Skripsi Ini Disusun Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam Mendapatkan Gelar Sarjan Hokum Di Fakultas Hokum
Disusun Oleh :
Nama : Rohayati
Nim : 20120610237
FAKULTAS HOKUM MUHAMMADYAH YOGYAKARTA
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum yang mana larangan tersebut di sertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.1 Salah
satu tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman pidana, yakni tindak pidana
narkotika.
Tindak pidana narkotika selalu mendapat perhatian bagi masyarakat
umum dan aparat penegak hukum. Mengingat jumlah pengguna yang semakin
meningkat dan dampak yang di timbulkan dapat merusak generasi muda.
Narkotika merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan
stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan kesehatan,
ekonomi dan politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas.
Narkotika merupakan ancaman terhadap generasi muda menuju masyarakat
yang sehat dan sejahtera.
Pembicaraan tentang penyalahgunaan narkotika seakan tidak ada
putus-putusnya. Hal ini menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi saat ini,
dimana penyalahguna dan pengedar gelap narkotika semakin marak terjadi di
dalam lapas narkotika.
1
Penyalahgunaan narkotika bukan lagi masalah baru di Indonesia.
Mengingat penyalahgunaan narkotika di Indonesia terus menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor
penghambat keberhasilan untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan
sejahtera.
Salah satu upaya pemerintah dalam penanganan penyalahgunaan
narkotika adalah dengan membentuk peraturan perundang-undangan tentang
narkotika. Peraturan dan Undang-Undang yang pertama dibuat Belanda pada
tahun 1927 yaitu Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie)
(Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536). Akan tetapi peraturan ini dibuat hanya
mengatur tentang penggunaan dan obat bius dan melegalkan penggunanya
selama hanya dilakukan di tempat-tempat yang sudah ditetapkan. Akhirnya
pada tahun 1976 dikeluarkanlah Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 yang
kemudian direvisi menjadi No 22 Tahun 1997 dan pada tahun 2009 direvisi
kembali menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
guna meminimalisir tingginya angka penyalahgunaan narkotika di Indonesia.
Tindak pidana penyalahguna narkotika termasuk tindak pidana khusus
yang diatur dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Menurut Paul Scholten hokum pidana ada dua yaitu hokum pidana umum dan
hokum pidana khusus ialah perundang-undangan bukanlah yang bersanksi
pidana yang disebut juga hokum administrasi.2
Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan
UU hokum pidana khusus menerapkan ancaman atau sanksi pidana adalah
pidana mati, pidana penjara dalam waktu tertentu/seumur hidup, dan pidana
denda, juga menerapkan sanksi berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial bagi penyalahguna narkotika baik yang berada dalam rutan/lapas. Hal
ini menunjukan bahwa UU Narkotika No 35 Tahun 2009 yang dibentuk oleh
pemerintah ini bersifat double track system. Dauble track system, dalam
sistem pemidanaan adalah sanksi pidana dan sanksi tindakan, diterapkan
dalam kedudukan yang setara karena sama-sama penting, karena pemidanaan
sesungguhnya memiliki unsur pencelaan/penderitaan (lewat sanksi pidana)
dan unsur pembinaan (lewat sanksi tindakan).3
Terdapat steatment dalam UU Narkotika No 35 Tahun 2009, bahwa
pelaku tindak pidana narkotika dapat dijatuhi sanksi pidana dan juga
rehabilitasi, akan tetapi ada juga yang hanya dikenakan sanksi rehabilitasi
saja. Dalam Pasal 54 dijelaskan bahwa pecandu, penyalahguna maupun
penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial. UU Narkotika telah memberi kewenangan kepada hakim yang
2
Andi Hamzah, Asas-Asas Hokum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 1994, hlm. 12
3
memeriksa pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/ atau perawatan apabila pelaku tidak
terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah
Agung No 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Pemakai Narkotika Ke Dalam
Terapi Dan Rehabilitasi bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau
perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana tersebut di atas sebagai masa
menjalani pidana.
Perubahan UU Narkotika yang baru yaitu UU No 35 Tahun 2009
tentang Nakotika yang mengharuskan agar para terpidana pengguna narkotika
dan korban penyalahguna narkotika dipulihkan di pusat rehabilitasi. Beberapa
waktu lalu hakim-hakim masih banyak memutuskan menetapkan para
pengguna dan penyalahguna narkotika ke Lembaga Pemasyarakatan, saat ini
para terpidana bisa bebas meminta untuk merubah ketetapan itu, dari Lapas
untuk dipindakahkan ke Pusat Rehabilitasi.4
Seiring dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang tidak
mendukung pada saat ini karena dampak negatif keterpengaruhan prilaku
kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan
yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat,
keadaan ini diperlakukan dengan perbedaan di Lembaga Pemasyarkaan
Narkotika karena yang menjadi penghuni di Lembaga Pemasyarakatan
4
Narkotika secara khusus merupakan narapidana narkotika sehingga pola
pembinaan di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika adalah pembinaan yang
konfrehensif antara pemulihan dengan pemidanaan. Pembinaan yang
dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang Jakarta Timur
selalu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
Pelaksanaan SEMA RI No. 04 tahun 2010 tentang Penempatan
Penyalahguna Narkotika ke Pusat Terapi dan Rehabilitasi hakim tetap
memperhatikan komposisi pemakaian sehingga pengguna dapat diputuskan
untuk melaksanakan perawatan di tempat rehabilitasi. Arti penting penerapan
rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika adalah pengobatan, perawatan
pecandu dan ketergantungan narkoba akan mengurangi kelebihan kapasitas
lembaga pemasyarakatan, disamping dapat mengurangi peredaran gelap
narkotika, untuk itu kerangka yuridis yang telah ada di dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 54 adalah sebagai
dasar bagi hakim untuk dapat memutuskan pecandu narkotika dan korban
Menyangkut rehabilitasi adalah bagian dari sistem pembinaan yang
digunakan untuk membantu seseorang melepaskan diri dari kecanduan dan
merubah prilakunya menjadi lebih baik. Dalam tahap rehabilitasi pemakai
narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang menekankan pada
Pelaksanaan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi
penyalahguna narkotika sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan diatur dalam
Peraturan Menteri Republik Indonesia. Rehabilitasi medis diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2012 Tentang Teknis
Pelaksanaan Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, Dan Korban Penyalahguna
Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh Pengadilan.
