Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.SH)
Oleh :
Muhammad Syaifullah
1111045100021
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
v
Konsentrasi Kepidanaan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/2016 M.
Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Hak dasar anak adalah hak untuk memperoleh perlindungan baik dari Orang tua, Negara dan Masyarakat, memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan kesejahteraannya merupakan sebagian dari hak-hak anak. Namun, pada kenyataannya seringkali hak-hak terhadap anak diabaikan oleh orang tua, terutama oleh ayah yaitu hak kasih sayang dan hak asuh terhadap anak atau yang sering disebut dengan penelantaran.
Metode yang digunakan adalah normative-yuridis, artinya melakukan pendekatan masalah serta penyelesaiannya berdasarkan norma-nomra hukum sebagaimana dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta aturan hukum yang ada dalam agama Islam, serta dengan penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara menelusuri buku-buku dan literature-literature yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Hasil dari analisis penelitian ini menerangkan pertanggungjawaban orang tua (ayah) dalam menelantarkan anaknya menurut hukum Islam sangat bervariatif, dari yang terberat hingga teringan, karena dalam hukum Islam sanksi bagi pelaku penelantaran anak masuk dalam kategori Jarimah Ta'zir, yag berat dan ringannya hukuman diserahkan kepada penguasa atau hakim setempat. Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut
bahwasannya “setiap orang yang menelantarkan orang dalam ruang lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Yaitu
dipidana dengan penjara paling lama (3) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00.- (lima belas juta rupiah). Dan terkait UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam menangani kasus penelantaran anak dilingkup rumah tangga, tidak berpengaruh mengingat belum memberikan efek jera bagi sebagian orang tua pelaku penelantaran dan hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penelantaran anak yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Kata Kunci : Penelantaran, Ayah, Anak, Sanksi, Hukum Islam.
vi
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang selalu menganugrahi nikmat
dan karunia yang tiada terkira, sholawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya sampai
akhir zaman.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ungkapan kebahagiaan dengan penuh
rasa syukur dengan terlaksananya penyusunan skripsi sebagai tanda lulus dan selesainya
masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Dalam penyusunan skripsi ini, banyak
ditemui halangan dan hal-hal lain yang menggangu fokus penulis, namun dengan
kesungguhan hati dan dorongan motivasi yang tak terbatas dalam diri dan dari lingkungan
sekitar penulis, segala dapat dilalui. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah UIN
vii arahanya.
6. Bapak Amrizal Siagian S.Hum, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan waktu , bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam penyusunan
skripsi ini.
7. Seluruh Dosen dan Staf Jinayah Siyasah, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu
berikan selalu bermanfaat bagi penulis dan menjadi keberkahan dimasa yang akan
datang.
8. Teristimewa untuk Bapak dan Ibu tercinta, Bapak H. Sadelih. E dan Ibu Hj. Sri
Haryati yang selalu mencurahkan kasih sayang tak terhingga, serta dukungan moril
dan materil serta doa kepada penulis.
9. Teruntuk Fadhilatunnisa sebagai calon istri yang selalu mendoakan, memberi
semangat dan menemani dalam mengerjakan skripsi ini di keadaan on fire maupun magerrr..
10. Terkhusus Hadyan, Iqbal Gece, Iqbal Gimbal, Nopal, Izul Hasibuan selaku ce‟es kentel, juga teman-teman seperjuangan Program Studi Hukum Pidana Islam
Konsentrasi Kepidanaan Islam angkatan 2011 yang telah memberikan semangat dan
viii
JAKARTA) yang telah memberikan support untuk penyelesaian penulisan skripsi.
13. Semua pihak yang telah membantu, mendukung, dan memberikan dorongan
semangat dan motivasi kepada penulis dalam menjalani kegiatan akademik dan
organisasi selama ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan terindah, dan keberkahan-Nya selalu
menyertai kita. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang membangun demi adanya
perbaikan dalam penulisan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat berguna
bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, 23 Oktober 2016
Penulis
ix
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Rumusan Masalah ...5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...5
D. Kerangka Teori ...6
E. Metode Penelitian ...10
F. Studi Review Terdahulu ...13
x
C.Kriteria Penelantaran Anak ...34
D.Tanggung Jawab Ayah Menurut Islam ...36
E. Hak Anak Menurut Islam ...40
F. Hak Anak Menurut Undang-Undang ...52
G.Batasan Pengertian Kekerasan KDRT ...56
H.Kategori Orang Tua dan Batasan Tanggungjawabnya ...63
BAB III SANKSI PIDANA TERHADAP AYAH YANG MENELANTARKAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A.Pengertian dan Dasar Sanksi…...68
1. Pengertian dan Dasar Sanksi Menurut Hukum Islam...68
2. Pengertian dan Dasar Sanksi Dalam Undang-Undang...71
B. Tujuan dan Fungsi Sanksi…...72
1. Tujuan dan Fungsi Sanksi Dalam Hukum Islam...72
xi DALAM RUMAH TANGGA
A.Pertanggungjawaban Hukum Ayah Pelaku Penelantaran Anak Menurut
Hukum Islam...89
B. Pertanggungjawaban Hukum Ayah Pelaku Penelantaran Anak dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga...92
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…...98 B. Saran-Saran...101
1
Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling penting dalam
tatanan kemasyarakatan. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari
hubungan antara laki-laki dan perempuan.1 Dari keluarga itu juga akan
melahirkan individu-individu baru yang akan meneruskan kehidupan selanjutnya.
Dengan lahirnya individu tersebut maka akan menimbulkan tanggung jawab yang
besar yang pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan oleh kedua orang
tuanya.2
Struktur keluarga yang ideal adalah keluarga yang di dalamnya terdiri dari
suami sebagai kepala rumah tangga, istri sebagai ibu rumah tangga, dan
anak-anak sebagai anggota keluarga. Kehadiran seorang atau beberapa anak-anak di
tengah-tengah keluarga merupakan bagian tak terpisahkan dalam tujuan suatu
perkawinan yang ingin membentuk rumah tangga dalam keluarga bahagia,
dengan hadirnya anak, maka suasana keluarga dalam rumah tangga terasa ceria
penuh dengan canda yang dapat menambah semangat kerja dan semangat
membangun keluarga. Untuk membentuk suatu keluarga tentunya ada
1
William Goode J, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Hal. 107.
2
tahapan yaitu perkawinan lalu kemudian memiliki anak dan terbentuklah suatu
keluarga.3
Dalam berkeluarga memiliki anak merupakan kebahagiaan tersendiri bagi
orang tua. Harapan keluarga dan tujuan akhir dari pernikahan telah terpenuhi.
