• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ASAL INISIATIF DAN KESEDIAAN TES HIV (HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS) PADA ORANG BERISIKO TINGGI TERINFEKSI HIV DI SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ASAL INISIATIF DAN KESEDIAAN TES HIV (HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS) PADA ORANG BERISIKO TINGGI TERINFEKSI HIV DI SURAKARTA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

HUBUNGAN ASAL INISIATIF DAN KESEDIAAN TES HIV (HUMAN

IMMUNODEFICIENCY VIRUS) PADA ORANG BERISIKO

TINGGI TERINFEKSI HIV DI SURAKARTA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

SELVY AGUSTINA

G0007226

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah dan

disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 2010

Selvy Agustina

(3)

commit to user iv ABSTRAK

Selvy Agustina, G0007226, 2010. Hubungan Asal Inisiatif dan Kesediaan Tes HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada Orang Berisiko Terinfeksi Tinggi di Surakarta.

Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta.

Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian adalah semua pasien berisiko terinfeksi HIV yang terjaring oleh LSM serta klinik VCT RSUD. Dr. Moewardi. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. Pengumpulan data dilakukan selama satu bulan yaitu pada tanggal 14 Juni sampai 14 Juli 2010. Pengumpulan data dikumpulkan dengan instrumen kuesioner dan dianalisis menggunakan Fisher’s Exact Test.

Hasil Penelitian : Analisis dengan Fisher’s Exact Test menujukkan adanya perbedaan perbedaan kesediaan tes HIV antara mereka yang datang dengan inisiatif sendiri dan petugas kesehatan dengan mereka yang datang dengan insiatif LSM (p=0,02, OR=0,725, CI=0,613-0,859). Selain itu, tidak ada perbedaan kesediaan tes HIV antara mereka yang didampingi LSM Waria dan LSM Pengguna jarum suntik (p=0,592)

Simpulan : Terdapat perbedaan hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV

(Human Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta.

(4)

commit to user v ABSTRACT

Selvy Agustina, G0007226, 2010. A Relationship Background of Initiative and Willingness to Get HIV (Human Immunodeficiency Virus) Test at People with High Risk Infected in Surakarta.

Objectives : This study aimed analyze the relationship between background of initiative with willingness to get HIV (Human Immunodeficiency Virus) test at people with high risk infected in Surakarta.

Method : This study used analytic observational design with cross-sectional approach. This study’s sample are all patients at risk of HIV at two non-govermental organization and VCT clinic at RSUD. dr. Moewardi. The sample was collected during a month from 14 June until 14 July 2010. The sample collected with questionnaire analyzed with Fisher’s Exact Test.

Result : There are differences in willingness to HIV test between people which come by theirself and healthcare worker initiative with iniatiative by LSM (p=0,02, OR=0,725, CI=0,613-0,859). There is a difference between the willingness to get HIV test with theirself from LSM waria and LSM (Injecting Drug User),

Conclusion : There a relationship background of initiative and willingness to get HIV (Human Immunodeficiency Virus) test at people with high risk infected in Surakarta.

(5)

commit to user vi PRAKATA

Puji Tuhan, saya panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus untuk segala berkat dan karunianya,sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Hubungan Asal Inisiatif dan Kesediaan Tes HIV (Human

Immunodeficiency Virus) Pada Orang Berisiko Tinggi Terinfeksi HIV di Surakarta”. Dalam proses penyelesaian skripsi ini tentunya tak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. H. A.A. Subijanto, dr., M.S., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ari N. Probandari, dr., M.P.H selaku pembimbing utama yang telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, serta motivasi kepada penulis. 4. Eti Poncorini, dr., M.Pd selaku pembimbing pendamping yang telah

memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, serta motivasi kepada penulis. 5. Dhani Redhono, dr., Sp.PD selaku penguji utama yang telah berkenan

menguji serta memberi saran dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Drs. Hardjono, MSi selaku penguji pendamping yang telah berkenan menguji serta memberi saran dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Untuk Papa, Mama, Ooh Kris, Koko Budhi tersayang yang telah memberi dukungan moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.

8. Segenap Staf Skripsi dan Staf IKM di Fakultas Kedokteran UNS, Staf Klinik VCT di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, LSM Penasun dan LSM Waria atas bantuan dan kerjasamanya dalam penyusunan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabatku Gita, Irine, Nickyta, Eiffel, Ari, Fenda untuk semua bantuan dan dukungan, serta untuk happy family, teman-teman tim penelitian Anggra, Irine, Yudo, Fiqna, teman-teman Cyto, serta semua teman angkatan 2007 dan seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan pengetahuan dan wawasan ilmiah bagi pembaca, rekan mahasiswa dan para peneliti khususnya dalam lingkup profesi kedokteran. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan sehingga kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini sangat diharapkan.

Surakarta, 2010

(6)

commit to user vii DAFTAR ISI

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II LANDASAN TEORI ... 6

A. Tinjauan Pustaka ... 6

1.Risiko Tinggi HIV ... 7

2.Surveilens HIV ... 7

3.Perbedaan Penerimaan Pasien Konseling dan Testing HIV di Negara Lain ... 12

4.Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Tes HIV dan Penerimaan Pasien pada Konseling dan Testing HIV ... 13

B. Kerangka Pemikiran ... 16

C. Hipotesis ... 16

(7)

commit to user viii

A. Jenis Penelitian ... 17

B. Lokasi Penelitian ... 17

C. Subjek Penelitian ... 17

D. Teknik Sampling ... 18

E. Rancangan Penelitian ... 18

F. Identifikasi Variabel Penelitian ... 19

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 20

H. Instrumen Penelitian dan Pengumpulan Data ... 20

I. Analisis Statistik ... 21

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 23

BAB V PEMBAHASAN ... 26

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 31

A. Simpulan ... 31

B. Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA

(8)

commit to user ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1. Prinsip VCT ……….. 9 Tabel 1. 2. Perbedaan antara VCT dan PICT ……… 10 Tabel 2. 1. Karakteristik Demografi Pasien ……….. 22 Tabel 2. 2. Hasil Fisher’s Exact Test antara Asal Pasien dengan

Kesediaannya Menjalani Tes HIV………... 23 Tabel 2. 3. Hasil Chi Square Test Asal LSM dengan Kesediaan

(9)

commit to user x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian Lampiran 2. Data Hasil Penelitian

Lampiran 3. Uji Fisher’s Exact Test untuk Asal Inisiatif dengan Kesediaan Melakukan Tes HIV.

