• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN KEMENTERIAN KELAUTAN INDONESIA DALAM KASUS PENCURIAN IKAN OLEH NELAYAN MALAYSIA DI PERAIRAN NATUNA INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEBIJAKAN KEMENTERIAN KELAUTAN INDONESIA DALAM KASUS PENCURIAN IKAN OLEH NELAYAN MALAYSIA DI PERAIRAN NATUNA INDONESIA"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN KEMENTERIAN KELAUTAN INDONESIA DALAM KASUS PENCURIAN IKAN OLEH NELAYAN MALAYSIA DI

PERAIRAN NATUNA INDONESIA

The Ministry of Maritime and Fisheries Affair’s Policy Towards Illegal Fishing

by Malaysian Fishermen in Natuna Sea Indonesia

Fahreza Rizkita Putra Ricky Siregar 20120510188

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK

(2)

HALAMAN JUDUL

SKRIPSI

KEBIJAKAN KEMENTERIAN KELAUTAN INDONESIA DALAM KASUS PENCURIAN IKAN OLEH NELAYAN MALAYSIA DI PERAIRAN NATUNA

INDONESIA

The Ministry of Maritime and Fisheries Affair’s Policy Towards Illegal Fishing by Malaysian

Fishermen in Natuna Sea Indonesia

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

Fahreza Rizkita Putra Ricky Siregar 20120510188

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana Ilmu Politik pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Shalawat serta

salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa

kemajuan besar kepada umat manusia di dunia.

Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

Skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, dalam kesempatan

ini penulis dengan tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada:

1. Bapak Prof Dr. Bambang Cipto, MA. Selaku Rektor Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta.

2. Bapak Ali Muhammad, MA., Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Ibu Dr. Nur Azizah, M.Si. Selaku Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Drs. Djumadi M. Anwar, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi saya yang telah

memberikan waktu dan saran dalam penyusunan Skripsi ini.

5. Pak Adde Marup W.S, S.IP., M.A. Selaku Dosen Penguji I dalam ujian pendadaran yang

(6)

6. Ibu Grace Lestariana W. S.Sos., M.Si. Selaku Dosen Penguji II dalam ujian pendadaran yang

telah memberikan waktu dan saran untuk Skripsi saya.

7. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional yang telah membagi Ilmu dan

pengalamannya selama penulis menuntut ilmu di Program Studi Ilmu Hubungan

Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Semoga amal kebaikan dan segala bimbingan serta bantuan yang telah diberikan kepada

penulis mendapatkan pahala dari Allah SWT. Aamiin.

Akhir kata, semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang membutuhkan

informasi mengenai Kebijakan Kementerian Kelautan Indonesia dalam kasus pencurian ikan

oleh nelayan Malaysia di perairan Natuna Indonesia. Dalam penulisan Skripsi ini, penulis

menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada Skripsi ini. Oleh karena itu,

penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang dapat membangun isi

dari Skripsi.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, 06 September 2016

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... 2

HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined.

HALAMAN BUKTI KEASLIAN ... Error! Bookmark not defined.

MOTTO DAN VISI ... Error! Bookmark not defined.

HALAMAN PERSEMBAHAN ... Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR ... Error! Bookmark not defined.

ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI ... 7

BAB I ... Error! Bookmark not defined.

PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined.

A. Alasan Pemilihan Judul... Error! Bookmark not defined.

B. Latar Belakang Masalah ... Error! Bookmark not defined.

C. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined.

D. Kerangka Pemikiran... Error! Bookmark not defined.

1. Konsep Kepentingan Nasional ... Error! Bookmark not defined.

2. Konsep Kemanan Maritim ... Error! Bookmark not defined.

E. Hipotesa ... Error! Bookmark not defined.

F. Tujuan Penulisan ... Error! Bookmark not defined.

(8)

H. Metode penelitian... Error! Bookmark not defined.

I. Sistematika Penulisan ... Error! Bookmark not defined.

BAB II ... Error! Bookmark not defined.

Gambaran Umum Indonesia Sebagai Negara Maritim dan Masalah Pencurian IkanError!

Bookmark not defined.

A. Posisi Strategis Indonesia ... Error! Bookmark not defined.

B. Peraturan Luas Wilayah Negara KepulauanError! Bookmark not defined.

1. Laut Teritorial ... Error! Bookmark not defined.

2. Landas Kontinen ... Error! Bookmark not defined.

3. Zona Ekonomi Ekslusif ... Error! Bookmark not defined.

C. Definisi Masalah Pencurian Ikan (Illegal Fishing)Error! Bookmark not defined.

BAB III ... Error! Bookmark not defined.

PENCURIAN IKAN ... Error! Bookmark not defined.

A. Kasus Pencurian Ikan di Wilayah Perairan IndonesiaError! Bookmark not defined.

1. Selat Malaka ... Error! Bookmark not defined.

2. Perairan Kalimantan Utara ... Error! Bookmark not defined.

3. Perairan Natuna ... Error! Bookmark not defined.

B. Sumbangsih pendapatan di Natuna terhadap nilai ekonomi IndonesiaError! Bookmark

not defined.

(9)

A. Memperjuangkan Kepentingan Nasional Indonesia di Laut NatunaError! Bookmark not defined.

1. Upaya Pemerintah Indonesia untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia Error!

Bookmark not defined.

2. Kebijakan Presiden Jokowi terhadap klaim Zona Ekonomi EkslusifError! Bookmark

not defined.

B. Konsep Keamanan Maritim Indonesia Dalam Membentuk Poros Maritim Dunia Error!

Bookmark not defined.

1. Penegakkan Hukum IUU Fishing di IndonesiaError! Bookmark not defined.

2. Tujuan Indonesia dalam membentuk Poros Maritim DuniaError! Bookmark not

defined.

BAB V ... Error! Bookmark not defined.

(10)
(11)

Kebijakan Kementerian Kelautan Indonesia Dalam Kasus Pencurian Ikan

Oleh Nelayan Malaysia Di Perairan Natuna Indonesia

ABSTRAK

Laut Indonesia merupakan laut terluas kedua di dunia (setelah Kanada) yang memiliki

luas laut 7.900.000 km2, empat kali dari luas daratannya. Wilayah ini meliputi laut Teritorial,

Laut Nusantara, dan Zone Ekonomi Ekslusif. Selain itu, bukan hanya ikan yang begitu

banyaknya tetapi juga sumber daya alam yang berlimpah. Setidaknya dalam pemberitaan

berbagai media massa ditemukan ratusan bahkan ribuan kapal asing yang sedang menjarah ikan

di Indonesia.

Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam kategori negara kepulauan yang

dimana tidak sedikit memiliki permasalahan yang berhubungan dengan laut. Permasalahan yang

terdapat antara lain, masalah batas kelautan yang dimiliki Indonesia dengan negara yang

berbatasan langsung denagan laut Indonesia, illegal fisihing, dan jalur perdagangan melalui laut.

Namun dalam penulisan ini, penulis akan memfokuskan pada permasalahan illegal fisihing yang

dihadapi Indonesia. Permasalahan ini merupakan salah satu masalah yang dapat berdampak pada

kondisi laut serta sumber daya alam Indonesia itu sendiri. Selain itu, hal ini juga dapat

berdampak pada perekonomian Indonesia.

Kasus illegal fishing ini terjadi di beberapa wilayah laut Indonesia. Wilayah kelautan

Indonesia yang sangat luas memberikan kesempatan bagi para nelayan yang melakukan illegal

(12)

fishing yang telah kita ketahui terjadi di daerah perairan Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan

perairan Natuna.

Dalam Skripsi ini, penulis menggunakan 2 (dua) teori konsep, yang pertama adalah teori

kepentingan nasional. Teori ini digunakan untuk mengetahui apa saja kepentingan nasional

Indonesia di perairan Natuna, seperti untuk menjaga stabilitas ekonomi, hingga untuk menjaga

kedaulatan teritorial Indonesia. Konsep yang kedua, adalah konsep keamanan maritim. Konsep

ini digunakan untuk mengetahui mengapa Indonesia melakukan tindakan tegas berupa

penenggalaman dan membakar kapal pelaku Illegal Fishing karena atas dasar untuk penegakkan

hukum di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia dan UNCLOS 1982.

Berdasarkan penelitian yang telah ditulis oleh penulis dalam skripsi ini dapat disimpulkan

bahwa Pemerintah Indonesia era Presiden Joko Widodo serius untuk menangani kasus pencurian

ikan atau illegal fishing, menjaga kedaulatan teritorial Indonesia, menegakkan hukum yang

berlaku di Indonesia. Pasalnya jumlah kerugian yang didapat oleh Indonesia sangatlah besar dan

berdampak pada perekonomian Indonesia, dan juga menjaga identitas Indonesia bahwa,

Indonesia bukanlah Negara yang lemah akan penindakkan hukum di mata dunia Internasional.