Berbagai harapan dan cita-cita telah dinantikan oleh orang tua dalam
mendampingi, merawat, mendidik anak, agar kelak memiliki kepribadian yang
baik pada waktu besar dan dewasa nanti. Anak dalam perkembangannya
membutuhkan proses yang panjang, maka dalam membentuk prilaku anak yang
berakhlak mulia peran orang tua sangat dibutuhkan. Karena dalam mengasuh
anak tidak hanya sekedar mengasuh tetapi orang tua perlu bertanggung jawab
dalam memberikan perhatian sempurna kepada anaknya semenjak dari masa
mengandung, melahirkan hingga sampai masa dewasa, orang tua berkewajiban
mempersiapkan pertumbuhan jiwa, raga dan sifat anak supaya nantinya sanggup
menghadapi pergaulan masyarakat.4
Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa
dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan
kebebasan.5 Sesuai dengan pasal 52 ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999
tentang hak asasi manusia yang menyebutkan bahwa anak di akui dan dilindungi
3
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), Hal. 239.
4
Djuju Sudjana, Peranan Orang Tua Dalam Lingkungan Masyarakat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996). Hal. 98.
5
oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Hak dasar anak adalah hak untuk
memperoleh perlindungan baik dari Orang tua, Negara dan Masyarakat,
memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan kesejahteraannya merupakan
sebagian dari hak-hak anak.6
Salah satu hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapatkan perlindungan
sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.7 Perlindungan yang dimaksud
ialah hak yang melekat pada diri anak sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur
hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Konvensi hak anak
menyebutkan, ada 4 (empat) pokok yang dimiliki seorang anak yang harus
dilindungi yaitu hak untuk hidup (survival), hak berkembang (development), hak mendapat perlindungan (protection), dan hak berpartisipasi (participation).8 Namun, selain hak anak tadi ada hak anak yang seringkali diabaikan oleh orang
tua, terutama oleh ayah yaitu hak kasih sayang dan hak asuh terhadap anak atau
yang sering disebut dengan penelantaran. Selain terabaikan kasih sayang dan hak
asuh terhadap anak, penelantaran yang dimaksud dalam pengertian ini ialah tidak
terpenuhinya hak-hak utama terhadap anak, seperti hak nafkah (sandang, pangan
dan papan) dan juga hak dalam pendidikan.
Anak termasuk dalam kelompok rentan, jadi sudah sewajarnya memperoleh
perlindungan khusus dari negara. Perlindungan khusus tersebut berupa pembaharuan
6
Levin Leah, Hak Asasi Anak-Anak dalam Hak-Hak Asasi Anak, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994). Hal. 89.
7
Bismar Siregar, Hukum dan Hak-Hak Asasi Anak, (Jakarta: Rajawali, 1986). Hal. 40.
8
hukum dengan cara menetapkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud
untuk melindungi anak dari tindak penelantaran, termasuk memberikan pelayanan
terhadap anak yang menjadi korban penelantaran.9 Pembaharuan di bidang legislasi
berupa pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan, mengingat selama
ini peraturan yang ada belum memadai dan tidak sesuai dengan perkembangan
hukum masyarakat, serta belum memberikan efek jera kepada orang tua atau pelaku
penelantaran karena sanksinya terlalu ringan. Mengingat terjadinya tindak
penelantaran keluarga khususnya terhadap anak dalam masyarakat, maka fenomena
tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak terkait yang memerlukan
peningkatan dalam penegakkan hukum. Oleh karena perbuatan penelantaran tersebut
diancam pidana dalam Pasal 49 huruf (a) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan pidana penjara 1 (satu) tahun
dan diperintahkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali bila dikemudian
hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena terdakwa sebelum lewat masa
percobaan telah melakukan perbuatan yang dapat dipidana.10 Maka dari itu penyusun
ingin mengulas dan membahas lebih mendalam tentang penelantaran anak dan
berusaha membahasnya dalam judul “Penelantaran Ayah Terhadap Anak (dalam Perspektif Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga)”.
9
Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990). Hal. 92.
10
B. Rumusan Masalah
Masalah penelantaran anak yang terjadi menimbulkan beberapa pertanyaan
yang menyangkut tentang pertanggungjawaban hukum orang tua khususnya
seorang ayah yang melakukan penelantaran terhadap anaknya. Untuk
mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, maka penyusun membatasi pada
pokok permasalahan dan di rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tanggung jawab ayah terhadap anak menurut hukum Islam
dan Undang-Undang PKDRT ?
2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban hukum terhadap ayah yang
menelantarkan anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang PKDRT?
3. Bagaimanakah Implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dalam penelantaran anak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian ini adalah:11
a. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab ayah menurut hukum Islam
dan hukum positif.
b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban hukum penelantaran
ayah terhadap anak menurut undang-undang PKDRT.
11
c. Untuk mengetahui apakah implementasi Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam penelantaran
anak.
2. Manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi insan akademik dapat mengetahui dan lebih memahami
problematika atau sebagai salah satu upaya pemberian informasi
tentang penelantaran anak yang terdapat dalam Hukum Islam dan UU
Nomor 23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga.
2. Penelitian ini diharapkan dijadikan landasan untuk penelitian lanjutan
dan semakin membangkitkan atau menjadi motivasi peneliti
selanjutnya dalam pengembangan kajian yang berkaitan dengan anak.
Diharapkan hasil penelitian ini mampu memperkarya wancana intelektual
bagi setiap pribadi muslim dan masyarakat luas untuk memahami secara
benar mengenai perihal penelantaran anak.12
D. Kerangka Teori
Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
tidak bisa di anggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak
hati oleh orang tuanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dituliskan
bahwa anak adalah keturunan, yang menurut pengertian lain anak adalah
manusia yang paling kecil namun dalam arti luas anak adalah manusia yang
pada suatu masa perkembangan tertentu mempunyai potensi menjadi
12
dewasa.13 Dan anak senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat
harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus di junjung tinggi.14
Anak dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya
dalam agama Islam, anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang
keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui
proses penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam
pandangan Islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti
diberikan keperluan untuk kebutuhan baik lahir maupun batin, sehingga kelak
anak tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia dan dapat bertanggung
jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya
dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam, anak merupakan titipan Allah
SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan Negara yang kelak
akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai pewaris
ajaran Islam.15
Pengertian anak dalam Undang yang terdapat pada
Undang-Undang 1945 di dalam Pasal 34 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung makna bahwa anak
adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara
dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak tersebut
13
Anton M Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988). Hal. 30.
14
Kedaulatan Rakyat, Jurnal Rubrik Keluarga: Pahami Dunia Anak, 17 Desember 2006, tahun LXI No. 112. Hal. 9.
15
merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Ditegaskan
pengaturan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979
tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak harus memperoleh
hak-hak kesejahteraan hidupnya dan dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangan dengan wajar dan baik secara jasmani, rohani maupun sosial.16
Islam mengajarkan pemeluknya untuk memberikan perlindungan
terhadap anak. Perlindungan anak tersebut berupa jaminan dan perlindungan
hak-haknya sehingga anak dapat hidup tumbuh berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Serta
dapat perlindungan dari setiap tindakan kekerasan, penelantaran, dan tindak
diskriminasi.17
Tanggung jawab orang tua (ayah) terhadap anak adalah merupakan
kewajiban yang tidak dapat diabaikan begitu saja demi terwujudnya
kesejahteraan anak secara rohani, jasmani maupun sosial, orang tua yang
terbukti melalaikan tanggung jawabnya sehingga mengakibatkan timbulnya
hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, maka orang tua
dikategorikan telah menelantarkan anaknya dan dapat di jerat dalam hukuman
pidana.18
16
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000). Hal. 63.