Lampiran 4. Uji Chi Square Test untuk Perbedaan Kesediaan Melakukan Tes HIV antara LSM Waria dengan LSM Penasun.

Lampiran 5. Ethical Clearance Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian

(10)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired

Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu ancaman kesehatan

masyarakat yang sangat mendasar di dekade terakhir dan di masa depan.

Menurut the Joint United Nations Program on HIV/AIDS (UNAIDS), pada

tahun 2008 terdapat 33,4 juta orang terinfeksi oleh HIV dan AIDS di seluruh

dunia. Belahan dunia yang paling parah terjangkit HIV dan AIDS adalah

Afrika Sub-Sahara yang juga merupakan high epidemic, di daerah tersebut

22,4 juta orang dewasa dan anak-anak hidup dengan HIV/AIDS (World

Health Organization [WHO], 2009).

Berdasarkan prevalensi secara nasional prevalensi kasus AIDS di

Indonesia sebesar 8,15 per 100.000 (Direktorat Jendral Pemberantasan

Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan

Republik Indonesia[Ditjen PPM & PL Depkes RI], 2009). Selama sepuluh

tahun terakhir, jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat, dari

1 Januari 1987 s.d. 31 Maret 2010 ditemukan 20564 kasus dan 3936 di

antaranya meninggal dunia. Jawa tengah menduduki peringat ke tujuh di

Indonesia dengan 752 kasus yg ditemukan (Ditjen PPM & PL Depkes RI,

2010). Sementara untuk kota Surakarta sendiri, menurut Titik Kadarsih

(Kepala Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dan Dinas

(11)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Kesehatan Kota [P2PL dan DKK] Surakarta), selama 2005 sampai Maret 2010

jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 364 orang. Dengan jumlah tersebut

Solo menempat urutan kedua di Jawa Tengah (TvOne, 2010).

Heteroseksual, homo- biseksual, IDU (Injecting Drug User),dan

transmisi perinatal merupakan faktor risiko terinfeksi HIV/AIDS. Dari 20564

orang yang terinfeksi di Indonesia, 15168 di antaranya adalah laki-laki dengan

pengguna narkoba suntik (penasun) sebanyak 7430 kasus, 5306 orang wanita

dengan penasun sebanyak 611 kasus, 90 orang tidak diketahui jenis

kelaminnya dengan penasun sebanyak 49 kasus. Jakarta merupakan daerah

dengan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) tertinggi nomer tiga di Indonesia

hingga 31 Desember 2006 terdapat sebanyak 2.656 kasus. Dari jumlah

tersebut, 50,98 persen atau sebanyak 24.075 penderita merupakan pengguna

narkoba suntik (penasun) (Komisi Penanggulangan Aids Provinsi Jakarta,

2010). Menurut golongan umur, proporsi penderita AIDS terbesar terdapat

pada kelompok usia 20 – 29 tahun (48,7%), disusul kelompok umur 30 – 39

tahun (30,3%) dan kelompok umur 40 – 49 tahun (8,89%) (Ditjen PPM & PL

Depkes RI, 2010)

Penanggulangan HIV sangat ditekankan pada tantangan untuk

menemukan orang-orang yang terinfeksi virus HIV (surveilens) (Nursalam,

2007). Karena dengan menemukan orang-orang dengan HIV akan membuka

jalan untuk penatalaksanaan kasus dan pencegahan yang lebih adekuat

sehingga akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas karena HIV (

(12)

commit to user

Saat ini surveilens HIV dilakukan dengan 2 cara, yaitu Voluntary

Counseling and Testing (VCT) dan Provider Inisiated HIV Testing and

Counseling (PITC). Voluntary Counseling and Testing adalah suatu metode

surveilens HIV berdasarkan inisiatif dari pasien itu sendiri. Voluntary

Counseling and Testing telah terbukti menjadi strategi yang efektif untuk

memfasilitasi perubahan perilaku untuk pencegahan HIV. Voluntary

Counseling and Testing juga memainkan peran dalam mengurangi stigma dan

diskriminasi (International Planned Parenthood Federation [IPPF], 2004).

Respons VCT tidak optimal karena adanya berbagai faktor yang

mempengaruhinya, kurangnya akses ke layanan pengujian, ketakutan stigma

dan diskriminasi, rasa takut akan tes positif, dan kurangnya akses terhadap

pengobatan (UNAIDS, 2002). Untuk mengatasi keterbatasan metode ini,

munculah suatu inisiatif baru yang disebut PITC. Provider Inisiated HIV

Testing and Counseling merupakan konseling dan testing yang

direkomendasikan berdasar pada indikasi medis. Provider Inisiated HIV

Testing and Counseling dilakukan pada setting kesehatan oleh petugas

konselor kesehatan dengan tujuan untuk memberikan diagnosis dan memberi

terapi pada pasien.

Untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran virus HIV/AIDS, saat ini

di kota Surakarta telah tersedia tiga Klinik VCT guna melakukan pemeriksaan

kesehatan khususnya untuk pengecekan virus HIV/AIDS. Klinik VCT di

Surakarta dapat ditemukan di RSUD dr. Moewardi, RS dr. Oen, dan

(13)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Klinik VCT juga melakukan kerja sama kemitraan dengan LSM. Dasar dari

adanya kemitraan tersebut adalah adanya peningkatan penderita HIV/AIDS

yang terus meningkat serta kurangnya kepedulian masyarakat umum terhadap

penanggulangan HIV/AIDS (Masudin, 2008).

Penerimaan tiap individu pada tes HIV berbeda-beda, tergantung

faktor apa saja yang dapat mempengaruhi individu tersebut. Sebagai contoh

bahwa pasien yang lebih tua usianya umumnya menolak pengujian karena

merasa kurangnya berisiko terinfeksi, jenis kelamin perempuan, ras kulit

putih, usia yang tua, dan tingkat pendidikan yang tinggi juga merupakan

golongan yang sering menunjukkan penolakan terhadap tes HIV (Elcannem,

2004).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV

(Human Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV

(Human Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko tinggi terinfeksi HIV di

(14)

commit to user C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asal inisiatif

dengan kesediaan tes HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada orang

berisiko tinggi terinfeksi HIV di Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritik

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan wacana tentang

program survelians HIV.

2. Manfaat terapan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang program VCT

(15)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Risiko tinggi HIV

Ancaman penyakit HIV/AIDS di Indonesia semakin nyata, hal ini

diperkuat dengan data yang dikumpulkan oleh Ditjen PPM & PL

Departemen Kesehatan, menurut laporan sampai dengan Maret 2010

Depkes mencatat bahwa jumlah kumulatif kasus AIDS berjumlah 20564

jiwa dan 3936 di antaranya sudah meninggal dunia. Beberapa faktor

penyebab AIDS menurut Depkes adalah heteroseksual, homo- biseksual,

IDU (Injecting Drug User),dan transmisi perinatal.

Kelompok pengguna narkoba suntik (penasun) merupakan

kelompok yang sangat berisiko penularan HIV karena perilaku

penggunaan jarum suntik secara bergantian kelompok penasun yang

terinfeksi HIV dan berinteraksi dengan kelompok lainnya memberikan

kontribusi terhadap peningkatan prevalensi HIV pada kelompok berisiko

tinggi. (Dinkes Kotabaru, 2010).

Kelompok lain yang juga berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS

adalah kelompok waria. Berdasarkan estimasi data tahun 2006 jumlah

waria di Indonesia sebesar 20.960 hingga 35.300 (Dinkes Kotabaru, 2010).

Di kota Surakarta terdapat LSM waria dengan anggota 108 orang. LSM

waria ikut terlibat aktif dalam menanggulangi dan memutus mata rantai

(16)

commit to user

penyebaran HIV/AIDS di Solo khususnya dan wilayah eks-Karesidenan

Surakarta pada umumnya (Setianingrum, 2010).

2. Surveilens HIV

Konseling dan testing adalah salah satu layanan yang paling cepat

berkembang untuk program HIV di dunia. Mendorong meningkatnya

permintaan adalah pengakuan peran konseling dan testing di kedua

pencegahan infeksi HIV baru dan peningkatan akses pada perawatan dan

pengobatan (termasuk ART) (Family Health International [FHI], 2009).

Secara umum, konseling dan testing menjadi strategi utama dalam

program pencegahan dan penatalaksanaan kasus HIV. Sampai dengan

tahun 2006, kebijakan global yang dilakukan untuk surveilens HIV adalah

dengan client-innitiated voluntary counseling and testing (VCT) yang

dilakukan di dalam maupun di luar Unit Pelayanan Kesehatan. VCT

mempunyai prinsip “3C” yakni consent, counseling and confidentiality

(WHO/UNAIDS, 2004).

Voluntary counseling and testing adalah proses di mana seorang

individu menjalani konseling yang bersifat rahasia sehingga

memungkinkan individu untuk memperoleh berbagai informasi dan

mengetahui status HIVnya dan dapat mengambil tindakan yang tepat

sesuai dengan status HIVnya. Jika seseorang sudah memutuskan untuk

melakukan tes HIV, VCT sangat menjaga kerahasiaannya. Sifat sukarela

(17)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dalam VCT dilakukan konseling 2 tahap yaitu pra tes dan pasca

tes (Laksono, 2010).

a. Pada pra tes, klien dipahamkan perilaku berisiko kemudian dilatih

membuat perubahan yang lebih sehat, baik dengan menghilangkan

risiko atau mengganti dengan risiko yang lebih kecil, kemudian klien

didorong melakukan keputusan untuk menjalani test HIV/AIDS. Klien

dipersiapkan untuk menerima hasil baik positif maupun negatif.

Hampir semua laboratorium klinik melakukan tes untuk HIV/AIDS

akan tetapi jarang sekali orang mau datang karena ada kendala

psikologis. Untuk hal ini, maka beberapa sukarelawan HIV/AIDS

memberi pelayanan dengan mengantar klien ke laboratarium atau

pengambilan darah di ruang konseling dokter dan dokter mengantar

darah ke laboratorium, sehingga klien tidak bertemu dengan orang lain

kecuali dengan dokter konselornya.

b. Konseling Pasca tes yaitu menyampaikan hasil laboratorium pada klien.

Untuk itu, klien bisa negatif, negatif palsu, positif dan positif palsu.

