• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rinosinusitis Pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Rinosinusitis Pada Anak"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

RINOSINUSITIS PADA ANAK

INDRI ADRIZTINA NIP. 198610142010122006

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG

TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/

RSUP. H. ADAM MALIK

(2)

RINOSINUSITIS PADA ANAK

Indri Adriztina, Andrina YM Rambe

PENDAHULUAN

Rinosinusitis merupakan salah satu penyakit yang belum sepenuhnya dimengerti dan membutuhkan banyak penelitian pada ilmu penyakit anak. Diagnosis sering bergantung

hanya pada anamnesis sehingga sulit dibedakan dengan influenza (common cold). Pada

keadaan yang ringan biasanya dapat sembuh dengan sendirinya, rinosinusitis dapat menyebabkan gejala-gejala yang dapat mengganggu kualitas kehidupan dan komplikasi yang ditimbulkannya dapat mengancam jiwa. Pada anak yang lebih tua ataupun remaja gejala yang timbul biasanya merupakan gejala yang umum seperti demam, sekret hidung purulen, batuk dan sakit kepala atau nyeri pada wajah. Gejala dapat lebih ringan pada anak yang lebih muda, tetapi pada semua kasus selalu terdapat sekret nasal yang purulen. Gejala dari penyakit saluran pernafasan bagian atas (hidung tersumbat, rinorea, dan batuk) merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pada pasien di bagian anak. Salah satu tantangan terberat dari klinisi adalah untuk membedakan apakah gejala ini disebabkan oleh infeksi virus saluran pernafsan bagian atas, rhinitis alergi, ataupun rinosinusitis.

Faktor predisposisi tersering yang menyebabkan rinosinusitis adalah infeksi virus saluran pernafasan atas akut yang akhirnya dapat menyebabkan rinosinusitis virus akut (yang menyebabkan 80% dari infeksi bakteri sinus) dan inflamasi karena alergi (yang menyebabkan 20% dari infeksi bakteri sinus). Anak-anak menderita infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) rata-rata 6 sampai 8 kali pertahunnya, dan diperkirakan 5% sampai 13% diantaranya mengalami komplikasi menjadi infeksi sinus paranasal sekunder.

1,2

Penyakit yang berhubungan dengan rinosinusitis akut dan kronis sangat bervariasi dan sulit untuk dibedakan. Anak-anak memiliki sistem imun yang belum sempurna karena itu anak yang sering diberikan ke tempat penitipan anak memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk menderita infeksi saluran pernafasan dan rinosinusitis berulang.

3

Rinosinusitis dapat mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan, karena itu klinisi harus berhati-hati dalam menegakkan diagnosa dan menentukan pentalaksanaan yang tepat.

4

5

ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak ke atas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai ke pangkal hidung dan menyatu

(3)

tengah bibir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Di sini bagian bibir atas membentuk

cekungan dangkal memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah-menyebelah

kolumela adalah nares anterior atau nostril (lubang hidung) kanan dan kiri, di sebelah

latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan di sebelah inferior oleh dasar hidung.

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum

(kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina serta krista sfenoid.

6

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksiladan prosesus horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribosa yang dilalui filament-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan cranial konka superior. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os laktimalis, konka superior, dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoideus medial.

6

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus medius, dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) teratas.

6

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di aatas konka media. Kelompok sel-sel etmoid poterir bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas-belakang konka superior dan di depan korpus os-sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sphenoid.

6

Meatus media merupakan celah yang lebih luas daripada meatus superior. Di sini

terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Di balik anterior konka media yang letakny menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang bentuknya bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum, disebut hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum mebentuk tonjolan yang berbentuk

(4)

seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer, yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila dan se-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus naso-lakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas

posterior nostril.

6

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horizontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sphenoid, dan bagian luar oleh lamina pterigoideus sfenoid.

6

6

SINUS PARANASAL

Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada tiap-tiap sisi hidung: sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrum Highmore) dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung: berisi udara dan semua bermuar adi rongga hidung melalui ostium masing-masing.

6

Sinus Frontal

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter, tetapi tidak pernah tak terbentuk sama sekali. Mungkin ada septum yang membagi sinus menjadi satu kompartemen atau lebih. Sinus ini berhubungan dengan meatus media melalui duktus nasofrontal, yang berjalan ke bawah dan belakang dan bermuara pada atau dekat infundibulum bagian atas. Kadang-kadang kanalis frontonasal ini bermuara langsung ke meatus medius.Ukuran rata-rata sinus frontal: tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2cm, dan isi rata-rata 6-7ml. Dinding depan sinus frontal hamper selalu diploik, terutama

(5)

Sel-sel etmoid

Sel-sel atau labirin etmoid terletak di kiri-kanan kavum nasi kira-kira sebelah lateral di setengah atau sepertiga atas hidung dan disebelah medial orbita. Tulang etmoid mempunyai bidang horizontal dan bidang vertical yang saling tegak lurus. Bagian superior bidang yang tegak lurus disebut Krista gali dan bagian inferiornya disebut lamina perpendikularis os etmoid, yang merupakan bagian dari septum. Bidang horisontalnya terdiri dari bagian medial, yang tipis dan berlubang-lubang yaitu lamina kribrosa, dan bagian lateral,

yang lebih tebal dan merupakan atap sel-sel etmoid.6

Lamina kribrosa tidak ditutupi oleh sel-sel etmoid akan tetapi terbuka bebas pada atap rongga hidung. Terbentuk oleh tulang yang keras dan tidak mudah patah oleh kekuatan yang biasa digunakan pada operasi hidung, tetapi lubang-lubang yang ada dapat merupakan jalan untuk penjalaran infeksi ke selaput otak, terutama bila operasi dilakukan pada waktu ada infeksi akut traktus respiratorius atas. Dinding luar sinus etmoid adalah os planum, atau lamina papirasea os etmoid dan os lakrimalis. Lempeng-lempeng tulang ini sangat tipis dan juga merupakan dinding medial rongga orbita. Bila tulang ini tembus, dapat menyebabkan selulitis orbita yang mungkin disertai dengan menonjolnya isi orbita.

Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, sudah ada pada waktu bayi lahir, kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa sinus etmoid terdiri dari sejumlah sel-sel pneumatic yang besar dan jumlahnya bervariasi. Tidak jarang ditemukan sel-sel etmoid anterior yang meluas sampai ke duktus nasofrontal atau mendesak duktus tersebut. Jumlah volume kedua sinus ini kira-kira 14 ml tetapi ada juga yang volumenya berbeda jauh. Ada dua kelompok sel-sel: kelompok anterior, yang bermuara ke meatus medius, dan kelompok popterior, yang bermuara ke meatus superior.

6

6

Sinus maksila

Pada waktu lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggu daripada dasar rongga hidung, kemudian terus mengalami

penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna terjadi setelah erupsi gigi permanen. Perkembangan

maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. Sinus maksila atau antrum Highmore,

(6)

Morris pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Pada orang dewasa isinya kira-kira 15 ml.

Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior dan sebagian kecil os lakrimalis. Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita. Dinding posterior-inferior atau dasarnya biasanya paling tebal dan dibentuk oleh bagian alveolar os maksila atas dan

bagian luar palatum durum, dinding anterior berhadapan dengan fosa kanina.

6

Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus media melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah intuk keperluan tindakan irigasi sinus. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.

6

6

Sinus sfenoid

Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sphenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12-15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letaknya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.

Masing-masing sinus sfenoid berhubungan dengan meatus superior melalui celah kecil menuju ke resesus sfeno-etmoidalis. Ukuran ostium sinus sphenoid berkisar antara 0,5 sampai 4 mm dan letaknya kira-kira 10-20mm di atas dasar sinus, sehingga kurang menguntukngkan dari segi drainase menurut gravitasi. Ukuran sinus ini kira-kira sebagai berikut: usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5 mm dan pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi

rata-rata sekitar 7,5ml (0,05 sampai 30 ml).

6

Ostium sinus biasanya terdiri dari membran, sedangkan lingkaran tulangnya jauh lebih besar daripada orifisiumnya. Letaknya dekat septum nasi dan tersembunyi di balik konka media dan berdampingan dengan septum. Bila ada atropi konka atau deviasi septum ke sisi yang berlawanan, mungkin ostium ini akan tampak pada pemeriksaan rinoskopi anterior.

(7)

Sekret purulen yang mengalir dari ostium melalui koana posterior menuju ke nasofaring atau

ke ujung posterior konka media.6

Gambar A: Anatomi sinus paranasal potongan koronal.

B: Anatomi sinus paranasal potongan sagital

C: Gambar sel-sel etmoid7

FISIOLOGI

Hidung mempunyai empat fungsi utama; yaitu (1) sebagai lokasi epitel olfaktorius, (2) saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian bawah, (3) organ yang mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru, dan (4) sebagai organ yang mampu membersihkan dirinya sendiri. Berarti hidung merupakan alat pelindung tubuh terhadap zat-zat yang berbahaya yang masuk bersamaudara pernafasan. Hidung juga berperan

(8)

Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti fungsi sinus paranasal dan beberapa

teori mengemukakan sebagai pengatur suhu dan kelembaban udara pernafasan (air

conditioning) seperti pada rongga hidung. Ternyata volume pertukaran yang terjadi di dalam sinus kurang lebih seperseribu dari volume sinus pada setiap siklus pernapasan, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu, sinus paranasal hanya mampu melembabkan 1,5 % dari seluruh udara pernapasan yang dilembabkan oleh saluran napas bagian atas, karena mukosa sinus yang tipis dan tidak

mempunyai pembuluh darah sebanyak yang terdapat di mukosa hidung. Fungsi sebagai resonansi suara, tidak banyak mendapat dukungan, karena posisi sinus dan ostium tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator suara yang efektif.

Sesuai dengan letaknya, sinus paranasal dapat dianggap sebagai pelindung pengaruh

panas udara rongga hidung terhadap organ-organ disekitar sinus (thermal insulators) seperti

mata dan otak. Akan tetapi kenyataannya sinus maksila sebagai sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ yang dilindunginya. Fungsi membantu keseimbangan kepala, dimungkinkan karena terbentuknya sinus akan mengurangi berat tulang muka. Sebagai pembantu alat penghirup, dilakukan oleh sinus paranasal dengan cara membagi rata udara inspirasi ke regio olfaktorius. Fungsi lain sebagai pengatur keseimbangan tekanan

udara, peredam kejut (shock absorber), protektor suara antara organ vokal dengan telinga,

sebagai tambahan ruang rugi (dead space) dan penyesuaian proporsi pertumbuhan kranium

dan wajah.

5,6

6,8

DEFINISI

Rinosinusitis didefenisikan sebagai peradangan atau infeksi mukosa dari satu atau lebih ruang sinus paranasal. Rinosinusitis merupakan penamaan yang digunakan dikarenakan peradangan biasanya berawal dari epitel hidung. Rinosinusitis disebabkan oeh pertumbuhan bakteri pada ruang tertutup. Gangguan ini juga disebut rinosinusitis karena mukosa pada kavum nasi berhubungan dengan mukosa pada sinus paranasal sehingga dapat mempengaruhi kedua tempat tersebut. Rinitis virus atau alergi biasanya dapat menyebabkan sinusitis dan terjadinya sinusitis tanpa didahului rinitis amatlah jarang.

