BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG DALAM
PENGANGKUTAN DI DARAT
A. Pengirim Barang dan Hubungannya dengan Pengguna Jasa.
Pengangkutan merupakan salah satu hal yang vital dalam kehidupan manusia,
baik dalam perdagangan maupun untuk melakukan pengiriman barang. Ketentuan mengenai pengangkutan dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (selanjutnya disebut KUHD), dan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, pengiriman barang adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar provisi atas barang yang dikirim.
Pengertian Pengiriman Barang adalah merupakan rangkaian kegiatan pemindaian barang atau penumpang dari suatu tempat pemuatan ke tempat tujuan
sebagai tempat penurunan pembongkaran barang muatan.16 Adapun peristiwa hukum pengangkutan meliputi empat pokok kajian, yaitu: serangkaian perbuatan
hukum mengenai cara terjadi perjanjian, pengangkutan, saat terjadinya perjanjian pengangkutan, pembuktian dengan dokumen pengangkutan.17
Pengiriman barang dari satu tempat ke tempat lain dilakukan oleh Perusahaan
jasa pengiriman yang merupakan sebuah kegiatan bisnis yang bertujuan untuk mengirim atau menyalurkan produk kepada penerima barang sehingga akan
memperoleh suatu kepuasan (satis faction) yaitu dengan mengirimkan barang pemilik ketempat yang dituju dengan jangka waktu yang singkat dan biaya yang
16
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Aditya Bakti. Bandung, 2008, hal.48.
17
minimum, hal tersebut dilakukan Perusahaan jasa pengiriman barang untuk mencapai suatu kepuasan terhadap pemilik barang.
Melihat kepada definisi pengiriman barang maka dapat diketahui ada hubungan hukum antara perusahaan penyedia jasa pengirim barang JNE dengan
masyarakat pengguna jasa tersebut, dengan adanya hubungan hukum antara para pihak akan menimbulkan suatu perikatan, hubungan hukum yang terjadi antar
para pihak juga akan menimbulkan hak dan kewajiban.
Perikatan yang timbul akibat hukum antar para pihak terjadi karena disetujuinya persyaratan terhadap benda yang akan dikirim oleh JNE. Dimana
pengirim membayar biaya pengiriman itu sebagai persetujuan dapat dilihat dengan distempelnya sampul kiriman yang bersangkutan, dengan demikian maka oleh
JNE timbullah hubungan hukum para pihak yaitu pihak JNE dengan pemilik barang.
Hak dan kewajiban dari para pihak muncul karena pihak pengirim berjanji dan
menempelkan resi pada barang yang akan di kirim, dengan penempelan resi tersebut dapat dipandang bahwa yang bersangkutan telah mengikatkan dirinya
dengan pihak JNE, selanjutnya cepat tidaknya pengiriman barang tersebut dilakukan tergantung kepada jenis ongkos kirim berdasarkan cara penghitungan ongkosnya yaitu ongkir progresif, ongkir regresif dan ongkir volumetrik. Ternyata
kecepatan waktu pengantaran atau pengirimannya.18 Dipenuhinya ketentuan mengenai penempelan resi tersebut, maka pihak pengirim dipandang telah
membayar ongkos pengiriman atau dengan kata lain telah memenuhi kewajibannya. Pihak JNE sebagai sarana pengiriman berhak atas ongkos kirim,
berupa pembayaran perangko dari pihak pengirim. Dan sebagai imbalan atas haknya itu pihak JNE berkewajiban untuk mengankut dan melakukan pengiriman
barang dengan selamat sampai ke tempat tujuan.
D. Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Pengiriman Barang Menurut
Peraturannya.
Perusahaan jasa memiliki tanggung jawab dalam arti liability yang dapat diartikan sebagai tanggung gugat dan merupakan bentuk spesifik dari tanggung
jawab hukum menurut hukum perdata. Tanggung gugat merujuk pada posisi seseorang atau badan hukum yang dipandang harus membayar suatu kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa hukum.19
Tanggung jawab itu timbul akibat Perjanjian yang dilakukan para pihak dan harus memenuhi beberapa syarat seperti harus ada barang tertentu dan ada
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu, karena tanpa adanya pihak-pihak-pihak-pihak tersebut maka perjanjian itu tidak mungkin ada. Demikian pula halnya pada perjanjian pengangkutan, karena tanpa adanya yang mengadakan perjanjian pengangkutan
tidaklah akan ada (lahir). Kewajiban ganti rugi bagi pelaku usaha yang didasari oleh undang- undang menyatakan bahwa pelaku usaha harus terlebih dahulu
18
http://www.bisniskurir.com/2014/07/beda-layanan-beda-ongkirnya.html, diakses tanggal 1 September 2016.
