• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DI LAPAS NARKOTIKA KLAS II A CIPINANG JAKARTA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DI LAPAS NARKOTIKA KLAS II A CIPINANG JAKARTA TIMUR"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi Ini Disusun Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam Mendapatkan Gelar Sarjan Hokum Di Fakultas Hokum

Disusun Oleh :

Nama : Rohayati

Nim : 20120610237

FAKULTAS HOKUM MUHAMMADYAH YOGYAKARTA

(2)

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum yang mana larangan tersebut di sertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.1 Salah

satu tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman pidana, yakni tindak pidana

narkotika.

Tindak pidana narkotika selalu mendapat perhatian bagi masyarakat

umum dan aparat penegak hukum. Mengingat jumlah pengguna yang semakin

meningkat dan dampak yang di timbulkan dapat merusak generasi muda.

Narkotika merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan

stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan kesehatan,

ekonomi dan politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas.

Narkotika merupakan ancaman terhadap generasi muda menuju masyarakat

yang sehat dan sejahtera.

Pembicaraan tentang penyalahgunaan narkotika seakan tidak ada

putus-putusnya. Hal ini menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi saat ini,

dimana penyalahguna dan pengedar gelap narkotika semakin marak terjadi di

dalam lapas narkotika.

1

(3)

Penyalahgunaan narkotika bukan lagi masalah baru di Indonesia.

Mengingat penyalahgunaan narkotika di Indonesia terus menunjukkan

peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor

penghambat keberhasilan untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan

sejahtera.

Salah satu upaya pemerintah dalam penanganan penyalahgunaan

narkotika adalah dengan membentuk peraturan perundang-undangan tentang

narkotika. Peraturan dan Undang-Undang yang pertama dibuat Belanda pada

tahun 1927 yaitu Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie)

(Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536). Akan tetapi peraturan ini dibuat hanya

mengatur tentang penggunaan dan obat bius dan melegalkan penggunanya

selama hanya dilakukan di tempat-tempat yang sudah ditetapkan. Akhirnya

pada tahun 1976 dikeluarkanlah Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 yang

kemudian direvisi menjadi No 22 Tahun 1997 dan pada tahun 2009 direvisi

kembali menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

guna meminimalisir tingginya angka penyalahgunaan narkotika di Indonesia.

Tindak pidana penyalahguna narkotika termasuk tindak pidana khusus

yang diatur dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Menurut Paul Scholten hokum pidana ada dua yaitu hokum pidana umum dan

(4)

hokum pidana khusus ialah perundang-undangan bukanlah yang bersanksi

pidana yang disebut juga hokum administrasi.2

Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan

UU hokum pidana khusus menerapkan ancaman atau sanksi pidana adalah

pidana mati, pidana penjara dalam waktu tertentu/seumur hidup, dan pidana

denda, juga menerapkan sanksi berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial bagi penyalahguna narkotika baik yang berada dalam rutan/lapas. Hal

ini menunjukan bahwa UU Narkotika No 35 Tahun 2009 yang dibentuk oleh

pemerintah ini bersifat double track system. Dauble track system, dalam

sistem pemidanaan adalah sanksi pidana dan sanksi tindakan, diterapkan

dalam kedudukan yang setara karena sama-sama penting, karena pemidanaan

sesungguhnya memiliki unsur pencelaan/penderitaan (lewat sanksi pidana)

dan unsur pembinaan (lewat sanksi tindakan).3

Terdapat steatment dalam UU Narkotika No 35 Tahun 2009, bahwa

pelaku tindak pidana narkotika dapat dijatuhi sanksi pidana dan juga

rehabilitasi, akan tetapi ada juga yang hanya dikenakan sanksi rehabilitasi

saja. Dalam Pasal 54 dijelaskan bahwa pecandu, penyalahguna maupun

penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial. UU Narkotika telah memberi kewenangan kepada hakim yang

2

Andi Hamzah, Asas-Asas Hokum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 1994, hlm. 12

3

(5)

memeriksa pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang

bersangkutan menjalani pengobatan dan/ atau perawatan apabila pelaku tidak

terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah

Agung No 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Pemakai Narkotika Ke Dalam

Terapi Dan Rehabilitasi bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau

perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana tersebut di atas sebagai masa

menjalani pidana.

Perubahan UU Narkotika yang baru yaitu UU No 35 Tahun 2009

tentang Nakotika yang mengharuskan agar para terpidana pengguna narkotika

dan korban penyalahguna narkotika dipulihkan di pusat rehabilitasi. Beberapa

waktu lalu hakim-hakim masih banyak memutuskan menetapkan para

pengguna dan penyalahguna narkotika ke Lembaga Pemasyarakatan, saat ini

para terpidana bisa bebas meminta untuk merubah ketetapan itu, dari Lapas

untuk dipindakahkan ke Pusat Rehabilitasi.4

Seiring dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang tidak

mendukung pada saat ini karena dampak negatif keterpengaruhan prilaku

kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan

yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat,

keadaan ini diperlakukan dengan perbedaan di Lembaga Pemasyarkaan

Narkotika karena yang menjadi penghuni di Lembaga Pemasyarakatan

4

(6)

Narkotika secara khusus merupakan narapidana narkotika sehingga pola

pembinaan di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika adalah pembinaan yang

konfrehensif antara pemulihan dengan pemidanaan. Pembinaan yang

dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang Jakarta Timur

selalu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan.

Pelaksanaan SEMA RI No. 04 tahun 2010 tentang Penempatan

Penyalahguna Narkotika ke Pusat Terapi dan Rehabilitasi hakim tetap

memperhatikan komposisi pemakaian sehingga pengguna dapat diputuskan

untuk melaksanakan perawatan di tempat rehabilitasi. Arti penting penerapan

rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika adalah pengobatan, perawatan

pecandu dan ketergantungan narkoba akan mengurangi kelebihan kapasitas

lembaga pemasyarakatan, disamping dapat mengurangi peredaran gelap

narkotika, untuk itu kerangka yuridis yang telah ada di dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 54 adalah sebagai

dasar bagi hakim untuk dapat memutuskan pecandu narkotika dan korban

Menyangkut rehabilitasi adalah bagian dari sistem pembinaan yang

digunakan untuk membantu seseorang melepaskan diri dari kecanduan dan

merubah prilakunya menjadi lebih baik. Dalam tahap rehabilitasi pemakai

narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang menekankan pada

(7)

Pelaksanaan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi

penyalahguna narkotika sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan diatur dalam

Peraturan Menteri Republik Indonesia. Rehabilitasi medis diatur dalam

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2012 Tentang Teknis

Pelaksanaan Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, Dan Korban Penyalahguna

Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh Pengadilan.