Rinosinusitis pada anak dibagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan lamanya penyakit: akut, akut rekuren, subakut dan kronis. Simptom dari sinusitis akut termasuk rinorea, batuk-batuk, hidung tersumbat,sesekali bisa ditemukan demam subfebris, otitis media, rasa tidak nyaman, dan sakit kepala. Gejala-gejala ini dapat membingungkan untuk membedakannya dengan penyakit lain, terutama ISPA. Adanya gejala-gejala yang menetap

(9)

sampai 7-10 hari atau gejala yang memberat selama 7 hari dengan gejala rinorea dan batuk yang menonjol bisa kita duga sebagai rinosinusitis akut. Sebagai tambahan, dapat disertai

gejala dari infeksi akut yang berat seperti rinorea yang purulen dan demam tinggi (>400 C)

dan edema periorbital. Rinosinusitis akut yang berulang didefenisikan dengn adanya fase sembuh total dari sinusitis akut dengan adanya angka kekambuhan 3 atau lebih dalam enam bulan ataupun lebih dari 4 kali dalam setahun. Sinusitis subakut adalah adanya gejala dan tanda yang menetap selama 3 minggu sampai dengan 3 bulan. Sinusitis kronis adalah adanya

gejala dan tanda yang relatif tidak berat dan menetap lebih dari 3 bulan.10

PATOFISIOLOGI

Sinus maksila, frontal, etmoid dan sfenoid, semua didrainase melalui kavum nasi melalui ostium dengan diameter kira-kira 1-3 mm. Obstruksi dari daerah sempit ini dapat membuat lingkungan yang baik untuk pertumbuhan kuman patogen berkolonisasi, Antibiotik tidak dianjurkan pada obstruksi akut, walaupun demikian apabila obstruksi yang menetap selama 7-10 hari, infeksi sekunder dapat terjadi. Pada sinusitis bakteri akut, biasanya disebabkan oleh satu jenis bakteri, tetapi pada 26-30% kasus dibuktikan adanya infeksi bakteri multiple.5

KEKERAPAN

Rinosinusitis adalah salah satu dari penyakit tersering yang terdapat di Amerika Serikat. Sekitar 20 juta kasus terdiagnosa setiap tahunnya dan lebih dari 30 juta orang terdiagnosa dengan rinosinusitis kronis. Di Indonesia, angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis kronis lebih jarang, sekitar 1 dalam 1000 orang.4,11

ETIOLOGI

Organisme penyebab dari sinusitis bakteri akut pada anak sama seperti pada penyakit

otitis media akut. Hal itu termasuk Streptococcus pneumonia (30% sampai 40% dari semua

bakteri diisolasi), Haemophilus influenza (20% sampai 30%), Moraxella catarrhalis (12%

sampai 20%), dan Streptococcus pyogenes (sekitar 3%). Bakteri lain yang lebih jarang

ditemukan termasuk Streptococcus sp., Staphylococcus aureus, neisseria sp. dan bakteri gram

(10)

Tabel 2. Organisme pada rinosinusitis akut.

Streptococcus, pnemoniae

9

Etiologi dari rinosinusitis aku dan kronis sangat berbeda jauh. Pada keadaan rinosinusitis akut, diyakini disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, infeksi jamur ataupun peradangan yang disebabkan karena alergi. Patofisiologi yang pasti dari terjadinya rinosinusitis kronis masih belum dapat dipastikan. Dengan adanya proses radang multipel

yang mendasarinya dan biasanya sering terjadi overlapping, tampaknya dapat dikatakan

bahwa rinosinusitis kronis terjadi disebabkan oleh etiologi yang multipel. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan rinosinusitis kronis diantaranya faktor genetik atau fisiologi, faktor lingkungan, dan faktor struktural.4,9

FAKTOR PREDISPOSISI

Banyak faktor yang dapat menyebabkan rinosinusitis5:

• Infeksi saluran pernafasan bagian atas (ISPA) yang mendahuluinya

• Rinitis alergi

• Polusi lingkungan

• Infeksi gigi atau ekstraksi gigi

• Perubahan hormon

• Faktor iatrogenik

• Variasi anatomi (hipertrofi tonsil atau adenoid, septum deviasi, polip nasi,

palatoschiziz)

• Berenang

• Defisiensi imun

• Gangguan sekretori (kista fibrosis)

• Sindrom immotilitas silia

Mucociliary clearens yang abnormal yang merupakan akibat dari struktur silia yang

(11)

• Bronkiektasis

• Asma

• Sistem imun yang belum sempurna

• GERD

GEJALA

Gejala rinosinusitis pada anak susah dibedakan dari penyakit common cold ataupun

rhinitis vasomotor. Gejala pada anak cenderung tidak spesifik dan biasanya termasuk rinorea, hidung tersumbat, demam, sekret purulen hidung anterior atau posterior, susah makan, nafas berbau, batuk dan suara sengau. Tanda klasik yang biasa terdapat pada orang dewasa (seperti

nyeri pada wajah dan sakit kepala) relatif jarang ditemukan.5

Salah satu gejala yang dapat terjadi meskipun tidak terlalu sering adalah adanya demam tinggi yang disertai ISPA yang berat yang bisanya terjadi selama 3 sampai 4 hari. Jika demam mengawali gejala ISPA, maka cenderung merupakan gejala rinosinusitis viral. Pada anak yang lebih besar ataupun menginjak remaja dapat ditemukan gejala yang yang menyerupai seperti pada orang dewasa: sakit kepala, nyeri pada wajah dan terasa tekanan

pada wajah, nyeri gigi pada daerah maksila, faringitis dan batuk.1

Tabel 2. Gejala rinosinusitis pada anak12 Rinosinusitis Akut Rinosinusitis Kronis

