• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN DAERAH VIS A VIS UNDANG UNDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERATURAN DAERAH VIS A VIS UNDANG UNDANG"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818

23 PERATURAN DAERAH VIS A VIS UNDANG-UNDANG

(Fenomana Marginalisasi Perempuan dalam Perda Syari’at)

Andrie Irawan

Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta andrie.ir@gmail.com

Keywords: local regulation, regional autonomy, discriminate against women

A. Pendahuluan

Gagasan awal otonomi daerah adalah membangun demokrasi dengan ciri utama partisipasi seluruh masyarakat, termasuk di dalamnya perempuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat yang selama ini terabaikan. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk kebijakan yang memberikan kewenangan kepada daerah dalam batas-batas tertentu agar leluasa mengatur

wilayahnya menjadi lebih mandiri dan lebih berkembang sehingga masyarakatnya menjadi lebih sejahtera.

Otonomi daerah membawa perubahan yang bisa memunculkan aspirasi dan partisipasi masyarakat setempat dalam pembangunan. Tetapi, di sisi lain dalam perkembangannya, otonomi daerah juga melahirkan persoalan ketika lahir

Abstract

Regional autonomy brought about changes that could lead to aspiration and local community participation in development. But, on the other hand in its development, the issue of regional autonomy also gave birth when born regional regulations are not in line with the national legal system and discriminate against women.

Indications of local regulations that discriminate against women has been found to the National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan), which amounted to 29 policy areas. However, after ten years of implementation of regional autonomy that occurs instead of welfare, instead make people, especially women marginalized and far from prosperous size.

Since regional autonomy in effect until the end of July 2006 recorded 56 products regulation policy in various forms: local regulations, qanun, circulars, and the decision of the head region. Products such regional policies explicitly oriented to the moral teachings of Islam so that appropriate legislation is called the Islamic Sharia.

(2)

Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818

24

peraturan daerah yang tidak sejalan dengan sistem hukum nasional dan mendiskriminasi perempuan.

Indikasi peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan sudah ditemukan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yaitu berjumlah 29 kebijakan daerah. Di luar ke-29 kebijakan daerah

itu, Maria Farida Indrati, pengajar mata kuliah hukum administrasi negara, ilmu perUndang-Undangan, teori perUndang-Undangan dan teknik penyusunan

peraturan perUndang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

menemukan pula enam peraturan daerah yang bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya perempuan.1

Namun, kenyataan setelah beberapa tahun pelaksanaan otonomi daerah yang bertujuan untuk mensejahterakan, tetapi membuat masyarakat, khususnya kaum perempuan terpinggirkan dan jauh dari ukuran sejahtera.

Sejak otonomi daerah digulirkan sampai akhir Juli 2006 tercatat 56 produk kebijakan perda dalam berbagai bentuk: peraturan daerah, qanun, surat edaran, dan keputusan kepala daerah. Produk kebijakan daerah tersebut secara tegas berorientasi pada ajaran moral Islam sehingga pantas dinamakan Perda Syariat Islam.2

Sebagian perda tersebut secara struktural dan spesifik mengatur kaum perempuan. Sayangnya, pengaturan terhadap perempuan bukan dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan, melainkan lebih dimaksudkan sebagai pengucilan dan pembatasan. Perda-perda tersebut meneguhkan subordinasi

perempuan; membatasi hak kebebasan perempuan dalam berbusana; membatasi ruang gerak dan mobilitas perempuan; serta membatasi waktu beraktivitas perempuan pada malam hari. Secara eksplisit perda-perda itu mengekang hak dan

kebebasan asasi manusia perempuan; menempatkan perempuan hanya sebagai obyek hukum dan bahkan lebih rendah lagi sebagai objek seksual. Perda-perda

yang mengandung pembatasan terhadap kedaulatan perempuan dan juga berpotensi melahirkan perilaku kekerasan terhadap perempuan.3

1

Ninuk Mardiana Pambudy, Membangun Otonomi Daerah bagi Semua, http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=6861&coid=4&caid=33&gid=3, diakses pada 6 Juni 2015 pada 20.42 WIB

2

Pengertian Syariat (Etimologis) Jalan yang harus ditempuh oleh setiap muslim, Pengertian Syariat (Tekhnis) Seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (mahdoh) dan hubungan manusia dengan manusia (ghairu mahdoh). Meskipun tidak ada Perda yang secara tegas menyebut dirinya sebagai Perda Syariat, namun isinya secara eksplisit bernuansa syariat Islam. Istilah Perda Syariat digunakan secara luas terhadap sejumlah Peraturan Daerah yang isinya mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan ketentuan ajaran tertentu, yakni ajaran Islam.

