ABSTRAK
PERANAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM PENANGANAN KONFLIK WARGA BALINURAGA
DENGAN WARGA AGOM
( Studi Kasus Anggota DPRD asal Daerah Pemilihan Kecamatan Way Panji dan Kecamatan Kalianda )
Oleh
Boy Fernandes Sinaga
Bentrokan massa kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan antara warga Desa Agom Kalianda dan sekitarnya dengan warga Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji Lampung Selatan pada Oktober 2012. Pemerintah telah mendesak agar PP turunan UU No 7 tahun 2012 dan melibatkan DPRD untuk mengoptimalkan penanganan konflik sosial, sehingga lembaga penanganan konflik seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lampung Selatan pada daerah pemilihan wilayah konflik kecamatan Kalianda dan kecamatan Way Panji perlu melakukan peranan yang signifikan dalam penanganan konflik komunal.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui untuk mengetahui dan mendapatkan suatu penjelasan mengenai peranan anggota DPRD Lampung Selatan pada dapil wilayah konflik kecamatan Kalianda dan kecamatan Way Panji dalam penanganan konflik Balinuraga-Agom.
Kabupaten Lampung Selatan. Informan penelitian ini adalah anggota DPRD Lampung Selatan pada dapil wilayah konflik dan didukung oleh tokoh masyarakat Desa Balinuraga dan masyarakat Desa Agom,
Jenis penelitian ini adalah studi kasus yang dilaksanakan melalui studi dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara riil mengenai situasi tertentu atau keterkaitan hubungan antara berbagai fenomena secara aktual dan teratur.
Fokus Penelitian meliputi tiga tahapan yaitu pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan dokumentasi. Teknik Analisis Data dengan reduksi data dan penyajian data dan Penarikan Kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peranan anggota DPRD Lampung Selatan pada dapil wilayah konflik dalam penanganan konflik Balinuraga-Agom jika dilihat dari hasil wawancara dengan kedua anggota dewan yakni kedua anggota dewan tersebut melaksanakan peranan dalam penanganan konfik yakni dengan menjalankan fungsi sebagai anggota dewan.
Selanjutnya jika dilihat dari tingkat kesetujuannya, hal tersebut dibenarkan oleh masing-masing kepala desa pada desa agom dan desa balinuraga yang mengatakan bahwa anggota dewan memiliki peranan dalam penanganan konfik.
ABSTRACT
ROLE OF MEMBERS LEGISLATIVE COUNCIL OF
SOUTH LAMPUNG REGENCYCONFLICT IN THE REGION DAPIL HANDLING CONFLICT BALINURAGA-AGOM
(Case Study in South Lampung regency Subdistrict Way Panji-Kalianda)
by
Boy Fernandes Sinaga
The purpose of this study was to determine to find out and get an in-depth explanation of the role of members of Parliament South Lampung constituencies in the conflict areas of conflict handling Balinuraga - Agom .
This research was conducted in two districts namely Balinuraga Village Way Panji District of South Lampung District and Rural District of Kalianda Agom South Lampung regency . Informants of this study are members of South Lampung Parliament constituencies conflict areas and supported by community leaders and villagers village Balinuraga Agom , data was collected through interviews and documentation . Data processing is done qualitatively .
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kaliwungu kecamatan Kalirejo kabupaten Lampung Tengah pada tanggal 28 Oktober 1990 hari minggu pukul 04.30 WIB. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara Rina Wati Sinaga dan Jimmy Benardo Sinaga, putra pasangan Bpk Justan Sinaga dan Ibu Hamidah Sijabat.
Jenjang pendidikan penulis diawali pada tahun 1995, dimana penulis “bermain sambil belajar” di TK Fransiskus di Kalirejo. Kemudian dilanjutkan dengan Sekolah Dasar di SD Fransiskus di Kalirejo yang diselesaikan pada tahun 2001. Penulis kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP Negri 1 di Kalirejo dan pindah ke smp Pancakrida. Selanjutnya, penulis mengenyam pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di Negri 1 di Kalirejo dan diselesaikan pada tahun 2009 dengan hasil ujian yang memuaskan.
Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. (Yeremia 29:11)
Cogito ergo sum "aku berpikir maka aku ada". (Descartes)
“….Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan….”
(Bung Karno)
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan tulisan ini kepada
BAPAK DAN MAMA
Sang pejuang hidup yang sedang dan akan selalu mencurahkan segalanya kepada “tiga anak panah” demi kebahagiaan mereka, walaupun keringat dan air mata tertumpah ke bumi. Terima kasih atas segala usaha yang diberikan, kesabaran dan
doa yang selalu menyertai “langkah kaki” anak-anakmu. Maafkan bila anak-anakmu belum sanggup sepenuhnya membahagiakan kalian, kami senantiasa berjuang untuk mewujudkan kebahagiaan untuk kelak kalian nikmati di masa tua.
Terimakasih banyak pah…mah… yang selalu mendidik kami dengan kasih sayang dan kesederhanaan.
KAKAK DAN ADIKKU
Tidak ada yang paling penting di hidup ini kecuali melihat kita senantiasa akrab, penuh kasih dan kompak. Thanks kak Rina dan adek Jimmy yang selalu
memberikan warna di hari-hariku !!
…serta…
KATA PENGANTAR
segala pujian dan syukur penulis ucapkan hanya kepada Allah Bapa yang ada di sorga, dan Yesus Kristus Sang Juru Selamat, Maha Menguasai Ilmu Pengetahuan dan Maha Adil Bijaksana yang telah memberikan nikmat, berkat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tumpukan kertas yang berisi tulisan penuh arti ini.
Penulisan skripsi yang berjudul “Peranan anggota DPRD Lampung Selatan pada dapil wilayah konflik dalam penanganan konflik Balinuraga-Agom (Studi Pada Kabupaten Lampung Selatan)” ini merupakan salah satu syarat dalam rangka mencapai gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Lampung. Segala kemampuan telah pernulis curahkan untuk menyelesaikan skripsi ini, namun tidak menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan, baik yang menyangkut isi maupun tulisannya. Untuk itu segala kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
3. Bapak Drs. R. Sigit Krisbintoro,M.I.P selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan, masukan dan motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Bapak Budi Harjo, S.Sos, M.I.P selaku Dosen Pembimbing Pembantu yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan, masukan dan motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Syafarudin, S.Sos,MA selaku Dosen Pembahas penulis yang telah bersedia untuk membimbing dan memberikan arahan, masukan, semangat akan kehidupan serta saran kepada penulis.
6. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan perkuliahan. 7. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
8. Seluruh jajaran Dosen di FISIP UNILA, seluruh staff Tata Usaha dan pegawai di FISIP dan Jurusan Ilmu Pemerintahan.
10.Saudara Kandungku, kak Rina, Adek Jimmy Terima kasih atas semangat, tawa, tangis, dan pertengkaran kecil yang membuatku bersyukur memiliki saudara kandung seperti kalian. Ingat kita harus bahagiain Bapak dan mamak.