Kemudian dalam rehabilitas sosial diatur dalam Peraturan Menteri Sosial
Nomor 56/HUK/2009 Tentang Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahguna Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainya.
Rehabilitasi bagi narapidana yang terlibat dalam tindak pidana
narkotika cara yang dilakukan Lapas agar narapidana atau Warga Binaan
Pemasyarakatan tidak mengulangi tindak pidananya atau residiv, yakni
dengan melakukan pembinaan khusus, yang dapat memulihkan keadaan fisik
dan mentalnya menjadi sehat atau baik.
Di dalam konsideran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, fungsi
Lapas juga sebagai lembaga penegak hokum, bahwa Sistem Pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan
bagian akhir dari sistem pemidanaan, yang merupakan rangkaian penegakan
hokum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga Negara yang
baik dan bertanggung jawab.
Konsep Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai tempat pembinaan
dan pendidikan bagi orang yang bermasalah dengan hokum, khususnya
terhadap kasus-kasus narkotika perlu dilakukan dan diadakan lapas sendiri
secara khusus yang membedakan antara bandar atau orang yang terlibat
sindikat peredaran gelap narkotika, pengedar maupun hanya sebatas pemakai
atau pecandu yang tertangkap tangan. Diantara mereka yang sebaiknya
dipisahkan agar pengawasan dapat dilakukan secara khusus terhadap
masing-masing kategori. Dengan demikian kontrolpun akan dapat dilakukan secara
maksimal serta khusus.
Lembaga pemasyarakatan yang khusus membina narapidana dalam
tindak pidana narkotika di wilayah Jakarta adalah Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Klas II A Cipinang Jakarta Timur, yang dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor : M-04.PR.07.03 Tahun 2003 tanggal 16 april 2003. Dengan
klasifikasi Klas II A, adalah salah satu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) di
bidang pemasyarakatan yang berada dalam wilayah kerja kantor wilayah
Departemen Hokum dan HAM Daerah Ibu Kota Jakarta, Berlokasi Jalan Raya
Bekasi Timur, No. 170 A, Jakarta Timur 13410.5
5
Pada prinsipnya, tugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yakni
dengan sistem pemasyarakatan yang diselenggarakan memiliki fungsi :
1. Melaksanakan pembinaan narapidana/anak didik kasus narkotika
2. Memberikan bimbingan, terapi dan rehabilitasi narapidana/ anak didik
kasus narkotika.
3. Melakukan bimbingan sosial/ kerohanian.
4. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib lapas.
5. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.6
Bertujuan agar narapidana tersebut menyadari kesalahannya dengan
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat. Meskipun segala upaya telah dilakukan
oleh pemerintah. Permasalahan narkotika masih terus terjadi bahkan semakin
marak terjadi khusunya didalam lapas Klas II A Cipinang Jakarta Timur
dimana para pecandu dan korban penyalahguna narkotika disatukan dengan
para pengedar gelap dan para sindikat yang pada akhirnya menimbulkan
permasalahan baru, selain itu melihat jumlah narapidana di LP Cipinang telah
mencapai 3038 orang sedangkan kapasitas LP Cipinang hanya 1084 orang,
artinya melebihi kapasitas (overload), masalah lain seperti kematian dan
peredaran gelap narkotika di dalam lapas sering terjadi bahkan petugas lapas
sendiri terjaring peredaran gelap narkotika oleh salah satu narapidana dan
masalah anggaran atau SDM di LP Cipinang yang merupakan salah satu
6
pendukung terlaksananya rehabilitasi, masih kurang. Hal inilah yang menjadi
permasalahan seperti apa pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Narkotika Klas
IIA Cipinang Jakarta timur, apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan hal ini peneliti ingin
mengkaji lebih lanjut mengenai “Pelaksanaan Rehabilitas Bagi Narapidana
Di Lapas Narkotika Klas II A Cipinang Jakarta Timur”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi bagi narapidana narkotika di Lapas
Narkotika Klas II A Cipinang Jakarta Timur?
2. Apa kendala dalam pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Narkotika Klas IIA
Cipinang Jakarta Timur?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan penulisan hokum ini, ada beberapa tujuan yang
ingin dicapai sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan rehabilitasi bagi narapidana di Lapas
Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta timur.
2. Untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaan rehabilitas oleh petugas
pemasyarakatan yang merupakan pejabat fungsional penegak hokum yang
melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan
D. Tinjauan Pustaka
1. Pelaksanaan Rehabilitasi. a. Pengertian Pelaksanaan
Pelaksanaan atau implementasi merupakan salah satu tahap
penting dalam proses kebijakan publik.7 Dalam kamus Webster
dirumuskan secara singkat tentang pelaksanaan atau implentasi, yaitu to
implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for
carryng out (menyediakan sarana untuk melakukan sesuatu) to give
practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).8 Secara sederhana pelaksanaan atau implementasi bisa diartikan sebagai
penerapan. Majone dan Wildavsky mengemukakan pelaksanaan sebagai
evaluasi. Sedangkan Browne dan Wildavsky mengemukakan bahwa
Pelaksanaan adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan.9
Pengertian diatas memperlihatkan bahwa pelaksanaan bermuara
pada aktivitas, adanya aksi, atau mekanisme suatu sistem. Mekanisme
mengandung arti bahwa pelaksanaan bukan sekedar aktivitas, tetapi juga
merupakan suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara
sungguh-sungguh berdasarkan norma tertentu. Salah satu aktivitas atau program
kegiatan yang terencana oleh pemerintah adalah pelaksanaan rehabilitasi
7
http://id.scribe.com/doc/84917286/Beberapa-Teori-Tentang-Implementasi-Program-Atau-Kebijakan.
8
Wahyudi Setya. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia.Yogyakarta : PT. Genta Publishing, hlm. 13
9
bagi narapidana narkotika, bertujuan menanggulangi penyalahgunaan
narkotika.
Program rehabilitasi bagi narapidana narkotika merupakan
serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas
upaya-upaya medis, bimbingan mental, psikososial, keagamaan dan pendidikan
untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan
menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai
dengan potensi yang dimiliki baik fisik, mental, sosial dan ekonomi.10
b. Pengertian Rehabilitasi.
