P
ERUBAHANI
KLIM:
D
ARIF
ENOMENAS
EHARI-
HARISAMPAIK
RISISS
PIRITUALITAS.
Paul Heru Wibowo
“Kerusakan terutama timbul karena gaya hidup yang berlebihan dan tidak adanya keteraturan. Gaya hidup konsumtif yang berlebihan menguras sumber daya dan
menghasilkan sampah yang makin banyak pula…” (Prof. DR. Otto Soemarwoto)
Perubahan Iklim sebagai Fenomena Sehari-hari Liburan Natal tahun lalu sama sekali tidak berkesan. Berbagai rencana yang telah kami rancang jauh-jauh hari tertunda dan bahkan gagal karena kondisi cuaca yang tidak menentu. Hujan deras yang turun terus-menerus memaksa kami berdiam di dalam rumah. Di kota kami yang begitu padat ini, setiap tetes air hujan yang jatuh akan dengan cepat menjadi genangan-genangan air yang dapat mengganggu para pengguna jalan sehingga kemacetan di berbagai tempat tidak terelakkan. Bahkan karena cuaca yang tidak menentu itu, saya dan anak-anak sempat jatuh sakit selama beberapa hari. Dengan terpaksa, uang yang seharusnya dipergunakan untuk bersenang-senang dengan keluarga terpaksa disetorkan untuk biaya pengobatan.
Cuaca yang tidak menentu adalah bagian dari perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini. Di sejumlah tempat, seperti dikabarkan media, efek dari perubahan iklim yang begitu ekstrim kian terasa. Karena perubahan pola curah hujan dan kenaikan muka air laut, beberapa daerah dilanda banjir yang begitu besar sehingga merenggut banyak korban jiwa. Beberapa sahabat yang berasal dari Queensland, Australia, masih berkabung karena banjir besar telah menghantam rumah dan menyeret beberapa anggota keluarga mereka tanpa ampun. Situasi ini seolah-olah melengkapi rangkaian bencana alam yang juga terjadi secara bertubi-tubi di negara kita pada tahun lalu seperti di Wasior, Padang, Mentawai, atau Yogyakarta.
stabil. Akibatnya, orang akan dengan mudah terjangkiti virus dan tertular penyakit. Saya ingat, di bulan November tahun lalu, anak pertama saya sempat tidak masuk sekolah karena sakit demam dan batuk selama bebeberapa hari. Saya baru mengetahui bahwa selama beberapa hari itu ternyata banyak pula temannya yang absen sekolah karena sakit flu. Kelas hanya dihadiri oleh sekitar sembilan siswa dari dua puluh tiga siswa!
Karena perubahan iklim pula, kenikmatan bersantap di beberapa kedai baso dan restoran Padang pun berkurang beberapa waktu ini. Meski tidak dikenakan biaya tambahan, sambal yang disediakan sebagai pelengkap terasa kurang menggigit. Hal ini disebabkan oleh melambungnya harga cabe merah. Baru pertama kali ini saya mengetahui bahwa harga satu kilogram cabe merah bisa mencapai seratus ribu rupiah! Di pasar tradisional kenaikan harga cabe diam-diam ikut mendongkrak harga kebutuhan dapur lainnya. Dengan alasan perubahan iklim, harga kebutuhan pangan di pasar benar-benar dalam kondisi gonjang-ganjing, serba tidak menentu.
Dampaknya pada Lingkungan dan Masyarakat Perubahan iklim memang menjadi masalah yang begitu serius karena memiliki dampak negatif yang terus berkelanjutan terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Dalam film yang berjudul The Incovenient Truth, Al Gore pernah menyatakan bahwa perubahan iklim yang terjadi di berbagai belahan dunia merupakan salah satu gejala dari Global Warming.Dengan pelbagai bukti ilmiah, mantan wakil presiden Amerika Serikat ini sanggup menunjukkan bahwa kondisi bumi sudah sangat kritis. Tingkat karbondioksida cenderung kian meninggi. Suhu bumi dari tahun ke tahun semakin panas sehingga lapisan es yang menyelubungi puncak Himalaya mulai berkurang. Bencana alam pun mulai terjadi di mana-mana.
