perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
HUBUNGAN ASAL INISIATIF DAN KESEDIAAN TES HIV (HUMAN
IMMUNODEFICIENCY VIRUS) PADA ORANG BERISIKO
TINGGI TERINFEKSI HIV DI SURAKARTA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
SELVY AGUSTINA
G0007226
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user iii
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 2010
Selvy Agustina
commit to user iv ABSTRAK
Selvy Agustina, G0007226, 2010. Hubungan Asal Inisiatif dan Kesediaan Tes HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada Orang Berisiko Terinfeksi Tinggi di Surakarta.
Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta.
Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian adalah semua pasien berisiko terinfeksi HIV yang terjaring oleh LSM serta klinik VCT RSUD. Dr. Moewardi. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. Pengumpulan data dilakukan selama satu bulan yaitu pada tanggal 14 Juni sampai 14 Juli 2010. Pengumpulan data dikumpulkan dengan instrumen kuesioner dan dianalisis menggunakan Fisher’s Exact Test.
Hasil Penelitian : Analisis dengan Fisher’s Exact Test menujukkan adanya perbedaan perbedaan kesediaan tes HIV antara mereka yang datang dengan inisiatif sendiri dan petugas kesehatan dengan mereka yang datang dengan insiatif LSM (p=0,02, OR=0,725, CI=0,613-0,859). Selain itu, tidak ada perbedaan kesediaan tes HIV antara mereka yang didampingi LSM Waria dan LSM Pengguna jarum suntik (p=0,592)
Simpulan : Terdapat perbedaan hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV
(Human Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta.
commit to user v ABSTRACT
Selvy Agustina, G0007226, 2010. A Relationship Background of Initiative and Willingness to Get HIV (Human Immunodeficiency Virus) Test at People with High Risk Infected in Surakarta.
Objectives : This study aimed analyze the relationship between background of initiative with willingness to get HIV (Human Immunodeficiency Virus) test at people with high risk infected in Surakarta.
Method : This study used analytic observational design with cross-sectional approach. This study’s sample are all patients at risk of HIV at two non-govermental organization and VCT clinic at RSUD. dr. Moewardi. The sample was collected during a month from 14 June until 14 July 2010. The sample collected with questionnaire analyzed with Fisher’s Exact Test.
Result : There are differences in willingness to HIV test between people which come by theirself and healthcare worker initiative with iniatiative by LSM (p=0,02, OR=0,725, CI=0,613-0,859). There is a difference between the willingness to get HIV test with theirself from LSM waria and LSM (Injecting Drug User),
Conclusion : There a relationship background of initiative and willingness to get HIV (Human Immunodeficiency Virus) test at people with high risk infected in Surakarta.
commit to user vi PRAKATA
Puji Tuhan, saya panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus untuk segala berkat dan karunianya,sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Hubungan Asal Inisiatif dan Kesediaan Tes HIV (Human
Immunodeficiency Virus) Pada Orang Berisiko Tinggi Terinfeksi HIV di Surakarta”. Dalam proses penyelesaian skripsi ini tentunya tak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. H. A.A. Subijanto, dr., M.S., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ari N. Probandari, dr., M.P.H selaku pembimbing utama yang telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, serta motivasi kepada penulis. 4. Eti Poncorini, dr., M.Pd selaku pembimbing pendamping yang telah
memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, serta motivasi kepada penulis. 5. Dhani Redhono, dr., Sp.PD selaku penguji utama yang telah berkenan
menguji serta memberi saran dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Drs. Hardjono, MSi selaku penguji pendamping yang telah berkenan menguji serta memberi saran dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Untuk Papa, Mama, Ooh Kris, Koko Budhi tersayang yang telah memberi dukungan moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.
8. Segenap Staf Skripsi dan Staf IKM di Fakultas Kedokteran UNS, Staf Klinik VCT di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, LSM Penasun dan LSM Waria atas bantuan dan kerjasamanya dalam penyusunan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabatku Gita, Irine, Nickyta, Eiffel, Ari, Fenda untuk semua bantuan dan dukungan, serta untuk happy family, teman-teman tim penelitian Anggra, Irine, Yudo, Fiqna, teman-teman Cyto, serta semua teman angkatan 2007 dan seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan pengetahuan dan wawasan ilmiah bagi pembaca, rekan mahasiswa dan para peneliti khususnya dalam lingkup profesi kedokteran. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan sehingga kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini sangat diharapkan.
Surakarta, 2010
commit to user vii DAFTAR ISI
PRAKATA ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II LANDASAN TEORI ... 6
A. Tinjauan Pustaka ... 6
1.Risiko Tinggi HIV ... 7
2.Surveilens HIV ... 7
3.Perbedaan Penerimaan Pasien Konseling dan Testing HIV di Negara Lain ... 12
4.Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Tes HIV dan Penerimaan Pasien pada Konseling dan Testing HIV ... 13
B. Kerangka Pemikiran ... 16
C. Hipotesis ... 16
commit to user viii
A. Jenis Penelitian ... 17
B. Lokasi Penelitian ... 17
C. Subjek Penelitian ... 17
D. Teknik Sampling ... 18
E. Rancangan Penelitian ... 18
F. Identifikasi Variabel Penelitian ... 19
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 20
H. Instrumen Penelitian dan Pengumpulan Data ... 20
I. Analisis Statistik ... 21
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 23
BAB V PEMBAHASAN ... 26
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 31
A. Simpulan ... 31
B. Saran ... 31
DAFTAR PUSTAKA
commit to user ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1. Prinsip VCT ……….. 9 Tabel 1. 2. Perbedaan antara VCT dan PICT ……… 10 Tabel 2. 1. Karakteristik Demografi Pasien ……….. 22 Tabel 2. 2. Hasil Fisher’s Exact Test antara Asal Pasien dengan
Kesediaannya Menjalani Tes HIV………... 23 Tabel 2. 3. Hasil Chi Square Test Asal LSM dengan Kesediaan
commit to user x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian Lampiran 2. Data Hasil Penelitian
Lampiran 3. Uji Fisher’s Exact Test untuk Asal Inisiatif dengan Kesediaan Melakukan Tes HIV.
