• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilu 2014 Di Bawah Kutukan Minority Go

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemilu 2014 Di Bawah Kutukan Minority Go"

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

U

sai sudah masa kampanye pemilu yang berlangsung selama enam belas bulan. Insya Allah, dua hari lagi, 9 April, rakyat Indonesia akan kembali berbon dong-bondong ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menduduki kursi DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pemilu kali ini adalah pemilu legislatif ke-11 sejak Indonesia merdeka. Sepuluh pe milu sebelumnya digelar pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. Pemilu 2014 ini, juga merupakan pemilu legislatif keempat di era reformasi.

Kendati Indonesia, negara demokrasi terbesar nomor tiga, ini, kian berpenga -laman menggelar pesta demokrasi, kinerja partaipartai yang merupakan pilar de -mokrasi, bukan semakin bertenaga dalam meraup suara. Sebaliknya, justru semakin loyo. Hal itu sudah dikonfirmasi oleh jajak pen dapat sejumlah lembaga survei, di ma na tak satu pun partai yang bakal meraih suara mayoritas mutlak.

Padahal, jumlah 12 partai politik na -sio nal dan tiga partai lokal yang menjadi peserta pemilu kali ini, merupakan yang terendah di era reformasi. Pada Pemilu 1999 lalu, jumlah pesertanya empat kali lipat, yaitu 48 partai. Pada Pemilu 2004 turun separuh menjadi 24 partai. Dan, kembali naik menjadi 38 partai plus enam partai lokal pada Pemilu 2009.

Mestinya, dengan semakin sedikitnya kontestan pemilu, semakin mudah pula bagi partai meraih suara, karena kompe ti tornya sudah berkurang. Namun, nya tanya, suara pemilih tetap sulit terkon -sentrasi di kutub tertentu. Suara tetap ter sebar. Alhasil, apa yang kita sebut sebagai partai besar saat ini, sesung guh -nya masih lah merupakan partai medioker, karena suara yang berhasil diraih peme -nang pe milu dalam tiga pemilu terakhir, masingmasing hanya di kisaran 30 per -sen, 20 per -sen, dan 20 per-sen, bukan suara mayoritas.

Untuk Pemilu 2014 pun, situasinya tak jauh berbeda. Riset pra pemilu sejumlah lem baga survei mendapati partai peme -nang pemilu kelak hanya akan meraih suara di kisaran 20 hingga 27 persen. Ada satu lembaga yang menyimpang, karena memberi suara hingga 37 persen untuk partai tertentu. Namun, lembaga-lembaga survei mainstreamseperti Cyrus Network, Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga Survei Indonesia, Poltrack, Charta Politica, dan Indikator Politik Indonesia, rata-rata memprediksi pemenang pemilu belum akan menyundul angka 30 persen. Tidak adanya partai yang bakal meraih suara mayoritas ini, akan menjadi ganjalan bagi upaya penguatan sistem presidensial. Sebab, presiden terpilih nanti, partainya hanya akan meraih sekitar seperempat atau seperlima suara

parlemen. Sebuah per soalan, karena sebagian besar kursi parlemen dikuasai oleh partai lain, se hingga program-program pemerintah bisa dihadang parlemen, bahkan setiap saat pemerintah bisa digoyang dan presiden terancam

di-impeach.

Persoalan ini memang bak kutukan bagi negara-negara yang menerapkan kom binasi sistem pemerintahan presiden sial dengan sistem multipartai. Pakar po -litik, Scott Mainwaring, dalam paper nya

Presidentialism, Multiparty System, and Democracy: The Difficult Equation, me -nye butnya dengan istilah divided go -vernment. Sedangkan, pakar politik lain nya, Jose Antonio Cheibub, Adam Prze -worski, dan Sebastian M Saiegh, dalam paper bertajuk Govern ment Coali tion and Legislative Success Under Presi dentialism and Parlia mentarism, menye butnya de -ngan istilah minority government.

Menurut penelitian Mainwaring dan Cheibub-Przeworski-Saiegh, kombinasi presidensialisme-multipartai, membuat demokrasi cenderung tidak stabil, karena eksekutif dan legislatif dikuasai oleh par -tai berbeda. Kondisi ini terjadi di hampir se mua negara penganut presiden sialismemul tipartai yang diteliti, dan telah me nyu lit kan eksekutif dan legislatif men -capai konsensus, dan kerap mencip takan konflik berkepanjangan, bahkan kebuntuan.