Sekret hidung purulen

Batuk yang lebih sering Sakit kepala

Nyeri pada mata atau gigi

Pada gejala yang menetap pada pemberian antibiotik yang optimal dapat kita curigai sebagai infeksi jamur. Infeksi rinosinusitis jamur terjadi terutama pada anak dengan

(12)

infeksi jamur non-invasif dan infeksi jamur invasif. Gejala yang umum pada infeksi jamur antara lain demam sub-febris, rinorea purulen, terasa penuh pada wajah dan nyeri daerah sinus yang terkena. Pada rinosinusitis pada jamur kuretase dan drainase merupakan penatalaksanaan pilihan.13

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan rinoskopi anterior sangat penting dan dapat dilakukan dengan

menggunakan speculum hidung atau otoskop. Dapat digunakan dekongestan topikal sebelum melakukan pemeriksaan untuk memperbaiki lapangan pandang. Pemeriksaan fisik harus termasuk konka, dan septum, mengevaluasi konsistensi mukus, dan menentukan ada tidaknya

polip ataupun bernafas dari mulut, perdarahan.5

Pada kebanyakan kasus, tidak ditemukan pemeriksaan fisik yang khusus untuk menentukan diagnosis. Jika terdapat nampaknya sekret purulen yang mengalir dari meatus media dapat kita diagnosis dengan rhinosinusitis akut. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan otoskop dengan cara menekankan melalui rongga hidung dengan lembut, tekhnik tersebut tidak mudah untuk dilakukan, terutama pada anak yang masih sangat kecil. Pada sinusitis etmoid dapat ditemukan edema pada periorbital. Pada anak yang lebih tua dan menginjak remaja, penekanan pada daerah sinus frontal dan maksila dapat

menumbulkan nyeri ataupun rasa yang tidak nyaman.1

DIAGNOSIS

Diagnosis dari rhinosinusitis akut tergantung oleh anamnesis; seringnya tidak terlalu terdapat perbedaan pemeriksaan fisik yang mencolok antara penyakit ini dan ISPA biasa.

Rhinosinusitis akut merupakan gejalasaluran nafas atas berat yang bertahan lebih dari 10 hari

atau dengan gejala yang semakin parah pada waktu 7 sampai 10 hari.1

Diagnosa dari rinosinusitis seringnya sulit untuk dilakukan dan biasanya dilakukan berdasarkan dari anamneses dan pemeriksaan fisik. Meskipun aspirasi dan kultur dari cairan pada sinus merupakan gold standart diagnosis, prosedur ini dapat menyebabkan rasa sakit dan infeksi iatrogenik. Prosedur ini biasanya dilakukan pada sinusitis yang megalami komplikasi

atau pada pengobatan yang membutuhkan isolasi dari kuman penyebab untuk menentukan antibiotik yang spesifik. Sayangnya, kultur dari sekret pada hidung sering tidak memiliki korelasi terhadap kuman penyebab dari aspirasi dari sinus sehingga tidak terlalu dapat

(13)

Dari sebuah penelitian mengungkapkan terdapat hifa pada 52% dari aspirasi cairan

pada sinus pada pasien dengan alergi dan 32% positif jamur, salah satunya Aspergillus sp.

Dan dematiaceous, karena itu adanya infeksi jamur pada pasien anak dengan rinosinusitis

alergi harus dipertimbangkan.14

Menurut Task Force on Rhinosinusitis, diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan

jika terdapat paling tidak 2 kriteria mayor ataupun 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria

minor.5

Tabel 1. Kriteria Mayor dan Minor pada Rinosinusitis.5 Kriteria Mayor Kriteria Minor

Sakit dan nyeri tekan di wajah Pembengkakan di wajah

Obstruksi hidung

Sekret dari hidung dan postnasal Hiposmia/anosmia

Pemeriksaan transluminasi dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya cairan pada rongga sinus maksila dan frontal. Tekhnik ini dilakukan pada ruangan gelap dan diarahkan transiluminator (cahaya dengan intensitas tinggi) ke mulut ataupun pipi (untuk melihat sinus maksila) atau kebawah dari batas supraorbital bagian medial (untuk sinus frontal) untuk melihat transmisi dari cahaya melalui rongga sinus. Transluminasi tidak dapat terlalu dipastikan hasilnya pada anak dengan umur dibawah 10 tahun. Pada orang yang lebih dewasa dapat dilakukan pemeriksaan dengan transluminsi, pada keadaan cahaya dari transluminasi normal, maka diduga tidak terjadi sinusitis, sebaliknya, jika tidak terdapat cahaya transluminasi maka diduga terdapat cairan pada rongga sinus. Peneliti menyimpulkan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan transiluminasi memiliki tingkat diagnostik yang terbatas

dan bergantung pada skill dari pemeriksa. Dengan hanya pemeriksaan transluminasi tidak

dapat menegakkan rinosinusitis. Ultrasound juga memiliki nilai diagnostik yang terbatas.3,5

(14)

tidak dianjurkan untuk mendiagnosa rinosinusitis pada anak karena sering ditemukan tidak

akurat jika dibandingkan dengan pemeriksaan Computed tomography (CT) scan. McAlister

dari RS St. Louis melakukan penelitian prospektif terhadap 70 orang anak yang memiliki gejala rinosinusitis kronis dan membandingkan antara pemeriksaan foto polos dan CT-scan dan menemukan hasil yang berbeda sekitar 29% sampai 23%. Dia mengungkapkan bahwa pada foto polos dapat terlihat gejala pada sinus yang berlebihan ataupun lebih sedikit dari

yang terlihat pada CT-scan, Ct-scan dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan

evaluasi pada kasus rinosinusitis berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan rinosinusitis kronis dan dipersiapkan untuk operasi. Pada suatu penelitian

disebutkan CT-scan memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi. CT- scan dapat juga

digunakan untuk mendiagnosa polip, benda asing, atau kelainan anatomi yang dapat

menyebabkan gejala klinis. Penebalan mukosa, adanya air-fluid level, dan gambaran sinus

yang opaque merupakan gambaran yang bisa terdapat pada rhinosinusitis pada CT scan.