11.Sahabatku Bambang Irawan, S.IP yang sekarang sedang merintis masa depan dan selalu bilang ‘Ayo Boy endang di selesaike kue pasti iso !! (simple tp selalu bikin aku mikir). Donny Parulian yang sekarang sudah jadi orang baik-baik hehe semakin kuat kita di uji maka akan semakin kuat juga kita melambung tinggi semangat lae kuliah nya, semoga kita semua menjadi kebanggan untuk keluarga kita .. Amin ….
12.Pemerintahan 09, saya berharap kita semua jadi orang sukses di kemudian hari, bangga jadi bagian dari kalian).
13.Teruntuk junior yang selamat berjuang,
14.Untuk Mei Hidayati Rumahhorboku, kaulah yang selalu menemani hariku semua yang kita lakukan tidak akan bisa dilupakan, godang ibaeko na so boi tarlupahon haholongan ku
15.Dan terakhir untuk seluruh rekan yang telah berpartisipasi, baik langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Bandar Lampung, Desember 2012 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xix
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kegunaan Penelitian ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Fungsi Tugas Wewenang dan Kedudukan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ... 7
B. Penanganan Konflik Sosial menurut Undang Undang Nomor 7 tahun 2012 ... 12
8. Anatomi Konflik-Konflik Dunia Ketiga ... 29
9. Penyelenggaraan Kemasyarakatan ... 30
E. Konsepsi Peranan Anggota DPRD pada dapil wilayah konflik KabupatenLampung Selatan kecamatan way panji dalam penanganan konflik Balinuraga-Agom ... .32
xviii
F. Teknik Pengumpulan Data ... 41
1. Studi pustaka ... 41
2. Keadaan Penduduk Desa Balinura ... 47
3. Sejarah konflik Desa Balinuraga ... 47
4. Desa Agom ... 48
5. Keadaan Penduduk Desa Agom ... 48
6. Sejarah konflik Desa Balinuraga ... 49
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencegahan konflik ... 51
A.1.1 Peranan anggota DPRD dapil Way Panji dalam pencegahan Konflik Balinuraga Agom ... 53
A.1.2 Peranan anggota DPRD dapil Kalianda dalam pencegahan Konflik Balinuraga-Agom ... 56
B. Peghentian Konflik ... 61
B.1.1 Peranan anggota DPRD dapil Way Panji dalam Penghentian Konflik BalinuragaAgom ... 65
B.1.2. Peranan anggota DPRD dapil Kalianda dalam penghentian Konflik Balinuraga Agom ... 67
C. Pemulihan Pasca Konflik ... 68
C.1.1 Peranan anggota DPRD dapil Way Panji dalam pemulihan pasca konflik Balinuraga-Agom ... 70
D. Perbandingan peranan anggota DPRD pada dapil wilayah konflik Way Panji dengan dapil Kalianda ... 78 VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ... 81 B. Saran ... 83 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bentrokan massa kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan antara Desa
Agom Kalianda dan sekitarnya dengan massa Desa Balinuraga Kecamatan
Way Panji Lampung Selatan pada Oktober 2012. Permasalahan ini pada
awalnya sudah bisa di atasi oleh kedua Kepala desa bersangkutan. Tetapi
kemudian berkembang isu pemuda Balinuraga melakukan pelecehan terhadap
kedua remaja puteri asal Desa Agom saat jatuh dari motor.
Isu beredar menyulut emosi massa yang berakibat bentrokan massal. Akibat
isu ini pertikain tidak dapat dihindari dan ribuan massa dari Desa Agom dan
sekitarnya melakukan penyerangan ke Desa Balinuraga. Cukup banyak warga
kedua Desa menjadi korban dalam peristiwa ini.
(http://www.suarapembaruan.com/home/lampung-selatan-rusuh-3-orang-tewas-6-luka-parah/26254, Senin, 29 Oktober 2012 pukul 11:37).
Sebenarnya bentrok antar warga di Lampung Selatan pada Oktober 2012
adalah bagian tak terpisahkan dari konflik yang terjadi sebelumnya yang
kembali terulang. Konflik tersebut sesungguhnya memiliki akar persoalan
yang lebih dalam dari sekadar perseteruan dua kelompok etnis.
(PIR) hingga tambak udang, sebenarnya masih menyimpan persfoalan yang
belum tuntas sehingga konflik sewaktu-waktu dapat muncul kembali.
Sehubungan dengan Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) XII yang digelar di
Hotel Santika melahirkan sedikitnya 9 rekomendasi. Rekomendasi ini lahir
dari kesadaran perlunya mengusahakan kondisi yang kondusif bagi
pembangunan dan negara, salah satunya yaitu adalah meminta kepada daerah
agar pendanaan penanganan gangguan keamanan dalam negeri diharapkan
tidak menambah beban dan mengurangi kapasitas fiskal daerah dan
pemerintah mendorong agar PP turunan UU No 7 tahun 2012 harus
melibatkan DPRD untuk mengoptimalkan penanganan konflik
sosial.(http://www.fpks-palu.org/2013/02/rakernas-adeksi-hasilkan-9-rekomendasi.html, 4 Maret 2013 13.15)
Pemerintah telah mendesak agar PP turunan UU No 7 tahun 2012 dan
melibatkan DPRD untuk mengoptimalkan penanganan konflik sosial,
sehingga lembaga penanganan konflik seperti Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kabupaten Lampung Selatan perlu melakukan peranan yang
signifikan dalam penanganan konflik baik melalui bentuk regulasi yang
menjadi kewenangannya, maupun melalui kebijakan anggaran melalui sistem
ABPD.
Pernyataan status keadaan konflik sosial yang dikeluarkan oleh pemerintah,
dalam hal ini adalah Presiden apabila konflik sosial dalam lingkup nasional,
oleh Gubernur apabila konflik sosial dalam lingkup provinsi, dan oleh
3
kabupaten/kotamadya. Penetapan status tersebut tidak dapat begitu saja
dikeluarkan oleh pemerintah, namun diperlukan persetujuan dari DPR dalam
lingkup nasional, DPRD provinsi dalam lingkup provinsi dan DPRD
kabupaten/Kotamadya dalam lingkup Kabupaten/Kotamadya. Berdasarkan
kepada RUU PKS pasal 18-20.
Begitu pula dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten
Lampung Selatan memiliki peranan dalam upaya penanganan konflik agar PP
turunan UU No7 tahun 2012 yang harus melibatkan DPRD.
Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan Kecamatan Way Panji bersama
instansi pengamanan terkait juga telah mendorong para tokoh dan warga yang
bertikai terus berunding, guna mencari kesepakatan damai di antara mereka.
