• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dimensi Sosial Politik Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (Analisis Perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dimensi Sosial Politik Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (Analisis Perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional)"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

The dimension of Political Social Factor of Forming The National Ombudsman Commission (Analyse Formulation of President Decision Number 44/2000 about

Forming of The Ombudsman National Commission)

By

Nur Amalia Zuhra

In new orde era, mal adminitrasion, corruption, collusion, and nepotism (KKN) happened for many times in Indonesia. High demand from society for the reform and repair system of governance and administration in Indonesia arised since 1998. In respond to that demand, Abdurahman Wahid at the tine, decided to stabilish Ombudsman National Comission to he industry is controlling state institution.

This reseach aim; 1) to described and analyse the social factor of the President decision Ni. 44/2000 the Formation of the Ombudsman National Commission formation process of National Ombudsman Commision. 2) to described and analysed the role of the social and politic factors in the formation of the Ombudsman National Commission (analysis of the Decision President No. 44/2000). This research used the descriptive method with the qualitative approach. In this research, the researcher used the technique of the data collection through the deep interview, and documentation study. Technically the analysis of the data that was used in this research was the interactive model that was developed by Miles and Huberman, that covered the reduction in the data, the presentation of the data, the concluding/the verification.

(2)

Wahid to clarify about that president decision whether he still to recommend to form Ombudsman Institution. Finally, in march, 20 th 2000 president made president‟s decision number 44/2000 about Forming of The Ombudsman National Commission and appointed all member of Ombudsman National Commission.

There were five institutions which involved in the formulation of the policy for forming Ombudsman National Commission. There are the executive‟s and yudikatif, the interest groups, perss, the community‟s member and the attitude and the behaviour of the decision maker. The five institutions get involved as a part of social and political factor on forming Ombudsman National Commission. It was hoped that the formation of the Ombudsman National Commission, could reduce or even eliminated disadministrasion, and KKN that was done by it are instutions. This commission must stay independent in undertaking its task, although had an influence by the inwardly and outwardly group in the formation of this commission.

(3)

ABSTRAK

Dimensi Sosial Politik Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (Analisis Perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang

Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional) Oleh

Nur Amalia Zuhra

Pada masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi maladministrasi dan korupsi,

kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia. Sejak tahun 1998 banyak tuntutan dari

masyarakat untuk mereformasi dan memperbaiki sistem pemerintahan dan

administrasi di Indonesia. Oleh karena itu Presiden Abdurahman Wahid membuat

kebijakan untuk membentuk lembaga pengawasan penyelenggara negara yang

bernama Komisi Ombudsman Nasional.

Ada dua tujuan dalam penelitian ini. Pertama, mendeskripsikan proses

pembentukan Komisi Ombdsman Nasonal. Kedua mendeskripsikan dan menganalisis faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indepth interview), dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, yang meliputi reduksi data, penyajian data, penyimpulan/verifikasi. Rencana awal pembentukan Komis Ombudsman Nasional pertama kali dicetuskan

(4)

tentang Tim Pngkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Antonius Sujata dan Marzuki Darusman kembali menghadap Presiden Abdurahman Wahid untuk mengklarifikasi Keppres tersebut dan tetap merekomendasikan untuk langsung membentuk lembaga Ombudsman. Akhirnya pada 20 Maret 2000 presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional dan melantik seluruh Anggota Komisi Ombudsman Nasional.

Terdapat lima pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan pembentukan

Komisi Ombudsman Nasional, yaitu badan eksekutif dan yudikatif, kelompok

kepentingan, media massa, anggota masyarakat, sikap dan perilaku pembuat keputusan. Kelima pihak tersebut menjadi bagian dari factor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Diharapkan dengan terbentuknya Komisi Ombusman Nasional dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan maladministrasi, dan KKN yang dilakukan para penyelenggara negara. Komisi ini harus tetap independen dalam menjalankan tugasnya, walaupun terdapat pengaruh dari kelompok luar dalam pembentukan komisi ini.

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Good Governance muncul sebagai kritikan atas dominasi lembaga pemerintah

dalam menjalankan fungsinya. Menurut World Bank, Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (www. depdagri.go.id). Sedangkan Departemen Dalam Negeri menyatakan Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang

baik. Kata „baik‟ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance (www. depdagri.go.id).

(6)

penyalahgunaan dan penyelewengan yang berujung pada KKN (korupsi, kolusi nepotisme) di berbagai birokrasi pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Mengutip pendapat Komisaris PBB untuk Komisi Konpensasi, Roberto Mclean RM (Sujata, 2006:53) yang mengatakan bahwa “Di Jakarta, „keadilan‟ adalah milik pihak yang (berani) memberi tawaran tertinggi (“In Jakarta, ‘justice’

belongs to the party with largest bid”). Sedangkan Transparencyc International (TI) setiap tahun mengklasifikasi Indonesia di kelompok negara-negara terkorup di dunia (Surachman, 2006:53). Hal ini mengindikasikan bahwa memang pengelolaan lembaga pemerintahan, belum menerapkan sistem pengelolaan yang baik (good governance) yang berorientasi pada maksimalisasi pelayanan publik. Untuk menjamin pemberian pelayanan publik yang baik oleh aparatur pemerintah, maka dibutuhkan suatu lembaga formal yang memiliki kekuatan hukum untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.

(7)

kalangan tidak perlu takut untuk melaporkan adanya kasus maladministrasi di instansi pemerintahan. Akhirnya pelayanan publik dapat diberikan dengan baik.

Institusi Ombudsman pertama kali dibentuk pada tahun 1809 di Swedia, yang saat ini telah berkembang menjadi salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi dan negara hukum modern. Lebih dari 130 negara di dunia memiliki lembaga Ombudsman dengan nama yang bervariasi, bahkan lebih dari 50 negara mencantumkannya dalam konstitusi (Sujata, 2006:11). Lembaga pengawas eksternal Ombudsman memberikan ruang yang memadai bagi pelibatan partisipasi masyarakat. Keberadaan Ombudsman sangat penting untuk mendorong jalannya demokratisasi dan transparansi publik. Transparansi dalam kinerja pemerintah dapat terlaksana, salah satunya dengan adanya partisipasi masyarakat. Karena masyarakat dapat mengawasi secara langsung kinerja pemerintah, sehingga pemerintah dapat bekerja dengan baik dalam memberikan pelayanan publik.

(8)

Di Indonesia wacana pembentukan Ombudsman sudah lama sekali berkembang, akan tetapi baru menjadi kenyataan pada tahun 2000. Pada saat itu sedang bergulir isu reformasi untuk menuju negara yang lebih demokratis. Komisi Ombudsman Nasional dibentuk pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 (Sujata, 2002:17). Komisi Ombudsman Nasional dibentuk dengan memfokuskan diri pada pengawasan terhadap proses pemberian pelayanan umum oleh penyelenggara negara guna mencegah dan mengatasi terjadinya maladministrasi. Objek pengawasannya meliputi Lembaga Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional, Instansi Pemerintah (Departemen dan Non-Departemen), TNI, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perguruan Tinggi Negeri.

Sujata (2002:2) menjelaskan bahwa pada November 1999 Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan tentang konsep pengawasan baru terhadap penyelenggara negara. Pada 17 November 1999 diadakan pertemuan antara Jaksa Agung Marzuki Darusman, Antonius Sujata, dan Gus Dur. Hasil dari diskusi tersebut Gus Dur menyepakati pembentukan lembaga pengawasan penyelenggara negara yaitu Ombudsman.