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1988, rehabilitasi
adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan) yang dahulu (semula)
perbaikan individu, pasien rumah sakit, atau korban bencana, supaya
menjadi manusia yang lebih berguna dan memiliki tempat di masyarakat.
Rehabilitasi atau treatment merupakan tujuan pemidanaan yang
dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan
sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan perbuatannya.
Namun pemidanaan yang dimaksud adalah memberi tindakan perawatan
(treatment) dan perbaikan (rehabilitasi) kepada pelaku kejahatan sebagai
pengganti dari penghukuman.11
10
http;//Digilib.unila.ac.id/4718.pdf tanggal 25 januari 2015
11
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi
merupakan suatu upaya pengobatan bertujuan agar seseorang
mendapat-kan hak dan kedudumendapat-kannya kembali untuk dapat hidup normal di dalam
masyarakat.
2. Jenis-Jenis Rehabilitasi.
Pada dasarnya, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotikadikenal 2 (dua) macam rehabilitasi narkotika,12 yaitu:
a. Rehabilitasi Medis
Menurut pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika, rehabilitasi medis adalah : suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan Narkotika.”
Sedangkan Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.
378/Menkes/SK/IV/2008 tentang pedoman pelayanan rehabilitasi medis di
rumah sakit disebutkan bahwa pelayanan rehabilitasi medis merupakan
pelayanan kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsi yang diakibatkan
oleh keadaan atau kondisi sakit. Rehabilitasi medis dapat dilakukan
dirumah sakit yang ditunjukan oleh menteri kesehatan, yaitu rumah sakit
yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
12
b. Rehabilitasi Sosial
Menurut pasal 1 angka 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika, Rehabilitasi sosial adalah
“Suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial agar pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial dapat dilakukan dilembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri
Sosial.”
Ketentuan mengenai rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika
diatur dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 dalam Pasal 54 sampai
dengan Pasal 59.13 Dalam Pasal 54 menjelaskan bahwa Pecandu
narkotika, penyalahguna dan korban penyalahguna narkotika wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika
dalam keadaan ketergantungan baik secara fisik maupun psikis menurut
Pasal 1 angka 13 UU No 35 Tahun 2009.
Dalam pelaksanaan rehabilitasi, diatur pula oleh Mahkamah
Agung dalam Surat Edaran No 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan
Penyalahguna, Korban Penyalahguna dan Pecandu Narkotika ke dalam
Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dalam pelaksanaan
rehabilitasi diatur juga dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 46 Tahun
2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi
13
Pecandu, Penyalahguna Dan Korban Penyalahguna Narkotika Yang
Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh Pengadilan, Dan Peraturan
Menteri Sosial No 56/HUK/2009 Tentang Pelayanan Dan Rehabilitasi
Sosial Korban Penyalahguna Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif
Lainnya.
3. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Bagi Narapidana Narkotika. a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Bagi Narapidana Terhadap
Tindak Pidana Narkotika
Dalam sistem hokum pidana mengenal istilah Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Dengan kata lain rutan
adalah bagian dari Lembaga Tahanan/Lembaga Penahanan, secara umum
keduanya merupakan lembaga yang memiliki fungsi yang berbeda.
Lembaga pemasyarakatan atau yang disingkat dengan Lapas
merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak
didik pemasyarakatan.14 Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak
pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan
tersebut melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi.15
14
www.hukumonline.com. Sutrisno.Puluhulawa tanggal 13 Januari 2010.
15
Dalam sistem pemasyarakatan, narapidana, anak didik
pe-masyarakatan berhak mendapatkan pembinaan rohani dan jasmani serta
dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya.16
Tujuan diselenggarakannya sistem pemasyarakatan dalam rangka
membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahan memperbaiki diri, dan tidak
me-nanggulangi tindak pidana sehigga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat.17
Fungsi sistem pemasyarakatan menyiapkan Warga Binaan
Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,
sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota bebas dan bertanggung
jawab.
b. Pengertian Narapidana Narkotika
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di LAPAS. Menurut kamus besar bahasa Indonesia
narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak
pidana.18 Sementara itu, menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan
bahwa narapidana adalah orang hukuman; orang buaian. Selanjutnya
berdasarkan kamus hukum narapidana diartikan sebagai berikut:
Narapidana adalah orang yang menjalani pidana dalam Lembaga
Pemasyarakatan.19
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang
menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.
Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di pidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah
seseorang terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di lembaga
pemasyarakatan dimana sebagaian kemerdekaanya hilang.
c. Pengertian Narkotika
Istilah narkotika bukan lagi istilah asing bagi masyarakat
mengingat begitu banyaknya berita, baik dari media cetak maupun
elektronik yang memberitakan tentang pengguna narkotika dan bagaimana
korban dari berbagai kalangan usia berjatuhan akibat penggunaannya.20
Menurut AR. Sujono dan Bony Daniel kata narkotika pada
dasarnya berasal dari bahasa yunani “narkoun” yang berarti membuat
lumpuh atau mati rasa. Kemudian, Makarau mengemukakan bahwa
19
Soraya Andi Tenrisoji Amirudin, Pemenuhan Hak Narapidana Hal Mendapatkan Pendidikan Pelatihan Anak. 2013, hlm. 10
20
narkotika adalah jenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh
tertentu bagi orang kepada terdakwa tidak melanggar kepentingan hokum
yang hendak dilindungi pembentuk undang-undang meskipun semua
bagian tertulis dari rumusan delik terpenuhi.21
Sementara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 jo Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
pengertian narkotika adalah :
“zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun
semisintetis yang dapat menyebabkan penuruan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang, yang kemudian ditetapkan dengan keputusan menteri kesehatan”.