Perdamaian telah tercipta melaui pimpinan adat masyarakat Lampung dan
Raja Bali juga telah menggelar pertemuan guna mencegah terulangnya
kerusuhan antara Desa Balinuraga dan Desa Agom, Lampung Selatan.
Pertemuan yang dijaga polisi ini menghasilkan maklumat yang
ditandatangani Raja Bali I Gusti Ngurah Arya dan Ketua Majelis Penyimbang
Adat Lampung (MPAL) Kadarsyah Irsya. Tokoh bali dan Lampung pun ikut
tanda tangan. Rapat juga dihadiri oleh mediator perdamaian Lampung
Selatan, Kepala Desa Agom Muchsin Syukur, Kades Balinuraga Ketut
Wardana, dan Kades Sidoreno Basuri.
Lembaga semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lampung Selatan
sebagai media yang mampu berperan dalam menjembatani
perbedaan-perbedaaan. Terutama dari perbedaan budaya, sintesa seni sangat bagus untuk
menghindari konflik. Apabila perbedaan-perbedaan itu tidak mampu
dicairkan dan didialektikakan sejak awal, maka konflik pasti akan tersimpan
lama, tersembunyi dari kegiatan sehari-hari dan akan muncul menjadi
kekerasan apabila kondisinya telah memuncak.
Kekerasan seperti ini mungkin akan diam di bawah permukaan rutunitas
sehari-hari, tetapi konflik yang merupakan akar dari kekerasan itu tetap
tersimpan ibarat magma gunung berapi. Hanya dengan sedikit pemicu saja
telah mampu untuk meletuskan konflik itu menjadi kekerasan terbuka.
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla juga pernah mengatakan peranan
DPRD dalam penanganan konflik harus dimaksimalkan dengan
meningkatkan fungsi-fungsi lembaga perwakilan rakyat tersebut, saat
berbicara di hadapan anggota Asosiasi DPRD Kota se-Indonesia (Adeksi) di
Kota Palu.
(http//m.antarnews.com/berita/358208/jk-minta-peran-dprd-dimaksimalkan-atasi-konflik, minggu 5 Mei 2013).
DPRD Lampung Selatan tentu menyadari bahwa konflik adalah salah satu
tantangan yang harus diatasi secara menyeluruh, termasuk diantara konflik
horizontal, Konflik Sosial, yang selanjutnya adalah perseteruan atau benturan
fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang
berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan
5
nasional dan menghambat pembangunan nasional misalnya adalah konflik
Balinuraga yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan Kecamatan Way
Panji.
Ketika semua elemen sibuk mengatasi konflik di Balinuraga, peranan DPRD
bersama-sama pemerintah sangat dibutuhkan dalam mencari solusi
penyelesaian yang bisa diterima kedua belah pihak yang sedang bertikai,
melakukan berbagai inisiatif untuk meredam terjadinya konflik.
Sinergitas perlu dibangun dalam hal pendistribusian informasi-informasi
melalui potensi media yang sesuai dengan sifat-sifat demografis
publik/masyarakat. berperan dalam mendorong para pihak itu segera berhenti
melakukan kekerasan, berhenti saling bertikai, mengajak untuk bersama
bergandengan tangan membangun Lampung "Sang Bumi Ruwa Jurai"
menjadi lebih beradab, bermartabat, dan semakin maju.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas dan berdasarkan terjadinya
konflik antar suku di Desa Balinuraga, maka secara umum masalah yang akan
diteliti dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah Peranan anggota DPRD Lampung Selatan pada dapil
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan mendapatkan suatu penjelasan yang mendalam mengenai peranan dan
perbandingan peranan anggota DPRD Lampung Selatan pada daerah pemilihan
wilayah konflik dalam penanganan konflik Balinuraga-Agom.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
ilmu pngentahuan khususnya ilmu pengetahuan sosial.
2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Fungsi Tugas Wewenang dan Kedudukan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Menurut pasal 40 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, anggota
DPRD merupakan perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai lembaga politik, anggota DPRD tidak hanya mampu menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat
melainkan juga hendaknya dapat membantu memfasilitasi penanganan berbagai konflik yang terjadi agar tidak meluas kearah yang tidak diinginkan.
Untuk itu lembaga legislatif dan eksekutif harus memiliki kapasitas dan kemampuan manajemen memadai, untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan perdamaian sesuai dengan Undang Undang yang
belaku.
Secara normatif, pada dasarnya kinerja pokok anggota DPRD disusun dan
dinilai berdasarkan fungsi dan tugas konstitusionalnya mencakup fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 dan
1. Fungsi legislasi, yakni menyusun peraturan-peraturan daerah baik dengan
inisiatif mandiri ataupun bersama Pemda. 2. Fungsi Anggaran, membahas dan memberikan persetujuan atau tidak
memberikan perseyujuan terhadap RAPBD, dalam bentuk refleksi rencana program pemerintah daerah dalam bentuk angka.
3. Fungsi pengawasan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
Undang-undang, Perda dan Keputusan Kepala Daerah untuk memastikan berjalannya peraturan yang ada dalam kerangka optimalnya kinerja
pemerintah daerah.Diharapkanya dalam penyelenggaraan pemerintah, Pemda dan anggota DPRD dapat mewujudkan keseimbangan antara lembaga legislatif dan eksekutif guna roda pemerintahan daerah agar
berjalan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dalam era reformasi. dapat memberikan kebijakan yang jelas terhadap masyarakat. Eksistensi anggota DPRD di era otonomi daearh berdasarkan UU Nomor 32
Tahun 2004 diharapkan dapat menyeimbangkan kekuatan terhadap Pemerintah Daerah dengan cara menjalankan dan melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan maksimal. Menurut Riswandha, 2001 Sebagai sebuah institusi, para wakil dalam dewan atau lembaga perwakilan memiliki 6 (enam) fungsi dasar, yakni :
1. Fungsi Perwakilan Rakyat, fungsi ini berhubungan dengan posisi para aktivis partai (yang mewakili rakyat) sebagai agregator dan artikulator
9
2. Fungsi Legislasi, fungsi ini berhubungan dengan upaya menterjemahkan
aspirasi masyarakat menjadi keputusan-keputusan politik yang nantinya dilaksanakan oleh pihak Eksekutif (pemerintah). Disini kwalitas anggota
DPRD diuji. Mereka harus mamapu merancang dan menentukan arah serta tujuan aktivitas pemerintahan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat.
3. Fungsi Legeslative Review, fungsi ini berhubungan dengan upaya menilai kembali semua produk politik yang secara umum dirasakan mengusik rasa
keadilan ditengah masyarakat seperti dinilai atau dirasakan: a) Membebani masyarakat, seperti penentuan objek pajak b) Memebatasi hak-hak masyarakat, seperti penertiban PKL.
c) Megakibatkan ketimpangan distribusi sumber daya alam, seperti pengalihan lahan pertanian menjadi lapangan golf.