(9)

Marzuki Darusman bersama Antonius Sujata kembali menemui Gus Dur untuk mengklarifikasi Keppres No.155 Tahun 1999, dan merekomendasikan pembentukan Ombudsman. Akhirnya Gus Dus mengeluarkan Keppres No.44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.

Kepres ini juga memberikan mandat kepada anggota Komisi Ombudsman Nasional untuk menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ombudsman, agar kedudukannya lebih kuat karena telah menjadi lembaga permanen dan anggotanya dilantik oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pada 9 September 2008 DPR RI mengesahkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Sejak saat itu Komisi Ombudsman Nasional berubah nama menjadi Ombudsman Republik Indonesia.

Sujata (2006: 25-26) menerangkan secara universal pada hakikatnya Ombudsman mengemban misi untuk melakukan pengawasan secara moral. Pertimbangan, saran serta rekomendasi Ombudsman meskipun tidak mengikat (not legally binding) namun secara moral diikuti (morally binding) dan menjadi penyeimbang

(amicus curie) antara pemerintah dengan rakyatnya. Ombudsman tidak memberi sanksi hukum sebagaimana lembaga peradilan (Magistrature of Sanction) akan tetapi memberi pengaruh kepada aparatur (Magistrature of Influence). Institusi Ombudsman ingin mengembalikan paradigma bahwa sesungguhnya pengawasan serta sanksi moral lebih mendasar dari pada pengawasan serta sanksi hukum.

(10)

Nasional. Sebagai sebuah lembaga yang pertama kali dibentuk oleh pemerintah, proses pembentukan Ombudsman juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Diantara faktor tersebut juga terdapat faktor sosial politik atau ada hubungan antara tuntutan masyarakat dengan unsur kekuasaan dalam pembentukan Ombudsman.

Faktor sosial dan politik dalam pembentukan Komisi Ombudsman Nasional menjadi penting untuk diteliti karena faktor sosial politik itu menggambarkan kondisi masyarakat dan pemerintahan. Hal ini menyebabkan dalam merumuskan kebijakan, para pembuat kebijakan selalu memperhatikan faktor sosial dan politik masyarakat setempat. Sehingga faktor sosial politik dalam pembentukan Komisi Ombusdman Nasional berpengaruh besar terhadap kondisi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional).

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat permasalahan pada uraian di atas, maka rumusan masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses pembentukan Komisi Ombdsman Nasonal?

(11)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Medeskripsikan proses pembentukan Komisi Ombdsman Nasonal.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor sosial politik yang mendasari pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (analisis perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional).

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis dapat memperkaya khasanah Ilmu Administrasi Negara tentang kajian perumusan kebijakan publik.

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Negara dan Pelayanan Publik

Soltau (budiardjo, 2004:39) menyatakan negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. Sedangkan Laski menyatakan “Negara adalah

suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik individu maupun asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.” Menurut Max Weber, negara

(13)

memiliki kekuasaan dan wewenang yang bersifat memaksa dan sah di dalam masyarakat tersebut.

Suatu negara biasanya memiliki sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat tersebut bersifat mengikat bagi setiap warga negaranya, sehingga menjadikannya sebagai ciri atau idetitas dari negara tersebut. Sifat suatu negara dengan negara lain terkadang sering berbeda. Budiardjo (2004, 40-41) menyebutan beberapa sifat umum yang dimiliki oleh semua negara, yaitu: (a) Sifat Memaksa. Agar peraturan perundang-undangan dan penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dicegah, maka negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. (b) Sifat Monopoli. Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama masyarakat. Dalam rangka ini ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebar luaskan, oleh karena bertentangan dengan tujuan masyarakat. (c) Sifat Mencakup Semua. Semua peraturan perundang-undangan (misalnya keharusan membayar pajak) berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali. Keadaan demikian memang perlu, sebab kalau seseorang dibiarkan berada di luar ruang lingkup aktivitas negara, maka usaha negara ke arah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan akan gagal.

(14)

(2006:14) mendefinisikan pelayanan publik sebagai pengadaan barang dan jasa, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun nonpemerintah. Pelayanan publik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Pada negara yang menganut sistem ekonomi liberal, sebagian besar pelayanan publik diberikan dan diatur oleh pasar atau pihak swasta. Pemerintah jarang ikut campur dalam pemberian pelayanan publik kepada masyarakat. Akibatnya hanya masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke atas yang mendapatkan pelayanan publik yang baik. Sedangkan masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke bawah jarang mendapat pelayanan publik yang baik.

Hal tersebut akhirnya menyebabkan kegagalan pasar karena pasar tidak dapat menyediakan pelayanan publik yang baik kepada seluruh masyarakat. Adanya kegagalan pasar tersebut membuat pemerintah akhirnya ikut campur tangan dalam menyediakan pelayanan publik. Hal tersebut sesuai dengan paham Keyenesian yang menganggap pemerintah perlu campur tangan dalam kegiatan ekonomi dan

memberikan pelayanan publik kepada masayarakat

(15)

dibutuhkan masyarakat. Masyarakat pun akhirnya semakin tergantung kepada pemerintah dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik.

Akibatnya pemerintah semakin sewenang-wenang dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Akhirnya terjadilah welfare state (kegagalan pemerintah) dalam penyediaan pelayanan publik yang baik. Masyarakat akhirnya menuntut pemerintah untuk melakukan reformasi di instansi pemerintah. Salah satu reformasi yang dilakukan adalah reformasi administrasi publik.

Pelayanan publik yang diberikan pemerintah, dilakukan oleh penyelenggara negara dalam birokrasi maupun di Badan Usaha milik Negara (BUMN). Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan di Indonesia termasuk pelaksanaan pelayanan publik bersifat sentralistik. Artinya sebagian besar kebijakan diambil oleh pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya menjalankannya saja. Sistem sentralistik ini memberikan kekuasaan yang besar bagi pemerintah pusat untuk mengatur segala hal. Ini menyebabkan semakin besarnya kesempatan untuk terjadinya penyelewengan tugas pemerintah. Pemerintah akhirnya mulai melakukan berbagai tindakan maladministrasi yang menyebabkan buruknya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.

B. Reformasi Administrasi Publik

Salah satu upaya untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik, pemerintah

melakukan reformasi administrasi publik. Miftah Thoha (Ibrahim, 2008:14)

(16)

kelembagaan dan reformasi sistem administrasi publik itu sendiri, terutama untuk

kasus Indonesia. Reformasi dapat ditempuh melalui rekrutmen yang demokratis,

penyesuaian lembaga, penyesuaian sistem prosedur sesuai tuntutan pelayanan

publik (yang makin demokratis dan meningkat).