19
dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling). Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana
pelaku usaha dinyatakan ingkar janji atau telah melakukan wanprestasi. Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa perikatan ditujukan untuk:
1. Memberikan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu; 3. Tidak berbuat sesuatu.
Ridwan Syahrani, berpendapat bahwa perjanjian dimana prestasinya berupa memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya, maka untuk pemenuhan prestasi tersebut debitur harus lebih dahulu diberi teguran agar ia memenuhi kewajibannya, debitur yang tidak memenuhi prestasi setelah diberi teguran maka ia dianggap telah wanprestasi.20
Pada mulanya pengaturan mengenai bagaimana caranya memberikan teguran terhadap pelaku usaha untuk memenuhi prestasi diatur di dalam Pasal
1238 KUHPerdata, namun setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 3 tahun 1963 tertanggal 5 september 1963, maka ketentuan dalam pasal 1238 tersebut menjadi tidak berlaku lagi.
Ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada pelaku usaha yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan
penggantian kerugian berupa biaya dan rugi. Biaya adalah segala pengeluaran
atau perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh konsumen, sedangkan rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang
milik konsumen akibat kelalaian pelaku usaha.21 Pelaku usaha yang dianggap
telah melakukan wanprestasi dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian,
20
Ibid,hal.229 21
namun jumlah besarnya ganti kerugian yang dapat dituntut pemenuhannya kepada pelaku usaha dengan dibatasi oleh undang-undang. Beberapa alasan yang
dapat menjadikan pelaku usaha melakukan wanprestasi yaitu:
1. Overmacht
2. Alasan timbal balik
3. Pelepasan Hak
Pelaku usaha pengiriman barang dalam melakukan wanprestasi dapat mempunyai alas an overmachtrelative yaitu suatu keadaan memaksa yang dapat
dicari jalan keluarnya.22
Perjanjian pengangkutan dapat di definisikan sebagai perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim barang, dimana pengangkut
mengikatkan dirinya untuk memberikan pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan tepat pada waktunya, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar ongkos (uang angkutan) sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati, menurut ketentuan Pasal 186 UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Perusahaan angkutan umum
yang dalam hal ini perusahaan pengiriman barang wajib mengankut barang yang akan dikirim setelah disepakatinya perjanjian angkutan dan/atau dilakukan
pembayaran biaya angkutan oleh pengirim barang.
Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan dibagi atas dua, yaitu pihak pengangkut dan pihak pemilik barang adalah pengangkut dan pengirim. Dengan
22
kata lain bahwa, pengangkut dan pengirimlah yang mengadakan perjanjian pengangkutan.23
Setelah para pihak mengikatkan diri maka akan muncul suatu tanggung jawab pengangkut dapat didefinisikan sebagai kewajiban perusahaan angkutan
untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang serta pihak ketiga.24 Pertanggung jawaban yang harus ditanggung Perusahaan jasa
pengiriman barang muncul akibat kelalaian saat pengangkutan, kelalian tersebut dapat berupa rusaknya barang saat pengiriman, hilangnya barang saat pengiriman, atau barang yang dikirim sudah sampai akan tetapi tidak tepat waktu. Setiap
kelalaian tersebut akan ditanggulangi dengan cara yang berbeda seperti ganti rugi sepenuhnya atas barang yang hilang, dan upaya lainnya.
Perusahaan jasa pengiriman barang dapat ditemukan dalam ketentuan KUHD diatur dalam:
a. Pasal 468 KUHD
Ayat 1 “Persetujuan pengangkutan untuk menjaga keselamatan barang yang harus
diangkutnya mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut”.
