk itu, perusahaan
pengangkutan umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya guna mencegah
kemungkinan timbul kerugian dalam hal terjadi musibah.
Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang
diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipkerjakan dalam kegiatan
penyelenggaraan pengangkutan (Pasal 191 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009
tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan
pengangkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah
atau dihindari atau karena kesalahan penumpang.Kerugian yang dimaksud
dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami atau bagian biaya
pelayanan.Tanggung jawab tersebut dimulai sejak penumpang diangkut dan
87
berakhir di tempat tujuan yang disepakati. Pengangkut tidak bertanggung jawab
atas kerugian barang bawaan penumpang, kecuali jika penumpang dapat
membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian
pengangkut (Pasal 192 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas
dan Angkutan Jalan).
Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang di
derita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang atau rusak akibat suatu
kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan
pengirim.Kerugian sebagaimana dimaksud tersebut di hitung berdasarkan pada
kerugian yang nyata di alami.88
Perusahaan pengangkutan umum tidak bertanggung jawab atas kerugian
yang di derita oleh pihak ketiga, kecuali pihak ketiga dapat membuktikan bahwa
kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan perusahaan pengangkutan
umum.Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian pihak
ketiga kepada perusahaan pengangkutan umum seperti dimaksud diatas Tanggung jawab yang dimaksud dimulai sejak barang diangkut dimulai
sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati,
perusahaan pengangkutan umum tidak bertanggung jawab jika disebabkan oleh
pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan pengangkutan
barang (Pasal 193Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan
Angkutan Jalan).
88
disampaikan selambat-lambatnya tiga puluh hari terhitung mulai tanggal
terjadinya kerugian (Pasal 194).89
C. Tanggung Jawab Pihak Pengangkut Bagi Pengguna Jasa Angkutan Darat
Pengusaha pengangkutan (transport ordernemer) ialah pengusaha yang
bersedia untuk mengangkut barang/orang mulai dari tempat pengangkutan sampai
di tempat tujuan yang ditetapkan serta biaya telah diperhitungkan sekaligus.90
89
Ibid, hal. 154 90
Zainal Abidin, Tanggung Jawab Pengusaha Pengangkutan, Makalah, (Tasikmalaya: Sekolah Tinggi Hukum Galunggung, 2014) hal. 5
Kemungkinan perusahaan itu menyelenggarakan pelayanannya sendiri
mungkin juga bekerja sama dengan pihak lain, perusahaan pengangkutan
demikian tidak diatur dengan tegas dalam KUHD tetapi dalam peraturan khusus
misalnya dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1951, tetapi ketentuan pasal
93-94 KUHD dan pasal 493 berlaku juga bagi perusahaan angkutan dan dikuatkan
oleh Arrest H.R tanggal 17 Juni 1921 dan Pasal 95 KUHD berlaku bagi
pengusaha transportasi dalam daluarsa hak penuntutan dalam masa 2 tahun.
Pengusaha pengangkutan atas keselamatan penumpang angkutan memiliki
tanggung jawab pengangkut yang ditentukan dalam Pasal 1236 dan 1246
KUHPerdata.
Pasal 1236 KUHPerdata, pengangkut wajib memberi ganti rugi atas biaya
dan ganti rugi bunga yang layak harus diterima, bila ia tidak dapat menyerahkan
Pasal 1246 KUHPerdata, biaya kerugian bunga itu sendiri dari kerugian
yang telah dideritanya dan laba yang sedianya akan diperoleh, kerugian harus
diganti ialah misalnya91
a. Harga pembelian :
b. Biaya pengiriman dan laba yang layak diharapkan
Batas tanggung jawab pengangkut dibatasi dengan ketentuan Pasal 1247
dan Pasal 1248 KUHPerdata. Kerugian penerimaan dan pengiriman barang
menjadi beban pengangkut yang dibatasi dengan syarat sebagai berikut:
a. Kerugian dapat di perkirakan secara layak, pada saat timbulnya perikatan
b. Kerugian itu harus merupakan akibat langsung dari tidak terlaksananya
perjanjian pengangkutan.
Meskipun pengangkut debitur menjalankan penipuan yang merugikan
penerima pengirim beban tanggung jawab pengganti kerugian dari pengangkut
atau debitur tetap terbatas pada ketentuan yang dimaksud tersebut diatas92
91
Ibid, hal. 6 92
Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, (Jakarta : Rineka Cipta,2000), hal. 76
.
Hukum pengangkutan mengenal tiga prinsip tanggung jawab, yaitu
tanggung jawab karena kesalahan (fault liability), tanggung jawab karena praduga
(presumption liability), dan tanggung jawab mutlak (absolute liability).Hukum
pengangkutan Indonesia umumnya menganut prinsip tanggung jawab karena
1. Tanggung jawab karena kesalahan
Menurut prinsip ini, setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam
penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala
kerugian yang timbul akibat kesalahannya itu.Pihak yang menderita kerugian
wajib membuktikan kesalahan pengangkut.Beban pembuktian ada pada pihak
yang dirugikan, bukan pada pengangkut.Prinsip ini dianut dalam Pasal 1365.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) Indonesia tentang pembuatan
melawan hukum sebagai aturan umum. Aturan khusus ditentukan dalam
Undang-Undang yang mengatur masing-masing jenis pengangkutan.93
93
Abdul Halim Baraktullah, Op. cit. hal 43
Penyedia jasa angkutan umum dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan/atau badan hukum
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 139
Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentag Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Perusahaan
pengangkutan wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati
perjanjian pengangkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya pengangkutan
oleh penumpang dan/atau pengirim barang. Tanggung jawab perusahaan
pengangkutan umum terhadap penumpang dimulai sejak diangkutnya penumpang
sampai ditempat tujuan pengangkutan yang telah di sepakati. Tanggung jawab
terhadap pemilik barang dimulai sejak diterimanya barang yang akan diangkut
sampai diserahkannya barang kepada pengirim dan/atau penerima barang (Pasal
186 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Perusahaan pengangkutan umum wajib mengembalikan biaya
pengangkutan yang telah dibayar oleh penumpang dan/atau pengirim barang jika
terjadi pembatalan pemberangkatan (Pasal 187 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Litas dan Angkutan Jalan) Perusahaan pengangkutan wajib
mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang karena
lalai dalam melaksanakan pengangkutan (Pasal 188 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Litas dan Angkutan Jalan).
Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan
pengangkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kerjadian yang tidak dapat dicegah
atau dihindari atu karena kesalahan penumpang.Kerugian sebagaimana dimaksud
dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami atau bagian biaya
pelayanan.Tanggung jawab tersebut dimulai sejak penumpang diangkut dan
berakhir di tempat tujuan yang disepakati (Pasal 192, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).94
2. Tanggung jawab karena praduga
Menurut prinsip ini, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas
setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Akan
tetapi, jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, ia dibebaskan
dari tanggung jawab ganti kerugian itu. Tidak bersalah artinya tidak melakukan
kelalian, telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk menghindari
kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin
dihindari.Beban pembuktian ada pada pihak pengangkut, bukan pada pihak yang
94
dirugikan.Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang
diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan pengangkut.
3. Tanggung jawab mutlak
Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap
kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa
keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut.Prinsip ini tidak
mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu di persoalkan.Pengangkut
tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang
menimbulkan kerugian itu.Prinsip ini dapat dirumuskan dengan kalimat
“pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa
apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini”.95
Dalam Undang-Undang pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab
mutlak tidak diatur.Hal ini tidak diatur mungkin karena alasan bahwa pengangkut
yang berusaha di bidang jasa pengangkutan tidak perlu di bebani dengan resiko
yang terlalu berat.Namun, tidak berati bahwa pihak-pihak boleh saja menjanjikan
penggunaan prinsip ini untuk berkepentingan praktis penyelesaian tangung jawab
berdasarkan asas kebebasan berkontrak.Jika prinsip ini digunakan, dalam
perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya, dimuat pada
dokumen pengangkutan.
95
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA ANGKUTAN ANTAR KOTA BUS CV. INTRA TUJUAN MEDAN-PEMATANG
SIANTAR
(Studi Pada CV. INTRA Pematang Siantar)
A. Pengaturan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Darat Bus CV. INTRA
1. Pengaturan Perlindungan Pengguna Jasa Angkutan Darat
Berdasarkan Hukum Konsumen
Arti perlindungan adalah“tempat berlindung atau hal (perbuatan dan
sebagainya) memperlindungi”, sedangkan hukum adalah peraturan peraturan
bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam ligkungan masyarakat, pelanggaran
terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukuman.96
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada
subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersikap pencegahan
(preventif) maupun yang bersikap pemaksaan(represif), baik secara tertulis
maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.97
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi atau Dalam perlindungan pengguna jasa angkutan darat apabila terjadi suatu
kecelakaan maka yang bertanggung jawab adalah seorang pelaku usaha, pelaku
usaha jasa angkutan darat memiliki tanggung jawab atas kerusakan, atau kerugian
yang di alami oleh konsumen akibat meggunakan jasa tersebut.
96
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 22 97
menggunakan jasa yang diberikan (Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen). Dari Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
tersebut dapat di ketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha adalah tanggung
jawab mengganti kerugian, ganti kerugian atas kerugian konsumen atau pengguna
jasa angkutan darat.98
Tidak hanya mengenai hak konsumen untuk mendapatkan advokasi atau
perlindungan hukum saja yang di jelaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor
8 Tentang Perlindungan Konsumen, tetapi disebutkan juga mengenai hak untuk
mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya, hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan
yang telah menjadi rusak atau tidak seimbang, akibat adanya penggunaan barang
dan/atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen diatur mengenai hak-hak dari konsumen diantaranya
disebutkan mengenai “Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan
upaya penyelesaian sengketa secara patut”, mengenai hak konsumen atau
pengguna jasa bus angkutan darat, setiap konsumen mendapatkan haknya dalam
perlindungan apabila konsumen atau penumpang menjadi korban akibat
kecelakaan dan setiap masalah/kecelakaan akan diselesaikan dengan cara
musyawarah mufakat sampai keduanya mendapatkan kesepakatan.
98
dengan penggunaan jasa yang sudah merugikan penumpang atau konsumen, baik
dari kerugian materi maupun kerugian yang menyangkut diri konsumen.
Apabila penumpag atau pengguna jasa angkutan darat merasakan kuantitas
dan kualitas jasa yang di dapatkan tidak sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya, maka penumpang tersebut berhak mendapatkan ganti rugi yang
pantas, jenis dan jumlah ganti kerugian yang berlaku atau ats kesepakatan
masing-masing.99
2. Pengaturan perlindungan Pengguna Jasa Angkutan Darat
Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
Kewajiban pengemudi kendaraan angkutan daratdalam Pasal 231
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, apabila
terjadi suatu kecelakaan yang pertama kali harus dilakukan pengemudi adalah
melakukan pertolongan dan Perawatan korban kecelakaan, dan kewajiban
pengemudi adalah sebagai berikut:
a. Menghentikan kendaraan yang dikemudikannya, b. Memberikan pertolongan kepada korban
c. Melaporkan kecelakaan lalu lintas tersebut kepada pihak kepolisian terdekat,
d. Memberikan keterangan yang terkait dengan terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut.
Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Pasal 234 ayat (1) juga menyebutkan bahwa “pengemudi,
99