Reformasi administrasi menurut Lee meliputi reformasi prosedur yang bertujuan

menyempurnakan sistem atau tatanan; reformasi teknik untuk menyempurnakan

metode dan reformasi program untuk menyempurnakan kinerja administrasi

negara (Ibrahim, 2008:13). Sedangkan menurut Khan, reformasi administrasi

adalah usaha-usaha yang memacu atau membawa perubahan besar dalam sistem

birokrasi negara yang dimaksudkan untuk mentransformasikan praktik, perilaku,

dan struktur yang telah ada sebelumnya. Caiden (1969) menyatakan reformasi

administrasi sebagai the artificial inducement of administrative transformation against resistance, dimana dapat diartikan bahwa reformasi administrasi

merupakan keinginan atau dorongan yang dibuat agar terjadi perubahan atau transformasi di bidang administrasi. Sedangkan Quah (Nasucha, 2004) menyatakan bahwa reformasi administrasi publik merupakan suatu proses untuk mengubah struktur ataupun prosedur birokrasi publik yang terlibat dengan maksud untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan mencapai tujuan pembangunan nasional. (http://mrdewa.blogspot.com/Reformasi Administrasi, Definisi dan Tujuan). Jadi reformasi administrasi adalah perubahan dalam bidang

administrasi dan sistem birokrasi negara dalam rangka mencapai tujuan

(17)

Menurut Ibrahim (2008:13-14) reformasi administrasi negara terjadi karena perubahan modernisasi administrasi negara (Administrative change) tidak berjalan sebagaimana mestinya sesuai tuntutan keadaan, karenanya diperlukan usaha yang sadar dan terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek kinerja), meningkat efektivitas organisasi (aspek program), sehingga dapat diciptakan administrasi negara yang sehat dan terciptanya tujuan pembangunan nasional. Tujuan reformasi administrasi negara secara internal adalah efisiensi administrasi negara itu sendiri, meminimalisasi kelemahan atau penyakitadministrasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme/pilih kasih, menggalakkan sistem merit (merit sistem). Tujuan eksternalnya adalah demokratisasi, menyesuaikan sistem kerja antara sistem administrasi negara dan politik (misalnya dalam kerangka otonomi daerah), dan menyelaraskan sistem administrasi negara tidak dapat dilepaskan dengan nilai budaya suatu negara atau wilayah dimana berlakunya reformasi tersebut.

Ada beberapa jebis reformasi administrasi negara (publik), terutama di negara-negara berkembang (Ibrahim, 2008:14), yaitu:

a. Reformasi sekedarnya dan lebih cenderung bersifat status quo. b. Reformasi fundamental atau menyeluruh

c. Reformasi yang mendapat pengaruh dominan dari luar

d. Sementara itu pakar-pakar administrasi negara lainnya (kelompok persadi) lebih menekankan tentang makna pengembangan administrasi negara (tersirat makna reformasi di dalamnya) meliputi:

(18)

2) Perubahan sistem manajemen; 3) Peningkatan profesionalisme SDM; 4) Peningkatan kualitaspelayanan publik; 5) Prinsip desentralisasi.

Di Indonesia reformasi administrasi publik dilakukan karena pelayanan publik

yang diberikan pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik. Selama lebih dari

tiga dasawarsa di bawah rezim orde baru, peran kekuasaan pemerintah (eksekutif)

sungguh amat dominan sehingga masyarakat lebih banyak menjadi objek yang

diawasi dari pada subjek yang mengawasi (Sujata dan Surachman, 2002:4). Hal

ini menyebabkan maraknya terjadi maladministrasi dan KKN (korupsi, Kolusi,

dan Nepotisme) di Indonesia. Tahun 1998 tuntutan reformasi sangat kuat dari

masyarakat untuk memperbaiki system pemerintahan dan administrasi di

Indonesia. Akhirnya Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden

pada tahun 1998. Guna menanggapi tuntutan masyarakat yang menginginkan

pemerintahan yang transparan, bersih, dan bebas KKN, maka Presiden

Abdurahman Wahid membuat kebijakan untuk membentuk lembaga pengawasan

penyelenggara negara yang bernama Komisi Ombudsman Nasional.

C. Pembentukan Organisasi Ombudsman

(19)

tetapi sistem pengawasan seperti Ombudsman sudah ada di beberapa negara jauh sebelum lembaga Ombudsman di Swedia didirikan. Contohnya pada masa Khalifah Umar (634-644 SM), beliau menempatkan dirinya sebagai Muhtasib, yaitu orang yang menerima keluhan dan termasuk dapat menyelesaikan perselisihan (antara masyarakat dan pejabat pemerintah). Khalifah Umar kemudian membentuk lembaga Qadi Al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan tugas khusus melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara. Selain itu di Cina pada masa Dinasti Tsin (22 SM) didirikan lembaga pengawasan bernama Control Yuan atau Censorate yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran (pemerintah) dan sebagai “perantara” bagi masyarakat yang ingin

menyampaikan aspirasi, laporan atau keluhan kepada kaisar (Sumber: http://www.pemantaiperadilan.com). Hingga kini sistem pengawasan Ombudsman terus berkembang keseluruh dunia. Saat ini lebih dari 130 negara di dunia memiliki lembaga Ombudsman dengan nama yang bervariasi, bahkan lebih dari 50 negara mencantumkannya dalam konstitusi (Sujata, 2006:11). Diantaranya Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko (Sumber: http://www.pemantaiperadilan.com).

(20)

Penyelennggaraan Pemerintahan Yang Baik mengungkapan beberapa alasan mendasar negara-negara membentuk Ombudsman, diantaranya:

1. Secara institusional bersifat independent baik struktural, fungsional maupun personal. Sifat independen ini akan sangat mempengaruhi efektifitasnya karena dalam bertindaknya akan bertindak secara objektif, adil, tidak memihak.

2. Sasaran pengawasan adalah pemberian pelayanan artinya dalam bertindak seharusnya aparat menjadi pelayan sehingga warga masyarakat diperlukan sebagai subjek pelayanan dan bukan objek/korban pelayan. Selama ini belum/tidak ada lembaga yang memfokuskan diri pada pengawasan atas pemberian pelayanan umum, padahal jika dicermati sebenarnya pelayanan inilah yang merupakan inti dari seluruh proses berpemerintahan karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kepatutan, penghormatan hak-hak dasar, keadilan serta moralitas.

(21)

sederhana di manapun akan lebih efisien. Termasuk dalam aspek ini adalah cara penyelesaian melalui mediasi di mana masing-masing pihak langsung bertemu dan membahas permasalahan sekaligus menentukan jalan keluar terbaik melalu prinsip saling memberi dan saling menerima (win-win solution).

4. Masalah pelayanan yang menjadi sasaran pengawasan Ombudsman dalam praktek lebih banyak menimpa masyarakat secara individual, meskipun juga tidak jarang berkaitan dengan suatu sistem atas kebijakan sehingga melibatkan (“mengorbankan”) kepentingan individu-individu dalam jumlah yang lebih banyak. Biasanya anggota masyarakat kurang peka terhadap pemberlakuan sistem/kebijakan yang merugikan karena merasa lemah berhadapan dengan kekuasaan. Dengan demikian ia membutuhkan bantuan, membutuhkan dukungan dan membutuhkan pihak lain untuk menyelesaikan masalah tanpa harus menanggung resiko munculnya masalah baru.

(22)

implementasinya diwujudkan melalui ketaatan hukum, tidak memihak, bersikap adil, keseimbangan bertindak, cermat, saling percaya dan lain-lain. Dengan demikian sesungguhnya pelayanan umum sebagai hakikat dasar dari asas pemerintahan yang baik menjadi harapan utama keberadaan lembaga Ombudsman.