Selain itu, rencana Presiden Joko Widodo untuk membuat Indonesia menjadi poros maritim

dunia menjadi salah satu faktor mengapa Indonesia sangat serius dalam menangani kasus ini.

Keywords : Pemerintah Indonesia, Presiden Joko Widodo, Menteri Kelautan dan

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

Kebijakan pemerintah yang akan menindak secara tegas nelayan dan kapal asing pencuri

ikan yang melakukan pelanggaran di wilayah Indonesia, dengan menenggelamkan kapal asing

yang tertangkap, telah menimbulkan reaksi di antara negara tetangga.

Sebagian besar kapal-kapal asing yang dituding sebagai pencuri ikan, antara lain ada

yang berasal dari Malaysia, walaupun ada juga dari negara–negara tetangga lain seperti

Singapura dan Vietnam. Akan tetapi, yang paling meresahkan bagi pemerintah dan juga rakyat

Indonesia adalah kapal-kapal Malaysia, karena mereka tidak hanya mengambil mencuri ikan,

melainkan juga mengganti nama kapalnya dengan nama-nama yang sebenarnya agak mirip

dengan perusahaan-perusahaan asal Indonesia. Alasan diambilnya judul ini juga karena Negara

Indonesia mengalami kerugian Triliunan Rupiah dan juga karena Indonesia berusaha menjaga

Kedaulatan Wilayah Lautnya khususnya di daerah perairan Natuna.

B. Latar Belakang Masalah

Laut Indonesia merupakan laut terluas kedua di dunia (setelah Kanada) yang memiliki

luas laut 7.900.000 km2, empat kali dari luas daratannya. Wilayah ini meliputi laut Teritorial,

Laut Nusantara, dan Zone Ekonomi Ekslusif. Selain itu, bukan hanya ikan yang begitu

banyaknya tetapi juga sumber daya alam yang berlimpah. Setidaknya dalam pemberitaan

berbagai media massa ditemukan ratusan bahkan ribuan kapal asing yang sedang menjarah ikan

di Indonesia. 1

1

Damang Averroes Al-Khawarizmi, Masalah pulau – pulau terluar & kondisi perairan kita,

(14)

Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam kategori negara kepulauan yang

dimana tidak sedikit memiliki permasalahan yang berhubungan dengan laut. Permasalahan yang

terdapat antara lain, masalah batas kelautan yang dimiliki Indonesia dengan negara yang

berbatasan langsung denagan laut Indonesia, illegal fisihing, dan jalur perdagangan melalui laut.

Namun dalam penulisan ini, penulis akan memfokuskan pada permasalahan illegal fisihing yang

dihadapi Indonesia. Permasalahan ini merupakan salah satu masalah yang dapat berdampak pada

kondisi laut serta sumber daya alam Indonesia itu sendiri. Selain itu, hal ini juga dapat

berdampak pada perekonomian Indonesia.

Pengertian illegal fishing adalah kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan

yang tidak diatur oleh peraturan yang berlaku, aktifitasnya tidak dilaporkan kepada suatu

institusi atau lembaga perikanan yang tersedia/berwenang. Dapat terjadi di semua kegiatan

perikanan tangkap tanpa tergantung pada lokasi, target spesies, alat tangkap yang digunakan dan

eksploitasi serta dapat muncul di semua tipe perikanan baik skala kecil dan industri, perikanan di

zona jurisdiksi nasional maupun internasional.

Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan :

1. Dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi jurisdiksi suatu

negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang –

undangan yang berlaku.

2. Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional.

3. Dilakukan oleh kapal mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota

(15)

pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan

hukum internasional yang berlaku.2

Kasus illegal fishing ini terjadi di beberapa wilayah laut Indonesia. Wilayah kelautan

Indonesia yang sangat luas memberikan kesempatan bagi para nelayan yang melakukan illegal

fishing untuk mengambil sumber daya alam dari Indonesia tersebut. Beberapa kasus illegal

fishing yang telah kita ketahui terjadi di daerah perairan Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan

perairan Natuna.

Kebijakan penenggelaman kapal-kapal asing atau dengan membakarnya langsung

ditempat lokasi bertujuan untuk membuat efek jera bagi kapal-kapal asing yang datang tanpa

izin, telah menimbulkan reaksi diantara negara tetangga. Salah satunya adalah Malaysia yang

mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia tersebut. Hal ini mengingat kedua negara,

Indonesia dan Malaysia, telah menandatangani Memorandum Kesepakatan (MoU) pada tanggal

27 Januari 2012. Menurut Menlu Malaysia Datuk Seri Anifah Aman yang menyebutkan bahwa,

mengacu pada kesepakatan tersebut maka kedua negara hanya mengusir nelayan yang didapati

menangkap ikan di perbatasan maritim Malaysia dan Indonesia. Dia pun menilai, sikap Presiden

Joko Widodo anti-malaysia, dimana warganya dipaksa menelan kerugian akibat kasus

penenggelaman kapal. Malaysia juga menganggap Indonesia tidak menghargai hubungan dan

kerjasama antar kedua negara.3

Bahkan, media-media Malaysia sering memberitakan tentang Presiden Jokowi. Mereka

menilai bahwa, Presiden Jokowi mungkin mencoba mengalihkan tekanan yang dihadapi terkait

permasalahan dalam negerinya seperti contoh kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)

2

Astekita, Illegal fishing

https://astekita.co.id/2011/04/06/illegal-fishing/ diakses pada 28 Juli 2016 pukul 23.34

3

Arie Basuki, Malaysia Gerah Soal Penenggelaman Kapal,

(16)

dimana hal tersebut telah mendapat protes dari rakyat kecil, dan ironisnya, mereka bahkan

mengetahui jika Presiden Jokowi dulu sangat di puja di kalangan rakyat menengah ke bawah.

Media-media Malaysia juga menambahkan bahwa, Presiden Jokowi angkuh dan ingin

melakukan kontroversi dengan Malaysia.4

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengakatakan sekaligus memberikan

tanggapan pemerintah Malaysia bahwa, pencurian ikan di Natuna adalah masalah penegakan

hukum. Dia menyebutkan bahwa, pemerintah Indonesia (dalam hal ini yang terkait masalah

pencurian ikan) akan konsisten melakukan penegakkan hukum di wilayah ZEE. Dirinya

menambahkan, paling tidak ada empat faktor dominan yang mempengaruhi terjadinya Illegal

Fishing, (1) lemahnya penegakkan hukum, (2) longgarnya aturan hukum, (3) mafia perikanan,

dan (4) imbas perkembangan global. Empat faktor tersebut saling terkait mempengaruhi

terjadinya kejahatan Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing (IUUF).5

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang tengah menggarap beberapa

persoalan yang masuk dalam agendanya. Salah satunya adalah memberantas tindak pidana

pencurian ikan (Illegal Fishing) yang marak terjadi di perairan Indonesia. Mengatakan bahwa,

daerah–daerah rawan pencurian ikan di Indonesia adalah Perairan Natuna, Perairan Barat Natuna

(Kepulauan Riau), Laut Arafura Selatan (Papua dan berbatasan dengan Australia), Bitung Utara

(Sulawesi Utara), Kepala Burung (Papua Barat), Samudera Hindia, Laut segitiga emas antara

Erika Firstyana, Retno Marsudi: Pencurian Ikan di Natuna Masalah Penegakkan Hukum Bukan Politik,

http://www.inddit.com/s-e9098e/retno-marsudi-pencurian-ikan-di-natuna-masalah-penegakan-hukum-bukan-politik/ diakses pada 02 September 2016 pukul 03.31 WIB

6

Diko Oktara, KKP Tangkap 29 Kapal Pencuri Ikan Selama 2016,

https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/08/01/090792233/kkp-tangkap-29-kapal-pencuri-ikan-selama-juli-2016

(17)

Susi Pudjiastuti juga mengatakan, pada Juli 2016, Satuan Tugas 115 yang dipimpin oleh

Kementerian Kelautan berhasil menangkap 29 unit kapal pencuri ikan di perairan Indonesia.

