• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Pemilu 2014 di Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Evaluasi Pemilu 2014 di Sumatera Utara"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PEMILU 2014 DI SUMATERA UTARA1 

 

Muryanto Amin2   

 

Pendahuluan

Pemilihan Umum Legislatif yang digelar pada 9 April lalu akhirnya berakhir

sudah. Gambaran atas hasilnya pun sering menjadi pembicaraan hangat, namun

ternyata di balik itu masih ada banyak evaluasi atas kinerja Komisi Pemilihan Umum

(KPU) dalam menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan ini. Begitu juga

dengan evaluasi terhadap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga

pengawas jalannya Pemilu. Pada dasarnya, Bawaslu menerima laporan terkait

pelanggaran Pemilu sejak masa pencalonan, verifikasi, kampanye, hingga

pemungutan suara dari WNI, lembaga pemantau Pemilu, dan peserta Pemilu.

Pemilihan Umum melibatkan tiga aktor yang menentukan kadar kualitasnya

yaitu, penyelenggara, peserta dan pemilih.3 Penyelenggara pemilu seperti KPU

sebagai pelaksana dan Bawaslu sebagai pengawas, peserta pemilu adalah partai

politik dan seluruh calon anggota legislatif, sedangkan pemilih adalah warga negara

Indonesia yang dinyatakan telah memiliki hak memilih yang diatur dalam peraturan.

Jika ketiga pelaku tersebut menyikapi pelaksanaan pemilu hanya sebagai media

perebutan kekuasaan maka pemilu sebagai pendidikan politik kurang memiliki

makna. Sebaliknya, maka yang akan terjadi adalah proses konsolodasi demokrasi

akan berjalan sesuai dengan tahapan perkembangan masyarakat.

Pelanggaran Pemilu

Seperti yang dilansir dalam website-nya, Bawaslu menerima laporan dari

Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) dan Komite Independen Pemantau

Pemilu (KIPP). KIPP memantau di 31 provinsi di 65 kabupaten/kota. Berdasarkan

pemantauan KIPP, ditemukan 420 pelanggaran, terkategori ke dalam tujuh jenis

pelanggaran seperti manipulasi, politik uang, netralitas penyelenggara, profesionalitas

      

1 Disampaikan pada acara Pertemuan Kepala Kesbangpolinmas se-Provinsi Sumatera Utara, Tema:

Evaluasi Pemilu 2014 dan Persiapan Pemilihan Presiden 2014, di Kota Medan. Makalah ini tidak menggunakan kerangka teoritis karena yang perlu dituliskan terkait observasi pelaksanaan pemilu melalui berbagai sumber.

2

Dosen Ilmu Politik FISIP USU.

3

(2)

penyelenggara, logistik, kampanye, dan hak pilih.4 Sedangkan JPPR memantau di 25

provinsi yang dilakukan di 1005 TPS. Menurut mereka, ada lima kategori

pelanggaran dalam pemilu kali ini yaitu, data pemilih, logisitik, politik uang, serta

pemahaman KPPS tentang pemungutan dan perhitungan suara dan situasi di TPS.

Hasil pantauan JPPR memaparkan bahwa ada sebanyak 291 TPS tidak

memasang daftar pemilih tetap (DPT), 245 TPS mengalami masalah logistik

pemungutan suara, 335 TPS dan lingkungan TPS terjadi politik uang dan barang

dengan berbagai modusnya. Selain itu, ditemukan 399 petugas TPS kesulitan dalam

melaksanakan pemungutan dan perhitungan suara, serta pemungutan suara di 312

TPS berlangsung dengan banyak hambatan dan gangguan antara lain kampanye,

intimidasi, dan mobilisasi pemilih (www.bawaslu.go.id, 2014)

Contohnya, ICW dalam nasional.kompas.com menyatakan bahwa terdapat 313

praktik kecurangan dengan berbagai modus selama pemilu legislatif di lima belas

provinsi di Indonesia (Kompas, 2014). Banten menjadi provinsi yang memiliki suara

paling murah, yaitu bisa dibeli dengan uang Rp.5.000 sampai Rp.25.000. TPS yang

seharusnya bersikap netral bahkan ikut terlibat dengan kecurangan ini. Hal ini terjadi

di beberapa TPS di Nias. Dalam kejadian ini terdapat beberapa kejanggalan, yakni

lebih banyaknya jumlah surat suara sah dan tidak sah daripada pemilih di daerah itu

sendiri. Bahkan, ada indikasi ketidak-netralan KPU sendiri, sehingga 11 kecamatan di

Kabupaten Nias harus melakukan pemungutan suara ulang (Detik.com, 2014).

Bahkan ada kasus ‘kerjasama’ antara pihak KPSS dengan caleg. Seperti yang terjadi

di Kabupaten Blitar, Ketua KPPS di TPS 19 Dusun Sugihan, Blitar, Jawa Timur,

tertangkap tangan telah mencoblosi 110 surat suara untuk dua orang caleg.