Dari semua negara yang menerapkan kombinasi itu, sejak tahun 1900an hing -ga 1990-an, Mainwaring mendapati hanya satu negara yang bisa stabil, yaitu Chile. Chile berhasil stabil, karena mene rapkan strategi koalisi. Koalisi ini dibangun se -belum pemilu legislatif digelar.

Strategi ini pula yang diterapkan oleh SBY dengan Sekretariat Gabungan (Set gab)nya, dalam dua periode pemerin -tahan nya. Partner koalisi bahkan bukan hanya partai pengusung yang mendaf -tarkan SBY sebagai calon presiden di Komisi Pemilihan Umum, tapi juga partai yang mendukung di tengah jalan, dan par -tai yang semula mendukung capres ri val SBY. Pada Pemilu 2009 lalu, misalnya, Set gab menghimpun sebagian besar partai di Senayan, dengan total kursi DPR men capai sekitar 75 persen.

Meski sudah mendapat back upsede -mi kian besar, nyatanya tak selalu mudah bagi pemerintah mengegolkan agenda-agen danya. Saat pemerintah mendorong agenda-agenda tak populis ke Senayan,

seperti kenaik an harga BBM, nyatanya koalisi tak lantas seia sekata. Bahkan, par -tai-partai mitra koalisi justru bisa dengan mudah cikar kanan, dan bersikap bak opo -sisi. Dalam isu-isu populis, partai-par tai mitra koalisi lebih takut hukuman rakyat pada pemilu berikutnya, ketimbang SBY.

Mengacu pada hasil pollingsejumlah lembaga survei, bahwa partai pemenang pemilu hanya akan meraih seperlima atau seperempat kursi parlemen, mau tidak mau, pemerintahan mendatang akan tetap menjadikan koalisi sebagai jalan keluar. Koalisi itu terpaksa harus tetap dibangun, meski partai tertentu bisa saja meraih suara dan kursi yang melampaui

presidential threshold dan bisa meng -ajukan pasangan capres/cawapres sendiri. Sebab, jika jalan sendiri, dia bisa mendapat ma salah di kemudian hari.

Dengan demikian, dapat diprediksi, kabinet mendatang pun akan tetap men -jadi kabinet pelangi, di mana kursi menteri akan tetap diduduki para politisi ‘wakil partai di kabinet’, tak ubahnya sistem parlementer. Sistem presidensial bercita rasa parlementer ini harus tetap dipelihara, kendati seorang presiden ter -pilih mempu nyai legitimasi besar, karena harus meraih suara mayoritas mutlak 50 persen plus satu, sebelum bisa meleng -gang ke Istana.

Tapi, Mainwaring mencatat, koalisi yang dibangun di bawah presidensialisme, adalah sesuatu yang complicated, dan umumnya rapuh (vulnerable). Sebab, tak seperti sistem parlementer –di mana partai mayoritas atau koalisi partai mayoritas yang otomatis memerintah—, koalisi dalam sistem presidensial tidak terinstitusio na lisasi. Dan itu pun sudah terbukti di In donesia, ketika kontrak koalisi tak berdaya meredam mitra koalisi yang menolak mendukung kenaikan harga BBM. Dan, bisa jadi pasca-Pemilu 2014, kita pun masih akan menyaksikan drama serupa.

Sebenarnya, semua keganjilan ini bisa teratasi, jika Mahkamah Konstitusi me -nga bulkan permohonan Effendi Ghazali untuk menerapkan pemilu serentak pada Pemilu 2014. Namun, ternyata, Mahka mah Konstitusi mengabulkan permohon -an pe milu serentak, namun menunda pember lakuannya lima tahun lagi.

Pemilu serentak ini, memang meru -pakan solusi, bagi negara seperti Indonesia. Tak seperti Mainwaring yang cenderung me makruhkan bahkan mengharamkan

mul ti partai dalam sistem presidensial, studi ter baru ternyata berhasil menda patkan bukti lapangan bahwa presiden sialismemulti partai ternyata tetap bisa mengha -silkan sistem presidensial yang efektif. Caranya, dengan pemilu serentak. Dan itu, menurut Mark J Payne dalam De mocracies in Development: Politics and Re form in Latin America, sudah dibuk tikan oleh ne -gara-negara Amerika Latin, seperti Brazil. Brasil adalah negara yang sangat mirip dengan Indonesia. Negara bola ini me ngom binasikan presidensialisme-multipar tai-sistem pemilu proporsional terbuka (open list).