17
Giwo Rubianto Wiyogo, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2007). Hal. I.
18
Hukum pidana bertujuan untuk menegakkan keadilan dan berdasarkan
prinsip bahwa tidak ada penghukuman tanpa adanya kesalahan (Geen straf zonder schuld). Dasar hukum perlindungan terhadap korban penelantaran dalam rumah tangga adalah Pasal 9, pasal 49, pasal 50 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, hal-hal apa saja yang dapat dikatakan sebagai tindakan penelantaran
dalam rumah tangga, serta pertanggungjawaban hukum tindak pidana lainnya
dalam pelanggaran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.19
Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak merupakan kewajiban
serta tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
daerah.20 Dan bagi kehidupan berumah tangga setiap orang dilarang
menelantarkan siapa saja dalam lingkup rumah tangganya. Terutama
menelantarkan anak. Sama halnya yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, bahwasannya setiap orang dilarang menelantarkan orang yang berada
dalam lingkup keluarganya dan berlaku baginya karena persetujuan dan
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan.
Konkretnya, penelantaran rumah tangga dimaksud disini setiap bentuk
kelalaian dan kewajiban tanggung jawab orang tua kepada anaknya.
19
Soejono Soekanto, Penegakkan Hukum, (Bandung: PT. Bina Cipta, 1983). Hal.34-35,40.
20
Sudah saatnya orang tua (ayah) menyadari tanggung jawab terhadap
anak-anaknya, anak-anak pun memiliki hak asasi seperti manusia dewasa
lainnya yang harus dilindungi dan dihargai. Maka hak-hak anak perlu
ditegaskan dan ditegakkan, antara lain untuk hidup yang layak, tumbuh dan
berkembang optimal, memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam
hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak.21
A. Metode Penelitian
Untuk memperoleh suatu hasil yang maksimal dari suatu karangan
ilmiah, maka metode penelitian yang dijalankan akan memegang peranan
yang sangat penting. Hal ini yang sangat mempengaruhi sampai atau tidaknya
isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan yang
digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini meliputi:22
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a.) Pendekatan
Pendekatan yang digunakan adalah normative-yuridis, artinya melakukan pendekatan masalah serta penyelesaiannya berdasarkan
norma-norma hukum sebagaimana yang ada dalam UU Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
serta aturan hukum yang ada dalam agama Islam
21
Soejono Soekanto, Penegakkan Hukum, 1983. Hal. 48.
22
b.) Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penyusun lakukan adalah penelitian pustaka
(library research) yang menggunakan literature-literature berupa; buku, jurnal, kamus dan karya pustaka lainnya yang berhubungan
dengan tema pembahasan dalam penelitian ini sebagai sumbernya.
Karena dalam penyelesaian ini (menjawab rumusan masalah) UU
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga serta Hukum Islam merupakan acuan bagi penyusun sebagai
data-data primer yang menjadi pegangan penyusun.
1. Sumber Data
a.) Data Sekunder
Melalui data sekunder penyusun dapat melakukan studi kepustakaan,
dilakukan penelusuran bahan-bahan penelitian berupa buku, jurnal dan
makalah yang berkenaan dengan masalah yang ada dalam penelitian ini.
b.) Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian yang digunakan adalah deskriptip-analitik, yaitu suatu penelitian yang bertolak belakang dari pemaparan kondisis obyektif
masalah, secara komprehensif. Sebagaimana aturan yang ada dalam
Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga serta menjelaskan data-data tersebut
cenderung meneliti tentang pertanggung jawaban hukuman bagi orang tua
yang menelantarkan anaknya di dalam rumah tangga.
2. Metode Analisis Data
Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), maka dalam metode analisis data yang dilakukan yaitu dengan cara merujuk pada buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan
yang diteliti. Sebagai buku primer (utama) di antaranya: UU Nomoe 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
data-data sekunder lainnya berupa buku-buku, jurnal, makalah dan lain-lain
yang berkaitan dengan judul penelitian ini.23
3. Analisis Data
Analisis Data merupakan yang dipakai untuk menelaah keseluruhan data
yang tersedia dari berbagai sumber.24 Dalam hal ini penyusun
menggunakan metode analisis perbandingan yang mana membandingkan
data-data yang ada, serta mentitik beratkan pada studi pertanggung
jawaban hukuman bagi orang tua yang menelantakan anaknya dalam
rumah tangga.
23
Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988). Hal. 112.
24
B. Studi Review Terdahulu
Dalam penelitian ini yang menjadi pokok bahasan tindakan penyimpangan
terhadap anak yaitu berupa penelantaran anak oleh orang tua. Sejauh pengamatan
penyusun, belum banyak ditemukan akan hal tersebut. Meskipun demikian,
banyak karya tulis yang telah membahas tentang anak, akan tetapi tidak dalam
lingkup penelantaran anak. Sehingga guna mendukung penelitian ini penyusun
berusaha melakukan penelusuran karya-karya, penelitian, makalah, UU serta
pustaka-pustaka yang berkaitan dengan judul penulisan ini, diantaranya adalah:
Penelitian yang dilakukan oleh Astrid Fransisca Natalia R., yang berjudul
“Kerugian Yang Diderita Anak Sebagai Akibat Tindakan Pidana Penelantaran Orang Tua”. Penelitian tersebut di teliti oleh Astrid pada tahun 2008. Hasil dari
penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kerugian yang diderita oleh anak
adalah berupa kerugian fisik dan kerugian psikologis. Kerugian fisik yaitu
kekurangan gizi. Kerugian psikologis yaitu berupa kepribadian tapal batas, fobia
sosial dan gangguan prilaku lainnya.25 Berbeda dengan hasil penelitian Astrid,
penyusun cenderung meneliti tentang pertanggungjawaban hukuman orang tua
terhadap anak yang di telantarkan dalam perspektif hukum Islam dan hukum
positif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
25 Astrid Fransisca Natalia R., “Kerugian Yang Diderita Anak Sebagai Akibat Tindak Pidana
Buku dengan judul Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) karya DR. Arif Gosita yang merupakan sebuah kumpulan makalah-makalah yang
dibukukan, yang mana dalam makalah ini banyak sekali permasalahan anak yang
di paparkan tentang tindak kekerasan terhadap anak.26
Sedangkan dari penelusuran karya-karya lainnya yang bersangkutan dengan
penulisan ini, diantaranya:
Skripsi karya Sana Ulaili dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Tindak Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak Dalam Keluarga”27ruang lingkup pembahasan skripsi ini masih bersifat fisik serta hanya ditinjau dari Hukum Islam.
C. Sistematika Penulisan
Guna mempermudah dalam pembahasan, penyusun membagi susunan
pembahasan dalam lima bab, yaitu:
Bab Pertama, Pendahuluan, pada bab ini terdiri dari: Latar belakang masalah,
Rumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Kerangka teori, Metode
penelitian, Studi review terdahulu dan Sistematika penulisan.