3Beberapa contoh perda syari’ah di kabupaten/kota di Indonesia:

1. Perda Sinjai yang dibuat berdasarkan kesepakatan DPRD, masyarakat, dan Pemerintah

Daerah Sinjai mewajibkan jilbab bagi karyawan pemerintah;

2. Perda Gowa, Sulsel yang dibuat berdasarkan adat dan kesepakatan masyarakat tentang

wajibnya jilbab bagi karyawan pemerintah.

3. Peraturan serupa ditemukan juga di daerah Cianjur, Indramayu, Pasaman Barat. Di daerah

(3)

Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818

25

Moeslim Abdurrhaman suatu kali pernah menyatakan bahwa korban pertama sebagai akibat penerapan formal syariat Islam adalah perempuan. Pendapat ini benar adanya jika kita kita mempertimbangkan fakta bahwa beberapa perda-perda berbasis syari’ah yang diluncurkan oleh sebagian kabupaten/kota di

Indonesia secara nyata telah menghambat hak perempuan untuk bergerak dan kesempatan untuk mengakses sesuatu. Hambatan-hambatan terhadap hak

perempuan dalam perda-perda tersebut antara lain mencakup perjalanan dalam

wakt malam, kunjungan kesuatu tempat, penggunaan busana yang spesifik dan akses kepada posisi jabatan tertentu.4

Selain itu, produk kebijakan tersebut jelas mengingkari nilai-nilai hak

asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan Undang

-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.

Negara mempunyai sejumlah perangkat hukum yang melindungi hak hukum setiap warga negara tanpa kecuali, mulai dari Undang-Undang Dasar

1945, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diperbarui dalam Undang

-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas -Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Tetapi, dalam pelaksanaan otonomi daerah muncul sejumlah kebijakan daerah yang mengurangi dan melanggar hak asasi perempuan dan bahkan mengancam integritas sistem hukum nasional. Sehingga pertanyaan mendasar apakah hanya satu asas saja yang dilanggar dalam pembentukan peraturan-peraturan daerah ini (lex superior derogat legi inferior) atau ada aspek-aspek lain yang dilanggar terutama dalam hal

perlindungan hak-hak asasi perempuan di dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

4. Perda serupa ditemukan pula dalam bentuk surat edaran Bupati Tasikmalaya, No.

451/SE/04/Sos/2001; Perda Solok, Sumbar Tahun 2000;

5. Perda Kabupaten Gowa No 7 Tahun 2003 tentang larangan perempuan berjalan sendirian

atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya, khususnya pada selang waktu pukul 24:00;

6. Perda Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan, mencurigai, menangkap

perempuan di tempat umum karena diduga melacur.

7. Qanun Propinsi Aceh nomor 14 tahun 2003 tentang Larangan Berkhalwat;

8. Perda Kota Bandar lampung, nomor 15 tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi

dan Tuna Susila;

9. Perda Kabupaten Lahat, nomor 3 tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan

Tuna Susial;

10.Perda Kota Mataram tentang Pencegahan Maksiat, nomor 12 tahun 2003;

11.Perda Kotamadya Kupang, nomor 39 tahun 1999 tentang Penertiban Tempat Pelacuran. 4

(4)

Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818

26 B. Analisis Teori Perundang-Undangan bagi Perda-Perda Syari’at

Undang-undang adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintahan, yang

menjamin tuntutan negara berdasar atas hukum, yang menghendakai dapat diperkirakannya akibat suatu aturan hukum, dan adanya kepastian dalam hukum.5

Pengertian lain menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 perubahan Pertama, mengartikan dalam pengertian teknis ketatanegaraan adalah produk hukum yang dibentuk bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden. Pada hakikatnya peraturan perundang

-undangan (undang-undang, peraturan daerah dan peraturan dibawahnya lagi)

adalah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum

dalam arti yang luas. Bersifat dan berlaku secara umum, maksudnya tidak mengidentifikasikan individu tertentu, sehingga berlaku bagi setiap subjek hukum yang memenuhi unsur yang terkandung dalam ketentuan mengenai pola tingkah laku tersebut.6