Pada 2010 lalu, 23 partai menjadi pe -serta pemilu legislatif di Brazil. Sebanyak 10 partai berkoalisi mendukung calon presiden Dilma Roussef (Koalisi Lulista), partai-partai lainnya mendukung delapan calon presiden lainnya. Karena pemilunya serentak, koalisi itu dilakukan sebelum pelaksanaan pemilu.

Dan, kendati peserta pemilu legislatif dan peserta pemilu presiden cukup banyak, namun pemilu serentak berhasil mencip takan hasil yang sebangun. Koalisi Lulista berhasil meraih kursi mayoritas di dua kamar lembaga legislatif, yaitu DPR (60,6 persen) dan Senat (61,7 persen). Dilma Roussef pun berhasil meraih 46,91 persen suara pada pilpres putaran per -tama, dan akhirnya dipastikan menjadi presiden terpilih setelah memenangkan 56,05 persen pada pilpres putaran kedua. Hasil pemilu eksekutif dan legislatif yang sebangun itu, membuat demokrasi di Brazil menjadi lebih stabil. Pemerintah pun lebih mudah mengegolkan agendanya di parlemen. Dan, karena energinya tak lagi terlalu banyak dikuras oleh gonjang-ganjing politik, Brazil pun kemudian melesat menjadi salah satu ne gara dengan pertumbuhan ekonomi pesat, yang ter -gabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan).

Pemilu serentak berhasil menjadi pe -nye lamat, karena bekerjanya bandwa gon effectatau coattail effect: pemilih presiden A, punya kecenderungan memilih partai asal/pendukung presiden A, sehingga sang presiden terpilih pun berhasil menda -patkan du kung an mayoritas parlemen.

Sayang, untuk menerapkan rekayasa yang solutif itu, Indonesia harus menunggu lima tahun lagi. Itu pun modelnya lebih rumit. Brasil menerapkan pembagian pemi lu nasional-lokal, sedangkan pada 2019 nanti, Indonesia akan melakukan pemilu lima kotak (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ -kota).

Akibatnya, bukan hanya akan lebih rumit, apalagi jika sistem pemilunya tetap proporsional terbuka, tapi solusinya pun parsial. Kelak, bisa jadi pemerintahan di tingkat pusat sebangun, tapi di tingkat lokal —karena pemilihan gubernur dan bupati/wali kota dipisah dengan DPRD— justru tetap disandera oleh kutukan

minority government. ■

27

REPUBLIKA

SENIN, 7 APRIL 2014

PEMILU 2014

Di Bawah

Kutukan

Minority Government

Salah satu misi UU Pemilu adalah memperkuat

sistem presidensial, tapi hasil pemilu kali ini

akan tetap sulit mewujudkannya.

■ Oleh Harun Husein

Referensi

Dokumen terkait

Husaeni Lesmana Tari Topeng Klana gaya Sumedang memiliki fungsi sebagai seni pertunjukan, yang membedakan adalah pada saat isi dialog dalang yang sesuaikan dengan

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Interseksi merupakan suatu titik potong atau pertemuan. Dalam sosiologi, interseksi dikenal sebagai suatu golongan etnik yang majemuk. Dalam Sosiologi, interseksi

〔下級審民訴事例研究 六〕 一 株式会社の負担する債務の担保として

Dari pengalaman bisnisnya tersebut, Susilo pun berpikiran bahwa daripada ia menjadi karyawan di sebuah kantor dengan gaji tetap, mendingan ia menjadi seorang pengusaha yang

Pembelajaran berasaskan Cakera Padat Interaktif sangat sesuai digunakan sebagai bahan bantu mengajar dan juga sebagai pembelajaran alternatif bagi pelajar. Ia

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan ibu tentang Posyandu sebagian besar dikategorikan baik sebanyak 19 orang (63,33%), keaktifan ibu mengikuti Posyandu sebagian

This study was aimed to investigate the effects of application of organic fertilizers in the form of green manure Arachis pintoi and farmyard manures (chicken dung, cow dung and