Bab Kedua, Gambaran umum tentang penelantaran anak, yang meliputi:
Pengertian pertumbuhan anak menurut ilmu pengetahuan, Pengertian
penelantaran anak, Kriteria penelantaran anak, Hak anak menurut Islam, Hak
26
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), cet. Ke-3 (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, tt).
27Sana Ulaili, „
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Kekerasan Orang Tua Terhadap
anak menurut undang-undang, Batasan pengertian kekerasan KDRT, Kategori
orang tua dan batasan tanggung jawabnya.
Bab Ketiga, Sanksi pidana terhadap ayah yang menelantarkan anak menurut
Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang meliputi: A. Pengertian dan dasar
hukum sanksi - (1) Pengertian dan dasar hukum sanksi menurut Hukum Islam.
- (2) Pengertian dan dasar hukum sanksi menurut undang-undang, B. Tujuan
sanksi - (1) Tujuan/Fungsi sanksi menurut Hukum Islam. - (2) Tujuan/Fungsi
sanksi dalam undang-undang.
Bab Keempat, Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan
anaknya menurut Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang meliputi:
Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan anaknya dalam
Hukum Islam, Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan
anaknya dalam UU nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
Bab kelima, Merupakan terakhir dalam penulisan yang meliputi kesimpulan
dari pembahasan, serta saran-saran berdasarkan analisis dari penelitian ini
yang diharapkan dapat dijadikan bahan masukkan dan sumbangan penulis
16
A. Pertumbuhan Anak Menurut Ilmu Pengetahuan
1. Pertumbuhan Anak Menurut Islam
Pertumbuhan anak menurut Islam berlangsung fase demi fase, pertumbuhan
itu digambarkan oleh Allah SWT dalam al-Qur‟an sesuai firmannya pada surat Ghafir ayat 67 sebagai berikut:
َ ݒݏ
َ
ݕܐڭ݃
َ
َڭمۿَ اܸٗۡܥَ ۡم݀جܒ ۡ܌ݗَڭمۿَ۸ ق ݄ ܯَ ۡ݊مَڭمۿَ۸ܸۡطڮَ݊مَڭمۿَ۳۱ ܒۻَ݊گمَم݀ ق ݄ خ
َ اٗ ج أَ۱ٓݒغ݄ۡ۶ ۼ݃ ݑَ݂ۡ۶ قَ݊مَݔڭف ݒ ۼݗَ݊ڭمَم݀م ݑَۚ۲ اخݒݘشَ۱ݒݒ݀ ۼَ݃ڭمۿَ ۡمكڭش أَ۱ٓݒغ݄ۡ۶ ۼ݃
َ ݉ݒ݄ق ۡܰ ۻَ ۡم݀ڭ݄ ܰ ݃ ݑَݔ ا݈ سڮم
Artinya: “Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).28
Dari penjelasan ayat diatas bahwa proses individu mengalami tahapan dan
dinamika sejak dalam kandungan hingga melahirkan.29 Seorang individu tumbuh
28
Lihat, QS. Ghafir [67].
29
[image:27.612.116.527.114.430.2]menjadi anak, remaja atau dewasa yang mengarah pada proses pertumbuhan anak.30
Dalam fase pertumbuhan anak menurut konsep Islam, adalah sebagai berikut:
1. Masa Bayi (0 hingga 2 tahun)
Pada fase ini orang tua anak perlu untuk mengembangkan kasih sayang
secara dua arah dimana ibu memberikan kasih sayangnya dan dalam
waktu bersamaan juga mengembangkan kemampuan anak memberikan
respon. Ini seperti yang sering diperhatikan dalam fase pertumbuhan anak
secara umum dimana memang diharapkan mengajarkan dan
memperhatikan anak untuk dapat memberikan respon. Disini yang
dimaksud dengan “mengembangkan kemampuan anak memberikan respon”.
2. Masa anak-anak (2-7 tahun atau disebut dengan fase thufullah)
Pada fase inilah merupakan fase penting memberikan pondasi dasar tauhid
pada anak melalui cara aktif agar anak terdorong dan memiliki tauhid aktif
dimana anak mau melakukan sesuatu yang baik semata menurut Allah.
Fase ini fase penting penanaman pondasi bagi anak.
3. Masa Tanyiz (7-10 tahun)
Di fase ini anak sudah mulai mampu membedakan baik dan buruk
berdasarkan nalarnya sendiri sehingga di fase inilah kita sudah mulai
mempertegas pendidikan pokok syariat.
30
4. Masa Amrud (10-15 tahun)
Fase ini adalah fase dimana anak mulai mengembangkan potensi dirinya
guna mencapai kedewasaan dan memiliki kemampuan bertanggungjawab
secara penuh.
5. Masa Taklif (15-18 tahun)
Pada masa ini anak seharusnya sudah sampai pada titik bernama taklif atau bertanggung jawab. Bagi lelaki setidaknya fase ini paling lambat dicapai
di usia 18 tahun dan bagi anak perempuan paling lambat dicapai usia 17
tahun. Tanggung jawab yang dimaksud selain pada dirinya sendiri juga
tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat dan secara keseluruhan.31
Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam hal ini
adalah agama Islam. Anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang
keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses
penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan
agama Islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti diberi nafkah
baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang
berakhlak mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya
untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam,
anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan
31
negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lill a‟lamin dan
sebagai pewaris ajaran Islam.32
2. Pertumbuhan Anak Menurut Hukum
Selama hayatnya, manusia sebagai individu mengalami pertumbuhan yang
berlangsung secara berangsur-angsur, perlahan tapi pasti, menjalani berbagai fase.
Proses pertumbuhan yang berkesinambungan, beraturan, bergelombang naik dan
turun, yang berjalan dengan kelajuan cepat maupun lambat.33 Semuanya itu
menunjukkan betapa pertumbuhan mengikuti patokan-patokan atau tunduk pada
hukum-hukum tertentu, yang disebut dengan “hukum perkembangan”.34
Dalam segi aspek hukum dan undang-undang menjadikan pengertian anak
semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Untuk meletakkan anak
dalam pengertian aspek tersebut maka diperlukan unsur-unsur internal maupun
eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut.
Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengertian anak dari aspek hukum.
Dalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak.
Hal ini adalah sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang
mengatur secara tersendiri mengenai peraturan anak itu sendiri. Pengertian
anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari pandangan
32
Ahmad Rofiq, Anak Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 63.
33
Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 141-142.
34
sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai objek
hukum.
b. Pengertian anak berdasarkan UU 1945.
Pengertian anak dalam UU 1945 terdapat di dalam pasal 34 yang
berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum
nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai
kesejahteraan anak. Dengan kaata lain anak tersebut merupakan tanggung
jawab pemerintah dan masyarakat.35 Terhadap pengertian anak menurut
UU 1945 ini, Irma Setyowati Soemitri menjabarkan sebagai berikut.