Meriam-webster memberi definisi sebagai berikut :
A drug (as opium or morphine) that in moderate doses dulls the senses,
relives pain, and induces profound sleep but in excessive doses causes
stupor, coma, or convulsions; sebuah obat (seperti opinium atau morfin)
yang dalam dosis tertentu dapat menumpulkan indra, mengurangi rasa
sakit, dan mendorong tidur, tetapi dalam dosis berlebihan menyebabkan
pingsan, koma atau kejang.22
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa narkotika terdapat
dua macam yaitu narkotika sintesis dan narkotika non sintesis. Narkotika
21
AR. Sujono & Bony Daniel dalam, Ardillah Rahman, Implementasi Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika 2013, hlm. 40
22
non sintesis ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish,
codein, dan cocaine. Narkotika non sinstesis masuk dalam pengertian
narkotika secara luas. Narkotika sintesis yang termasuk didalamnya
zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat yaitu : Hallucinogen,
Depressant, Dan Stimulant. Narkotika bekerja mempengaruhi susunan
syaraf sentral yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau
pembiusan. Bahwa dalam pengertian narkotika di sini adalah mencakup
obat-obat bius dan obat-obat narcotic and dangerous drugs.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini Penulis menggunakan Penelitian Yuridis
Empiris. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai
pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in
action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
masyarakat.23 Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian lapangan
(penelitian terhadap data primer) yaitu suatu penelitian meneliti
peraturan-peraturan hukum yang kemudian di gabungkan dengan data dan prilaku
yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Data/materi pokok dalam
23
penelitian ini diperoleh secara langsung dari para responden melalui
penelitian lapangan, yaitu para tahanan narkotika di LP Cipinang.
2. Sumber Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data yang
bersifat primer dan bersifat sekunder. Data primer dalam penelitian ini
langsung diperoleh dari sumber data di lapangan (field research), meliputi
sejumlah narasumber yang menyangkut tentang informasi pelaksanaan
rehabilitasi, berupa wawancara, angket kuesioner.
Dalam penelitian ini untuk pengambilan narasumber dan
responden menggunakan teknik purposive sampling, yaitu menentukan
sampel dengan berbagai pertimbangan atau alasan. Teknik ini digunakan
untuk menggunakan narasumber dan responden berdasarkan jenis/bidang
dalam hal ini narasumber yang dalam penelitian ini adalah Kepala
Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS) dan Petugas Lapas yang bertugas
sebagai Konselor/Psikolog dalam pembinaan rehabilitasi di LP Cipinang.
sementara responden yang akan mengisi kuisioner/angket dalam penelitian
ini adalah narapidana narkotika.
Disamping itu untuk mendukung data primer, digunakan data
sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari hasil
penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yang
mencakup peraturan perundang-undangan terkait dengan topik
masalah yang dibahas yaitu :
1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan
Dan Pembimbinga Warga Binaan Pemasyarakatan.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
5) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2012 Tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu,
Penyalahguna, Dan Korban Penyalahguna Narkotika Yang Dalam
Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh Pengadilan.
6) Peraturan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/2009 Tentang Pelayanan
Dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainnya.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer24 meliputi buku-buku teks,
24
bahan hukum yang bersumber dari literatur-literatur, jurnal ilmiah dan
lain-lain, yang relevan dengan materi penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder25 seperti kamus hukum, kamus besar Bahasa Indonesia,
ensiklopedia, surat kabar, tabloid dan artikel-artikel dari internet yang
berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Klas IIA Cipinang Jakarta Timur, berlokasi di Jalan Raya
Bekasi Timur, No 170 A, Jakarta Timur 13410.
4. Teknik Pengumpulan Data : a. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah;
1) Studi kepustakaan/dokumen, yaitu dengan mengumpulkan,
mengidentifikasi, dan menganalisis bahan-bahan hukum primer dan
sekunder maupun bahan hukum tersier yang berkaitan dengan
permasalahan/penelitian.
2) Studi lapangan, yaitu dengan cara mengumpulkan data secara
langsung ke lapangan dengan teknik melakukan wawancara kepada
25
beberapa narasumber, dan memberikan angket/kuisioner kepada
responden. Teknik pengumpulan data ini melalui tatap muka dan tanya
jawab langsung antara peneliti dengan narasumber maupun dengan
responden. Untuk angket/kuisioner akan diberikan kepada responden
yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, Bapak R. andhika Dwi PrasetyaB
Bc,IP,S.PD selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Narkotika Jakarta, Ibu Winarti S. Psi selaku petugas Lapas Narkotika
yang bertugas sebagai Psikolog/konselor dan Sigit Karyadi sebagai
Program Manager di Lembaga Pemasyarakatan. Sementara
Narapidana berinisial F, Z, A dan M sebagai responden.
b. Pengolahan Data
Dalam rangka pengolahan data dalam penelitian ini meliputi;
1) Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk
disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan
menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian ini.
2) Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya
diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang
benar-benar objektif.
3) Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang
telah ditetapkan dalam penelitian ini sehingga memudahkan
5. Analisis Data
Untuk mengolah data Primer dan juga data Sekunder seperti yang
telah dijabarkan diatas, agar menjadi sebuah karya ilmiah yang terpadu
dan sistematika diperlukan suatu teknik analisis yang dikenal dengan
analisis Deskriptif Kualitatif yaitu dengan cara mengambil data di
lapangan kemudian menyelaraskan atau menggambarkan keadaan yang
nyata dengan peraturan perundang-undangan.
F. SISTEMATIKA SKRIPSI
BAB I PENDAHULUAN pada Bab ini memuat latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan skripsi.
BAB II PEMBINAAN BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DALAM
SISTEM PEMASYARAKATAN dalam Bab ini menjelaskan tentang
pengertian mengenai tindak pidana narkotika, teori pemidanaan, sistem
pemasyarakatan dan sistem pembinaan narapidana, asas-asas dalam sistem
pembinaan pemasyarakatan, serta tujuan dan fungsi pembinaan bagi
narapidana narkotika.
BAB III REHABILITASI dalam bab ini menjelaskan mengenai pengertian
rehabilitasi dan tujuan rehabilitasi, bentuk pelayanan rehabilitasi, metode
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN pada bab ini
membahas mengenai hasil penelitian dalam bentuk penyajian data dimana
berisi fakta atau data yang sudah dikumpulkan dan relevan serta melakukan
pengkajian terhadap penelitian yang di dapat yang berisi tentang pelaksanaan
rehabilitasi dan hambatan pelaksanaan rehabilitasi bagi narapidana narkotika
di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Cipinang Jakarta Timur.
BAB V KESIMPULAN, menyajikan kesimpulan dimana pernyataan singkat
tentang hasil akhir yang mengaitkan antara landasan teoritik yang dijadikan
pijakan dengan hasil analisis dan pertimbangan peneliti bagi semua pihak
A. Tindak Pidana Narkotika
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.
Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan
merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh
sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari
dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi
larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap
Warga Negara wajib di cantumkan dalam undang-undang maupun
peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.26
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang
hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat
undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah
peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Menurut
Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
26
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.27 Sedangkan menurut
Poernomo perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.28
Pada umumnya, orang diancam pidana kerena melakukan suatu
perbuataan (act). Namun bisa juga karena “tidak berbuat” (omission), orang
diancam dengan pidana.29 Seseorang dapat dipersalahkan melakukan
perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam delik atau tindak pidana
narkotika yang diatur dialam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
apabila dapat dibuktikan berdasarkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sah
yang karenanya dapat meyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan
terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur delik yang terdapat dalam
Pasal 111 ayat (1).
Ketentuan Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111
sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang
merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam
Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya
adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu di sanksikan lagi bahwa
semua tindak pidana di dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan.
27
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm 54
28
Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hlm 130
29
Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu
pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan
tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang di
timbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan
bagi jiwa manusia.30
Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi
kepentingan-kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri Kesehatan
dapat memberi ijin lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan
untuk membeli atau menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk
persediaan ataupun menguasai tanaman Papaver, Koka Dan Ganja.
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
jenis narkotika di bagi dalam 3 (tiga) kelompok , yaitu Golongan I, II dan III.
Narkotika Golongan I adalah narkotika paling berbahaya, daya adiktifnya
sangat tinggi untuk golongan ini tidak diperbolehkan untuk kepentingan
apapun kecuali untuk kepentingan penelitian atau ilmu pengetahuan.
Contohnya adalah Ganja, Kokain Heroin, Morfin dll. Sementara narkotika
Golongan II memiliki daya adiktif yang kuat akan tetapi bermanfaat untuk
pengobatan dan penelitian contohnya adalah Petidin, dan turunannya. Dan
untuk Golongan III adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi
bemanfaat untuk penelitian, contohnya adalah Kodein dan keturunannya.
30
Pada dasarnya seseorang melakukan perbuatan tindak pidana
narkotika dengan cara menyalahgunakan narkotika di sebabkan oleh beberapa
faktor, baik faktor intern maupun ektern. Menurut Graham Bline,
penyalahgunaan narkotika dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu :31
1. Faktor intern (dari dalam dirinya)
a. Sebagai proses untuk menentang suatu otoritas terhadap orang tua,
guru, hukum atau instansi berwenang,
b. Mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual,
c. Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang
berbahaya dan penuh resiko,
d. Berusaha mendapatkan atau mencari arti dari pada hidup,
e. Melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman
sensasional dan emosional,
f. Mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, disebabkan kurang
kesibukan,
g. Mengikuti kemauan teman dan untuk memupuk rasa solidaritas dan
setia kawan,
h. Didorong rasa ingin tahu dan karena iseng.
31
2. Faktor Ekstern
a. Adanya usaha-usaha subversi untuk menyeret generasi muda ke
lembah siksa narkotika,
b. Adanya situasi yang diharmoniskan (broken home) dalam keluarga,
tidak ada rasa kasih sayang (emosional), renggangnya hubungan antara
ayah dan ibu, orang tua dan anak serta antara anak-anaknya sendiri,
c. Karena politik yang ingin mendiskreditkan lawannya dengan
menjerumuskan generasi muda atau remaja.
d. Penyalahgunaan narkotika merupakan wabah yang harus mendapatkan
penanggulangan yang serius dan menyeluruh. Penanggulangan dan
pencegahan harus dilakukan dengan prioritas yang tinggi serta terpadu.
Tindakan hukum perlu dijatuhkan secara berat dan maksimum,
sehingga menjadi jera dan tidak mengulangi lagi atau contoh bagi lainnya
untuk tidak berbuat. Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat
dilakukan dengan cara preventif, moralistik, abolisionistik dan juga kerjasama
internasional. Penanggulangan secara preventif maksudnya usaha sebelum
terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya dalam keluarga, orang tua,
sekolah, guru dengan memberikan penjelasan tentang bahaya narkotika.
narkotika dalam masa pengobatan dan mengadakan pengawasan terhadap
pecandu narkotika.32
Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
adalah terdapat kategorisasi tindakan melawan hokum yang dilarang oleh
Undang-Undang dan dapat di ancam dengan sanksi pidana, yakni; 33
1. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika ;
2. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika;
3. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan narkotika;
4. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika ;
Ketentuan kebijakan sanksi pidana dan pemidaan dalam
Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam tabel
sebagai berikut : (lihat Tabel 1)
32
AW Widjaja, Masalah Kenakalan Remaja Dan Penyalahgunaan Narkotika, Armico, Bandung, 1985, hlm 18
33
Tabel 1 Perbutan melawan
hokum Kategori I Kategori II Kategori III Kategori IV Jenis pidana
Pidana mati/ seumur hidup
Narkotika Gol. I Berat lebih 1 kg/lebih 5 btg
Narkotika Gol. I 4-12 tahun 5-20 tahun
Narkotika Gol.III x Denda 400JT-3M
denda max + 1/3
Jenis-jenis perbuatan tanpa hak melawan hokum yang diatur dalam tindak pidana narkotika, dibedakan dalam 4 (empat) kategori, yakni;
Kategori I : menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyedia- kan;
Kategori II : memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan;
Kategori III : menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan;
Sistem pemidanaan seumur hidup atau mati, diterapkan kepada
pelanggaran narkotika golongan I, dan golongan II, dengan syarat tertentu.
Pengenaan pidana penjara untuk narkotika golongan I, golongan II golongan
III, paling minimal 2 (dua) tahun dan paling maksimal 20 tahun penjara.
Pengenaan denda diberlakukan bagi semua golongan narkotika, dengan denda
minimal 400 juta rupiah dan paling maksimal 8 (delapan) miliar rupiah. Untuk
jenis-jenis pelanggaran terhadap narkotika dengan unsur pemberatan maka
penerapan denda maksimum dari tiap-tiap Pasal yang dilanggar ditambah 1/3
(satu pertiga).34
Jenis sanksi pidana dalam UU Narkotika berupa pidana seumur
hidup/mati, penjara dalam waktu tertentu, dan denda. Jumlah/lamanya pidana
bervariasi untuk denda berkisar antara Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah) sampai Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak
pidana Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun dan
seumur hidup. Penerapan pidana penjara dan denda menurut undang-undang
ini besifat kumulatif terutama penjara dan denda. Dengan penerapan ini, para
pelaku tindak pidana penyalahguna dan pengedar gelap narkotika tidak ada
pilihan alternatif dalam penetapan pidana penjara atau denda.
