KEBIJAKAN KEMENTERIAN KELAUTAN INDONESIA DALAM KASUS PENCURIAN IKAN OLEH NELAYAN MALAYSIA DI
PERAIRAN NATUNA INDONESIA
The Ministry of Maritime and Fisheries Affair’s Policy Towards Illegal Fishing
by Malaysian Fishermen in Natuna Sea Indonesia
Fahreza Rizkita Putra Ricky Siregar 20120510188
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK
HALAMAN JUDUL
SKRIPSI
KEBIJAKAN KEMENTERIAN KELAUTAN INDONESIA DALAM KASUS PENCURIAN IKAN OLEH NELAYAN MALAYSIA DI PERAIRAN NATUNA
INDONESIA
The Ministry of Maritime and Fisheries Affair’s Policy Towards Illegal Fishing by Malaysian
Fishermen in Natuna Sea Indonesia
Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh :
Fahreza Rizkita Putra Ricky Siregar 20120510188
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Ilmu Politik pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Shalawat serta
salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
kemajuan besar kepada umat manusia di dunia.
Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
Skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini penulis dengan tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada:
1. Bapak Prof Dr. Bambang Cipto, MA. Selaku Rektor Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
2. Bapak Ali Muhammad, MA., Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Ibu Dr. Nur Azizah, M.Si. Selaku Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Drs. Djumadi M. Anwar, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi saya yang telah
memberikan waktu dan saran dalam penyusunan Skripsi ini.
5. Pak Adde Marup W.S, S.IP., M.A. Selaku Dosen Penguji I dalam ujian pendadaran yang
6. Ibu Grace Lestariana W. S.Sos., M.Si. Selaku Dosen Penguji II dalam ujian pendadaran yang
telah memberikan waktu dan saran untuk Skripsi saya.
7. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional yang telah membagi Ilmu dan
pengalamannya selama penulis menuntut ilmu di Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Semoga amal kebaikan dan segala bimbingan serta bantuan yang telah diberikan kepada
penulis mendapatkan pahala dari Allah SWT. Aamiin.
Akhir kata, semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang membutuhkan
informasi mengenai Kebijakan Kementerian Kelautan Indonesia dalam kasus pencurian ikan
oleh nelayan Malaysia di perairan Natuna Indonesia. Dalam penulisan Skripsi ini, penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada Skripsi ini. Oleh karena itu,
penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang dapat membangun isi
dari Skripsi.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Yogyakarta, 06 September 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... 2
HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined.
HALAMAN BUKTI KEASLIAN ... Error! Bookmark not defined.
MOTTO DAN VISI ... Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PERSEMBAHAN ... Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR ... Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ... 7
BAB I ... Error! Bookmark not defined.
PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined.
A. Alasan Pemilihan Judul... Error! Bookmark not defined.
B. Latar Belakang Masalah ... Error! Bookmark not defined.
C. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined.
D. Kerangka Pemikiran... Error! Bookmark not defined.
1. Konsep Kepentingan Nasional ... Error! Bookmark not defined.
2. Konsep Kemanan Maritim ... Error! Bookmark not defined.
E. Hipotesa ... Error! Bookmark not defined.
F. Tujuan Penulisan ... Error! Bookmark not defined.
H. Metode penelitian... Error! Bookmark not defined.
I. Sistematika Penulisan ... Error! Bookmark not defined.
BAB II ... Error! Bookmark not defined.
Gambaran Umum Indonesia Sebagai Negara Maritim dan Masalah Pencurian IkanError!
Bookmark not defined.
A. Posisi Strategis Indonesia ... Error! Bookmark not defined.
B. Peraturan Luas Wilayah Negara KepulauanError! Bookmark not defined.
1. Laut Teritorial ... Error! Bookmark not defined.
2. Landas Kontinen ... Error! Bookmark not defined.
3. Zona Ekonomi Ekslusif ... Error! Bookmark not defined.
C. Definisi Masalah Pencurian Ikan (Illegal Fishing)Error! Bookmark not defined.
BAB III ... Error! Bookmark not defined.
PENCURIAN IKAN ... Error! Bookmark not defined.
A. Kasus Pencurian Ikan di Wilayah Perairan IndonesiaError! Bookmark not defined.
1. Selat Malaka ... Error! Bookmark not defined.
2. Perairan Kalimantan Utara ... Error! Bookmark not defined.
3. Perairan Natuna ... Error! Bookmark not defined.
B. Sumbangsih pendapatan di Natuna terhadap nilai ekonomi IndonesiaError! Bookmark
not defined.
A. Memperjuangkan Kepentingan Nasional Indonesia di Laut NatunaError! Bookmark not defined.
1. Upaya Pemerintah Indonesia untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia Error!
Bookmark not defined.
2. Kebijakan Presiden Jokowi terhadap klaim Zona Ekonomi EkslusifError! Bookmark
not defined.
B. Konsep Keamanan Maritim Indonesia Dalam Membentuk Poros Maritim Dunia Error!
Bookmark not defined.
1. Penegakkan Hukum IUU Fishing di IndonesiaError! Bookmark not defined.
2. Tujuan Indonesia dalam membentuk Poros Maritim DuniaError! Bookmark not
defined.
BAB V ... Error! Bookmark not defined.
Kebijakan Kementerian Kelautan Indonesia Dalam Kasus Pencurian Ikan
Oleh Nelayan Malaysia Di Perairan Natuna Indonesia
ABSTRAK
Laut Indonesia merupakan laut terluas kedua di dunia (setelah Kanada) yang memiliki
luas laut 7.900.000 km2, empat kali dari luas daratannya. Wilayah ini meliputi laut Teritorial,
Laut Nusantara, dan Zone Ekonomi Ekslusif. Selain itu, bukan hanya ikan yang begitu
banyaknya tetapi juga sumber daya alam yang berlimpah. Setidaknya dalam pemberitaan
berbagai media massa ditemukan ratusan bahkan ribuan kapal asing yang sedang menjarah ikan
di Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam kategori negara kepulauan yang
dimana tidak sedikit memiliki permasalahan yang berhubungan dengan laut. Permasalahan yang
terdapat antara lain, masalah batas kelautan yang dimiliki Indonesia dengan negara yang
berbatasan langsung denagan laut Indonesia, illegal fisihing, dan jalur perdagangan melalui laut.
Namun dalam penulisan ini, penulis akan memfokuskan pada permasalahan illegal fisihing yang
dihadapi Indonesia. Permasalahan ini merupakan salah satu masalah yang dapat berdampak pada
kondisi laut serta sumber daya alam Indonesia itu sendiri. Selain itu, hal ini juga dapat
berdampak pada perekonomian Indonesia.
Kasus illegal fishing ini terjadi di beberapa wilayah laut Indonesia. Wilayah kelautan
Indonesia yang sangat luas memberikan kesempatan bagi para nelayan yang melakukan illegal
fishing yang telah kita ketahui terjadi di daerah perairan Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan
perairan Natuna.
Dalam Skripsi ini, penulis menggunakan 2 (dua) teori konsep, yang pertama adalah teori
kepentingan nasional. Teori ini digunakan untuk mengetahui apa saja kepentingan nasional
Indonesia di perairan Natuna, seperti untuk menjaga stabilitas ekonomi, hingga untuk menjaga
kedaulatan teritorial Indonesia. Konsep yang kedua, adalah konsep keamanan maritim. Konsep
ini digunakan untuk mengetahui mengapa Indonesia melakukan tindakan tegas berupa
penenggalaman dan membakar kapal pelaku Illegal Fishing karena atas dasar untuk penegakkan
hukum di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia dan UNCLOS 1982.
Berdasarkan penelitian yang telah ditulis oleh penulis dalam skripsi ini dapat disimpulkan
bahwa Pemerintah Indonesia era Presiden Joko Widodo serius untuk menangani kasus pencurian
ikan atau illegal fishing, menjaga kedaulatan teritorial Indonesia, menegakkan hukum yang
berlaku di Indonesia. Pasalnya jumlah kerugian yang didapat oleh Indonesia sangatlah besar dan
berdampak pada perekonomian Indonesia, dan juga menjaga identitas Indonesia bahwa,
Indonesia bukanlah Negara yang lemah akan penindakkan hukum di mata dunia Internasional.
Selain itu, rencana Presiden Joko Widodo untuk membuat Indonesia menjadi poros maritim
dunia menjadi salah satu faktor mengapa Indonesia sangat serius dalam menangani kasus ini.
Keywords : Pemerintah Indonesia, Presiden Joko Widodo, Menteri Kelautan dan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Kebijakan pemerintah yang akan menindak secara tegas nelayan dan kapal asing pencuri
ikan yang melakukan pelanggaran di wilayah Indonesia, dengan menenggelamkan kapal asing
yang tertangkap, telah menimbulkan reaksi di antara negara tetangga.
Sebagian besar kapal-kapal asing yang dituding sebagai pencuri ikan, antara lain ada
yang berasal dari Malaysia, walaupun ada juga dari negara–negara tetangga lain seperti
Singapura dan Vietnam. Akan tetapi, yang paling meresahkan bagi pemerintah dan juga rakyat
Indonesia adalah kapal-kapal Malaysia, karena mereka tidak hanya mengambil mencuri ikan,
melainkan juga mengganti nama kapalnya dengan nama-nama yang sebenarnya agak mirip
dengan perusahaan-perusahaan asal Indonesia. Alasan diambilnya judul ini juga karena Negara
Indonesia mengalami kerugian Triliunan Rupiah dan juga karena Indonesia berusaha menjaga
Kedaulatan Wilayah Lautnya khususnya di daerah perairan Natuna.
B. Latar Belakang Masalah
Laut Indonesia merupakan laut terluas kedua di dunia (setelah Kanada) yang memiliki
luas laut 7.900.000 km2, empat kali dari luas daratannya. Wilayah ini meliputi laut Teritorial,
Laut Nusantara, dan Zone Ekonomi Ekslusif. Selain itu, bukan hanya ikan yang begitu
banyaknya tetapi juga sumber daya alam yang berlimpah. Setidaknya dalam pemberitaan
berbagai media massa ditemukan ratusan bahkan ribuan kapal asing yang sedang menjarah ikan
di Indonesia. 1
1
Damang Averroes Al-Khawarizmi, Masalah pulau – pulau terluar & kondisi perairan kita,
Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam kategori negara kepulauan yang
dimana tidak sedikit memiliki permasalahan yang berhubungan dengan laut. Permasalahan yang
terdapat antara lain, masalah batas kelautan yang dimiliki Indonesia dengan negara yang
berbatasan langsung denagan laut Indonesia, illegal fisihing, dan jalur perdagangan melalui laut.
Namun dalam penulisan ini, penulis akan memfokuskan pada permasalahan illegal fisihing yang
dihadapi Indonesia. Permasalahan ini merupakan salah satu masalah yang dapat berdampak pada
kondisi laut serta sumber daya alam Indonesia itu sendiri. Selain itu, hal ini juga dapat
berdampak pada perekonomian Indonesia.
Pengertian illegal fishing adalah kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan
yang tidak diatur oleh peraturan yang berlaku, aktifitasnya tidak dilaporkan kepada suatu
institusi atau lembaga perikanan yang tersedia/berwenang. Dapat terjadi di semua kegiatan
perikanan tangkap tanpa tergantung pada lokasi, target spesies, alat tangkap yang digunakan dan
eksploitasi serta dapat muncul di semua tipe perikanan baik skala kecil dan industri, perikanan di
zona jurisdiksi nasional maupun internasional.
Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan :
1. Dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi jurisdiksi suatu
negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang –
undangan yang berlaku.
2. Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional.
3. Dilakukan oleh kapal mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota
pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan
hukum internasional yang berlaku.2
Kasus illegal fishing ini terjadi di beberapa wilayah laut Indonesia. Wilayah kelautan
Indonesia yang sangat luas memberikan kesempatan bagi para nelayan yang melakukan illegal
fishing untuk mengambil sumber daya alam dari Indonesia tersebut. Beberapa kasus illegal
fishing yang telah kita ketahui terjadi di daerah perairan Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan
perairan Natuna.
Kebijakan penenggelaman kapal-kapal asing atau dengan membakarnya langsung
ditempat lokasi bertujuan untuk membuat efek jera bagi kapal-kapal asing yang datang tanpa
izin, telah menimbulkan reaksi diantara negara tetangga. Salah satunya adalah Malaysia yang
mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia tersebut. Hal ini mengingat kedua negara,
Indonesia dan Malaysia, telah menandatangani Memorandum Kesepakatan (MoU) pada tanggal
27 Januari 2012. Menurut Menlu Malaysia Datuk Seri Anifah Aman yang menyebutkan bahwa,
mengacu pada kesepakatan tersebut maka kedua negara hanya mengusir nelayan yang didapati
menangkap ikan di perbatasan maritim Malaysia dan Indonesia. Dia pun menilai, sikap Presiden
Joko Widodo anti-malaysia, dimana warganya dipaksa menelan kerugian akibat kasus
penenggelaman kapal. Malaysia juga menganggap Indonesia tidak menghargai hubungan dan
kerjasama antar kedua negara.3
Bahkan, media-media Malaysia sering memberitakan tentang Presiden Jokowi. Mereka
menilai bahwa, Presiden Jokowi mungkin mencoba mengalihkan tekanan yang dihadapi terkait
permasalahan dalam negerinya seperti contoh kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
2
Astekita, Illegal fishing
https://astekita.co.id/2011/04/06/illegal-fishing/ diakses pada 28 Juli 2016 pukul 23.34
3
Arie Basuki, Malaysia Gerah Soal Penenggelaman Kapal,
dimana hal tersebut telah mendapat protes dari rakyat kecil, dan ironisnya, mereka bahkan
mengetahui jika Presiden Jokowi dulu sangat di puja di kalangan rakyat menengah ke bawah.
Media-media Malaysia juga menambahkan bahwa, Presiden Jokowi angkuh dan ingin
melakukan kontroversi dengan Malaysia.4
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengakatakan sekaligus memberikan
tanggapan pemerintah Malaysia bahwa, pencurian ikan di Natuna adalah masalah penegakan
hukum. Dia menyebutkan bahwa, pemerintah Indonesia (dalam hal ini yang terkait masalah
pencurian ikan) akan konsisten melakukan penegakkan hukum di wilayah ZEE. Dirinya
menambahkan, paling tidak ada empat faktor dominan yang mempengaruhi terjadinya Illegal
Fishing, (1) lemahnya penegakkan hukum, (2) longgarnya aturan hukum, (3) mafia perikanan,
dan (4) imbas perkembangan global. Empat faktor tersebut saling terkait mempengaruhi
terjadinya kejahatan Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing (IUUF).5
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang tengah menggarap beberapa
persoalan yang masuk dalam agendanya. Salah satunya adalah memberantas tindak pidana
pencurian ikan (Illegal Fishing) yang marak terjadi di perairan Indonesia. Mengatakan bahwa,
daerah–daerah rawan pencurian ikan di Indonesia adalah Perairan Natuna, Perairan Barat Natuna
(Kepulauan Riau), Laut Arafura Selatan (Papua dan berbatasan dengan Australia), Bitung Utara
(Sulawesi Utara), Kepala Burung (Papua Barat), Samudera Hindia, Laut segitiga emas antara
Erika Firstyana, Retno Marsudi: Pencurian Ikan di Natuna Masalah Penegakkan Hukum Bukan Politik,
http://www.inddit.com/s-e9098e/retno-marsudi-pencurian-ikan-di-natuna-masalah-penegakan-hukum-bukan-politik/ diakses pada 02 September 2016 pukul 03.31 WIB
6
Diko Oktara, KKP Tangkap 29 Kapal Pencuri Ikan Selama 2016,
https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/08/01/090792233/kkp-tangkap-29-kapal-pencuri-ikan-selama-juli-2016
Susi Pudjiastuti juga mengatakan, pada Juli 2016, Satuan Tugas 115 yang dipimpin oleh
Kementerian Kelautan berhasil menangkap 29 unit kapal pencuri ikan di perairan Indonesia.
Penangkapan ini dilakukan oleh Satgas yang terdiri atas Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Polri, TNI Angkatan Laut, dan Badan Keamanan Laut. Salah satu tangkapan terbesar Satgas 115
adalah saat KP Orca 03 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap 8 kapal ikan
asing di Perairan Natuna pada 24 Juli 2016. Sedangkan kapal Orcha 1 yang merupakan kapal
KKP paling besar, berhasil menangkap satu kapal ikan asing. Pada 17 Agustus 2016,
Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Satgas 115 akan kembali melakukan pemusnahan
barang bukti kapal pelaku penangkapan ikan secara ilegal. Adapun lokasi kapal yang akan
dimusnahkan berada di sejumlah tempat, di antaranya Tarakan, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara,
Maluku Utara, Sorong, dan Morotai.7
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyoroti masalah penurunan hasil laut di
sekitar Laut Natuna, Kepulauan Riau. Penyebab utama penurunan drastis hasil laut ini adalah
pencurian ikan atau illegal fishing. Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Suharsono
menjelaskan perairan Natuna masih mampu memberikan 1,8 ton ikan tahun 1974. Suharsono
dalam pemaparan ekspedisi tim LIPI ke Natuna dan Laut Kalimatan Selatan di Jakarta, senin 27
desember 2010 mengakatan bahwa angka tersebut turun menjadi hanya 0.27 ton. Pencurian ikan
oleh kapal-kapal asing menjadi salah satu penyebab, terutama kapal dari negara perbatasan
seperti Malaysia dan Thailand. Menurutnya, di daerah Songka, Thailand, ada kapal dengan nama
Indonesia tapi tak satu pun anak buah kapal (ABK) yang bisa berbahasa Indonesia. Dia juga
menjelaskan misalnya nama kapal tersebut Samudera Raya yang bahkan berbendera Indonesia. 8
7
Ibid. diakses pada 11 Agustus 2016 pukul 22:23 WIB
8
Dua kapal nelayan asing dari Thailand dan Malaysia, tertangkap basah melakukan
pencurian ikan (Illegal Fishing) di perairan Natuna, Kepulauan Riau (Kepri). Penangkapan
dilakukan oleh KRI Sutedi Senaputra-378 yang dikomandoi oleh Mayor Laut Hendra Astawan,
pada jumat 14 November 2014. Komandan KRI Sutedi Senaputra tersebut mengakatakan bahwa,
kedua kapal tersebut tertangkap mencuri ikan saat mereka sedang melaksanakan Operasi Rakata
Jaya, di sekitar perairan yang dikenal rawan pelanggaran di laut tersebut. Terungkapnya aksi
pencurian tersebut akibat rekaman radar yang diketahui berada di baringan 020 jarak 4 mil.
Setelah dilaksanakan prosedur pemeriksaan dan penggeledahan, kapal tersebut berbendera
Malaysia dan Thailand.9
Dalam kasus ini, penulis akan memfokuskan kasus yang dialami oleh Indonesia dan
Malaysia yang merupakan negara bersebelahan langsung dan mempunyai batas perairan yang
berdekatan. Oleh karena itu, Indonesia sering mengalami permasalahan dengan Malaysia baik
dalam permasalahan batas wilayah perairan dan juga permasalahan pencurian ikan. Dari
beberapa data yang disebutkan sebelumnya, beberapa kapal Malaysia juga tertangkap melakukan
penangkapan ikan di perairan Natuna sehingga memberikan dampak penurunan hasil laut dari
Indonesia.10
Sementara sektor perikanan, menurut Presiden Joko Widodo, selama ini sektor kelautan
dan perikanan di Natuna belum dikembangkan dengan baik. Bahkan, dari laporan yang diterima
8.9% potensi perikanan yang telah dikembangkan di wilayah tersebut. Jokowi mengatakan
bahwa, dirinya mendapat laporan produksi di sektor kelautan dan perikanan di Natuna hanya
9
Banda Haruddin Tanjung, Kapal Malaysia dan Thailand Mencuri Ikan di Natuna,
http://daerah.sindonews.com/read/924692/24/kapal-malaysia-dan-thailand-mencuri-ikan-di-natuna-1416046315/
diakses pada tanggal 02 September pukul 03.15 WIB
10
Bilal Ramadhan, Negara Dirugikan Rp 101 T Dari Pencurian Ikan,
sebesar 8.9% dari potensi yang Indonesia miliki. Menurut Jokowi, potensi ekonomi sektor
perikanan yang besar di wilayah tersebut perlu didorong dan lebih dipercepat lagi
penangannya.11
Data yang diumumkan FAO tahun 2001 saja menyatakan bahwa negara-negara
berkembang berpotensi kehilangan 25 persen dari stok sumber daya ikannya akibat IUU Fishing.
Indonesia yang pada saat itu memiliki sumber daya ikan hingga sebesar 6.5 juta ton per tahun
sehingga perhitungan angka kerugian yang hilang adalah seperempat dari jumlah atau sebesar
1.6 juta ton. Apabila diasumsikan harga jual ikan di pasar internasional rata-rata 2 dollar AS per
kilogram, maka kerugian pada saat itu juga diperkirakan mencapai 3.2 milliar dolar AS atau
setara Rp 30 Triliun.12
Namun pada saat ini, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan Kementerian Kalautan dan Perikanan atau disingkat Ditjen PSDKP KKP melakukan
kajian yang menyatakan bahwa total kerugian negara per tahun dapat dihitung dari hilangnya
potensi sumber daya ikan yang ditangkap secara illegal dikalikan indeks investasi bidang
perikanan di Indonesia ditambah dengan kerugian terkait ketenagakerjaan. Maka, Ditjen PSDKP
mengemukakan bahwa hasil dari perhitungan tersebut mencapai Rp 101 triliun. Pemerintah
dinilai kehilangan nilai ekonomis dari ikan yang dicuri, Pungutan Hasil Perikanan (PHP) yang
hilang, subsidi BBM yang dinikmati kapal perikanan yang tidak berhak, Unit Pengolahan Ikan
(UPI) kekurangan pasokan bahan baku, sehingga melemahkan upaya pemerintah untuk
11
Ahmad Naufal, Laju Industri Perikanan dan Migas di Natuna Dikebut Pemerintah, http://www.islam-institute.com/laju-industri-perikanan-dan-migas-di-natuna-dikebut-pemerintah/ diakses pada tanggal 07 September 2016 pukul 19.54 WIB
12
mendorong peningkatan daya saing produk perikanan, serta mata pencaharian nelayan skala kecil
yang kalah bersaing dengan kapal asing.13
Selain itu, terdapat pula aspek kerugian lainnya yaitu, dari aspek ekologis antara lain
kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya, yang disebabkan oleh penggunaan alat
penangkap ikan dan atau alat bantu ikan (API/ABPI) yang tidak ramah lingkungan. Dia juga
menjelaskan bahwa IUU Fishing merupakan salah satu penyebab kapasitas UPI yang sudah
dibangun hanya termanfaatkan sekitar 30-50. Disamping itu, dia juga menjelaskan praktek IUU
Fishing menyebabkan kesulitan bagi otoritas pengelolaan perikanan untuk mendapatkan data
potensi sumber daya perikanan untuk mendapatkan data potensi sumber daya perikanan yang
akurat, untuk mengatur kuota pemanfaatan sumber daya perikanan. Dia berpendapat bahwa
kerugian lain yang tidak kalah penting adalah menimbulkan citra negatif bangsa Indonesia,
karena Indonesia dianggap tidak mampu mengelola sumber daya kelautan dan perikanannya
dengan baik.14
Berdasarkan data KKP, sampai dengan tahun 2014 jumlah kapal pengawas perikanan
yang dimiliki institusi tersebut adalah sebanyak 27 unit. Pada tahun 2012 hari operasional
pengawasan adalah sebanyak 180 hari pelayaran, sedangkan pada 2013 hari operasional menurun
menjadi 115 hari pelayaran. Sementara jumlah kapal yang diperiksa juga menurun dari 4.326
Unit kapal pada 2012 menjadi 3.871 kapal.15
Pencegahan illegal fishing sangat sulit dilakukan karena berbagai hal. Di antaranya
penjagaan perbatasan laut yang kurang optimal. Selain itu, jaringan illegal fishing juga bekerja
nelayan asing juga termasuk faktor terjadinya illegal fishing. Menurut Susi Pudjiastuti yang
menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan ke – 6 Republik Indonesia, lemahnya sistem
penegakan hukum yang terjadi menjadikan Indonesia lahan bagi nelayan-nelayan asing untuk
berburu ikan di wilayah Indonesia. Kapal-kapal dari Negara tetangga dan termasuk dalam
anggota ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, Filipina, Myanmar, Kamboja, Tiongkok,
Korea, Panama, dan Taiwan menjadikan lahan Indonesia target sasaran untuk menangkap ikan.
C. Rumusan Masalah
Mengapa Kementerian Kelautan Indonesia melakukan tindakan keras kepada nelayan
Malaysia dalam kasus pencurian ikan di perairan Natuna ?
D. Kerangka Pemikiran
1. Konsep Kepentingan Nasional
Morgenthau dalam bukunya yang berjudul politics among nations menyatakan
bahwa “Konsep Kepentingan Nasional” itu dalam dua hal mirip dengan ‘konsep umum’
dalam Konstitusi (Amerika), seperti kesejahteraan umum dan hak perlindungan hukum.
Konsep itu memuat arti minimum yang inheren di dalam konsep itu sendiri, tetapi di luar
pengertian itu konsep tersebut bisa diartikan dengan berbagai macam hal yang secara
logis berpadanan dengannya. Isi konsep itu ditentukan oleh tradisi politik dan konteks
kultural keseluruhan di dalam mana suatu negara merumuskan politik luar negerinya.16
Arti minimum yang inheren di dalam konsep kepentingan nasional adalah
kelangsungan hidup. Dalam pandangan Morgenthau, kemampuan minimum negara –
bangsa adalah melindungi identitas fisik, politik dan kulturalnya dari gangguan negara –
bangsa lain. Diterjemahkan dalam pengertian lebih spesifik, negara – bangsa harus bisa
16
mempertahankan integritas teritorialnya (yaitu identitas fisiknya); mempertahankan rezim
ekonomi – politiknya (yaitu identitas politiknya) yang mungkin saja demokratis, otoriter,
sosialis, atau komunis, dan sebagainya; serta memlihara norma – norma etnis, religious,
linguistic, dan sejarahnya (yaitu, identitas kulturalnya). Menurut Morgenthau, dari
tujuan-tujuan umum ini para pemimpin suatu negara bisa menurunkan
kebijaksanaan-kebijaksanaan spesifik terhadap negara lain, baik yang bersifat kerja sama maupun
konflik.17
Dalam kasus ini, Indonesia mengaplikasikan teori konsep kepentingan
nasionalnya dengan cara mengeluarkan kebijakan untuk menindak tegas atau dengan
tindakan penenggelaman kapal kepada para nelayan asing yang melakukan tindakan
pencurian ikan, terutama nelayan dari Malaysia yang mana sebagian besar nelayan yang
melakukan pencurian ikan berasal dari Malaysia.
2. Konsep Kemanan Maritim
Secara umum, ancaman yang bisa terjadi di laut (maritime threat) dibagi dua
yaitu, State dan Non-State.
State Threat : berupa peperangan (blockage and commerce raiding) dan
yang bukan peperangan adalah perselisihan tapal batas (international
boundary dispute)
Non-State Threat :
1. Ancaman dari alam, berupa perubahan cuaca yang drastis yang
menyebabkan topan di samudera dapat membahayakan aktifitas di
laut, gempa bumi dan tsunami.
17Mohtar as’oed, il u hubu ga i ter asio al disipli da etodologi, diakses pada Agustus 6 pukul .4
2. Aktifitas manusia, berupa penyelundupan manusia, perdagangan
narkoba, dan pencurian ikan (Illegal Fishing).
3. Aktifitas manusia yang membahayakan perdagangan internasional:
pembajakan di laut, laut bebas menjadi daerah tak bertuan dengan
manusia perahu bersenjata di sekeliling kapal dagang.
Barry Buzan yang dalam bukunya “People, States, and Fear: An Agenda for
Dalam konteks sistem internasional maka keamanan adalah keamanan adalah
kemampuan negara dan masyarakat untuk mempertahankan identitas kemerdekaan dan
integritas fungsional mereka. Untuk mencapai keamanan, terkadang negara dan
masyarakat berada dalam kondisi harmoni atau sebaliknya. Dalam studi Hubungan
Internasional dan politik internasional, keamanan merupakan konsep yang penting yang
selalu dipergunakan dan dipandang sebagai ciri eksklusif yang konstan dari hubungan
internasional. 19
Penyimpulan Buzan, menyebutkan bahwa aspek kemanan ini telah menjadi satu
pendekatan dengan menunjuk pada motif utama perilaku suatu negara, yang memiliki
18
Barry Buzan: People, “tates, and Fear: An Agenda for International “ecurity “tudies in the Post Cold War Era , 1991, diakses pada tanggal 04 September 2016 pukul 21.09 WIB
19
perbedaannya sendiri dengan power sebagai kondisi yang dibutuhkan untuk terciptanya
perdamaian. Landasan utama dalam pendekatan ini yaitu, lensa keamanan (security),
yang dapat diartikan sebagai pelaksanaan kemerdekaan atas suatu ancaman tertentu dan
kemampuan suatu negara dan masyarakatnya untuk mempertahankan identitas
kemerdekaan dan integritas fungsional mereka terhadap kekuatan-kekuatan tertentu yang
mereka anggap bermusuhan (hostile).20
Meskipun terdapat tiga tingkatan keamanan dalam problem kehidupan manusia
yaitu, (1) kemanan individu, (2) kemanan nasional, dan (3) kemanan internasional,
namun pada dasarnya konsep inti dari ketiga tingkatan tersebut adalah keamanan
nasional. Hal ini karena negara merupakan titik sentral yang mendominasi regulasi
hubungan maupun kondisi kemanan di antara kedua level lainnya.21
Keamanan (security) yang dimaksud, dapat dibedakan dengan konsep pertahanan
(defense) yang memiliki kesamaan dari segi tujuannya yaitu, kemerdekaan atas ancaman yang mengganggu kebebasan dalam melaksanakan kedua konsep di atas, dimana
keamanan biasanya lebih bersifat preventif dan antisipatif dalam merespon ancaman
dibandingkan pertahanan.22
Lebih lanjut, Menurut Barry Buzan dkk tahun 1998, Konsep Keamanan Maritim
adalah sebuah pendekatan dalam penanganan dan penegakkan hukum kemaritiman pada
suatu aspek tertentu diantaranya, termasuk aspek kedaualtan, teritorial, identitas negara
hingga politik dan ekonomi.23
Dalam kasus ini, Indonesia mengaplikasikan konsep keamanan maritimnya
dengan cara melakukan tindakan keras pada nelayan Malaysia, karena sudah mengancam
keamanan maritim Indonesia dengan mencuri ikan di perairan Natuna dan Indonesia
melakukan hal tersebut untuk penegakkan hukum yang sudah diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia.
E. Hipotesa
- Kementerian Kelautan Indonesia melakukan tindakan keras kepada nelayan
Malaysia dalam kasus pencurian ikan di perairan Natuna karena menganggap
nelayan Malaysia sudah mengganggu kepentingan nasional Negara Indonesia
dengan mencuri ikan di wilayah Indonesia terutama di perairan natuna yang
secara tidak langsung merugikan Negara Indonesia.
- Kementerian Kelautan Indonesia melakukan tindakan keras kepada nelayan
Malaysia dalam kasus pencurian ikan di perairan Natuna karena karena sudah
mengancam keamanan maritim Indonesia dengan mencuri ikan di perairan
Natuna dan Indonesia melakukan hal tersebut untuk penegakkan hukum yang
sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia.
F. Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara objektif tentang sebuah
permasalahan tertentu. Penulisan skripsi ini bertujuan antara lain untuk :
23
1. Untuk menempuh gelar sarjana di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2. Mengetahui seberapa besar kerugian yang dialami oleh Negara Indonesia akibat dari
adanya kasus pencurian ikan dan dampaknya bagi perekonomian Indonesia
3. Mengetahui langkah-langkah Pemerintah Indonesia dalam menangani permasalahan
illegal fishing dan mengaplikasikannya dengan sisi teoritis yang diperoleh selama
mengikuti perkuliahan.
G. Jangkauan penelitian
Jangkauan penelitian ini adalah selama Presiden Joko Widodo dan Menteri Susi
pudjiastuti menjabat (tahun 2014 sampai dengan tahun 2016)
H. Metode penelitian
Teknik yang digunakan oleh penulis adalah dengan studi perpustakaan yang bersumber
dari berbagai literature yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan baik itu berupa
buku, jurnal ilmiah, surat kabar dan majalah. Selain itu, pencarian data juga dilakukan dengan
melakukan searching di berbagai sumber data media online.24
24“uharso o, Metode Pe elitia “osial , Be ta g Budaya, 996, Yogyakarta diakses pada ta ggal Agustus 6
I. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pertama ini terdiri dari alasan pemilihan judul, latar belakang masalah,
perumusan masalah, kerangka pemikiran, argumen pokok, teknik pengumpulan
data,tujuan penelitian, jangkauan penelitian,dan sistematika penulisan.
BAB II Berisi tentang gambaran umum Indonesia sebagai negara maritim yang terdiri
dari, posisi strategis Indonesia, peraturan wilayah negara kepulauan, definisi
masalah pencurian ikan (illegal fishing).
BAB III Menguraikan kasus pencurian ikan yang terdiri dari, kasus pencurian di wilayah
Indonesia, dan fakta-fakta tentang pendapatan di Natuna terhadap nilai ekonomi
Indonesia
BAB IV Menguraikan alasan pemerintah Indonesia melakukan tindakan keras kepada
nelayan Malaysia dalam kasus pencurian ikan.
BAB V KESIMPULAN
Berisi rangkuman – rangkuman sebagai hasil pembahasan dibab – bab
sebelumnya. (BAB II hingga BAB IV), sekaligus merupakan penutup dalam
BAB II
Gambaran Umum Indonesia Sebagai Negara Maritim dan Masalah
Pencurian Ikan
Dalam bab ini penulis akan memaparkan posisi strategis Indonesia, batas-batas perairan
teritorial negara-negara yang mempunyai kepulauan, seperti: Laut Teritorial, Landas Kontinen,
Garis Imajiner, ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), dan Hukum yang mengatur tentang perbatasan,
kelautan dan perikanan dan definisi Illegal Fishing secara umum.
A. Posisi Strategis Indonesia
Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya alam hayati maupun
non hayati. Letak Indonesia yang berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia
merupakan jalur lalu lintas palayaran internasional. Sumber daya hayati laut yang terkandung
didalamnya sangat potensial, baik untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan
lainnya.
Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil dari Samudera Indonesia hingga Samudera
Pasifik. Ini menjadikan memiliki lautan yang luas sekitar 3.166.080 km2 perairan. Lautan
Indonesia memiliki batas sesuai Hukum Laut Internasional, dengan menggunakan teritorial laut
sepanjang 12 mil laut serta Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang 200 mil laut (searah dengan
penjuru mata angin). Luasnya lautan Indonesia ini seharusnya membawa keberkahan bagi bangsa
Indonesia. Sumber daya alam yang terkandung dilautan sangat banyak sekali dan ini seharusnya
bisa digunakan untuk mensejahterakan rakyat bangsa Indonesia.1
Indonesia disebut juga sebagai Nusantara, hal ini karena Indonesia terdiri atas
pulau-pulau yang berjumlah 17.508 pulau-pulau. Nusantara sendiri memiliki arti kepulau-pulauan yang terpisah
1
oleh laut atau bangsa-bangsa yang terpisah oleh laut. Luas wilayah negara Indonesia menjadi
daya tarik tersendiri untuk para wisatawan, baik itu domestik maupun mancanegara. Tidak
sedikit dari mereka yang memiliki rencana untuk berkeliling Indonesia dan menikmati keindahan
alam serta keanekaragaman flora fauna disetiap daerah-daerah di Indonesia yang mereka
kunjungi.
B. Peraturan Luas Wilayah Negara Kepulauan
Sebelum diadakannya Konferensi Hukum Laut III (1974-1982), pemerintah RI berhasil
mengadakan perjanjian Garis Batas Landas Kontinen dengan negara-negara tetangga seperti
Malaysia, Thailand, India, Singapura, Papua Nugini & Australia. Dengan maksud agar Perjanjian
dengan negara-negara tetangga itu dapat menjadi customary law, sehingga pada gilirannya dapat
mendukung law making treaties dari Konsepsi Negara Kepulauan yang dianut Indonesia
berdasarkan UU No. 4 Prp Tahun 1960 pada KHL III yang sedang berlangsung hingga menjadi
Konvensi Hukum Laut yang baru. Bahkan dengan Malaysia perjanjian dilakukan pertama kali
pada tanggal 27 Oktober 1969 mengenai Garis Batas Landas Kontinen di Laut Cina Selatan dan
Selat Malaka.2
Namun, perundingan tentang Garis Batas Landas Kontinen di Laut Sulawesi yang
dilanjutkan sesudah penandatanganan perjanjian itu menjadi tertunda. Penundaan ini terjadi
karena Malaysia menolak usul Indonesia agar Garis Batas Landas Kontinen kedua negara ditarik
garis lurus dari batas pulau Sebatik yang sudah ditetapkan pada tahun 1891 oleh Inggris dan
Belanda. Jika usul tersebut diterima, maka pulau Sipadan & Ligitan akan menjadi bagian dari
Indonesia. Akan tetapi, letak kedua pulau lebih dekat dekat pantai Sabah dari pada Pulau
Sebatik. Dalam UU No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Wilayah Perairan Indonesia, kedua pulau itu
tidak ditetapkan sebagai lokasi dari titik pangkal untuk menarik Garis Pangkal dalam
2
menetapkan Laut Teritorial Indonesia, karena bukan milik Indonesia. Kedua Delegasi dalam
perundingan itu akhirnya sepakat untuk memperlakukan kedua pulau itu dalam keadaan
status-quo, dan perundingan ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan.3
Kesepakatan kedua delegasi itu tidak pernah lagi dikontrol oleh pemerintah Indonesia,
sehingga pembangunan objek wisata diving yang dilakukan Malaysia secara diam-diam sejak
tahun 1980-an di kedua pulau itu, baru diketahui Indonesia ketika Menlu Ali Alatas menjabat
dan menyampaikan protes resmi pembangunan itu agar dihentikan pada tanggal 5 Juni 1991, tiga
tahun setelah status-quo itu diperkuat oleh Komunike Bersama Soeharto-Mahatir di Yogyakarta
pada tahun 1988. Protes Indonesia diabaikan Malaysia inilah yang menyebabkan kedua negara
akhirnya sepakat untuk membawa masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada
Mahkamah Internasional (1997-2002), sedangkan yang menjadi masalah pokok kedua negara
adalah mengenai garis batas Landas Kontinen mereka, yang justru tidak dibawa ke Mahkamah.4
Sebelumnya, Indonesia telah mengeluarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Wilayah
Perairan Indonesia yang baru menggantikan UU No. 4 Tahun 1960, yang kemudian dilengkapi
dengan PP No. 38 Tahun 2002 tentang Titik Dasar (TD) dari Garis Dasar Kepulauan Indonesia,
yang memasukkan Pulau Sipadan (TD No. 36 A) dan Pulau Ligitan (TD No. 36 B dan 36 C).
Akan tetapi, UU dan PP yang baru dikeluarkan itu menjadi tidak berarti setelah Mahkamah
Internasional (MI) memutuskan kedua pulau itu menjadi milik Malaysia pada tanggal 17
Desember 2002.5
Pada tanggal 24 Februari 1998, atau tepatnya menjelang akhir kekuasaan Soeharto di
Indonesia, Pertamina sidah memberikan konsesi pada Perusahaan Minyak Italia ENI Bukat Ltd
Ambalat Ltd untuk melakukan eksplorasi minyak di wilayah Ambalat pada tanggal 27 Februari
1999 (masa Presiden BJ Habibie, karena Soeharto berkuasa hanya sampai bulan Mei 1998).
Akan tetapi, sampai sekarang kedua perusahaan minyak Italia itu belum melakukan kegiatannya
di wilayah Bukat dan Ambalat. Malaysia yang menang di Mahkamah Internasional (MI) dalam
kasus Sipadan dan Ligitan dan terjadinya vacuum of activity di wilayah Bukat dan Ambalat
itulah yang telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Malaysia melalui Petronas untuk mengklaim
wilayah yang luasnya meliputi 4.175 kilometer persegi itu sebagai Zona Y Landas Kontinen
Malaysia dengan memberikan konsesi pada Perusahaan Minyak Inggris – Belanda Shell pada
tanggal 16 Februari 2005. Pemerintah Indonesia melakukan protes karena wilayah tersebut
konsesinya telah diberikan Pertamina sejak tahun 1998 pada Perusahaan Minyak Italia ENI
Bukat Ltd dan ENI Ambalat Ltd dan tidak mendapat protes dari Malaysia.6
Pada tanggal 28 Februari 2005, Perdana Menteri (PM) Malaysia Abdullah Ahmad
Bedawi, menyatakan bahwa wilayah itu berada dalam Landas Kontinen Malaysia berdasarkan
Peta Malaysia tahun 1979 yang diukur dari garis lurus (straight base lines) ditarik dari titik batas
Pulau Sebatik ke Pulau Sipadan dan Ligitan, pernyataan tersebut sekaligus menjawab protes
Pemerintah Indonesia. Sedangkan cara menarik garis lurus tersebut menurut Pemerintah
Indonesia hanya dapat dilakukan oleh negara kepulauan seperti Indonesia, sedangkan Malaysia
hanya sebuah negara semi-kontinen. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, Malaysia harus
menentukan Laut Teritorial dan Garis Batas Landas Kontinennya itu dari garis air surut di
sepanjang pantai Sabah.7
Terjadinya tumpang tindih tuntutan antara RI-Malaysia di wilayah Bukat dan Ambalat
(4.175 kilometer persegi), sebagai akibat belum tercapainya kesepakatan Garis Batas Landas
6
Ibid
7
Kontinen kedua negara yang sudah dirundingkan sejak bulan November 1969. Namun,
perundingan itu menjadi tertunda sampai sekarang karena pada saat itu kedua negara berbeda
dalam cara penarikan garis batas itu. Di satu pihak Indonesia menginginkan agar garis batas itu
dilanjutkan dari garis batas darat yang ditetapkan oleh Perjanjian Bilateral Inggris-Belanda pada
tahun 1891. Sementara Malaysia menolak usul Indonesia itu dengan alasan Perjanjian tersebut
hanya membagi wilayah darat Pulau Sebatik. Kalau garis lurus itu dipergunakan sebagai garis
batas, akan menyebabkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang tidak berpenghuni tersebut
termasuk dalam bagian dari Landas Kontinen Indonesia. Padahal kedua pulau itu berdasarkan
UU No. 4 Prp Tahun 1960 bukanlah milik Indonesia, karena tidak dijadikan sebagai Titik Dasar
dari Garis Dasar Laut Teritorial Indonesia. Meskipun, letak kedua pulau itu lebih dekat ke pantai
Sabah dari pada ke Pulau Sebatik, namun sampai saat itu Malaysia belum juga memasukkannya
ke dalam wilayah Malaysia. Dengan demikian, kesepakatan yang dicapai oleh kedua pulau itu
berada dalam keadaan status quo sampai tercapai kesepakatan tentang Perjanjian Garis Batas
Landas Kontinen oleh kedua Negara.8
1. Laut Teritorial
Laut Teritorial sendiri adalah bagian laut terletak pada sisi luar dari garis pangkal atau
garis dasar (base lines) dan di sebelah luarnya dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit).
Maksud garis pangkal adalah garis yang ditarik pada pantai waktu air laut surut.
Ditetapkannya pada waktu air laut surut, karena garis air laut surut adalah merupakan batas
Pada tahun 1930 diselenggarakan Konferensi Kodefikasi Hukum Internasional di Den
Haag, Belanda, yang diprakarsai oleh Liga Bangsa-Bangsa (Sebelum berubah menjadi PBB).
Salah satu materi hukum internasional yang dikodifikasi adalah tentang lebar Laut Teritorial.
Akan tetapi, negara-negara peserta Konferensi ternyata gagal mencapai kata sepakat tentang
lebar Laut Teritorial yang seragam, sehingga keadaan yang serba tidak pasti tersebut atau
status quo masih berlangsung. Sampai dengan berakhirnya Perang Dunia II atau sampai
dengan berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945 dan sesudahnya. Bahkan
perlombaan negara-negara dalam mengklaim lebar Laut Teritorial yang melebihi dari batas
tiga mil laut justru semakin menjadi-jadi, yang antara lain didorong oleh kondisi perang
dingin antara Blok Barat dan Blok Timur maupun oleh kemajuan teknologi kelautan yang
terus meningkat sehingga masalah kelautan semakin bertambah kompleks, hingga akhirnya
Lebar Laut Teritorial tiga mil laut dipandang sudah tidak memadai lagi.10
Pada tanggal 1958 diselenggarakanlah Konferensi Hukum Laut di Jenewa atas prakarsa
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang salah satu materinya yang dibahasadalah tentang lebar
Laut Teritorial. Konferensi ini juga mengalami kegagalan untuk mencapai kata sepakat
tentang lebar Laut Teritorial, seperti halnya Konferensi Den Haag 1930. Usaha untuk
mencapai kesepakatan tentang lebar Laut Teritorial ini juga diulangi lagi dengan
menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut di Jenewa 1960, atas prakarsa PBB juga, yang
secara khusus membahas tentang lebar Laut Teritorial. Konferensi tersebut juga mengalami
kegagalan, sehingga maslaah lebar Laut Teritorial dalam keadaan status quo. Barulah dalam
Konferensi Hukum Laut PBB tahun 1974-1982, atas prakarsa PBB, lebar Laut Teritorial
disepakati, yakni sejauh 12 mil laut diukur dari garis pangkal.11
10
I Wayan Parthiana, Op.cit hlm 154, diakses pada tanggal 14 Agustus 2016 pukul 00.11 WIB
11
Mengenai garis pangkal, dalam hukum laut internasional dikenal tiga macam garis
pangkal, yaitu: (a) Garis pangkal normal; (b) Garis pangkal lurus dan; (c) Garis pangkal
kepulauan.12
a) Garis pangkal normal
Adalah garis pangkal yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dengan
mengikuti lekukan-lekukan pantai. Dengan demikian, arah dari garis pangkal normal ini
adalah sejajar dengan arah atau lekukan pantai tersebut. Untuk mengukur dan
menentukan lebar Laut Teritorial, ditarik garis tegak lurus dari garis pangkal normal ke
arah luar atau ke arah laut sesuai dengan lebar Laut Teritorial masing-masing negara.
Titik-titik atau garis pada bagian terluar itulah yang disebut garis luar atau batas laut
(outer limit) Laut Teritorial. Garis luar atau batas luar ini merupakan garis yang selalu
sejajar dengan garis pangkal oleh karena ditarik pada titik-titik yang ada pada garis
pangkal secara tegak lurus ke arah luar atau ke arah laut. Garis pangkal normal ini
merupakan garis pangkal tertua yang pertama kali dikenal dalam sejarah pengukuran
lebar Laut Teritorial.13
b) Garis pangkal lurus
Perbedaan garis pangkal lurus dengan garis pangkal normal terletak pada
penarikannya yang tidak mengikuti lekukan pantai melainkan dengan menghubungkan
titik-titik atau ujung-ujung terluar dari pantai. Itulah sebabnya, garis pangkal lurus ini
disebut juga garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight base line from point to
12
Ibid, diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pada pukul 15.50 WIB
13
point). Penarikan garis pangkal lurus dilakukan pada pantai-pantai yang berliku-liku atau
jika di depan pantai tersebut terdapat pulau, deretan atau gugusan pulau.14
Dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 ternyata garis pangkal lurus ini
dikukuhkan sebagai salah satu garis pangkal yang dapat diterapkan dalam pengukuran
lebar Laut Teritorial, di samping garis pangkal normal. Hal ini dimuat dalam Pasal 4-5
Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan. Dengan isi dan jiwa yang sama,
garis pangkal lurus inipun masih tetap diakui di dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982
tepatnya terletak di dalam Pasal 7.15
Pasal 7 Konvensi Hukum Laut PBB 1982:
Penarikan garis pangkal lurus tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah
umum pantai, kecuali karena alasan hak-hak ekonomi (economic rights) dan
hak-hak sejarah (historic rights) yang memang sudah dinikmati jauh sebelumnya oleh
negara yang bersangkutan;
Bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal lurus harus
cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat ditundukkan pada rezim
perairan pedalaman (internal waters);
Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari elevasi surut (low tide elevation)
kecuali jika di atas elevasi surut tersebut didirikan mercusuar atau instalasi yang
serupa yang secara permanen selalu tampak di atas permukaan laut;
14
Ibid
15
Garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan dengan cara sedemikian rupa
sehingga memotong hubungan laut teritorial negara lain dari laut lepas atau Zona
Ekonomi Eksklusif.16
Pembatasan-pembatasan tersebut hanyalah bersifat umum saja, sehingga masih
belum jelas bagaimana gambaran yang sebenarnya. Dalam prakteknya, tentu saja
masing-masing negara akan menyesuaikan pembatasan-pembatasan tersebut dengan situasi dan
kondisi geografis pantainya.
c) Garis pangkal kepulauan (archipelagic base line)
Garis pangkal kepulauan (archipelagic base line) ini mulai diakui prinsipnya
dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 tepatnya dalam Pasal 46-54. Hal ini tentu saja
tidak bisa dilepaskan dari perjuangan negara-negara kepulauan yang dipelopori oleh
Indonesia, Filipina, Fiji, Mauritius, dan didukung oleh negara-negara kepulauan
lainnya.17
Pengaturan tentang garis pangkal kepulauan ini terdapat dalam Pasal 47 Konvensi
Hukum Laut PBB 1982 yang sekaligus menentukan syarat dan pembatasan dalam
penarikannya. Menurut ayat 1 dalam pasal tersebut, menjelaskan bahwa, suatu negara
dapat menarik garis pangkal kepulaua yang menghubungkan titik-titik dengan ketentuan,
bahwa perbandingan antara daratan dan perairannya, adalah satu berbanding sembilan.
Sedangkan dalam ayat 2, dijelaskan tentang batas maksimum dari garis pangkal
kepulauan yaitu, tidak boleh melebihi dari 100 mil laut. Kalaupun ada diantara garis
pangkal kepulauan itu yang melebihi 100 mil laut, jumlahnya tidak boleh lebih dari 3%
dari jumlah seluruh garis pangkal kepulauan tersebut, tetapi panjang maksimumnya tidak
16
Ibid, diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 15.52 WIB
17
boleh melebihi dari 125 mil laut. Dalam ayat 3 dijelaskan, bahwa penarikan garis pangkal
kepulauan ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum dari kepulauan
tersebut. Dalam ayat 4 dijelaskan, bahwa larangan untuk menjadikan elevasi surut (low
tide elevation) sebagai titik untuk menentukan atau menarik garis pangkal, kecuali jika di
atasnya didirikan mercusuar atau instalasi yang serupa dan secara permanen berada di
atas permukaan laut, atau apabila elebasi surut tersebut terletak sepenuhnya atau sebagian
pada suatu jarak yang tidak melebihi dari lebar Laut Teritorial diukur dari pulau yang
terdekat. Terakhir dalam ayat 5 dijelaskan, yaitu garis pangkal kepulauan itu tidak boleh
diterapkan jika penerapan itu akan mengakibatkan terpotongnya Laut Teritorial negara
lain dari Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif.18
Suatu negara kepulauan disamping dapat menerapkan garis pangkal kepulauan, juga masih
dapat menerapkan garis pangkal normal maupun garis pangkal lurus pada pantai-pantainya yang
berdasarkan Konvensi, memang sepantasnya tepat diterapkan masing-masing garis pangkal
tersebut. Lebar Laut Teritorial akan mengelilingi seluruh garis pangkalnya (garis pangkal lurus,
normal, maupun kepulauan) dengan kata lain, mengelilingi seluruh bagian luat dari Negara
kepulauan. Bagian laut yang terletak di sebelah dalam dari garis pangkal kepulauan disebut
dengan perairan kepuluan (archipelagic waters). Indonesia, perairan tersebut disebut Perairan
Nusantara. 19
2. Landas Kontinen
Landas Kontinen, sebenarnya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dunia yang
semakin pesat secara otomatis membuat kebutuhan manusia semakin bertambah. Untuk
18
Ibid, hlm. 163 diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 15.54 WIB
19
memenuhi keperluan tersebut, negara-negara pantai tidak hanya cukup dengan memiliki Laut
Teritorial saja, melainkan lebih jauh dari pantai yang disebut Landas Kontinen.20
Pranata hukum tentang Landas Kontinen, secara formal mulai dikenal semenjak Presiden
Amerika Serikat, Henry S. Truman pada tanggal 28 September 1945 yang mengeluarkan
suatu deklarasi atau proklamasi mengenai dua hal, yakni Proklamasi tentang Landas
Kontinen dan Proklamasi tentang Perikanan. Adapun isi dari Proklamasi Truman secara
singkat, adalah Amerika Serikat merasa berkepentingan untuk mengamankan dan
memanfaatkan sumber daya alam dari dasar laut dan tanah di bawahnya yang disebut dengan
Landas Kontinen yang terletak di bawah laut lepas tetapi merupakan kelanjutan dari Amerika
Serikat. Oleh karena itu, Amerika Serikat memiliki yurisdiksi dan pengawasan Landas
Kontinen tersebut. Jika Landas Kontinen itu sampai meluas pada pantai negara lain di
hadapannya ataupun berdampingan dengan pantai negara tetangganya maka garis batasnya
akan ditentukan oleh Amerika Serikat dengan negara-negara yang bersangkutan sesuai
dengan prinsip keseimbangan. Status dan sifat dair laut di atasnya sebagai laut lepas akan
tetap dihormati oleh Amerika Serikat.21
Landas Kontinen yang dimaksud oleh Proklamasi Truman adalah Landas Kontinen dalam
pengertian yurisdiksi yang berbeda dengan Landas Kontinen dalam pengertian geologis.
Dalam pengertian geologis yang disebut Landas Kontinen itu meliputi keseluruhan dasar laut
dan tanah dibawahnya yang terletak di bawah perairan laut, baik yang terletak di bawah area
Laut Teritorial maupun di luarnya. Landas Kontinen hanyalah dua benua saja, sedangkan
20“ya su ar Da : Politik Kelauta , Bu i Aksara, Jakarta, , hl . diakses pada Agustus 6 pukul
23.23 WIB
21H. W Briggs: The Law Of Natio s: Cases, Do u e ts, a d Notes , “e o d
pulau tidak memiliki Landas Kontinen. Sesuai dengan namanya yaitu Kontinen (continent)
yang artinya benua. Jadi secara geologis, Landas Kontinen sama dengan Landas Benua.22
Ternyata Proklamasi Truman ini tidak menimbulkan protes dari negara-negara lain.
Negara-negara di kawasan dunia lainnya, kemudian mengikuti jejak dan langkah Amerika
Serikat ini namun dengan isi dan rumusan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Namun
ada tiga negara Amerika Latin, yakni Chile, Equador, dan Peru, dalam Konferensinya di
Cuidad-Truillo pada tahun 1952, memproklamasikan klaimnya yang sangat ekstrim atas
lautan dengan menyatakan, bahwa kawasan lautan (perairan dan dasar laut serta tanah di
bawahnya dalam jarak 200 mil laut dari pantainya merupakan kedaulatannya.23
Klaim ekstrim tersebut, untuk ukuran waktu itu, ditentang habis-habisan oleh banyak
negara di dunia. Barulah dalam Konferensi Hukum Laut di Jenewa pada tahun 1958 Landas
Kontinen menjadi salah satu pokok pembahasan. Konferensi mencapai kata sepakat dan
lahirlah Konvensi tentang Landas Kontinen. Pasal 1 Konvensi menegaskan pengertian
Landas Kontinen, yakni dasar laut dan tanah di bawahnya yang bersambungan dengan pantai
tetapi di luar daerah Laut Teritorial, sampai pada kedalaman 200 meter atau lebih, sepanjang
kedalaman air laut di atasnya masih memungkinkan untuk dapat mengeksplorasinya dan
mengeksploitasi sumber daya alamnya. Termasuk pula dalam pengertian Landas Kontinen
ini adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar daerah Laut Teritorial
sebuah pulau. Pengertian Landas Kontinen ini adalah dalam arti yuridis yang berbeda dengan
dalam arti geologis.24
22I Waya Parthia a: Pe ga tar Huku I ter asio al , Ma dar Maju, Ba du g, hl . diakses pada
tanggal 15 Agustus 2016 pukul 19.06 WIB
23
Mochtar Kusumaat adja: Masalah Lebar Laut Teritorial Pada Ko fere si-Konferensi Hukum Laut di Jenewa
9 da 96 , PT Pe erbita U i ersitas, Ba du g, 96 , hl . -21
24
Tegasnya, kriteria dari Landas Kontinen dalam arti yuridis ini menurut Pasal 1Konvensi
ini adalah:
a. Dibatasinya dasar laut dan tanah di bawahnya yang merupakan Landas Kontinen,
yakni hanya meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar area Laut
Teritorial. Jadi tidak meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di
bawah area Laut Teritorial. Oleh karena secara yuridis dasar laut dan tanah di
bawahnya ini sudah merupakan bagian wilayah negara pantai, meskipun secara
geologis merupakan Landas Kontinen.
b. Ditentukannya kriteria kedalaman 200 meter atau lebih dalam pengeksplorasian dan
pengeksploitasiannya, atau disebut juga dengan kriteria exploitability, suatu kriteria
yang sangat relatif sehingga pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian tentang batas
terluar dari Landas Kontinen tersebut.
c. Diperluasnya pengertian Landas Kontinen ini pada pulau; tegasnya pulaupun secara
yuridis memiliki Landas Kontinen, sedangkan secara geologis pulau tidak memiliki
Landas Kontinen.25
Pada Landas Kontinen inilah negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi
Landas Kontinennya dan mengeksploitasi sumber daya alamnya. Negara-negara lain tidak
boleh melakukan hal yang sama pada Landas Kontinen tersebut tanpa ijin atau persetujuan
dari negara pantai yang bersangkutan. Negara pantai hanya memiliki hak ekslusif atas
sumber daya alamnya saja, sedangkan atas Landas Kontinennya negara pantai sama sekali
tidak memiliki kedaulatan, mengingat statusnya yang bukan merupakan wilayah negara.26
25
Ibid, hlm. 181 diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 19.35 WIB
26
Namun, dari ketentuan Pasal 1 tersebut, sama sekali tidak tampak jelas batas terluarnya.
Hal ini disebabkan karena batas terluar itu digantungkan pada kriteria kedalaman air laut di
atasnya sampai pada batas 200 meter atau lebih, sepanjang masih dimungkinkan untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alamnya. Akibatnya, hal tersebut menjadi
sangat relatif, oleh karena kemampuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi tersebut sangat
tergantung pada kemajuan teknologi kelautannya masing-masing. Apabila suatu negara
teknologi kelautannya sangat maju, maka negara tersebut akan mampu mengeksplorasi dan
mengeksploitasinya sampaipada kedalaman yang sangat dalam dan jauh ke tengah lautan,
sehingga Landasan Kontinennya menjadi sangat jauh dan sangat luas. Secara otomatis
keadaan tersebut membuat negara- negara pantai yang tergolong negara maju (developed
countries) menikmati secara maksimal dan optimal atas sumber daya alam dari Landas
Kontinen yang sedemikian luasnya. Sebaliknya, negara-negara yang termasuk ke dalam
golongan sedang berkembang (developing countries), walaupun secara yuridis mempunyai
Landas Kontinen, hanya dapat menguasai Landas Kontinen yang terbatas karena
keterbatasan teknologi. Meskipun dapat saja dilakukan eksploitasi atas sumber daya alam
dari Landas Kontinennya, misalnya dengan memberikan ijin atau konsesi pada negara atau
perusahaan-perusahaan dari negara yang teknologinya sudah maju, hal ini akan menimbulkan
ketergantungan yang terus menerus yang pada akhirnya akan merugikan negara-negara itu
sendiri. Di samping itu, ada pula sekelompok negara yang sama sekali tidak berpantai
(land-lock states) sebagian dari negara yang tidak berpantai tersebut merupakan negara-negara
yang sedang berkembang, dan sama sekali tidak memiliki Landas Kontinen, sehingga sama
sekali tidak dapat menikmati sumber daya alam yang terkandung dalam lautan, termasuk
negara yang secara geografis tidak beruntung (geographically disadvantage states), yaitu
negara-negara yang pantainya berhadapan dengan pantai negara-negara lain dimana laut
diantara pantai negara-negara itu lebarnya sama dengan atau mungkin lebih kecil dari jumlah
lebar Laut Teritorial kedua negara. Negara-negara ini sama sekali tidak memiliki Landas
Kontinen, misalnya, Singapura, Irak, dan Kuwait. Negara-negara tersebut mendapat
perlakuan tidak adil dari Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958.27
Kemudian, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai menaruh perhatian yang serius dan
sungguh-sungguh atas masalah kelautan, antara lain dengan melakukan studi yang mendalam
atas dasar laut dan tanah di bawahnya serta dasar samudera-dalam di luar yurisdiksi nasional.
Berkembang menjadi studi yang intensif dan mendalam serta terintegrasi atas keseluruhan
masalah kelautan dalam rangka membentuk prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah Hukum Laut
Internasional baru yang akan diformulasikan dalam sebuah Konvensi Hukum Laut
Internasional. Singkatnya, Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
dimulai di Caracas, Venezuela, pada tahun 1973, selanjutnya diteruskan di Jenewa dan New
York, sampai pada akhirnya disepakati dnaskah Konvensi yang kemudian ditandatangani di
Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982.28
Kelebihannya adalah jika dibandingkan dengan Konvensi tentang Landas Kontinen 1958
adalah tentang garis atau batas luar Landas Kontinen sudah ditetapkan dengan tegas,
sehingga terjamin adanya kepastian hukum bagi semua pihak. Sedangkan dasar laut dan
tanah di bawahnya yang terletak di luar yurisdiksi nasional, yang dalam Konvensi Hukum
27
Ibid, hlm. 183 diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 21.40 WIB
28
Laut PBB 1982 dikenal juga dengan sebutan kawasan (the area) berstatus sebagai warisan
bersama umat manusia (common heritage of mankind).29
Kesulitan Umum yang dihadapi oleh negara-negara pantai yang mempunyai Landas
Kontinen, adalah bagi negara-negara yang berhadapan atau berdampingan yang menyangkut
batas-batas Landas Kontinen yang merupakan jurisdiksi nasional mereka masing-masing.
Misalnya, bagi negara-negara tepi Laut Cina Selatan dan Teluk Siam di kawasan Asia –
Pasifik. Di kawasan tersebut banyak sekali wilayah laut yang belum dapat ditentukan
batas-batasnya oleh negara-negara tepi, sehingga menjadi daerah sengketa.30
Di lain pihak, terdapat pula prinsip garis tengah, yang menyatakan bahwa garis batas,
harus mempunyai jarak yang sama dari masing-masing garis dasar negara-negara yang
berhadapan atau berdampingan. Konvensi Hukum Laut yang baru telah memberikan
pedoman bahwa masalah garis batas merupakan wewenang negara pantai yang bersangkutan
untuk menyelesaikannya secara bilateral atau multilateral. Dalam hal ini dapat dilihat
ketentuan tentang garis batas Landas Kontinen antara negara-negara yang berdampingan atau
berhadapan yang terdapat dalam Pasal 83 sebagai berikut.
1. Perbatasan Landas Kontinen antara negara-negara yang berdekatan atau berhadapan
akan dilaksanakan melalui persetujuan yang sesuai dengan asas keadilan (equitable
principles) untuk menentukan secara tepat garis tengan (median-line), yaitu suatu garis yang jaraknya sama dari masing-masing pantai dengan memperhartikan keadaan
di sekitarnya secara relevan.
29
Ibid, hlm. 185 diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 21.55 WIB
30“ya su ar Da : Politik Kelauta , Bu i Aksara, Jakarta, ,
2. Jika tidak ada persetujuan yang dapat dicapai dalam masa tertentu, maka
negara-negara yang bersangkutan harus mengikuti prosedur yang diterapkan dalam Bab XV
(Settlement Disputes).
3. Selama persetujuan atau penyelesaian belum tercapai, negara-negara diharuskan
membuat peraturan-peraturan sementara dengan memperhatikan ketentuan dalam
ayat (1).
4. Apabila telah dicapai suatu persetujuan antara negara-negara yang bersangkutan,
masalah-masalah yang berhubungan dengan perbatasan Landas Kontinen akan
ditentukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal persetujuan
tersebut.31
Dalam masalah garis Batas Landas Kontinen ini, Indonesia menentukan batas-batas
Landas Kontinen dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan India,
menganut prinsip garis tengah yang ditarik antara garis-garis dasar yang dipakai untuk
menentukan lebar Laut Teritorial.32
3. Zona Ekonomi Ekslusif
Zona Ekonomi Ekslusif, merupakan salah satu Pranata Hukum Laut Internasional yang
dapat dikatakan relatif baru. Pranata Hukum Laut tersebut baru muncul pada awal tahun
1970. Diawali dan dipelopori oleh negara-negara di kawasan Afrika yang tergabung dalam
Organization of African Unity (OAU) melalui peraturan perundang-undangan nasionalnya
maupun deklarasi-deklarasi sepihak dari negara-negara pantai dalam satu kawasan dan
selanjutnya diperjuangkan dalam forum-forum internasional, baik dalam ruang lingkup
regional maupun global. Misalnya dalam Konferensi Hukum Laut PBB 1973-1982, Zona
31
Ibid, hlm. 28 diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 16.08 WIB
32