Lampiran 4. Uji Chi Square Test untuk Perbedaan Kesediaan Melakukan Tes HIV antara LSM Waria dengan LSM Penasun.
Lampiran 5. Ethical Clearance Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired
Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu ancaman kesehatan
masyarakat yang sangat mendasar di dekade terakhir dan di masa depan.
Menurut the Joint United Nations Program on HIV/AIDS (UNAIDS), pada
tahun 2008 terdapat 33,4 juta orang terinfeksi oleh HIV dan AIDS di seluruh
dunia. Belahan dunia yang paling parah terjangkit HIV dan AIDS adalah
Afrika Sub-Sahara yang juga merupakan high epidemic, di daerah tersebut
22,4 juta orang dewasa dan anak-anak hidup dengan HIV/AIDS (World
Health Organization [WHO], 2009).
Berdasarkan prevalensi secara nasional prevalensi kasus AIDS di
Indonesia sebesar 8,15 per 100.000 (Direktorat Jendral Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia[Ditjen PPM & PL Depkes RI], 2009). Selama sepuluh
tahun terakhir, jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat, dari
1 Januari 1987 s.d. 31 Maret 2010 ditemukan 20564 kasus dan 3936 di
antaranya meninggal dunia. Jawa tengah menduduki peringat ke tujuh di
Indonesia dengan 752 kasus yg ditemukan (Ditjen PPM & PL Depkes RI,
2010). Sementara untuk kota Surakarta sendiri, menurut Titik Kadarsih
(Kepala Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dan Dinas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kesehatan Kota [P2PL dan DKK] Surakarta), selama 2005 sampai Maret 2010
jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 364 orang. Dengan jumlah tersebut
Solo menempat urutan kedua di Jawa Tengah (TvOne, 2010).
Heteroseksual, homo- biseksual, IDU (Injecting Drug User),dan
transmisi perinatal merupakan faktor risiko terinfeksi HIV/AIDS. Dari 20564
orang yang terinfeksi di Indonesia, 15168 di antaranya adalah laki-laki dengan
pengguna narkoba suntik (penasun) sebanyak 7430 kasus, 5306 orang wanita
dengan penasun sebanyak 611 kasus, 90 orang tidak diketahui jenis
kelaminnya dengan penasun sebanyak 49 kasus. Jakarta merupakan daerah
dengan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) tertinggi nomer tiga di Indonesia
hingga 31 Desember 2006 terdapat sebanyak 2.656 kasus. Dari jumlah
tersebut, 50,98 persen atau sebanyak 24.075 penderita merupakan pengguna
narkoba suntik (penasun) (Komisi Penanggulangan Aids Provinsi Jakarta,
2010). Menurut golongan umur, proporsi penderita AIDS terbesar terdapat
pada kelompok usia 20 – 29 tahun (48,7%), disusul kelompok umur 30 – 39
tahun (30,3%) dan kelompok umur 40 – 49 tahun (8,89%) (Ditjen PPM & PL
Depkes RI, 2010)
Penanggulangan HIV sangat ditekankan pada tantangan untuk
menemukan orang-orang yang terinfeksi virus HIV (surveilens) (Nursalam,
2007). Karena dengan menemukan orang-orang dengan HIV akan membuka
jalan untuk penatalaksanaan kasus dan pencegahan yang lebih adekuat
sehingga akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas karena HIV (
commit to user
Saat ini surveilens HIV dilakukan dengan 2 cara, yaitu Voluntary
Counseling and Testing (VCT) dan Provider Inisiated HIV Testing and
Counseling (PITC). Voluntary Counseling and Testing adalah suatu metode
surveilens HIV berdasarkan inisiatif dari pasien itu sendiri. Voluntary
Counseling and Testing telah terbukti menjadi strategi yang efektif untuk
memfasilitasi perubahan perilaku untuk pencegahan HIV. Voluntary
Counseling and Testing juga memainkan peran dalam mengurangi stigma dan
diskriminasi (International Planned Parenthood Federation [IPPF], 2004).
Respons VCT tidak optimal karena adanya berbagai faktor yang
mempengaruhinya, kurangnya akses ke layanan pengujian, ketakutan stigma
dan diskriminasi, rasa takut akan tes positif, dan kurangnya akses terhadap
pengobatan (UNAIDS, 2002). Untuk mengatasi keterbatasan metode ini,
munculah suatu inisiatif baru yang disebut PITC. Provider Inisiated HIV
Testing and Counseling merupakan konseling dan testing yang
direkomendasikan berdasar pada indikasi medis. Provider Inisiated HIV
Testing and Counseling dilakukan pada setting kesehatan oleh petugas
konselor kesehatan dengan tujuan untuk memberikan diagnosis dan memberi
terapi pada pasien.
Untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran virus HIV/AIDS, saat ini
di kota Surakarta telah tersedia tiga Klinik VCT guna melakukan pemeriksaan
kesehatan khususnya untuk pengecekan virus HIV/AIDS. Klinik VCT di
Surakarta dapat ditemukan di RSUD dr. Moewardi, RS dr. Oen, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Klinik VCT juga melakukan kerja sama kemitraan dengan LSM. Dasar dari
adanya kemitraan tersebut adalah adanya peningkatan penderita HIV/AIDS
yang terus meningkat serta kurangnya kepedulian masyarakat umum terhadap
penanggulangan HIV/AIDS (Masudin, 2008).
Penerimaan tiap individu pada tes HIV berbeda-beda, tergantung
faktor apa saja yang dapat mempengaruhi individu tersebut. Sebagai contoh
bahwa pasien yang lebih tua usianya umumnya menolak pengujian karena
merasa kurangnya berisiko terinfeksi, jenis kelamin perempuan, ras kulit
putih, usia yang tua, dan tingkat pendidikan yang tinggi juga merupakan
golongan yang sering menunjukkan penolakan terhadap tes HIV (Elcannem,
2004).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV
(Human Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV
(Human Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko tinggi terinfeksi HIV di
commit to user C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asal inisiatif
dengan kesediaan tes HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada orang
berisiko tinggi terinfeksi HIV di Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritik
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan wacana tentang
program survelians HIV.
2. Manfaat terapan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang program VCT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Risiko tinggi HIV
Ancaman penyakit HIV/AIDS di Indonesia semakin nyata, hal ini
diperkuat dengan data yang dikumpulkan oleh Ditjen PPM & PL
Departemen Kesehatan, menurut laporan sampai dengan Maret 2010
Depkes mencatat bahwa jumlah kumulatif kasus AIDS berjumlah 20564
jiwa dan 3936 di antaranya sudah meninggal dunia. Beberapa faktor
penyebab AIDS menurut Depkes adalah heteroseksual, homo- biseksual,
IDU (Injecting Drug User),dan transmisi perinatal.
Kelompok pengguna narkoba suntik (penasun) merupakan
kelompok yang sangat berisiko penularan HIV karena perilaku
penggunaan jarum suntik secara bergantian kelompok penasun yang
terinfeksi HIV dan berinteraksi dengan kelompok lainnya memberikan
kontribusi terhadap peningkatan prevalensi HIV pada kelompok berisiko
tinggi. (Dinkes Kotabaru, 2010).
Kelompok lain yang juga berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS
adalah kelompok waria. Berdasarkan estimasi data tahun 2006 jumlah
waria di Indonesia sebesar 20.960 hingga 35.300 (Dinkes Kotabaru, 2010).
Di kota Surakarta terdapat LSM waria dengan anggota 108 orang. LSM
waria ikut terlibat aktif dalam menanggulangi dan memutus mata rantai
commit to user
penyebaran HIV/AIDS di Solo khususnya dan wilayah eks-Karesidenan
Surakarta pada umumnya (Setianingrum, 2010).
2. Surveilens HIV
Konseling dan testing adalah salah satu layanan yang paling cepat
berkembang untuk program HIV di dunia. Mendorong meningkatnya
permintaan adalah pengakuan peran konseling dan testing di kedua
pencegahan infeksi HIV baru dan peningkatan akses pada perawatan dan
pengobatan (termasuk ART) (Family Health International [FHI], 2009).
Secara umum, konseling dan testing menjadi strategi utama dalam
program pencegahan dan penatalaksanaan kasus HIV. Sampai dengan
tahun 2006, kebijakan global yang dilakukan untuk surveilens HIV adalah
dengan client-innitiated voluntary counseling and testing (VCT) yang
dilakukan di dalam maupun di luar Unit Pelayanan Kesehatan. VCT
mempunyai prinsip “3C” yakni consent, counseling and confidentiality
(WHO/UNAIDS, 2004).
Voluntary counseling and testing adalah proses di mana seorang
individu menjalani konseling yang bersifat rahasia sehingga
memungkinkan individu untuk memperoleh berbagai informasi dan
mengetahui status HIVnya dan dapat mengambil tindakan yang tepat
sesuai dengan status HIVnya. Jika seseorang sudah memutuskan untuk
melakukan tes HIV, VCT sangat menjaga kerahasiaannya. Sifat sukarela
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam VCT dilakukan konseling 2 tahap yaitu pra tes dan pasca
tes (Laksono, 2010).
a. Pada pra tes, klien dipahamkan perilaku berisiko kemudian dilatih
membuat perubahan yang lebih sehat, baik dengan menghilangkan
risiko atau mengganti dengan risiko yang lebih kecil, kemudian klien
didorong melakukan keputusan untuk menjalani test HIV/AIDS. Klien
dipersiapkan untuk menerima hasil baik positif maupun negatif.
Hampir semua laboratorium klinik melakukan tes untuk HIV/AIDS
akan tetapi jarang sekali orang mau datang karena ada kendala
psikologis. Untuk hal ini, maka beberapa sukarelawan HIV/AIDS
memberi pelayanan dengan mengantar klien ke laboratarium atau
pengambilan darah di ruang konseling dokter dan dokter mengantar
darah ke laboratorium, sehingga klien tidak bertemu dengan orang lain
kecuali dengan dokter konselornya.
b. Konseling Pasca tes yaitu menyampaikan hasil laboratorium pada klien.