Dari uraian pengertian awal saja sebenarnya sangat terlihat bahwa unsur “tidak mengidentifikasikan individu tertentu, sehingga berlaku bagi setiap subjek hukum” dalam peraturan daaerah (perda) bernuansa syari’at tidak memenuhi, karena keberadaan tersebut sangat merugikan kaum marginal, salah satunya kaum perempuan yang seolah-olah melakukan kesalahan sehingga suatu peraturan

daerah keluar untuk memberikan batasan-batasan tertentu7 atau streotipe8 dalam

pasal-pasal di perda tersebut.

Pertentangan lain dari analisis ini juga dapat dilihat dari hirearki peraturan perundang-undangan dimana perda-perda syari’at tersebut bertentangan dengan

beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan

Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik. Pertentangan yang ada

dikarenakan hirearki perda tersebut melanggar ketentuan-ketentuan yang

melarang untuk mendiskriminasikan kaum tertentu, dimana maksud hirearki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan

pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.9

5

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Peruindang-Undangan yang baik (Gagasan Pembentuakan Undang-Undang yang Berkelanjutan, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal. 25 6Ibid

.

7 Misal: Perda Sinjai yang dibuat berdasarkan kesepakatan DPRD, masyarakat, dan Pemerintah

Daerah Sinjai mewajibkan jilbab bagi karyawan pemerintah dan Perda Gowa, Sulsel yang dibuat berdasarkan adat dan kesepakatan masyarakat tentang wajibnya jilbab bagi karyawan pemerintah.

8

Pelabelan negatif dan sangat bias gender dengan menyatakan pelacur adalah perempuan, misal di Perda Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan, mencurigai, menangkap perempuan di tempat umum karena diduga melacur

9

(5)

Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818

27 C. Otonomi daerah dan Formalisasi Syariat Islam

Menurut analisis Taylor, demokrasi masih dipandang sebagai suatu sistem pemerintahan terbaik karena sistem tersebut paling mampu merefleksikan sifat-sifat good

governance. Berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Taylor, konsep otonomi daerah pada hakikatnya merupakan bagian dari proses demokratisasi yang mengutamakan tranparansi dan partisipasi aktif dari seluruh warga masyarakat. Tentu saja yang dimaksud dengan masyarakat di sini selalu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Otonomi daerah

yang terwujud melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah konsekuensi logis

dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi yang kemudian diperbarui kembali untuk terakhir kali dalam konsep kewenangan pemerintah daerah dengan mengacu kepada asas otonomi yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia10. Selain itu juga harus dipahami bahwa otonomi daerah sebagai sebuah proses membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.

Otonomi daerah yang dilakukan pemerintah daerah saat ini juga mengacu kepada asas otonomi sebagai dasar prinsip pelayanan pemerintah daerah kepada warganya. Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan, dimana dalam perumusan setiap kebijakan publik harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu,

siapa yang diuntungkan, apa resiko yang harus ditanggung,

dan siapa yang harus bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi daerah berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan lokal di daerah, membangun sistem dan pola karier politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.

Laode Ida, pakar politik, menjelaskan bahwa otonomi daerah akan berhasil manakala terpenuhi minimal dua syarat. Pertama, implementasi otonomi daerah sungguh-sungguh diikuti dengan pembenahan birokrasi pemerintah sehingga

mendekatkan pelayanan pemerintah terhadap rakyat. Kedua, apabila otonomi daerah dapat mewujudkan desentralisasi pengelolaan keuangan yang diorientasikan sepenuhnya kepada kebutuhan masyarakat di daerah.11 Akan tetapi, yang terwujud bukanlah otonomi masyarakat daerah secara keseluruhan, melainkan otonomi dari aspek pemerintah daerah saja. Artinya, pemerintah daerah berusaha semaksimal mungkin mengambil alih semua kewenangan pemerintah pusat dengan membuat berbagai kebijakan yang pada dasarnya sama dengan watak kebijakan pemerintah pusat yang sentralistik, otoriter, dan tidak melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Akibatnya, seperti yang tampak sekarang dua elemen penting dalam proses otonomi daerah, yaitu transparansi dan partisipasi warga tidak muncul sama sekali. Hasil yang terwujud kemudian adalah pemerintah daerah yang otoriter, tidak transparan dan tidak demokratis.12