6. Masyarakat kecil ataupun korban pelayanan secara mayoritas adalah kelompok ekonomi lemah karena itu mereka menjadi ragu untuk memperjuangkan keluhannya karena keterbatasan masalah keuangan. Institusi Ombudsman dengan tegas dan terbuka mengatakan bahwa pengawasan yang dilakukan ataupun laporan yang disampaikan kepada Ombudsman tidak dipungut biaya. Ketentuan bebas biaya ini merupakan salah satu prinsip Ombudsman yang bersifat universal yang sekaligus sebagai implementasi integritasnya. Ombudsman sangat menjunjung tinggi asas ini sehingga diharapkan sekali agar warga masyarakat tidak memberikan imbalan sekecil apapun kepada Ombudsman sebelum, pada waktu dan ataupun sesudah berurusan dengan Ombudsman. Berurusan dengan Ombudsman tanpa memberi imbalan kepadanya merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap eksistensi Ombudsman.

(23)

pemerintahan. Dengan demikian diharapkan pelayanan publik dapat diberikan dengan baik.

D. Faktor Sosial Politik Perumusan Kebijakan.

Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Dalam perumusan kebijakan tersebut terdapat faktor sosial politik baik dari lingkungan ekstern maupun intern pemerintah yang mempengaruhi proses perumusan kebijakan tersebut. Faktor ekstern yang dimaksud adalah segala faktor yang mempengaruhi kebijakan yang berasal dari lingkungan di luar pemerintah, sedangkan faktor intern adalah segala faktor yang mempengaruhi kebijakan yang berasal dari lingkungan di dalam pemerintah.

Faktor adalah hal yang menyebabkan, pengaruh, pendukung atau latar belakang suatu tindakan, reaksi dari suatu ekologis kehidupan maupun suatu percobaan (Ishak; 1989). Sementara itu Arma Rosaldi memaparkan bahwa faktor adalah suatu ragam pendukung yang membentuk satu kesatuan dalam menghasilkan suatu tindakan (Rosaldi;1994). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), faktor ialah hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu. Sedangkan dalam KBBI pembentukan adalah proses, cara, pembuatan membentuk.

(24)

(Abdulsyani, 2002:115). Organisasi menurut Sutarto adalah sistem saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (Sutarto, 1993:40). Abdulsyani mengatakan terbentuknya suatu organisasi sosial, pada mulanya karena adanya desakan minat dan kepentingan individu-individu dalam masyarakat. Kepentingan-kepentingan itu tidak disalurkan melalui lembaga-lembaga sosial, melainkan disalurkan melalui bentuk persekutuan manusia yang relatif lebih teratur dan formal (Abdulsyani, 2002:115). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor pembentukan organisasi adalah hal yang menyebabkan, mempengaruhi, mendukung atau melatar belakangi pembentukan suatu organisasi guna mencapai tujuan tertentu.

Menurut Abdulsyani (2002:115) istilah sosial berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan pergaulan manusia dalam masyarakat. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sosial berarti berkenaan dengan masyarakat. Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa definisi sosial sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan tindakan manusia dalam masyarakat termasuk sikap, sifat, dan hubungan interaksi antara manusia.

(25)

(institusions) yang mempunyai kaitan dengan otoritas, dalam hal ini suasana didominasi beberapa orang atas orang lain.

Dari berbagai upaya untuk menjelaskan esensi (pengertian) politik, tampak bahwa perhatian sentra dari politik adalah penyelesaian konflik antar manusia, proses pembuatan keputusan-keputusan ataupun pengembangan kebijakan-kebijakan, secara otoritas yang mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu, atau pelaksanaan kekuasaan dan pengaruhnya di dalam masyarakat (Maran, 2001:18). Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu (Budiarjo, 2000:8).

Berdasarkan uraian di atas, maka definisi politik adalah sarana perjuangan atau kegiatan untuk mendapatkan kekuasaan baik di antara negara-negara maupun di antara hukum. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor sosial adalah pengaruh yang berasal dari hubungan pergaulan manusia di dalam masyarakat. Sedangkan faktor politik adalah segala hal untuk mendapatkan kekuasaan.

1. Tinjauan Tentang Kebijakan Negara

(26)

praktek-praktek yang terarah. James E. Anderson (Islamy, 2003:16) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Kebijaksanaan negara menurut Thomas R. Dye (Islamy, 2003:18) ialah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Sedangkan George C. Edwards III dan Ira Sharkansky (Islamy, 2003:18) mendefinisikan kebijaksanaan negara sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan oleh pemerintah. Kebijaksanaan negara itu berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah.

Irfan Islamy (2003:20) mengimplikasikan kebijaksanaan negara sebagai berikut: (a) Bahwa kebijaksanaan negara itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah. (b) Bahwa kebijaksanaan negara itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuknya yang nyata. (c) Bahwa kebijaksanaan negara baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. (d) Bahwa kebijaksanaan negara itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat.

Sedangkan W.I. Jenkins (dalam Wahab, 2004:4) merumuskan kebijaksanaan negara sebagai

(27)

(Serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih berserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi di mana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut). Berdasarkan beberapa defnisi di atas, dapat disimpulkan kebijakan negara adalah segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu dan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok orang.

2. Tinjauan Tentang Perumusan Kebijakan

Chief J.O. Udoji (Wahab, 2004:17) merumuskan pembuatan kebijaksanaan negara sebagai

The whole process of articulating and defening problems, formulating possible solutions into political demands, chanelling those demands into the political systems, seeking sanctions or legitimation of the prefered course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”.

(Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik)).

(28)

1. Nilai-nilai Politik. Pembuatan keputusan mungkin melakukan penilaian atas alternatif kebijaksanaan yang dipilihnya dari sudut pentingnya alternatif-alternatif itu bagi partai politiknya atau bagi kelompok-kelompok klien dari badan atau organisasi yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan yang lahir dari tangan para pembuat keputusan seperti ini bukan mustahil dibuat demi keuntungan politik, dan kebijaksanaan dengan demikian akan dilihat sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari partai politik atau tujuan dari kelompok kepentingan yang bersangkutan.

2. Nilai-nilai Organisasi. Para pembuat keputusan, khususnya birokrat (sipil dan militer), mungkin dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi di mana ia terlibat di dalamnya. Organisasi, semisal badan-badan administrasi, menggunakan berbagai bentuk ganjaran dan sanksi dalam usahanya untuk memaksa para anggotanya menerima, dan bertindak sejalan dengan nilai-nilai yang telah digariskan oleh organisasi. Sepanjang nilai-nilai semacam itu ada, orang-orang yang bertindak selaku pengambil keputusan dalam organisasi itu kemungkinan akan dipedomani oleh pertimbangan-pertimbangan semacam itu sebagai perwujudan dari hasrat untuk melihat organisasinya tetap lestari, untuk tetap maju atau untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang selama ini dinikmati.

(29)

membuat keputusan tertentu yang menguntungkan si pemberi uang sogok, misalnya sebagai hadiah pemberian perizinan atau panandatanganan kontrak pembangunan proyek tertentu, jelas mempunyai kepentingan pribadi dalam benaknya. Seorang presiden yang mengatakan di depan para wartawan bahwa ia akan menggebuk siapa saja yang bertindak inkonstitusional, jelas juga dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pribadinya, misalnya agar ia mendapat tempat terhormat dalam sejarah bangsa sebagai seseorang yang konsisten dan nasionalis

4. Nilai-nilai Kebijaksanaan. Dari perbincangan di atas, satu hal hendaklah dicamkan, yakni janganlah kita mempunyai anggapan yang sinis dan kemudian menarik kesimpulan bahwa para pengambil keputusan politik itu semata-mata hanyalah dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan demi keuntungan politik, organisasi atau pribadi. Sebab, para pembuat keputusan mungkin pula bertindak berdasarkan atas persepsi mereka terhadap kepentingan umum atau keyakinan tertentu mengenai kebijaksanaan negara apa yang sekiranya secara moral tepat dan benar. Seorang wakil rakyat yang memperjuangkan undang-undang hak kebebasan sipil mungkin akan bertindak sejalan dengan itu karena ia yakin bahwa tindakan itulah yang secara moral benar, dan bahwa persamaan hak-hak sipil itu memang merupakan tujuan kebijaksanaan negara yang diinginkan, tanpa mempedulikan bahwa perjuangan itu mungkin akan menyebabkannya mengalami resiko-resiko politik yang fatal.