Kebijakan kriminalisasi dari undang-undang narkotika tidak terlepas
dari tujuan dibuatnya undang-undang itu, terutama tujuan :
1. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika/psikotropika, dan
34
2. Memberantas peredaran gelap narkotika/psikotropika35
Semua perumusan delik dalam Undang-Undang Narkotika terfokus
pada penyalahgunaan dari peredara narkobanya (mulai dari penanaman,
produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya,
termasuk pemakaian pribadi, bukan pada kekayaan (property/assets) yang
diperoleh dari tindak pidana “narkotika” itu sendiri).
Menurut ilmu hukum pidana, orang telah berusaha memberikan
penjelasan tentang siapa yang harus dipandang sebagai pelaku suatu tindak
pidana. Van Hamel telah mengartikan pelaku dari suatu tindak pidana dengan
membuat suatu definisi yaitu “Pelaku tindak pidana itu hanyalah dia, yang
tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang
terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah
dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan secara tegas, jadi
pelaku itu adalah orang yang dengan seseorang diri telah melakukan sendiri
tindak pidana yang bersangkutan”36
35
Barda NawawiArief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, hlm 28
36
B. Sistem Pemasyarakatan Dan Pembinaan Narapidana Narkotika 1. Sistem Pemasyarakatan dan Pembinaan
a) Pemasyarakatan
Menurut ketentuan Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan Pasal 1 ayat (1), Pemasyarakatan adalah;
“Kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan
Pe-masyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”.
Menurut Dwidja Priyatno, sistem pemasyarakatan merupakan satu
rangkaian kesatuan penegakan hokum pidana.37 Berdasarkan ketentuan
UU No 15 Tahun 1995 Tentang Pemasyrakatan Pasal 1 ayat (2), sistem
pemasyarakatan adalah;
“Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai
warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Menurut Sudarto istilah pemasyarakatan dapat disamakan dengan
“resosialisasi” dengan pengertian bahwa segala sesuatunya di tempatkan
37
dalam tata budaya Indonesia.38 Resosialisasi menurut Roeslan Saleh adalah, suatu usaha dengan tujuan terpidana akan kembali ke dalam
masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa dia dapat hidup kembali
dalam masyarakat tanpa mengulangi perbuatan tindak pidana.39 Romli
Atmasasmita memberi batasan tentang resosialisasi bahwa, suatu proses
interaksi antara narapidana, petugas Lembaga Pemasyarakat dan
masyarakat, dan kedalam proses interaksi dimaksud dengan mengubah
sistem, nilai-nilai dari pada narapidana, sehingga dengan baik dan efektif
dapat mereadaptasikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Inti dari resosialisasi adalah mengubah tingkah laku
narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat dengan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan
motivasi narapidana sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.40
Dalam Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyaraktan
No.K.P.10.13/3/1, Tanggal 8 Februari 1985, disampaikan suatu konsepsi
pemasyarakatan sebagai berikut:
“Pemasyarakatan adalah suatu proses, proses therapeutic dimana narapidana pada waktu masuk Lembaga pemasyarakatan berada dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif dengan masyarakat, sejauh itu narapidana mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam
38
Sudarto, Hendro purba, PengertianTentang Sistem Pemasyarakatan , di akses pada tanggal 2 februari 2015, available from : Http://online-hukum-blogspot.com/2011/01/pengertian-tentang-sistem.html1#
39
ibid
40
masyarakat yang bersangkutan tersebut, sehingga pada akhirnya narapidana dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasian hidup dan penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang
merugikan (negative).”
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pemasyarakatan Pasal 2
dan Pasal 3 bahwa ;
Pasal 2
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka
membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup
secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
Pasal 3
“Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan
Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas
dan bertanggung jawab.”
Dapat disimpulkan bahwa sistem pemasyarakatan mengandung arti
pembinaan narapidana yang berintegrasi dengan masyarakat dan menuju
kepada integritas kehidupan dan penghidupan, bahwa pemasyarakatan
sebagai proses bergerak dengan menstimulir timbulnya dan
berkembang-nya self propelling adjustment diantara elemen integritas, sehingga
melalui assosiasinya sendiri menyesuaikan dengan integritas kehidupan
dan penghidupan.41
b) Pembinaan
Di tinjau dari segi bahasa, Pembinaan diartikan sebagai proses,
cara, perbuatan membina, kegiatan yang dilakukan secara efisien dan
efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik.42 Menurut Poernomo
pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang
berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang
baik.43 Pembinaan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) berupa
bimbingan. Menurut Ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor :
M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/
Tahanan, pembinaan adalah ;
“Pembinaan meliputi tahanan, pelayanan tahanan, sistem
pembinaan narapidana dan bimbingan klien.”44
Pembinaan narapidana merupakan salah satu upaya yang bersifat
Ultimum Remidium (upaya terakhir) yang lebih tertuju kepada alat agar
narapidana sadar akan perbuatannya sehingga pada saat kembali ke dalam
masyarakat ia akan menjadi baik, baik dari segi keagaman, sosial budaya
41
Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Denga Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta 1986, hlm 186
42
http://kbbi.web.id/bina
43
Poernomo dalam, Taufik Hidayat, Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Ketrampilan Bagi Narapidana, 2011, http://lib.unnes.ac.id/5873/1/7582.pdf
44
maupun moral sehingga akan tercipta keserasian dan keseimbangan di
tengah-tengah masyarakat.
Upaya pembinaan atau bimbingan menjadi inti dari kegiatan
sistem pemasyarakatan, merupakan sarana perlakuan cara baru terhadap
narapidana untuk mendukung pola upaya baru pelaksanaan pidana penjara
agar mencapai keberhasilan peranan Negara mengeluarkan kembali
menjadi anggota masyarakat.