10

Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 11

Siti Musdah Mulia, Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan, https://jarikjogja.wordpress.com/2008/01/18/perda-syariat-perempuan/ diakses 7 Juni 2015 jam 11.44 WIB

(6)

Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818

28 Oleh karena itu, menjadi sangat problematik jika membakukan syariat Islam ke dalam hukum positif. Kekhawatiran masyarakat, tak terkecuali kalangan Muslim sendiri terhadap upaya-upaya pemberlakuan syariat Islam bukan tanpa alasan. Sebab, data-data historis sejarah Islam menunjukkan bahwa isu syariat Islam seringkali hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh sebagian elite demi mengejar ambisi pribadi atau golongan. Agama hanya dijadikan sebagai

“alat” bagi kelompok tertentu untuk melanggengkan kekuasaannya dengan dikamuflase dalam hal “kesucian” dari kebijakan yang dibuat agar terkesan

berlandaskan dari nilai-nilai agama.

Tentu saja kondisi seperti ini bertentangan dengan idealitas agama karena tidak sesuai dengan nilai dasar yang diperjuangkan agama itu sendiri, yakni mewujudkan masyarakat yang bermoral dan berkemanusiaan dalam arti seluas-luasnya. Sehingaa perlu diwaspadai jika da gerakan-gerakan sebagiaman dijelaskan sebelumnya.

D. Hubungan Peraturan Daerah dengan Peraturan yang Lebih Tinggi

Menurut Denny Indrayana, beberapa peraturan daerah (perda) berbasis

syari’ah itu sengaja dibuat sedemikian rupa agar bisa lolos dan disahkan oleh

DPRD dan terhindar dari kemungkinan pembatalan oleh Departemen Dalam Negeri melalui proses eksekutif review (peninjauan ulang). Pendekatan yang paling kerap digunakan adalah dengan cara merujuk kepada Undang-Undang Pemerintah Daerah (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) yang memberi kewenangan mengatur pengelolaan daerah secara otonom dan beberapa sector tertentu.13

Dengan demikian, walaupun urusan keagamaan sama sekali bukan kewenangan daerah, perda-perda berbasis syariah dianggap abash karena merupakan peratura lokal yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah sosial dan memelihara ketertiban public disuatu wilayah pemerintahan daerah. Perda tersebut berusaha agar secara penampilan tidak terlihat mencantumkan sedikitpun persoalan pelaksanaan syariat bagi umat islam, melainkan masalah social kemasyarakatan, dengan cara seperti itu perda-perda berbasis syari’ah dapat terhindar dari benturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi misalnya Undang-Undang Pemerintah Daerah.

Sungguhpun perda-perda tersebut telihat bersesuaian dengan peraturan perUndang-Undangan yang lebih tinggi diatasnya, fakta dilapangan menunjukkan bahwa perda tersebut secara material bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang secara tegas telah ditetapkan oleh konstitusi Republik Indonesia, seperti kebebasan beragama.14

Peraturan daerah mestinya tidak bertentangan dengan kepentingan umum, tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tidak bertentangan dengan perda dan seseuai dengan aspirasi masyarakat daerah setempat tetapi dalam kerangka negara kesatuan. Dalam perda mesti mentaati beberapa asas yaitu:

13

Arskal Salim, op.cit, hal. 15. 14Ibid

(7)

Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818

29 bias dilaksanakan, materinya tepat, jenis dan fungsi peraturannya juga tepat, asas yang lain adalah kekeluargaan dan kebhinnekaan. 15

Apabila dilihat perda-perda diskriminatif tersebut menyalahi semangat keadilan dan kemanusiaan sebagaimana dinyatakan dalam pancasila, menyalahi prinsip persamaan warga negara didepan hukum seperti yang terpateri dan Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen IV. Peraturan daerah tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Pasal 3 ayat (1) yang mewajibkan seluruh perundangan harus mengacu kepada ketentuan dasar konstitusi negara Republik Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sementara itu pada pasal 6 ayat (1) juga mensyaratkan agar materi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hokum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.. Keteuan tersbut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terutama berkenaan dengan Peraturan Daerah dimana dinyatakan, perda dalam asas pembentukan dan materi muatanya tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.16