MRI merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dipilih jika dicurigai adanya komplikasi intrakranial. Pada pemeriksaan radiologi pasien dengan rinosinusitis jamur tampak perselubungan pada sinus yang terkena, dan pada infeksi yang terjadi pembentukan bola jamur, juga tampak terlihat gambaran bola jamur pada hasil pemeriksaan radiologi. Pada infeksi jamur invasif dapat terlihat adanya erosi tulang.1,3,13,15

Gambar A: Foto polos dari seorang anak yang telah menjalani operasi sinus endoskopi. Terlihat perselubungan pada maksila kanan dan penebalan mukosa pada maksila kiri. Sulit terlihat sinus ethmoid

(15)

DIAGNOSA BANDING

Rinosinusitis pada anak harus dibedakan dengan rinitis alergi, yang mana biasanya dikarakteristikan dengan hidung tersumbat yang berkelanjutan, bersin, mata terasa gatal, dan riwayat atopi dari keluarga. Hipertropi adenoid atau septum deviasi yang berat juga dapat menimbulkan gejala-gejala yang menyerupai rinosinusitis. Adanya benda asing, asma

ataupun keganasan juga harus disingkirkan.5

PENATALAKSANAAN

Amoksisilin merupakan obat pilihan pada penyakit rhinosinusitis. Dosis yang dianjurkan 45mg/kg per hari sampai 90 mg/kg perhari tergantung dengan beratnya gejala atau adanya factor resiko yang spesifik. Dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan umur tidak kurang dari 2 tahun, yang tidak berada pada tempat penampungan anak, dan tidak mendapatkan pengobatan antibiotik dalam waktu dekat dan pada gejala yang tidak berat. Pasien yang mengalami alergi pada golongan penisilin dapat diterapi dengan sefalosporin golongan kedua ataupun ketiga secara oral (cefuroxim,cefdinir, cefpodoxime) kecuali pada

keadaan alergi yang berpotensial untuk terjadi cross-reactivity. Pada keadaan seperti ini,

golongan makrolid seperti ini dapat diberikan clarithromicyn atau azitromycin. Klindamisin merupakan salah satu alternative yang dapat diberikan pada pasien dengan alergi penisilin

yang resisten pada pneumococcus.1

Jika tidak ditemukan perbaikan dalam 3 hari dengan penggunaan amoxicillin atau jika pasien mengeluhkan gejala infeksi saluran pernafasan atas yang lebih berat dan demam yang tinggi, terapi pilihan yang diberikan merupakan amoxicillin/clavulanate (amoxicillin 90 mg/kg perhari), dan dapat diberikan terapi alternatif lainnya berupa sefalosporin generasi kedua atau ketiga. Belum ditentukan durasi dari pemberian obat yang optimal. Banyak variasi dari lama terapi yang direkomendasikan, 14 hari, 14 hari ataupun 28 hari. Sebagai salah satu pilihan,disarankan untuk memberikan terapi sampai 7 hari setelah gejala menghilang memastikan sarat terapi minimum 10 hari dan menghindari terapi yang terlalu berlama-lama

yang mana dapat menyebabkan masalah resistensi.1

Pada infeksi oleh karena jamur yang bersifat invasif dapat diberikan terapi anti jamur

seperti amphotericyn B (0,3-3,0 mg/kg/hr) atau fluconazole secara parenteral dan dapat

dilakukan kuretase dan drainase dari sinus yang terkena.Beberapa peneliti menyarankan untuk pemberian irigasi dengan anti jamur yang cukup efektif dalam mempercepat pembuangan dari organisme penyebab. Pada infeksi jamur yang membentukan bola jamur,

(16)

TERAPI ADJUVAN

Tidak ada terapi adjuvan tertentu yang menjadi ketetapan pada penyakit rhinosinusitis. Bagaimanapun, ada beberapa terapi yang dapat diberikan untuk meringankan gejala. Terapi adjuvant dapat diberikan untuk mengurangi edema dari ostium sinus dan memperbaiki drainase. Dekongestan topical harus diberikan dengan berhati-hati dan tidak

lebih dari 3 hari untuk menghindari efek rebound dan rhinitis medikamentosa. Pada

rinosinusitis akut pemberian antihistamin sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan

meningkatnya viskositas sekret dan menggaggu clearens mukosiliar. Antihistamin dapat

diberikan pada pasien yang didasari oleh adanya rhinitis alergi. Steroid topikal secara teori dapat membantu meredakan inflamasi lokal, tetapi efek penyembuhan pada rinosinusitis akut masih dalam perdebatan. Irigasi hidung dengan menggunakan salie diketahui dapat

membantu mengurangi gejala dari rinosinusitis.1,4

PEMBEDAHAN

Tindakan operatif biasanya dilakukan pada anak dengan rhinosinusitis yang berulang dan yang tidak respon terhadap medikamentosa, yang mana anak tersebut tidak mengalami alergi ataupun GERD yang tidak diatasi, dan tidak didasari oleh penyakit sistemik lainnya