Kegiatan pembinaan dapat disajikan berupa pembimbingan dan
kegiatan lainya. Wujud bimbingan dan kegiatan lainnya akan disesuaikan
dengan kemampuan para pembimbing dan kebutuhan bagi para
narapidana. Pembinaan dengan bimbingan dan kegiatan lainnya yang
diprogramkan terhadap narapidana dapat dilakukan dengan cara
pelaksnaan;
1) Bimbingan mental, yang diselenggarakan dengan pendidikan agama,
kepribadian dan budi pekerti, dan pendidikan umum yang diarahkan
untuk membangkitkan sikap mental baru sesudah menyadari akan
kesalahan masa lalu;
2) Bimbinga sosial, yang dapat diselenggarakan dengan memberikan
pengertian akan arti pentingnya hidup bermasyarakat, dan pada
masa-masa tertentu diberikan kesempatan untuk assimilasi serta integrasi
3) Bimbingan keterampilan, yang dapat diselenggarakan dengan kursus,
latihan kecakapan tertentu sesuai dengan bakatnya, yang nantinya
menjadi bekal hidup untuk mencari nafkah dikemudian hari;
4) Bimbingan untuk memelihara rasa aman dan damai, untuk hidup
dengan teratur dan belajar mentaati peraturan;
5) Bimbingan-bimbingan lainnya yang menyangkut perawatan kesehatan,
seni budaya dan sedapatnya diperkenalkan kepada segala aspek
kehidupan bermasyarakat yang dalam bentuk tiruan masyarakat kecil
selaras dengan lingkungan sosial yang terjadi di luarnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembinaan merupakan
inti kegiatan dari sistem pemasyarakatan, dan pembinaan merupakan
bentuk corak model kegiatan yang dilakukan dengan cara efektif dan
efisien guna memperoleh hasil yang maksimal.
b. Pembinaan Bagi Narapidana Narkotika
Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem,
maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang
bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Sedikitnya ada
empat belas komponen yaitu: falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan
orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan
narapidana, keluarga narapidana, dan Pembina/pemerintah.45
Menurut Ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990, menyatakan bahwa dasar
pemikiran pembinaan Narapidana tertuang dalam 10 prinsip
pemasyarakatan, yaitu:
1) Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan
peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2) Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam Negara.Artinya tidak
adanya penyiksaan terhadap narapidana pada umumnya, baik yang
berupa tindakan, ucapan, cara penempatan ataupun penempatan.
Satu-satunya derita yang dialami narapidana adalah hanya dibatasi
kemerdekannya untuk leluasa bergerak di dalam masyarakat bebas.
3) Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.
4) Negara tidak berhak membuat mereka menjadi buruk atau lebih jahat
dari pada sebelum dijatuhi pidana.
5) Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para
narapidana tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh sekedar
pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi
45
keperluan jabatan atau kepentingan negara kecuali pada waktu
tertentu.
7) Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana adalah
berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa kepada mereka harus
ditanamkan semangat kekeluargaan dan toleransi disamping
meningkatkan pemberian pendidikan rohani kepada mereka disertai
dorongan untuk menunaikan ibadah sesuai dengan kepercayaan yang
dianut.
8) Narapidana bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar mereka sadar
bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak
diri, keluarga dan lingkungan, kemudian dibina/dibimbing ke jalan
yang benar. Selain itu mereka harus diperlukan sebagai manusia yang
memiliki harga diri akan tumbuh kembali kepribadiannya yang
percaya akan kekuatan dirinya sendiri.
9) Narapidana hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekannya
dalam waktu tertentu.
10)Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi
rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.46
Sebagai suatu program, maka pembinaan yang dilaksanakan di
lakukan melalui beberapa tahapan. Pembinaan yang dilaksanakan
46
berdasarkan Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965
tentang Pemasyarakatan sebagai proses, maka pembinaan dilaksanakan
melalui empat (4) tahapan sebagai suatu kesatuan proses yang bersifat
terpadu, yaitu :47
1) Tahap Pertama : Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal,
dimana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan
lingkungan untuk menentukan perencanaan program pembinaan
kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang
bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3
(sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih
dilakukan dalam LAPAS dan pengawasannya maksimum security.
2) Tahap kedua : Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang
bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa pidana
yang sebenarnya dan menurut pendapat Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain
menunjukkan keinsyafan, perbaikan disiplin dan patuh pada peraturan
tata tertib yang berlaku di lembaga, maka kepada narapidana yang
bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan di tempatkan pada
LAPAS melalui pengawasan medium security.
47
3) Tahap ketiga : Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut tim TPP
telah dicapai cukup kemajuan, maka wadah proses pembinaan
diperluas dengan Asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua
bagian yaitu yang pertama dimulai sejak berakhirnya tahap awal
sampai dengan 1/2 dari masa pidananya, tahap kedua dimulai sejak
berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 dari masa
pidananya. Dalam tahap ini dapat diberikan Pembebasan Bersyarat
atau Cuti Menjelang Bebas dengan pengawasan minimum security.
4) Tahap keempat : Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang
memenuhi syarat diberikan Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan
Bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar LAPAS oleh Balai
Pemasyarakatan (Bapas) yang kemudian disebut Pembimbingan Klien
Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan pembinaan, terdapat acuan
program yang harus diikuti.
Pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas adalah pemenuhan
hak dan kewajiban mereka sebagai manusia. Kewajiban narapidana adalah
mentaati segala peraturan yang ada di lapas, sementara hak-hak mereka
antara lain hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk
mendapatkan makanan yang layak, informasi dan sebagainya. Pemenuhan
hak kebutuhan seksual narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan
bagi narapidana, dimana berdasarkan tahapan pembinaan, hak CMK bisa
diperoleh oleh narapidana apabila telah memasuki tahap pembinaan ketiga
dengan pengamanan minimum security.48
Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 mengemukakan suatu gagasan
“Sistem Pemasyarakatan” sebagai tujuan dari pidana penjara. Sehubungan
dengan ini maka sistem kepenjaraan telah ditinggalkan dan memakai
system pemasyarakatanyang mengedepankan hak-hak narapidana.49
Hak narapidana tersebut antara lain terdapat pada Pasal 114 Ayat
(1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu :
1) Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
2) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
3) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
4) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
menyampaikan keluhan
5) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang
6) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
7) Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya
48
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan, Cetakan 1 Tahun 1990, hlm 10
49
8) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
9) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga
10)Mendapatkan pembebasan bersyarat
11)Mendapat cuti menjelang bebas
12)Mendapat hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terpenuhinya hak-hak bagi narapidana memberikan dampak
positif terhadap perikehidupan di Lembaga Pemasyarakatan. Terwujudnya
tata kehidupan yang aman dan tertib, dan mampu mewujudkan narapidana
yang telah siap kembali ke masyarakat sebagai manusia yang bermartabat,
siap menjalankan perannya sebagai masyarakat dan berbakti pada bangsa
dan Negara.