E. Bias gender dalam Perda berbasis Syariat

Peneguhan subordinasi perempuan selalu terjadi dalam bidang hukum. Perempuan dan hukum memang selalu tidak bersahabat seperti terlihat dalam sejumlah Perda Syariat. Dalil-dalil agama masih sering dijadkan dalih untuk menolak kesetaraan gender.Dalil-dalil agama pula dijadikan alas an untuk mempertahankan status quo perempuan. Bahkan dalil-dalil agama pula dijadikan referensi untuk melanggengkan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Seolah-olah kaum laki-laki ditakdirkan untuk berkiprah diruang public dan kaum perempuan diruang domestic. Pemahaman agama yang mengendap dibawah alam sadar perempuan yang berlangsung sedemikian lama ini, melahirkan kesan seolah-olah perempuan memang tidak pantas sejajar dengan laki-laki.17

Disinilah pentingnya teori Max Weber yang menganggap persoalan teologi sebagai factor utama yang harus diperhatikan, karena menurutnya tidak mungkin mengubah perilaku masyarakat tanpa mengubah sistem etikanya dan tidak mudah mengubah etika tanpa meninjau sistem teologinya.18

Ketimpangan gender jelas merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif dengan menganalisis berbagai faktor yang turut serta melanggengkannya, termasuk di dalamnya faktor hukum yang kerapkali

15

Wawancara Maria Farida Indriawati dengan Jurnal Perempuan Edisi 60, Hal, 112. 16

Lihat lebih lanjut Pasal 236 dan 237 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

17

Nasaruddin Umar, Paradigma Baru Teologi Perempuan, PT, Fikahati Aneska, Jakarta, 2000, Hal 9

(8)

Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818

30 mendapatkan pembenaran agama. Analisis terhadap kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus, yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law) dan struktur hukumnya (structure of law). Pada aspek struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan polisi, jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya hukumnya juga masih sangat dipengaruhi nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi agama. Tidak heran jika selanjutnya agama dituduh sebagai salah satu unsur yang melanggengkan budaya patriarki dan mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum. Hal itu kemudian diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana terlihat dalam berbagai peraturan daerah yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Materi hukum dalam sejumlah peraturan daerah sarat dengan muatan nilai-nilai patriarki yang bias gender. Di antara peraturan-peraturan daerah yang meminggirkan perempuan dan tidak menghargai keberagaman budaya dan kebebasan beragama masyarakat.

Beberapa kasus yang mengandung bias gender, Surat Edaran Bupati Pamekasan, Jawa Timur Nomor 450 Tahun 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Surat Edaran Bupati Maros, Sulsel tertanggal 21 Oktober 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Sinjai yang dibuat berdasarkan kesepakatan DPRD, masyarakat, dan Pemerintah Daerah Sinjai mewajibkan jilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Gowa, Sulsel yang dibuat berdasarkan adat dan kesepakatan masyarakat tentang wajibnya jilbab bagi karyawan pemerintah. Peraturan serupa ditemukan juga di daerah Cianjur, Indramayu, Pasaman Barat. Di daerah yang disebutkan terakhir mewajibkan para pelajar perempuan mengenakan baju kurung dan jilbab. Perda serupa ditemukan pula dalam bentuk surat edaran Bupati Tasikmalaya, No. 451/SE/04/Sos/2001; Perda Solok, Sumbar Tahun 2000; Instruksi Walikota Padang, Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret berisi perintah wajib jilbab dan busana islami bagi orang Islam dan anjuran memakainya untuk non-Islam.

Persoalan penindasan perempuan bukan datang dari laki-laki ansich, melainkan persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan salahsatunya adalah ketidakadilan gender. Padahal berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia menyatakan bahwa setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan berkedudukan yang sama di hadapan hukum.

Namun pada kenyataanya masih ada kesenjangan dalam pengaturan dan pelaksanaan hukum di Indonesia baik yang masih bias gender dan berdasarkan pembagian kelas sosial yang feodal berdasarkan kaya-miskin atau bangsawan-rakyat jelata masih terus terjadi. Hal tersebut terjadi karena masih ada kelompok masyarakat yang masih menganut konsep patriakhi maka ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dalam hukum terus terjadi yang mengakibatkan hukum bagi perempuan sangat diskriminatif dan berada pada posisi yang tidak adil.19

19

Andrie Irawan, Hukum dalam Pandangan Feminisme Guna Mewujudkan Pembangunan Berkesetaraan Gender, Jurnal Lensa Hukum Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto

(9)

Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818

31 Untuk mengakhiri sistem yang tidak adil tersebut adalah: 20

1. Melawan hegemoni yang merendahkan kaum perempuan, dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi. Melakukan dekonstruksi artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib kaum perempuan dimana saja, pada tingkat dan dalam bentuk apa saja.