yang menyebabkan rhinosinusitis tersebut.1

Adenoidektomi

Dari penelitian terdahulu telah diketahui terdapat hubungan antara anak yang menderita sakit tonsil ataupun adenoid dengan sinusitis. Huggil dan Ballantyne menyatakan adanya hubungan antara adenoiditis, hipertropi adenoid dengan frekuensi terjadinya rinosinusitis. Merch menyatakan semakin besar adenoid pad maka semakin tinggi insiden tampaknya perselubungan pada maksila pada gambaran foto polos. Telah dilaporkan adanya perbaikan dari gejala-gejala rinosinusitis kronis seperti rinorea, batukpost-nasal drip, halitosis setelah dilakkannya adenoidektomi. Tindakan adenoidektomi juga lebih mudah dilakukan dan memiliki lebih sedikit komplikasi debandingkan dengan operasi sinus dengan endoskopi.

(17)

memperngaruhi terapi sinusitis dan Rosenvelt merekomendasikan bahwa adenoidektomi

harus dilakukan terlebih dahulu tanpa memperdulikan ukuran dari adenoid pad.4,18

Irigasi Antrum

Lavase antrum merupakan metode untuk mendeteksi dan mengatasi sinusitis berulang. Salah satu dari kekurangannya yaitu bahwa metode ini ditunjukkan hanya pada sinus maksila. Irigasi ini dapat dilakukan pada ostium, meatus inferior atau fosa kanina. Irigasi jarang dapat

mengatasi rinosinusitis hanya dengan 1 kali tindakan, sehingga prosedur ini jarang dilakukan sebagai prosedur utama saat ini. Irigasi antrum saat ini menjadi suatu prosedur untuk

melakukan kultur dari sinus maksila.4

Gambar : Lavase antral pada anak.19

Antrostomi Meatus Inferior (Nasal Antral Window)

Saat ini, prosedur ini jarang dilakukan kecuali pada anak dengan penyakit imunodefisiensi, AIDS dan pada beberapa kasus kistik fibrosis. Lund telah melakukan penelitian retrospektif dan prospektif dan menyimpulkan bahwa berdasarkan penelitian 45% dari tindakan ini

antrostomi menutup pada evaluasi selanjutnya. Dalam penelitiannya juga disimpulkan bahwa antrostomi harus lebih besar dari 1cm agar tetap terbuka dan antrostomi sendiri jarang dapat bertahan pada anak-anak. Muntz dan Lusk melakukan evaluasi terhadap 39 anak yang diterapi dengan antrostomi meatus inferior bilateral untuk sinusitis kronis dan mendapatkan gejala yang tidak berkurang pada 60% pasien pada 1 bulan pertama dan 73% pasien pada 6

bulan evaluasi, karena itu mereka mulai meninggalkan metode ini.4

Antrostomi Meatus Media

(18)

penelitian dan menyimpulkan bahwa prosedur ini efektif pada pasien rinosinusitis kronis. Saat ini banyak bukti yang menyatakan bahawa antrostomi meatus media dapat bertahan. Bagaimanapun, kegagalan dalam mengidentifikasi ostium alami atau melebarkannya dapat

menyebabkan obstruksi yang persisten.4

Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)

Pembedahan tradisional untuk terapi rhinosinusitis pada seperti tindakan pembedahan

di atas kadang memiliki hasil yang kurang memuaskan dan angka kesakitan yang tinggi. Kegunaan FESS pada orang dewasa diperkenalkan oleh Kennedy pada tahun 1980an, dan pertama kalinya dilakukan pada anak oleh Gross et al. FESS direkomendasikan sebagai

prosedur yang aman dan efekrif yang dapat memperbaiki drainase dari sinus paranasal.20

Indikasi absolut dilakukannya tindakan FESS pada anak jika ditemukan21:

1. Sumbatan total dari hidung yang disebabkan oleh poliposis yang masuf dan

tertutupnya hidung disebabkan medialisasi dari dinding lateral hidung

2. Polip antrokoanal

3. Komplikasi intrakranial

4. Mukokel dan mukopyokel

5. Abses orbita

6. Dekompresi dari kanalis optikus

7. Dakriosistitis yang disebabkan oleh sinusitis yang tidak mempan dengan obat

8. Sinusitis jamur

9. Gangguan meningoensepalus

10.Keganasan

Adapula indikasi relatif dari tindakan FESS pada anak adalah21:

1. Pada sinusitis kronis yang menetap setelah dilakukan terapi yang optimal dan

tidak didasari oleh penyekit sistemik lainnya

2. Setelah dilakukan terapi optimal dengan antibiotik selama 2 sampai 6 minggu

(oral dan intravena) dan tetap terjadi rhinosinusitis berulang.