Dalam sistem baru pembinaan narapidana, perlakuan narapidana
diterapkan sebagai subyek sekaligus obyek. Subyek disini sebagai
kesamaan, kesejajaran, sama-sama sebagai manusia, sama-sama sebagai
makhluk Tuhan, sama-sama sebagai makhluk yang spesifik, yang mampu
berfikir dan mampu membuat keputusan. Sebagai obyek karena pada
dasarnya ada perbedaan kedudukan dalam pembinaan, perbedaan dalam
pembinaan dan bukan sebagai manusianya.50
Perbedaan dalam pembinaan salah satu contohnya adalah dengan
penggolongan narapidana. Penggolongan narapidana mempermudah
50
proses pembinaan karena sering kali pembinaan bukan dari Pembina tetapi
narapidana sendiri atau sekelompok narapidana. Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menentukan bahwa dalam
rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
dilakukan penggolongan atas dasar :
1) Umur;
2) Jenis kelamin;
3) Lama pidana yang dijatuhkan;
4) Jenis kejahatan; dan
5) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan.
Sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 12 UU No 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan di atas, narapidana di tempatkan dan dibina
berdasarkan karakteristik. Narapidana yang terlibat dalam kasus narkotika
ditempatkan pada satu ruangan khusus narkotika, demikian juga dengan
narapidana lainnya. Pembinaan narapidana khusus narkotika berbeda
dengan pembinaan narapidana pencurian, penggelapan, pembunuhan, dan
lain-lain. Pembinaan terhadap narapidana narkotika, yang merupakan
penyalahguna umumnya lebih di isentifkan pada bidang kesehatan
kesehatan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) nartkotika
antara lain:51
1) Kegiatan perawatan kesehatan umum, yaitu perawatan kesehatan
terhadap para narapidana narkoba yang merupakan kelompok resiko
tinggi tertularnya berbagai macam penyakit infeksi terutama melalui
pemakaian jarum suntik bersama yang tidak steril.
2) Kegiatan perawatan ketergantungan narkoba, yang meliputi:
a) Skrining keterlibatan narapidana terhadap narkoba dan alkohol
b) Pelayanan detoksifasi
c) Indentifikasi ketergantungan narkotika Pada saat narapidana
narkotika memasuki Lapas, perlu dilaksanakan identifikasi
ketergantungan narkoba guna mengantisipasi terjadinya
penyalah-gunaan narkoba di dalam Rutan/Lapas.
d) Perawatan opiat substitusi oral, yaitu perawatan dengan pengganti
opiat yang diminum atau terapi Substitusi Metadone.
e) Perawatan keadaaan emergency/ darurat yaitu tindakan segera bagi
para tahanan atau narapidana penyalahgunaan narkoba yang
mengalami overdosis.
f) Terapi rehabilitasi, antara lain Teraputic Community, Criminon,
Narcotuc Anonimous, Cognitive Behaviour Therapy (CBT), Terapi
51
Pedoman Perawatan Kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga
Religi dan lain-lain yang bertujuan mengubah perilaku,
menimbulkan rasa percaya diri, mengatasi kecanduan dan
meningkatkan iman dan taqwa.
3) Kegiatan perawatan kesehatan jasmani, antara lain berupa perawatan
makanan narapidana narkotika, kebersihan perseorangan, kegiatan
olah raga, penyuluhan kesehatan dan upaya pencegahan penularan
penyakit.
4) Kegiatan perawatan kesehatan mental dan rohani yang meliputi dua
pendekatan yaitu perawatan kesehatan mental melalui pendekatan
psikologis atau kejiwaan dan melalui pendekatan spiritual atau
keagamaan. Kedua pendekatan tersebut bertujuan untuk memperbaiki
pola pikir dan perilaku menyimpang, dilihat dari norma agama
maupun norma hukum yang tidak tertulis.
C. Asas-Asas Dalam Sistem Pembinaan Pemasyarakatan
Menurut Pasal 5 Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan
asas:
1. “Pengayoman“ adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan
dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya
hidupnya kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang
berguna di dalam masyrakat.
2. “Persamaan perlakuan dan pelayanan” adalah pemberian perlakuan dari
pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa
membeda-bedakan orang.
3. “Pendidikan” adalah bahwa penyalenggaraan pendidikan dan bimbingan
dilaksanakan berdasarkan pancasila, antara lain penanaman jiwa
ke-keluargaan, keterampilan , pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk
menunaikan ibadah.
4. “Penghormatan harkat dan martabat manusia” adalah bahwa sebagai orang
yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlukan
sebagai manusia.
5. “Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan” adalah
Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka
waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk
memperbaikinya. Selama LAPAS, (Warga Binaan Pemasyarakatan tetap
memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata
lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan
kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan, keterampilan,
olahraga, atau rekreasi).
6. “Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan
LAPAS, tetap harus didekatkan dengan masyarakat dan tidak boleh
diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat
dalam kunjungan.52
D. Tujuan Dan Fungsi Pembinaan Bagi Narapidana Narkotika 1. Tujuan Pembinaan
Tujuan dari pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga
Pemasyarakatan adalah agar narapidana tidak mengulangi lagi
perbuatan-nya dan bisa menemukan kembali kepercayaan diriperbuatan-nya serta dapat
diterima menjadi bagian dari anggota masyarakat. Selain itu pembinaan
juga dilakukan terhadap pribadi dari narapidana itu sendiri. Tujuannya
agar narapidana mampu mengenal dirinya sendiri dan Pemasyarakatan
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata cara peradilan
pidana, yang dikenal sebagai bagian integrasi dari tata peradilan terpadu
(Integrated Criminal Justice System).
Tujuan pembinaan terhadap narapidana di Indonesia mulai tampak
sejak tahun 1964 setelah Sahardjo mengemukakan dalam konferensi
kepenjaraan di Lembaga, bahwa tujuan pemidanaan adalah
pemasyarakat-an, narapidana bukan lagi dibuat jera tetapi dibina untuk kemudian di
masyarakatkan.
52