Masalah-masalah di atas merupakan sebagian dari berbagai pelanggaran yang

ada di Pileg lalu. Tentu masih banyak kasus serupa yang tak mungkin disebutkan satu

per satu. Pelanggaraan dan kecurangan tersebut memperlihatkan bahwa

penyelenggaraan Pileg tahun ini masih carut marut. Hal ini tentu menjadi evaluasi

besar bagi KPU selaku penyelenggara. Padahal, masalah seperti pada logistik

menimbulkan kerugian besar bagi negara karena pemungutan suara harus diadakan

ulang. Pelaksanaan Pileg tahun ini masih jauh dari bentuk pemilu yang dicita-citakan,

(3)

yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Fakta ini tentu juga harus

menjadi sorotan bagi Bawaslu selaku pengawas jalannya Pemilu.

  Pemilu 2014 di Sumatera Utara 

Angka  partisipasi  pemilih  di  Sumut  mencapai  70,5%.  Angka  ini  masih  berada  di  bawah  rata‐rata  target  nasional  yang  ditetapkan  sebelumnya  yaitu  75%.  Meskipun  angka  tersebut  lebih  besar  2.18%  dari  partisipasi  pemilu  2009  (68,32%)  dan  sangat  tinggi  sebesar  22%  jika  dibandingkan  dengan  Pemilihan  Gubernur  Provinsi  Sumut  (48,50%).  Jika  dilihat  dari  sebaran  distribusi  partisipasi pemilih di 33 kabupaten/kota, tercatat Medan dan Deli Serdang yang  angkanya  sangat  rendah  hanya  mencapai  40%.  Padahal  dua  daerah  otonom  itu  memiliki jumlah pemilih yang paling besar di Sumatera Utara. 

Konflik  yang  terjadi  pada  saat  Pemilu  2014  di  Sumut  berkisar  pada  kecurangan  di  TPS  seperti  indikasi  penggelembungan  dan  pembelian  suara  di  Nias  Selatan,  Paluta,  Tapteng,  dan  lain‐lain.  Kekuatan  suara  atau  yang  sering  disebut vote getter  berada  pada  orang‐orang  yang  memiliki  jaringan  yang  kuat  serta dana yang tidak sedikit. Di antara mereka adalah para bupati dan walikota  yang mendukung salah satu atau beberapa parpol dan caleg.  

Hasil  Pemilu  2014  di  DPR‐RI,  DRPD  Provinsi  Sumut,  dan  Kab/Kota  menunjukkan  hampir  lebih  dari  separoh  wajah‐wajah  baru  yang  mendapat  dukungan dari orang‐orang kuat atau mereka sendiri yang disebut orang kuat itu  di Sumatera Utara.  Praktek beli suara (shopping voters) menjadi catatan menarik  yang  harus  dianalisis  karena  berimplikasi  dengan  pilpres  dan  yang  paling  penting relasi eksekutif‐legislatif. 

(4)

Relasi  eksekutif‐legislatif  yang  terjadi  dari  hasil  Pemilu  Legislatif  2014  akan menghasilkan pola yang bersifat transaksional dan kecenderungan praktik  korupsi dan kolusi akan sangat tinggi.5 Beberapa penyebab hal tersebut terjadi:  a. Partai  politik  dan  caleg  sebagai  peserta  pemilu  dan  instrumen  yang  paling 

penting  dalam  konsolidasi  di  Indonesia  belum  menunjukkan  aktivitas  yang  mengarah  kepada  kualitas  demokrasi.  Indikasinya  terjadi  yaitu  pada  saat  menawarkan  program  dan  caleg  kepada  para  pemilih  di  dapil  tidak  dilakukan dengan sistem yang transparan dan akuntabel dalam menentukan  siapa  yang  layak  dicalonkan,  di  mana  daerah  pemilihannya,  serta  urutan  peringkat nomor calon.  

 

Penguasa,  elit  partai,  dan  penggemgam  otoritas  penentu  daftar  calon  dan  daerah  pemilihan  belum  mempunyai  sistem,  kesadaran,  dan  kemampuan  membebaskan  dirinya  dari  sikap  dan  perilaku  nepostistik,  kolusif,  favoritisme, dan politik uang dalam menentukan calon legislatif.  

 

b. Penyelenggara  pemilu  (KPU  hingga  KPPS)  belum  memiliki  kualifikasi,  integritas,  dan  independensi  yang  cukup  baik.  Kesalahan  terjadi  pada  saat  rekrutmen  pada  level  provinsi  hingga  kabupaten/kota  yang  sarat  dengan  kepentingan  para  peserta  pemilu  dan  penguasa  lokal  (bupati/walikota  dan  para  cukong).  Kondisi  itu  menyebabkan  proses  pemilihan  dan  perhitungan  suara banyak terjadi manipulasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.  Praktek  tersebut  nyaris  sempurna  terjadi  karena  lemahnya  mekanisme  kontrol atas kompetisi yang sangat ketat sehingga dapat menyebabkan para  calon  dari  satu  partai  dalam  suatu  daerah  pemilihan  melakukan  apa  saja  untuk memenangkan dirinya. 