Ayat 2 (a) “Pengangkut wajib mengganti kerugian pengirim, apabila barang yang
diangkutnya tidak diserahkan atau rusak”.
Ayat 2 (b) “Tetapi pengangkut tidak berkewajiban mengganti kerugian pengirim,
bila tidak dapat diserahkan atau rusaknya barang itu disebabkan karena: 1. Suatu malapetaka yang tidak dapat dihindari terjadinya.
2. Sifat, keadaan atau cacat dari barang itu sendiri.
23
Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit, hal. 17 24
3. Suatu kelalaian atau kesalahan si pengirim sendiri.”
Ayat 3 : “Pengangkut juga bertanggung jawab kepada :
1. segala perbuatan mereka yang dipekerjakan bagi kepentingan pengangkut itu. 2. sifat, keadaan atau cacat dari barang itu sendiri.
3. segala barang (alat-alat) yang dipakainya untuk menyelenggarakan
pengangkutan itu.”
b. Pasal 477 KUHD
Ketentuan Pasal 447 KUHD merumuskan “pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena terlambat diserahkannya barang yang
diangkut kecuali apabila dibuktikan keterlambatan itu disebabkan karena suatu malapetaka yang tidak dapat dicegah atau dihindarinya”.
c. Khusus untuk rusaknya barang, pengangkut bebas dari tanggung jawab apabila dapat membuktikan rusaknya barang itu karena cacat barang atau karena kesalahan pengirim.
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam melindungi pemilik barang, dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,
diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.25
Prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dikemukakan sebagai
berikut:
a. Prinsip Tanggung Jawab karena kesalahan (liability based on fault).
Prinsip ini sudah cukup lama berlaku, baik dalam hukum pudana maupun
25
hukum perdata. Dalam sistem hukum perdata kita misalnya, ada prinsip perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tanggung jawab seperti ini kemudian diperluas dengan vicarious liability, yakni tanggung
jawab majikan, pimpinan perusahaan terhadap pegawainya atau orang tua terhadap anaknya, sebagimana diatur dalam pasal 1367 KUH Perdata.
b. Prinsip Praduga Bertanggung Jawab (presumption of liability principle). Seseorang atau tergugat dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Dengan demikian beban
pembuktian ada padanya. Asas ini lazim pula disebut sebagai pembuktian ada padanya, asas ini lazim pula disebut sebagi pembuktian terbalik
(omkering van bewijslast).
c. Prinsip Praduga Tidak Selalu Bertanggung Jawab (Presumption of
Nonliability Principle). Prinsip ini menggariskan bahwa tergugat tidak selamanya bertanggung jawab.
d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability). Prinsip ini merupakan
kebalikan dari prinsip pertama. Dengan prinsip ini tergugat harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada dirinya.
e. Prinsip Tanggung Jawab Terbatas (limitation of liability). Prinsip ini menguntungkan para pelaku usaha karena mencantumkan klausul
Prinsip tanggung jawab terbatas ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, seharusnya pelaku usaha tidak boleh
secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawab. Jika ada pembatasan mutlak harus
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.26
Sebagaimana diketahui bahwa peraturan perundang-undangan mengatur
beberapa kewajiban yang harus dipatuhi oleh perusahaan pengangkutan dalam menjalankan usahanya. Apabila dalam melaksanakan kewajibannya itu terjadi pelanggaran maka tentu saja tanggung jawab sepenuhnya menjadi milik pihak
Perusahaan Pengangkut, yaitu:
1. Bertanggung jawab atas barang yang hilang/dicuri dan memberikan Ganti
kerugian yang diderita pemilik barang
2. Bertanggung Jawab Terhadap Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan Sopir/Pekerjanya27
Adapun penjabaran dari kewajiban itu, yaitu:
1. Bertanggung jawab atas barang yang hilang/dicuri dan memberikan Ganti
kerugian yang diderita pemilik barang
Jika barang yang diangkut hilang/dicuri atau mengalami kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan atau keteledoran perusahaan pengirim, maka harus
bertanggung jawab atas hal tersebut. Adapun posisi pengangkut di sini terkait dengan terjadinya hilangnya barang karena lalai atau kekurang hati-hatian
26
Shidarta. Op. Cit, hal 50 27
Pengangkut dalam memverifikasi identitas asli sang sopir, terbukti dengan fakta di lapangan bahwa KTP, SIM dan SKCK milik sang Supir adalah palsu,
disamping itu Pengangkut gagal memonitorisasi dan melakukan pengawasan terhadap kinerja sang sopir yang menyebabkan hilangnya barang. Tindakan ini
berdampak kerugian kepada Pemilik Barang sehingga Pengangkut wajib bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1366
KUHPerdata yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatiannya”
Tanggung Jawab mengganti kerugian ini diperjelas kembali dalam Pasal 188 UU No.22 Tahun 2009, yang berbunyi: “Perusahaan Angkutan Umum wajib
mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa Perusahaan pengiriman barang memiliki kewajiban untuk
melakukan ganti rugi akibat kelalaian yang ditimbulkan oleh perusahaan itu sendiri.