2. Melawan paradigma developmentalism yang berasumsi bahwa keterbelakangan kaum perempuan disebabkan karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembangunan

3. Melakukan pendidikan kritis atau kegiatan apasaja yang akan membantu perempuan memahami pengalamannya dan menolak ideology dan norma yang dipaksakan

4. Berperan aktif dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan partisipasi perempuan dalam politik.

Kembali ke persoalan pertentangan peraturan perundang-undangan dalam kerangka otonomi daerah yang mengatasnamakan perda syar’at, setidaknya ada tiga masalah mendasar dihadapi kaum perempuan dalam bentuk yang mendeskreditkan perempuan:.

Pertama, masih rendahnya pengetahuan keagamaan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan. Kedua, masih banyaknya penafsiran dan pemahaman keagamaan yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki yang dianut masyarakat sebagai akibat dari pemahaman teks-teks suci yang sangat harafiyah dan mengabaikan aspek konteks-tekstualnya, serta pengamalan agama yang menekankan pada tataran formalitas belaka, bukan pada substansinya. Ketiga, masih rendahnya tingkat partisipasi kaum perempuan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.

F. Penutup

1. Perda-perda diskriminatif tersebut menyalahi semangat keadilan dan

kemanusiaan sebagaimana dinyatakan dalam pancasila, selain itu juga menyalahi prinsip persamaan warga negara di depan hukum seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun

1945 hasil amandemen IV.

2. Peraturan Daerah yang bernuansa syari’at tersebut dalam teori perundang

-undangan juga bertentangan dengan peraturan dalam Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta

melanggar asas peraturan perundang-undangan yang baik. Selain itu,

persoalan penindasan perempuan bukan datang dari laki-laki an sich,

melainkan persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan salah satunya adalah ketidakadilan gender.

20

(10)

Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818

32 Daftar Pustaka

Buku:

Nasaruddin Umar, 2000, Paradigma Baru Teologi Perempuan, PT, Fikahati Aneska, Jakarta.

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Peruindang-Undangan yang baik (Gagasan Pembentukan Undang-Undang yang Berkelanjutan), Rajawali Press, Jakarta,

Jurnal:

Andrie Irawan, Hukum dalam Pandangan Feminisme Guna Mewujudkan Pembangunan Berkesetaraan Gender, Jurnal Lensa Hukum Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta Edisi VI, 2012

Arskal Salim, Perda berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional Penegakan HAM, Jurnal Perempuan Edisi 60

Jurnal Melati, Media Pemberdayaan untuk Kesetaraan, KOHATI PB HMI, Agustus 2004.

Data Elektronik

Ninuk Mardiana Pambudy, Membangun Otonomi Daerah bagi Semua, http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=6861&coid=4&caid=33 &gid=3,

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun batubara Indonesia pada umumnya merupakan batubara peringkat rendah dan berupa jenis non coking yang ditandai dengan nilai kalor rendah dan kadar air tinggi namun

Parfum Laundry Balikpapan Kota Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI PANGSA PASAR PRODUK NYA:.. Chemical Untuk

Park and Ride diharapkan dapat menyediakan tempat yang cukup luas dan baik untuk menampung kendaraan pribadi, mengurangi kendaraan yang masuk ke Kota karena

(2) Nama wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan nama wilayah administrasi pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, Kecamatan, Desa dan Kelurahan

Penelitian lain tentang pemberian klonidin melalui intratekal sebagai adjuvan analgetika pada persalinan dengan teknik anestesia spinal didapatkan bahwa penambahan klonidin 30 µg

bahwa memperhatikan ketentuan Pasal 40 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Pasal 239 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

6 Lihat Pasal 1 angka (2), Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan

B Menukar pasu lama yang kurang menarik C Menukar pasu yang kecil dengan yang besar. D Menukar medium dan pasu lama yang