• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelantaran Ayah Terhadap Anak (dalam Perpektif Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penelantaran Ayah Terhadap Anak (dalam Perpektif Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.SH)

Oleh :

Muhammad Syaifullah

1111045100021

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Konsentrasi Kepidanaan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/2016 M.

Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Hak dasar anak adalah hak untuk memperoleh perlindungan baik dari Orang tua, Negara dan Masyarakat, memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan kesejahteraannya merupakan sebagian dari hak-hak anak. Namun, pada kenyataannya seringkali hak-hak terhadap anak diabaikan oleh orang tua, terutama oleh ayah yaitu hak kasih sayang dan hak asuh terhadap anak atau yang sering disebut dengan penelantaran.

Metode yang digunakan adalah normative-yuridis, artinya melakukan pendekatan masalah serta penyelesaiannya berdasarkan norma-nomra hukum sebagaimana dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta aturan hukum yang ada dalam agama Islam, serta dengan penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara menelusuri buku-buku dan literature-literature yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Hasil dari analisis penelitian ini menerangkan pertanggungjawaban orang tua (ayah) dalam menelantarkan anaknya menurut hukum Islam sangat bervariatif, dari yang terberat hingga teringan, karena dalam hukum Islam sanksi bagi pelaku penelantaran anak masuk dalam kategori Jarimah Ta'zir, yag berat dan ringannya hukuman diserahkan kepada penguasa atau hakim setempat. Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut

bahwasannya “setiap orang yang menelantarkan orang dalam ruang lingkup rumah

tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau

perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Yaitu

dipidana dengan penjara paling lama (3) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00.- (lima belas juta rupiah). Dan terkait UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam menangani kasus penelantaran anak dilingkup rumah tangga, tidak berpengaruh mengingat belum memberikan efek jera bagi sebagian orang tua pelaku penelantaran dan hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penelantaran anak yang semakin meningkat setiap tahunnya.

Kata Kunci : Penelantaran, Ayah, Anak, Sanksi, Hukum Islam.

(6)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang selalu menganugrahi nikmat

dan karunia yang tiada terkira, sholawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan

kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya sampai

akhir zaman.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ungkapan kebahagiaan dengan penuh

rasa syukur dengan terlaksananya penyusunan skripsi sebagai tanda lulus dan selesainya

masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Dalam penyusunan skripsi ini, banyak

ditemui halangan dan hal-hal lain yang menggangu fokus penulis, namun dengan

kesungguhan hati dan dorongan motivasi yang tak terbatas dalam diri dan dari lingkungan

sekitar penulis, segala dapat dilalui. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah UIN

(7)

vii arahanya.

6. Bapak Amrizal Siagian S.Hum, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan waktu , bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam penyusunan

skripsi ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf Jinayah Siyasah, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu

berikan selalu bermanfaat bagi penulis dan menjadi keberkahan dimasa yang akan

datang.

8. Teristimewa untuk Bapak dan Ibu tercinta, Bapak H. Sadelih. E dan Ibu Hj. Sri

Haryati yang selalu mencurahkan kasih sayang tak terhingga, serta dukungan moril

dan materil serta doa kepada penulis.

9. Teruntuk Fadhilatunnisa sebagai calon istri yang selalu mendoakan, memberi

semangat dan menemani dalam mengerjakan skripsi ini di keadaan on fire maupun magerrr..

10. Terkhusus Hadyan, Iqbal Gece, Iqbal Gimbal, Nopal, Izul Hasibuan selaku ce‟es kentel, juga teman-teman seperjuangan Program Studi Hukum Pidana Islam

Konsentrasi Kepidanaan Islam angkatan 2011 yang telah memberikan semangat dan

(8)

viii

JAKARTA) yang telah memberikan support untuk penyelesaian penulisan skripsi.

13. Semua pihak yang telah membantu, mendukung, dan memberikan dorongan

semangat dan motivasi kepada penulis dalam menjalani kegiatan akademik dan

organisasi selama ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan terindah, dan keberkahan-Nya selalu

menyertai kita. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang membangun demi adanya

perbaikan dalam penulisan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat berguna

bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 23 Oktober 2016

Penulis

(9)

ix

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...5

D. Kerangka Teori ...6

E. Metode Penelitian ...10

F. Studi Review Terdahulu ...13

(10)

x

C.Kriteria Penelantaran Anak ...34

D.Tanggung Jawab Ayah Menurut Islam ...36

E. Hak Anak Menurut Islam ...40

F. Hak Anak Menurut Undang-Undang ...52

G.Batasan Pengertian Kekerasan KDRT ...56

H.Kategori Orang Tua dan Batasan Tanggungjawabnya ...63

BAB III SANKSI PIDANA TERHADAP AYAH YANG MENELANTARKAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A.Pengertian dan Dasar Sanksi…...68

1. Pengertian dan Dasar Sanksi Menurut Hukum Islam...68

2. Pengertian dan Dasar Sanksi Dalam Undang-Undang...71

B. Tujuan dan Fungsi Sanksi…...72

1. Tujuan dan Fungsi Sanksi Dalam Hukum Islam...72

(11)

xi DALAM RUMAH TANGGA

A.Pertanggungjawaban Hukum Ayah Pelaku Penelantaran Anak Menurut

Hukum Islam...89

B. Pertanggungjawaban Hukum Ayah Pelaku Penelantaran Anak dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga...92

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan…...98 B. Saran-Saran...101

(12)

1

Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling penting dalam

tatanan kemasyarakatan. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari

hubungan antara laki-laki dan perempuan.1 Dari keluarga itu juga akan

melahirkan individu-individu baru yang akan meneruskan kehidupan selanjutnya.

Dengan lahirnya individu tersebut maka akan menimbulkan tanggung jawab yang

besar yang pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan oleh kedua orang

tuanya.2

Struktur keluarga yang ideal adalah keluarga yang di dalamnya terdiri dari

suami sebagai kepala rumah tangga, istri sebagai ibu rumah tangga, dan

anak-anak sebagai anggota keluarga. Kehadiran seorang atau beberapa anak-anak di

tengah-tengah keluarga merupakan bagian tak terpisahkan dalam tujuan suatu

perkawinan yang ingin membentuk rumah tangga dalam keluarga bahagia,

dengan hadirnya anak, maka suasana keluarga dalam rumah tangga terasa ceria

penuh dengan canda yang dapat menambah semangat kerja dan semangat

membangun keluarga. Untuk membentuk suatu keluarga tentunya ada

1

William Goode J, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Hal. 107.

2

(13)

tahapan yaitu perkawinan lalu kemudian memiliki anak dan terbentuklah suatu

keluarga.3

Dalam berkeluarga memiliki anak merupakan kebahagiaan tersendiri bagi

orang tua. Harapan keluarga dan tujuan akhir dari pernikahan telah terpenuhi.

Berbagai harapan dan cita-cita telah dinantikan oleh orang tua dalam

mendampingi, merawat, mendidik anak, agar kelak memiliki kepribadian yang

baik pada waktu besar dan dewasa nanti. Anak dalam perkembangannya

membutuhkan proses yang panjang, maka dalam membentuk prilaku anak yang

berakhlak mulia peran orang tua sangat dibutuhkan. Karena dalam mengasuh

anak tidak hanya sekedar mengasuh tetapi orang tua perlu bertanggung jawab

dalam memberikan perhatian sempurna kepada anaknya semenjak dari masa

mengandung, melahirkan hingga sampai masa dewasa, orang tua berkewajiban

mempersiapkan pertumbuhan jiwa, raga dan sifat anak supaya nantinya sanggup

menghadapi pergaulan masyarakat.4

Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa

dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan

kebebasan.5 Sesuai dengan pasal 52 ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999

tentang hak asasi manusia yang menyebutkan bahwa anak di akui dan dilindungi

3

Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), Hal. 239.

4

Djuju Sudjana, Peranan Orang Tua Dalam Lingkungan Masyarakat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996). Hal. 98.

5

(14)

oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Hak dasar anak adalah hak untuk

memperoleh perlindungan baik dari Orang tua, Negara dan Masyarakat,

memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan kesejahteraannya merupakan

sebagian dari hak-hak anak.6

Salah satu hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapatkan perlindungan

sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.7 Perlindungan yang dimaksud

ialah hak yang melekat pada diri anak sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur

hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Konvensi hak anak

menyebutkan, ada 4 (empat) pokok yang dimiliki seorang anak yang harus

dilindungi yaitu hak untuk hidup (survival), hak berkembang (development), hak mendapat perlindungan (protection), dan hak berpartisipasi (participation).8 Namun, selain hak anak tadi ada hak anak yang seringkali diabaikan oleh orang

tua, terutama oleh ayah yaitu hak kasih sayang dan hak asuh terhadap anak atau

yang sering disebut dengan penelantaran. Selain terabaikan kasih sayang dan hak

asuh terhadap anak, penelantaran yang dimaksud dalam pengertian ini ialah tidak

terpenuhinya hak-hak utama terhadap anak, seperti hak nafkah (sandang, pangan

dan papan) dan juga hak dalam pendidikan.

Anak termasuk dalam kelompok rentan, jadi sudah sewajarnya memperoleh

perlindungan khusus dari negara. Perlindungan khusus tersebut berupa pembaharuan

6

Levin Leah, Hak Asasi Anak-Anak dalam Hak-Hak Asasi Anak, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994). Hal. 89.

7

Bismar Siregar, Hukum dan Hak-Hak Asasi Anak, (Jakarta: Rajawali, 1986). Hal. 40.

8

(15)

hukum dengan cara menetapkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud

untuk melindungi anak dari tindak penelantaran, termasuk memberikan pelayanan

terhadap anak yang menjadi korban penelantaran.9 Pembaharuan di bidang legislasi

berupa pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan, mengingat selama

ini peraturan yang ada belum memadai dan tidak sesuai dengan perkembangan

hukum masyarakat, serta belum memberikan efek jera kepada orang tua atau pelaku

penelantaran karena sanksinya terlalu ringan. Mengingat terjadinya tindak

penelantaran keluarga khususnya terhadap anak dalam masyarakat, maka fenomena

tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak terkait yang memerlukan

peningkatan dalam penegakkan hukum. Oleh karena perbuatan penelantaran tersebut

diancam pidana dalam Pasal 49 huruf (a) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan pidana penjara 1 (satu) tahun

dan diperintahkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali bila dikemudian

hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena terdakwa sebelum lewat masa

percobaan telah melakukan perbuatan yang dapat dipidana.10 Maka dari itu penyusun

ingin mengulas dan membahas lebih mendalam tentang penelantaran anak dan

berusaha membahasnya dalam judul “Penelantaran Ayah Terhadap Anak (dalam Perspektif Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga)”.

9

Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990). Hal. 92.

10

(16)

B. Rumusan Masalah

Masalah penelantaran anak yang terjadi menimbulkan beberapa pertanyaan

yang menyangkut tentang pertanggungjawaban hukum orang tua khususnya

seorang ayah yang melakukan penelantaran terhadap anaknya. Untuk

mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, maka penyusun membatasi pada

pokok permasalahan dan di rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tanggung jawab ayah terhadap anak menurut hukum Islam

dan Undang-Undang PKDRT ?

2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban hukum terhadap ayah yang

menelantarkan anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang PKDRT?

3. Bagaimanakah Implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga dalam penelantaran anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian ini adalah:11

a. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab ayah menurut hukum Islam

dan hukum positif.

b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban hukum penelantaran

ayah terhadap anak menurut undang-undang PKDRT.

11

(17)

c. Untuk mengetahui apakah implementasi Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam penelantaran

anak.

2. Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi insan akademik dapat mengetahui dan lebih memahami

problematika atau sebagai salah satu upaya pemberian informasi

tentang penelantaran anak yang terdapat dalam Hukum Islam dan UU

Nomor 23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga.

2. Penelitian ini diharapkan dijadikan landasan untuk penelitian lanjutan

dan semakin membangkitkan atau menjadi motivasi peneliti

selanjutnya dalam pengembangan kajian yang berkaitan dengan anak.

Diharapkan hasil penelitian ini mampu memperkarya wancana intelektual

bagi setiap pribadi muslim dan masyarakat luas untuk memahami secara

benar mengenai perihal penelantaran anak.12

D. Kerangka Teori

Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa dan

tidak bisa di anggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak

hati oleh orang tuanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dituliskan

bahwa anak adalah keturunan, yang menurut pengertian lain anak adalah

manusia yang paling kecil namun dalam arti luas anak adalah manusia yang

pada suatu masa perkembangan tertentu mempunyai potensi menjadi

12

(18)

dewasa.13 Dan anak senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat

harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus di junjung tinggi.14

Anak dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya

dalam agama Islam, anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang

keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui

proses penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam

pandangan Islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti

diberikan keperluan untuk kebutuhan baik lahir maupun batin, sehingga kelak

anak tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia dan dapat bertanggung

jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya

dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam, anak merupakan titipan Allah

SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan Negara yang kelak

akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai pewaris

ajaran Islam.15

Pengertian anak dalam Undang yang terdapat pada

Undang-Undang 1945 di dalam Pasal 34 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak

terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung makna bahwa anak

adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara

dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak tersebut

13

Anton M Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988). Hal. 30.

14

Kedaulatan Rakyat, Jurnal Rubrik Keluarga: Pahami Dunia Anak, 17 Desember 2006, tahun LXI No. 112. Hal. 9.

15

(19)

merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Ditegaskan

pengaturan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979

tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak harus memperoleh

hak-hak kesejahteraan hidupnya dan dapat menjamin pertumbuhan dan

perkembangan dengan wajar dan baik secara jasmani, rohani maupun sosial.16

Islam mengajarkan pemeluknya untuk memberikan perlindungan

terhadap anak. Perlindungan anak tersebut berupa jaminan dan perlindungan

hak-haknya sehingga anak dapat hidup tumbuh berkembang dan berpartisipasi

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Serta

dapat perlindungan dari setiap tindakan kekerasan, penelantaran, dan tindak

diskriminasi.17

Tanggung jawab orang tua (ayah) terhadap anak adalah merupakan

kewajiban yang tidak dapat diabaikan begitu saja demi terwujudnya

kesejahteraan anak secara rohani, jasmani maupun sosial, orang tua yang

terbukti melalaikan tanggung jawabnya sehingga mengakibatkan timbulnya

hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, maka orang tua

dikategorikan telah menelantarkan anaknya dan dapat di jerat dalam hukuman

pidana.18

16

J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000). Hal. 63.

17

Giwo Rubianto Wiyogo, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2007). Hal. I.

18

(20)

Hukum pidana bertujuan untuk menegakkan keadilan dan berdasarkan

prinsip bahwa tidak ada penghukuman tanpa adanya kesalahan (Geen straf zonder schuld). Dasar hukum perlindungan terhadap korban penelantaran dalam rumah tangga adalah Pasal 9, pasal 49, pasal 50 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga, hal-hal apa saja yang dapat dikatakan sebagai tindakan penelantaran

dalam rumah tangga, serta pertanggungjawaban hukum tindak pidana lainnya

dalam pelanggaran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.19

Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak merupakan kewajiban

serta tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan

daerah.20 Dan bagi kehidupan berumah tangga setiap orang dilarang

menelantarkan siapa saja dalam lingkup rumah tangganya. Terutama

menelantarkan anak. Sama halnya yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga, bahwasannya setiap orang dilarang menelantarkan orang yang berada

dalam lingkup keluarganya dan berlaku baginya karena persetujuan dan

perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan.

Konkretnya, penelantaran rumah tangga dimaksud disini setiap bentuk

kelalaian dan kewajiban tanggung jawab orang tua kepada anaknya.

19

Soejono Soekanto, Penegakkan Hukum, (Bandung: PT. Bina Cipta, 1983). Hal.34-35,40.

20

(21)

Sudah saatnya orang tua (ayah) menyadari tanggung jawab terhadap

anak-anaknya, anak-anak pun memiliki hak asasi seperti manusia dewasa

lainnya yang harus dilindungi dan dihargai. Maka hak-hak anak perlu

ditegaskan dan ditegakkan, antara lain untuk hidup yang layak, tumbuh dan

berkembang optimal, memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam

hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak.21

A. Metode Penelitian

Untuk memperoleh suatu hasil yang maksimal dari suatu karangan

ilmiah, maka metode penelitian yang dijalankan akan memegang peranan

yang sangat penting. Hal ini yang sangat mempengaruhi sampai atau tidaknya

isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan yang

digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini meliputi:22

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

a.) Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah normative-yuridis, artinya melakukan pendekatan masalah serta penyelesaiannya berdasarkan

norma-norma hukum sebagaimana yang ada dalam UU Nomor 23

Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

serta aturan hukum yang ada dalam agama Islam

21

Soejono Soekanto, Penegakkan Hukum, 1983. Hal. 48.

22

(22)

b.) Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penyusun lakukan adalah penelitian pustaka

(library research) yang menggunakan literature-literature berupa; buku, jurnal, kamus dan karya pustaka lainnya yang berhubungan

dengan tema pembahasan dalam penelitian ini sebagai sumbernya.

Karena dalam penyelesaian ini (menjawab rumusan masalah) UU

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga serta Hukum Islam merupakan acuan bagi penyusun sebagai

data-data primer yang menjadi pegangan penyusun.

1. Sumber Data

a.) Data Sekunder

Melalui data sekunder penyusun dapat melakukan studi kepustakaan,

dilakukan penelusuran bahan-bahan penelitian berupa buku, jurnal dan

makalah yang berkenaan dengan masalah yang ada dalam penelitian ini.

b.) Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian yang digunakan adalah deskriptip-analitik, yaitu suatu penelitian yang bertolak belakang dari pemaparan kondisis obyektif

masalah, secara komprehensif. Sebagaimana aturan yang ada dalam

Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga serta menjelaskan data-data tersebut

(23)

cenderung meneliti tentang pertanggung jawaban hukuman bagi orang tua

yang menelantarkan anaknya di dalam rumah tangga.

2. Metode Analisis Data

Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), maka dalam metode analisis data yang dilakukan yaitu dengan cara merujuk pada buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan

yang diteliti. Sebagai buku primer (utama) di antaranya: UU Nomoe 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,

data-data sekunder lainnya berupa buku-buku, jurnal, makalah dan lain-lain

yang berkaitan dengan judul penelitian ini.23

3. Analisis Data

Analisis Data merupakan yang dipakai untuk menelaah keseluruhan data

yang tersedia dari berbagai sumber.24 Dalam hal ini penyusun

menggunakan metode analisis perbandingan yang mana membandingkan

data-data yang ada, serta mentitik beratkan pada studi pertanggung

jawaban hukuman bagi orang tua yang menelantakan anaknya dalam

rumah tangga.

23

Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988). Hal. 112.

24

(24)

B. Studi Review Terdahulu

Dalam penelitian ini yang menjadi pokok bahasan tindakan penyimpangan

terhadap anak yaitu berupa penelantaran anak oleh orang tua. Sejauh pengamatan

penyusun, belum banyak ditemukan akan hal tersebut. Meskipun demikian,

banyak karya tulis yang telah membahas tentang anak, akan tetapi tidak dalam

lingkup penelantaran anak. Sehingga guna mendukung penelitian ini penyusun

berusaha melakukan penelusuran karya-karya, penelitian, makalah, UU serta

pustaka-pustaka yang berkaitan dengan judul penulisan ini, diantaranya adalah:

Penelitian yang dilakukan oleh Astrid Fransisca Natalia R., yang berjudul

“Kerugian Yang Diderita Anak Sebagai Akibat Tindakan Pidana Penelantaran Orang Tua”. Penelitian tersebut di teliti oleh Astrid pada tahun 2008. Hasil dari

penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kerugian yang diderita oleh anak

adalah berupa kerugian fisik dan kerugian psikologis. Kerugian fisik yaitu

kekurangan gizi. Kerugian psikologis yaitu berupa kepribadian tapal batas, fobia

sosial dan gangguan prilaku lainnya.25 Berbeda dengan hasil penelitian Astrid,

penyusun cenderung meneliti tentang pertanggungjawaban hukuman orang tua

terhadap anak yang di telantarkan dalam perspektif hukum Islam dan hukum

positif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga.

25 Astrid Fransisca Natalia R., “Kerugian Yang Diderita Anak Sebagai Akibat Tindak Pidana

(25)

Buku dengan judul Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) karya DR. Arif Gosita yang merupakan sebuah kumpulan makalah-makalah yang

dibukukan, yang mana dalam makalah ini banyak sekali permasalahan anak yang

di paparkan tentang tindak kekerasan terhadap anak.26

Sedangkan dari penelusuran karya-karya lainnya yang bersangkutan dengan

penulisan ini, diantaranya:

Skripsi karya Sana Ulaili dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Tindak Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak Dalam Keluarga”27ruang lingkup pembahasan skripsi ini masih bersifat fisik serta hanya ditinjau dari Hukum Islam.

C. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah dalam pembahasan, penyusun membagi susunan

pembahasan dalam lima bab, yaitu:

Bab Pertama, Pendahuluan, pada bab ini terdiri dari: Latar belakang masalah,

Rumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Kerangka teori, Metode

penelitian, Studi review terdahulu dan Sistematika penulisan.

Bab Kedua, Gambaran umum tentang penelantaran anak, yang meliputi:

Pengertian pertumbuhan anak menurut ilmu pengetahuan, Pengertian

penelantaran anak, Kriteria penelantaran anak, Hak anak menurut Islam, Hak

26

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), cet. Ke-3 (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, tt).

27Sana Ulaili, „

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Kekerasan Orang Tua Terhadap

(26)

anak menurut undang-undang, Batasan pengertian kekerasan KDRT, Kategori

orang tua dan batasan tanggung jawabnya.

Bab Ketiga, Sanksi pidana terhadap ayah yang menelantarkan anak menurut

Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang meliputi: A. Pengertian dan dasar

hukum sanksi - (1) Pengertian dan dasar hukum sanksi menurut Hukum Islam.

- (2) Pengertian dan dasar hukum sanksi menurut undang-undang, B. Tujuan

sanksi - (1) Tujuan/Fungsi sanksi menurut Hukum Islam. - (2) Tujuan/Fungsi

sanksi dalam undang-undang.

Bab Keempat, Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan

anaknya menurut Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang meliputi:

Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan anaknya dalam

Hukum Islam, Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan

anaknya dalam UU nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga.

Bab kelima, Merupakan terakhir dalam penulisan yang meliputi kesimpulan

dari pembahasan, serta saran-saran berdasarkan analisis dari penelitian ini

yang diharapkan dapat dijadikan bahan masukkan dan sumbangan penulis

(27)

16

A. Pertumbuhan Anak Menurut Ilmu Pengetahuan

1. Pertumbuhan Anak Menurut Islam

Pertumbuhan anak menurut Islam berlangsung fase demi fase, pertumbuhan

itu digambarkan oleh Allah SWT dalam al-Qur‟an sesuai firmannya pada surat Ghafir ayat 67 sebagai berikut:

َ ݒݏ

َ

ݕܐڭ݃

َ

َڭمۿَ اܸٗۡܥَ ۡم݀جܒ ۡ܌ݗَڭمۿَ۸ ق ݄ ܯَ ۡ݊مَڭمۿَ۸ܸۡطڮ݋َ݊مَڭمۿَ۳۱ ܒۻَ݊گمَم݀ ق ݄ خ

َ اٗ ج أَ۱ٓݒغ݄ۡ۶ ۼ݃ ݑَ݂ۡ۶ قَ݊مَݔڭف ݒ ۼݗَ݊ڭمَم݀݌م ݑَۚ۲ اخݒݘشَ۱ݒ݋ݒ݀ ۼَ݃ڭمۿَ ۡمكڭ܎ش أَ۱ٓݒغ݄ۡ۶ ۼ݃

َ ݉ݒ݄ق ۡܰ ۻَ ۡم݀ڭ݄ ܰ ݃ ݑَݔ ا݈ سڮم

Artinya: “Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).28

Dari penjelasan ayat diatas bahwa proses individu mengalami tahapan dan

dinamika sejak dalam kandungan hingga melahirkan.29 Seorang individu tumbuh

28

Lihat, QS. Ghafir [67].

29

[image:27.612.116.527.114.430.2]
(28)

menjadi anak, remaja atau dewasa yang mengarah pada proses pertumbuhan anak.30

Dalam fase pertumbuhan anak menurut konsep Islam, adalah sebagai berikut:

1. Masa Bayi (0 hingga 2 tahun)

Pada fase ini orang tua anak perlu untuk mengembangkan kasih sayang

secara dua arah dimana ibu memberikan kasih sayangnya dan dalam

waktu bersamaan juga mengembangkan kemampuan anak memberikan

respon. Ini seperti yang sering diperhatikan dalam fase pertumbuhan anak

secara umum dimana memang diharapkan mengajarkan dan

memperhatikan anak untuk dapat memberikan respon. Disini yang

dimaksud dengan “mengembangkan kemampuan anak memberikan respon”.

2. Masa anak-anak (2-7 tahun atau disebut dengan fase thufullah)

Pada fase inilah merupakan fase penting memberikan pondasi dasar tauhid

pada anak melalui cara aktif agar anak terdorong dan memiliki tauhid aktif

dimana anak mau melakukan sesuatu yang baik semata menurut Allah.

Fase ini fase penting penanaman pondasi bagi anak.

3. Masa Tanyiz (7-10 tahun)

Di fase ini anak sudah mulai mampu membedakan baik dan buruk

berdasarkan nalarnya sendiri sehingga di fase inilah kita sudah mulai

mempertegas pendidikan pokok syariat.

30

(29)

4. Masa Amrud (10-15 tahun)

Fase ini adalah fase dimana anak mulai mengembangkan potensi dirinya

guna mencapai kedewasaan dan memiliki kemampuan bertanggungjawab

secara penuh.

5. Masa Taklif (15-18 tahun)

Pada masa ini anak seharusnya sudah sampai pada titik bernama taklif atau bertanggung jawab. Bagi lelaki setidaknya fase ini paling lambat dicapai

di usia 18 tahun dan bagi anak perempuan paling lambat dicapai usia 17

tahun. Tanggung jawab yang dimaksud selain pada dirinya sendiri juga

tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat dan secara keseluruhan.31

Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam hal ini

adalah agama Islam. Anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang

keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses

penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan

agama Islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti diberi nafkah

baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang

berakhlak mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya

untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam,

anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan

31

(30)

negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lill a‟lamin dan

sebagai pewaris ajaran Islam.32

2. Pertumbuhan Anak Menurut Hukum

Selama hayatnya, manusia sebagai individu mengalami pertumbuhan yang

berlangsung secara berangsur-angsur, perlahan tapi pasti, menjalani berbagai fase.

Proses pertumbuhan yang berkesinambungan, beraturan, bergelombang naik dan

turun, yang berjalan dengan kelajuan cepat maupun lambat.33 Semuanya itu

menunjukkan betapa pertumbuhan mengikuti patokan-patokan atau tunduk pada

hukum-hukum tertentu, yang disebut dengan “hukum perkembangan”.34

Dalam segi aspek hukum dan undang-undang menjadikan pengertian anak

semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Untuk meletakkan anak

dalam pengertian aspek tersebut maka diperlukan unsur-unsur internal maupun

eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut.

Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pengertian anak dari aspek hukum.

Dalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak.

Hal ini adalah sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang

mengatur secara tersendiri mengenai peraturan anak itu sendiri. Pengertian

anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari pandangan

32

Ahmad Rofiq, Anak Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 63.

33

Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 141-142.

34

(31)

sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai objek

hukum.

b. Pengertian anak berdasarkan UU 1945.

Pengertian anak dalam UU 1945 terdapat di dalam pasal 34 yang

berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum

nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai

kesejahteraan anak. Dengan kaata lain anak tersebut merupakan tanggung

jawab pemerintah dan masyarakat.35 Terhadap pengertian anak menurut

UU 1945 ini, Irma Setyowati Soemitri menjabarkan sebagai berikut.

“Ketentuan UU 1945, ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkannya UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak

(pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus memperoleh hak-hak

yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan

perkembangan dengan wajar dan baik secara rahasia, jasmaniah, maupun

sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan

kemampuan dan kehidupan sosial. Anak jugta berhak atas pemeliharaan

dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah

dilahirkan.36

35

Darwan Praist, HukumAnak Indoesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 20030. Hal 107.

36

(32)

c. Pengertian anak berdasarkan UU Peradilan Anak.

Anak dalam UU No. 3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2)

yang berbunyi: “Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah

mencapai ussia 8 (delapan) tahun, belum mencapai usia 18 (delapan belas)

tahun dan belum pernah menikah”. Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan syarat sebagai berikut: pertama, anak dibatasi dengan usia

antara 8 (delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan

syarat kedua, si anak belum pernak menikah, maksudnya tidak sedang

terikat dalam perkawinan ataupun pernah menikah dan kemudian cerai.

Apabila si anak sedang terikat dalam pernikahan dan putus karena

perceraian, maka si anak dianggap sudag dewasa walaupun umurnya belum

genap 18 (delapan belas) tahun.37

d. Pengertian anak menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung tolak ukur

kapan seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat

dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi

orang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan mendapati

izi kedua orang tua. Pada pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum

37

(33)

usia untuk dapat menikah, batasan bagi laki-laki adalah saat mencapai usia

19 (sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun.38

Menurut Hilman Hadikusuma, menarik batas antara belum dewasa

dan sudah dewasa sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Hal ini

dikarenakan pada kenyataanya walaupun orang belum dewasa namun ia

telah melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa

telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya walaupun ia belum

menikah.39

Dalam pasal 47 ayat (1) dikatakan bahwa anak yang belum mencapai

umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernak melakukan pernikahan

ada dibawah kekuasaan orang tua nya selama mereka tidak dicabut

kekuasaan orang tua nya. Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang

belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah,

tidak berada dibawah kekuasaan wali . dari pasal-pasal tersebut diatas

maka dapat disimpulkan bahwa anak dalam UU No. 1 tahun 1974 adalah

mereka yang belum dewasa dan sudah dewasa yaitu 16 (enam belas) tahun

untuk perempuan dan 19 (Sembilan belas) tahun bagi laki-laki.

38

Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Gitama Jaya Jakarta, 20030. Hal. 53.

39

(34)

e. Pengertian anak menurut hukum adat / kebiasaan.

Hukum adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan anak-anak

dan siapa yang dikatakan dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat ukuran

anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri tertentu

yang nyata. Soepomo berdasarkan hasil penelitian tentang hukum perdata

Jawa Barat menyatakan bahwa kedewasaan seseorang dapat dilihat dari

ciri-ciri sebagai berikut:40

1. Dapat bekerja sendiri.

2. Cakap untuk melakukan apa yang disyaaratkan dalam kehidupan

bermasyarakat dan bertanggung jawab.

3. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri

f. Pengertian anak menurut hukum perdata.

Pengertian anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa

aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seseorang subjek hukum

yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut adalah: - status belum dewasa

(batas usia) sebagai subjek hukum. – Hak-hak anak di dalam hukum perdata.41

Pasal 30 KUHPerdata memberikan pengertian anak adalah orang

yang belum dewasa dan seseorang yang belum mencapai usia batas

40

Prof. Dr. R. Soepomo, Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, Jakarta: Gita Karya, 1982). Hal. 43.

41

(35)

legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum

nasional yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata. Dalam

ketentuan hukum perdata anak mempunyai kedudukan sangat luas dan

mempunyai peranan yang amat penting, terutama dalam hal memberikan

perlindungan tergadap hak-hak keperdataan anak, misalnya dalam masalah

pembagian harta warisan, sehingga anak yang berada dalam kandungan

seseorang dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak

menghendaki sebagaimana yang yang dimaksud oleh pasal 2

KUHperdata.42

g. Pengertin anak menurut hukum pidana.

Pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada

pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara

kodrat memiliki subtansi yang lemah dan di dalam sistem hukum

dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokan dari bentuk

pertanggung jawaban sebagaimana layaknya seseorang subjek hukum yang

normal. Perngertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek

hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang

untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya

menjadikan anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa

depan yang baik.43

42

R Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995). Hal. 177.

43

(36)

Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum

pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut; -

ketidakmampuan untuk pertanggung jawaban tindak pidana. – pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hak-hak anak

yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tatnegara dengan maksud

untuk mensejahterakan anak. – rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum

pidana yang dilakukan anak itu sendiri. – hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan . – hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana. 44

Jika ditilik pada pasal 45 KUHP maka anak didefinisikan sebagai anak

yang belum dewasa apabila belum berusia 16 (enam belas) tahun. Oleh

sebab itu jika anak tersebut tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh

memerintahkan supaya si anak di kembalikan kepada orang tua nya,

walinya atau pemeliharanya dengan tidak diikenakan suatu hukuman, atau

memerintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak

dikenakan suatu hukuman.45

Dengan demikian di dalam ketentuan hukum pidana telah

memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang kehilangan

kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada

pada usia yang belum dewasa sehingga harus tetap dilindungi segala

44

Jeffry S, Nevied, Spencer, Beyerly. Hukum Pengertian Anak : Jilid II. (Jakarta : Erlangga . 2006). Hal. 32.

45

(37)

kepentingan dan perlu mendapatkan hak-hak yang khusus yang diberikan

kepada negara atau pemerintah.

jadi dari berbagai definisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah

diambil suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa

sebenarnya yang di maksud dengan anak dan berbagai konsekuensi yang

diperolehnya sebagai penyandang gelar anak tersebut.

3. Pertumbuhan Anak Menurut Ilmu Kesehatan

Anak merupakan individu yang berada dalam suatu rentang

perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Menurut

medis, masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang

dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain/oddler, (1-2,5 tahun) pra

sekolah, (2,5-5 tahun) usia sekolah, (5-11 tahun) hingga remaja (11-18

tahun). Rentang ini berada antara anak satu dengan yang lain mengingat

latar belakang anak berbeda. Pada anak terdapat rentang perubahan

pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat.46

Aspek tumbuh kembang pada anak adalah salah satu aspek yang

diperhatikan secara serius oleh para pakar, karena hal tersebut merupakan

aspek yang menjelaskan mengenai proses pembentukan seseorang, baik

secara fisik maupun psikososial. Namun, sebagian orang tua belum

memahami hal ini, terutama orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan

46

(38)

dan sosial ekonomi yang relatif rendah. Mereka menganggap bahwa selama

anak tidak sakit, berarti anak tidak mengalami masalah kesehatan termasuk

pertumbuhan dan perkembangannya.47

Perkembangan psikososial berkaitan dengan perubahan-perubahan

emosi dan identitas pribadi individu, yaitu bagaimana anak berhubungan

dengan keluarga, teman-teman dan gurunya. Pertumbuhan dan

perkembangan walaupun hampir sama tetapi ada perbedaannya yaitu

perkembangan akan berlanjut terus hingga akhir hayatnya, sedangkan

pertumbuhan hanya terjadi sampai manusia mencapai kematangan fisik

yang artinya bahwa seorang anak tidak akan bertambah tinggi atau besar

jika batas pertumbuhannya telah mencapai kematangan.48

4. Pertumbuhan Anak Menurut Psikologi

Pertumbuhan dan perkembangan anak secara psikologi merupakan

sebuah konsep yang cukup rumit dan komplek. Namun dapat diartikan

bawasannya pertumbuhan dan perkembangan anak menurut psikologi

adalah merupakan perubahan-perubahan yang dialami anak atau organism

menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang

berlangsung secara sistematis dan progresif, baik menyangkut fisik

(jasmaniah) maupun psikis (rohaniah). Yang dimaksud dengan sistematis

dan progresif adalah:

47

E. B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 2000). Hal. 87.

48

(39)

a. Sistematis, berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat

saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian-bagian

organism (fisik dan psikis) dan merupakan suatu kesatuan yang harmonis.

b. Progresif, berarti perubahan yang terjadi bersifat maju,

meningkat dan mendalam (meluas) baik secara kuantitatif (fisik) maupun

kualitatif (psikis).

Beberapa definisi psikologi perkembangan menurut beberapa ahli,

adalah sebagai berikut:49

a. Menurut Monks, Knoers dan Siti Rahayu Haditoro dalam

psikologi pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu ilmu yang lebih

mempersoalkan faktor-faktor umum yang mempengaruhi proses

perkembangan (perubahan) yang terjadi dalam diri pribadi seseorang,

dengan menitikberatkan pada relasi antara kepribadian dengan

perkembangan.

b. Menurut Kartini Kartono dalam psikologi anak: psikologi

pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu ilmu yang mempelajari

tingkah laku manusia yang dimulai dengan masa bayi, anak bermain, anak

sekolah, anak remaja, sampai masa dewasa.

Maka, jika dipahami secara cermat dari penjelasan tentang pengertian

pertumbuhan dan perkembangan psikologi di atas, maka dapatlah

49

(40)

dimengerti tentang ruang lingkup pertumbuhan dan perkembangan

psikologi yang merupakan; cabang dari psikologi, objek pembahasan

prilaku atau gejala jiwa seseorang, dan tahapan yang dimulai dari masa

konsepsi hingga masa dewasa.50

5. Pertumbuhan Anak Menurut Sosiologi

Pertumbuhan dan perkembangan anak menurut sosiologi adalah

berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal

ini anak diposisikan sebagai kelompok sosial yang mempunyai status sosial

yang lebih rendah dari masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi.51

Makna anak dalam aspek sosial ini lebih mengarah pada perlindungan

kodrati anak itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya

keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspesi

sebagaimana orang dewasa, misalnya terbatasnya kemajuan anak karena

anak tersebut berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses

sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa. Sosiologi menjelaskan

tugas atau peran yang oleh anak pada masa pertumbuhan dan

berkembangannya, yaitu:

a. Pada usia 5-7 Tahun, anak mulai mencari teman untuk

bermain.

50

M. Dalyono, Pendidikan Psikologi Anak, (Bandung: PT. Rineka Cipta, 2004). Hal. 128.

51

(41)

b. Pada usia 8-10 Tahun, anak mulai serius bersama-sama dengan

temannya lebih akrab lagi.

c. Pada usia 11-15 Tahun, anak menjadikan teman menjadi

sahabatnya.52

6. Pertumbuhan Anak Menurut Antropologi.

Anak menurut perspektif antropologi sebagai individu yang

merupakan bagian suatu kebudayaan, yang dibentuk melalui pola

pengasuhan, dan melakukan sosialisasi dengan lingkungan sosialnya. Dari

perspektif tersebut dapat diambil tiga garis besar yakni:

a. Bagian dari kebudayaan, anak berhadapan langsung dengan

budaya yang diwariskan oleh nenek moyang melalui orang tua atau yang

mengasuhnya. Anak yang diasuh oleh dua subyek (ayah-ibu) yang berlatar

belakang budaya yang berbeda akan mempengaruhi budaya anak tersebut.

Inilah yang disebut dengan istilah asimilasi, dimana budaya anak

merupakan hasil bertemunya dua budaya yang berbeda.

b. Pola pengasuhan yang dilakukan oleh kedua orang tua, bukan

salah satu.

c. Anak dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungan sosial

tempat ia bersosialisasi.53

52

Hartini, G. Kartasapoetra, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Hal. 58.

53

(42)

7. Pertumbuhan Anak Menurut Budaya

Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak menurut budaya david

matsumoto mengatakan bahwa, “budaya merupakan suatu konstruk

individual-psikologis sekaligus konstruk sosial-mikro”. Artinya, sampai batas tertentu budaya ada di dalam setiap masing-masing diri anak secara

individual, sekaligus ada sebagai sebuah konstruk sosial-global. Perbedaan

individual dalam budaya bisa diamati pada orang-orang dari satu budaya

sampai batas dimana mereka mengadopsi dan terlibat dalam sikap, nilai,

keyakinan, dan perilaku-perilaku yang berdasarkan kesepakatan yang

membentuk budaya mereka. Bila anak bertindak sesuai dengan nilai-nilai

dan perilaku-perilaku tertentu, maka budaya tersebut akan hadir dalam diri

si anak, sedangkan bila anak tidak memiliki nilai atau perilaku-perilaku

tersebut, maka si anak tidak termasuk dalam budaya itu.54

B. Pengertian Penelantaran Anak

Penelantaran berasal dari kata lantar yang memiliki arti tidak terpelihara,

terbengkalai, tidak terurus. Bentuk penelantaran anak pada umumnya dilakukan

dengan cara membiarkan dalam situasi gizi buruk, kurang gizi, tidak mendapat

perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis atau

54

(43)

pengamen, anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga (PRT), pemulung,

dan jenis pekerjaan lain yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan

anak.55

Pengertian penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang

tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak,

misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan

pendidikan dan kesehatan yang layak.56

Penelantaran anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala keadaan

perhatian yang tidak memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Penelantaran

anak adalah dimana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk

menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik

(kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian atau kebersihan),

emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang),

pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), atau medis (

kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).57

Macam-macam dalam penelantaran anak, yaitu sebagai berikut:

a. Penelantaran fisik, merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan

mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai serta tidak

tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.

55

Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Kementrian, Melindungi Anak Korban Penelantaran, 2010.

56

Abu Huraerah, Kekerasan Terhadapa Anak, (Bandung: PT. Nuansa, 2006). Hal. 38.

57

(44)

b. Penelantaran emosional, penelantaran secara emosi dapat terjadi

misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ribut

dengan pasangannya. Atau orang tua memberikan perlakuan dan kasih

sayang yang berbeda diantara anak-anaknya.

c. Penelantaran pendidikan, terjadi ketika anak seakan-akan mendapat

pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara

optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah

yang semakin menurun.

d. Penelantaran fasilitas medis, hal ini terjadi karena ketika orang tua gagal

menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial

memadai. Dalam beberapa kasus orang tua, orang tua memberikan

pengobatan tradisional terlebi dahulu, jika tidak ada perubahan pada

anak barulah orang tua beranjak dan pergi untuk memberikan pelayanan

pihak dokter.58

Seorang anak dikatakan terlantar bukan karena ia sudah tidak memiliki

orang tua. Anak terlantar adalah anak-anak yang karena suatu sebab tidak

terpenuhi kebutuhan dasarnya secara wajar, baik rohani, jasmani, maupun sosial.

Terlantar di sini juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh

kembang secara wajar, hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan

58

(45)

hak memperoleh kesehatan yang memadai tidak terpenuhi karena kelalaian,

ketidakmengertian orang tua, karena ketidakmampuan, atau karena kesengajaan.

Dibandingkan anak yang dijadikan korban tindak kekerasan, anak korban

penelantaran sering kali kurang memperoleh perhatian publik secara serius karena

penderitaan yang dialami korban tidak sedramatis sebagaimana layaknya

anak-anak yang teraniaya secara fisik, sebagaimana para ahli menyatakan, anak-anak yang

menjadi korban tindak kekerasan seksual, anak yang dianiaya oleh orang tuanya

hingga tewas, atau anak yang dipaksa bekerja sektor prostitusi, masalah anak

terlantar acap kali hanya dilihat sebagai masalah intern keluarga per keluarga,

hanya bersifat kasuistis dan terjadi pada keluarga-keluarga tertentu saja yang

secara psikologis bermasalah, tindak penelantaran anak baru memperoleh

perhatian publik secara lebih serius tatkala korban-korban tindak penelantaran ini

jumlahnya makin meluas, korban bertambah banyak, dan menimbulkan dampak

yang tak kalah mencemaskan bagi masa depan anak.59

C. Kriteria Penelantaran Anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi

secara optimal sesuai dengan dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tujuan perlindungan

anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,

59

(46)

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan. Serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia

dan sejahtera.60

Fenomena kekerasan keluarga (family volence) sering menggelayuti kehidupan kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin keras, terutama pada

era indrusialisasi, akan banyak orang mengalami stress dan depresi yang

dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak. Aapabila perlakuan kasar

orang tua menyebabkan sakit, luka atau kematian anak, hal itu sudah merupakan

tindak kriminal dengan konsekuensi dapat dijatuhi hukuman. Tidak sedikit anak

mati di tangan orang tua. Namun, kekerasan terhadap anak bukan hanya dengan

kekerasan fisik, dengan penelantaran anak yang di lakukan orang tua terhadap

anak nya juga dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan.61

Berikut adalah beberapa upaya perlindungan terhadap anak dari tindak

kekerasan, adalah:62

a. Harus ada perhatian penuh dari orng terdekat lainnya terhadap anak yang

mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu, ditetapkan perwalian

atas anak yang mengalami perilaku yang tidak menyenangkan dari orang

tuanya, dan kekuasaan orang tua atas anaknya dicabut.

60

Psychology Today, Journal Child Abuse, 2002.

61

A. H. Buss, M. Perry, The Aggresion, Journal of Personality and Social. 1992.

62

(47)

b. Diperlukan perhatian dari lembaga sosial guna menampung anak yang

menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan sosial agar anak

dapat keluar dari lilitan permasalahannya. Di samping itu, perlu

ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang mengurusi kesejahteraan

anak terhadap nasib anak malang yang menjadi korban kekerasan dalam

keluarga.

Kasus seperti penelantaran anak memang sulit dideteksi karena pada masa

lalu, di negara kita hal ini tidak menjadi perhatian dan belum ada dasae

hukumnya. Sejauh ini, kasus penganiayaan dan penelantaran anak di Indonesia

belum banyak dilaporkan dan dicatat secara resmi, karena sulitnya memperoleh

data dan deteksi kasus-kasus seperti ini. Kesulitan disebabkan karena pelaku

penelantaran anak adalah mereka yang berototitas lebih tinggi dari pada korban

(anak). Sehingga untuk menutupi kasus seperti ini mereka membiarkan para

korban tanpa mendapatkan bantuan. Oleh karena itu, sangat perlu bantuan dan

kerjasama dari semua pihak, terlebih petugas kesehatan untuk mampu melakukan

deteksi penganiayaan atau penelantaran anak, sehingga anak memperoleh

pertolongan perlindungan yang semestinya.

D. Tanggung Jawab Ayah Menurut Islam

Anak merupakan anugerah sekaligus ujian bagi pasangan suami istri, dan

tugas seorang suami ketika dikaruniai seorang anak akan bertambah tanggung

jawab serta kewajibannya sebagai seorang ayah. Kedudukan seorang ayah

(48)

menafkahi keluarga saja, tetapi lebih dari itu, seorang pemimpin akan diminta

pertanggungjawabannya oleh Allah SWT atas segala tindak tanduk juga hasil dari

kepemimpinannya, yang dalam hal ini adalah kepemimpinan keluarga yakni

memimpin istri juga anak-anaknya.

Tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya, tidak hanya turut

mendampingi perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya, namun ada

beberapa hal seperti berikut ini:

1. Memberi nama yang baik bagi anak-anaknya

Pemberian nama pada seorang anak merupakan salah satu hak dan kewajiban

pertama bagi seorang ayah. Sedangkan dalam Islam, pemberian nama

haruslah mengandung arti yang baik dan agung, karena menurut salah satu

sabda Rasulallah SAW, “Pada hari kiamat setoap manusia akan dipanggil menggunakan namanya masing-masing, juga nama orangtuanya”. Oleh karena itu pemberian sebuah nama pada seorang anak haruslah mengandung makna

yang baik, indah dan tidak ada makna merendah atau menghinakan sang

anak.63

2. Menanamkan keimanan (tauhid) dan akhlak

Awal pendidikan seorang anak adalah dilingkungan keluarga atau dirumah,

dan yang berperan sebagai guru pertama bagi mereka adalah ayah dan ibunya.

Kedua orang tua memiliki porsi yang sama dalam perannya mendidik

anak-anaknya agar tumbuh menjadi pribadi yang sesuai dengan yang

63

(49)

diharapkannya. Dalam Islam, seorang anak selain sebagai penerus keturunan

dari suatu kaum muslim juga untuk menjadi penerus mereka dalam hal

keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT. Sedangkan keimanan dan

ketakwaan tidak akan muncul begitu saja tanpa adanya pola asuh dan didikan

pada seorang anak. Ayah dalam hal ini menjadi kunci utama dalam hal

penanaman keimanan dan ketakwaan bagi mereka. Seorang ayah bertanggung

jawab mengajarkan anak-anak mereka tentang pada siapa mereka harus

menyembah, mengabdi dan beriman.

3. Menyekolahkan dan membentuk cara berfikir anak

Ada sebagian orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan pertimbangan

sekolah favorit, karena alasan ekonomis, mudah dijangkau dan lain

sebagainya. Dimanapun orang tua menyekolahkan anaknya, yang terpenting

adalah sekolah termasuk lingkungannya (teman-temannya, guru-gurunya,

dsb). Bukan hanya mampu membuat anak kita menjadi pribadi yang

berkembang dalam cara berfikirnya secara intelektual saja tapi juga tetap

terjaga akhlak dan kepribadiannya. Oleh karena itu, menjadi suatu kewajiban

bagi orang tua untuk menentukan sekolah yang baik bagi anak-anaknya.

4. Menjadi teladan bagi anak-anaknya

Mendidik anak bukan sekedar memberi perintah dan aturan. Anak tidak akan

mengikuti dan memaknai apa yang dikatakan orang tuanya, jika mereka

sendiri tak pernah mengamalkan suatu amalan. Sebagai contoh, tidak

mungkin kita menyuruh anak kita rajin dan tidak pernah meninggalkan ibadah

(50)

melaksanakan shalat wajib. Akan lebih bermakna ketika orang tua mendidik

anak dengan memberinya teladan atau contoh yang baik. Anak akan belajar

dari meniru apa yang dilakukan orang tuanya, dan begitupun mereka akan

menerapkan hal yang serupa pada keturunannya.

5. Menjaganya dari lingkungan yang tidak baik

Menjaga anak kita dari lingkungan yang tidak baik, salah satunya seperti yang

diungkapkan di atas, memilih sekolah yang tepat. Selain itu, lingkungan

disekitar rumah pun turut berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan

anak-anak. Ketika orang tua dirumah membiasakan anak untuk bertutur kata

dengan bahasa yang baik dan santun, sedangkan diluar rumah dan lingkungan

pertemanannya terbiasa berbahasa dengan bahasa yang kasar dan tidak sopan,

tentunya akan mempengaruhi keberhasilan didikan dirumah. Oleh karena itu,

memilih rumah sebagai tempat tinggal dilingkungan yang baik, tetap

mengawasi pertemanan anak-anak, tentunya akan menjadi salah satu faktor

pendukung keberhasilan dari pola didik kita pada anak-anak. Namun perlu

diingat, menjaga bukan berarti bersikap berlebihan yang malah menjadikan

penghambat bagi perkembangan mereka. Ketika seorang ayah mampu

menyadari peranannya sebagai pemimpin dalam rumah tangga, melaksanakan

semua tugas dan fungsinya secara baik, rumah tangga yang dibangun akan

menjadi rumah tangga yang bahagia dengan dipenuhi keturunan-keturunan

yang akan mejadi penyejuk juga penyelamat bagi orang tuanya kelak.64

64

(51)

E. Hak Anak menurut Islam

Hak anak dalam Islam memiliki aspek universal terhadap kepentingan anak.

Meletakkan hak anak dalam pandangan Islam, memberikan gambaran bahwa

dasar tujuan kehidupan umat Islam adalah membangun umat manusia yang

memegang teguh ajaran Islam. Dengan demikian, hak anak dalam pandangan

Islam ini meliputi aspek hukum dalam lingkungan seseorang. Cara pandang yang

dimaksud tidak saja memposisikan umat Islam yang harus tunduk pada hukum

Islam sebafai formalitasformalitas wajib yang harus ditaati dan apabila dilanggar

maka perbuatan tersebut akan mendapatkan laknat baik di dunia maupun di

akhirat.65

Dimensi Islam dalam meletakkan hak asasi manusia sangatlah luas dan

mulia. Dari ajaran kehidupan moral, hal asasi anak juga dipandang sebagai benih

dalam sebuah masyarakat.66 Dalam pandangan ini Abdur Razak Husein

menyatakan “jika benih anak dalam masyarakat itu baik, maka sudah pasti masyarakat akan terbentuk menjadi masyarakat yang baik pula”, lebig kanjut

dikatakan, Islam menyatakan bahwa anak-anak merupakan benih yang akan

tumbuh untuk membentuk masyarakat di masa yang akan datang.67

Dalam dasar kehidupan, manusia mengalami 4 (empat) fase yang pasti

dilalui yaitu: pertama, dari awal kelahirannya, kedua, dari awal kelahiran sampai

65

Abdul Ghani Abdullah, Pengantara Komplikasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994). Hal. 71.

66

Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003). Hal. 39.

67

(52)

anak menjelang dewasa (mumayyiz), ketiga, dari awal mumayyiz sampai dewasa (baligh), dan keempat, dari awal baligh sampai menjelang meninggal dunia.68 Selama daur yang dilalui manusia itu dibarengi dengan hak dan kewajiban, baik

dalam garis vertikal maupun horizontal.

Hak dan kewajiban vertikal adalah hubungan manusia dengan tuhannya

sebagai sang Khaliq (penciptanya). Sedangkan hubungan horizontal adalah kewajiban memperhatikan hak keluarganya, hak suami istri, dan hak

anak-anaknya. Subhi Mamasani berpendapat bahwa orang tua memperhatikan hak anak

untuk masa depan mereka yaitu baik hak menyusui, hak untuk mendapat asuhan,

hak untuk mendapatkan nama baik dan kewarganegaraan, hak nafkah atau harta,

hak pengajaran, serta hak pendidikan, akhlak dan agama.69

Secara garis besar, hak anak menurut Islam dapat dikelompokkan menjadi 7

(tujuh) macam, yaitu:70

a. Hak anak sebelum dan sesudah lahir.

Allah SWT berfirman:

َ

َۡ܎ ق

َ

َ ܒس خ

َ ݊ݗܐڭ݃

َ

َܒۡݘ غ۵َ۲ۢ ݐ ܸ سَ ۡمݏ ܎ ݃ ۡݑ أَ۱ٓݒ݄ ۼ ق

َ مݐ ق ܓ َܑ ۲ مَ ۱ݒمڭܒ ح ݑَ ٖم݄ۡܯ

َڭّ

َ

َ ءٓ۱ ܒۼۡف

َ

َ ݔ ݄ ܯ

َۚڭّ

َ

َ۱ݒ݋۲ كَ ۲ م ݑَ ۱ݒڮ݄ ضَ ۡ܎ ق

َ ݊ݗ܎ ۼۡݐم

71

َ

68

Ali Hasaballah. Ushul at -Tasyri’ al-Islami. (Mesir : Dae al- Ma‟arif, 1959). Hal. 258.

69

Subhi Mamasani. Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia. (Jakarta : Tintamas Indonesia, 1987). Hal. 204.

70

Abdur Razak Husein. Hak dan Pendidikan….,Hal. 11-34. Hak anak dalam fiqh sering dirinci menjadi hak nasab, hak rada’ah, hak hadanah, dan hak nafkah. Lihat Abu Zahrah, Ahwal Asy-Syakhsiyyah. (Kairo : Dar al-Fikr, 1957). Hal. 451-471.

71

(53)

Maksud ayat ini, upaya anak memperoleh penjagaan dan

pemeliharaan akan keselamatan dan kesehatannya. Ditegaskan pula dalam

surat at-Talaq (65): 6 tentang kewajiban seorang suami untuk menjaga

istrinya yang sedang hamil.

Islam mengajarkan agar selalu menjaga kehidupan keluarga dari api

neraka (jalan kesesatan) bahkan demi hak asasi manusia diperintahkan

saling menjaga antar sesama manusia. Islam juga melarang membunuh

perempuan dan anak-anak dalam keadaan perang.

Dalam Islam ada beberapa hal yang d

Gambar

GAMBARAN UMUM TENTANG PENELANTARAN ANAK
gambar visual), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung
Grafika, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

“Nikah Sirri dalam Perbincangan Media Massa” menjelaskan bahwa persoalan nikah sirri menjadi suatu yang sangat menarik dan berkembang di era modern ini. Nikah sirri

Mekanika kuantum selalu menggunakan pendekatan yang berbeda untuk menentukan besaran yang terkait dengan gerak partikel yaitu menggunakan fungsi gelombang untuk

E-commerce merupakan bentuk transaksi bisnis yang lebih praktis tanpa perlu kertas (paperless) serta dapat dilakukan melintasi batas negara, tidak bertemunya secara

The first questionnaire contained some topics based on topic books and some techniques used by the teachers to teach those topics to the young learners.. The

Bentuk kekerasan seksual yang paling banyak dialami oleh responden SMA adalah pelecehan seksual berupa kata-kata tidak senonoh, sedangkan bentuk kekerasan seksual pada

0,661, hal ini menunjukkan bahwa jika anggota Gapoktan Subur Mukti menggunakan berbagai media baik media cetak maupun media elektronik, mendapatkan informasi atau pengetahuan dan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol rambut jagung ( Zea mays L.) memiliki efek untuk menurunkan kadar gula darah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Kinerja Pegawai terhadap Kualitas Pelayanan Pada Kantor Camat Tapa Kabupaten Bone Bolango, dari Rumusan masalah