4. Fungsi Pengawasan, fungsi yang berkaitan dengan upaya memastikan
pelaksanaan keputusan politik yang telah diambil tidak menyimpang dari arah dan tujuan yang telah ditetapkan. Idealnya anggota DPRD tidak
sekedar mendeteksi adanya penyimpangan yang bersifat prosedural, juga diharapkan dapat mendeteksi penyimpangan teknis, seperti dalam kasus bangunan fisik yang daya tahannya diluar perhitungan normal.
5. Fungsi Anggaran, fungsi ini berkaitan dengan kemampuan anggota DPRD mendistibusikan sumber daya lokal (termasuk anggaran, dsb) sesuai
dengan skala prioritas yang secara politis telah ditetapkan.
a) Menjadi fasilitator aspirasi dan konflik yang ada pada tataran
masyarakat, sehingga menghindari pengunaan kekerasan pada tingkat masyarakat dan
b) Menjadi mediator kepentingan masyarakat dengan pemerintah.
Adapun tugas dan wewenang anggota DPRD sesuai isi Pasal, Pasal 334 UU
Nomor 27 Tahun 2009 ialah:
a. Membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah
b. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah
mengenai APBD yang diajukan oleh kepala daerah
c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan
APBD
d. Mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri bagi anggota DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur bagi anggota DPRD kabupaten/kota, untuk mendapatkan
pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian
e. Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah
f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah
g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah
h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam
11
i. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain
atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah
j. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, dan
k. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.Karena tugas anggota DPRD adalah untuk
menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat guna mendorong untuk memberdayakan masyarakat,
menumbuhkan rasa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat dan mengembangkan peran dan fungsi anggota DPRD sebagaimana diatur dalam UU nomor 32 tahun 2004.
Anggota DPRD mempunyai hak hak yang dapat digunakan untuk mendorong kesejahteraan masyarakat, berdasar pada Pasal 349 dan 366-368 UU Nomor 27 Tahun 2009 bahwa Pelaksanaan Hak terdiri dari :
a. Interpelasi b. Angket, dan
c. Menyatakan pendapat.
Anggota DPRD mempunyai peran sebagai kader/perwakilan Parpol, sarana
penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik rakyat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan. Anggota DPRD wajib menyerap,
menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Anggota DPRD juga harus menjadi aktor politik untuk melaksanakan fungsi Parpol. Aspirasi atau kepentingan rakyat harus diperjuangkan anggota DPRD bisa
hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak
memperoleh keadilan, hak atas kebebasan peribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak perempuan dan
hak anak. Dalam memperjuangkan hak-hak rakyat.
Kegiatan komunikasi politik anggota DPRD diarahkan untuk mendorong peningkatan partisipasi aktor/pelaku dan kelompok aksi lembaga dalam
rangka memperjuangkan hak-hak dasar rakyat sebagai realisasi dari penegakan prinsip kedaulatan rakyat dan pencapaian iklim aman dan
demokrasi, hal ini merupakan tuntutan mengingat Undang-undang No. 32 tahun 2004 menempatkan DPRD dan kepala daerah sebagai dua unsur pemerintahan daerah yang memiliki hubungan kemitraan yang menuntut
adanya kesejajaran dalam kualitas kerja.
B. Penanganan Konflik Sosial menurut Undang Undang Nomor 7 tahun 2012
Dalam penanganan konflik sosial dapat dijelaskan, sesuai dengan pasal 1 ayat 1 UU Nomor 7 tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik sosial, mengatakan
bahwa bahwa konflik sosial, yang selanjutnya disebut konflik, adalah perseteruan dan atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak
luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial.
Sehingga mengangu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan
13
kehidupan politik, oleh sebab itu. dalam Undang Undang No 7 Tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial, Pemerintah, DPRD dan aparat penegak hukum diwajibkan untuk melakukan upaya-upaya penanganan konflik sosial
mulai dari pencegahan konflik, penghentian konflik dan pemulihan pasca konflik.
Dalam pencegahan konflik, pemerintah dan aparat penegak hukum dapat
membuat sistem peringatan dini, mengingat kasus di Balinuraga ini bukanlah kasus baru.
Situasi ini menjadi rawan konflik, terutama konflik yang bersifat horisontal, yang mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma
psikologis seperti dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.
Penanganan Konflik menurut Undang Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial pada pasal 1 bagian 2 adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik
sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan
konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.
C. Tinjauan tentang konsep peranan
Peranan merupakan proses dinamis kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia
dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan
sebaliknya.(Soekanto, 2009:212-213)
Wirutomo (1981 : 99 – 101) mengemukakan pendapat David Berry bahwa
dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaan, seseorang diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Peranan didefinisikan sebagai seperangkat
harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang menempati kedudukan social tertentu. Peranan ditentukan oleh norma-norma dalam masyarakat,
maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan masyarakat di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam peranan-peranan yang lain.
Konsep peranan ini pada dasarnya berhubungan dan harus dibedakan dengan konsep posisi sosial. Posisi ini merupakan elemen organisasi, letak dalam ruang sosial, kategori keanggotaan organisasi. Sedangkan peranan adalah
aspek fisiologis organisasi yang meliputi fungsi, adaptasi, dan proses.
Peranan juga diartikan sebagai tuntutan yang diberikan secara struktural
(norma-norma, harapan, larangan, tanggung jawab) dimana didalamnya terdapat serangkaian tekanan dan kemudahan yang menghubungkan, membimbing, dan mendukung fungsinya dalam organisasi.
Dalam peranan terdapat dua macam harapan, yaitu: pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari
15
Peranan yang berhubungan dengan pekerjaannya, seseorang diharapkan
menjalankan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Gross, Masson, dan McEachren mendefinisikan peranan
sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.
Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial dan
oleh karena itu detentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat.
(http://id.shvoong.com/humanities/theory-criticism/2165744-definisi-peran-atau-peranan/#ixzz2Z0i98bUV”, Sabtu 13 Juli 2013 pada pukul 10.45 WIB) Dalam pandangan David Berry, peranan-peranan dapat dilihat sebagai bagian
dari struktur masyarakat sehingga struktur masyarakat dapat dilihat sebagai
pola-pola peranan yang saling berhubungan.
Dari analisis pengertian peranan sosial, dapat disimpulkan bahwa:
1. peranan sosial adalah sebagian dari keseluruhan fungsi masyarakat,
2. peranan sosial mengandung sejumlah pola kelakuan yang telah ditentukan,
3. peranan sosial dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu, 4. pelaku peranan sosial mendapat tempat tertentu dalam tangga
masyarakat,
5. peranan sosial terkandung harapan yang khas dari masyarakat, dan 6. dalam peranan sosial ada gaya khas tertentu.
juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari aktor
tersebut” (Banyu dan Yani, 2005: 31).