“Ketentuan UU 1945, ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkannya UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak
(pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus memperoleh hak-hak
yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangan dengan wajar dan baik secara rahasia, jasmaniah, maupun
sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosial. Anak jugta berhak atas pemeliharaan
dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah
dilahirkan.36
35
Darwan Praist, HukumAnak Indoesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 20030. Hal 107.
36
c. Pengertian anak berdasarkan UU Peradilan Anak.
Anak dalam UU No. 3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2)
yang berbunyi: “Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah
mencapai ussia 8 (delapan) tahun, belum mencapai usia 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah menikah”. Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan syarat sebagai berikut: pertama, anak dibatasi dengan usia
antara 8 (delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan
syarat kedua, si anak belum pernak menikah, maksudnya tidak sedang
terikat dalam perkawinan ataupun pernah menikah dan kemudian cerai.
Apabila si anak sedang terikat dalam pernikahan dan putus karena
perceraian, maka si anak dianggap sudag dewasa walaupun umurnya belum
genap 18 (delapan belas) tahun.37
d. Pengertian anak menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung tolak ukur
kapan seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat
dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi
orang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan mendapati
izi kedua orang tua. Pada pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum
37
usia untuk dapat menikah, batasan bagi laki-laki adalah saat mencapai usia
19 (sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun.38
Menurut Hilman Hadikusuma, menarik batas antara belum dewasa
dan sudah dewasa sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Hal ini
dikarenakan pada kenyataanya walaupun orang belum dewasa namun ia
telah melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa
telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya walaupun ia belum
menikah.39
Dalam pasal 47 ayat (1) dikatakan bahwa anak yang belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernak melakukan pernikahan
ada dibawah kekuasaan orang tua nya selama mereka tidak dicabut
kekuasaan orang tua nya. Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang
belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah,
tidak berada dibawah kekuasaan wali . dari pasal-pasal tersebut diatas
maka dapat disimpulkan bahwa anak dalam UU No. 1 tahun 1974 adalah
mereka yang belum dewasa dan sudah dewasa yaitu 16 (enam belas) tahun
untuk perempuan dan 19 (Sembilan belas) tahun bagi laki-laki.
38
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Gitama Jaya Jakarta, 20030. Hal. 53.
39
e. Pengertian anak menurut hukum adat / kebiasaan.
Hukum adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan anak-anak
dan siapa yang dikatakan dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat ukuran
anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri tertentu
yang nyata. Soepomo berdasarkan hasil penelitian tentang hukum perdata
Jawa Barat menyatakan bahwa kedewasaan seseorang dapat dilihat dari
ciri-ciri sebagai berikut:40
1. Dapat bekerja sendiri.
2. Cakap untuk melakukan apa yang disyaaratkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bertanggung jawab.
3. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri
f. Pengertian anak menurut hukum perdata.
Pengertian anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa
aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seseorang subjek hukum
yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut adalah: - status belum dewasa
(batas usia) sebagai subjek hukum. – Hak-hak anak di dalam hukum perdata.41
Pasal 30 KUHPerdata memberikan pengertian anak adalah orang
yang belum dewasa dan seseorang yang belum mencapai usia batas
40
Prof. Dr. R. Soepomo, Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, Jakarta: Gita Karya, 1982). Hal. 43.
41
legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum
nasional yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata. Dalam
ketentuan hukum perdata anak mempunyai kedudukan sangat luas dan
mempunyai peranan yang amat penting, terutama dalam hal memberikan
perlindungan tergadap hak-hak keperdataan anak, misalnya dalam masalah
pembagian harta warisan, sehingga anak yang berada dalam kandungan
seseorang dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak
menghendaki sebagaimana yang yang dimaksud oleh pasal 2
KUHperdata.42
g. Pengertin anak menurut hukum pidana.
Pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada
pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara
kodrat memiliki subtansi yang lemah dan di dalam sistem hukum
dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokan dari bentuk
pertanggung jawaban sebagaimana layaknya seseorang subjek hukum yang
normal. Perngertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek
hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang
untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya
menjadikan anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa
depan yang baik.43
42
R Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995). Hal. 177.
43
Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum
pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut; -
ketidakmampuan untuk pertanggung jawaban tindak pidana. – pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hak-hak anak
yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tatnegara dengan maksud
untuk mensejahterakan anak. – rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum
pidana yang dilakukan anak itu sendiri. – hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan . – hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana. 44
Jika ditilik pada pasal 45 KUHP maka anak didefinisikan sebagai anak
yang belum dewasa apabila belum berusia 16 (enam belas) tahun. Oleh
sebab itu jika anak tersebut tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh
memerintahkan supaya si anak di kembalikan kepada orang tua nya,
walinya atau pemeliharanya dengan tidak diikenakan suatu hukuman, atau
memerintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak
dikenakan suatu hukuman.45
Dengan demikian di dalam ketentuan hukum pidana telah
memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang kehilangan
kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada
pada usia yang belum dewasa sehingga harus tetap dilindungi segala
44
Jeffry S, Nevied, Spencer, Beyerly. Hukum Pengertian Anak : Jilid II. (Jakarta : Erlangga . 2006). Hal. 32.
45
kepentingan dan perlu mendapatkan hak-hak yang khusus yang diberikan
kepada negara atau pemerintah.
jadi dari berbagai definisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah
diambil suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa
sebenarnya yang di maksud dengan anak dan berbagai konsekuensi yang
diperolehnya sebagai penyandang gelar anak tersebut.
3. Pertumbuhan Anak Menurut Ilmu Kesehatan
Anak merupakan individu yang berada dalam suatu rentang
perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Menurut
medis, masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang
dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain/oddler, (1-2,5 tahun) pra
sekolah, (2,5-5 tahun) usia sekolah, (5-11 tahun) hingga remaja (11-18
tahun). Rentang ini berada antara anak satu dengan yang lain mengingat
latar belakang anak berbeda. Pada anak terdapat rentang perubahan
pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat.46
Aspek tumbuh kembang pada anak adalah salah satu aspek yang
diperhatikan secara serius oleh para pakar, karena hal tersebut merupakan
aspek yang menjelaskan mengenai proses pembentukan seseorang, baik
secara fisik maupun psikososial. Namun, sebagian orang tua belum
memahami hal ini, terutama orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan
46
dan sosial ekonomi yang relatif rendah. Mereka menganggap bahwa selama
anak tidak sakit, berarti anak tidak mengalami masalah kesehatan termasuk
pertumbuhan dan perkembangannya.47
Perkembangan psikososial berkaitan dengan perubahan-perubahan
emosi dan identitas pribadi individu, yaitu bagaimana anak berhubungan
dengan keluarga, teman-teman dan gurunya. Pertumbuhan dan
perkembangan walaupun hampir sama tetapi ada perbedaannya yaitu
perkembangan akan berlanjut terus hingga akhir hayatnya, sedangkan
pertumbuhan hanya terjadi sampai manusia mencapai kematangan fisik
yang artinya bahwa seorang anak tidak akan bertambah tinggi atau besar
jika batas pertumbuhannya telah mencapai kematangan.48
4. Pertumbuhan Anak Menurut Psikologi
Pertumbuhan dan perkembangan anak secara psikologi merupakan
sebuah konsep yang cukup rumit dan komplek. Namun dapat diartikan
bawasannya pertumbuhan dan perkembangan anak menurut psikologi
adalah merupakan perubahan-perubahan yang dialami anak atau organism
menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang
berlangsung secara sistematis dan progresif, baik menyangkut fisik
(jasmaniah) maupun psikis (rohaniah). Yang dimaksud dengan sistematis
dan progresif adalah:
47
E. B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 2000). Hal. 87.
48
a. Sistematis, berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat
saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian-bagian
organism (fisik dan psikis) dan merupakan suatu kesatuan yang harmonis.