 

c. Sistem  pemilu,  proporisonal  daftar  terbuka,  yang  dilaksanakan  membuktikan adanya kelemahan yaitu tingginya biaya politik dan kompetisi  yang sangat terbuka pada saat partai defisit melakukan pendidikan politik.  

(5)

Sistem  pemilu  tersebut  tanpa  pengawasan  yang  ketat  akan  sangat  merepotkan  khususnya  aparatur  birokrasi  dalam  melaksanakan  program  pemerintah.  Sistem  itu  akan  “memelihara”  keberlangsungan  para  pihak  tertentu  di  tingkat  lokal  yang  mengambil  keuntungan  dari local  resources  (sumber daya lokal) dan justru merugikan kepentingan kemaslahatan umat.   Bila  sistem  pemilu  sebagai  instrument  demokrasi  telah  secara  sadar  dan  sengaja  dibuat  ternyata  tidak  menghasilkan  kualitas outcome  yang  mampu  memberikan  kesejahteraan  masyarakat  bagi  proses  demokrasi  itu  sendiri.  Maka  sulit  menyalahkan  bila  ada  calon  legislator  yang  “banyak  bicara  dan  omong kosong” 

 

d. Pemilih yang dengan syarat pendidikan dan penghasilan cukup masih jamak  belum  dimiliki  di  masyarakat  lokal  Indonesia.  Sehingga,  pemilih  dengan  kategori  tersebut  akan  cenderung  disebut  sebagai  pemilih  pemilih  yang  evaluatif‐ekonomis  yaitu  pemilih  yang  selalu  menuruti  kepentingannya  sendiri, dan akan mendahulukan kepentingannya sendiri diatas kepentingan  orang  lain  (egois)  karena  mereka  ingin  memaksimalkan  kesejahteraan  mereka.  Pemilih  dalam  kategori  ini  tidak  terlalu  tertarik  akan  program,  melainkan  pada  keuntungan  lebih  besar  yang  ia  peroleh  jika  orang  yang  dipilihnya  itu  akan  menjadi  pejabat  pemerintah.  Kategori  pemilih  ini  memandang pemberian bantuan secara langsung seperti uang, barang, atau  bentuk lainnya sebagai hal yang paling penting 

 

Apa Harus Dilakukan 

(6)

Menghindari  konflik6 yang  kecil  kemungkinan  terjadi  di  antara  pemilih  dalam  pilpres  juga  harus  dicermati  sebagai  bentuk  tanggung  jawab  aparatur  pemerintah.  Pemicu  konflik  hanya  sangat  kuat  bersumber  dari  para  elit,  tokoh  dan  orang‐orang  yang  sangat  dikagumi  atau  ditakuti.  Tokoh  menjadi  salah  satu  faktor  yang  dapat  menghambat  atau  mempercepat  konsolidasi  demokrasi  di  tingkat lokal yang akhirnya akan memberi sumbangan energi positifnya kepada  negara. 

 

 

Daftar Pustaka   

Gramsci, Antonio. 1971. Selections from Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart. Dikutip dalam Muhadi Sugiono. 1999. Kritik Gramnci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haris, Syamsuddin. et. al. Pemilihan Umum di Indonesia. 2014. “Telaah atas Struktur, Proses, dan Fungsi”. Makalah disampaikan pada Acara Seminar Nasional AIPI 12 Januari 2014 di Jakarta.

Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP). 2014. “Laporan Pelaksanaan Pemilu 2014”. Makalah disampaikan pada acara Diskusi Kelompok Terbatas. Penyelenggara Kelompok Strategis Pemantau Pemilu di Medan, tanggal 15 April 2014.

Rauf, Maswadi. 2005. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Tinggi.

 

Referensi

Dokumen terkait

Apa- bila suhu berada diatas kisaran tersebut, maka udang mengalami gangguan fisiolo- gis dan menyebabkan kematian, sedangk- an apabila dibawah kisaran, udang tidak mampu mencapai

Dalam hal ini bertindak atas nama dan untuk Kantor Arsip Daerah Kabupaten Badung, dan selanjutnya disebut dengan PIHAK KEDUA. Menyatakan telah mengadakan serah terima arsip-arsip

Pada konflik internal PKB tahun 2008 – 2011 antara kubu Muhaimin Iskandar dengan kubu Gus Dur yang menjadi fokus studi dalam penelitian ini, penyelesaian

Selain itu dengan adanya mulsa pemberian pupuk, pengendalian gulma maupun hama penyakit dapat berkurang baik dalam segi biaya dan waktu yang dibutuhkan

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga pada kesempatan kali ini penulis

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat akulturasi pada fasad rumah si Pitung di Marunda, dengan pengaruh kebudayaan yang sangat beragam dari berbagai etnis

gambar berkenaan siksaan kubur bagi org yang murtad kepada Allah… Dan Takutlah Pada Allah Karena Siksaannya pada segala larangannya dan sayangilah Allah karena Rahmatnya… dan

Model pembelajaran ini menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam proses belajar aktif , kemudian mereka akan membuat siswa mengerti akan permasalahan yang