Perihal ganti kerugian atas barang yang hilang tersebut diperjelas dalam Pasal 193 UU No. 22 Tahun 2009 bersangkutan yang berbunyi: “Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim
barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang
disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau
Adapun yang menjadi peringan bagi Perusahaan Jasa Pengangkut Barang untuk menghindari ganti kerugian ini tentunya jika mereka dapat membuktikan
bahwa musnah atau hilangnya barang yang diangkut tersebut merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah/dihindari (overmacht) atau kesalahan
pengirim.
2. Bertanggung Jawab Terhadap Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan
Sopir/Pekerjanya
Perusahaan Pengangkut juga harus bertanggung jawab atas perbuatan sopir yang dipekerjakannya. Pasal 1367 KUHPerdata adalah landasan utama bagi
pertanggung jawaban tersebut, dimana seorang majikan (employer) bertanggung jawab secara tidak langsung terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan
pekerjanya sejauh hal tersebut terjadi dalam konteks pekerjaan. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut: “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.”
“Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan
urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada
orang-orang itu.”
Aturan hukum mengenai pertanggung jawaban suatu perusahaan jasa
“Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan
oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan
angkutan.”
Berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata dan Pasal 191 UU No. 22 Tahun
2009 tersebut di atas dapat dikaitkan atau timbul dua bentuk pertanggung jawaban terkait adanya kehilangan barang yang dilakukan oleh pekerja dalam
suatu perusahaan yaitu antara lain:
1) Tanggung jawab terhadap perbuatan orang lain
Tentunya ini terkait dengan timbulnya tanggung jawab Perusahaan
Pengangkut terhadap setiap perbuatan yang dilakukan oleh Pekerjanya yang dalam hal ini sang Supir. Dalam Paragraf pertama Pasal 1367 KUHPerdata
menjelaskan tanggung jawab ini secara jelas, dimana ditentukan terciptanya suatu tanggung jawab ketika seorang yang merupakan tanggungan lainnya melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan kerugian terhadap pihak lain.
2) Tanggung jawab majikan (perusahaan) terhadap pekerjanya (sopir)
Bentuk pertanggung jawaban ini tercantum dalam paragraf ketiga Pasal 1367
KUHPerdata, dimana ditentukan bahwa pada dasarnya majikan atau suatu perusahaan dibebankan suatu pertanggung jawaban terhadap setiap kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan oleh para pekerjanya dalam setiap
pelaksanaan tugas mereka.
3) Tanggung jawab yang terdapat dalam izin usahanya, yaitu terdiri dari:
b. Bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan dari pengiriman barang yang menggunakan dokumen-dokumen yang diterbitkannya;
c. Bertanggung jawab menyerahkan barang-barang yang diurusnya dan menutup asuransi terhadapnya
Perusahaan jasa pengangkutan juga bertanggung jawab atas penyerahan barang-barang yang diurusnya sesuai syarat-syarat umum yang berlaku bagi
perusahaan jasa Pengurusan transportasi dan harus menutup asuransi usaha jasa pengurusan transportasi yang memadai. Sanksi terhadap pelanggaran tanggung jawab ini adalah pencabutan izin usahanya.