b. Progresif, berarti perubahan yang terjadi bersifat maju,
meningkat dan mendalam (meluas) baik secara kuantitatif (fisik) maupun
kualitatif (psikis).
Beberapa definisi psikologi perkembangan menurut beberapa ahli,
adalah sebagai berikut:49
a. Menurut Monks, Knoers dan Siti Rahayu Haditoro dalam
psikologi pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu ilmu yang lebih
mempersoalkan faktor-faktor umum yang mempengaruhi proses
perkembangan (perubahan) yang terjadi dalam diri pribadi seseorang,
dengan menitikberatkan pada relasi antara kepribadian dengan
perkembangan.
b. Menurut Kartini Kartono dalam psikologi anak: psikologi
pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu ilmu yang mempelajari
tingkah laku manusia yang dimulai dengan masa bayi, anak bermain, anak
sekolah, anak remaja, sampai masa dewasa.
Maka, jika dipahami secara cermat dari penjelasan tentang pengertian
pertumbuhan dan perkembangan psikologi di atas, maka dapatlah
49
dimengerti tentang ruang lingkup pertumbuhan dan perkembangan
psikologi yang merupakan; cabang dari psikologi, objek pembahasan
prilaku atau gejala jiwa seseorang, dan tahapan yang dimulai dari masa
konsepsi hingga masa dewasa.50
5. Pertumbuhan Anak Menurut Sosiologi
Pertumbuhan dan perkembangan anak menurut sosiologi adalah
berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal
ini anak diposisikan sebagai kelompok sosial yang mempunyai status sosial
yang lebih rendah dari masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi.51
Makna anak dalam aspek sosial ini lebih mengarah pada perlindungan
kodrati anak itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya
keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspesi
sebagaimana orang dewasa, misalnya terbatasnya kemajuan anak karena
anak tersebut berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses
sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa. Sosiologi menjelaskan
tugas atau peran yang oleh anak pada masa pertumbuhan dan
berkembangannya, yaitu:
a. Pada usia 5-7 Tahun, anak mulai mencari teman untuk
bermain.
50
M. Dalyono, Pendidikan Psikologi Anak, (Bandung: PT. Rineka Cipta, 2004). Hal. 128.
51
b. Pada usia 8-10 Tahun, anak mulai serius bersama-sama dengan
temannya lebih akrab lagi.
c. Pada usia 11-15 Tahun, anak menjadikan teman menjadi
sahabatnya.52
6. Pertumbuhan Anak Menurut Antropologi.
Anak menurut perspektif antropologi sebagai individu yang
merupakan bagian suatu kebudayaan, yang dibentuk melalui pola
pengasuhan, dan melakukan sosialisasi dengan lingkungan sosialnya. Dari
perspektif tersebut dapat diambil tiga garis besar yakni:
a. Bagian dari kebudayaan, anak berhadapan langsung dengan
budaya yang diwariskan oleh nenek moyang melalui orang tua atau yang
mengasuhnya. Anak yang diasuh oleh dua subyek (ayah-ibu) yang berlatar
belakang budaya yang berbeda akan mempengaruhi budaya anak tersebut.
Inilah yang disebut dengan istilah asimilasi, dimana budaya anak
merupakan hasil bertemunya dua budaya yang berbeda.
b. Pola pengasuhan yang dilakukan oleh kedua orang tua, bukan
salah satu.
c. Anak dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungan sosial
tempat ia bersosialisasi.53
52
Hartini, G. Kartasapoetra, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Hal. 58.
53
7. Pertumbuhan Anak Menurut Budaya
Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak menurut budaya david
matsumoto mengatakan bahwa, “budaya merupakan suatu konstruk
individual-psikologis sekaligus konstruk sosial-mikro”. Artinya, sampai batas tertentu budaya ada di dalam setiap masing-masing diri anak secara
individual, sekaligus ada sebagai sebuah konstruk sosial-global. Perbedaan
individual dalam budaya bisa diamati pada orang-orang dari satu budaya
sampai batas dimana mereka mengadopsi dan terlibat dalam sikap, nilai,
keyakinan, dan perilaku-perilaku yang berdasarkan kesepakatan yang
membentuk budaya mereka. Bila anak bertindak sesuai dengan nilai-nilai
dan perilaku-perilaku tertentu, maka budaya tersebut akan hadir dalam diri
si anak, sedangkan bila anak tidak memiliki nilai atau perilaku-perilaku
tersebut, maka si anak tidak termasuk dalam budaya itu.54
B. Pengertian Penelantaran Anak
Penelantaran berasal dari kata lantar yang memiliki arti tidak terpelihara,
terbengkalai, tidak terurus. Bentuk penelantaran anak pada umumnya dilakukan
dengan cara membiarkan dalam situasi gizi buruk, kurang gizi, tidak mendapat
perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis atau
54
pengamen, anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga (PRT), pemulung,
dan jenis pekerjaan lain yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan
anak.55
Pengertian penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang
tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak,
misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan
pendidikan dan kesehatan yang layak.56
Penelantaran anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala keadaan
perhatian yang tidak memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Penelantaran
anak adalah dimana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk
menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik
(kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian atau kebersihan),
emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang),
pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), atau medis (
kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).57
Macam-macam dalam penelantaran anak, yaitu sebagai berikut:
a. Penelantaran fisik, merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan
mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai serta tidak
tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
55
Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Kementrian, Melindungi Anak Korban Penelantaran, 2010.
56
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadapa Anak, (Bandung: PT. Nuansa, 2006). Hal. 38.
57
b. Penelantaran emosional, penelantaran secara emosi dapat terjadi
misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ribut
dengan pasangannya. Atau orang tua memberikan perlakuan dan kasih
sayang yang berbeda diantara anak-anaknya.
c. Penelantaran pendidikan, terjadi ketika anak seakan-akan mendapat
pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara
optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah
yang semakin menurun.
d. Penelantaran fasilitas medis, hal ini terjadi karena ketika orang tua gagal
menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial
memadai. Dalam beberapa kasus orang tua, orang tua memberikan
pengobatan tradisional terlebi dahulu, jika tidak ada perubahan pada
anak barulah orang tua beranjak dan pergi untuk memberikan pelayanan
pihak dokter.58
Seorang anak dikatakan terlantar bukan karena ia sudah tidak memiliki
orang tua. Anak terlantar adalah anak-anak yang karena suatu sebab tidak
terpenuhi kebutuhan dasarnya secara wajar, baik rohani, jasmani, maupun sosial.