Untuk itu, klien bisa negatif, negatif palsu, positif dan positif palsu.
Negatif palsu bisa terjadi bila klien terinfeksi kurang dari 3 bulan
sehingga test tidak bisa mendeteksi virus. Positif palsu adalah positif
yang terjadi karena adanya protein yang hampir sama. Oleh karena bila
positif, harus dites lagi dengan reagen lain sekali lagi. Bila kedua
positif, maka bisa disebut betul terinfeksi. Pada konseling ini, klien
bila sudah siap betul, akan dilatih bagiamana merubah gaya hidupnya
commit to user
secara seksual, maka dipahamkan filosofi seks dari berbagai sudut
pandang yang sesuai dengan perilakunya, dan penyaluran yang sehat,
seperti menikah dan setia dengan pasangan. Bila tidak memungkinkan
klien akan dilatih mencegah penularan dengan penggunaan kondom
yang benar dan aman. Juga dilatihkan life skill lainnya yang
menunjang minimal risiko infeksi. Bila seseorang adalah pengguna
jarum suntik, maka disadarkan semaksimal mungkin untuk berhenti.
Bila belum bisa, maka diterapi holistik dari promotif, preventif dan
kuratif. Bila seseorang positif, konselor sekali lagi menyakinkan klien
kesiapannya menerima kenyataan. Bila siap, maka bisa dikemukakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Tabel 1. Prinsip VCT ( IPPF, 2004)
Sukarela Pengetahuan tentang status HIV adalah sukarela. Keputusan untuk melakukan tes harus dibuat oleh klien.
Rahasia Informasi bersama selama konseling tidak harus dibagi dengan orang lain. Namun hasil tes HIV harus dilaporkan kepada klien kecuali jika klien menyatakan keinginan untuk berbagi hasil tes dengan seorang anggota keluarga, pasangan atau teman dekat.
Konseling Pre-test konseling memberikan kesempatan bagi klien untuk mengeksplorasi risiko HIV dan bagaimana untuk mengurangi itu, dan membantu klien memutuskan apakah atau tidak untuk mengambil tes HIV.
Dalam konseling klien harus didorong untuk mengambil hasi tes HIVtersebut. Informasi mengenai hasil tes HIV mereka akan diketahui selama konseling post-test. Layanan konseling harus berkualitas tinggi.
Pelaksanaan Tes
Kehadiran antibodi terhadap HIV dalam darah, air liur atau air kencing menegaskan diagnosis HIV. Hasil tes positif dikonfirmasi menggunakan tes-tes tambahan.
Persetujuan Klien setuju untuk tes HIV melalui pemberian persetujuan mereka.
Privasi Lingkungan harus memungkinkan diskusi pribadi antara klien dan konselor.
Arahan Klien harus mempunyai akses terhadap
pencegahan, perawatan dan dukungan layanan yang tersedia. Pelayanan rujukan harus dilakukan dengan menghormati kerahasiaan klien.
Konselor Karakteristik konselor antara lain karena tidak menghakimi, empati, hormat, dan mendukung. Staf dengan tugas konseling harus dilatih dalam konseling HIV
Kesetaraan HIV positif tidak boleh didiskriminasikan.
Kepatuhan Layanan harus mematuhi protokol lokal dan nasional, undang-undang dan peraturan mengatur penyediaan layanan HIV.
Monitoring dan evaluasi
commit to user
Walaupun demikian, ternyata VCT dinilai tidak cukup efektif
sehingga muncul inisiatif untuk membuat tes HIV “lebih rutin”. Untuk
itulah, pada sekitar Agustus 2006, WHO bersama dengan UNAIDS
membuat suatu pernyataan kebijakan untuk mempromosikan
provider-innitiated HIV testing and counseling (PITC) pada fasilitas penyedia
layanan kesehatan yang diintegrasikan pada pelayanan tertentu seperti
antenatal care dan tuberkulosis (WHO/UNAIDS, 2006).
Tabel 1.2. Perbedaan antara VCT dan PICT (Bock et al., 2008) atau simptom TB . Tidak selalu siap untuk tes HIV
Provider Biasanya adalah konselor terlatih, tidak harus petugas kesehatan di UPK
Petugas kesehatan yang sudah dilatih tentang PITC
Tujuan utama konseling dan tes HIV
Pencegahan penularan HIV melalui pemeriksaan risiko, pengurangan risiko dan tes
Mendiagnosis HIV untuk manajemen klinis TB dan HIV secara tepat
Pre-tes konseling yang berpusat pada klien one on one
sama-sama pentingnya bagi klien untuk mengetahui hasil HIV positif maupun negatif
Provider merekomendasikan dan menawarkan tes pada semua pasien TB.
Penjelasan singkat tentang pentingnya melakukan tes HIV Waktu lebih singkat untuk pasien dengan tes HIV negatif Fokus pada mereka dengan hasil tes HIV positif.
Follow-up HIV positif dirujuk untuk mendapatkan pelayanan medis dan pendukung lainnya
Tidak memandang hasil tesnya nya, klien dapat dirujuk ke
VCT untuk mendapatkan
konseling and dukungan psikologis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Perbedaan Penerimaan Pasien pada Konseling dan Testing HIV di
Negara Lain
Salah satu strategi untuk mengatasi epidemi AIDS adalah untuk
memberi orang kesempatan untuk mengetahui status HIV, sehingga
mereka dapat mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari
penyebaran lebih lanjut dan menerima terapi awal jika mereka terinfeksi
(Weinhardt et al., 2000). Namun, bahkan di negara maju, banyak berisiko
orang tidak mengambil VCT. Sebuah survei nasional di Inggris pada tahun
2000 menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari penasun saja yang telah
VCT dalam 5 tahun terakhir (McGarrigle, 2000). Di Amerika Serikat
sekitar seperempat dari 0,8-0,9 juta orang yang terinfeksi HIV tidak
menyadari bahwa mereka HIV positif (Centers for Disease Control and
Prevention [CDC], 2003). Menurut UNAIDS (2003), diperkirakan bahwa
hanya 0,2% dari orang dewasa di negara yang berpenghasilan rendah dan
menengah yang menerima tes HIV secara sukarela melalui layanan
konseling dan testing. Survei di sub-Sahara Afrika menunjukkan bahwa
rata-rata hanya 12% pria dan 10% perempuan telah diuji HIV dan
menerima hasilnya (WHO, 2007). Studi yang dilakukan di beberapa
negara Afrika juga melaporkan bahwa VCT ditawarkan kepada ibu hamil
pada umumnya diterima dengan baik (Cartoux et al., 1998a;1998b).
Berbeda dengan survei yang dilakukan di Provinsi Yunan (pusat
epidemi HIV/AIDS di Cina) di antara 840 ibu hamil dan 780 profesional
commit to user
dari profesional kesehatan dan 45% dari wanita hamil berpikir HIV adalah
penyakit "kelas rendah dan ilegal", 48% dari profesional kesehatan dan
59% wanita hamil berpikir bahwa orang HIV positif seharusnya tidak
diperbolehkan untuk menikah dan 30% dari para profesional kesehatan
tidak bersedia untuk mengobati HIV-positif (Hesketh, 2005).
Sebuah penelitian di Zimbabwe menyebutkan dari 4.812 sampel
yang ditawari VCT hanya 37% yang menyatakan bersedia melakukan tes
HIV, mereka diberi petunjuk tempat dan waktu tes. Namun hanya 9,4%
yang kembali untuk benar-benar melakukan tes HIV (Kipitu, 2005).
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Tes HIV dan
Penerimaan Pasien pada Konseling dan Testing HIV.
Pengambilan keputusan merupakan suatu proses mental (proses
kogniitf) sehingga dapat memilih suatu tindakan dari beberapa alternatif.
Setiap proses pengambilan keputusan menghasilkan pilihan akhir (Reason,
1990). Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil
keputusan. Di antara faktor-faktor tersebut adalah:
1. Faktor Budaya: kebangsaan, agama, ras, karier, pendidikan, dan
tempat tinggal.
2. Faktor Sosial: keluarga, status sosial.
3. Faktor Pribadi: pekerjaan atau karier, gaya hidup, kepribadian serta
konsep hidup.
4. Faktor Psikologis: motivasi, persepsi, keyakinan, dan pendirian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Menurut Khasier Family Foundation (2006) orang sering tidak tes
HIV karena mereka tidak merasa diri mereka pada risiko infeksi. Dan
pasien akan lebih mungkin melakukan tes HIV jika petugas kesehatan
profesional yang menyarankan. Suatu studi menunjukkan, banyak orang
gagal melakukan tes HIV karena berbagai alasan: kurangnya akses ke
layanan pengujian, ketakutan stigma dan diskriminasi, rasa takut akan tes
positif, dan kurangnya akses terhadap pengobatan. Fakta-fakta ini
menunjukkan bahwa peluang untuk meningkatkan akses terhadap
pengobatan, perawatan, dukungan dan pencegahan yang telah dan sedang
dilakukan, tidak terjawab (UNAIDS, 2010)
Dalam suatu studi di Amerika Serikat, disebutkan bahwa jenis
kelamin perempuan, ras kulit putih, umur yang tua, dan tingkat pendidikan
yang tinggi merupakan golongan yang sering menunjukkan penolakan
terhadap tes rutin HIV. 70% responden yang mempunyai tingkat
pendidikan tinggi menolak tes HIV dengan alasan merasa tidak
mempunyai risiko (Liddicoat et al., 2006). Hasil yang sama juga
ditunnjukkan oleh sebuah studi di Nigeria bahwa tingkat pendidikan yang
lebih tinggi dikaitkan dengan penurunan penerimaan tes HIV (Elcannem,
2004).
Status pernikahan juga memiliki peran dalam pengambilan
keputusan untuk tes HIV. Dalam penelitian Demissie et al.(2006)
disebutkan bahwa wanita yang menikah lebih mungkin menjalani tes HIV
commit to user
belakang dengan penelitian yang dilakukan di Tanzania dan Uganda,
dalam penelitian tersebut dkemukakan bahwa wanita yang belum menikah
lebih mungkin melakukan tes HIV dari pada wanita yang sudah menikah
(Fabiani et al., 2003; Emily, 2004)
Di berbagai negara banyak terdapat stigma buruk pada pasien HIV,
sehingga individu dengan HIV positif mengalami penolakan dan
dikriminasi. Takut akan stigma atau penolakan adalah alasan umum
mengapa banyak individu yang tidak ingin mengetahui status HIV mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ajukan hipotesis: ada hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV
commit to user BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan
pendekatan potong lintang ( cross-sectional ).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Klinik VCT RSUD dr. Moewardi
Surakarta, LSM penasun Surakarta, LSM waria.
C. Subjek Penelitian
Populasi penelitian adalah semua orang yang berisiko tinggi terinfeksi
HIV di Surakarta. Sampel Penelitian:
1. Orang berisiko terinfeksi HIV yang memiliki inisiatif melakukan tes HIV
dari diri sendiri dan petugas kesehatan. Sampel harus memiliki kriteria
inklusi sebagai berikut:
a. Orang berisiko terinfeksi HIV yang datang ke Klinik VCT dengan
inisiatif sendiri dan petugas kesehatan.
b. Belum pernah melakukan tes HIV.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Orang berisiko terinfeksi HIV yang memiliki inisiatif melakukan tes HIV
dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sampel harus memiliki
kriteria inklusi sebagai berikut:
a. Orang berisiko terinfeksi HIV yang memiliki inisiatif melakukan tes
HIV dari LSM penasun Surakarta. LSM penasun Surakarta
mendampingi pengguna narkoba suntik dan pasangannya.
b. Orang berisiko terinfeksi HIV yang memiliki inisiatif melakukan tes
HIV dari LSM waria.
c. Belum pernah melakukan tes HIV.
Subyek akan dieksklusi dari penelitian jika mengalami hambatan untuk
berkomunikasi secara verbal serta menolak berpartisipasi dalam penelitian.
D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang dipakai adalah total sampling. Sampel penelitian
adalah semua orang yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi
kriteria eksklusi yang datang ke RSUD dr. Moewardi Surakarta dan anggota
LSM yang dapat ditemui dari tanggal 14 juni 2010 sampai 14 Juli 2010.
E. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : asal inisiatif
2. Variabel terikat : kesediaan orang berisiko untuk mengikuti
commit to user
3. Variabel luar : umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, status
pernikahan, kurangnya akses ke layanan, ketakuta
stigma dan diskriminasi, takut akan tes positif
F. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas : asal inisiatif pasien
Definisi : inisiatif kedatangan pasien ke VCT, dari
diri sendiri dan ditemukan petugas
kesehatan atau ditemukan oleh LSM.
Alat ukur : kuesioner
Skala : Nominal (inisiatif diri sendiri, petugas
kesehatan dan insiatif dari LSM)
2. Variabel terikat : kesediaan orang berisiko untuk
melakukan tes HIV
Definisi : kesediaan orang berisiko untuk
melakukan tes HIV
Alat ukur : kuesioner
Skala : nominal (bersedia tes HIV, tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user G. Alat dan Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan kuesioner penelitian baik secara verbal
maupun tertulis. Pasien mempunyai hak untuk menolak maupun berhenti
berpartisipasi dalam penelitian.
H. Cara Kerja
Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat untuk mendapatkan
data dan informasi yang dibutuhkan. Kuesioner ini diberikan kepada petugas
VCT untuk diberikan kepada pasien yang datang ke Klinik VCT. Sedangkan
kuesioner bagi anggota LSM diberikan secara langsung oleh peneliti kepada
orang-orang yang berisiko tinggi HIV. Dalam kuesioner juga terdapat
informed consent penelitian. Informed consent ditandatangani oleh subjek
penelitian yang bersedia ikut serta dalam penelitian.
Di Klinik VCT setelah kuesioner diisi dengan lengkap, kemudian
diserahkan kepada petugas kesehatan untuk selanjutnya diserahkan kepada
peneliti. Sedangkan di LSM, peneliti langsung bertemu dengan orang-orang
beriskoi tinggi HIV ( pengguna jarum suntik dan waria) dan memandu
commit to user Berikut ini skema cara kerja:
Populasi
Asal inisiatif diri dari sendiri dan kesehatan
Asal Inisiatif dari LSM
Tidak bersedia tes HIV bersedia tes
HIV Tidak bersedia
tes HIV bersedia tes
HIV
Analisis data
Analisis data Informed
consent penelitian
Informed consent penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user I. Teknik analisis data
Perbedaan kesediaan tes HIV dengan asal pasien ditunjukkan oleh Odds
Ratio (OR) dan CI 95%. Kemaknaan statistik OR tersebut diuji dengan
menggunakan uji statistik Fisher’s Exact Test. Data akan dibuat dalam bentuk
tabel kontingensi 2 x 2 seperti berikut :
Asal Inisiatif Pasien
Data yang diperoleh dianalisis dengan program Statistical Product and
Service Solution (SPSS) 17 for Window.
K
ese
di
aa
n
T
es
H
IV
Inisitif sendiri & di
dampingi petugas kesehatan
Didampingi LSM
Ya a b
commit to user BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Data
Penelitian dilaksanakan selama periode 14 Juni sampai 14 Juli 2010 di
Klinik VCT RSUD. Dr. Moewardi, di LSM penasun dan LSM waria. Dari 78
sampel yang diperoleh, 5 orang datang dengan inisiatif diri sendiri, 51 orang
didampingi LSM dan 22 orang didampingi petugas kesehatan. Dalam
penelitian ini tidak terdapat sampel yang dieksklusi.
Tabel 2.1 Karakteristik Demografi Pasien
No. Karakteristik Data Jumlah Total
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 2.1 menunjukkan karakteristik demografi yang tercantum dalam
kuesioner antara lain jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan dan status
pernikahan. Dari tabel tersebut dapat dilihat persentase penerimaan program
VCT berdasar karakteristik demografi.
B. Analisis Data
Perbedaan peneriman tes HIV dengan asal inisiatif pasien ditunjukan
dengan tabel 2.2. Karena terdapat 1 (25%) sel yang nilai ekspektasinya <5
maka penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik Fisher’s Exact
Test.
Tabel 2.2. Hasil Fisher’s Exact Test antara Asal Pasien dengan Kesediaannya
Menjalani tes HIV.
inisiatif sendiri semuanya bersedia melakukan VCT. Hal yang sama terlihat
pada 22 orang yang didampingi petugas kesehatan seluruhnya juga bersedia
melakukan tes HIV. Pada 51 orang yang didampingi oleh petugas kesehatan
commit to user
Setelah dianalisis dengan menggunakan Fisher’s Exact Test didapatkan
nilai probability sebesar 0,002, karena nilai p<0,05 maka dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV (Human
Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta.
Tabel 3.3. Hasil Chi Square Test Asal LSM dengan Kesediaan Mengikuti Tes
HIV
Kesediaan untuk tes
HIV
Asal LSM
total P
LSM Waria LSM Penasun
Ya 17 19 36
0,529
Tidak 8 6 14
Total 25 25 50
Dalam pengolahan data ini hanya 50 sampel yang digunakan, hal ini
disebabkan terdapat 1 sampel yang tidak diketahui asal LSMnya. 25 orang berasal
dari LSM waria, 17 orang di antaranya bersedia melakukan tes HIV dan 8 orang
tidak bersedia melakukan tes HIV. Sedangkan dari 25 orang yang berasal dari
LSM penasun, 19 orang bersedia melakukan tes HIV dan 6 orang tidak bersedia
melakukan tes HIV.
Setelah dianalisis dengan menggunakan Chi Square Test didapatkan nilai
probability sebesar 0,529. Karena nilai p>0,05, maka dapat disimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan kesediaan tes HIV antara orang dengan risiko HIV dari LSM
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas dalam Bab IV, didapatkan
hasil bahwa ada hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV (Human
Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta dan secara
statistik pun bermakna (p<0,05). Hal sesuai dengan hipotesis sebelumnya yang
menyebutkan bahwa ada hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV
(human immunodeficiency virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta.
Voluntary Counseling and Testing adalah proses seorang individu atau
pasangan mengalami konseling untuk memungkinkan seseorang untuk membuat
suatu pilihan untuk melakukan tes HIV. Keputusan harus sepenuhnya pilihan
individu dan harus diyakinkan bahwa proses ini akan menjadi rahasia. Voluntary
Counseling and Testing menawarkan manfaat bagi orang-orang yang tes positif
maupun negatif. Voluntary Counseling and Testing dapat mengurangi kecemasan,
meningkatkan persepsi klien tentang kerentanan mereka terhadap HIV,
mempromosikan perubahan perilaku, memfasilitasi rujukan awal untuk perawatan
dan membantu dalam mengurangi stigma dalam masyarakat
Banyak individu yang berisiko tidak mencari layanan konseling HIV dan
layanan standar pengujian. Stigma yang terkait dengan penggunaan narkoba dan
hubungannya HIV/AIDS dan takut ditahan atau mengetahui hasil positif dapat
menjadi hambatan utama untuk akses ke VCT (Leslie, 2006). Suatu lain studi
commit to user
menunjukkan, banyak orang gagal melakukan tes HIV karena berbagai alasan di
antaranya kurangnya akses ke layanan pengujian, ketakutan stigma dan
diskriminasi, rasa takut akan tes positif, dan kurangnya akses terhadap pengobatan
(UNAIDS, 2010).
Lembaga swadaya masyaraka dapat memainkan peran penting dalam
penyediaan layanan pencegahan HIV dan bantuan lainnya untuk orang-orang
yang hidup dengan AIDS. Fleksibilitas LSM penasun memungkinkan mereka
untuk merespon dengan cepat untuk mengisi kesenjangan dalam perawatan
kesehatan dan pelayanan sosial. LSM dapat melakukan apa yang instansi
pemerintah tidak bisa atau tidak mau lakukan misalnya, menjangkau para penasun
tanpa menjadi ancaman untuk penasun (misal:melaporkan ke polisi).
Di Indonesia banyak terdapat LSM yang membantu pemerintah dalam
pencegahan HIV/AIDS dan mendampingi para penasun. Di Surakarta salah satu
LSM yang berperan adalah LSM penasun. LSM ini khusus mendampingi para
pengguna jarum suntik dan mempromosikan pentingnya tes HIV. Hal ini sama
seperti yang ditunjukan oleh 29 LSM Eropa tengah dan timur yang memiliki
target para pengguna narkoba jenis suntik, mereka disediakan jarum steril,
pendidikan pencegahan HIV, dan menyampaikan presentasi dan edukasi
mengenai HIV/AIDS (Amirkhanian, 2004). Di Thailand dan Brasil, LSM diyakini
memainkan peran penting, di mana kedua negara ini mampu mengendalikan
epidemi HIV/AIDS dan mortalitas akibat AIDS (Ainsworth, 2003) . Lembaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
daya keuangan, kurangnya komunikasi dengan organisasi-organisasi pemerintah,
ketidakpedulian pemerintah dan stigma yang terkait dengan AIDS.
Dalam satu bulan selama penelitian ini, terdapat 78 orang yang dapat
ditemui dan hanya terdapat 5 (6,40%) orang yang mengunjungi Klinik VCT
dengan inisitif sendiri dan 22 (28,20%) orang yang datang didampingi oleh
petugas kesehatan. Hasil ini sama dengan sebuah penelitian di Kampala, yang
menunjukan perbedaan yang cukup berarti antara orang yang dirujuk oleh tenaga
kesehatan profesional (93%) dan datang dengan inisiatif dari diri sendiri (53%).
Menurut Khasier Family Foundation (2006) orang sering tidak tes HIV karena
mereka tidak merasa dirinya berisiko infeksi namun alasan ini tidak dikaji lebih
lanjut dalam penelitian ini. Dan pasien akan lebih mungkin melakukan tes HIV
jika petugas kesehatan profesional yang menyarankan.
Dalam penelitian ini terdapat 51 orang yang di dampingi oleh LSM. 25
orang di antaranya merupakan kumpulan waria, 25 orang pengguna jarum suntik
yang didampingi LSM penasun dan 1 orang pasien tidak diketahui asal LSM. Dari
data tersebut 8 waria dan 6 pengguna jarum suntik menolak melakukan tes HIV.
karakteristik orang pasien berperan dalam penerimaan tes HIV. Hasil yang sama
juga terdapat pada penelitian McGarrigle pada tahun 2000 yang menyebutkan
bahwa hanya sepertiga penasun di Inggris yang telah melakukan VCT. Dalam
penelitian diketahui kebanyakan dari penasun yang enggan melakukan tes HIV
dikarenakan merasa bahwa jarum suntik yang digunakan steril.
Diketahui dari penelitian ini dari 45 (57.69%) orang laki-laki, 34 (43,59%)
commit to user
(28,20%) orang wanita semuanya menerima tes tersebut. Selain itu terdapat pula
11 (14,10%) orang waria, 8 (10,25%) orang di antaranya menolak dan 3 (3,84%)
menerima tes tersebut. Hasil yang sama ditunjukkan dalam penelitian di Sub
Sahara Afrika yang merupakan daerah dengan epidemi tertinggi hanya 12%
laki-laki dan 10% wanita yang telah melakukan tes HIV (WHO, 2007). Data dari
UNAIDS (2003) hanya 0,2% orang dewasa di negara berkembang yang telah
melakukan tes HIV.
Faktor pendidikan juga berpengaruh dalam setiap pengambilan keputusan
kesehatan. Rendahnya tingkat pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi
tingkat pengetahuan akan perlindungan masyarakat terhadap diri dan keluarganya,
sehingga berdampak pada kurangnya akses pelayanan kesehatan (Maria et al.,
2000). Liddicoat (2006) dan Elcannem (2004) menyatakan bahwa seseorang
dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung menolak tes HIV karena merasa tidak
berisiko. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian ini berdasarkan masing-masing
kelompok, tingkat pendidikan rendahlah yang paling banyak menolak untuk
melakukan tes HIV yaitu dari 12 (15,38%) responden yang berpendidikan rendah
3 (3,84%) orang di antaranya menolak untuk melakukan tes HIV. Pengetahuan
tentang HIV sangat berpengaruh dalam faktor ini. Suatu penelitian di Ethiopia
menyatakan bahwa 48% perempuaan buta huruf menyatakan tidak tahu bahwa
HIV dapat menular secara seksual (Bogale et al., 2010) . Hasil yang sama
ditunjukan dalam sebuah penelitain di Kargillites India yang merupakan daerah
miskin dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah, di mana tingkat kesadaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
melalui seks bebas. Mereka tidak tahu bahwa adanya risiko penularan virus
HIV/AIDS dari ibu ke bayi dan darah atau jarum suntik yang terkontaminasi
(Ahmed and Bashir, 2002).
Status pernikahan juga merupakan salah satu faktor penting dalam
pengambilan keputusan kesehatan. Dalam penelitian Demissie et al.(2006)
disebutkan bahwa wanita yang menikah lebih mungkin menjalani tes HIV
dibanding wanita yang belum. Hasil yang berbeda ditunjukkan dalam penelitian
ini di mana responden dengan status hidup bersama tanpa menikah lebih banyak
menolak. Hal ini terjadi karena adanya perasaan takut ditinggalkan oleh pasangan
jika seseorang tersebut melakukan tes HIV dan mengetahui hasilnya adalah
positif.
Dalam penelitian ini juga terdapat keterbatasan-keterbatasan di antaranya:
1. Tidak dikendalikannya variabel luar (confounding factor), antara lain umur,
jenis kelamin, status pernikahan, jarak tempat tinggal ke pelayanan kesehatan,
dan juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesediaan menjalani tes HIV.
2. Keterbatasan waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam periode 1 bulan (Juni-Juli 2010).
Perpanjangan waktu diharapkan bisa mendapatkan jumlah sampel yang lebih
commit to user BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Ada hubungan antara asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV (Human
Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta yang
bermakna secara statistik (p>0,05).
B. Saran
Perlunya pendampingan yang lebih intensif dari LSM kepada
orang-orang berisiko tinggi HIV/AIDS supaya meningkatkan kesediaan tes HIV