(30)

gambaran sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman bertindak bagi masyarakat yang meyakininya.

George A. Stemer dan John B. Miner (1997:45-46) menyatakan ada beberapa aspek gejala dalam lingkungan sosial politik dalam penyusunan dan penerapan kebijakan, yaitu perubahan nilai, kritik dunia usaha, pluralisme, lingkungan internal. Ibnu Syamsi (2000: 23-25) mengatakan pengambilan keputusan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor-faktor:

1. Keadaan Intern Organisasi

Keadaan intern organisasi akan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Keadaan intern itu meliputi: dana yang tersedia, kemampuan karyawan, kelengkapan dari peralatan, struktur organisasinya, tersedianya informasi yang dibutuhkan pimpinan, dan lain sebagainya. Keputusan yang memerlukan biaya, tetapi keadaan keuangan tidak mendukungnya, akan mengurangi kualitas keputusan. Hal ini terpaksa diambil dengan mengingat dan menyesuaikan dengan dana yang tersedia untuk itu. Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengerahan karyawan, terpaksa harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas karyawan yang ada. Begitu pula halnya dengan peralatan yang menurut keputusan yang seharusnya menggunakan peralatan yang canggih tetapi karena terbatasnya peralatan dan fasilitas terpaksa diambil keputusan yang tidak optimal.

(31)

Suatu keputusan diambil untuk mengatasi masalah dalam organisasi. Masalah dalam organisasi itu beraneka ragam. Kadang-kadang masalah yang sama tetapi situasi dan kondisinya berbeda, pemecahannya pun harus berbeda pula. Untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi organisasi, lebih dahulu harus diketahui apa yang menjadi penyebab dan apa akibatnya kalau masalah itu tidak segera dipecahkan. Untuk dapat mengetahui sebab dan akibat masalah tersebut, maka perlu pengumpulan data yang ada kaitannya langsung atau tidak langsung dengan masalah itu. Data-data tersebut kemudian diolah sehingga akhirnya merupakan informasi. Informasi yang diperlukan harus lengkap sesuai kebutuhan, terpercaya kebenarannya, dan masih aktual. Berdasarkan informasi inilah pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan baik.

3. Keadaan Ekstern Organisasi

Dalam sistem organisasi terbuka, kegiatan organisasi tidak dapat terlepas dari pengaruh luar. Antara organisasi dan lingkungan ekstern saling mempengaruhi. Oleh karena itu pengambilan keputusan harus mempertimbangkan lingkungan di luar organisasi. Keadaan atau lingkungan di luar organisasi itu dapat berupa keadaan ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dan lain sebagainya. Keputusan yang diambil dalam organisasi harus memperhatikan situasi ekonomi, kalau keputusan itu berkaitan dengan bidang ekonomi. Keputusan yang diambil tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku. Keputusan yang diambil apabila berkaitan langsung atau tidak langsung dengan politik, jangan sekali-kali bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah.

(32)

Tepat tidaknya keputusan yang diambil juga sangat tergantung kecakapan dan kepribadian pengambil keputusan. Hal ini meliputi: penilaiannya, kebutuhannya, tingkatan inteligensinya, kapasitasnya, kapabilitasnya, keterampilannya, dan sebagainya.

Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan menurut G.R. Terry adalah sebagai berikut (Syamsi, 2000: 26) : (1) Hal-hal yang berwujud maupun tidak berwujud, yang emosional maupun rasional perlu diperhitungkan dalam pengambilan keputusan. (2) Setiap keputusan nantinya harus dapat dijadikan bahan untuk mencapai tujuan organisasi. (3) Setiap keputusan janganlah berorientasi pada kepentingan pribadi, tetapi harus lebih mementingkan kepentingan organisasi. (4) Jangan sekali ada satu pilihan yang memuaskan (oleh karena itu selalu buatlah alternatif-alternatif tandingan). (5) Pengambilan keputusan itu merupakan tindakan mental. Dan tindakan mental ini kemudian harus diubah menjadi tindakan fisik. (6) Pengambilan keputusan yang efektif membutuhkan waktu yang cukup lama. (7) Diperlukan pengambilan keputusan yang praktis untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. (8) Setiap keputusan hendaknya dilembagakan, agar dapat diketahui apakah keputusan yang diambil itu betul (atau salah). (9) Setiap keputusan itu merupakan tindakan permulaan dari serangkaian mata rantai kegiatan berikutnya.

Menurut Irfan Islamy (2003:25) beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:

(33)

Seringkali administrator harus membuat keputusan karena adanya tekanan-tekanan dari luar. Walaupun ada pendekatan pembuatan keputusan dengan nama “rational comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian “rasional” semata, tetapi proses dan prosedur pembuatan keputusan itu

tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata. Sehingga adanya tekanan-tekanan dari luar itu ikut berpengaruh terhadap proses pembuatan keputusannya.

b. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme)

Kebiasaan lama organisasi (Nigro menyebutnya dengan stilah “sunk costs”)

seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu sekali dipergunakan untuk membiayai programa-programa tertentu, cenderung akan selalu diikuti kebiasaan itu oleh para administrator kendatipun misalnya keputusan-keputusan yang berkenaan dengan itu telah dikritik sebagai salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama itu akan terus diikuti lebih-lebih kalau suatu kebijaksanaan yang telah ada dipandang memuaskan.

Kebiasaan-kebiasaan lama tersebut seringkali diwarisi oleh para administrator yang baru dan mereka sering segan secara terang-terangan mengkritik atau menyalahkan kebiasaan-kebasaan lama yang telah berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahulunya. Apalagi para administrator baru itu ingin segera menduduki jabatan karirnya.

(34)

Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh para pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Seperti misalnya dalam proses penerimaan/pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.

d. Adanya pengaruh dari kelompok luar

Lingkungan sosial dan para pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap pembuatan keputusan. Seperti contoh mengenai masalah pertikaian kerja, pihak-pihak yang bertikai kurang menaruh respek pada upaya penyelesaian oleh orang dalam, tetapi keputusan-keputusan yang diambil oleh pihak-pihak yang dianggap dari luar dapat memuaskan mereka. Seringkali juga pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada di luar bidang pemerintahan.

e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu

Pengalaman latihan dan pengalaman (sejarah) pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan. Seperti misalnya orang sering membuat keputusan untuk tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggung jawabnya kepada orang lain karena khawatir kalau wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan itu disalahgunakan. Atau juga orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan, dan sebagainya.

(35)

kebijaksanaan dijadikan faktor sosial politik dalam perumusan kebijakan. Hal ini dikarenakan menurut penulis faktor yang diungkapkan oleh Irfan Islamy sesuai dengan definisi faktor sosial dan politik yang telah diterangkan sebelumnya. Yaitu pengaruh yang berasal dari hubungan pergaulan manusia di dalam masyarakat, dan segala hal untuk mendapatkan kekuasaan.

Faktor sosial dan politik dalam perumusan kebijakan sering datang dari tekanan-tekanan dari luar. Keadaan masyarakat merupakan salah satu faktor sosial yang sering menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan. Hal ini menjadikan masyarakat memiliki kekuatan secara politik dalam perumusan kebijakan. Tekanan-tekanan dari luar bisa berasal dari masyarakat yang dapat berupa adat istiadat masyarakat setempat atau dari kelompok-kelompok di luar organisasi pemerintah.

Kebiasaan baik yang terdapat di dalam masyarakat maupun dalam diri pembuat kebijakan yang berupa sifat-sifat pribadi dari pembuat keputusan, bisa menjadi faktor dalam perumusan kebijakan. Kebiasaan dan sifat-sifat pribadi itu termasuk dalam faktor sosial dan politik dalam perumusan kebijakan. Ini dikarenakan kedua hal tersebut berasal dari pengaruh pergaulan manusia di dalam masyarakat. Kebiasaan dan sifat pribadi juga mempengaruhi pandangan politik seseorang dalam mengambil kebijakan.

(36)

interaksi manusia di dalam masyarakat. Pengalaman ini akhirnya mempengaruhi pola pikir pembuat kebijakan dalam perumusan kebijakan.

Perumusan kebijakan negara akan lebih mudah dipelajari apabila menggunakan suatu pendekatan atau model tertentu (Islamy, 2000:34). Ada beberapa model perumusan kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Diantaranya model institusional, model elit massa, model kelompok, dan model sistem politik.

a. Model Institusional

Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada struktur organisasi pemerintah. Hal ini disebabkan karena kegiatan-kegiatan politik berpusat pada lembaga-lembaga pemerintah – seperti misalnya lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif; pada pemerintahan pusat (nasional), regional dan lokal. Sehubungan dengan itu maka kebijaksanaan negara secara otomatis dirumuskan dan dilaksanakan pada lembaga-lembaga pemerintah tersebut. Terdapat hubungan yang kuat sekali antara kebijaksanaan negara dan lembaga-lembaga pemerintah, hal ini disebabkan karena sesuatu kebijaksanaan tidak dapat menjadi kebijaksanaan negara kalau ia tidak dirumuskan, disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah (Islamy, 2000:37).

b. Model Elit Massa

(37)

yaitu dari golongan elit ke golongan massa. Kelompok elit yang mempunyai kekuasaan dan nilai-nilai elit berbeda dengan massa. Dengan demikian kebijaksanaan negara adalah merupakan perwujudan keinginan- keinginan utama dan nilai-nilai golongan elit yang berkuasa (Islamy, 2000:39).

c. Model Kelompok

Model ini menganut paham teori kelompoknya David B. Truman yang menyatakan bahwa interaksi diantara kelompok-kelompok adalah merupakan kenyataan politik. Individu-individu yang memiliki kepentingan yang sama mengikatkan baik secara formal maupun informal ke dalam kelompok kepentingan (interst group) yang dapat mengajukan dan memaksakan kepentingan-kepentingannya kepada pemerintah. Kelompok kepentingan semakin mempunyai arti yang penting dalam proses dan kegiatan politik. Dan sebenarnya politik itu adalah merupakan perjuangan diantara kelompok-kelompok untuk mempengaruhi kebijakan negara. Menurut teori kelompok, kebijaksanaan negara itu adalah merupakan perimbangan (equilibrium) yang dicapai sebagai hasil perjuangan kelompok. Untuk menjaga perimbangan tersebut maka tugas/peranan sistem politik adalah menengahi konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut (Islamy, 2000:42).

d. Model Sistem Politik

(38)

sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada di sekitarnya. Kebijakan negara dipandang oleh model ini sebagai hasil (output) dari sistem politik. Konsep sistem politik mempunyai arti sejumlah lembaga-lembaga dan aktivitas-aktivitas politik dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands), dukungan-dukungan (support) dan sumber-sumber (resources) – semuanya ini adalah masukan-masukan (inputs) – menjadi keputusan-keputusan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang otoratif bagi seluruh anggota masyarakat (outputs). Dengan singkat dikatakan bahwa sistem politik berfungsi mengubah inputs menjadi outputs. Sistem politik yang terdiri dari badan-badan legislatif,

eksekutif, yudikatif; kelompok kepentingan, media massa; anggota-anggota masyarakat; tokoh-tokoh masyarakat (golongan elit); sikap dan perilaku pembuat keputusan dan sebagainya semuanya berinteraksi dalam suatu kegiatan atau proses untuk mengubah inputs menjadi outputs (Islamy, 2000:44-45).

(39)

tersebut juga ditentukan faktor sosial politik yang dapat dilihat lingkungan eksternal dan internal. Yang dimaksud dengan lingkungan eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar negara Indonesia. Sedangkan lingkungan internal adalah segala hal yang terjadi di dalam negara Indonesia

E. Kerangka Pikir

Di Indonesia sering terjadi maladminstrasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Masyarakat yang ingin melaporkan adanya maladministrasi biasanya melaporkan ke pihak pengadilan atau ke instansi tempat terjadinya maladminstrasi. Pengaduan melalui pengadilan biasanya memakan waktu dan biaya yang banyak. Sedangkan pengaduan laporan ke instansi tempat terjadinya maladministrasi biasanya sering tidak ditindak lanjuti oleh instansi tersebut. Masyarakat terutama dari golongan masyarakat miskin juga terkadang takut melaporkan terjadinya maladmnistrasi karena takut mendapat ancaman dari pihak yang merasa dirugikan oleh laporannya. Guna menanggapi tuntutan masyarakat yang menginginkan pemerintahan yang transparan, bersih, dan bebas KKN, maka Presiden Abdurahman Wahid membuat kebijakan untuk membentuk lembaga pengawasan penyelenggara negara yang bernama Komisi Ombudsman Nasional.

(40)

program-program yang memberi kesejahteraan kepada banyak orang, ataupun dengan memberi pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Agar para individu, terutama masyarakat golongan rendah dan miskin, secara terus menerus tidak menjadi korban penyalahgunaan wewenang maka masyarakat sendiri harus mendapatkan tempat untuk melakukan pengawasan. Institusi tersebut telah kita kenal dengan nama Ombudsman.

Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan karena penyelenggaraan pemerintah dan penyelenggaraan negara pada hakikatnya didasarkan atas mandat yang diberikan oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pengawasan Ombudsman adalah pengawasan riel, yaitu pengawasan untuk memperoleh pelayanan sebaik-baiknya dari aparatur pemerintah. Komisi Ombudsman Nasional berdiri sejak 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000.

Ide awal pembentukan Ombudsman di Indonesia tercetus saat diskusi antara Presiden RI Abdurahman Wahid (Gus Dur) dengan Jaksa Agung Marzuki Darusman berserta Antonius Sujata. Komisi Ombudsman Nasional dibentuk sebagai lembaga pengawasan terhadap proses pemberian pelayanan umum oleh penyelenggara negara guna mencegah dan mengatasi terjadinya maladministrasi. Bentuk pengawasan dari Ombudsman adalah pengawasan secara moral dan berbentuk pertimbangan, saran serta rekomendasi Ombudsman terhadap aparatur negara.

(41)

kebijakan, yaitu perubahan nilai, kritik dunia usaha, pluralisme, lingkungan internal.

Menurut Irfan Islamy (2003:25) beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:

a. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar b. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme) c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi

d. Adanya pengaruh dari kelompok luar e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu

Terdapat faktor sosial politik dalam perumusan Keputusan Presden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan menurut Irfan Islamy di atas sudah mencakup faktor sosial dan politik dalam perumusan kebijakan. Faktor sosial adalah pengaruh yang berasal dari hubungan pergaulan manusia di dalam masyarakat. Sedangkan faktor politik adalah segala hal untuk mendapatkan kekuasaan.

(42)

istiadat masyarakat setempat atau dari kelompok-kelompok di luar organisasi pemerintah.

Kebiasaan baik yang terdapat di dalam masyarakat maupun dalam diri pembuat kebijakan yang berupa sifat-sifat pribadi dari pembuat keputusan, bisa menjadi faktor dalam perumusan kebijakan. Kebiasaan dan sifat-sifat pribadi itu termasuk dalam faktor sosial dan politik dalam perumusan kebijakan. Ini dikarenakan kedua hal tersebut berasal dari pengaruh pergaulan manusia di dalam masyarakat. Kebiasaan dan sifat pribadi juga mempengaruhi pandangan politik seseorang dalam mengambil kebijakan.

Sejarah atau pengalaman seseorang juga mempengaruhi dirinya dalam perumusan keputusan yang dibuat. Keadaan di masa lalu ini merupakan salah satu faktor sosial dalam perumusan kebijakan. Sejarah atau pengalaman ini merupakan hasil interaksi manusia di dalam masyarakat. Pengalaman ini akhirnya mempengaruhi pola pikir pembuat kebijakan dalam perumusan kebijakan.

(43)
(44)

Bagan Kerangka Pikir

Maraknya maladministrasi di Indonesia

Tuntutan masyarakat adanya reformasi administrasi

Faktor Sosial Politik dalam perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi

Ombudsman Nasional berdasarkan lingkungan eksternal dan internal

Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem politik menurut David Easton diantaranya:

a. badan eksekutif b. kelompok kepentingan c. media massa

d. anggota-anggota masyarakat

e. sikap dan perilaku pembuat keputusan. Proses Perumusan

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Travers menyatakan metode deskriptif bertujuan menggambarkan sesuatu sifat, suatu yang tengah sedang berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa suatu gejala tertentu (Umar, 2004: 22). Menurut Moleong (2006: 6) penelitian kualitatif adalah penelitan yang bermaksud untuk memaham fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

(46)

instrumen kunci. Metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang berlandaskan pada realitas yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2006: 9-10).

Penelitian ini ditekankan pada metode kualitatif deskriptif yang menekankan proses penelitian dari pada hasil penelitian, sehingga bukan kebenaran mutlak yang dicari tetapi pemahaman mendalam tentang sesuatu. Dengan penelitian kualitatif, penelitian ini bermaksud memperoleh pemahaman menyeluruh dan mendalam mengenai faktor sosial politik pembentukan Komisi Ombudsman Nasional melalui proses wawancara mendalam (indepth interview) dan pengumpulan data dari pihak-pihak yang terkait.

B. Fokus Penelitian

(47)

Penetapan fokus penelitan berfungsi dalam memenuhi kriteria-krteria, inklusi-inklusi atau memasukannya mengeluarkan suatu informasi yang diperoleh dilapangan. Perumusan masalah dan fokus penelitian saling terkait, karena permasalahan penelitian dijadikan acuan penetapan fokus penelitian, meskipun fokus dapat berubah dan berkurang sesuai dengan data yang ditentukan di lapangan. Dengan penetapan fokus yang jelas dan mantap, akan membuat keputusan tepat tentang apa yang akan dikumpulkan dan mana yang tidak perlu dijamah ataupun mana yang akan dibuang.

Secara sederhananya fokus penelitian adalah hal-hal ataupun fenomena yang menjadi pusat penelitian dari seorang peneliti. Fokus pada penelitian ini dibagi menjadi dua, pertama adalah proses pembentukan Komisi Ombudsman Nasioonal, serta pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Kedua faktor sosial politik dalam perumusan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Faktor sosial politik ini di lihat berdasarkan lingkungan eksternal dan internal.

C. Lokasi Penelitian

(48)

dijadikan pertimbangan dalam penetuan lokasi penelitian. Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah Komisi Ombudsman Nasional yang merupakan lembaga pemerintah yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat. Saat ini Komisi Ombudsman Nasional telah berganti nama menjadi Ombusman Republik Indonesia.

D. Jenis dan Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (1984) dalam Moleong (2006:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

1. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya (Hasan, 2002:82). Dalam Penelitian ini sumber data dapat diperoleh melalui wawancara tatap muka antara peneliti dengan informan. Ketika peneliti memasuki lokasi penelitian terlebih dahulu dicari dan ditentukan Key informan-nya (informan kunci). Dalam mengumpulkan data, peneliti menentukan

informan secara purposive sampling yaitu pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2006:54)

(49)

berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintah baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.

Menurut Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar (2008:78) responden dalam metode kualitatif berkembang terus (snowball) secara bertujuan (purposive) sampai data yang dikumpulkan dianggap memuaskan. Pihak yang di wawancara antara lain anggota dan asisten Komisi Ombudsman Nasional. Sebagian besar anggota dan asisten Komisi Ombudsman Nasional saat ini menjadi anggota dan asisten Ombudsman Republik Indonesia.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh para pengumpul data primer atau oleh pihak lain (Umar, 2004:42). Data tersebut bisa saja berasal dari literatur-leteratur, majalah-majalah, buku-buku, peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, arsip-arsip dan data-data lain yang terkait dengan masalah penelitian.

(50)

2. Sumber data dalam penelitian

a. Informan

Iskandar (2008:219-220), dalam penelitian kualitatif, yang menjadi sumber informasi adalah para informan yang berkompeten dan mempunyai relevansi dengan penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah Budhi Masthuri, SH sebagai Asisten Komisi Ombudsman Nasional, dan Antonius Sujata, SH, MH sebagai Ketua merangkap Anggota Komisi Ombudsman Nasional. Wawancara dengan Budhi Masthuri, SH dilakukan pada tanggal 7 September 2009 dan 26 November 2009. Sedangkan jawaban dari pertanyan yang diajukan ke Antonius Sujata, SH, MH diperoleh dari email yang dikirim Antonius Sujata, SH, MH pada tanggal 19 Oktober 2009.

b. Dokumentasi

(51)

Ombusman Inonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang karya Antonius Sujata dkk, buku Studi Perbandingan Komisi Informasi dan Ombudsman RI Upaya Membangun Sinergi karya Bejo Untung dkk, buku Birokrasi Nan Pongah karya Denny B.C. Hariandja, dan rekaman wawancara antara Antonius Sujata dengan Televisi Republik Indonesia (TVRI) Sumatera Utara (Sumut) pada Februari 2009. Dokumentasi yang berupa foto diambil menggunakan kamera digital merek Sahicam DB105C. Foto yang diperoleh selama observasi adalah foto anggota Ombudsman Republik Indonesia sedang menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya malaministrasi, dan foto-foto lokasi penelitian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)

(52)

digital merek Sahicam DB105C untuk merekam wawancara dan dilengkapi catatan hasil wawancara peneliti.

2. Studi Dokumentasi

(53)

F. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan dan analisis data. Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2006:248).

Dalam penelitian ini akan digunakan teknik analisis data dengan model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut: reduksi data, penyajian data, penyimpulan/verifikasi (Sugiyono, 2006:276-284).

a. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan maupun hasil wawancara di lapangan.

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisa melalui tahapan penajaman informasi, penggolongan berdasarkan kelompoknya, pengarahan, atau diarahkan dari arti data tersebut, membuang yang tidak perlu, dan diorganisasikan dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan dapat ditarik dan diverifikasi. Reduksi data berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung.

(54)

penelitian ini, secara teknis data-data yang telah diorganisir ke dalam matriks analisis data akan disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajian data dilakukan dengan cara mendeskripsikan atau memaparkan hasil temuan dalam wawancara terhadap informan serta menghadirkan dokumen sebagai penunjang data.

c. Penarikan kesimpulan, dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan terhadap responden kemudian ditarik kesimpulan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian atas dasar informasi yang telah diperoleh. Penarikan kesimpulan disesuaikan dengan kategori atau klasifikasi data yang telah ditentukan sebelumnya, atau sesuai dengan fokus dan tinjauan pustaka.

G. Keabsahan Data

Moleong (2006: 320-321) menerangkan yang dimaksud dengan keabsahan data adalah bahwa setiap keadaan harus memenuhi:

1. Mendemonstrasikan nilai yang benar

2. Menyediakan dasar agar hal itu dapat diterapkan

3. Memperbolehkan keutusan luar yang dapat dibuat tentang konsistensi dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan dan keputusan-keputusannya.

Moleong (2006: 324-325) mengemukakan bahwa untuk menentukan keabsahan data dalam penelitian kualitatif harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu dalam pemeriksaan data menggunakan empat kriteria:

(55)

Kriteria ini berfungsi: pertama, untuk melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayan penemuannya dapat dicapai, mempertunjukkan derajat kepercayaan dapat dicapai; kedua, mempertunjukkan derajat kepercayan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh penelitian pada kenyatan ganda yang sedang diteliti (Moleong, 2006:324). Dalam hal ini, penelitian menggunakan tehnik triangulasi, dimana menurut Moleong (2006:330) tehnik triangulasi merupakan pemeriksan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Penelitian menggunakan tehnik triangulasi dengan sumber yaitu membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.

2. Keteralihan

Keteralihan sebagai persoalan empiris tergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan keteralihan tersebut, maka peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama. Dengan demikian penelitian bertanggung jawab untuk menyedikan data deskriptif secukupnya jika ia ingin membuat keputusan tentang pengalihan tersebut (Moleong, 2006:324).

3. Kebergantungan

(56)

dan hasilnya secara esensial sama maka dikatakan realibitasnya tercapai (Moleong, 2006:325).

4. Kepastian

(57)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

1. Proses Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional

Selama pemerintahan Orde Baru, pemerintah sering melakukan penyelewengan kekuasaan yang mengakibatkan krisis pada tahun 1997. Keterpurukan Indonesia ini disebabkan oleh sistem oligarki yang diciptakan Presiden Soeharto dan para kroninya. Sistem ini terdiri dari tiga pihak yaitu pemerintahan Presiden Soeharto, militer, dan Partai Golongan Karya (Golkar). Sistem ini menyebabkan banyak terjadi KKN dan maladministrasi yang merugikan masyarakat. Hal tersebut membuat mahasiswa berdemonstrasi menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie. Mundurnya Soeharto dijadikan awal perubahan paradigma pelayanan publik, yang semula lebih mendahulukan kelompok tertentu terutama dari kelompok ekonomi ke atas, menjadi melayani semua masyarakat dari segala golongan.

(58)

Antonius Sujata. Pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya suatu lembaga pengawasan penyelenggaraan negara untuk mendukung pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada 16 Desember 1999 Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pngkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Antonius Sujata dan Marzuki Darusman kembali menghadap Presiden Abdurahman Wahid untuk mengklarifikasi Keppres tersebut dan tetap merekomendasikan untuk langsung membentuk lembaga Ombudsman. Akhirnya pada 20 Maret 2000 presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional dan melantik seluruh Anggota Komisi Ombudsman Nasional. Pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional diantaranya:

a. Badan Eksekutif dan Yudikatif.

Badan eksekutif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Presiden Abdurrahman Wahid dan Sekretaris Kabinet beserta seluruh jajarannya. Sedangkan lembaga yudikatif yang dimaksud adalah lembaga Kejaksan Agung yang saat Keppres tersebut dibuat dipimpin oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman. Dan juga dibantu oleh mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Antonius Sujata. Mereka besama-sama merumuskan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.

b. Kelompok kepentingan.

(59)

Economic Risk Consultancy (PERC) dan Transparancy Internasional (TI). Hal ini

membuat citra Indonesia buruk dan berdampak pada perekonomian di Indonesia. Untuk merubah citra tersebut pemerintah membentuk Komisi Ombudsman Nasional guna melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik. Sehingga penyelenggara negara tidak lagi melakukan KKN.

c. Media Massa.

Peran media massa dalam perumusan kebijakan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional diantaranya memberitakan tentang beberapa kasus maladministrasi yang melibatkan aparatur negara terutama saat masa Orde Baru. Pemberitaan itulah yang mendorong pemerintah masa reformasi terutama saat kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid untuk memperbaiki sistem pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur negara. Caranya dengan membentuk Komisi Ombudsman Nasional untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur negara.

d. Anggota Masyarakat.

Pemerintah masa reformasi mendapat tekanan dari masyarakat dan mahasiswa yang mulai berani menuntut kepada pemerintah untuk menyelesaikan penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Masyarakat juga menuntut kepada pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang baik. Akhirnya pemerintah membentuk Komisi Ombidsman Nasional untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggara pelayanan publik.

e. Sikap dan perilaku pembuat keputusan.

(60)

kepedulian terhadap rakyat yang banyak menjadi korban dan objek dari pelayanan, sedangkan aparat pengawasan yang ada kurang efektif. Sebagai bentuk sifat kepedulian tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Komisi Ombudsman Nasional.

2. Faktor Sosial Politik Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui persen hidup, tinggi tanaman, dan diameter batang tanaman uji keturunan pulai darat umur 2 tahun dalam rangka

KELOMPOK KERJA UNIT LAYANAN PENGADAAN (POKJA ULP) KOTA SAMARINDA. PEMERINTAH

- Apabila Saudara tidak hadir pada waktu Verifikasi dan Klarifikasi sesuai jadual yang telah ditentukan maka dinyatakan gugur atau mengundurkan diri dan tidak dapat

According to “Regulations Governing the Preparation of Financial Reports by Public Banks” effective in 2013, the Bank reclassified the “Financial assets at fair value through

Keter angan : Membaw a dokumen Penaw ar an asli dan lampir an asli isi dokumen Kualifikasi. Demikian atas kehadir an dan ker jasamanya disampaikan ter

Pada hari ini KAMIS tanggal SEBELAS bulan AGUSTUS tahun DUA RIBU ENAM BELAS, Kelompok Kerja (Pokja) II pada Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Barito Timur, telah

First of all getting a business license I.D is truly necessary is a true necessary step to make when you plan to incorporate your wholesale or reselling business.. In my