Negatif palsu bisa terjadi bila klien terinfeksi kurang dari 3 bulan

sehingga test tidak bisa mendeteksi virus. Positif palsu adalah positif

yang terjadi karena adanya protein yang hampir sama. Oleh karena bila

positif, harus dites lagi dengan reagen lain sekali lagi. Bila kedua

positif, maka bisa disebut betul terinfeksi. Pada konseling ini, klien

bila sudah siap betul, akan dilatih bagiamana merubah gaya hidupnya

(18)

commit to user

secara seksual, maka dipahamkan filosofi seks dari berbagai sudut

pandang yang sesuai dengan perilakunya, dan penyaluran yang sehat,

seperti menikah dan setia dengan pasangan. Bila tidak memungkinkan

klien akan dilatih mencegah penularan dengan penggunaan kondom

yang benar dan aman. Juga dilatihkan life skill lainnya yang

menunjang minimal risiko infeksi. Bila seseorang adalah pengguna

jarum suntik, maka disadarkan semaksimal mungkin untuk berhenti.

Bila belum bisa, maka diterapi holistik dari promotif, preventif dan

kuratif. Bila seseorang positif, konselor sekali lagi menyakinkan klien

kesiapannya menerima kenyataan. Bila siap, maka bisa dikemukakan

(19)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user Tabel 1. Prinsip VCT ( IPPF, 2004)

Sukarela Pengetahuan tentang status HIV adalah sukarela. Keputusan untuk melakukan tes harus dibuat oleh klien.

Rahasia Informasi bersama selama konseling tidak harus dibagi dengan orang lain. Namun hasil tes HIV harus dilaporkan kepada klien kecuali jika klien menyatakan keinginan untuk berbagi hasil tes dengan seorang anggota keluarga, pasangan atau teman dekat.

Konseling Pre-test konseling memberikan kesempatan bagi klien untuk mengeksplorasi risiko HIV dan bagaimana untuk mengurangi itu, dan membantu klien memutuskan apakah atau tidak untuk mengambil tes HIV.

Dalam konseling klien harus didorong untuk mengambil hasi tes HIVtersebut. Informasi mengenai hasil tes HIV mereka akan diketahui selama konseling post-test. Layanan konseling harus berkualitas tinggi.

Pelaksanaan Tes

Kehadiran antibodi terhadap HIV dalam darah, air liur atau air kencing menegaskan diagnosis HIV. Hasil tes positif dikonfirmasi menggunakan tes-tes tambahan.

Persetujuan Klien setuju untuk tes HIV melalui pemberian persetujuan mereka.

Privasi Lingkungan harus memungkinkan diskusi pribadi antara klien dan konselor.

Arahan Klien harus mempunyai akses terhadap

pencegahan, perawatan dan dukungan layanan yang tersedia. Pelayanan rujukan harus dilakukan dengan menghormati kerahasiaan klien.

Konselor Karakteristik konselor antara lain karena tidak menghakimi, empati, hormat, dan mendukung. Staf dengan tugas konseling harus dilatih dalam konseling HIV

Kesetaraan HIV positif tidak boleh didiskriminasikan.

Kepatuhan Layanan harus mematuhi protokol lokal dan nasional, undang-undang dan peraturan mengatur penyediaan layanan HIV.

Monitoring dan evaluasi

(20)

commit to user

Walaupun demikian, ternyata VCT dinilai tidak cukup efektif

sehingga muncul inisiatif untuk membuat tes HIV “lebih rutin”. Untuk

itulah, pada sekitar Agustus 2006, WHO bersama dengan UNAIDS

membuat suatu pernyataan kebijakan untuk mempromosikan

provider-innitiated HIV testing and counseling (PITC) pada fasilitas penyedia

layanan kesehatan yang diintegrasikan pada pelayanan tertentu seperti

antenatal care dan tuberkulosis (WHO/UNAIDS, 2006).

Tabel 1.2. Perbedaan antara VCT dan PICT (Bock et al., 2008) atau simptom TB . Tidak selalu siap untuk tes HIV

Provider Biasanya adalah konselor terlatih, tidak harus petugas kesehatan di UPK

Petugas kesehatan yang sudah dilatih tentang PITC

Tujuan utama konseling dan tes HIV

Pencegahan penularan HIV melalui pemeriksaan risiko, pengurangan risiko dan tes

Mendiagnosis HIV untuk manajemen klinis TB dan HIV secara tepat

Pre-tes konseling yang berpusat pada klien one on one

sama-sama pentingnya bagi klien untuk mengetahui hasil HIV positif maupun negatif

Provider merekomendasikan dan menawarkan tes pada semua pasien TB.

Penjelasan singkat tentang pentingnya melakukan tes HIV Waktu lebih singkat untuk pasien dengan tes HIV negatif Fokus pada mereka dengan hasil tes HIV positif.

Follow-up HIV positif dirujuk untuk mendapatkan pelayanan medis dan pendukung lainnya

Tidak memandang hasil tesnya nya, klien dapat dirujuk ke

VCT untuk mendapatkan

konseling and dukungan psikologis

(21)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3. Perbedaan Penerimaan Pasien pada Konseling dan Testing HIV di

Negara Lain

Salah satu strategi untuk mengatasi epidemi AIDS adalah untuk

memberi orang kesempatan untuk mengetahui status HIV, sehingga

mereka dapat mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari

penyebaran lebih lanjut dan menerima terapi awal jika mereka terinfeksi

(Weinhardt et al., 2000). Namun, bahkan di negara maju, banyak berisiko

orang tidak mengambil VCT. Sebuah survei nasional di Inggris pada tahun

2000 menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari penasun saja yang telah

VCT dalam 5 tahun terakhir (McGarrigle, 2000). Di Amerika Serikat

sekitar seperempat dari 0,8-0,9 juta orang yang terinfeksi HIV tidak

menyadari bahwa mereka HIV positif (Centers for Disease Control and

Prevention [CDC], 2003). Menurut UNAIDS (2003), diperkirakan bahwa

hanya 0,2% dari orang dewasa di negara yang berpenghasilan rendah dan

menengah yang menerima tes HIV secara sukarela melalui layanan

konseling dan testing. Survei di sub-Sahara Afrika menunjukkan bahwa

rata-rata hanya 12% pria dan 10% perempuan telah diuji HIV dan

menerima hasilnya (WHO, 2007). Studi yang dilakukan di beberapa

negara Afrika juga melaporkan bahwa VCT ditawarkan kepada ibu hamil

pada umumnya diterima dengan baik (Cartoux et al., 1998a;1998b).

Berbeda dengan survei yang dilakukan di Provinsi Yunan (pusat

epidemi HIV/AIDS di Cina) di antara 840 ibu hamil dan 780 profesional

(22)

commit to user

dari profesional kesehatan dan 45% dari wanita hamil berpikir HIV adalah

penyakit "kelas rendah dan ilegal", 48% dari profesional kesehatan dan

59% wanita hamil berpikir bahwa orang HIV positif seharusnya tidak

diperbolehkan untuk menikah dan 30% dari para profesional kesehatan

tidak bersedia untuk mengobati HIV-positif (Hesketh, 2005).

Sebuah penelitian di Zimbabwe menyebutkan dari 4.812 sampel

yang ditawari VCT hanya 37% yang menyatakan bersedia melakukan tes

HIV, mereka diberi petunjuk tempat dan waktu tes. Namun hanya 9,4%

yang kembali untuk benar-benar melakukan tes HIV (Kipitu, 2005).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Tes HIV dan

Penerimaan Pasien pada Konseling dan Testing HIV.

Pengambilan keputusan merupakan suatu proses mental (proses

kogniitf) sehingga dapat memilih suatu tindakan dari beberapa alternatif.

Setiap proses pengambilan keputusan menghasilkan pilihan akhir (Reason,

1990). Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil

keputusan. Di antara faktor-faktor tersebut adalah:

1. Faktor Budaya: kebangsaan, agama, ras, karier, pendidikan, dan

tempat tinggal.

2. Faktor Sosial: keluarga, status sosial.

3. Faktor Pribadi: pekerjaan atau karier, gaya hidup, kepribadian serta

konsep hidup.

4. Faktor Psikologis: motivasi, persepsi, keyakinan, dan pendirian

(23)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Menurut Khasier Family Foundation (2006) orang sering tidak tes

HIV karena mereka tidak merasa diri mereka pada risiko infeksi. Dan

pasien akan lebih mungkin melakukan tes HIV jika petugas kesehatan

profesional yang menyarankan. Suatu studi menunjukkan, banyak orang

gagal melakukan tes HIV karena berbagai alasan: kurangnya akses ke

layanan pengujian, ketakutan stigma dan diskriminasi, rasa takut akan tes

positif, dan kurangnya akses terhadap pengobatan. Fakta-fakta ini

menunjukkan bahwa peluang untuk meningkatkan akses terhadap

pengobatan, perawatan, dukungan dan pencegahan yang telah dan sedang

dilakukan, tidak terjawab (UNAIDS, 2010)

Dalam suatu studi di Amerika Serikat, disebutkan bahwa jenis

kelamin perempuan, ras kulit putih, umur yang tua, dan tingkat pendidikan

yang tinggi merupakan golongan yang sering menunjukkan penolakan

terhadap tes rutin HIV. 70% responden yang mempunyai tingkat

pendidikan tinggi menolak tes HIV dengan alasan merasa tidak

mempunyai risiko (Liddicoat et al., 2006). Hasil yang sama juga

ditunnjukkan oleh sebuah studi di Nigeria bahwa tingkat pendidikan yang

lebih tinggi dikaitkan dengan penurunan penerimaan tes HIV (Elcannem,

2004).

Status pernikahan juga memiliki peran dalam pengambilan

keputusan untuk tes HIV. Dalam penelitian Demissie et al.(2006)

disebutkan bahwa wanita yang menikah lebih mungkin menjalani tes HIV

(24)

commit to user

belakang dengan penelitian yang dilakukan di Tanzania dan Uganda,

dalam penelitian tersebut dkemukakan bahwa wanita yang belum menikah

lebih mungkin melakukan tes HIV dari pada wanita yang sudah menikah

(Fabiani et al., 2003; Emily, 2004)

Di berbagai negara banyak terdapat stigma buruk pada pasien HIV,

sehingga individu dengan HIV positif mengalami penolakan dan

dikriminasi. Takut akan stigma atau penolakan adalah alasan umum

mengapa banyak individu yang tidak ingin mengetahui status HIV mereka

(25)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ajukan hipotesis: ada hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV

(26)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan

pendekatan potong lintang ( cross-sectional ).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Klinik VCT RSUD dr. Moewardi

Surakarta, LSM penasun Surakarta, LSM waria.

C. Subjek Penelitian

Populasi penelitian adalah semua orang yang berisiko tinggi terinfeksi

HIV di Surakarta. Sampel Penelitian:

1. Orang berisiko terinfeksi HIV yang memiliki inisiatif melakukan tes HIV

dari diri sendiri dan petugas kesehatan. Sampel harus memiliki kriteria

inklusi sebagai berikut:

a. Orang berisiko terinfeksi HIV yang datang ke Klinik VCT dengan

inisiatif sendiri dan petugas kesehatan.

b. Belum pernah melakukan tes HIV.

(27)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Orang berisiko terinfeksi HIV yang memiliki inisiatif melakukan tes HIV

dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sampel harus memiliki

kriteria inklusi sebagai berikut:

a. Orang berisiko terinfeksi HIV yang memiliki inisiatif melakukan tes

HIV dari LSM penasun Surakarta. LSM penasun Surakarta

mendampingi pengguna narkoba suntik dan pasangannya.

b. Orang berisiko terinfeksi HIV yang memiliki inisiatif melakukan tes

HIV dari LSM waria.

c. Belum pernah melakukan tes HIV.

Subyek akan dieksklusi dari penelitian jika mengalami hambatan untuk

berkomunikasi secara verbal serta menolak berpartisipasi dalam penelitian.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang dipakai adalah total sampling. Sampel penelitian

adalah semua orang yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi

kriteria eksklusi yang datang ke RSUD dr. Moewardi Surakarta dan anggota

LSM yang dapat ditemui dari tanggal 14 juni 2010 sampai 14 Juli 2010.

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : asal inisiatif

2. Variabel terikat : kesediaan orang berisiko untuk mengikuti

(28)

commit to user

3. Variabel luar : umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, status

pernikahan, kurangnya akses ke layanan, ketakuta

stigma dan diskriminasi, takut akan tes positif

F. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas : asal inisiatif pasien

Definisi : inisiatif kedatangan pasien ke VCT, dari

diri sendiri dan ditemukan petugas

kesehatan atau ditemukan oleh LSM.

Alat ukur : kuesioner

Skala : Nominal (inisiatif diri sendiri, petugas

kesehatan dan insiatif dari LSM)

2. Variabel terikat : kesediaan orang berisiko untuk

melakukan tes HIV

Definisi : kesediaan orang berisiko untuk

melakukan tes HIV

Alat ukur : kuesioner

Skala : nominal (bersedia tes HIV, tidak

(29)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user G. Alat dan Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan kuesioner penelitian baik secara verbal

maupun tertulis. Pasien mempunyai hak untuk menolak maupun berhenti

berpartisipasi dalam penelitian.

H. Cara Kerja

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat untuk mendapatkan

data dan informasi yang dibutuhkan. Kuesioner ini diberikan kepada petugas

VCT untuk diberikan kepada pasien yang datang ke Klinik VCT. Sedangkan

kuesioner bagi anggota LSM diberikan secara langsung oleh peneliti kepada

orang-orang yang berisiko tinggi HIV. Dalam kuesioner juga terdapat

informed consent penelitian. Informed consent ditandatangani oleh subjek

penelitian yang bersedia ikut serta dalam penelitian.

Di Klinik VCT setelah kuesioner diisi dengan lengkap, kemudian

diserahkan kepada petugas kesehatan untuk selanjutnya diserahkan kepada

peneliti. Sedangkan di LSM, peneliti langsung bertemu dengan orang-orang

beriskoi tinggi HIV ( pengguna jarum suntik dan waria) dan memandu

(30)

commit to user Berikut ini skema cara kerja:

Populasi

Asal inisiatif diri dari sendiri dan kesehatan

Asal Inisiatif dari LSM

Tidak bersedia tes HIV bersedia tes

HIV Tidak bersedia

tes HIV bersedia tes

HIV

Analisis data

Analisis data Informed

consent penelitian

Informed consent penelitian

(31)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user I. Teknik analisis data

Perbedaan kesediaan tes HIV dengan asal pasien ditunjukkan oleh Odds

Ratio (OR) dan CI 95%. Kemaknaan statistik OR tersebut diuji dengan

menggunakan uji statistik Fisher’s Exact Test. Data akan dibuat dalam bentuk

tabel kontingensi 2 x 2 seperti berikut :

Asal Inisiatif Pasien

Data yang diperoleh dianalisis dengan program Statistical Product and

Service Solution (SPSS) 17 for Window.

K

ese

di

aa

n

T

es

H

IV

Inisitif sendiri & di

dampingi petugas kesehatan

Didampingi LSM

Ya a b

(32)

commit to user BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Karakteristik Data

Penelitian dilaksanakan selama periode 14 Juni sampai 14 Juli 2010 di

Klinik VCT RSUD. Dr. Moewardi, di LSM penasun dan LSM waria. Dari 78

sampel yang diperoleh, 5 orang datang dengan inisiatif diri sendiri, 51 orang

didampingi LSM dan 22 orang didampingi petugas kesehatan. Dalam

penelitian ini tidak terdapat sampel yang dieksklusi.

Tabel 2.1 Karakteristik Demografi Pasien

No. Karakteristik Data Jumlah Total

(33)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Tabel 2.1 menunjukkan karakteristik demografi yang tercantum dalam

kuesioner antara lain jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan dan status

pernikahan. Dari tabel tersebut dapat dilihat persentase penerimaan program

VCT berdasar karakteristik demografi.

B. Analisis Data

Perbedaan peneriman tes HIV dengan asal inisiatif pasien ditunjukan

dengan tabel 2.2. Karena terdapat 1 (25%) sel yang nilai ekspektasinya <5

maka penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik Fisher’s Exact

Test.

Tabel 2.2. Hasil Fisher’s Exact Test antara Asal Pasien dengan Kesediaannya

Menjalani tes HIV.

inisiatif sendiri semuanya bersedia melakukan VCT. Hal yang sama terlihat

pada 22 orang yang didampingi petugas kesehatan seluruhnya juga bersedia

melakukan tes HIV. Pada 51 orang yang didampingi oleh petugas kesehatan

(34)

commit to user

Setelah dianalisis dengan menggunakan Fisher’s Exact Test didapatkan

nilai probability sebesar 0,002, karena nilai p<0,05 maka dapat disimpulkan

bahwa ada hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV (Human

Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta.

Tabel 3.3. Hasil Chi Square Test Asal LSM dengan Kesediaan Mengikuti Tes

HIV

Kesediaan untuk tes

HIV

Asal LSM

total P

LSM Waria LSM Penasun

Ya 17 19 36

0,529

Tidak 8 6 14

Total 25 25 50

Dalam pengolahan data ini hanya 50 sampel yang digunakan, hal ini

disebabkan terdapat 1 sampel yang tidak diketahui asal LSMnya. 25 orang berasal

dari LSM waria, 17 orang di antaranya bersedia melakukan tes HIV dan 8 orang

tidak bersedia melakukan tes HIV. Sedangkan dari 25 orang yang berasal dari

LSM penasun, 19 orang bersedia melakukan tes HIV dan 6 orang tidak bersedia

melakukan tes HIV.

Setelah dianalisis dengan menggunakan Chi Square Test didapatkan nilai

probability sebesar 0,529. Karena nilai p>0,05, maka dapat disimpulkan bahwa

tidak ada perbedaan kesediaan tes HIV antara orang dengan risiko HIV dari LSM

(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas dalam Bab IV, didapatkan

hasil bahwa ada hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV (Human

Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta dan secara

statistik pun bermakna (p<0,05). Hal sesuai dengan hipotesis sebelumnya yang

menyebutkan bahwa ada hubungan asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV

(human immunodeficiency virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta.

Voluntary Counseling and Testing adalah proses seorang individu atau

pasangan mengalami konseling untuk memungkinkan seseorang untuk membuat

suatu pilihan untuk melakukan tes HIV. Keputusan harus sepenuhnya pilihan

individu dan harus diyakinkan bahwa proses ini akan menjadi rahasia. Voluntary

Counseling and Testing menawarkan manfaat bagi orang-orang yang tes positif

maupun negatif. Voluntary Counseling and Testing dapat mengurangi kecemasan,

meningkatkan persepsi klien tentang kerentanan mereka terhadap HIV,

mempromosikan perubahan perilaku, memfasilitasi rujukan awal untuk perawatan

dan membantu dalam mengurangi stigma dalam masyarakat

Banyak individu yang berisiko tidak mencari layanan konseling HIV dan

layanan standar pengujian. Stigma yang terkait dengan penggunaan narkoba dan

hubungannya HIV/AIDS dan takut ditahan atau mengetahui hasil positif dapat

menjadi hambatan utama untuk akses ke VCT (Leslie, 2006). Suatu lain studi

(36)

commit to user

menunjukkan, banyak orang gagal melakukan tes HIV karena berbagai alasan di

antaranya kurangnya akses ke layanan pengujian, ketakutan stigma dan

diskriminasi, rasa takut akan tes positif, dan kurangnya akses terhadap pengobatan

(UNAIDS, 2010).

Lembaga swadaya masyaraka dapat memainkan peran penting dalam

penyediaan layanan pencegahan HIV dan bantuan lainnya untuk orang-orang

yang hidup dengan AIDS. Fleksibilitas LSM penasun memungkinkan mereka

untuk merespon dengan cepat untuk mengisi kesenjangan dalam perawatan

kesehatan dan pelayanan sosial. LSM dapat melakukan apa yang instansi

pemerintah tidak bisa atau tidak mau lakukan misalnya, menjangkau para penasun

tanpa menjadi ancaman untuk penasun (misal:melaporkan ke polisi).

Di Indonesia banyak terdapat LSM yang membantu pemerintah dalam

pencegahan HIV/AIDS dan mendampingi para penasun. Di Surakarta salah satu

LSM yang berperan adalah LSM penasun. LSM ini khusus mendampingi para

pengguna jarum suntik dan mempromosikan pentingnya tes HIV. Hal ini sama

seperti yang ditunjukan oleh 29 LSM Eropa tengah dan timur yang memiliki

target para pengguna narkoba jenis suntik, mereka disediakan jarum steril,

pendidikan pencegahan HIV, dan menyampaikan presentasi dan edukasi

mengenai HIV/AIDS (Amirkhanian, 2004). Di Thailand dan Brasil, LSM diyakini

memainkan peran penting, di mana kedua negara ini mampu mengendalikan

epidemi HIV/AIDS dan mortalitas akibat AIDS (Ainsworth, 2003) . Lembaga

(37)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

daya keuangan, kurangnya komunikasi dengan organisasi-organisasi pemerintah,

ketidakpedulian pemerintah dan stigma yang terkait dengan AIDS.

Dalam satu bulan selama penelitian ini, terdapat 78 orang yang dapat

ditemui dan hanya terdapat 5 (6,40%) orang yang mengunjungi Klinik VCT

dengan inisitif sendiri dan 22 (28,20%) orang yang datang didampingi oleh

petugas kesehatan. Hasil ini sama dengan sebuah penelitian di Kampala, yang

menunjukan perbedaan yang cukup berarti antara orang yang dirujuk oleh tenaga

kesehatan profesional (93%) dan datang dengan inisiatif dari diri sendiri (53%).

Menurut Khasier Family Foundation (2006) orang sering tidak tes HIV karena

mereka tidak merasa dirinya berisiko infeksi namun alasan ini tidak dikaji lebih

lanjut dalam penelitian ini. Dan pasien akan lebih mungkin melakukan tes HIV

jika petugas kesehatan profesional yang menyarankan.

Dalam penelitian ini terdapat 51 orang yang di dampingi oleh LSM. 25

orang di antaranya merupakan kumpulan waria, 25 orang pengguna jarum suntik

yang didampingi LSM penasun dan 1 orang pasien tidak diketahui asal LSM. Dari

data tersebut 8 waria dan 6 pengguna jarum suntik menolak melakukan tes HIV.

karakteristik orang pasien berperan dalam penerimaan tes HIV. Hasil yang sama

juga terdapat pada penelitian McGarrigle pada tahun 2000 yang menyebutkan

bahwa hanya sepertiga penasun di Inggris yang telah melakukan VCT. Dalam

penelitian diketahui kebanyakan dari penasun yang enggan melakukan tes HIV

dikarenakan merasa bahwa jarum suntik yang digunakan steril.

Diketahui dari penelitian ini dari 45 (57.69%) orang laki-laki, 34 (43,59%)

(38)

commit to user

(28,20%) orang wanita semuanya menerima tes tersebut. Selain itu terdapat pula

11 (14,10%) orang waria, 8 (10,25%) orang di antaranya menolak dan 3 (3,84%)

menerima tes tersebut. Hasil yang sama ditunjukkan dalam penelitian di Sub

Sahara Afrika yang merupakan daerah dengan epidemi tertinggi hanya 12%

laki-laki dan 10% wanita yang telah melakukan tes HIV (WHO, 2007). Data dari

UNAIDS (2003) hanya 0,2% orang dewasa di negara berkembang yang telah

melakukan tes HIV.

Faktor pendidikan juga berpengaruh dalam setiap pengambilan keputusan

kesehatan. Rendahnya tingkat pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi

tingkat pengetahuan akan perlindungan masyarakat terhadap diri dan keluarganya,

sehingga berdampak pada kurangnya akses pelayanan kesehatan (Maria et al.,

2000). Liddicoat (2006) dan Elcannem (2004) menyatakan bahwa seseorang

dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung menolak tes HIV karena merasa tidak

berisiko. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian ini berdasarkan masing-masing

kelompok, tingkat pendidikan rendahlah yang paling banyak menolak untuk

melakukan tes HIV yaitu dari 12 (15,38%) responden yang berpendidikan rendah

3 (3,84%) orang di antaranya menolak untuk melakukan tes HIV. Pengetahuan

tentang HIV sangat berpengaruh dalam faktor ini. Suatu penelitian di Ethiopia

menyatakan bahwa 48% perempuaan buta huruf menyatakan tidak tahu bahwa

HIV dapat menular secara seksual (Bogale et al., 2010) . Hasil yang sama

ditunjukan dalam sebuah penelitain di Kargillites India yang merupakan daerah

miskin dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah, di mana tingkat kesadaran

(39)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

melalui seks bebas. Mereka tidak tahu bahwa adanya risiko penularan virus

HIV/AIDS dari ibu ke bayi dan darah atau jarum suntik yang terkontaminasi

(Ahmed and Bashir, 2002).

Status pernikahan juga merupakan salah satu faktor penting dalam

pengambilan keputusan kesehatan. Dalam penelitian Demissie et al.(2006)

disebutkan bahwa wanita yang menikah lebih mungkin menjalani tes HIV

dibanding wanita yang belum. Hasil yang berbeda ditunjukkan dalam penelitian

ini di mana responden dengan status hidup bersama tanpa menikah lebih banyak

menolak. Hal ini terjadi karena adanya perasaan takut ditinggalkan oleh pasangan

jika seseorang tersebut melakukan tes HIV dan mengetahui hasilnya adalah

positif.

Dalam penelitian ini juga terdapat keterbatasan-keterbatasan di antaranya:

1. Tidak dikendalikannya variabel luar (confounding factor), antara lain umur,

jenis kelamin, status pernikahan, jarak tempat tinggal ke pelayanan kesehatan,

dan juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesediaan menjalani tes HIV.

2. Keterbatasan waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam periode 1 bulan (Juni-Juli 2010).

Perpanjangan waktu diharapkan bisa mendapatkan jumlah sampel yang lebih

(40)

commit to user BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Ada hubungan antara asal inisiatif dengan kesediaan tes HIV (Human

Immunodeficiency Virus) pada orang berisiko terinfeksi di Surakarta yang

bermakna secara statistik (p>0,05).

B. Saran

Perlunya pendampingan yang lebih intensif dari LSM kepada

orang-orang berisiko tinggi HIV/AIDS supaya meningkatkan kesediaan tes HIV

Gambar

Tabel 1. 1. Prinsip VCT ………………………………………………….. 9
Tabel 1.  Prinsip VCT ( IPPF, 2004)
Tabel 1.2.  Perbedaan antara VCT dan PICT (Bock et al., 2008)
tabel kontingensi 2 x 2 seperti berikut :
+4

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perencanaan sistem Program JKBM Tahun 2010 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Bali bersama dengan

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tujuan pendidikan Geografi tersebut tidak hanya mencakup aspek kognitif berupa pengetahuan peserta

bahwa untuk menunjang kelancaran sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas, perlu Jadwal Retensi Arsip Kepegawaian Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara Di Lingkungan

Negeri 2 dan SMK NU Ma’arif 2, sekolah sekolah inilah yang nantinya mengikuti diklat program AutoCAD dan CATIA. Berdasarkan temuan di lapangan yang didasari pengalaman dan

• Proses adjustment stock opname bisa dilakukan pada tanggal yang berbeda sehingga anda tidak perlu tutup toko seharian yang mengakibatkan kehilangan kesempatan untuk menjual

Perkembangan bakteri Coliform pada ikan Mujaer (Oreochromis mossambicus) setelah pemberian ekstrak biji buah kluwek (Pangium edule reinw) sebagai pengawet alami dapat

Beberapa mahasiswa yang pernah melaksanakan kerja praktek di PT PJB Unit Pembangkitan - Gresik Jawa Timur antara lain, Try Rahadi Sulistomo (2409100054) yang membahas tentang

Dalam bab ini penulis membahas materi yang bersifat teoritis, yang merupakan penjelasan - penjelasan dari buku-buku, jurnal, disertai tesis dan skripsi yang