Dengan demikian peranan dapat diartikan sebagai orientasi dari bagian yang
dimainkan oleh suatu pihak dalam posisi sosialnya. Dengan peranan tersebut, sang pelaku peran baik itu individu maupun organisasi akan berperilaku sesuai dengan harapan orang atau lingkungannya. Dalam hal ini peranan
menjalankan konsep melayani untuk menghubungkan harapan-harapan yang terpola dari orang lain atau lingkungan dengan hubungan dan pola yang
menyusun struktur sosial.
D. Tinjauan teori teori konflik
A. Faktor faktor penyebab konflik
Dalam kehidupan sehari-hari tidak asing lagi dengan istilah konflik. Konflik menjadi suatu bagian tak terpisahkan dalam masyarakat dan konflik menjadi bumbu-bumbu kehidupan menuju perubahan didalam
masyarakat. Tidak ada masyarakat tanpa konflik, hanya saja bagaimana kita bisa me-manage konflik tersebut ke arah yang lebih baik. Konflik
termasuk bentuk suatu permasalahan yang di lakukan oleh anggota masyarakat dan perlu adanya penyelesaian suatu konflik. Hal ini tentu cukup rumit, sebab konflik adalah pertentangan atau pertikaian sebagai
gajala sosial yang sering muncul dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Leopold von Wiese dan Howard Becker. Secara umum ada
17
a. Perbedaan individual b. Perbedaan kebudayaan c. Perbedaan kepentingan d. Perubahan sosial
Sedangkan menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar - belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga
ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalah pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam
saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi untuk terciptanya konflik. Sumber konflik lainnya
yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan dan berbeda dengan individu yang lain.
Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain. Menurut perspektif konsensus, penyebab utama (akar persoalan)
terjadinya konflik sosial adalah adanya disfungsi sosial. Maksudnya, norma-norma sosial tidak ditaati dan pranata sosial serta pengendalian
ketimpangan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat yang
memunculkan diferensiasi kepentingan.
Secara rinci, faktor penyebab konflik menurut Turner, adalah sebagai
berikut :
1. Ketidakmerataan distribusi sumber-sumber daya yang terbatas dalam masyarakat.
2. Ditariknya kembali legitimasi penguasa politik oleh masyarakat kelas bawah.
3. Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara untuk mewujudkan kepentingan.
4. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas bawah.
5. Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi masyarakat bawah dan atau elit.
6. Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal.
Faktor-faktor penyebab konflik sosial tidak pernah bersifat sederhana
19
B. Resolusi konflik
Kheel (1999:8) memberikan definisi resolusi konflik dengan memilah satu persatu antara konflik dan resolusi. Menurutnya konflik adalah
perbedaan antara dua atau lebih individu, kelompok dalam beberapa hal dimana satu pihak menginginkan daripada yang lain. Resolusi didefinisikan sebagai penyelesaian konflik dengan cara sukarela seperti
mediasi, negosisasi dan arbitrasi.
Sedangkan Peter Wallensteen (2002: 8) mengartikan resolusi konflik
sebagai sebuah kondisi setelah konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik melaksanakan perjanjian untuk memecahkan persoalan yang mereka perebutkan, dan menghentikan segala perbuatan kekerasan satu
sama lain. Pada konteks ini resolusi konflik adalah sesuatu yang pasti datang setelah konflik dan secara otomatis kita harus mempunyai
konsep dan alat untuk menganalisa konflik sebelumnya.
Sehingga resolusi Konflik dapat dikatakan sebuah proses untuk mencapai solusi sebuah konflik. Resolusi konflik menekankan
kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik.
Resolusi konflik juga berupaya menciptakan suatu mekanisme penyelesaian konflik secara komprehensif. Sebelum melaksanakan
kekerasan dalam prilaku konflik. Hal ini juga menunjukan finalitas,
tetapi dalam prakteknya, konflik yang mencapai tahapan ini seringkali dibuka kembali di kemudian hari.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau
lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas.
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam
batas-batas bidang kerja c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya
rintangan komunikasi.
c. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan
formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
d. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran
persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan
21
Dalam setiap konflik selalu dicari jalan penyelesaian. Konflik
terkadang dapat saja diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai secara langsung. Namun tak jarang pula harus melibatkan
pihak ketiga untuk menengahi dan mencari jalan keluar baik oleh negara atau sebagai Organisasi Regional bahkan Organisasi Internasional.
Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya
untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang
bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial. Tahap terakhir memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan
untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng.
Secara khusus resolusi konflik di definisikan sebagai segala bentuk pengurangan dalam konflik yang ditandai dengan kesadaran terhadap
permasalahan yang terjadi diantara pihak-pihak yang berkonflik. Disadari atau tidak perdamaian dan suasana yang kondusif menurut peneliti adalah suatu hal yang sangat diidamkan oleh masyarakat
negeri ini. perlunya peran pemerintah dan kerjasama antara elemen
diatas terutama disebabkan oleh kepribadian kesukubangsaan secara
sempit dan subyektif yang digambarkan sebagai perbuatan yang
melukai harga diri dan kehormatan masing – masing sukubangsa
Lampung dan sukubangsa Bali yang selanjutnya terwujud sebagai konflik fisik yang bertujuan melakukan penghancuran harta benda bahkan saling mengacam untuk memusnahkan jiwa kedua belah
pihak yang bertikai
C. Pandangan konflik
Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti
kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi
adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 234).
Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gak
badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga
23
Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi
sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran
dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang
terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan
datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.
pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik
dipahami dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
a. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu
yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor
penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar.
Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga
b. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada
anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun,
yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan
organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan
dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
D. Tipe tipe konflik
Konflik dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu konflik yang realistis dan konflik yang tidak realistis. Konflik realistis yaitu konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap
tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi akibat adanya pikiran keuntungan para partisipan, yang ditujukan pada obyek yang mengecewakannya. Konflik tidak realistis yaitu konflik yang
datang dari adanya kebutuhan untuk meredakan ketegangan yang datang dari salah satu pihak (Sudijono Sastroatmodjo, 1995).
Menurut Ramlan Surbakti (1992) konflik dapat dibedakan menjadi
dua yaitu konflik yang berwujud hal tidak wajar dan konflik non hal tidak wajar. Konflik yamg mengandung biasanya terjadi dalam
25
tentang dasar, tujuan negara dan lembaga pengatur atau pengendali
konflik yang jelas.
Pemberontakan dan sabotase merupakan contoh konflik yang
mengandung tindak terlarang. Sedangkan konflik yang non hal tidak wajar biasanya terjadi pada masyarakat yang telah memiliki dasar tujuan yang jelas sehingga penyelesaian konflik sudah bisa
ditangani melalui lembaga yang ada. Adapun konflik non hal tidak wajar biasanya berwujud perbedaan pendapat antar kelompok
(individu) dalam rapat, pengajuan petisi kepada pemerintah, polemik melalui surat kabar dan sebagainya.