E. Pengaturan Hukum Tentang Pengiriman Barang
Lalu lintas sebagai salah satu jaringan penghubung selalu memiliki
keterkaitan dengan angkutan jalan, penggunaan angkutan jalan pada dasarnya dapat di pergunakan oleh masyarakat untuk mengangkut orang dan barang, ketentuan hukum mengenai pengiriman barang melalui jalur darat dapat di
temukan secara khusus dalam rumusan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ketentuan UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdiri dari 22 bab dan 326 pasal yang mencabut ketentuan Undang-Undang No.14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan angkutan jalan. Pembentukan
Undang-Undang baru ini dibentuk dalam rangka mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umun
kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan serta segala hal yang diangkut oleh angkutan jalan tersebut.
Pengiriman barang sebagai salah satu bentuk pengangkutan yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Pasal 4 huruf A mengatur tentang gerak pindah kendaraan, orang, dan/atau barang, berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dasar
aturan hukum pengiriman barang dalam pengangkutan melalui jalur darat dapat dilandaskan kepada ketentuan pasal tersebut.
Seorang pemilik yang akan melakukan pengiriman barang membutuhkan
kendaraan sebagai alat pengangkutan, ketentuan UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 47 ayat (1) mengatur jenis kendaraan untuk pengangkutan, yaitu:
a. Kendaraan bermotor, adapun bentuk kendaraan bermotor yang dapat dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang, yaitu: sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus, mobil barang, dan kendaraan
khusus.
b. Kendaraan tidak bermotor, adapun bentuk kendaraan tidak bermotor
yang dapat dipergunkan untuk pengangkutan orang atau barang, yaitu: kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang dan kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang dengan kendaraan bermotor dirumuskan dalam Pasal 137 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang
ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa Perusahaan pengiriman barang yang akan mengirim barang dari satu tempat ke tempat lain wajib menggunakan mobil
barang.
Barang yang akan diangkut oleh mobil barang dibedakan jenisnya menurut
UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan rumusan Pasal 160 yang membedakan angkutan barang umum dan angkutan barang khusus.
Ketentuan mengenai pengangkutan barang umum harus memenuhi ketentuan Pasal 161 yang merumuskan prasarana jalan yang dilalui harus memenuhi kelas jalan, tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk memuat dan
membongkar barang dan menggunakan mobil barang. Ketentuan untuk barang khusus harus memenuhi ketentuan yang di rumuskan dalam ketentuan pasal 162
ayat (1), yaitu:
a. Memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut
b. Diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut c. Memarkir kendaraan ditempat yang ditetapkan
d. Membongkar dan memuat abrang ditempat yang ditetapkan dan dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut
e. Beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu keamanan, keselamatan, kelancaran dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan
Barang yang akan diangkut untuk dikirim akan melalui proses pengawasan ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan dan
kelas jalan, pengawasan tersebut dilakukan terhadap pengemudi dan/atau perusahaan pengiriman barang yang akan mengirimkan barang tersebut ketempat
tujuan melalui proses penimbangan, hal tersebut dirumuskan dalam ketentuan Pasal 169 ayat (1) sampai dengan ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
Perusahaan angkutan umum yang dalam hal ini salah satunya perusahaan pengiriman barang yang akan melakukan pengiriman barang juga terikat dengan
pengirim barang dalam ikatan perdata karena adanya kesepakatan dalam pengiriman barang. Dasar perjanjian pengiriman barang telah diatur dalam Buku
III Burgerlijk Wetboek tentang Perikatan. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata
menyatakan bahwa : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Subekti
menyatakan, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal
yang menimbulkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya.28
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mengatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini maksudnya bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian, sepanjang tetap
memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
28
KUHPerdata bahwa asas kebebasan berkontrak tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dijelaskan bahwa syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian yaitu:
1. Kesepakatan para pihak
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak
dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan. Persetujuan dapat dinyatakan
secara tegas maupun secara diam-diam.29
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Seseorang yang akan melakukan perbuatan hukum dalam ketentuan hukum perdata haruslah sudah cakap hukum, ketentuan tersebut diatur dalam
pasal 330 KUHPerdata untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal ini membuat perjanjian ialah orang yang sehat akal pikiran yaitu orang yang tidak memiliki
keterbelakangan mental, tidak sakit jiwa atau gila dan juga bukan orang yang pemboros Pasal 433 KUHPerdata. Selain itu orang yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum seperti membuat perjanjian adalah orang yang tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, seperti orang yang sedang pailit dilarang untuk mengadakan perjanjian
utang-piutang.