Sesungguhnya penatalaksanaan FESS pada anak bukanlah dikatakan sebagai prosedur

yang sama dengan orang dewasa dalam bentuk kecil. Perbedaan antara dewasa dan anak terkait pada metode, rawatan post-operatif dan hasil yang didapatkan. Pada anak dilakukan tindakan yang seminimal mungkin. Walaupun tidak pernah didapatkan adanya defornitas pada wajah setelah dilakukannya tindakan FESS tersebut, tetapi pernah dideteksi adanya

(19)

SKEMA PENATALAKSANAAN BERBASIS BUKTI RINOSINUSITIS PADA ANAK

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007, skema

berikut diharapkan dapat membantu berbagai disiplin ilmu dalam pemberian terapi rinosinusitis pada anak. Rekomendasi yang diberikan berdasar pada bukti-bukti yang ada, tetapi beberapa pilihan harus dibuat pada situasi dan kondisi secara individual. 22

Rinosinusitis Akut pada Anak 22

Gejala tiba-tiba 2/lebih,yang satunya adalah

• sumbatan hidung/ pilek (sekret hidung anterior/ posterior),

disertai atau tanpa:

± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

± hilang atau berkurangnya penghidu

Rinoskopi anterior (nasoendoskopi jika mungkin)

Foto polos & Tomografi Komputer SPN tidak disarankan

Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

Gejala

± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

Pertimbangkan diagnosis lain:

Nyeri kepala frontal hebat Edem frontal

Tanda meningitis atau tanda neurologi fokal

1. Rawat

2. Tomografi Komputer 3. Segera Antibiotik I.V dan atau operasi 4. Kultur & Resistensi kuman

Gejala < 5 hari atau sudah membaik

Gejala menetap/ memburuk setelah 5 hari

Common cold

Tidak toksik Toksik, sakit berat

YA Antibiotik oral Rawat di RS Antibiotik iv

(20)

± penurunan/ hilangnya penghidu

• Pemeriksaan rongga hidung: edema, hiperemis, pus Pemeriksaan (jika dapat dilakukan)

• Pemeriksaan mulut: post nasal drip

• Singkirkan infeksi gigi geligi

Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi

Foto polos sinus paranasal tidak disarankan. Tomografi komputer juga tidak

disarankan kecuali pada keadaan penyakit parah, pasien imunokompromais dan tanda

(21)

Rinosinusitis Kronik pada Anak 22

Gejala tiba-tiba 2/lebih,yang satunya adalah

• sumbatan hidung/ pilek (sekret hidung anterior/ posterior),

disertai atau tanpa:

± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

± hilang atau berkurangnya indera penghidu

Pemeriksaan: Rinoskopi anterior

Foto polos & Tomografi Komputer SPN tidak dianjurkan

Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

Gejala selama lebih dari 12 minggu

± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah ± penurunan/ hilangnya penghidu

Pertimbangkan diagnosis lain:

Nyeri kepala frontal hebat Edem frontal

Tanda meningitis atau tanda neurologi fokal

Perlu investigasi dan intervensi cepat

Tidak berat Eksaserbasi sering

(22)

• Pemeriksaan rongga hidung: edema, hiperemis, pus Pemeriksaan (jika dapat dilakukan)

• Pemeriksaan mulut: post nasal drip

• Singkirkan infeksi gigi geligi

Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi

Foto polos sinus paranasal tidak disarankan. Tomografi komputer juga tidak disarankan

kecuali pada keadaan penyakit parah, pasien immunocompromiseds dan tanda komplikasi

berat (orbita dan intrakranial). Pencitraan

PROGNOSIS

Pada umumnya sebagian besar kasus rinosinusitis pada anak memberikan hasil yang baik hanya dengan terapi medikamentosa saja dan hanya sedikit yang akhirnya memerlukan

pembedahan.23

KOMPLIKASI

Komplikasi dari rhinosinusitis cukup jarang terjadi. Tetapi, juka terjadi komplikasi dari rhinosinusitis dapat menjadi berat dan mengancam jiwa. Komplikasi pada orbita merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi, termasuk selulitis orbita, neuritis optic, dan abses subperiosteal dari orbita. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema pada kelopak mata, proptosis, gangguan kejernihan penglihatan, dan terganggunga pergerakan bola mata. Gangguan pada system saraf pusat dapat berupa manifestasi dari peningkatan tekanan intracranial seperti: muntah, sakit kepala, kaku kuduk, gangguan kesadaran, dan gangguan neurologis lain. Segera dilakukan pemeriksaan dengan CT-scan untuk mengidentifikasi kemungkinan dari thrombosis sinus kavernosus, meningitis, empyema subdural, abses otak, atau osteomyelitis dari tulang frontal. Dapat dilakukan tindakan operatif drainase segera

(23)

KESIMPULAN

Rinosinusitis merupakan salah satu penyakit yang belum sepenuhnya dimengerti dan membutuhkan banyak penelitian pada ilmu penyakit anak. Diagnosis sering bergantung

hanya pada anamnesis sehingga sulit dibedakan dengan influenza (common cold). Pada

keadaan yang ringan biasanya dapat sembuh dengan sendirinya, rhinosinusitis menyebabkan gejala-gejala yang dapat mengganggi kualitas kehidupan dan komplikasi yang

ditimbulkannya dapat mengancam jiwa.

Organisme penyebab dari sinusitis bakteri akut sama seperti pada penyakit otitis

media akut. Hal itu termasuk Streptococcus pneumonia (30% sampai 40% dari semua bakteri

diisolasi), Haemophilus influenza (20% sampai 30%), Moraxella catarrhalis (12% sampai

20%), dan Streptococcus pyogenes (sekitar 3%). Virus bertanggung jawab pada sebagian

kasus seperti, coronavirus, influenza, parainfluenza,adenovirus dan lain-lain. Pada gejala yang menetap pada pemberian antibiotik yang optimal dapat kita curigai sebagai infeksi jamur.

Amoksisilin merupakan obat pilihan pada penyakit rinosinusitis. Dosis yang dianjurkan 45mg/kg per hari sampai 90 mg/kg perhari tergantung dengan beratnya gejala atau adanya faktor resiko yang spesifik.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

1. Taylor A,Adam HM. Ssinusitis. Pediatrics in Review 2006;27(10):395-7

2. Reid RR. Complication of pediatric paranasal sinusitis. Pediatr Radiol 2004;34:

933-42

3. Subcomitee on Management of Sinusiti and Committee on Quality Improvement.

Clinical Practice Guideline : Management of Sinusitis. PEDIATRICS

2001;108(3):798-807

4. Lusk RP. Pediatric Rhinosinusitis. In: Bailey BJ Ed. Head and Neck

Surgery-Otolaryngology. Vol.I, 2th ed., Philadelphia: Lippincott – W&W, 1998. p: 1187-200.