E. Pengendalian konflik
Perlakuan pengendalian konflik dilaksanakan melalui :
a. Proses pengendalian konflik melakukan persepsi tentang konflik itu sendiri, apa komponennya, dari mana sumbernya,
bagaimana realisasinya, cara menghindarinya, implementasi penanganannya, pemilihan strategi yang digunakan, evaluasi
dampak yang ditimbulkan oleh konflik.
b. Cara pengendalian konflik Memberikan kesempatan kepada semua anggota kelompok untuk mengemukakan pendapatnya
tentang kondisi-kondisi penting yang diinginkan sesuai persepsi masing-masing yang harus dipenuhi disesuaikan
terhadap posisi dimaksud, sehinga akan terwujud berbagai
alternatif tindakan antara lain berupa: sikap sabar, penghindaran, kekerasan, negosiasi, mediasi, konsiliasi,
abritasi, peradilan, dan sebagainya.
c. Tindakan pengendalian konflik Menghindar, Kompromi, Kompetisi, Akomodasi, Kolaborasi, Kontribusi untuk
pengendalian konflik sebagai hasil asesmen, Sanggup menyampaikan pokok masalah penyebab timbulnya konflik,
Mau mengakui adanya konflik, Bersedia melatih diri untuk mendengarkan dan mempelajari perbedaan, Sanggup mengajukan usul atau nasihat, Meminimalisasi
ketidakcocokan. F. Manajemen Konflik
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara
pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses
yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi.
Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik.
27
Konflik (2010) mendefiniskan konflik adalah proses pertentangan
yang diekspresikan diantara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku
dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik.Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi dikarenakan adanya proses yang terjadi di kedua belah pihak yang
masing-masing pihak terpengaruh secara negatif yang menimbulkan pertentangan di antara kedua belah pihak.
Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, hal ini disebabkan karena setiap jenis perubahan cenderung mendatangkan konflik. Konflik yang sudah terjadi juga bisa diselesaikan lewat
perundingan. Cara ini dilakukan dengan melakukan dialog terus menerus antar kelompok untuk menemukan suatu penyelesaian maksimum yang menguntungkan kedua belah pihak. Melalui
perundingan, kepentingan bersama dipenuhi dan ditentukan penyelesaian yang paling memuaskan.
G. Keharmonisan Sosial
Sangat indah bila cinta kasih dan keharmonisan antarasesama tetap
terjaga. Namun, bisa saja hari demi hari hal itu mulai berubah. Banyak hal menyedihkan yang terjadi di sekeliling kita yang
semestinya tidak perlu terjadi karena kita sebagai makhluk sosial mulai mengabaikan cinta kasih dan keharmonisan antarsesama. Sehingga dengan kurangnya keharmonisan tersebut terjadinya
kasih dan keharmonisan hidup yang berujung pada konflik
berkepanjangan. maka hubungan sosial semakin renggang.
Pada dasarnya, semua manusia memiliki hati nurani dan cinta kasih.
Yang membedakannya adalah kebiasaan mereka dengan lingkungan di sekitarnya, berjalannya waktu, perkembangan zaman dan teknologi yang begitu cepat. Semuanya itu membuat rasa cinta
kasih dan keharmonisan antarsesama sedikit demi sedikit memudar, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah hingga ke lingkungan
masyarakat. Dengan pudarnya cinta kasih dan keharmonisan hidup antarsesama, mulailah timbul kecemburan sosial hingga konflik antarsesama yang pada akhirnya dapat merugikan banyak orang,
bahkan tak jarang sampai mengakibatkan korban jiwa.
Kondisi kehidupan sosial tertentu kalau dikaitkan dengan konflik, tentunya tidak sederhana, karena setiap konflik antaranggota dalam
kehidupan sosial itu tidak selalu bentuk dan sifatnya sama (misalnya ada konflik individual atau kelompok, konflik terpendam
atau terbuka, dan lain-lain). Dengan demikian memang ada variasi dalam konflik, baik atas dasar bentuk, sifat, penyebab terjadinya, maupun langkah penyelesaiannya.
Selanjutnya dapat dijelaskan pula bahwa dalam persoalan konflik ini perlu diperhatikan konteks struktur dan fungsi dalam kehidupan
29
Di dalam kehidupan bermasyarakat kita sebagai sesama makhluk
sosial dan ciptaan Tuhan yang memiliki pemikiran logis seharusnya bisa berbagi cinta kasih serta menjalin keharmonisan dengan orang
lain atau dengan masyarakat luas. Karena dengan cinta kasih, kasih sayang yang tertanam dalam jiwa dan tercermin dalam perilaku akan terbangun suatu keharmonisan hubungan antarsesama tanpa
rasa iri hati, dengki, dan kecemburuan sosial. Dengan demikian akan dapat dihindarkan berbagai macam konflik, pertikaian,
perselisihan, perseteruan, dan kerusuhan.
Cinta kasih antarsesama sangat diperlukan untuk membangun persaudaraan dan kehidupan yang rukun serta damai tanpa adanya
perseteruan mulai dari pelajar, geng motor, persatuan organisasi masyarakat/ormas hingga kelompok masyarakat yang lebih luas. Karena hilangnya cinta kasih dapat menghilangkan akal sehat dan
keharmonisan hidup. Karenanya, kita harus menjalin dan menjaga tali persaudaraan yang erat karena manusia tanpa memiliki cinta
kasih kepada sesama bagaikan manusia tanpa perasaan dan akan membuat manusia itu berdarah dingin dan tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya.
H. Anatomi Konflik-Konflik Dunia Ketiga
Konflik diantara dunia ketiga timbul karena perselisihan teritorial
terpisah dan hidup sebagai minoritas di negara-negara tetangga,
mendapatkan dorongan baru untuk mengusahakan penyatuan, terutama karena ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah negara
dimana mereka sekarang hidup.
Konflik Dunia Ketiga yang melibat negara-negara luar yang bersaing karena antagonisme ideologi mungkin bukan tipe Timur
Barat saja, tetapi keterlibatan negara-negara besar, baik karena tantangan yang diciptakan oleh persaingan global mereka maupun
karena mereka di undang untuk terlibat oleh pihak-pihak yang konflik (Christoph Bertram, 1998).
Konflik yang terjadi di negara-negara dunia ketiga adalah sebagai
gejala tidak adanya kesepakatan politik antara rakyat. Sehingga peneliti yang memusatkan perhatiaanya terhadap gejala-gejala tersebut.Dalam hal ini diketengahkan elemen-elemen yang
keberadaanya memang berpengaruh terhadap terjadinya konflik tersebut. Hal ini juga memandang bahwa dengan adanya konflik di
negara-negara ketiga menimbulkan permasalahan tersendiri bagi dunia pada umumnya.