Penangkapan ini dilakukan oleh Satgas yang terdiri atas Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Polri, TNI Angkatan Laut, dan Badan Keamanan Laut. Salah satu tangkapan terbesar Satgas 115

adalah saat KP Orca 03 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap 8 kapal ikan

asing di Perairan Natuna pada 24 Juli 2016. Sedangkan kapal Orcha 1 yang merupakan kapal

KKP paling besar, berhasil menangkap satu kapal ikan asing. Pada 17 Agustus 2016,

Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Satgas 115 akan kembali melakukan pemusnahan

barang bukti kapal pelaku penangkapan ikan secara ilegal. Adapun lokasi kapal yang akan

dimusnahkan berada di sejumlah tempat, di antaranya Tarakan, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara,

Maluku Utara, Sorong, dan Morotai.7

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyoroti masalah penurunan hasil laut di

sekitar Laut Natuna, Kepulauan Riau. Penyebab utama penurunan drastis hasil laut ini adalah

pencurian ikan atau illegal fishing. Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Suharsono

menjelaskan perairan Natuna masih mampu memberikan 1,8 ton ikan tahun 1974. Suharsono

dalam pemaparan ekspedisi tim LIPI ke Natuna dan Laut Kalimatan Selatan di Jakarta, senin 27

desember 2010 mengakatan bahwa angka tersebut turun menjadi hanya 0.27 ton. Pencurian ikan

oleh kapal-kapal asing menjadi salah satu penyebab, terutama kapal dari negara perbatasan

seperti Malaysia dan Thailand. Menurutnya, di daerah Songka, Thailand, ada kapal dengan nama

Indonesia tapi tak satu pun anak buah kapal (ABK) yang bisa berbahasa Indonesia. Dia juga

menjelaskan misalnya nama kapal tersebut Samudera Raya yang bahkan berbendera Indonesia. 8

7

Ibid. diakses pada 11 Agustus 2016 pukul 22:23 WIB

8

(18)

Dua kapal nelayan asing dari Thailand dan Malaysia, tertangkap basah melakukan

pencurian ikan (Illegal Fishing) di perairan Natuna, Kepulauan Riau (Kepri). Penangkapan

dilakukan oleh KRI Sutedi Senaputra-378 yang dikomandoi oleh Mayor Laut Hendra Astawan,

pada jumat 14 November 2014. Komandan KRI Sutedi Senaputra tersebut mengakatakan bahwa,

kedua kapal tersebut tertangkap mencuri ikan saat mereka sedang melaksanakan Operasi Rakata

Jaya, di sekitar perairan yang dikenal rawan pelanggaran di laut tersebut. Terungkapnya aksi

pencurian tersebut akibat rekaman radar yang diketahui berada di baringan 020 jarak 4 mil.

Setelah dilaksanakan prosedur pemeriksaan dan penggeledahan, kapal tersebut berbendera

Malaysia dan Thailand.9

Dalam kasus ini, penulis akan memfokuskan kasus yang dialami oleh Indonesia dan

Malaysia yang merupakan negara bersebelahan langsung dan mempunyai batas perairan yang

berdekatan. Oleh karena itu, Indonesia sering mengalami permasalahan dengan Malaysia baik

dalam permasalahan batas wilayah perairan dan juga permasalahan pencurian ikan. Dari

beberapa data yang disebutkan sebelumnya, beberapa kapal Malaysia juga tertangkap melakukan

penangkapan ikan di perairan Natuna sehingga memberikan dampak penurunan hasil laut dari

Indonesia.10

Sementara sektor perikanan, menurut Presiden Joko Widodo, selama ini sektor kelautan

dan perikanan di Natuna belum dikembangkan dengan baik. Bahkan, dari laporan yang diterima

8.9% potensi perikanan yang telah dikembangkan di wilayah tersebut. Jokowi mengatakan

bahwa, dirinya mendapat laporan produksi di sektor kelautan dan perikanan di Natuna hanya

9

Banda Haruddin Tanjung, Kapal Malaysia dan Thailand Mencuri Ikan di Natuna,

http://daerah.sindonews.com/read/924692/24/kapal-malaysia-dan-thailand-mencuri-ikan-di-natuna-1416046315/

diakses pada tanggal 02 September pukul 03.15 WIB

10

Bilal Ramadhan, Negara Dirugikan Rp 101 T Dari Pencurian Ikan,

(19)

sebesar 8.9% dari potensi yang Indonesia miliki. Menurut Jokowi, potensi ekonomi sektor

perikanan yang besar di wilayah tersebut perlu didorong dan lebih dipercepat lagi

penangannya.11

Data yang diumumkan FAO tahun 2001 saja menyatakan bahwa negara-negara

berkembang berpotensi kehilangan 25 persen dari stok sumber daya ikannya akibat IUU Fishing.

Indonesia yang pada saat itu memiliki sumber daya ikan hingga sebesar 6.5 juta ton per tahun

sehingga perhitungan angka kerugian yang hilang adalah seperempat dari jumlah atau sebesar

1.6 juta ton. Apabila diasumsikan harga jual ikan di pasar internasional rata-rata 2 dollar AS per

kilogram, maka kerugian pada saat itu juga diperkirakan mencapai 3.2 milliar dolar AS atau

setara Rp 30 Triliun.12

Namun pada saat ini, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan

Perikanan Kementerian Kalautan dan Perikanan atau disingkat Ditjen PSDKP KKP melakukan

kajian yang menyatakan bahwa total kerugian negara per tahun dapat dihitung dari hilangnya

potensi sumber daya ikan yang ditangkap secara illegal dikalikan indeks investasi bidang

perikanan di Indonesia ditambah dengan kerugian terkait ketenagakerjaan. Maka, Ditjen PSDKP

mengemukakan bahwa hasil dari perhitungan tersebut mencapai Rp 101 triliun. Pemerintah

dinilai kehilangan nilai ekonomis dari ikan yang dicuri, Pungutan Hasil Perikanan (PHP) yang

hilang, subsidi BBM yang dinikmati kapal perikanan yang tidak berhak, Unit Pengolahan Ikan

(UPI) kekurangan pasokan bahan baku, sehingga melemahkan upaya pemerintah untuk

11

Ahmad Naufal, Laju Industri Perikanan dan Migas di Natuna Dikebut Pemerintah, http://www.islam-institute.com/laju-industri-perikanan-dan-migas-di-natuna-dikebut-pemerintah/ diakses pada tanggal 07 September 2016 pukul 19.54 WIB

12

(20)

mendorong peningkatan daya saing produk perikanan, serta mata pencaharian nelayan skala kecil

yang kalah bersaing dengan kapal asing.13

Selain itu, terdapat pula aspek kerugian lainnya yaitu, dari aspek ekologis antara lain

kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya, yang disebabkan oleh penggunaan alat

penangkap ikan dan atau alat bantu ikan (API/ABPI) yang tidak ramah lingkungan. Dia juga

menjelaskan bahwa IUU Fishing merupakan salah satu penyebab kapasitas UPI yang sudah

dibangun hanya termanfaatkan sekitar 30-50. Disamping itu, dia juga menjelaskan praktek IUU

Fishing menyebabkan kesulitan bagi otoritas pengelolaan perikanan untuk mendapatkan data

potensi sumber daya perikanan untuk mendapatkan data potensi sumber daya perikanan yang

akurat, untuk mengatur kuota pemanfaatan sumber daya perikanan. Dia berpendapat bahwa

kerugian lain yang tidak kalah penting adalah menimbulkan citra negatif bangsa Indonesia,

karena Indonesia dianggap tidak mampu mengelola sumber daya kelautan dan perikanannya

dengan baik.14

Berdasarkan data KKP, sampai dengan tahun 2014 jumlah kapal pengawas perikanan

yang dimiliki institusi tersebut adalah sebanyak 27 unit. Pada tahun 2012 hari operasional

pengawasan adalah sebanyak 180 hari pelayaran, sedangkan pada 2013 hari operasional menurun

menjadi 115 hari pelayaran. Sementara jumlah kapal yang diperiksa juga menurun dari 4.326

Unit kapal pada 2012 menjadi 3.871 kapal.15

Pencegahan illegal fishing sangat sulit dilakukan karena berbagai hal. Di antaranya

penjagaan perbatasan laut yang kurang optimal. Selain itu, jaringan illegal fishing juga bekerja

(21)

nelayan asing juga termasuk faktor terjadinya illegal fishing. Menurut Susi Pudjiastuti yang

menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan ke – 6 Republik Indonesia, lemahnya sistem

penegakan hukum yang terjadi menjadikan Indonesia lahan bagi nelayan-nelayan asing untuk

berburu ikan di wilayah Indonesia. Kapal-kapal dari Negara tetangga dan termasuk dalam

anggota ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, Filipina, Myanmar, Kamboja, Tiongkok,

Korea, Panama, dan Taiwan menjadikan lahan Indonesia target sasaran untuk menangkap ikan.

C. Rumusan Masalah

Mengapa Kementerian Kelautan Indonesia melakukan tindakan keras kepada nelayan

Malaysia dalam kasus pencurian ikan di perairan Natuna ?

D. Kerangka Pemikiran

1. Konsep Kepentingan Nasional

Morgenthau dalam bukunya yang berjudul politics among nations menyatakan

bahwa “Konsep Kepentingan Nasional” itu dalam dua hal mirip dengan ‘konsep umum’

dalam Konstitusi (Amerika), seperti kesejahteraan umum dan hak perlindungan hukum.

Konsep itu memuat arti minimum yang inheren di dalam konsep itu sendiri, tetapi di luar

pengertian itu konsep tersebut bisa diartikan dengan berbagai macam hal yang secara

logis berpadanan dengannya. Isi konsep itu ditentukan oleh tradisi politik dan konteks

kultural keseluruhan di dalam mana suatu negara merumuskan politik luar negerinya.16

Arti minimum yang inheren di dalam konsep kepentingan nasional adalah

kelangsungan hidup. Dalam pandangan Morgenthau, kemampuan minimum negara –

bangsa adalah melindungi identitas fisik, politik dan kulturalnya dari gangguan negara –

bangsa lain. Diterjemahkan dalam pengertian lebih spesifik, negara – bangsa harus bisa

16

(22)

mempertahankan integritas teritorialnya (yaitu identitas fisiknya); mempertahankan rezim

ekonomi – politiknya (yaitu identitas politiknya) yang mungkin saja demokratis, otoriter,

sosialis, atau komunis, dan sebagainya; serta memlihara norma – norma etnis, religious,

linguistic, dan sejarahnya (yaitu, identitas kulturalnya). Menurut Morgenthau, dari

tujuan-tujuan umum ini para pemimpin suatu negara bisa menurunkan

kebijaksanaan-kebijaksanaan spesifik terhadap negara lain, baik yang bersifat kerja sama maupun

konflik.17

Dalam kasus ini, Indonesia mengaplikasikan teori konsep kepentingan

nasionalnya dengan cara mengeluarkan kebijakan untuk menindak tegas atau dengan

tindakan penenggelaman kapal kepada para nelayan asing yang melakukan tindakan

pencurian ikan, terutama nelayan dari Malaysia yang mana sebagian besar nelayan yang

melakukan pencurian ikan berasal dari Malaysia.

2. Konsep Kemanan Maritim

Secara umum, ancaman yang bisa terjadi di laut (maritime threat) dibagi dua

yaitu, State dan Non-State.

State Threat : berupa peperangan (blockage and commerce raiding) dan

yang bukan peperangan adalah perselisihan tapal batas (international

boundary dispute)

Non-State Threat :

1. Ancaman dari alam, berupa perubahan cuaca yang drastis yang

menyebabkan topan di samudera dapat membahayakan aktifitas di

laut, gempa bumi dan tsunami.

17Mohtar as’oed, il u hubu ga i ter asio al disipli da etodologi, diakses pada Agustus 6 pukul .4

(23)

2. Aktifitas manusia, berupa penyelundupan manusia, perdagangan

narkoba, dan pencurian ikan (Illegal Fishing).

3. Aktifitas manusia yang membahayakan perdagangan internasional:

pembajakan di laut, laut bebas menjadi daerah tak bertuan dengan

manusia perahu bersenjata di sekeliling kapal dagang.

Barry Buzan yang dalam bukunya “People, States, and Fear: An Agenda for

Dalam konteks sistem internasional maka keamanan adalah keamanan adalah

kemampuan negara dan masyarakat untuk mempertahankan identitas kemerdekaan dan

integritas fungsional mereka. Untuk mencapai keamanan, terkadang negara dan

masyarakat berada dalam kondisi harmoni atau sebaliknya. Dalam studi Hubungan

Internasional dan politik internasional, keamanan merupakan konsep yang penting yang

selalu dipergunakan dan dipandang sebagai ciri eksklusif yang konstan dari hubungan

internasional. 19

Penyimpulan Buzan, menyebutkan bahwa aspek kemanan ini telah menjadi satu

pendekatan dengan menunjuk pada motif utama perilaku suatu negara, yang memiliki

18

Barry Buzan: People, “tates, and Fear: An Agenda for International “ecurity “tudies in the Post Cold War Era , 1991, diakses pada tanggal 04 September 2016 pukul 21.09 WIB

19

(24)

perbedaannya sendiri dengan power sebagai kondisi yang dibutuhkan untuk terciptanya

perdamaian. Landasan utama dalam pendekatan ini yaitu, lensa keamanan (security),

yang dapat diartikan sebagai pelaksanaan kemerdekaan atas suatu ancaman tertentu dan

kemampuan suatu negara dan masyarakatnya untuk mempertahankan identitas

kemerdekaan dan integritas fungsional mereka terhadap kekuatan-kekuatan tertentu yang

mereka anggap bermusuhan (hostile).20

Meskipun terdapat tiga tingkatan keamanan dalam problem kehidupan manusia

yaitu, (1) kemanan individu, (2) kemanan nasional, dan (3) kemanan internasional,

namun pada dasarnya konsep inti dari ketiga tingkatan tersebut adalah keamanan

nasional. Hal ini karena negara merupakan titik sentral yang mendominasi regulasi

hubungan maupun kondisi kemanan di antara kedua level lainnya.21

Keamanan (security) yang dimaksud, dapat dibedakan dengan konsep pertahanan

(defense) yang memiliki kesamaan dari segi tujuannya yaitu, kemerdekaan atas ancaman yang mengganggu kebebasan dalam melaksanakan kedua konsep di atas, dimana

keamanan biasanya lebih bersifat preventif dan antisipatif dalam merespon ancaman

dibandingkan pertahanan.22

Lebih lanjut, Menurut Barry Buzan dkk tahun 1998, Konsep Keamanan Maritim

adalah sebuah pendekatan dalam penanganan dan penegakkan hukum kemaritiman pada

(25)

suatu aspek tertentu diantaranya, termasuk aspek kedaualtan, teritorial, identitas negara

hingga politik dan ekonomi.23

Dalam kasus ini, Indonesia mengaplikasikan konsep keamanan maritimnya

dengan cara melakukan tindakan keras pada nelayan Malaysia, karena sudah mengancam

keamanan maritim Indonesia dengan mencuri ikan di perairan Natuna dan Indonesia

melakukan hal tersebut untuk penegakkan hukum yang sudah diatur dalam

Undang-Undang Republik Indonesia.

E. Hipotesa

- Kementerian Kelautan Indonesia melakukan tindakan keras kepada nelayan

Malaysia dalam kasus pencurian ikan di perairan Natuna karena menganggap

nelayan Malaysia sudah mengganggu kepentingan nasional Negara Indonesia

dengan mencuri ikan di wilayah Indonesia terutama di perairan natuna yang

secara tidak langsung merugikan Negara Indonesia.

- Kementerian Kelautan Indonesia melakukan tindakan keras kepada nelayan

Malaysia dalam kasus pencurian ikan di perairan Natuna karena karena sudah

mengancam keamanan maritim Indonesia dengan mencuri ikan di perairan

Natuna dan Indonesia melakukan hal tersebut untuk penegakkan hukum yang

sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia.

F. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara objektif tentang sebuah

permasalahan tertentu. Penulisan skripsi ini bertujuan antara lain untuk :

23

(26)

1. Untuk menempuh gelar sarjana di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2. Mengetahui seberapa besar kerugian yang dialami oleh Negara Indonesia akibat dari

adanya kasus pencurian ikan dan dampaknya bagi perekonomian Indonesia

3. Mengetahui langkah-langkah Pemerintah Indonesia dalam menangani permasalahan

illegal fishing dan mengaplikasikannya dengan sisi teoritis yang diperoleh selama

mengikuti perkuliahan.

G. Jangkauan penelitian

Jangkauan penelitian ini adalah selama Presiden Joko Widodo dan Menteri Susi

pudjiastuti menjabat (tahun 2014 sampai dengan tahun 2016)

H. Metode penelitian

Teknik yang digunakan oleh penulis adalah dengan studi perpustakaan yang bersumber

dari berbagai literature yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan baik itu berupa

buku, jurnal ilmiah, surat kabar dan majalah. Selain itu, pencarian data juga dilakukan dengan

melakukan searching di berbagai sumber data media online.24

24“uharso o, Metode Pe elitia “osial , Be ta g Budaya, 996, Yogyakarta diakses pada ta ggal Agustus 6

(27)

I. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pertama ini terdiri dari alasan pemilihan judul, latar belakang masalah,

perumusan masalah, kerangka pemikiran, argumen pokok, teknik pengumpulan

data,tujuan penelitian, jangkauan penelitian,dan sistematika penulisan.

BAB II Berisi tentang gambaran umum Indonesia sebagai negara maritim yang terdiri

dari, posisi strategis Indonesia, peraturan wilayah negara kepulauan, definisi

masalah pencurian ikan (illegal fishing).

BAB III Menguraikan kasus pencurian ikan yang terdiri dari, kasus pencurian di wilayah

Indonesia, dan fakta-fakta tentang pendapatan di Natuna terhadap nilai ekonomi

Indonesia

BAB IV Menguraikan alasan pemerintah Indonesia melakukan tindakan keras kepada

nelayan Malaysia dalam kasus pencurian ikan.

BAB V KESIMPULAN

Berisi rangkuman – rangkuman sebagai hasil pembahasan dibab – bab

sebelumnya. (BAB II hingga BAB IV), sekaligus merupakan penutup dalam

(28)

BAB II

Gambaran Umum Indonesia Sebagai Negara Maritim dan Masalah

Pencurian Ikan

Dalam bab ini penulis akan memaparkan posisi strategis Indonesia, batas-batas perairan

teritorial negara-negara yang mempunyai kepulauan, seperti: Laut Teritorial, Landas Kontinen,

Garis Imajiner, ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), dan Hukum yang mengatur tentang perbatasan,

kelautan dan perikanan dan definisi Illegal Fishing secara umum.

A. Posisi Strategis Indonesia

Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya alam hayati maupun

non hayati. Letak Indonesia yang berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia

merupakan jalur lalu lintas palayaran internasional. Sumber daya hayati laut yang terkandung

didalamnya sangat potensial, baik untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan

lainnya.

Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil dari Samudera Indonesia hingga Samudera

Pasifik. Ini menjadikan memiliki lautan yang luas sekitar 3.166.080 km2 perairan. Lautan

Indonesia memiliki batas sesuai Hukum Laut Internasional, dengan menggunakan teritorial laut

sepanjang 12 mil laut serta Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang 200 mil laut (searah dengan

penjuru mata angin). Luasnya lautan Indonesia ini seharusnya membawa keberkahan bagi bangsa

Indonesia. Sumber daya alam yang terkandung dilautan sangat banyak sekali dan ini seharusnya

bisa digunakan untuk mensejahterakan rakyat bangsa Indonesia.1

Indonesia disebut juga sebagai Nusantara, hal ini karena Indonesia terdiri atas

pulau-pulau yang berjumlah 17.508 pulau-pulau. Nusantara sendiri memiliki arti kepulau-pulauan yang terpisah

1

(29)

oleh laut atau bangsa-bangsa yang terpisah oleh laut. Luas wilayah negara Indonesia menjadi

daya tarik tersendiri untuk para wisatawan, baik itu domestik maupun mancanegara. Tidak

sedikit dari mereka yang memiliki rencana untuk berkeliling Indonesia dan menikmati keindahan

alam serta keanekaragaman flora fauna disetiap daerah-daerah di Indonesia yang mereka

kunjungi.

B. Peraturan Luas Wilayah Negara Kepulauan

Sebelum diadakannya Konferensi Hukum Laut III (1974-1982), pemerintah RI berhasil

mengadakan perjanjian Garis Batas Landas Kontinen dengan negara-negara tetangga seperti

Malaysia, Thailand, India, Singapura, Papua Nugini & Australia. Dengan maksud agar Perjanjian

dengan negara-negara tetangga itu dapat menjadi customary law, sehingga pada gilirannya dapat

mendukung law making treaties dari Konsepsi Negara Kepulauan yang dianut Indonesia

berdasarkan UU No. 4 Prp Tahun 1960 pada KHL III yang sedang berlangsung hingga menjadi

Konvensi Hukum Laut yang baru. Bahkan dengan Malaysia perjanjian dilakukan pertama kali

pada tanggal 27 Oktober 1969 mengenai Garis Batas Landas Kontinen di Laut Cina Selatan dan

Selat Malaka.2

Namun, perundingan tentang Garis Batas Landas Kontinen di Laut Sulawesi yang

dilanjutkan sesudah penandatanganan perjanjian itu menjadi tertunda. Penundaan ini terjadi

karena Malaysia menolak usul Indonesia agar Garis Batas Landas Kontinen kedua negara ditarik

garis lurus dari batas pulau Sebatik yang sudah ditetapkan pada tahun 1891 oleh Inggris dan

Belanda. Jika usul tersebut diterima, maka pulau Sipadan & Ligitan akan menjadi bagian dari

Indonesia. Akan tetapi, letak kedua pulau lebih dekat dekat pantai Sabah dari pada Pulau

Sebatik. Dalam UU No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Wilayah Perairan Indonesia, kedua pulau itu

tidak ditetapkan sebagai lokasi dari titik pangkal untuk menarik Garis Pangkal dalam

2

(30)

menetapkan Laut Teritorial Indonesia, karena bukan milik Indonesia. Kedua Delegasi dalam

perundingan itu akhirnya sepakat untuk memperlakukan kedua pulau itu dalam keadaan

status-quo, dan perundingan ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan.3

Kesepakatan kedua delegasi itu tidak pernah lagi dikontrol oleh pemerintah Indonesia,

sehingga pembangunan objek wisata diving yang dilakukan Malaysia secara diam-diam sejak

tahun 1980-an di kedua pulau itu, baru diketahui Indonesia ketika Menlu Ali Alatas menjabat

dan menyampaikan protes resmi pembangunan itu agar dihentikan pada tanggal 5 Juni 1991, tiga

tahun setelah status-quo itu diperkuat oleh Komunike Bersama Soeharto-Mahatir di Yogyakarta

pada tahun 1988. Protes Indonesia diabaikan Malaysia inilah yang menyebabkan kedua negara

akhirnya sepakat untuk membawa masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada

Mahkamah Internasional (1997-2002), sedangkan yang menjadi masalah pokok kedua negara

adalah mengenai garis batas Landas Kontinen mereka, yang justru tidak dibawa ke Mahkamah.4

Sebelumnya, Indonesia telah mengeluarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Wilayah

Perairan Indonesia yang baru menggantikan UU No. 4 Tahun 1960, yang kemudian dilengkapi

dengan PP No. 38 Tahun 2002 tentang Titik Dasar (TD) dari Garis Dasar Kepulauan Indonesia,

yang memasukkan Pulau Sipadan (TD No. 36 A) dan Pulau Ligitan (TD No. 36 B dan 36 C).

Akan tetapi, UU dan PP yang baru dikeluarkan itu menjadi tidak berarti setelah Mahkamah

Internasional (MI) memutuskan kedua pulau itu menjadi milik Malaysia pada tanggal 17

Desember 2002.5

Pada tanggal 24 Februari 1998, atau tepatnya menjelang akhir kekuasaan Soeharto di

Indonesia, Pertamina sidah memberikan konsesi pada Perusahaan Minyak Italia ENI Bukat Ltd

(31)

Ambalat Ltd untuk melakukan eksplorasi minyak di wilayah Ambalat pada tanggal 27 Februari

1999 (masa Presiden BJ Habibie, karena Soeharto berkuasa hanya sampai bulan Mei 1998).

Akan tetapi, sampai sekarang kedua perusahaan minyak Italia itu belum melakukan kegiatannya

di wilayah Bukat dan Ambalat. Malaysia yang menang di Mahkamah Internasional (MI) dalam

kasus Sipadan dan Ligitan dan terjadinya vacuum of activity di wilayah Bukat dan Ambalat

itulah yang telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Malaysia melalui Petronas untuk mengklaim

wilayah yang luasnya meliputi 4.175 kilometer persegi itu sebagai Zona Y Landas Kontinen

Malaysia dengan memberikan konsesi pada Perusahaan Minyak Inggris – Belanda Shell pada

tanggal 16 Februari 2005. Pemerintah Indonesia melakukan protes karena wilayah tersebut

konsesinya telah diberikan Pertamina sejak tahun 1998 pada Perusahaan Minyak Italia ENI

Bukat Ltd dan ENI Ambalat Ltd dan tidak mendapat protes dari Malaysia.6

Pada tanggal 28 Februari 2005, Perdana Menteri (PM) Malaysia Abdullah Ahmad

Bedawi, menyatakan bahwa wilayah itu berada dalam Landas Kontinen Malaysia berdasarkan

Peta Malaysia tahun 1979 yang diukur dari garis lurus (straight base lines) ditarik dari titik batas

Pulau Sebatik ke Pulau Sipadan dan Ligitan, pernyataan tersebut sekaligus menjawab protes

Pemerintah Indonesia. Sedangkan cara menarik garis lurus tersebut menurut Pemerintah

Indonesia hanya dapat dilakukan oleh negara kepulauan seperti Indonesia, sedangkan Malaysia

hanya sebuah negara semi-kontinen. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, Malaysia harus

menentukan Laut Teritorial dan Garis Batas Landas Kontinennya itu dari garis air surut di

sepanjang pantai Sabah.7

Terjadinya tumpang tindih tuntutan antara RI-Malaysia di wilayah Bukat dan Ambalat

(4.175 kilometer persegi), sebagai akibat belum tercapainya kesepakatan Garis Batas Landas

6

Ibid

7

(32)

Kontinen kedua negara yang sudah dirundingkan sejak bulan November 1969. Namun,

perundingan itu menjadi tertunda sampai sekarang karena pada saat itu kedua negara berbeda

dalam cara penarikan garis batas itu. Di satu pihak Indonesia menginginkan agar garis batas itu

dilanjutkan dari garis batas darat yang ditetapkan oleh Perjanjian Bilateral Inggris-Belanda pada

tahun 1891. Sementara Malaysia menolak usul Indonesia itu dengan alasan Perjanjian tersebut

hanya membagi wilayah darat Pulau Sebatik. Kalau garis lurus itu dipergunakan sebagai garis

batas, akan menyebabkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang tidak berpenghuni tersebut

termasuk dalam bagian dari Landas Kontinen Indonesia. Padahal kedua pulau itu berdasarkan

UU No. 4 Prp Tahun 1960 bukanlah milik Indonesia, karena tidak dijadikan sebagai Titik Dasar

dari Garis Dasar Laut Teritorial Indonesia. Meskipun, letak kedua pulau itu lebih dekat ke pantai

Sabah dari pada ke Pulau Sebatik, namun sampai saat itu Malaysia belum juga memasukkannya

ke dalam wilayah Malaysia. Dengan demikian, kesepakatan yang dicapai oleh kedua pulau itu

berada dalam keadaan status quo sampai tercapai kesepakatan tentang Perjanjian Garis Batas

Landas Kontinen oleh kedua Negara.8

1. Laut Teritorial

Laut Teritorial sendiri adalah bagian laut terletak pada sisi luar dari garis pangkal atau

garis dasar (base lines) dan di sebelah luarnya dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit).

Maksud garis pangkal adalah garis yang ditarik pada pantai waktu air laut surut.

Ditetapkannya pada waktu air laut surut, karena garis air laut surut adalah merupakan batas

(33)

Pada tahun 1930 diselenggarakan Konferensi Kodefikasi Hukum Internasional di Den

Haag, Belanda, yang diprakarsai oleh Liga Bangsa-Bangsa (Sebelum berubah menjadi PBB).

Salah satu materi hukum internasional yang dikodifikasi adalah tentang lebar Laut Teritorial.

Akan tetapi, negara-negara peserta Konferensi ternyata gagal mencapai kata sepakat tentang

lebar Laut Teritorial yang seragam, sehingga keadaan yang serba tidak pasti tersebut atau

status quo masih berlangsung. Sampai dengan berakhirnya Perang Dunia II atau sampai

dengan berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945 dan sesudahnya. Bahkan

perlombaan negara-negara dalam mengklaim lebar Laut Teritorial yang melebihi dari batas

tiga mil laut justru semakin menjadi-jadi, yang antara lain didorong oleh kondisi perang

dingin antara Blok Barat dan Blok Timur maupun oleh kemajuan teknologi kelautan yang

terus meningkat sehingga masalah kelautan semakin bertambah kompleks, hingga akhirnya

Lebar Laut Teritorial tiga mil laut dipandang sudah tidak memadai lagi.10

Pada tanggal 1958 diselenggarakanlah Konferensi Hukum Laut di Jenewa atas prakarsa

Perserikatan Bangsa-Bangsa yang salah satu materinya yang dibahasadalah tentang lebar

Laut Teritorial. Konferensi ini juga mengalami kegagalan untuk mencapai kata sepakat

tentang lebar Laut Teritorial, seperti halnya Konferensi Den Haag 1930. Usaha untuk

mencapai kesepakatan tentang lebar Laut Teritorial ini juga diulangi lagi dengan

menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut di Jenewa 1960, atas prakarsa PBB juga, yang

secara khusus membahas tentang lebar Laut Teritorial. Konferensi tersebut juga mengalami

kegagalan, sehingga maslaah lebar Laut Teritorial dalam keadaan status quo. Barulah dalam

Konferensi Hukum Laut PBB tahun 1974-1982, atas prakarsa PBB, lebar Laut Teritorial

disepakati, yakni sejauh 12 mil laut diukur dari garis pangkal.11

10

I Wayan Parthiana, Op.cit hlm 154, diakses pada tanggal 14 Agustus 2016 pukul 00.11 WIB

11

(34)

Mengenai garis pangkal, dalam hukum laut internasional dikenal tiga macam garis

pangkal, yaitu: (a) Garis pangkal normal; (b) Garis pangkal lurus dan; (c) Garis pangkal

kepulauan.12

a) Garis pangkal normal

Adalah garis pangkal yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dengan

mengikuti lekukan-lekukan pantai. Dengan demikian, arah dari garis pangkal normal ini

adalah sejajar dengan arah atau lekukan pantai tersebut. Untuk mengukur dan

menentukan lebar Laut Teritorial, ditarik garis tegak lurus dari garis pangkal normal ke

arah luar atau ke arah laut sesuai dengan lebar Laut Teritorial masing-masing negara.

Titik-titik atau garis pada bagian terluar itulah yang disebut garis luar atau batas laut

(outer limit) Laut Teritorial. Garis luar atau batas luar ini merupakan garis yang selalu

sejajar dengan garis pangkal oleh karena ditarik pada titik-titik yang ada pada garis

pangkal secara tegak lurus ke arah luar atau ke arah laut. Garis pangkal normal ini

merupakan garis pangkal tertua yang pertama kali dikenal dalam sejarah pengukuran

lebar Laut Teritorial.13

b) Garis pangkal lurus

Perbedaan garis pangkal lurus dengan garis pangkal normal terletak pada

penarikannya yang tidak mengikuti lekukan pantai melainkan dengan menghubungkan

titik-titik atau ujung-ujung terluar dari pantai. Itulah sebabnya, garis pangkal lurus ini

disebut juga garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight base line from point to

12

Ibid, diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pada pukul 15.50 WIB

13

(35)

point). Penarikan garis pangkal lurus dilakukan pada pantai-pantai yang berliku-liku atau

jika di depan pantai tersebut terdapat pulau, deretan atau gugusan pulau.14

Dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 ternyata garis pangkal lurus ini

dikukuhkan sebagai salah satu garis pangkal yang dapat diterapkan dalam pengukuran

lebar Laut Teritorial, di samping garis pangkal normal. Hal ini dimuat dalam Pasal 4-5

Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan. Dengan isi dan jiwa yang sama,

garis pangkal lurus inipun masih tetap diakui di dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982

tepatnya terletak di dalam Pasal 7.15

Pasal 7 Konvensi Hukum Laut PBB 1982:

 Penarikan garis pangkal lurus tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah

umum pantai, kecuali karena alasan hak-hak ekonomi (economic rights) dan

hak-hak sejarah (historic rights) yang memang sudah dinikmati jauh sebelumnya oleh

negara yang bersangkutan;

 Bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal lurus harus

cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat ditundukkan pada rezim

perairan pedalaman (internal waters);

 Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari elevasi surut (low tide elevation)

kecuali jika di atas elevasi surut tersebut didirikan mercusuar atau instalasi yang

serupa yang secara permanen selalu tampak di atas permukaan laut;

14

Ibid

15

(36)

 Garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan dengan cara sedemikian rupa

sehingga memotong hubungan laut teritorial negara lain dari laut lepas atau Zona

Ekonomi Eksklusif.16

Pembatasan-pembatasan tersebut hanyalah bersifat umum saja, sehingga masih

belum jelas bagaimana gambaran yang sebenarnya. Dalam prakteknya, tentu saja

masing-masing negara akan menyesuaikan pembatasan-pembatasan tersebut dengan situasi dan

kondisi geografis pantainya.

c) Garis pangkal kepulauan (archipelagic base line)

Garis pangkal kepulauan (archipelagic base line) ini mulai diakui prinsipnya

dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 tepatnya dalam Pasal 46-54. Hal ini tentu saja

tidak bisa dilepaskan dari perjuangan negara-negara kepulauan yang dipelopori oleh

Indonesia, Filipina, Fiji, Mauritius, dan didukung oleh negara-negara kepulauan

lainnya.17

Pengaturan tentang garis pangkal kepulauan ini terdapat dalam Pasal 47 Konvensi

Hukum Laut PBB 1982 yang sekaligus menentukan syarat dan pembatasan dalam

penarikannya. Menurut ayat 1 dalam pasal tersebut, menjelaskan bahwa, suatu negara

dapat menarik garis pangkal kepulaua yang menghubungkan titik-titik dengan ketentuan,

bahwa perbandingan antara daratan dan perairannya, adalah satu berbanding sembilan.

Sedangkan dalam ayat 2, dijelaskan tentang batas maksimum dari garis pangkal

kepulauan yaitu, tidak boleh melebihi dari 100 mil laut. Kalaupun ada diantara garis

pangkal kepulauan itu yang melebihi 100 mil laut, jumlahnya tidak boleh lebih dari 3%

dari jumlah seluruh garis pangkal kepulauan tersebut, tetapi panjang maksimumnya tidak

16

Ibid, diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 15.52 WIB

17

(37)

boleh melebihi dari 125 mil laut. Dalam ayat 3 dijelaskan, bahwa penarikan garis pangkal

kepulauan ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum dari kepulauan

tersebut. Dalam ayat 4 dijelaskan, bahwa larangan untuk menjadikan elevasi surut (low

tide elevation) sebagai titik untuk menentukan atau menarik garis pangkal, kecuali jika di

atasnya didirikan mercusuar atau instalasi yang serupa dan secara permanen berada di

atas permukaan laut, atau apabila elebasi surut tersebut terletak sepenuhnya atau sebagian

pada suatu jarak yang tidak melebihi dari lebar Laut Teritorial diukur dari pulau yang

terdekat. Terakhir dalam ayat 5 dijelaskan, yaitu garis pangkal kepulauan itu tidak boleh

diterapkan jika penerapan itu akan mengakibatkan terpotongnya Laut Teritorial negara

lain dari Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif.18

Suatu negara kepulauan disamping dapat menerapkan garis pangkal kepulauan, juga masih

dapat menerapkan garis pangkal normal maupun garis pangkal lurus pada pantai-pantainya yang

berdasarkan Konvensi, memang sepantasnya tepat diterapkan masing-masing garis pangkal

tersebut. Lebar Laut Teritorial akan mengelilingi seluruh garis pangkalnya (garis pangkal lurus,

normal, maupun kepulauan) dengan kata lain, mengelilingi seluruh bagian luat dari Negara

kepulauan. Bagian laut yang terletak di sebelah dalam dari garis pangkal kepulauan disebut

dengan perairan kepuluan (archipelagic waters). Indonesia, perairan tersebut disebut Perairan

Nusantara. 19

2. Landas Kontinen

Landas Kontinen, sebenarnya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dunia yang

semakin pesat secara otomatis membuat kebutuhan manusia semakin bertambah. Untuk

18

Ibid, hlm. 163 diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 15.54 WIB

19

(38)

memenuhi keperluan tersebut, negara-negara pantai tidak hanya cukup dengan memiliki Laut

Teritorial saja, melainkan lebih jauh dari pantai yang disebut Landas Kontinen.20

Pranata hukum tentang Landas Kontinen, secara formal mulai dikenal semenjak Presiden

Amerika Serikat, Henry S. Truman pada tanggal 28 September 1945 yang mengeluarkan

suatu deklarasi atau proklamasi mengenai dua hal, yakni Proklamasi tentang Landas

Kontinen dan Proklamasi tentang Perikanan. Adapun isi dari Proklamasi Truman secara

singkat, adalah Amerika Serikat merasa berkepentingan untuk mengamankan dan

memanfaatkan sumber daya alam dari dasar laut dan tanah di bawahnya yang disebut dengan

Landas Kontinen yang terletak di bawah laut lepas tetapi merupakan kelanjutan dari Amerika

Serikat. Oleh karena itu, Amerika Serikat memiliki yurisdiksi dan pengawasan Landas

Kontinen tersebut. Jika Landas Kontinen itu sampai meluas pada pantai negara lain di

hadapannya ataupun berdampingan dengan pantai negara tetangganya maka garis batasnya

akan ditentukan oleh Amerika Serikat dengan negara-negara yang bersangkutan sesuai

dengan prinsip keseimbangan. Status dan sifat dair laut di atasnya sebagai laut lepas akan

tetap dihormati oleh Amerika Serikat.21

Landas Kontinen yang dimaksud oleh Proklamasi Truman adalah Landas Kontinen dalam

pengertian yurisdiksi yang berbeda dengan Landas Kontinen dalam pengertian geologis.

Dalam pengertian geologis yang disebut Landas Kontinen itu meliputi keseluruhan dasar laut

dan tanah dibawahnya yang terletak di bawah perairan laut, baik yang terletak di bawah area

Laut Teritorial maupun di luarnya. Landas Kontinen hanyalah dua benua saja, sedangkan

20“ya su ar Da : Politik Kelauta , Bu i Aksara, Jakarta, , hl . diakses pada Agustus 6 pukul

23.23 WIB

21H. W Briggs: The Law Of Natio s: Cases, Do u e ts, a d Notes , “e o d

(39)

pulau tidak memiliki Landas Kontinen. Sesuai dengan namanya yaitu Kontinen (continent)

yang artinya benua. Jadi secara geologis, Landas Kontinen sama dengan Landas Benua.22

Ternyata Proklamasi Truman ini tidak menimbulkan protes dari negara-negara lain.

Negara-negara di kawasan dunia lainnya, kemudian mengikuti jejak dan langkah Amerika

Serikat ini namun dengan isi dan rumusan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Namun

ada tiga negara Amerika Latin, yakni Chile, Equador, dan Peru, dalam Konferensinya di

Cuidad-Truillo pada tahun 1952, memproklamasikan klaimnya yang sangat ekstrim atas

lautan dengan menyatakan, bahwa kawasan lautan (perairan dan dasar laut serta tanah di

bawahnya dalam jarak 200 mil laut dari pantainya merupakan kedaulatannya.23

Klaim ekstrim tersebut, untuk ukuran waktu itu, ditentang habis-habisan oleh banyak

negara di dunia. Barulah dalam Konferensi Hukum Laut di Jenewa pada tahun 1958 Landas

Kontinen menjadi salah satu pokok pembahasan. Konferensi mencapai kata sepakat dan

lahirlah Konvensi tentang Landas Kontinen. Pasal 1 Konvensi menegaskan pengertian

Landas Kontinen, yakni dasar laut dan tanah di bawahnya yang bersambungan dengan pantai

tetapi di luar daerah Laut Teritorial, sampai pada kedalaman 200 meter atau lebih, sepanjang

kedalaman air laut di atasnya masih memungkinkan untuk dapat mengeksplorasinya dan

mengeksploitasi sumber daya alamnya. Termasuk pula dalam pengertian Landas Kontinen

ini adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar daerah Laut Teritorial

sebuah pulau. Pengertian Landas Kontinen ini adalah dalam arti yuridis yang berbeda dengan

dalam arti geologis.24

22I Waya Parthia a: Pe ga tar Huku I ter asio al , Ma dar Maju, Ba du g, hl . diakses pada

tanggal 15 Agustus 2016 pukul 19.06 WIB

23

Mochtar Kusumaat adja: Masalah Lebar Laut Teritorial Pada Ko fere si-Konferensi Hukum Laut di Jenewa

9 da 96 , PT Pe erbita U i ersitas, Ba du g, 96 , hl . -21

24

(40)

Tegasnya, kriteria dari Landas Kontinen dalam arti yuridis ini menurut Pasal 1Konvensi

ini adalah:

a. Dibatasinya dasar laut dan tanah di bawahnya yang merupakan Landas Kontinen,

yakni hanya meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar area Laut

Teritorial. Jadi tidak meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di

bawah area Laut Teritorial. Oleh karena secara yuridis dasar laut dan tanah di

bawahnya ini sudah merupakan bagian wilayah negara pantai, meskipun secara

geologis merupakan Landas Kontinen.

b. Ditentukannya kriteria kedalaman 200 meter atau lebih dalam pengeksplorasian dan

pengeksploitasiannya, atau disebut juga dengan kriteria exploitability, suatu kriteria

yang sangat relatif sehingga pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian tentang batas

terluar dari Landas Kontinen tersebut.

c. Diperluasnya pengertian Landas Kontinen ini pada pulau; tegasnya pulaupun secara

yuridis memiliki Landas Kontinen, sedangkan secara geologis pulau tidak memiliki

Landas Kontinen.25

Pada Landas Kontinen inilah negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi

Landas Kontinennya dan mengeksploitasi sumber daya alamnya. Negara-negara lain tidak

boleh melakukan hal yang sama pada Landas Kontinen tersebut tanpa ijin atau persetujuan

dari negara pantai yang bersangkutan. Negara pantai hanya memiliki hak ekslusif atas

sumber daya alamnya saja, sedangkan atas Landas Kontinennya negara pantai sama sekali

tidak memiliki kedaulatan, mengingat statusnya yang bukan merupakan wilayah negara.26

25

Ibid, hlm. 181 diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 19.35 WIB

26

(41)

Namun, dari ketentuan Pasal 1 tersebut, sama sekali tidak tampak jelas batas terluarnya.

Hal ini disebabkan karena batas terluar itu digantungkan pada kriteria kedalaman air laut di

atasnya sampai pada batas 200 meter atau lebih, sepanjang masih dimungkinkan untuk

mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alamnya. Akibatnya, hal tersebut menjadi

sangat relatif, oleh karena kemampuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi tersebut sangat

tergantung pada kemajuan teknologi kelautannya masing-masing. Apabila suatu negara

teknologi kelautannya sangat maju, maka negara tersebut akan mampu mengeksplorasi dan

mengeksploitasinya sampaipada kedalaman yang sangat dalam dan jauh ke tengah lautan,

sehingga Landasan Kontinennya menjadi sangat jauh dan sangat luas. Secara otomatis

keadaan tersebut membuat negara- negara pantai yang tergolong negara maju (developed

countries) menikmati secara maksimal dan optimal atas sumber daya alam dari Landas

Kontinen yang sedemikian luasnya. Sebaliknya, negara-negara yang termasuk ke dalam

golongan sedang berkembang (developing countries), walaupun secara yuridis mempunyai

Landas Kontinen, hanya dapat menguasai Landas Kontinen yang terbatas karena

keterbatasan teknologi. Meskipun dapat saja dilakukan eksploitasi atas sumber daya alam

dari Landas Kontinennya, misalnya dengan memberikan ijin atau konsesi pada negara atau

perusahaan-perusahaan dari negara yang teknologinya sudah maju, hal ini akan menimbulkan

ketergantungan yang terus menerus yang pada akhirnya akan merugikan negara-negara itu

sendiri. Di samping itu, ada pula sekelompok negara yang sama sekali tidak berpantai

(land-lock states) sebagian dari negara yang tidak berpantai tersebut merupakan negara-negara

yang sedang berkembang, dan sama sekali tidak memiliki Landas Kontinen, sehingga sama

sekali tidak dapat menikmati sumber daya alam yang terkandung dalam lautan, termasuk

(42)

negara yang secara geografis tidak beruntung (geographically disadvantage states), yaitu

negara-negara yang pantainya berhadapan dengan pantai negara-negara lain dimana laut

diantara pantai negara-negara itu lebarnya sama dengan atau mungkin lebih kecil dari jumlah

lebar Laut Teritorial kedua negara. Negara-negara ini sama sekali tidak memiliki Landas

Kontinen, misalnya, Singapura, Irak, dan Kuwait. Negara-negara tersebut mendapat

perlakuan tidak adil dari Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958.27

Kemudian, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai menaruh perhatian yang serius dan

sungguh-sungguh atas masalah kelautan, antara lain dengan melakukan studi yang mendalam

atas dasar laut dan tanah di bawahnya serta dasar samudera-dalam di luar yurisdiksi nasional.

Berkembang menjadi studi yang intensif dan mendalam serta terintegrasi atas keseluruhan

masalah kelautan dalam rangka membentuk prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah Hukum Laut

Internasional baru yang akan diformulasikan dalam sebuah Konvensi Hukum Laut

Internasional. Singkatnya, Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang

dimulai di Caracas, Venezuela, pada tahun 1973, selanjutnya diteruskan di Jenewa dan New

York, sampai pada akhirnya disepakati dnaskah Konvensi yang kemudian ditandatangani di

Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982.28

Kelebihannya adalah jika dibandingkan dengan Konvensi tentang Landas Kontinen 1958

adalah tentang garis atau batas luar Landas Kontinen sudah ditetapkan dengan tegas,

sehingga terjamin adanya kepastian hukum bagi semua pihak. Sedangkan dasar laut dan

tanah di bawahnya yang terletak di luar yurisdiksi nasional, yang dalam Konvensi Hukum

27

Ibid, hlm. 183 diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 21.40 WIB

28

(43)

Laut PBB 1982 dikenal juga dengan sebutan kawasan (the area) berstatus sebagai warisan

bersama umat manusia (common heritage of mankind).29

Kesulitan Umum yang dihadapi oleh negara-negara pantai yang mempunyai Landas

Kontinen, adalah bagi negara-negara yang berhadapan atau berdampingan yang menyangkut

batas-batas Landas Kontinen yang merupakan jurisdiksi nasional mereka masing-masing.

Misalnya, bagi negara-negara tepi Laut Cina Selatan dan Teluk Siam di kawasan Asia –

Pasifik. Di kawasan tersebut banyak sekali wilayah laut yang belum dapat ditentukan

batas-batasnya oleh negara-negara tepi, sehingga menjadi daerah sengketa.30

Di lain pihak, terdapat pula prinsip garis tengah, yang menyatakan bahwa garis batas,

harus mempunyai jarak yang sama dari masing-masing garis dasar negara-negara yang

berhadapan atau berdampingan. Konvensi Hukum Laut yang baru telah memberikan

pedoman bahwa masalah garis batas merupakan wewenang negara pantai yang bersangkutan

untuk menyelesaikannya secara bilateral atau multilateral. Dalam hal ini dapat dilihat

ketentuan tentang garis batas Landas Kontinen antara negara-negara yang berdampingan atau

berhadapan yang terdapat dalam Pasal 83 sebagai berikut.

1. Perbatasan Landas Kontinen antara negara-negara yang berdekatan atau berhadapan

akan dilaksanakan melalui persetujuan yang sesuai dengan asas keadilan (equitable

principles) untuk menentukan secara tepat garis tengan (median-line), yaitu suatu garis yang jaraknya sama dari masing-masing pantai dengan memperhartikan keadaan

di sekitarnya secara relevan.

29

Ibid, hlm. 185 diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 21.55 WIB

30“ya su ar Da : Politik Kelauta , Bu i Aksara, Jakarta, ,

(44)

2. Jika tidak ada persetujuan yang dapat dicapai dalam masa tertentu, maka

negara-negara yang bersangkutan harus mengikuti prosedur yang diterapkan dalam Bab XV

(Settlement Disputes).

3. Selama persetujuan atau penyelesaian belum tercapai, negara-negara diharuskan

membuat peraturan-peraturan sementara dengan memperhatikan ketentuan dalam

ayat (1).

4. Apabila telah dicapai suatu persetujuan antara negara-negara yang bersangkutan,

masalah-masalah yang berhubungan dengan perbatasan Landas Kontinen akan

ditentukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal persetujuan

tersebut.31

Dalam masalah garis Batas Landas Kontinen ini, Indonesia menentukan batas-batas

Landas Kontinen dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan India,

menganut prinsip garis tengah yang ditarik antara garis-garis dasar yang dipakai untuk

menentukan lebar Laut Teritorial.32

3. Zona Ekonomi Ekslusif

Zona Ekonomi Ekslusif, merupakan salah satu Pranata Hukum Laut Internasional yang

dapat dikatakan relatif baru. Pranata Hukum Laut tersebut baru muncul pada awal tahun

1970. Diawali dan dipelopori oleh negara-negara di kawasan Afrika yang tergabung dalam

Organization of African Unity (OAU) melalui peraturan perundang-undangan nasionalnya

maupun deklarasi-deklarasi sepihak dari negara-negara pantai dalam satu kawasan dan

selanjutnya diperjuangkan dalam forum-forum internasional, baik dalam ruang lingkup

regional maupun global. Misalnya dalam Konferensi Hukum Laut PBB 1973-1982, Zona

31

Ibid, hlm. 28 diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 16.08 WIB

32

Gambar

Tabel 1.1 Lajut Pertumbuhan Riil PDRB Menurut Kategori Perikanan Tahun 2011-2014 (persen)
Gambar 1.2 Nilai dan Laju Pertumbuhan PDB Triwulan Atas Dasar Harga Konstan 2010, 2014-
Gambar 1.3 Kontribusi PDB Perikanan terhadap PDB Nasional berdasarkan harga berlaku,

Referensi

Dokumen terkait

\DQJ PHQMDGL NRUEDQ WLQGDNDQ ³ passing RII´ Upaya pemberian perlindungan hukum terhadap pelaku usaha akibat tindakan persaingan curang berupa passing off terhadap hak

Untuk mengajarkan mata pelajaran IPA di Sekolah Dasar dapat dilaksanakan dengan berbagai metode, namun dilihat dari kenyataan di lapangan saat ini dalam

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa investor yang lebih pesimis memiliki pengaruh yang lebih tinggi terhadap volume perdagangan daripada investor yang lebih optimis

Fungsi-fungsi yang dimiliki oleh aplikasi ini adalah mengolah data siswa, mengolah data mata pelajaran, mengolah data guru mata pelajaran, mengolah data guru wali

belum adanya sistem informasi pelayanan jasa perawatan newbaby born berbasis website yang diharapkan dapat membantu dalam melayani pelayanan jasa perawatan bayi

Melalui pantomim mereka mampu mengekspresikan dirinya, karena tidak semua orang-orang normal dapat mengerti arti pesan yang ingin disampaikan oleh anak tunarungu

1387 yılında Ak Koyunlu Türk kabilesi beyi Kutluk beyin oğlu Ahmet Sivas üzerine yürüdü.. Kadı Burhaneddin, Yusuf Çelebi komutasında bir orduyu karşı yolladı ise de

Aplikasi web video konferensi dengan metode kompresi video discrete cosine transformmemiliki alur kerja yang digambarkan dalam flowchart yang terbagi menjadi dua