Terlantar di sini juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh
kembang secara wajar, hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan
58
hak memperoleh kesehatan yang memadai tidak terpenuhi karena kelalaian,
ketidakmengertian orang tua, karena ketidakmampuan, atau karena kesengajaan.
Dibandingkan anak yang dijadikan korban tindak kekerasan, anak korban
penelantaran sering kali kurang memperoleh perhatian publik secara serius karena
penderitaan yang dialami korban tidak sedramatis sebagaimana layaknya
anak-anak yang teraniaya secara fisik, sebagaimana para ahli menyatakan, anak-anak yang
menjadi korban tindak kekerasan seksual, anak yang dianiaya oleh orang tuanya
hingga tewas, atau anak yang dipaksa bekerja sektor prostitusi, masalah anak
terlantar acap kali hanya dilihat sebagai masalah intern keluarga per keluarga,
hanya bersifat kasuistis dan terjadi pada keluarga-keluarga tertentu saja yang
secara psikologis bermasalah, tindak penelantaran anak baru memperoleh
perhatian publik secara lebih serius tatkala korban-korban tindak penelantaran ini
jumlahnya makin meluas, korban bertambah banyak, dan menimbulkan dampak
yang tak kalah mencemaskan bagi masa depan anak.59
C. Kriteria Penelantaran Anak
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tujuan perlindungan
anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
59
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan. Serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia
dan sejahtera.60
Fenomena kekerasan keluarga (family volence) sering menggelayuti kehidupan kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin keras, terutama pada
era indrusialisasi, akan banyak orang mengalami stress dan depresi yang
dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak. Aapabila perlakuan kasar
orang tua menyebabkan sakit, luka atau kematian anak, hal itu sudah merupakan
tindak kriminal dengan konsekuensi dapat dijatuhi hukuman. Tidak sedikit anak
mati di tangan orang tua. Namun, kekerasan terhadap anak bukan hanya dengan
kekerasan fisik, dengan penelantaran anak yang di lakukan orang tua terhadap
anak nya juga dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan.61
Berikut adalah beberapa upaya perlindungan terhadap anak dari tindak
kekerasan, adalah:62
a. Harus ada perhatian penuh dari orng terdekat lainnya terhadap anak yang
mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu, ditetapkan perwalian
atas anak yang mengalami perilaku yang tidak menyenangkan dari orang
tuanya, dan kekuasaan orang tua atas anaknya dicabut.
60
Psychology Today, Journal Child Abuse, 2002.
61
A. H. Buss, M. Perry, The Aggresion, Journal of Personality and Social. 1992.
62
b. Diperlukan perhatian dari lembaga sosial guna menampung anak yang
menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan sosial agar anak
dapat keluar dari lilitan permasalahannya. Di samping itu, perlu
ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang mengurusi kesejahteraan
anak terhadap nasib anak malang yang menjadi korban kekerasan dalam
keluarga.
Kasus seperti penelantaran anak memang sulit dideteksi karena pada masa
lalu, di negara kita hal ini tidak menjadi perhatian dan belum ada dasae
hukumnya. Sejauh ini, kasus penganiayaan dan penelantaran anak di Indonesia
belum banyak dilaporkan dan dicatat secara resmi, karena sulitnya memperoleh
data dan deteksi kasus-kasus seperti ini. Kesulitan disebabkan karena pelaku
penelantaran anak adalah mereka yang berototitas lebih tinggi dari pada korban
(anak). Sehingga untuk menutupi kasus seperti ini mereka membiarkan para
korban tanpa mendapatkan bantuan. Oleh karena itu, sangat perlu bantuan dan
kerjasama dari semua pihak, terlebih petugas kesehatan untuk mampu melakukan
deteksi penganiayaan atau penelantaran anak, sehingga anak memperoleh
pertolongan perlindungan yang semestinya.
D. Tanggung Jawab Ayah Menurut Islam
Anak merupakan anugerah sekaligus ujian bagi pasangan suami istri, dan
tugas seorang suami ketika dikaruniai seorang anak akan bertambah tanggung
jawab serta kewajibannya sebagai seorang ayah. Kedudukan seorang ayah
menafkahi keluarga saja, tetapi lebih dari itu, seorang pemimpin akan diminta
pertanggungjawabannya oleh Allah SWT atas segala tindak tanduk juga hasil dari
kepemimpinannya, yang dalam hal ini adalah kepemimpinan keluarga yakni
memimpin istri juga anak-anaknya.
Tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya, tidak hanya turut
mendampingi perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya, namun ada
beberapa hal seperti berikut ini:
1. Memberi nama yang baik bagi anak-anaknya
Pemberian nama pada seorang anak merupakan salah satu hak dan kewajiban
pertama bagi seorang ayah. Sedangkan dalam Islam, pemberian nama
haruslah mengandung arti yang baik dan agung, karena menurut salah satu
sabda Rasulallah SAW, “Pada hari kiamat setoap manusia akan dipanggil menggunakan namanya masing-masing, juga nama orangtuanya”. Oleh karena itu pemberian sebuah nama pada seorang anak haruslah mengandung makna
yang baik, indah dan tidak ada makna merendah atau menghinakan sang
anak.63
2. Menanamkan keimanan (tauhid) dan akhlak
Awal pendidikan seorang anak adalah dilingkungan keluarga atau dirumah,
dan yang berperan sebagai guru pertama bagi mereka adalah ayah dan ibunya.
Kedua orang tua memiliki porsi yang sama dalam perannya mendidik
anak-anaknya agar tumbuh menjadi pribadi yang sesuai dengan yang
63
diharapkannya. Dalam Islam, seorang anak selain sebagai penerus keturunan
dari suatu kaum muslim juga untuk menjadi penerus mereka dalam hal
keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT. Sedangkan keimanan dan
ketakwaan tidak akan muncul begitu saja tanpa adanya pola asuh dan didikan
pada seorang anak. Ayah dalam hal ini menjadi kunci utama dalam hal
penanaman keimanan dan ketakwaan bagi mereka. Seorang ayah bertanggung
jawab mengajarkan anak-anak mereka tentang pada siapa mereka harus
menyembah, mengabdi dan beriman.
3. Menyekolahkan dan membentuk cara berfikir anak
Ada sebagian orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan pertimbangan
sekolah favorit, karena alasan ekonomis, mudah dijangkau dan lain
sebagainya. Dimanapun orang tua menyekolahkan anaknya, yang terpenting
adalah sekolah termasuk lingkungannya (teman-temannya, guru-gurunya,
dsb). Bukan hanya mampu membuat anak kita menjadi pribadi yang
berkembang dalam cara berfikirnya secara intelektual saja tapi juga tetap
terjaga akhlak dan kepribadiannya. Oleh karena itu, menjadi suatu kewajiban
bagi orang tua untuk menentukan sekolah yang baik bagi anak-anaknya.