I. Penyelenggaraan Kemasyarakatan
Penyelenggaraan kemasyarakatan yang di maksud adalah bagaimana melaksanakan kepemimpinan yaitu mengajak, membujuk, mendorong, membimbing, seluruh lapisan
31
demokratis yang seimbang yakni aman dan tentram tanpa adanya
konflik (Inu Kencana Syafiie, 1998).
Pertentangan maupun konflik tersebut dapat dijumpai di seluruh
segi kehidupan sehingga muncul pilihan-pilihan yang saling bertentangan dan tidak selaras Kondisi ketentraman dan ketertiban komunitas (pemukiman) maupun kelompok-kelompok ataupun
lapisan masyarakat diberbagai daerah di Indonesia dalam beberapa tahun terusik oleh berbagai jenis gangguan dan konflik.
Oleh karena itu mengenali pekerjaan sosial secara serius sangat penting untuk dicermati dalam upaya mengatasinya, bila kita gagal dalam mengatasi konflik maupun mengendalikannya akan
mengakibatkan situasi dekstruktif yang lebih dahsyat, konflik merupakan masalah pelik untuk segera dicarikan pemecahaannya. Lalu bagaimana pekerjaan sosial mengatasi konflik?,dalam mencari
segi penyelesaiannya, kemanfaatan dan kemaslahatannya, dari berbagai u paya-upaya yang dilakukan antara lain :
1. Menciptakan kereativitas masyarakat dalam menyikapi suatu konflik
2. Melakukan perubahan sosial yang kondusif pada pasca
konflik.
3. Membangun komitmen kebersamaan dalam kelompok yang
pernah konflik.
5. Meningkatan fungsi sosial kekeluargaan atas dasar
kebersamaan sebagai nilai.
Menurut peneliti apapun juga prosedur dan mekanisme yang
dibangun untuk mengantisipasi dan mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya berdasarkan rancangannya, semua itu akan sia-sia saja manakala para warga tidak hendak mengubah dirinya
menjadi insan-insan yang berorientasi kedamaian. Berkepribadian baik, ujung akhir penyelesaian konflik yang dibayangkan hanyalah
“menang atau kalah”.
Apabila konflik yang terjadi berlangsung pada model yang demikian ini, yang tak mustahil bisa terjadi juga dalam masyarakat
yang demokratik, akibat yang serius mestilah diredam ialah dicegah dan akan diatur berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan perundang-undangan) yang
telah dimengerti dan disosialisasikan.
E. Konsepsi Peranan Anggota DPRD pada dapil wilayah konflik Kabupaten Lampung Selatan kecamatan way panji dalam penanganan konflik Balinuraga-Agom
Peranan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lampung Selatan pada dapil wilayah konflik dalam melaksanakan tugas,
dan wewenang dan mengoptimalkan fungsi legislasi, pengawasan, anggaran, dan menampung aspirasi dari masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009
33
Peranan anggota DPRD itu dilihat berdasarkan pada Undang-Undang No 7
Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang mencakup 3 tahap yaitu pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.
A. Pencegahan konflik
1. Memberikan saran dan masukan kepada pemerintah daerah dalam membentuk peraturan dan kebijakan daerah dalam upaya
pencegahan konflik
2. Mengontrol dan mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan
peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan terjadinya konflik
3. Melakukan dialog dalam rangka membahas dan menampung aspirasi
dari masyarakat untuk dijadikan masukan dalam upaya pencegahan terjadinya konflik
4. Memberikan saran dan masukan dalam persetujuan dan menetapkan
dana bantuan bersama pemerintah daerah dalam upaya pencegahan terjadinya konflik
B. Penghentian konflik
1. Membahas dan menampung aspirasi dari masyarakat dalam upaya penghentian konflik
2. Memberikan saran dan masukan dalam membentuk peraturan dan kebijakan daerah bersama dengan kepala daerah dalam upaya
C. Pemulihan pasca konflik
1. Memberikan saran dan masukan dalam membentuk peraturan dan kebijakan daerah bersama dengan kepala daerah dalam upaya
pemulihan pasca konflik
2. Mengontrol dan mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah dalam upaya
pemulihan pasca konflik
3. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dari masyarakat dalam
upaya pemulihan pasca konflik
4. Memberikan saran dalam persetujuan dan penetapan dana bantuan bersama pemerintah daerah dalam upaya pemulihan pasca konflik
35
D. Kerangka Pikir
h
A. Pencegahan Konflik
1. Memberikan saran dan masukan kepada pemerintah daerah dalam
membentuk peraturan dan kebijakan daerah dalam upaya pencegahan terjadinya konflik
2. Mengontrol pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan terjadinya konflik UNDANG UNDANG NO 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD
3. Melakukan dialog dalam rangka membahas dan menampung aspirasi
dari masyarakat dalam upaya pencegahan terjadinya konflik
4. Memberikan saran dan masukan dalam persetujuan dan menetapkan
dana bantuan kepada pemerintah daerah dalam upaya pencegahan terjadinya konflik
B. Penghentian Konflik
1. Membahas dan menampung aspirasi dari masyarakat dalam upaya penghentian konflik
2. Memberikan saran dan masukan dalam membentuk peraturan dan kebijakan daerah bersama dengan kepala daerah dalam upaya
penghentian konflik C. Pemulihan Pasca Konflik
1. Memberikan saran dan masukan membentuk peraturan dan kebijakan daerah bersama dengan kepala daerah dalam upaya pemulihan pasca
konflik
2. Mengontrol pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah dalam upaya pemulihan pasca konflik
3. Menampung aspirasi dari masyarakat dalam upaya pemulihan pasca konflik
III. METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi kasus yang telah dilaksanakan melalui studi
mendalam dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara riil mengenai situasi
tertentu atau keterkaitan hubungan antara berbagai fenomena secara aktual
dan teratur. Seperti dikemukakan oleh Sugiyono (2005 : 180) dengan
mengutip pendapat Nasution bahwa penelitian kualitatif pada hahekatnya
adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan
mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia
sekitarnya.
Sedangkan penelitian deskriptif menurut Moh. Nazir (1988 : 63) yang dikutip
oleh Sugiyono (2005 : 345), yaitu suatu metode dalam penelitian status
kelompok manusia, suatu obyek, suatu situasi kondisi, suatu system
pemikiran, atau kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian
deskriptif adalah untu membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, siat-sifat serta hubungan
antara fenomena yang diselidiki. Dalam data kualitatif dapat diperoleh
kejelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat dan kita
sebab akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat dan memperoleh
penjelasan yang banyak dan bermanfaat.
1. Telah terjadi konflik antarkelompok suku dan memuncak pada konflik
Balinuraga pada bulan Oktober 2012.
B. Lokasi dan Waktu
Lokasi dan waktu Penelitian telah dilakukan di Desa Balinuraga kecamatan
Way Panji, Desa Agom Kecamata Kalianda dan di kantor Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lampung Selatan.