5. Brook I,Gooch WM, Jenkins SG, Pichichero ME. Medical Management of Acute

Bacterial Sinusitis. Ann Otol Rhino Laryngol 2000;109:2-17

6. Ballenger JJ. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal.

Dalam: Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 13, Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994. hal: 1-25.

7. Nash D, Wald E. Sinusitis. Pediatric in Review 2001;22:111-7

8. Walsh WE, Kern RC. Sinonasal Anatomy, Function and Evaluation. In: Bailey BJ Ed.

Head and Neck Surgery -Otolaryngology. Vol.II, 4th ed., Philadelphia: Lippincott –

W&W, 2006. p: 307-17.

9. Clark MM, Werner M. Acut Sinusitis. In: Essential Infectious Disease Topics for

Primary Care. 1st ed. New Jersey: Humana Press, 2008. p. 57-64

10.Qiunn FB, Ryan MW. Pediatric Rhinosinusitis. Proceedings of the Ground Round

Presentation, UTMB, Dept. of Otorynolaryngology; 2004 May 12

11.Utari LA, Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Dewasa dengan Infeksi

Saluran Pernafasan Akut di Instalasi Rawat Jalan di Rumah Sakit Islam Surakarta periode Januari-Juni 2008: Surakarta;2008.p.1

12.Josepshon G, Roy S. Pediatric Rhinosinusitis: Diagnosis and Management.

International Pediatric 1999;14:15-2

13.Behrman RE, Kliegman RM, NelsonWE, Vaughn VC. Aspergiloosis. In: Nelson

Textbook of Pediatric. Fourteenth edition. Philadelphia: W>B> Saunders Company, 1992. Hal: 869-70

14.Al-Swiahb JN, Al-Ammar A, Al –Dausary SH. Allergic fungal in children in Saudi

(25)

15.Bhattacharyya N, Jones DT, Hill M, Shapiro NL. The diagnostic Accuracy of Computed Tomography in pediatric Chronic Rhinosinusitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surgery 2004 Sep;130:1029-32

16.Boucher HW, Patterson TF. Aspergillosis. In: Infectious Disease: Diagnosis and

Treatment of Human Mycoses. 1st ed. New Jersey: Humana Press, 2008. p. 181-7

17.Groll AH, Koehler J, Walsh TJ. Invasive fungal infection in children; advances and

perspective. Pediatric Infectious Disease Revisited. 2007:Switzerland. p.405-44

18.Brietzke SE, Brigger MT. Adenoidectomy outcomes in pediatric rhinosinusitis: A

meta-analysis. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology 2008;72: 1541-5

19.Sinusitis-Antral Lavage-Sinus Washout-Revisited diunduh dari:

www.drpaulose.com/general/sinusi...evisited

20.Chang PH, Lee LA,Huang CC, Lai CH, lee TJ. Functional Endoscopic Sinus Surgery

in Children Using a Limited Approach. Arch Otolaryngology Head and neck Surgery 2004;130:1033-6.

21.Clement PAR, Bluestone CD, Gordts F, Lusk RP,Otten FWA,Goosens H et al.

Management of Rhinosinusitis in Children. Arch Otolaryngology Head and neck Surgery 1998;124:31-34

22.Fokkens W. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007.

Dalam: Buku Saku EPOS, 2007. hal: 14-7.

23.Shah AR, Salamone FN, Tami TA. Acute & Chronic Sinusitis. In: Current Diagnosis

& Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2th ed., Mc Graw Hill Lange,

Gambar

Tabel 2. Organisme pada rinosinusitis akut.9
Tabel 1. Kriteria Mayor dan Minor pada Rinosinusitis.5
Gambar A: Foto polos dari seorang anak yang telah menjalani operasi sinus endoskopi. Terlihat perselubungan

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dapat terjadi diduga selama penelitian ini proses kultivasi mikroalga faktor lingkungan seperti cahaya, salinitas, dan suhu dipertahankan kondisinya pada keadaan

Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi bila terjadi gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan bangkitan kejang. Kegagalan

Sebaliknya, jika sebuah sumber cahaya dipancarkan dari fokus, maka cahaya akan dipantulkan ke luar dalam bentuk cahaya yang sejajar... misalkan P adalah sembarang titik pada

Pada sebagian besar kasus, perdarahan hidung pertama kali ataupun yang tidak sering berulang, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium jika disertai dengan adanya riwayat trauma..

Interpretasi pemeriksaan fisik dapat terganggu pada beberapa keadaan seperti intoksikasi alkohol, terapi yang diberikan, atau tidak terdeteksi dengan baik pada kasus cedera

Dalam pemeriksaan fisik pada bayi dan anak ini beda sama orang dewasa seperti posisi untuk  berbagai bagian pemeriksaan selama masa bayi dan masa anak-anak awal tidak harus

Penilaian derajat dehidrasi pada pasien diare A B C LIHAT Keadaan umum Baik, sadar Normal, rewel, atau lesu Apatis, letargi, tidak sadar Mata Saat menangis Normal Air mata ada

STABILITAS DAN REAKTIVITAS Reaktivitas : Stabil, polimerasi pembentukan bahan berbahaya tidak terjadi Stabilitas Kimia : Stabil terhadap suhu dan cahaya serta dalam keadaan normal