Kemudian dalam rehabilitas sosial diatur dalam Peraturan Menteri Sosial

Nomor 56/HUK/2009 Tentang Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Korban

Penyalahguna Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainya.

Rehabilitasi bagi narapidana yang terlibat dalam tindak pidana

narkotika cara yang dilakukan Lapas agar narapidana atau Warga Binaan

Pemasyarakatan tidak mengulangi tindak pidananya atau residiv, yakni

dengan melakukan pembinaan khusus, yang dapat memulihkan keadaan fisik

dan mentalnya menjadi sehat atau baik.

Di dalam konsideran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, fungsi

Lapas juga sebagai lembaga penegak hokum, bahwa Sistem Pemasyarakatan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

bagian akhir dari sistem pemidanaan, yang merupakan rangkaian penegakan

hokum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari

kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga

(8)

dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga Negara yang

baik dan bertanggung jawab.

Konsep Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai tempat pembinaan

dan pendidikan bagi orang yang bermasalah dengan hokum, khususnya

terhadap kasus-kasus narkotika perlu dilakukan dan diadakan lapas sendiri

secara khusus yang membedakan antara bandar atau orang yang terlibat

sindikat peredaran gelap narkotika, pengedar maupun hanya sebatas pemakai

atau pecandu yang tertangkap tangan. Diantara mereka yang sebaiknya

dipisahkan agar pengawasan dapat dilakukan secara khusus terhadap

masing-masing kategori. Dengan demikian kontrolpun akan dapat dilakukan secara

maksimal serta khusus.

Lembaga pemasyarakatan yang khusus membina narapidana dalam

tindak pidana narkotika di wilayah Jakarta adalah Lembaga Pemasyarakatan

Narkotika Klas II A Cipinang Jakarta Timur, yang dibentuk berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor : M-04.PR.07.03 Tahun 2003 tanggal 16 april 2003. Dengan

klasifikasi Klas II A, adalah salah satu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) di

bidang pemasyarakatan yang berada dalam wilayah kerja kantor wilayah

Departemen Hokum dan HAM Daerah Ibu Kota Jakarta, Berlokasi Jalan Raya

Bekasi Timur, No. 170 A, Jakarta Timur 13410.5

5

(9)

Pada prinsipnya, tugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yakni

dengan sistem pemasyarakatan yang diselenggarakan memiliki fungsi :

1. Melaksanakan pembinaan narapidana/anak didik kasus narkotika

2. Memberikan bimbingan, terapi dan rehabilitasi narapidana/ anak didik

kasus narkotika.

3. Melakukan bimbingan sosial/ kerohanian.

4. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib lapas.

5. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.6

Bertujuan agar narapidana tersebut menyadari kesalahannya dengan

memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat. Meskipun segala upaya telah dilakukan

oleh pemerintah. Permasalahan narkotika masih terus terjadi bahkan semakin

marak terjadi khusunya didalam lapas Klas II A Cipinang Jakarta Timur

dimana para pecandu dan korban penyalahguna narkotika disatukan dengan

para pengedar gelap dan para sindikat yang pada akhirnya menimbulkan

permasalahan baru, selain itu melihat jumlah narapidana di LP Cipinang telah

mencapai 3038 orang sedangkan kapasitas LP Cipinang hanya 1084 orang,

artinya melebihi kapasitas (overload), masalah lain seperti kematian dan

peredaran gelap narkotika di dalam lapas sering terjadi bahkan petugas lapas

sendiri terjaring peredaran gelap narkotika oleh salah satu narapidana dan

masalah anggaran atau SDM di LP Cipinang yang merupakan salah satu

6

(10)

pendukung terlaksananya rehabilitasi, masih kurang. Hal inilah yang menjadi

permasalahan seperti apa pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Narkotika Klas

IIA Cipinang Jakarta timur, apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan hal ini peneliti ingin

mengkaji lebih lanjut mengenai Pelaksanaan Rehabilitas Bagi Narapidana

Di Lapas Narkotika Klas II A Cipinang Jakarta Timur”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi bagi narapidana narkotika di Lapas

Narkotika Klas II A Cipinang Jakarta Timur?

2. Apa kendala dalam pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Narkotika Klas IIA

Cipinang Jakarta Timur?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penyusunan penulisan hokum ini, ada beberapa tujuan yang

ingin dicapai sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan rehabilitasi bagi narapidana di Lapas

Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta timur.

2. Untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaan rehabilitas oleh petugas

pemasyarakatan yang merupakan pejabat fungsional penegak hokum yang

melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan

(11)

D. Tinjauan Pustaka

1. Pelaksanaan Rehabilitasi. a. Pengertian Pelaksanaan

Pelaksanaan atau implementasi merupakan salah satu tahap

penting dalam proses kebijakan publik.7 Dalam kamus Webster

dirumuskan secara singkat tentang pelaksanaan atau implentasi, yaitu to

implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for

carryng out (menyediakan sarana untuk melakukan sesuatu) to give

practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).8 Secara sederhana pelaksanaan atau implementasi bisa diartikan sebagai

penerapan. Majone dan Wildavsky mengemukakan pelaksanaan sebagai

evaluasi. Sedangkan Browne dan Wildavsky mengemukakan bahwa

Pelaksanaan adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan.9

Pengertian diatas memperlihatkan bahwa pelaksanaan bermuara

pada aktivitas, adanya aksi, atau mekanisme suatu sistem. Mekanisme

mengandung arti bahwa pelaksanaan bukan sekedar aktivitas, tetapi juga

merupakan suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara

sungguh-sungguh berdasarkan norma tertentu. Salah satu aktivitas atau program

kegiatan yang terencana oleh pemerintah adalah pelaksanaan rehabilitasi

7

http://id.scribe.com/doc/84917286/Beberapa-Teori-Tentang-Implementasi-Program-Atau-Kebijakan.

8

Wahyudi Setya. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia.Yogyakarta : PT. Genta Publishing, hlm. 13

9

(12)

bagi narapidana narkotika, bertujuan menanggulangi penyalahgunaan

narkotika.

Program rehabilitasi bagi narapidana narkotika merupakan

serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas

upaya-upaya medis, bimbingan mental, psikososial, keagamaan dan pendidikan

untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan

menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai

dengan potensi yang dimiliki baik fisik, mental, sosial dan ekonomi.10

b. Pengertian Rehabilitasi.

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1988, rehabilitasi

adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan) yang dahulu (semula)

perbaikan individu, pasien rumah sakit, atau korban bencana, supaya

menjadi manusia yang lebih berguna dan memiliki tempat di masyarakat.