C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian merupakan suatu batasan-batasan yang digunakan dalam
sebuah penelitian yang berfungsi untuk menjaga agar penelitian tetap pada
jalur yang telah di tentukan dan tidak menyimpang dari pokok bahasan yang
akan diteliti.
Adapun yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah studi tentang
Peranan anggota DPRD Lampung Selatan pada dapil wilayah konflik
berdasarkan fungsi, tugas, dan wewenang DPRD di dalam Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 dalam
penanganan konflik Balinuraga-Agom berdasarkan pada Undang-Undang
No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang terjadi di desa
Balinuraga yang meliputi 3 tahap yaitu pencegahan konflik, penanganan
konflik, dan pemulihan pasca konflik.
a. Pencegahan Konflik
1. Ikut membentuk peraturan dan kebijakan daerah bersama dengan
39
2. Mengontrol pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan lainnya
serta kebijakan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan
terjadinya konflik
3. Melakukan dialog dengan masyarakat dalam rangka membahas dan
menampung aspirasi dari masyarakat dalam upaya pencegahan
terjadinya konflik
4. Memberikan saran dan masukan kepada pemerintah daerah serta
melakukan pengawasan terkait dana bantuan dalam upaya
kebijakan daerah bersama dengan kepala daerah dalam upaya
penghentian konflik
c. Pemulihan Pasca Konflik
1. Memberikan masukan dalam membentuk peraturan dan kebijakan
daerah kepada kepala daerah dalam upaya pemulihan pasca konflik
2. Mengontrol pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan lainnya serta
kebijakan pemerintah daerah dalam upaya pemulihan pasca konflik
3. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi yang datang dari
masyarakat dalam upaya pemulihan pasca konflik
4. Melakukan pengawasan memberikan saran dan masukan terhadap
D. Sumber Data 1. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh
pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan
historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang
dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Data sekunder yang telah
diperoleh adalah berupa arsip dan informasi dari kepala desa Agom
(Muksin Syukur) dan kepala desa Balinuraga (Wardane)
2. Data Primer
Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari
sumber asli (tidak melalui meedia perantara). Data primer dapat berupa
opini subjek (orang) secara individual atau kelompok. Data primer yang
telah diperoleh dalam penelitian ini adalah sumber data yang langsung
didapat saat wawancara dengan anggota dewan pada daerah pemilihan
wilayah konflik kecamatan Kalianda (Hamdani) dan kecamatan Way
Panji (Wardane)
E. Informan
Penentuan subjek penelitian atau informan ini berdasarkan pendekatan
purposive sampling. Metode purposive sampling menurut Sugiono (1997:57)
yaitu penentuan sampel untuk tujuan atau pertimbangan tertentu.
Pertimbangan tertentu ini menurut Sugiono (2005:54) bahwa orang tersebut
41
sebagai penguasa sehingga memudahkan peneliti menjelajahi objek atau
situasi sosial yang diteliti. informan utama dalam penelitian ini adalah :
1. Anggota dewan pada daerah pemilihan wilayah konflik kecamatan
Kalianda (Hamdani)
2. Anggota dewan pada daerah pemilihan wilayah konflik kecamatan Way
Panji (Wardane)
3. Kepala desa Agom (Mucksin Syukur)
4. Kepala desa Balinuraga (Wardane)
F. Teknik Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode-metode
sebagai berikut :
1. Dokumentasi
Studi pustaka ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai
teori-teori dengan mempelajari buku-buku, perundang-undangan dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Pengumpulan data
dengan cara mengumpulkan, mencatat ataupun mempelajari
dokumen-dokumen/arsip-arsip yang ada, yang terkait dengan penelitian.
Dokumentasi yang telah diperoleh dalam penelitian ini adalah catatan hasil
wawancara dan buku-buku yang berkaitan dengan konflik dan
perundang-undangan yang berkaitan dengan anggota DPRD.
2. Studi lapangan/ Wawancara
Tehnik pengumpulan data dengan cara melakukan Tanya jawab atau
percakapan secara langsung pada pihak yang terkait dengan obyek yang
dengan anggota dewan pada daerah pemilihan wilayah konflik kecamatan
Kalianda (Hamdani) dan kecamatan Way Panji (Wardane) serta di bantu
oleh kepala desa Agom (Mucksin Syukur) dan kepala desa Balinuraga
(Wardane)
G. Teknik Pengolahan Data
a. Editing (Pemeriksaan Data)
Editing yang telah dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan meneliti
hasil apakah ada response yang tidak lengkap, tidak komplet atau
membingungkan.
b. Interpretasi
Interpretasi yang telah dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
menyederhanakan ide-ide atau issu-issu yang rumit dan kemudian
membaginya dengan masyarakat awam/umum.
H. Teknik Analisis Data
a. Reduksi Data
Peneliti telah melakukan pemilihan dan pemusatan perhatian untuk
menyederhanakan, abstraksi dan tranformasi data kasar yang diperoleh.
(Agus Salim, 2006).
b. Triangulasi data
Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam membandingkan hasil
wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2004:330). Dalam
penelitian ini telah dilakukan keabsahan data dengan membandingkan
hasil wawancara dengan informan utama anggota dewan pada daerah
43
Way Panji (Wardane) terhadap kepala desa Agom (Mucksin Syukur) dan
kepala desa Balinuraga (Wardane)
c. Penyajian Data
Peneliti telah mengembangkan sebuah deskripsi informasi tersusun untuk
menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. (Agus Salim, 2006).
d. Penarikan Kesimpulan
Peneliti telah berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi
dengan mencari makna setiap gejala yang dipeolehnya dilapangan. (Agus
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A.Kabupaten Lampung Selatan
Berdasarkan data yang ada penduduk Kabupaten Lampung Selatan secara garis
besar dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu penduduk asli Lampung dan
penduduk pendatang. Penduduk asli khususnya sub suku Lampung Peminggir
umumnya berkediaman di sepanjang pesisir pantai. Penduduk sub suku lainnya
tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Penduduk pendatang
yang berdomisili di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari bermacam-macam
suku dari berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, Sulawesi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan
Aceh. Dari semua suku pendatang tersebut jumlah terbesar adalah pendatang
dari Pulau Jawa. Besarnya penduduk yang berasal dari Pulau Jawa
dimungkinkan oleh adanya kolonisasi pada zaman penjajahan Belanda dan
dilanjutkan dengan transmigrasi pada masa setelah kemerdekaan, disamping
perpindahan penduduk secara swakarsa dan spontan. Beragamnya etnis
penduduk di Kabupaten Lampung Selatan juga sangat memungkinkan
timbulnya konflik antar etnis seperti konflik yang terjadi antara desa
Balinuraga yang mayoritas suku Bali dengan desa Agom mayoritas suku