Alih-alih berdampak buruk pada lingkungan, perubahan iklim ternyata punya konsekuensi lain yang tidak kalah serius terhadap kondisi sosial masyarakat. Menurut sebuah artikel yang sempat saya baca, perubahan iklim berdampak buruk terhadap masyarakat negara-negara miskin dan kelompok masyarakat seperti perempuan dan anak-anak.1 Artikel itu menyebutkan bahwa
institusi akademis ternama seperti The London School of Economics and Political Science pernah melakukan penelitian terhadap 141 negara yang terkena bencana periode 1981-2002. Ditemukan bahwa bencana alam yang
1 Athiqah Nur Alami, 2010, “Perempuan dan Dampak Perubahan Iklim,” dalam
http://www.politik.lipi.go.id, diakses pada tanggal 18/01/2011
dialami negara-negara tersebut berakibat pada penurunan angka harapan hidup perempuan dan peningkatan ketidaksetaraan gender (gender gap) dalam masyarakat.
Ketika terjadi bencana tsunami di Aceh sekitar enam tahun lalu, kita melihat bahwa sebanyak 55% sampai 70% perempuan meninggal dunia. Dalam hal ini, kondisi sosial ekonomi perempuan diduga sebagai salah satu faktor penyebab yang cukup menentukan. Kelompok perempuan yang bekerja di sektor informal dan pertanian adalah kelompok yang paling potensial menjadi korban. Tidak dapat disangkal, kedua sektor itu paling rentan secara ekonomis jika bencana alam terjadi. Bencana alam membuat mereka kehilangan pekerjaan dan memaksa mereka jatuh dalam lumbung kemiskinan.
Sementara itu, ketidaksetaraan gender yang sesungguhnya telah terjadi dalam masyarakat sebelum bencana alam pun semakin terlihat mencolok. Hal demikian disebabkan oleh terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya, informasi, mobilitas, dan proses pembuatan kebijakan mengenai bencana alam. Perempuan juga belum banyak dilibatkan dalam usaha mitigasi dan adaptasi sebagai usaha untuk menjaga kelestarian alam.
Krisis Ekologis = Krisis Spiritualitas Apa makna dari semua fenomena di atas? Jika kita refleksikan lebih dalam, fenomena perubahan iklim terkait erat dengan krisis ekologis. Krisis ini tidak hanya disebabkan oleh pergerakan alam melainkan juga oleh perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab. Sebagai makhluk sempurna yang diciptakan Tuhan, manusia telah merusak bumi demi kepuasan dan kekuasaan. Pak Otto Soemarwoto pernah mengatakan bahwa dari waktu ke waktu hutan dianggap sebagai modal pembangunan sehingga deforestasi tampak menjadi kegiatan legal.2 Siapapun - asal punya uang dan surat izin sakti - bisa menebang hutan
seenaknya tanpa memperhatikan dampaknya pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Manusia tidak lagi menghargai alam sebagai bagian dari sikap syukur dan takwa terhadap Sang Pencipta kehidupan. Karena itu, pengelolaan terhadap alam tidak dilihat manusia sebagai aktivitas spiritual, tetapi sekadar dipahami sebagai aktivitas ekonomis.
Kegagalan manusia dalam mengelola alam memperlihatkan bahwa manusia berada di ambang krisis spiritualitas. Alam sekadar menjadi obyek kezaliman manusia. Manusia telah abai dengan tugas dan tanggung jawab yang diberikan
2 Eka Budianta, 2007, Belajar pada Otto & Idjah Soemarwoto Dari Berkeley ke Cimandiri,
Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, hlm. 73.
Tuhan. Perubahan iklim yang begitu ekstrim pada hari ini adalah buah yang harus dituai manusia. Selama mentalitas manusia masih berorientasi pada sikap egoisme dan konsumerisme, manusia akan terus mengeksploitasi alam dan menuai bencana darinya. Namun jika mentalitas manusia berorientasi pada sikap bijaksana untuk melestarikan dan menjaga alam demi kemaslahatan bersama, manusia akan menerima berkah yang melimpah dari ibu bumi, tanpa harus khawatir harga cabe melonjak kembali.
********