Rehabilitasi atau treatment merupakan tujuan pemidanaan yang

dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan

sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan perbuatannya.

Namun pemidanaan yang dimaksud adalah memberi tindakan perawatan

(treatment) dan perbaikan (rehabilitasi) kepada pelaku kejahatan sebagai

pengganti dari penghukuman.11

10

http;//Digilib.unila.ac.id/4718.pdf tanggal 25 januari 2015

11

(13)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi

merupakan suatu upaya pengobatan bertujuan agar seseorang

mendapat-kan hak dan kedudumendapat-kannya kembali untuk dapat hidup normal di dalam

masyarakat.

2. Jenis-Jenis Rehabilitasi.

Pada dasarnya, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotikadikenal 2 (dua) macam rehabilitasi narkotika,12 yaitu:

a. Rehabilitasi Medis

Menurut pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika, rehabilitasi medis adalah : suatu proses kegiatan

pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari

ketergantungan Narkotika.”

Sedangkan Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.

378/Menkes/SK/IV/2008 tentang pedoman pelayanan rehabilitasi medis di

rumah sakit disebutkan bahwa pelayanan rehabilitasi medis merupakan

pelayanan kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsi yang diakibatkan

oleh keadaan atau kondisi sakit. Rehabilitasi medis dapat dilakukan

dirumah sakit yang ditunjukan oleh menteri kesehatan, yaitu rumah sakit

yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.

12

(14)

b. Rehabilitasi Sosial

Menurut pasal 1 angka 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika, Rehabilitasi sosial adalah

“Suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,

mental maupun sosial agar pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial dapat dilakukan dilembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri

Sosial.”

Ketentuan mengenai rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika

diatur dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 dalam Pasal 54 sampai

dengan Pasal 59.13 Dalam Pasal 54 menjelaskan bahwa Pecandu

narkotika, penyalahguna dan korban penyalahguna narkotika wajib

menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”

Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika

dalam keadaan ketergantungan baik secara fisik maupun psikis menurut

Pasal 1 angka 13 UU No 35 Tahun 2009.

Dalam pelaksanaan rehabilitasi, diatur pula oleh Mahkamah

Agung dalam Surat Edaran No 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan

Penyalahguna, Korban Penyalahguna dan Pecandu Narkotika ke dalam

Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dalam pelaksanaan

rehabilitasi diatur juga dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 46 Tahun

2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi

13

(15)

Pecandu, Penyalahguna Dan Korban Penyalahguna Narkotika Yang

Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh Pengadilan, Dan Peraturan

Menteri Sosial No 56/HUK/2009 Tentang Pelayanan Dan Rehabilitasi

Sosial Korban Penyalahguna Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif

Lainnya.

3. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Bagi Narapidana Narkotika. a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Bagi Narapidana Terhadap

Tindak Pidana Narkotika

Dalam sistem hokum pidana mengenal istilah Lembaga

Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Dengan kata lain rutan

adalah bagian dari Lembaga Tahanan/Lembaga Penahanan, secara umum

keduanya merupakan lembaga yang memiliki fungsi yang berbeda.

Lembaga pemasyarakatan atau yang disingkat dengan Lapas

merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak

didik pemasyarakatan.14 Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak

pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan

tersebut melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi.15

14

www.hukumonline.com. Sutrisno.Puluhulawa tanggal 13 Januari 2010.

15

(16)

Dalam sistem pemasyarakatan, narapidana, anak didik

pe-masyarakatan berhak mendapatkan pembinaan rohani dan jasmani serta

dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya.16

Tujuan diselenggarakannya sistem pemasyarakatan dalam rangka

membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia

seutuhnya, menyadari kesalahan memperbaiki diri, dan tidak

me-nanggulangi tindak pidana sehigga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat.17

Fungsi sistem pemasyarakatan menyiapkan Warga Binaan

Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,

sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota bebas dan bertanggung

jawab.

b. Pengertian Narapidana Narkotika

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang

kemerdekaan di LAPAS. Menurut kamus besar bahasa Indonesia

narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak

pidana.18 Sementara itu, menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan

bahwa narapidana adalah orang hukuman; orang buaian. Selanjutnya

berdasarkan kamus hukum narapidana diartikan sebagai berikut:

(17)

Narapidana adalah orang yang menjalani pidana dalam Lembaga

Pemasyarakatan.19

Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang

menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.

Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di pidana berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah

seseorang terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di lembaga

pemasyarakatan dimana sebagaian kemerdekaanya hilang.

c. Pengertian Narkotika

Istilah narkotika bukan lagi istilah asing bagi masyarakat

mengingat begitu banyaknya berita, baik dari media cetak maupun

elektronik yang memberitakan tentang pengguna narkotika dan bagaimana

korban dari berbagai kalangan usia berjatuhan akibat penggunaannya.20

Menurut AR. Sujono dan Bony Daniel kata narkotika pada

dasarnya berasal dari bahasa yunani “narkoun” yang berarti membuat

lumpuh atau mati rasa. Kemudian, Makarau mengemukakan bahwa

19

Soraya Andi Tenrisoji Amirudin, Pemenuhan Hak Narapidana Hal Mendapatkan Pendidikan Pelatihan Anak. 2013, hlm. 10

20

(18)

narkotika adalah jenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh

tertentu bagi orang kepada terdakwa tidak melanggar kepentingan hokum

yang hendak dilindungi pembentuk undang-undang meskipun semua

bagian tertulis dari rumusan delik terpenuhi.21

Sementara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 jo Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika,

pengertian narkotika adalah :

“zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun

semisintetis yang dapat menyebabkan penuruan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang, yang kemudian ditetapkan dengan keputusan menteri kesehatan”.

Meriam-webster memberi definisi sebagai berikut :

A drug (as opium or morphine) that in moderate doses dulls the senses,

relives pain, and induces profound sleep but in excessive doses causes

stupor, coma, or convulsions; sebuah obat (seperti opinium atau morfin)

yang dalam dosis tertentu dapat menumpulkan indra, mengurangi rasa

sakit, dan mendorong tidur, tetapi dalam dosis berlebihan menyebabkan

pingsan, koma atau kejang.22

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa narkotika terdapat

dua macam yaitu narkotika sintesis dan narkotika non sintesis. Narkotika

21

AR. Sujono & Bony Daniel dalam, Ardillah Rahman, Implementasi Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika 2013, hlm. 40

22

(19)

non sintesis ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish,

codein, dan cocaine. Narkotika non sinstesis masuk dalam pengertian

narkotika secara luas. Narkotika sintesis yang termasuk didalamnya

zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat yaitu : Hallucinogen,

Depressant, Dan Stimulant. Narkotika bekerja mempengaruhi susunan

syaraf sentral yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau

pembiusan. Bahwa dalam pengertian narkotika di sini adalah mencakup

obat-obat bius dan obat-obat narcotic and dangerous drugs.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini Penulis menggunakan Penelitian Yuridis

Empiris. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai

pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in

action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam

masyarakat.23 Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian lapangan

(penelitian terhadap data primer) yaitu suatu penelitian meneliti

peraturan-peraturan hukum yang kemudian di gabungkan dengan data dan prilaku

yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Data/materi pokok dalam

23

(20)

penelitian ini diperoleh secara langsung dari para responden melalui

penelitian lapangan, yaitu para tahanan narkotika di LP Cipinang.

2. Sumber Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data yang

bersifat primer dan bersifat sekunder. Data primer dalam penelitian ini

langsung diperoleh dari sumber data di lapangan (field research), meliputi

sejumlah narasumber yang menyangkut tentang informasi pelaksanaan

rehabilitasi, berupa wawancara, angket kuesioner.

Dalam penelitian ini untuk pengambilan narasumber dan

responden menggunakan teknik purposive sampling, yaitu menentukan

sampel dengan berbagai pertimbangan atau alasan. Teknik ini digunakan

untuk menggunakan narasumber dan responden berdasarkan jenis/bidang

dalam hal ini narasumber yang dalam penelitian ini adalah Kepala

Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS) dan Petugas Lapas yang bertugas

sebagai Konselor/Psikolog dalam pembinaan rehabilitasi di LP Cipinang.

sementara responden yang akan mengisi kuisioner/angket dalam penelitian

ini adalah narapidana narkotika.

Disamping itu untuk mendukung data primer, digunakan data

sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari hasil

penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau

(21)

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier.

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yang

mencakup peraturan perundang-undangan terkait dengan topik

masalah yang dibahas yaitu :

1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan

Dan Pembimbinga Warga Binaan Pemasyarakatan.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan

Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

5) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2012 Tentang

Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu,

Penyalahguna, Dan Korban Penyalahguna Narkotika Yang Dalam

Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh Pengadilan.

6) Peraturan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/2009 Tentang Pelayanan

Dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,

Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainnya.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer24 meliputi buku-buku teks,

24

(22)

bahan hukum yang bersumber dari literatur-literatur, jurnal ilmiah dan

lain-lain, yang relevan dengan materi penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder25 seperti kamus hukum, kamus besar Bahasa Indonesia,

ensiklopedia, surat kabar, tabloid dan artikel-artikel dari internet yang

berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan

Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta Timur, berlokasi di Jalan Raya

Bekasi Timur, No 170 A, Jakarta Timur 13410.

4. Teknik Pengumpulan Data : a. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah;

1) Studi kepustakaan/dokumen, yaitu dengan mengumpulkan,

mengidentifikasi, dan menganalisis bahan-bahan hukum primer dan

sekunder maupun bahan hukum tersier yang berkaitan dengan

permasalahan/penelitian.

2) Studi lapangan, yaitu dengan cara mengumpulkan data secara

langsung ke lapangan dengan teknik melakukan wawancara kepada

25

(23)

beberapa narasumber, dan memberikan angket/kuisioner kepada

responden. Teknik pengumpulan data ini melalui tatap muka dan tanya

jawab langsung antara peneliti dengan narasumber maupun dengan

responden. Untuk angket/kuisioner akan diberikan kepada responden

yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, Bapak R. andhika Dwi PrasetyaB

Bc,IP,S.PD selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Narkotika Jakarta, Ibu Winarti S. Psi selaku petugas Lapas Narkotika

yang bertugas sebagai Psikolog/konselor dan Sigit Karyadi sebagai

Program Manager di Lembaga Pemasyarakatan. Sementara

Narapidana berinisial F, Z, A dan M sebagai responden.

b. Pengolahan Data

Dalam rangka pengolahan data dalam penelitian ini meliputi;

1) Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk

disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan

menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian ini.

2) Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya

diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang

benar-benar objektif.

3) Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang

telah ditetapkan dalam penelitian ini sehingga memudahkan

(24)

5. Analisis Data

Untuk mengolah data Primer dan juga data Sekunder seperti yang

telah dijabarkan diatas, agar menjadi sebuah karya ilmiah yang terpadu

dan sistematika diperlukan suatu teknik analisis yang dikenal dengan

analisis Deskriptif Kualitatif yaitu dengan cara mengambil data di

lapangan kemudian menyelaraskan atau menggambarkan keadaan yang

nyata dengan peraturan perundang-undangan.

F. SISTEMATIKA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN pada Bab ini memuat latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika

penulisan skripsi.

BAB II PEMBINAAN BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DALAM

SISTEM PEMASYARAKATAN dalam Bab ini menjelaskan tentang

pengertian mengenai tindak pidana narkotika, teori pemidanaan, sistem

pemasyarakatan dan sistem pembinaan narapidana, asas-asas dalam sistem

pembinaan pemasyarakatan, serta tujuan dan fungsi pembinaan bagi

narapidana narkotika.

BAB III REHABILITASI dalam bab ini menjelaskan mengenai pengertian

rehabilitasi dan tujuan rehabilitasi, bentuk pelayanan rehabilitasi, metode

(25)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN pada bab ini

membahas mengenai hasil penelitian dalam bentuk penyajian data dimana

berisi fakta atau data yang sudah dikumpulkan dan relevan serta melakukan

pengkajian terhadap penelitian yang di dapat yang berisi tentang pelaksanaan

rehabilitasi dan hambatan pelaksanaan rehabilitasi bagi narapidana narkotika

di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta Timur.

BAB V KESIMPULAN, menyajikan kesimpulan dimana pernyataan singkat

tentang hasil akhir yang mengaitkan antara landasan teoritik yang dijadikan

pijakan dengan hasil analisis dan pertimbangan peneliti bagi semua pihak

(26)

A. Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.

Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh

sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari

dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi

larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap

Warga Negara wajib di cantumkan dalam undang-undang maupun

peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.26

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang

hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat

undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah

peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Menurut

Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

26

(27)

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,

bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.27 Sedangkan menurut

Poernomo perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan

hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang

melanggar larangan tersebut.28

Pada umumnya, orang diancam pidana kerena melakukan suatu

perbuataan (act). Namun bisa juga karena “tidak berbuat” (omission), orang

diancam dengan pidana.29 Seseorang dapat dipersalahkan melakukan

perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam delik atau tindak pidana

narkotika yang diatur dialam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

apabila dapat dibuktikan berdasarkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sah

yang karenanya dapat meyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan

terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur delik yang terdapat dalam

Pasal 111 ayat (1).

Ketentuan Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111

sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang

merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam

Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya

adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu di sanksikan lagi bahwa

semua tindak pidana di dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan.

27

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm 54

28

Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hlm 130

29

(28)

Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu

pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan

tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang di

timbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan

bagi jiwa manusia.30

Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi

kepentingan-kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri Kesehatan

dapat memberi ijin lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan

untuk membeli atau menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk

persediaan ataupun menguasai tanaman Papaver, Koka Dan Ganja.

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

jenis narkotika di bagi dalam 3 (tiga) kelompok , yaitu Golongan I, II dan III.

Narkotika Golongan I adalah narkotika paling berbahaya, daya adiktifnya

sangat tinggi untuk golongan ini tidak diperbolehkan untuk kepentingan

apapun kecuali untuk kepentingan penelitian atau ilmu pengetahuan.

Contohnya adalah Ganja, Kokain Heroin, Morfin dll. Sementara narkotika

Golongan II memiliki daya adiktif yang kuat akan tetapi bermanfaat untuk

pengobatan dan penelitian contohnya adalah Petidin, dan turunannya. Dan

untuk Golongan III adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi

bemanfaat untuk penelitian, contohnya adalah Kodein dan keturunannya.

30

(29)

Pada dasarnya seseorang melakukan perbuatan tindak pidana

narkotika dengan cara menyalahgunakan narkotika di sebabkan oleh beberapa

faktor, baik faktor intern maupun ektern. Menurut Graham Bline,

penyalahgunaan narkotika dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu :31

1. Faktor intern (dari dalam dirinya)

a. Sebagai proses untuk menentang suatu otoritas terhadap orang tua,

guru, hukum atau instansi berwenang,

b. Mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual,

c. Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang

berbahaya dan penuh resiko,

d. Berusaha mendapatkan atau mencari arti dari pada hidup,

e. Melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman

sensasional dan emosional,

f. Mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, disebabkan kurang

kesibukan,

g. Mengikuti kemauan teman dan untuk memupuk rasa solidaritas dan

setia kawan,

h. Didorong rasa ingin tahu dan karena iseng.

31

(30)

2. Faktor Ekstern

a. Adanya usaha-usaha subversi untuk menyeret generasi muda ke

lembah siksa narkotika,

b. Adanya situasi yang diharmoniskan (broken home) dalam keluarga,

tidak ada rasa kasih sayang (emosional), renggangnya hubungan antara

ayah dan ibu, orang tua dan anak serta antara anak-anaknya sendiri,

c. Karena politik yang ingin mendiskreditkan lawannya dengan

menjerumuskan generasi muda atau remaja.

d. Penyalahgunaan narkotika merupakan wabah yang harus mendapatkan

penanggulangan yang serius dan menyeluruh. Penanggulangan dan

pencegahan harus dilakukan dengan prioritas yang tinggi serta terpadu.

Tindakan hukum perlu dijatuhkan secara berat dan maksimum,

sehingga menjadi jera dan tidak mengulangi lagi atau contoh bagi lainnya

untuk tidak berbuat. Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat

dilakukan dengan cara preventif, moralistik, abolisionistik dan juga kerjasama

internasional. Penanggulangan secara preventif maksudnya usaha sebelum

terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya dalam keluarga, orang tua,

sekolah, guru dengan memberikan penjelasan tentang bahaya narkotika.

(31)

narkotika dalam masa pengobatan dan mengadakan pengawasan terhadap

pecandu narkotika.32

Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

adalah terdapat kategorisasi tindakan melawan hokum yang dilarang oleh

Undang-Undang dan dapat di ancam dengan sanksi pidana, yakni; 33

1. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika ;

2. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika;

3. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

menukar, atau menyerahkan narkotika;

4. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa,

mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika ;

Ketentuan kebijakan sanksi pidana dan pemidaan dalam

Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam tabel

sebagai berikut : (lihat Tabel 1)

32

AW Widjaja, Masalah Kenakalan Remaja Dan Penyalahgunaan Narkotika, Armico, Bandung, 1985, hlm 18

33

(32)

Tabel 1 Perbutan melawan

hokum Kategori I Kategori II Kategori III Kategori IV Jenis pidana

Pidana mati/ seumur hidup

Narkotika Gol. I Berat lebih 1 kg/lebih 5 btg

Narkotika Gol. I 4-12 tahun 5-20 tahun

Narkotika Gol.III x Denda 400JT-3M

denda max + 1/3

Jenis-jenis perbuatan tanpa hak melawan hokum yang diatur dalam tindak pidana narkotika, dibedakan dalam 4 (empat) kategori, yakni;

Kategori I : menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyedia- kan;

Kategori II : memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan;

Kategori III : menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan;

(33)

Sistem pemidanaan seumur hidup atau mati, diterapkan kepada

pelanggaran narkotika golongan I, dan golongan II, dengan syarat tertentu.

Pengenaan pidana penjara untuk narkotika golongan I, golongan II golongan

III, paling minimal 2 (dua) tahun dan paling maksimal 20 tahun penjara.

Pengenaan denda diberlakukan bagi semua golongan narkotika, dengan denda

minimal 400 juta rupiah dan paling maksimal 8 (delapan) miliar rupiah. Untuk

jenis-jenis pelanggaran terhadap narkotika dengan unsur pemberatan maka

penerapan denda maksimum dari tiap-tiap Pasal yang dilanggar ditambah 1/3

(satu pertiga).34

Jenis sanksi pidana dalam UU Narkotika berupa pidana seumur

hidup/mati, penjara dalam waktu tertentu, dan denda. Jumlah/lamanya pidana

bervariasi untuk denda berkisar antara Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta

rupiah) sampai Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak

pidana Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun dan

seumur hidup. Penerapan pidana penjara dan denda menurut undang-undang

ini besifat kumulatif terutama penjara dan denda. Dengan penerapan ini, para

pelaku tindak pidana penyalahguna dan pengedar gelap narkotika tidak ada

pilihan alternatif dalam penetapan pidana penjara atau denda.

Kebijakan kriminalisasi dari undang-undang narkotika tidak terlepas

dari tujuan dibuatnya undang-undang itu, terutama tujuan :

1. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika/psikotropika, dan

34

(34)

2. Memberantas peredaran gelap narkotika/psikotropika35

Semua perumusan delik dalam Undang-Undang Narkotika terfokus

pada penyalahgunaan dari peredara narkobanya (mulai dari penanaman,

produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya,

termasuk pemakaian pribadi, bukan pada kekayaan (property/assets) yang

diperoleh dari tindak pidana “narkotika” itu sendiri).

Menurut ilmu hukum pidana, orang telah berusaha memberikan

penjelasan tentang siapa yang harus dipandang sebagai pelaku suatu tindak

pidana. Van Hamel telah mengartikan pelaku dari suatu tindak pidana dengan

membuat suatu definisi yaitu “Pelaku tindak pidana itu hanyalah dia, yang

tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang

terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah

dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan secara tegas, jadi

pelaku itu adalah orang yang dengan seseorang diri telah melakukan sendiri

tindak pidana yang bersangkutan”36

35

Barda NawawiArief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, hlm 28

36

(35)

B. Sistem Pemasyarakatan Dan Pembinaan Narapidana Narkotika 1. Sistem Pemasyarakatan dan Pembinaan

a) Pemasyarakatan

Menurut ketentuan Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan Pasal 1 ayat (1), Pemasyarakatan adalah;

“Kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan

Pe-masyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”.

Menurut Dwidja Priyatno, sistem pemasyarakatan merupakan satu

rangkaian kesatuan penegakan hokum pidana.37 Berdasarkan ketentuan

UU No 15 Tahun 1995 Tentang Pemasyrakatan Pasal 1 ayat (2), sistem

pemasyarakatan adalah;

“Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan

Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai

warga yang baik dan bertanggung jawab”.

Menurut Sudarto istilah pemasyarakatan dapat disamakan dengan

“resosialisasi” dengan pengertian bahwa segala sesuatunya di tempatkan

37

(36)

dalam tata budaya Indonesia.38 Resosialisasi menurut Roeslan Saleh adalah, suatu usaha dengan tujuan terpidana akan kembali ke dalam

masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa dia dapat hidup kembali

dalam masyarakat tanpa mengulangi perbuatan tindak pidana.39 Romli

Atmasasmita memberi batasan tentang resosialisasi bahwa, suatu proses

interaksi antara narapidana, petugas Lembaga Pemasyarakat dan

masyarakat, dan kedalam proses interaksi dimaksud dengan mengubah

sistem, nilai-nilai dari pada narapidana, sehingga dengan baik dan efektif

dapat mereadaptasikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat. Inti dari resosialisasi adalah mengubah tingkah laku

narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku

di masyarakat dengan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan

motivasi narapidana sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.40

Dalam Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyaraktan

No.K.P.10.13/3/1, Tanggal 8 Februari 1985, disampaikan suatu konsepsi

pemasyarakatan sebagai berikut:

“Pemasyarakatan adalah suatu proses, proses therapeutic dimana narapidana pada waktu masuk Lembaga pemasyarakatan berada dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif dengan masyarakat, sejauh itu narapidana mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam

38

Sudarto, Hendro purba, PengertianTentang Sistem Pemasyarakatan , di akses pada tanggal 2 februari 2015, available from : Http://online-hukum-blogspot.com/2011/01/pengertian-tentang-sistem.html1#

39

ibid

40

(37)

masyarakat yang bersangkutan tersebut, sehingga pada akhirnya narapidana dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasian hidup dan penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang

merugikan (negative).”

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pemasyarakatan Pasal 2

dan Pasal 3 bahwa ;

Pasal 2

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka

membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup

secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Pasal 3

“Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan

Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas

dan bertanggung jawab.”

Dapat disimpulkan bahwa sistem pemasyarakatan mengandung arti

pembinaan narapidana yang berintegrasi dengan masyarakat dan menuju

kepada integritas kehidupan dan penghidupan, bahwa pemasyarakatan

sebagai proses bergerak dengan menstimulir timbulnya dan

berkembang-nya self propelling adjustment diantara elemen integritas, sehingga

(38)

melalui assosiasinya sendiri menyesuaikan dengan integritas kehidupan

dan penghidupan.41

b) Pembinaan

Di tinjau dari segi bahasa, Pembinaan diartikan sebagai proses,

cara, perbuatan membina, kegiatan yang dilakukan secara efisien dan

efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik.42 Menurut Poernomo

pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang

berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang

baik.43 Pembinaan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) berupa

bimbingan. Menurut Ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor :

M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/

Tahanan, pembinaan adalah ;

“Pembinaan meliputi tahanan, pelayanan tahanan, sistem

pembinaan narapidana dan bimbingan klien.”44

Pembinaan narapidana merupakan salah satu upaya yang bersifat

Ultimum Remidium (upaya terakhir) yang lebih tertuju kepada alat agar

narapidana sadar akan perbuatannya sehingga pada saat kembali ke dalam

masyarakat ia akan menjadi baik, baik dari segi keagaman, sosial budaya

41

Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Denga Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta 1986, hlm 186

42

http://kbbi.web.id/bina

43

Poernomo dalam, Taufik Hidayat, Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Ketrampilan Bagi Narapidana, 2011, http://lib.unnes.ac.id/5873/1/7582.pdf

44

(39)

maupun moral sehingga akan tercipta keserasian dan keseimbangan di

tengah-tengah masyarakat.

Upaya pembinaan atau bimbingan menjadi inti dari kegiatan

sistem pemasyarakatan, merupakan sarana perlakuan cara baru terhadap

narapidana untuk mendukung pola upaya baru pelaksanaan pidana penjara

agar mencapai keberhasilan peranan Negara mengeluarkan kembali

menjadi anggota masyarakat.

Kegiatan pembinaan dapat disajikan berupa pembimbingan dan

kegiatan lainya. Wujud bimbingan dan kegiatan lainnya akan disesuaikan

dengan kemampuan para pembimbing dan kebutuhan bagi para

narapidana. Pembinaan dengan bimbingan dan kegiatan lainnya yang

diprogramkan terhadap narapidana dapat dilakukan dengan cara

pelaksnaan;

1) Bimbingan mental, yang diselenggarakan dengan pendidikan agama,

kepribadian dan budi pekerti, dan pendidikan umum yang diarahkan

untuk membangkitkan sikap mental baru sesudah menyadari akan

kesalahan masa lalu;

2) Bimbinga sosial, yang dapat diselenggarakan dengan memberikan

pengertian akan arti pentingnya hidup bermasyarakat, dan pada

masa-masa tertentu diberikan kesempatan untuk assimilasi serta integrasi

(40)

3) Bimbingan keterampilan, yang dapat diselenggarakan dengan kursus,

latihan kecakapan tertentu sesuai dengan bakatnya, yang nantinya

menjadi bekal hidup untuk mencari nafkah dikemudian hari;