29
3. Suatu hal tertentu
Prestasi ialah sesuatu hal tertentu yang dapat menjadi objek dalam suatu
perjanjian. Berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata Prestasi terdiri dari memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Syarat-syarat objek suatu
perjanjian diatur dalam Pasal 1333 KUHPerdata dimana suatu perjanjian harus: a. Diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Tertentu atau dapat ditentukan, artinya prestasi tersebut harus dapat ditentukan dengan jelas mengenai jenis maupun jumlahnya, atau
setidak-tidaknya dapat diperhatikan.
c. Mungkin dilakukan, artinya prestasi tersebut harus mungkin
dilakukan menurut kemampuan manusia pada umumnya dan kemampuan debitur pada khususnya.
4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1335 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian
tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Dua syarat yang pertama merupakan syarat yang bersifat subyektif,
sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat yang bersifat obyektif. Subjektif dan objektif yaitu:30
30
1. Syarat subjektif untuk sahnya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak yang melakukan perjanjian dan cakap hukum. Apabila syarat subjektif ini tidak
terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama para pihak tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku.
2. Syarat obyektif untuk sahnya perjanjian yaitu sesuatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, hal ini berhubungan dengan objek yang diperjanjikan dan
yang akan dilaksanakan oleh para pihak sebagai prestasi atau utang dari para pihak. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.
Para pihak dalam melakukan perjanjian baik itu pelaku usaha sebagai
produsen maupun konsumen, dalam melakukan perjanjian harus memenuhi unsur-unsur perjanjian. Adapun unsur-unsur dari perjanjian tersebut adalah
sebagai berikut:31
1. Unsur esensialia merupakan sifat uang harus ada dalam perjanjian. Sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel),
seperti, persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian.
2. Unsur naturalia merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian, sehingga secara
diam-diam melekat pada perjanjian, seperti, menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual (vrijwaring).
3. Unsur aksidentiali merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal
secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak.
31
Berdasarkan uraian di atas jasa perusahaan pengiriman barang termasuk kedalam perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa yaitu suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain suatu kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu
tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut terakhir disanggupi pembayarannya terdapat dalam Pasal 1548 KUHPerdata. Oleh karena
itu apabila perusahaan pengiriman barang tidak melakukan salah satu isi perjanjian maka perusahaan dianggap telah melakukan wanprestasi.
Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi dalam setiap perikatan,
prestasi merupakan isi daripada perikatan, apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia dikatakan
wanprestasi. Sementara itu, dengan wanprestasi, ataupun yang disebut juga dengan istilah breach of contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak
terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.32
Riduan Syahrani, wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam, yaitu:33
1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi, artinya debitur sama sekali tidak
memenuhi perikatan atau dengan kata lain debitur tidak melaksanakan isi perjanjian sebagaimana mestinya.
32
Presta si dan Wanprestasi Dala m Hukum Kontrak, http://ocw.usu.ac.id,diakses tanggal 21 Juli 2016.
33
2. Tidak tunai memenuhi prestasi atau prestasi dipenuhi sebagian, artinya bahwa debitur telah memenuhi prestasi tetapi hanya sebagian saja, sedangkan
sebagian yang lain belum dibayarkan atau belum dilaksanakan.
3. Terlambat memenuhi prestasi, bahwa debitur tidak memenuhi prestasi pada
waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian, walapun ia memenuhi prestasi secara keseluruhan.
4. Keliru memenuhi prestasi, artinya bahwa debitur memenuhi prestasi dengan barang atau obyek perjanjian yang salah. Dengan kata lain prestasi yang dibayarkan bukanlah yang ditentukan dalam perjanjian ataupun bukan pula
yang diinginkan oleh kreditur.
Apabila konsumen hanya menuntut ganti kerugian saja maka ia dianggap
telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian, sedangkan apabila konsumen hanya menuntut pemenuhan perikatan maka tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan