ISLAM DAN DEMOKRASI
Studi Terhadap Nilai-nilai Demokrasi di Pondok Pesantren
MadinatunnajahTangerang Selatan
(1997-2015)
TESIS
Diajukan untuk memperoleh gelar Master Humaniora
Oleh :
NOVA RIZQIAWATI
NIM : 21120221100008
PROGRAM SEJARAH DAN PERADABAN
ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN JAKARTA
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis “Islam dan Demokrasi, Studi Terhadap Nilai-nilai Demokrasi di Pondok Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan” Karya saya dengan bimbingan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Jika dikemudian
hari ditemukan unsure plagiaisme dalam tesis ini, saya bersedia menerima
sanksi sesuai aturan yang berlaku.
Jakarta, 24 September 2015
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan, taufik dan hidayah-Nya,
sehingga atas izin Allah penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
Salawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia ke jalan yang diridhai oleh
Allah SWT.
Dalam penulisan tesis ini, banyak pihak yang telah membantu dan
terlibatkan. Karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebanyak-banyaknya, terutama kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan segala perhatian dan dorongannya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan segala
perhatian dan dorongannya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
3. Bapak Dr. Abdullah, MA, selaku Ketua Prodi Program Pascasarjana
vi
telah memberikan segala perhatian dan dorongannya kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
4. Dr. H. Abdul Chair, MA dan Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA, selaku
Pembimbing I dan II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan, pengarahan dan petunjuk dengan penuh keikhlasan sehingga
tesis ini dapat diselesaikan.
5. Bapak dan Ibu Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
menstransfer ilmu pengetahuan kepada penulis yang tidak ternilai
harganya, semasa penulis duduk dibangku kuliah.
6. Seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
melayani dan membantu penulis dalam proses penulisan tesis ini.
7. Kedua Orangtuaku tercinta, Ayahanda Dr. H. Rohadi Abdul Fattah,
M.Ag (alm) dan Ibunda Hj. Titi Setiani, PS serta seluruh keluarga yang
telah memberikan motivasi, serta do’a restunya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
8. Suami (Maudi) dan Anakku tercinta (Nayla Irfah Rizvani) yang telah rela
memberikan waktu dan kesempatannya selama masa studi hingga
terselesaikannya tesis ini.
9. Sahabat, handai taulan dan semua pihak yang telah terkait yang tidak
vii
baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga dapat
membangkitkan semangat penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya kepada Allah jualah penulis berharap, semoga amal saleh
dan kebaikan yang telah mereka lakukan mendapat imbalan dan ganjaran di
sisi Allah SWT. Amin.
Jakarta, 24 September 2015 M
9 Dzulhijjah 1434 H
viii
A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah… 9 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……… 11
D. Kajian Terdahulu……….. 13
E. Metodologi Penelitian……….. 17
F. Sistematika Penulisan……….. 24
BAB II : DEMOKRASI DAN PONDOK PESANTREN A. Budaya Demokrasi……… 26
1. Pengertian Budaya Demokrasi……….. 26
2. Macam-macam Konsep Demokrasi……….. 44
a. Konsep Demokrasi Kuno dan Klasik….. 44
b. Konsep Demokrasi Modern………. 47
B. Nilai-nilai Budaya Demokrasi……….. 50
1. Kebebasan Mengemukakan Pendapat……… 50
2. Kesamaan dalam Kesempatan……… 51
3. Kedaulatan…...……… 53
4. Menghargai Perbedaan……… 54
5. Musyawarah………. 56
C. Pondok Pesantren dan Pendidikan Demokrasi…. 58 1. Sejarah Pesantren dan Komponen-komponennya 58 2. Pola Kehidupan Pesantren……… 76
3. Pendidikan Demokrasi di Pesantren………. 81
BAB III : PROFIL PESANTREN MADINATUNNAJAH A. Berdirinya Pesantren Madinatunnajah ………... 89
B. Visi dan Misi Pesantren Madinatunnajah……... 105
C. Sarana dan Prasarana ……… 119
ix
BAB IV : NILAI BUDAYA DEMOKRASI DI PESANTREN
MADINATUNNAJAH
1. Perkembangan nilai budaya Demokrasi di Pesantren Madinatunnajah
pada tahun 1997-2000……….. 129
A. Kebebasan Mengemukakan Pendapat………… 133
B. Kesamaan dalam Kesempatan……… 144
C. Kemandirian………. 151
D. Menghargai Perbedaan………. 159
E. Musyawarah……….. 166
2. Perkembangan nilai budaya Demokrasi di Pesantren Madinatunnajah pada tahun 2000-2015……….. 173
BAB V: IMPLEMENTASI NILAI BUDAYA DEMOKRASI DI PESANTREN MADINATUNNAJAH A. Nilai Demokrasi Pada Mata Pelajaran di Madinatunnajah 1. Pelajaran Aqidah Akhlak……… 184
2. Pelajaran Al-Qur’an dan Hadis……….. 193
3. Pelajaran Fiqih……….... 201
B. Media dan Saluran Demokrasi Di Pesantren Madinatunnajah 1. Media Massa……… 210
2. Kurikulum dan Pengajaran………. 213
3. Forum Pertemuan dan Musyawarah……….. 220
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai negara multi etnik, agama, bahasa, budaya, kelompok sosial
dan nilai, Indonesia memiliki tantangan utama yaitu bagaimana menyatukan
segala perbedaan menjadi suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan pancasila. Salah satu dari nilai-nilai yang terkandung dalam
pengamalan pancasila adalah budaya demokrasi. Tuntutan agar demokrasi
lebih optimal hanya akan terjadi apabila semua rakyat Indonesia dapat
mengenal, percaya, dan memiliki komitmen satu sama lain. Di antara sub
sistem dari seluruh rakyat Indonesia adalah santri dan pesantren.
Demokrasi sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi dunia
pesantren. Telah lama dunia pesantren menggeluti nilai-nilai demokrasi,
terutama ketika muncul program pengembangan masyarakat di Pesantren
sekitar tahun 1970-an. Tema yang diangkat kala itu memang tidak memakai
kata demokrasi, tetapi isu yang dikembangkan mempunyai kemiripan.
Misalkan isu pengembangan masyarakat yang diangkat oleh LP3ES pada
awal 1970-an, yang intinya ingin membangkitkan partisipasi masyarakat
dalam membangun dan meningkatkan ekonomi. Jika dikaitkan isu demokrasi
2 aktif untuk menyuarakan kehendak.1
Pendidikan di pesantren, sebagai sub sistem pendidikan nasional
memang diharapkan dapat ikut serta dalam mewujudkan nilai-nilai
demokrasi. Di antara nilai-nilai demokrasi yang harus dimiliki santri/peserta
didik adalah agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara
bertanggungjawab, terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai
pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa
bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki, sama-sama merasakan suka
dan duka dengan masyarakatnya, dan mempelajari kehidupan masyarakat.
Keterlibatan kaum santri dalam pembumian nilai-nilai demokrasi di
pesantren sangat besar pengaruhnya. Pengaruh tersebut, tidak terlepas dari
peran kyai sebagai sosok kharismatik yang sangat dihormati dan diyakini
memiliki pengetahuan agama yang luas sebagai pemimpin. Oleh karena itu,
dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren, kyai merupakan figur yang
memiliki otoritas untuk merencanakan, menyelenggarakan, dan
mengendalikan seluruh pelaksanaan pendidikan di pesantren.
Pada sisi lain, saat ini juga banyak NGO dan LSM serta kelompok
studi yang anggotanya lulusan pesantren, sangat aktif menyuarakan
demokrasi dan menjadi pendukung utama konsolidasi demokrasi di
1Jamhari Makruf, "Pengalaman Pondok Pabelan: Demokrasi Kecil di Tengah-tengah Lingkungan
3
Indonesia.2 Diskusi para pakar alumni pesantren yang terpublikasi dalam buku Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi juga membuktikan bahwa mereka ternyata tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi, seperti pluralisme,
kesetaraan, dan sebagainya.3
Perjumpaan dengan berbagai masalah-masalah keduniawian seperti
persoalan kekuasaan dan pergaulan sosial sangat memungkinkan masuknya
nilai-nilai demokrasi sebagai alternatif lain untuk memecahkan
persoalan-persoalan tersebut. Salah satu contoh yang terkait dengan persoalan-persoalan
kepemimpinan di pesantren adalah suksesi atau pergantian lurah pondok,
yang biasanya terjadi di Pesantren Salaf. Keberadaan lurah pondok yang
biasanya diamanahkan kepada Ustadz senior untuk menjadi wakil kyai,
adalah juga membuktikan bahwa ada praktik demokrasi di pesantren, karena
lurah pondok biasanya dipilih oleh para santri. Meskipun telah dibentuk
pengurus yang bertugas melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan jalannya pesantren sehari-hari, kekuasaan mutlak senantiasa masih
berada di tangan sang kyai.4
Tetapi juga harus diakui, bahwa tantangan yang dihadapi pesantren
semakin hari semakin besar, kompleks, dan mendesak sebagai akibat
2Pasca kebijakan kembali ke khittah pada tahun 1984, beberapa kyai di Jombang secara eksplisit
menganjurkan para pengikutnya untuk memilih Golkar pada pemilu 1987. Akibatnya, perolehan suara nasional PPP dari 25,8% pada pemilu 1982 menjadi 15,3% pada pemilu 1987. Di Jombang perolehan suara PPP pada pemilu 1987 turun 36% dibandingkan dengan perolehan suara pada pemilu 1982. Lihat, Endang Turmudi, Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan,(Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm 184 -185.
3Ahmad Suaedy (Ed.), Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm.13. 4Abdurrahman Wahid, "Pesantren sebagai Sub Kultur", dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan
4
semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tantangan ini menyebabkan terjadinya
pergeseran-pergeseran nilai di pesantren, baik nilai yang menyangkut sumber
belajar maupun nilai yang menyangkut pengetahuan pendidikan. Hal
tersebut, menurut Mastuhu5 akan memaksa pesantren untuk mencari bentuk
baru. Misal, kyai bukan lagi merupakan satu-satunya sumber belajar, meski
kedudukan kyai di pesantren masih tetap merupakan tokoh kunci. Menyadari
semakin banyaknya buku terjemahan yang beredar, kyai akhirnya merestui
santri belajar apa saja asal tetap pada Aqidah-Syariah agama dan berpegang
pada moral agama. Pesantren juga mempersilahkan santri belajar di lembaga
formal di luar pesantren. Bahkan pesantren juga sudah banyak yang
menyelenggarakan pendidikan formal, di samping masih menyelenggarakan
sistem Diniyah.6 Perubahan ini menunjukkan inklusivitas pondok pesantren dalam menyikapi arus perubahan dari luar.
Munculnya kelompok generasi muda alumni pesantren yang terlibat
dalam diskusi ide-ide tentang perubahan kemungkinan besar juga karena
mendapat bekal pola pikir inklusif di pesantren. Inklusivitas pesantren, juga
ditunjukkan dengan akomodatifnya pesantren terhadap produk-produk
teknologi sebagai dampak dari modernisasi dan globalisasi. Dengan
masuknya produk teknologi modern yang tak lain adalah media global,
5Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 66-67.
6Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,(Jakarta: Logos,
5
sudah barang tentu membuka lebar bagi masuknya nilai-nilai global, seperti
nilai-nilai demokrasi, ke dalam pesantren. Sebab melalui media global
semacam televisi, persoalan demokrasi baik di dalam maupun diluar negeri
merupakan pemberitaan yang mendapatkan porsi cukup besar. Maka dengan
semakin intensnya pesantren mengakses produk teknologi global, akan
menjadikan santri semakin luas wawasan berpikirnya, termasuk dalam
kaitannya dengan persoalan demokrasi.7
Secara konvensional, pesantren memang tidak secara khusus
melakukan pendidikan demokrasi8, tetapi bukan berarti tradisi di pesantren jauh dari tradisi yang demokratis. Tradisi keilmuan para santri adalah tradisi
yang demokratis, seperti adanya penghargaan atas perbedaan, menganggap
wajar pluralitas, sikap Tasamuh atau toleransi, Tawassuth atau jalan tengah,
Tawazun atau keseimbangan, dan I'tidal atau bersikap adil.9 Dengan demikian, pesantren dalam tataran tertentu tampaknya sudah secara sadar
atau tidak melakukan sosialisasi, penanaman dan aktualisasi nilai-nilai
demokrasi.
Hal demikian, juga terjadi di Pesantren Madinatunnajah Tangerang
Selatan. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, pesantren ini telah
memiliki media publikasi seperti: majalah, majalah dinding, dan bulletin.
7Muhtarom HM., “Pondok Pesantren Tradisional di Era Globalisasi: Kasus Reproduksi Ulama di
Kabupaten Pati Jawa Tengah”, Disertasi,(Yogyakarta: Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 315-316 .
8Endang Turmudi, “Demokrasi dalam Pendidikan di Pesantren,” Makalah, Seminar Pendidikan
Demokrasi di Pesantren 20-22 April 2005 di Cipayung Bogor, hlm. 3.
6
Media publikasi tersebut sering digunakan sebagai media pemberitaan
hal-ikhwal seputar pesantren, baik menyangkut kebijakan pesantren, keluh-kesah
santridan kegiatan sosial kemasyarakatan pesantren serta hasil cipta rasa dan
karsa para santri. Berdasarkan informasi bahwa Pondok Pesantren
Madinatunnajah Tangerang Selatan juga menggunakan model diskusi dalam
pembelajaran di kelas. Hal lain yang terkait dengan nilai-nilai demokrasi
adalah pemilihan ketua OSMN (Organisasi Santri Madinatunnajah
Tangerang Selatan) yang diselenggarakan secara langsung, pemilihan
pengurus Gerakan Pramuka, pengurus Pencak Silat Tapak Suci dan masih
banyak kegiatan lainnya.
Deskripsi di atas setidaknya memberikan sedikit informasi bahwa
dalam pendidikan di pesantren, ada ruang-ruang bagi tumbuh kembangnya
nilai demokrasi. Meski tidak dinafikan, bahwa sosok kyai pengasuh
pesantren yang sering dipandang sebagai pemimpin kharismatik, meragukan
adanya demokrasi di pesantren. Sebab kharisma cenderung memperkokoh
bangunan otoritas tunggal yang bertentangan secara frontal dengan alam
keterbukaan,10sehingga pada pesantren yang masih menggunakan pola
kepemimpinan kharismatik ada kecenderungan pada bekunya nilai-nilai
demokrasi, termasuk nilai kebebasan berpendapat. Namun demikian, seiring
dengan arus demokratisasi yang menerpa bangsa Indonesia pada masa-masa
10Martin Van Bruinessen, Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Paska Khithah 26: Pergulatan NU
7
akhir kekuasaan pemerintahan Orde Baru dan dalam era reformasi serta
perkembangan politik pada level internasional, maka dunia pesantren pun
tentu tidak bisa melepaskan diri dari arus tersebut.
Di sisi lain, sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki tata
nilai yang khas, pesantren sesungguhnya merupakan sebuah laboratorium
sosial kemasyarakatan yang diharapkan mampu menanamkan keyakinan,
kepribadian, watak kemandirian dan kesederhanaan, dan akhirnya dapat
melahirkan warga masyarakat yang siap berkiprah, tahan uji, dan siap
menegakkan kebenaran. Dengan demikian jelas bahwa pesantren bukan
semata melaksanakan tugas pendidikan dalam arti pencerdasan, tetapi juga
merupakan media bagi tumbuh kembangnya nilai-nilai demokrasi.
Sisi inilah yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Sebagai sebuah
miniatur masyarakat ideal, bagaimana cara pesantren mendidik para
santrinya. Dalam arus demokratisasi yang semakin kuat, sejauh mana
pesantren menyerap dan mempraktekkan nilai-nilai demokrasi, baik dalam
proses pembelajaran maupun dalam aktivitas kehidupan sivitas pesantren.
Sisi lain yang menjadikan ketertarikan penulis adalah: pertama,
meski secara umum banyak pandangan bahwa demokrasi dan pesantren
adalah dua hal yang sulit bisa dikompromikan, disebabkan kehidupan
pesantren adalah kehidupan yang unik, tetapi dengan semakin
8
melahirkan pembagian tugas dalam segi manejemen. Kedua, dengan
dimasukkannya sistem sekolah dalam pesantren dengan penjenjangan ketat,
maka kurikulum pun sekarang ini tidak lagi menjadi monopoli keputusan
kyai. Kurikulum pendidikan di pesantren yang sudah memasukkan sistem
sekolah, di samping menyesuaikan dengan kurikulum sekolah negeri juga
digenapi dengan materi-materi Pesantrenan yang dalam beberapa kasus telah
didelegasikan oleh kyai kepada pengurus bidang pendidikan. Dengan
demikian, sangat mungkin masuknya materi-materi baru, yang di dalamnya
sarat dengan nilai-nilai demokrasi ke dalam kurikulum pendidikan di
pesantren.
Objek dalam penelitian ini adalah Pesantren Madinatunnajah
Tangerang Selatan, dengan alasan Pesantren Madinatunnajah Tangerang
Selatan memiliki keterwakilan gambaran dan ciri utama pesantren secara
keseluruhan seperti yang dijelaskan di atas. Di Pesantren Madinatunnajah
Tangerang Selatan, santri barasal dari berbagai daerah sehingga dipastikan
budaya yang mereka miliki berbeda sehingga santri dapat mengembangkan
dan membumikan nilai-nilai demokrasi. Berdasarkan latar belakang di atas,
peneliti merasa tertarik untuk mengetahui dan mengkaji “Islam dan
Demokrasi: Studi Terhadap Nilai-Nilai Demokrasi di Pondok Pesantren
9
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah pada tulisan ini adalah:
a. Sistem pesantren teridentifikasi menjadi dua, tradisional dan modern.
Pada sistem pesantren tradisional, kepemimpinan notabene terfokus
pada kyai sebagai pemimpin sentral dan tunggal. Hal ini mulai
bergeser seiring dengan sistem pendidikan pesantren terpadu yang
menyelenggarakan pendidikan MI, MTs, MA dan perguruan tinggi.
b. Pada sistem terpadu ini pesantren mulai membuka diri dan kyai
menempatkan orang-orang kepercayaannya/ asatidz yang sesuai
dengan kemampuannya.
c. Pada sistem pendidikan terpadu dan berjenjang ini kyai tidak lagi
menjadi satu-satunya sumber kurikulum tetapi ia mendelegasikan
sumber pembelajaran kepada penyelenggara bidang pendidikan
berjenjang.
d. Pendelegasian sebagian tugas-tugas kepengurusan pesantren diberikan
kepada Asaatidz/guru dan juga santri senior yang terwujud dalam
organisasi santri.
e. Pada pendelegasian tugas-tugas dan sumber pembelajaran kepada
orang-orang kepercayaan kyai (asatidz dan santri senior) tersebut
10
2. Pembatasan Masalah
Adapun fokus pembahasan pada tulisan ini adalah:
a. Proses pengembangan budaya demokrasi pada pembelajaran di kelas,
di luar kelas, eskul, maupun pada organisasi guru dan santri.
b. Nilai-nilai demokrasi yang dikembangkan pada pembelajaran di kelas,
di luar kelas, organisasi, eskul, maupun pada pendelegasian
tugas-tugas dari kyai kepada para asatidz dan dalam proses interaksi yang
terjalin antara kyai-santri, Ustadz-santri, maupun antara santri dengan
sesamanya di pesantren.
c. Hambatan pengembangan nilai-nilai demokrasi di Pesantren
Madinatunnajah.
3. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana proses pengembangan budaya demokrasi di Pondok
Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan ?
b. Nilai budaya demokrasi apa yang dikembangkan di Pondok Pesantren
Madinatunnajah Tangerang Selatan?
c. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi Pesantren
11 nilai-nilai demokrasi?
d. Bagaimana upaya Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan
untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses
pembudayaan nilai-nilai demokrasi?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui proses pengembangan budaya demokrasi di Pesantren
Madinatunnajah Tangerang Selatan.
2. Mengidentifikasi nilai budaya demokrasi yang dikembangkan di
Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan.
3. Mengidentifikasi hambatan-hambatan yang dihadapi Pesantren
Madinatunnajah Tangerang Selatan dalam proses pembudayaan nilai
nilai demokrasi.
4. Mengidentifikasi upaya Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan
untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses
pembudayaan nilai-nilai demokrasi.
Adapun secara garis besar hasil penelitian ini mempunyai manfaat
sebagai
berikut:
12
sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang
pengkajian Islam pada umumnya, dan khususnya pengembangan budaya
demokrasi di pesantren.
2. Secara Praktis:
a) Bagi pesantren penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pengkajian bagaimana pesantren sebagai sub sistem pendidikan
mampu memberikan sumbangannya dalam membentuk perilaku dan
sikap demokratis santri, dan pesantren dapat menerapkan pendekatan
yang tepat dalam membina perilaku dan sikap demokratis santri.
b) Bagi santri, penelitian ini dapat mengetahui bentuk prilaku yang
sesuai dengan aturan yang berlaku di pondok pesantren, dan santri
dapat mematuhi segala peraturan yang dibuat pesantren.
c) Bagi Asatidz dan Ustadzah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai
bahan masukan oleh para Asatidz dalam menggunakan proses
pembelajaran demokrasi yang mendorong dan menjamin kebebasan
berbicara dan berpendapat, dan mendorong para Asatidz dan
Ustadzah untuk lebih meningkatkan perannya sebagai pembimbing
dalam pembinaan sikap dan perilaku santri.
d) Bagi orangtua/ wali santri, penelitian ini dapat dijadikan bahan
masukkan oleh para orang tua untuk lebih mengenal pendidikan di
13 pembinaan sikap dan prilaku.
e) Bagi masyarakat, penelitian ini dapat mendukung pesantren dalam
usaha mencetak santri yang baik dan berguna di masyarakat kelak,
dan masyarakat dapat mengetahui keunggulan pesantren dalam
pembinaan budaya demokrasi yang didasarkan pada kebiasaan santri
untuk menghargai dan menumbuh kembangkan nilai-nilai
kebebasan, toleransi, dan kepercayaan dalam mengembangkan civic disposition santri.
D. Kajian Terdahulu
Sejauh ini buku atau hasil penelitian yang memberikan perhatian kepada
soal nilai-nilai demokrasi di pesantren antara lain adalah:
1. Buku Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, karya Mastuhu. Buku ini meneliti
unsur-unsur dalam sistem pendidikan pondok pesantren, nilai-nilai luhur serta
perspektif dan dinamika sistem pendidikan pesantren dalam menghadapi
tantangan zaman. Dalam buku ini Mastuhu mendeskripsikan sistem pendidikan
pesantren yang kiranya perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional
seperti pengembangan sumber belajar selain dari kyai, pengembangan
pendidikan formal dan membuka akses hubungan luar Pesantren seluas-luasnya.
Ia juga mendeskripsikan sistem pendidikan pesantren yang kiranya sudah tidak
14
pada masa depan karena dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman.11
2. Pesantren dan Demokratisasi di Pesantren Nurul Ummah Kotagede
Yogyakarta. Dalam disertasi ini Sabarudin menjabarkan penemuannya bahwa
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah kendali
kepemimpinan kyai secara individual. Nilai kebebasan yang hidup dan
operasional dalam pendidikan di Pesantren Nurul Ummah meliputi nilai
kebebasan berpendapat, berkelompok, berpartisipasi. Nilai kebebasan tersebut
hidup dalam pendidikan di pesantren, baik dalam proses pembelajaran di kelas
maupun dalam proses interaksi yang terjalin antara kyai-santri, Ustadz-santri,
maupun antara santri dengan sesamanya. Nilai-nilai tersebut hidup selain
karena faktor ajaran Islam yang terkandung dalam kitab-kitab kuning dan
referensi lain yang dipelajari di pesantren, juga karena cara pemahaman kyai
dan ustadz terhadap teks yang tidak tekstualis, serta sikap akomodatif
pengasuh pesantren maupun para ustadz pembantu terhadap perubahan sosial
yang terjadi di dalam masyarakat. Adapun faktor-faktor yang mendukung
perkembangan nilai kebebasan pada Pesantren Nurul Ummah adalah:
(a) Adanya kesadaran akan pentingnya humanisasi pendidikan;
(b) Kesadaran akan perubahan sosial dan sikap akomodatif sivitas pesantren
terhadap pemikiran yang inovatif;
(c) Persentuhan pesantren dengan perguruan tinggi; dan
(d) Banyaknya media dan kegiatan yang muncul di pesantren. 12
11 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm.12.
12 Sabarudin, Pesantren dan Demokratisasi di Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta,
15
3. Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah. Buku ini adalah kumpulan tulisan tentang perubahan pondok-pondok pesantren. Buku
ini berusaha menggambarkan gerak perubahan yang terjadi di berbagai
pondok pesantren. Di antara penulis dalam buku ini adalah Shobirin. Ia
mengemukakan bahwa perkembangan struktur dan sistem manajemen
pondok pesantren tidak mempengaruhi kepemimpinan kyai serta
pembagian kerja dan fungsi dalam pondok pesantren. Kemajuan dalam
organisasi menuju ke proses demokrasi, menurutnya, tidak mesti
dibayar dengan kemerosotan kewibawaan dan kharisma kyai. Dalam
buku ini juga dikemukakan tulisan Azyumardi Azra tentang dinamika
pondok pesantren terkait dengan peran utama ulama. Di Minang,
ungkap Azra, para ulama tidak memelihara tradisi pondok pesantren,
tetapi melakukan inovasi, dengan mendirikan sekolah-sekolah modern
seperti Thawalib. Wajah pondok pesantren di Minang diwakili oleh
surau yang mengalami krisis dengan munculnya sistem madrasah.13
4. Kyai dan Perubahan Sosial. Buku ini menceritakan figur kyai yang berperan sebagai penyaring informasi dalam memacu perubahan di
dalam pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya. Para Agamawan
sejak dahulu dinilai sebagai penghambat bagi kemajuan. Karena tidak
ada kemajuan tanpa perubahan, maka mudah saja tudingan jari
16
diteruskan kepada mereka sebagai pihak yang menentang perubahan.
Agamawan tidak dapat membawa perubahan sosial karena para
Agamawan merupakan sebuah tradisi yang stagnan, tidak dinamis.
Namun, untuk masa-masa sekarang pernyataan-pernyataan semacam itu
terbantahkan dengan beberapa fakta yang telah ada di Indonesia. Sudah
banyak Agamawan yang membuat sebuah terobosan-terobosan baru
dalam menyampaikan nilai-nilai agama masing-masing. Di balik
kebekuan lembaga-lembaga keagamaan, seringkali didapati kemampuan
para pemimpin agama untuk merumuskan ajaran-ajaran baru yang
membawa kepada perubahan dalam kehidupan masyarakat.14
5. Tradisi Pondok Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai Buku ini menggambarkan tradisi pondok pesantren dengan fokus utama pada
peranan kyai dalam memelihara dan mengembangkan faham Islam
tradisional di Jawa. Islam tradisional di Jawa, menurutnya, bukanlah
faham yang statis, melainkan justru dinamis terhadap perubahan sosial.
Dalam sistem pendidikan pesantren, ada lima elemen utama yang harus
ada yaitu pondok, masjid, pengajian kitab-kitab klasik, santri dan kyai.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mempertahankan tradisi
kyai, ia juga adaptif teradap lingkungan sosial.15
6. Pondok Pesantren dan Dinamika Sosial Keagamaan. Buku ini
14 Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M 1985),hlm.10.
15 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:LP3S 1994),
17
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pondok
pesantren, di antaranya kebijakan sosial, politik, ekonomi, dan
keagamaan pemerintah kolonial Belanda, ibadah haji dan diskursus
kegamaan di Mekkah dan Madinah, afiliasi pondok pesantren kepada
tarekat tertentu dan geneologi intelektual kyai pondok pesantren.16
Karya tulis yang akan dibahas ini adalah Islam dan demokrasi. Fokus
penelitian terletak pada budaya demokrasi yang dikembangkan pesantren
Madinatunnajah Tangerang Selatan. Pembumian budaya demokrasi di
pesantren ini terwujud dalam pembelajaran di kelas, di luar kelas, eskul,
maupun pada organisasi guru dan santri. Tulisan ini juga menjelaskan
nilai demokrasi yang dikembangkan, serta hambatan pengembangan
nilai-nilai demokrasi. Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan memiliki
keterwakilan gambaran dan ciri utama Pesantren secara keseluruhan seperti
yang dijelaskan di atas. Unsur-unsur budaya demokrasi secara teoritis akan
terjawab dengan penelitian lapangan yang dilakukan langsung oleh penulis
ke objek penelitian yaitu Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Studi
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
18
kualitatif. Pemilihan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan
pada permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti mengenai budaya
demokrasi di pesantren yang memerlukan data dan gambaran yang nyata dari
kondisi keseharian santri di pesantren. Salah satu sifat pendekatan kualitatif
adalah sangat deskriptif, artinya dalam penelitian ini diusahakan
mengumpulkan data-data deskriptif yang banyak dan dituangkan dalam
bentuk laporan dan uraian.
Penelitan ini tidak menggunakan angka-angka dan statistik, walau
tidak menolak data kuantitatif. Hal ini sesuai dengan pengertian penelitian
kualitatif yang didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati.17
Dalam penelitian kualitatif, peneliti sebagai instrumen penelitian
berfungsi sebagai alat peneliti utama. Penulis mengadakan sendiri
pengamatan dan wawancara tak berstruktur sehingga bisa menyelami dan
memahami interaksi antar-manusia secara mendalam dibantu oleh pedoman
wawancara dan observasi.18
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka pengumpulan data, penulis mengikuti apa yang
dikatakan Abdurrahmat Fathoni. Ia mengungkapkan dalam bukunya bahwa
17 Lex J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif.( Bandung: Remaja Rosda Karya,2010), hlm. 4. 18Sugiyono.Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung:
19
“secara metodologis dikenal beberapa macam teknik pengumpulan data,
diantaranya: Observasi, Wawancara, Angket, dan Studi
dokumentasi”.19Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara merupakan kegiatan dialogis yang dilakukan peneliti
dengan sumber data. Peneliti dapat melakukan dialog secara langsung
dengan sumber data sehingga dapat mengungkap pernyataan dari sumber
data secara bebas. Maksud dari mengadakan wawancara adalah untuk
mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan,
motivasi, tuntutan, memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi
yang diperoleh dari orang lain. Wawancara merupakan bentuk komunikasi
antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi
dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berdasarkan tujuan tertentu.20
Wawancara dalam penelitian ini merupakan suatu kegiatan penulis
untuk memperoleh informasi langsung dari responden, menggunakan
pedoman yang terstruktur secara terperinci mengenai permasalahan yang
akan diteliti. Wawancara akan ditujukan kepada:
19Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi,Cet.I (Jakarta: PT.
RINEKA CIPTA, 2006), hlm. 104.
20Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.
20
1) Pendiri dan Pembina : Drs. KH. Mahrus Amin
2) Pimpinan Pesantren : KH. M. Agus Abdul Ghofur, M.Pd
3) Sekretaris Pesantren : Ust. Eko Tristiono, S.Pd.I, MM
4) Ka. Biro Pendidikan : Muhammad Sukron, S.Th.I, MM
5) Ka. Biro Pengasuhan Santri : Ust. Sobar, S.PdI
6) Ketua Organisasi OSMN : M. Habibi
7) Santri pengurus (Kls VI) : M. Zulfi
8) Santri Junior (Kls I) TMI : M. Lutfi
b.Observasi/ Pengamatan
Sebagai metode ilmiah observasi diartikan pengamatan dan
pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam
arti yang sebenarnya tidak hanya sebatas pada pengamatan yang
dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung. Atas dasar sifatnya,
pengamatan dibedakan dalam pengamatan biasa dan pengamatan terlibat,
yaitu penulis mengamati dan melakukan langsung ke objek penelitian.21
Observasi yang dilakukan penulis adalah dengan melakukan
pengamatan langsung yang berkaitan dengan keadaan umum lokasi
penelitian serta proses penanaman budaya demokrasi di Pesantren
Madinatunnajah Jombang Tangerang. Objek yang diamati adalah kegiatan
sehari-hari para santri dari bangun tidur sampai tidur kembali, proses
21
pendidikan baik dalam kelas maupun di asrama, kurikulum pesantren,
peraturan-peraturan kegiatan ekstra kurikuler, dan termasuk kehidupan kyai
dan para Asatidz.
Pencatatan kejadian dilakukan dengan memperhatikan
kegiatan/aktivitas secara umum, kemudian mengelompokkan
kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur budaya demokrasi.
c. Studi Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-barang
tertulis. Melaksanakan penelitian dengan menggunakan metode dokumentasi
artinya peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah,
dokumen, peraturan-peraturan, notulen, catatan harian dan sebagainya.22 Dokumen sering digunakan dalam penelitian karena dokumen merupakan
sumber yang stabil, hasil pengkajian dokumen akan membuka kesempatan
untuk lebih memperluas tubuh pengetahuan terhadap sesuatu yang diselidiki.
d.Catatan Lapangan (Field Note)
Peneliti membuat catatan singkat mengenai pokok-pokok
pembicaraan dan pengamatan tentang segala sesuatu yang diamati selama
penelitian berlangsung. Catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa
yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan
data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif dan merupakan
22Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Citra, 2010),
22 bagian dari dokumentasi.23
3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Kegiatan analisis data dilakukan setelah data yang diperlukan
terkumpul. Analisis data merupakan salah satu faktor terpenting dalam suatu
penelitian. Pengolahan data dan analisis dilakukan melalui suatu proses
mulai dari menyusun, mengkategorikan data, mencari kaitan isi dari data
yang diperoleh, memilih data yang penting dan akan dipelajari sehingga
mudah dipahami oleh sendiri maupun orang lain. Aktifitas dalam analisis
data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Adapun langkah-langkahnya adalah:24
a. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar yang
muncul dari hasil penelitian di lapangan. Reduksi data dilakukan untuk
mempermudah pengolahan data mentah yang diperoleh oleh peneliti di
lapangan, sehingga peneliti lebih mudah untuk mengolah dan memahami
data yang telah terkumpul. Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data
melalui wawancara, observasi serta dari informasi lain mengenai budaya
23Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian, hlm. 201.
23 demokrasi di pesantren.
b. Penyajian Data (Data Display)
Setelah proses reduksi data selesai, selanjutnya data diolah dengan
menyusun atau menyajikannya ke dalam representasi visual yang sesuai
dengan keadaan data. Penyajian data dilakukan dengan singkat, jelas dan
dapat dipahami sehingga memudahkan dalam memahami aspek-aspek yang
diteliti. Dalam penelitian ini, penyajian data dilakukan dengan
mendeskripsikan dan menganalisis hasil penelitian yang dituangkan melalui
uraian singkat mengenai budaya demokrasi di pesantren.
c. Kesimpulan
Kesimpulan atau verifikasi merupakan hasil dari penelitian yang
dipaparkan secara singkat dan jelas serta mudah dipahami. Kesimpulan
diperoleh dari hasil penelitian dengan mengacu pada tujuan penelitian yang
diuraikan terdahulu. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mengungkap
permasalahan yang berkenaan dengan budaya demokrasi di pesantren.
Setelah pengolahan dan analisa data selesai maka penulis akan
menuangkannya dalam bentuk deskripsi dan paparan berupa narasi.
4. Lokasi dan Objek Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat di mana penelitian dilakukan guna
memperoleh gambaran atau data yang berasal dari responden. Penelitian ini
24
berlokasi di Jalan Jombang-BSD Jombang Ciputat Tangerang Selatan
Banten. Alasan peneliti memilih pesantren ini, karena Pesantren
Madinatunnajah Tangerang Selatan memiliki keterwakilan gambaran dan
ciri utama pesantren secara keseluruhan seperti yang dijelaskan di atas.
Adapun yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini terdiri
dari: Pimpinan Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan,25 Asatidz dan Asatidzah, pengasuhan santri, dan Pembina ektsrakurikuler.26 Hal ini
dilakukan agar ada perbandingan antara pernyataan satu dengan yang
lainnya. Selain itu, penulis juga memperoleh informasi dari informan lain
yang dapat menambah dan memperkuat data penelitian.
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mengarah tercapainya tujuan pembahasan pada penulisan
tesis ini maka penulis membuat sistematika pembahasan penulisan yang
terdiri dari lima bab yang masing-masing bab berisi pembahasan sebagai
berikut:
Bab I, Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang masalah,
pembatasan danperumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian
25 KH. M. Agus Abdul Ghofur, M.Pd adalah Pimpinan Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan
yang merupakan menantu dari KH. Makhrus Amin, Pimpinan dan Pendiri Pesantren Darunnajah Jakarta. KH Makhrus Amin juga salah satu pemrakarsa berdirinya pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan.
26 Wawancara akan ditujukan kepada; Pendiri dan Pembina Pesantren: Drs. KH. Mahrus Amin,
25
pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, demokrasi dan pondok pesantren. Bab ini mencakup
pengertian budaya demokrasi, pondok pesantren, pendidikan demokrasi dan
komponen-komponennya, serta pondok pesantren dan pendidikan demokrasi.
Bab III, pondok Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan. Bab
ini mencakup profil Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan, badan
pengurusan dan guru/ asatidz, kurikulum Pesantren Madinatunnajah
Tangerang Selatan.
Bab IV, budaya demokrasi di Pesantren Madinatunnajah Tangerang
Selatan. Bab ini mencakup proses pengembangan budaya demokrasi di
Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan, nilai budaya demokrasi yang
dikembangkan Pesantren Madinatunnajah Tangerang Selatan, upaya yang
dilakukan pesantren dalam mengembangkan nilai demokrasi, serta hambatan
yang dihadapi pesantren dalam mengembangkan nilai demokrasi.
Bab V, penutup yang mencakup kesimpulan dan saran. Pada halaman akhir
26
BAB II
DEMOKRASI DAN PONDOK PESANTREN
A. Budaya Demokrasi
1. Pengertian Budaya Demokrasi
Demokrasi yang diartikan sebagai “suatu pemerintahan
oleh rakyat” dimana demokrasi mengisyaratkan keterlibatan
unsur-unsur rakyat dalam pemerintahan suatu Negara, berasal
dari akar kata demokratia,
Agama dan demokrasi merupakan konsep dan sistem nilai
yang bermakna penting bagi manusia. Walau kedua konsep dan
sistem nilai ini berbeda basis filosofi dan memiliki paradigm
masing-masing, namun aktor pelaksana kedua sistem ini adalah
manusia. Karena itu persoalan agama dan demokrasi adalah
persoalan manusia dalam menjalani kehidupan, baik sebagai
makhluk religius maupun sebagai makhluk sosial. Namun
demikian, kedua konsep dan system nilai ini berasal dari sumber
yang berbeda. Secara teologis, seperti dikemukakan oleh
Komaruddin Hidayat (khususnya agama Yahudi, Nasrani dan
27
Tuhan, bukan buatan manusia dan rekayasa manusia. Sementara
sosok demokrasi adalah produk dan aktualisasi penalaran
manusia sebagai makhluk sosial. Dengan ungkapan lain
Komaruddin menegaskan bahwa perilaku agama yang
diwujudkan manusia selalu mencari justifikasi dari Tuhan
(theo-centris), sedangkan perilaku demokrasi (demokratis) lebih
menitikberatkan pada persoalan manusia dalam berhubungan
dengan sesamanya sebagai makhluk sosial dan legitimasinya
diperoleh dari sesama manusia. 1
Dalam perkembangannya demokrasi mengalami berbagai
macam interpretasi dan pemahaman, sehingga tidak ada satu
definisi atau pemahaman tunggal. Ia senantiasa dapat diartikan
sesuai dengan kebutuhannya. Bahkan pada pelaksanaannya,
demokrasi mengalami berbagai model2 dan bentuknya sesuai
dimana ia diterapkan. Ada demokrasi yang berbentuk langsung
1Komaruddin Hidayat., “Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi” dalam Elza
Peldi Taher, Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi (Jakarta: Paramadina, 1994) hal. 189-200.
2Pembahasan lebih mendalam tentang model dan bentuk demokrasi dapat dibaca pada
28
(Direct Democracy), tidak langsung (Representative Democracy),
dan lain-lain.3
Ketika Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslim pindah
dari Mekkah ke Madinah (622 M), sebuah komunitas baru
orang-orang beriman didirikan disana. Komunitas baru ini terdiri dari
orang-orang yang pindah dari Mekkah, yang disebut :kaum
Muhajirin” (orang-orang yang pindah), dan orang-orang dari
Madinahyang megikuti mereka, yang disebut “kaum Anshar”
(para penolong).4 Pada masa itu, di Jazirah Arab hanya ada satu
model komunitas, komunitas suku yang didasarkan pertalian
darah. Sejak awal kemunculannya, Islam sebagai pola hubungan
social, dipertentangkan dengan model komunitas suku yang
berdasarkan pertalian darah tersebut. Dengan demikian,
komunitas baru orang-orang beriman tersebut merupakan
kumpulan suku, namun yang berdasarkan hubungan keyakinan
keagamaan dan bukannya berdasarkan hubungan darah.5
33 Lihat The Encyclopedia Americana, (Grolier Incorporated: 1982) vol.8, hal 684.
Lihat juga M.Azhar, FilsafatPolitik Perbandingan Antara Islam dan Barat (Jakarta: Grafindo Persada: 1996), hal. 58.
4 Muhammad Said al-Ashmawi; Islam dan Barat (Demokrasi dalam masyarakat Islam),
Editor: Ulil Abshar-Abdalla, Cet I, FNS Indonesia dan Pusat Studi Islam Paramadina, Jakarta, 2002, hal.1
5 Muhammad Said al-Ashmawi, Islam dan Barat (Demokrasi dalam masyarakat Islam),
29
Nabi Muhammad SAW merupakan pemimpin
perkumpulan baru tersebut, komunitas orang-orang beriman; ia
mempunyai hak-hak yang sama dengan kepala-kepala suku
lainnya, serta hak-hak keagamaan yang ia miliki dalam
kualitasnya sebagai Nabi. Dari waktu ke waktu, sebagian besar
tindakan dan ucapan Nabi dikumpulkan dengan tekun. Hal ini
khususnya dijelaskan dalam doktrin yang menempatkan posisi
Nabi dan Tuhan pada tingkat yang sama dan menempatkan
tindakan dan ucapan Nabi sebagai pedoman yang dijamin secara
penuh berdasarkan iman itu sendiri.6
Diantara konsep-konsep keagamaan tersebut, hanya
gagasan tentang musyawarah, dalam bahasa Arab syura, yang dapat dikembangkan ke dalam gagasan demokrasi. Gagasan ini
hanya sekali disebut dalam ayat al-Qur’an dan menentukan hak
Nabi untuk bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin umat
Islam. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Nabi wajib
menerima pendapat-pendapat mereka, sebaliknya ia
diperintahkan untuk mengikuti pendapatnya sendiri:
6 Muhammad Said al-Ashmawi, Islam dan Barat (Demokrasi dalam masyarakat Islam),
30
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam pelbagai
urusan. Jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah
pada Allah” (Q. 3:159).7
Budaya demokrasi berarti menjadikan demokrasi sebagai
pola, sikap, dan perasaan yang mendasari dan mengarah pada
tingkah laku demokrasi. Ia menjadi nilai-nilai dan kebiasaan yang
diterima sebagai acuan bersama yang diikuti dan dihormati.
Dengan kata lain, demokrasi telah menjadi bagian yang tidak
dapat dipisah-pisahkan dari kehidupan masyarakat. Seluruh
kehidupanya diwarnai oleh nilai- nilai demokrasi. Budaya
demokrasi adalah nilai- nilai demokrasi yang menjadi kebiasaan
baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai itu telah membumi dan terealisasi dalam semua aspek
kehidupan masyarakat suatu wilayah, atau bahkan suatu bangsa.
Sikap Demokrasi adalah bagian dari kepribadian
seseorang yang mendorong untuk bertindak sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi, yaitu toleransi,
kebebasan mengemukakan pendapat, menghormati perbedaan
7 Muhammad Said al-Ashmawi, Islam dan Barat (Demokrasi dalam masyarakat Islam),
31
pendapat, memahami keanekaragaman dalam masyarakat,
terbuka dan komunikasi, menjunjung nilai dan martabat
kemanusiaan, percaya diri, tidak menggantungkan pada orang
lain, saling menghargai, mampu mengekang diri, kebersamaan
serta keseimbangan.8
Indikator Sikap Demokrasi antara lain: a) Toleransi b)
Kebebasan mengemukakan pendapat c) Menghormati perbedaan
pendapat. d) Memahami keanekaragaman dalam masyarakat. e)
Terbuka dan komunikasi f) Menjunjung nilai dan martabat
kemanusiaan. g) Percaya diri. h) Tidak menggantungkan pada
orang lain. j) Saling menghargai. k) Mampu mengekang diri. l)
Kebersamaan. m) Keseimbangan.9
Demokrasi sebagai suatu cara hidup yang baik antara lain
meliputi hal-hal sebagai berikut :
Pertama: Segala pendapat atau perbedaan pendapat mengenai masalah kenegaraan dan lain-lain yang menyangkut
kehidupan negara dan masyarakat diselesaikan lewat
8 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, hlm 74.
9Asykuri Ibn Chamim dkk., Pendidikan Kewarganegaraan, Menuju Kehidupan yang
32
lembaga negara. Cara hidup ini akan mengantarkan dan
merupakan suatu kebiasaan menyelesaikan perselisihan melalui
lembaga itu sehingga masalah itu dapat diselesaikan dengan tertib
dan teratur.
Kedua, Diskusi. Sebagai suatu negara Demokrasi, dimana rakyat di ikutsertakan dalam masalah negara, maka pertukaran
pikiran yang bebas demi terselenggaranya kepentingan rakyat,
maka diskusi harus dibuka seluas-luasnya. Diskusi dapat
berbentuk polemik didalam media massa, seprti surat kabar dan
lain-lain. Di dalam diskusi atau musyawarah sebagai landasan
kehidupan bangsa dan negara, demokrasi harus diberi saluran.
Dalam hal ini semangat musyawarah, baik dalam
lembaga-lembaga perwakilan maupun dalam wadah-wadah lainnya, seperti
media massa sudah sewajarnya dibina terus-menerus.10
Ada aneka ragam cara pandang dalam melihat pendidikan,
dan termasuk di dalamnya cara pandang sosial budaya. Perspektif
sosial-budaya yang berasal dari disiplin antropologi ini masih
belum banyak dikenal di Indonesia, khususnya dalam bidang
10 Darjidarmodiharjo dkk, Santiaji Pancasila, (Surabaya : Usaha Nasional, 1991, cet.X),
33
kajian pendidikan. Paradigma sosial-budaya ini memandang
“pendidikan sebagai proses transmisi pengetahuan secara
sistematik tidak dapat dipahami terpisah dari total
sosialisasi/enkulturasi”. Dua kata kunci dalam pernyataan ini,
yakni sistematik dan tak terpisah, memberikan indikasi yang tegas bahwa perspektif ini mementingkan analisa seperangkat
unsur yang saling tergantung satu sama lain secara totalitas
sebagai sebuah sistem.11
Demokrasi meliputi keseluruhan arasnya, mulai dari
paradigma metafisik (cara pandang terhadap dunia): faham-faham
teoritis hingga “teknologi” aplikatifnya atau rekayasa struktural
yang dilembagakan atau ditradisikan oleh entitas budaya yang
bersangkutan dalam rangka itu. Pada aras teoritis dan aplikatif,
demokrasi memang telah melahirkan berbagai kontroversi,
bahkan memicu sekian banyak konflik politik besar-besaran yang
tak terlupakan oleh umat manusia. Tapi pada aras
metafisik-pandangan bahwa manusia adalah makhluk mulia, paradigma
11 Kumpulan Tulisan Koentjaraningrat Memorial Lecture I-V/2004-2008, Perspektif
34
demokrasi telah menjadi nilai universal dan diterima sebagai
kebenaran absolut oleh seluruh umat manusia. 12
Mengutip dalam bukunya Mohammad Najib, dalam
pandangannya, kemuliaan manusia adalah fithrah, sebagaimana
tauhid adalah fitrah. Dalam keyakinan saya, fitrah itu tetap,
karena merupakan bagian dari asal usul manusia itu sendiri.
Sejauh mana pun terasingnya manusia dari dirinya sendiri.
“aroma” fitrah itu akan selalu membuntutinya.13 Tak heran jika
dalam komunitas atau entitas budaya mana pun akan kita dapati
spirit demokrasi, karena demokrasi yang bersumber pada naluri
kemuliaan manusia itu adalah bagian dari jati diri setiap manusia,
bagian dari “kebutuhan dan tujuannya. Tumbuhnya nilai-nilai
demokrasi dalam berbagai entitas budaya berakar pada naluri fitri
ini. Adapun aspek-aspek yang memperoleh penekanan
kemungkinan bervariasi diantara entitas-entitas budaya yang ada,
tergantung pada tantangan lingkungan yang dihadapi dan proses
interaksi sosial yang dijalani masing-masing.14
12 Mohammad Najib, dkk, Demokrasi Dalam Perspektif Budaya Nusantara, (Yogyakarta,
LKPSM, 1996, cet. I), hlm ix-x.
13 Mohammad Najib, dkk, Demokrasi Dalam Perspektif Budaya Nusantara, Ibid, hlm x.
35
Pengaruh suatu agama pada demokrasi merupakan sesuatu
yang sangat kompleks. Pertama, sebuah agama memberi
nilai-nilai operasional dan ideal kepada para penganutnya yang boleh
jadi sesuai atau tidak dengan konsep-konsep yang mendasari
demokrasi dan syarat-syarat minimum untuk menjalankannya.
Kedua, sebuah agama mungkin menentukan suatu pola tertentu
menyangkut hubungan antara agama, Negara, dan politik.15
Demokrasi adalah sebuah tema yang banyak dibahas oleh
para ulama dan intelektual Islam. Untuk menjawab dan
memosisikan demokrasi secara tepat kita harus terlebih dahulu
mengetahui prinsip demokrasi berikut pandangan para ulama
tentangnya.
Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah
prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya: Kebebasan
berbicara setiap warga negara, pelaksanaan pemilu untuk menilai
apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau
harus diganti, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa
15 Muhammad Said al-Ashmawi, Islam dan Barat (Demokrasi dalam
36
mengabaikan kontrol minoritas, peranan partai politik yang
sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat, pemisahan
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, supremasi hukum
(semua harus tunduk pada hukum), semua individu bebas
melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.16
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak
demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi
yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk
menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia
sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama
sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi
menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang
bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi
(berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang
diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah
memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta. Kritikan
terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh
intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan
37
dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern
menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika.
Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen
sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum
yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya
menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat
menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis
moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah
konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral
ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich.
Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal
menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
Tauhid sebagai landasan asasi, kepatuhan pada hukum, toleransi
sesama warga, tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit,
penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
Menurut Muhammad Imarah Islam tidak menerima
demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara
38
menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat.
Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut
merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum
tertinggi.17
Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan
merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan
Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh
ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’
(legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang
memahami dan menjabarkan) hukum-Nya. Demokrasi Barat
berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan
Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam,
Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki
kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam
pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah
berfirman: “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan
39
Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum
atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi
pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.18
Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan
dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:
Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang
untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin
dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh
akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga
dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat
yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran
juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi
mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah
bagian dari ajaran Islam.
Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu,
barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga
40
kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara
mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak,
berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan
kesaksian pada saat dibutuhkan.
Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak
bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap
Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar
sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang
di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara
terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk
dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka
harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka.
Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan
pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja,
suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak
41
Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat,
serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam
demokrasi yang sejalan dengan Islam.19
Menurut Salim Ali al-Bahna, demokrasi mengandung sisi
yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi
negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi
adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan
dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak
legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap
menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena
itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah,
wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan
tugas-tugas lainnya, mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang
hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa
59) dan (al-Ahzab: 36), komitmen terhadap islam terkait dengan
42
persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di
parlemen.20
Konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan
tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep
demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat
dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah,
serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat
diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah
kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari
rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem
demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan
musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap
43
menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya
kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang
menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar
zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil
rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar
tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil
pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi;
bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh
Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar
dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua
warga. Agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas
terwujud, langkah yang harus dilakukan:
a. Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman
yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka
44
b. Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan
didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan
mengamalkan Islam secara baik.21
2. Macam-macam Konsep Demokrasi
A. Konsep Demokrasi Kuno dan Klasik
Pengertian istilah demokrasi kuno dan klasik disini adalah
lebih difokuskan kepada pemahaman demokrasi secara
konseptual dan historis pada masa Yunani dan masa Klasik Barat.
Asal usul demokrasi sebagai suatu system politik dapat ditelusuri
sampai pada sekitar lima abad Sebelum Masehi (SM), ketika
orang-orang Yunani yang membentuk polis (negara kota)
mencoba menjawab pertanyaan; bagaimana suatu system politik
harus diorganisasikan agar dapat memenuhi kepentingan dan
kesejahteraan bersama masyarakat. Sejak itu demokrasi menjadi
suatu spesies politik yang mengalami pasang surut dan pasang
naik dalam perjalanan sejarah manusia.
45
Demokrasi Yunani Kuno di Athena adalah demokrasi
langsung yang dipraktekkan dalam suatu Negara kota yang kecil,
para negaranya, walaupun tidak seluruhnya, membuat
keputusan-keputusan politik secara langsung. Menurut pendapat Amin Rais,
demokrasi yang dipraktekkan seperti di Athena itu dapat
dianggap sebagai suatu working model (model penerapan)
demokrasi murni dan dari model Athena ini dapat diterapkan
beberapa prinsip operasional.22 Demokrasi yang diterapkan pada
kota Athena merupakan “demokrasi rakyat” dimana rakyat secara
langsung terlibat dalam hal pengambilan keputusan dan
diikutsertakan dalam memecahkan persoalan-persoalan negara
yang penting.
Tokoh-tokoh demokrasi masa Yunani Kuno telah
melakukan kegiatan yang cenderung membela kepentingan
banyak orang. Tokoh-tokoh itu seperti Solon, sang pembaharu
dan pembuat Hukum (638-558 SM), Chleistenes (C-508 SM),
Pricles, Jenderal- Negarawan (490-429 SM), dan Demosthenes,
Negarawan-Orator (385-322 SM). Masing-masing mereka ini