4) Bimbingan untuk memelihara rasa aman dan damai, untuk hidup

dengan teratur dan belajar mentaati peraturan;

5) Bimbingan-bimbingan lainnya yang menyangkut perawatan kesehatan,

seni budaya dan sedapatnya diperkenalkan kepada segala aspek

kehidupan bermasyarakat yang dalam bentuk tiruan masyarakat kecil

selaras dengan lingkungan sosial yang terjadi di luarnya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembinaan merupakan

inti kegiatan dari sistem pemasyarakatan, dan pembinaan merupakan

bentuk corak model kegiatan yang dilakukan dengan cara efektif dan

efisien guna memperoleh hasil yang maksimal.

b. Pembinaan Bagi Narapidana Narkotika

Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem,

maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang

bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Sedikitnya ada

empat belas komponen yaitu: falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan

(41)

orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan

narapidana, keluarga narapidana, dan Pembina/pemerintah.45

Menurut Ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990, menyatakan bahwa dasar

pemikiran pembinaan Narapidana tertuang dalam 10 prinsip

pemasyarakatan, yaitu:

1) Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan

peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

2) Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam Negara.Artinya tidak

adanya penyiksaan terhadap narapidana pada umumnya, baik yang

berupa tindakan, ucapan, cara penempatan ataupun penempatan.

Satu-satunya derita yang dialami narapidana adalah hanya dibatasi

kemerdekannya untuk leluasa bergerak di dalam masyarakat bebas.

3) Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.

4) Negara tidak berhak membuat mereka menjadi buruk atau lebih jahat

dari pada sebelum dijatuhi pidana.

5) Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para

narapidana tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh sekedar

pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi

45

(42)

keperluan jabatan atau kepentingan negara kecuali pada waktu

tertentu.

7) Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana adalah

berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa kepada mereka harus

ditanamkan semangat kekeluargaan dan toleransi disamping

meningkatkan pemberian pendidikan rohani kepada mereka disertai

dorongan untuk menunaikan ibadah sesuai dengan kepercayaan yang

dianut.

8) Narapidana bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar mereka sadar

bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak

diri, keluarga dan lingkungan, kemudian dibina/dibimbing ke jalan

yang benar. Selain itu mereka harus diperlukan sebagai manusia yang

memiliki harga diri akan tumbuh kembali kepribadiannya yang

percaya akan kekuatan dirinya sendiri.

9) Narapidana hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekannya

dalam waktu tertentu.

10)Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi

rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.46

Sebagai suatu program, maka pembinaan yang dilaksanakan di

lakukan melalui beberapa tahapan. Pembinaan yang dilaksanakan

46

(43)

berdasarkan Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965

tentang Pemasyarakatan sebagai proses, maka pembinaan dilaksanakan

melalui empat (4) tahapan sebagai suatu kesatuan proses yang bersifat

terpadu, yaitu :47

1) Tahap Pertama : Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal,

dimana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan

lingkungan untuk menentukan perencanaan program pembinaan

kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang

bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3

(sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih

dilakukan dalam LAPAS dan pengawasannya maksimum security.

2) Tahap kedua : Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang

bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa pidana

yang sebenarnya dan menurut pendapat Tim Pengamat

Pemasyarakatan (TPP) sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain

menunjukkan keinsyafan, perbaikan disiplin dan patuh pada peraturan

tata tertib yang berlaku di lembaga, maka kepada narapidana yang

bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan di tempatkan pada

LAPAS melalui pengawasan medium security.

47

(44)

3) Tahap ketiga : Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut tim TPP

telah dicapai cukup kemajuan, maka wadah proses pembinaan

diperluas dengan Asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua

bagian yaitu yang pertama dimulai sejak berakhirnya tahap awal

sampai dengan 1/2 dari masa pidananya, tahap kedua dimulai sejak

berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 dari masa

pidananya. Dalam tahap ini dapat diberikan Pembebasan Bersyarat

atau Cuti Menjelang Bebas dengan pengawasan minimum security.

4) Tahap keempat : Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang

memenuhi syarat diberikan Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan

Bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar LAPAS oleh Balai

Pemasyarakatan (Bapas) yang kemudian disebut Pembimbingan Klien

Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan pembinaan, terdapat acuan

program yang harus diikuti.

Pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas adalah pemenuhan

hak dan kewajiban mereka sebagai manusia. Kewajiban narapidana adalah

mentaati segala peraturan yang ada di lapas, sementara hak-hak mereka

antara lain hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk

mendapatkan makanan yang layak, informasi dan sebagainya. Pemenuhan

hak kebutuhan seksual narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan

(45)

bagi narapidana, dimana berdasarkan tahapan pembinaan, hak CMK bisa

diperoleh oleh narapidana apabila telah memasuki tahap pembinaan ketiga

dengan pengamanan minimum security.48

Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 mengemukakan suatu gagasan

“Sistem Pemasyarakatan” sebagai tujuan dari pidana penjara. Sehubungan

dengan ini maka sistem kepenjaraan telah ditinggalkan dan memakai

system pemasyarakatanyang mengedepankan hak-hak narapidana.49

Hak narapidana tersebut antara lain terdapat pada Pasal 114 Ayat

(1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu :

1) Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya

2) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani

3) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran

4) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak

menyampaikan keluhan

5) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya

yang tidak dilarang

6) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

7) Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu

lainnya

48

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan, Cetakan 1 Tahun 1990, hlm 10

49

(46)

8) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

9) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

keluarga

10)Mendapatkan pembebasan bersyarat

11)Mendapat cuti menjelang bebas

12)Mendapat hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Terpenuhinya hak-hak bagi narapidana memberikan dampak

positif terhadap perikehidupan di Lembaga Pemasyarakatan. Terwujudnya

tata kehidupan yang aman dan tertib, dan mampu mewujudkan narapidana

yang telah siap kembali ke masyarakat sebagai manusia yang bermartabat,

siap menjalankan perannya sebagai masyarakat dan berbakti pada bangsa

dan Negara.

Dalam sistem baru pembinaan narapidana, perlakuan narapidana

diterapkan sebagai subyek sekaligus obyek. Subyek disini sebagai

kesamaan, kesejajaran, sama-sama sebagai manusia, sama-sama sebagai

makhluk Tuhan, sama-sama sebagai makhluk yang spesifik, yang mampu

berfikir dan mampu membuat keputusan. Sebagai obyek karena pada

dasarnya ada perbedaan kedudukan dalam pembinaan, perbedaan dalam

pembinaan dan bukan sebagai manusianya.50

Perbedaan dalam pembinaan salah satu contohnya adalah dengan

penggolongan narapidana. Penggolongan narapidana mempermudah

50

(47)

proses pembinaan karena sering kali pembinaan bukan dari Pembina tetapi

narapidana sendiri atau sekelompok narapidana. Pasal 12 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menentukan bahwa dalam

rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

dilakukan penggolongan atas dasar :

1) Umur;

2) Jenis kelamin;

3) Lama pidana yang dijatuhkan;

4) Jenis kejahatan; dan

5) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan

pembinaan.

Sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 12 UU No 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan di atas, narapidana di tempatkan dan dibina

berdasarkan karakteristik. Narapidana yang terlibat dalam kasus narkotika

ditempatkan pada satu ruangan khusus narkotika, demikian juga dengan

narapidana lainnya. Pembinaan narapidana khusus narkotika berbeda

dengan pembinaan narapidana pencurian, penggelapan, pembunuhan, dan

lain-lain. Pembinaan terhadap narapidana narkotika, yang merupakan

penyalahguna umumnya lebih di isentifkan pada bidang kesehatan

(48)

kesehatan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) nartkotika

antara lain:51

1) Kegiatan perawatan kesehatan umum, yaitu perawatan kesehatan

terhadap para narapidana narkoba yang merupakan kelompok resiko

tinggi tertularnya berbagai macam penyakit infeksi terutama melalui

pemakaian jarum suntik bersama yang tidak steril.

2) Kegiatan perawatan ketergantungan narkoba, yang meliputi:

a) Skrining keterlibatan narapidana terhadap narkoba dan alkohol

b) Pelayanan detoksifasi

c) Indentifikasi ketergantungan narkotika Pada saat narapidana

narkotika memasuki Lapas, perlu dilaksanakan identifikasi

ketergantungan narkoba guna mengantisipasi terjadinya

penyalah-gunaan narkoba di dalam Rutan/Lapas.

d) Perawatan opiat substitusi oral, yaitu perawatan dengan pengganti

opiat yang diminum atau terapi Substitusi Metadone.

e) Perawatan keadaaan emergency/ darurat yaitu tindakan segera bagi

para tahanan atau narapidana penyalahgunaan narkoba yang

mengalami overdosis.

f) Terapi rehabilitasi, antara lain Teraputic Community, Criminon,

Narcotuc Anonimous, Cognitive Behaviour Therapy (CBT), Terapi

51

Pedoman Perawatan Kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga

(49)

Religi dan lain-lain yang bertujuan mengubah perilaku,

menimbulkan rasa percaya diri, mengatasi kecanduan dan

meningkatkan iman dan taqwa.

3) Kegiatan perawatan kesehatan jasmani, antara lain berupa perawatan

makanan narapidana narkotika, kebersihan perseorangan, kegiatan

olah raga, penyuluhan kesehatan dan upaya pencegahan penularan

penyakit.

4) Kegiatan perawatan kesehatan mental dan rohani yang meliputi dua

pendekatan yaitu perawatan kesehatan mental melalui pendekatan

psikologis atau kejiwaan dan melalui pendekatan spiritual atau

keagamaan. Kedua pendekatan tersebut bertujuan untuk memperbaiki

pola pikir dan perilaku menyimpang, dilihat dari norma agama

maupun norma hukum yang tidak tertulis.

C. Asas-Asas Dalam Sistem Pembinaan Pemasyarakatan

Menurut Pasal 5 Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan

asas:

1. “Pengayoman“ adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan

dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya

(50)

hidupnya kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang

berguna di dalam masyrakat.

2. “Persamaan perlakuan dan pelayanan” adalah pemberian perlakuan dari

pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa

membeda-bedakan orang.

3. “Pendidikan” adalah bahwa penyalenggaraan pendidikan dan bimbingan

dilaksanakan berdasarkan pancasila, antara lain penanaman jiwa

ke-keluargaan, keterampilan , pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk

menunaikan ibadah.

4. “Penghormatan harkat dan martabat manusia” adalah bahwa sebagai orang

yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlukan

sebagai manusia.

5. “Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan” adalah

Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka

waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk

memperbaikinya. Selama LAPAS, (Warga Binaan Pemasyarakatan tetap

memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata

lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan

kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan, keterampilan,

olahraga, atau rekreasi).

6. “Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan

(51)

LAPAS, tetap harus didekatkan dengan masyarakat dan tidak boleh

diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat

dalam kunjungan.52

D. Tujuan Dan Fungsi Pembinaan Bagi Narapidana Narkotika 1. Tujuan Pembinaan

Tujuan dari pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga

Pemasyarakatan adalah agar narapidana tidak mengulangi lagi

perbuatan-nya dan bisa menemukan kembali kepercayaan diriperbuatan-nya serta dapat

diterima menjadi bagian dari anggota masyarakat. Selain itu pembinaan

juga dilakukan terhadap pribadi dari narapidana itu sendiri. Tujuannya

agar narapidana mampu mengenal dirinya sendiri dan Pemasyarakatan

merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata cara peradilan

pidana, yang dikenal sebagai bagian integrasi dari tata peradilan terpadu

(Integrated Criminal Justice System).

Tujuan pembinaan terhadap narapidana di Indonesia mulai tampak

sejak tahun 1964 setelah Sahardjo mengemukakan dalam konferensi

kepenjaraan di Lembaga, bahwa tujuan pemidanaan adalah

pemasyarakat-an, narapidana bukan lagi dibuat jera tetapi dibina untuk kemudian di

masyarakatkan.

52

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+4

Referensi

Dokumen terkait

Meyda Mustika Nugraheni. Program Studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013. Tujuan dari penelitian ini

Berkaitan dengan pilihan pada PEMILU legislatif 9 April 2014 lalu, apabila Ibu/Bapak sudah mengetahui bahwa para anggota dewan dari kantor berikut DPR Propinsi/DPR Kab/Kota

Melalui penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa kebiasaan buruk mahasiswa saat menggunakan lift dapat merugikan keuangan universitas apabila saat menaiki

adalah petugas RSUD dr. Soeroto yang bertanggungjawab dilapangan, pelaksana, salah satu peserta lelang lainnya dan pengawas dilapangan. Adapun informan kunci dalam penelitian ini

Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan prinsip purposive sampling (sampel bertujuan). Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat sekitar warnet

Mereka yang dapat digolongkan sebagai kombatan adalah mereka yang termasuk dalam pengertian armed force (angkatan bersenjata) suatu negara, dan mereka yang termasuk ke dalam

Alasan orang tua dan siswa memilih homeschooling sebagai pendidikannya antara lain kesibukan siswa di bidang non akademis, kendala fisik, penyakit tertentu, pembelajaran

[r]