4. Menjadi teladan bagi anak-anaknya
Mendidik anak bukan sekedar memberi perintah dan aturan. Anak tidak akan
mengikuti dan memaknai apa yang dikatakan orang tuanya, jika mereka
sendiri tak pernah mengamalkan suatu amalan. Sebagai contoh, tidak
mungkin kita menyuruh anak kita rajin dan tidak pernah meninggalkan ibadah
melaksanakan shalat wajib. Akan lebih bermakna ketika orang tua mendidik
anak dengan memberinya teladan atau contoh yang baik. Anak akan belajar
dari meniru apa yang dilakukan orang tuanya, dan begitupun mereka akan
menerapkan hal yang serupa pada keturunannya.
5. Menjaganya dari lingkungan yang tidak baik
Menjaga anak kita dari lingkungan yang tidak baik, salah satunya seperti yang
diungkapkan di atas, memilih sekolah yang tepat. Selain itu, lingkungan
disekitar rumah pun turut berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan
anak-anak. Ketika orang tua dirumah membiasakan anak untuk bertutur kata
dengan bahasa yang baik dan santun, sedangkan diluar rumah dan lingkungan
pertemanannya terbiasa berbahasa dengan bahasa yang kasar dan tidak sopan,
tentunya akan mempengaruhi keberhasilan didikan dirumah. Oleh karena itu,
memilih rumah sebagai tempat tinggal dilingkungan yang baik, tetap
mengawasi pertemanan anak-anak, tentunya akan menjadi salah satu faktor
pendukung keberhasilan dari pola didik kita pada anak-anak. Namun perlu
diingat, menjaga bukan berarti bersikap berlebihan yang malah menjadikan
penghambat bagi perkembangan mereka. Ketika seorang ayah mampu
menyadari peranannya sebagai pemimpin dalam rumah tangga, melaksanakan
semua tugas dan fungsinya secara baik, rumah tangga yang dibangun akan
menjadi rumah tangga yang bahagia dengan dipenuhi keturunan-keturunan
yang akan mejadi penyejuk juga penyelamat bagi orang tuanya kelak.64
64
E. Hak Anak menurut Islam
Hak anak dalam Islam memiliki aspek universal terhadap kepentingan anak.
Meletakkan hak anak dalam pandangan Islam, memberikan gambaran bahwa
dasar tujuan kehidupan umat Islam adalah membangun umat manusia yang
memegang teguh ajaran Islam. Dengan demikian, hak anak dalam pandangan
Islam ini meliputi aspek hukum dalam lingkungan seseorang. Cara pandang yang
dimaksud tidak saja memposisikan umat Islam yang harus tunduk pada hukum
Islam sebafai formalitasformalitas wajib yang harus ditaati dan apabila dilanggar
maka perbuatan tersebut akan mendapatkan laknat baik di dunia maupun di
akhirat.65
Dimensi Islam dalam meletakkan hak asasi manusia sangatlah luas dan
mulia. Dari ajaran kehidupan moral, hal asasi anak juga dipandang sebagai benih
dalam sebuah masyarakat.66 Dalam pandangan ini Abdur Razak Husein
menyatakan “jika benih anak dalam masyarakat itu baik, maka sudah pasti masyarakat akan terbentuk menjadi masyarakat yang baik pula”, lebig kanjut
dikatakan, Islam menyatakan bahwa anak-anak merupakan benih yang akan
tumbuh untuk membentuk masyarakat di masa yang akan datang.67
Dalam dasar kehidupan, manusia mengalami 4 (empat) fase yang pasti
dilalui yaitu: pertama, dari awal kelahirannya, kedua, dari awal kelahiran sampai
65
Abdul Ghani Abdullah, Pengantara Komplikasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994). Hal. 71.
66
Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003). Hal. 39.
67
anak menjelang dewasa (mumayyiz), ketiga, dari awal mumayyiz sampai dewasa (baligh), dan keempat, dari awal baligh sampai menjelang meninggal dunia.68 Selama daur yang dilalui manusia itu dibarengi dengan hak dan kewajiban, baik
dalam garis vertikal maupun horizontal.
Hak dan kewajiban vertikal adalah hubungan manusia dengan tuhannya
sebagai sang Khaliq (penciptanya). Sedangkan hubungan horizontal adalah kewajiban memperhatikan hak keluarganya, hak suami istri, dan hak
anak-anaknya. Subhi Mamasani berpendapat bahwa orang tua memperhatikan hak anak
untuk masa depan mereka yaitu baik hak menyusui, hak untuk mendapat asuhan,
hak untuk mendapatkan nama baik dan kewarganegaraan, hak nafkah atau harta,
hak pengajaran, serta hak pendidikan, akhlak dan agama.69
Secara garis besar, hak anak menurut Islam dapat dikelompokkan menjadi 7
(tujuh) macam, yaitu:70
a. Hak anak sebelum dan sesudah lahir.
Allah SWT berfirman:
َ
َۡ ق
َ
َ ܒس خ
َ ݊ݗܐڭ݃
َ
َܒۡݘ غ۵َ۲ۢ ݐ ܸ سَ ۡمݏ ݃ ۡݑ أَ۱ٓݒ݄ ۼ ق
َ مݐ ق ܓ َܑ ۲ مَ ۱ݒمڭܒ ح ݑَ ٖم݄ۡܯ
َڭّ
َ
َ ءٓ۱ ܒۼۡف
َ
َ ݔ ݄ ܯ
َۚڭّ
َ
َ۱ݒ۲ كَ ۲ م ݑَ ۱ݒڮ݄ ضَ ۡ ق
َ ݊ݗ ۼۡݐم
71َ
68Ali Hasaballah. Ushul at -Tasyri’ al-Islami. (Mesir : Dae al- Ma‟arif, 1959). Hal. 258.
69
Subhi Mamasani. Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia. (Jakarta : Tintamas Indonesia, 1987). Hal. 204.
70
Abdur Razak Husein. Hak dan Pendidikan….,Hal. 11-34. Hak anak dalam fiqh sering dirinci menjadi hak nasab, hak rada’ah, hak hadanah, dan hak nafkah. Lihat Abu Zahrah, Ahwal Asy-Syakhsiyyah. (Kairo : Dar al-Fikr, 1957). Hal. 451-471.
71
Maksud ayat ini, upaya anak memperoleh penjagaan dan
pemeliharaan akan keselamatan dan kesehatannya. Ditegaskan pula dalam
surat at-Talaq (65): 6 tentang kewajiban seorang suami untuk menjaga
istrinya yang sedang hamil.
Islam mengajarkan agar selalu menjaga kehidupan keluarga dari api
neraka (jalan kesesatan) bahkan demi hak asasi manusia diperintahkan
saling menjaga antar sesama manusia. Islam juga melarang membunuh
perempuan dan anak-anak dalam keadaan perang.
Dalam Islam ada beberapa hal yang d