Nama : Hidayati
Nim : 201110170311003 Akuntansi Basis Syariah
“Musyarakah dan Aplikasinya Dalam Perbankan Syari’ah“ I. Pendahuluan
Keberadaan bank syariah saat ini telah menyebar diberbagai daerah di indonesia. Kegiatan usaha Bank syariah berpedoman pada prinsip syariah, hal ini yang membedakannya dengan Bank Konvensional. Adapun prinsip syariah tersebut tertuang dalam pasal 1 angka 13 Undang-Undang Perbankan, bahwa perjanjian kerjasama antara pihak bank dengan pihak lain dalam hal penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau usaha lainnya harus sesuai dengan syariah. Di antara bentuk pembayaan kegiatan usaha tersebut adalah pembiayaan dengan penyertaan modal (musyarakah). Lantas apakah ada perbedaan antara konsep musyarakah versi fiqh klasik dengan praktek musyarakah dalam Bank Syariah?
II.ISI
A. Musyarakah Konsep Fiqh
a. Definisi dan Landasan Hukum
Syirkah atau musyarakah bermakna kerjasama yang dilakukan antara dua orang atau lebih dengan modal yang terkumpul dari masing-masing pihak. Semua pihak sama-sama mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama dalam mengelola modal tersebut. Musyarakah merupakan praktek muamalah yang diperbolehkan oleh agama, hal ini didasarkan pada QS an- Nisa : 12 yang artinya :
“...Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu....”
b. Jenis-Jenis Musyarakah
Secara garis besar syirkah ada dua macam, yakni:
1. Syirkah Amlak, yaitu bentuk perserikatan antara dua orang atau lebih dalam memiliki harta
2. Syirkah ‘Uqud, yaitu akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri
dalam perserikatan modal dan keuntungannya.
B. Musyarakah dalam Konteks Lembaga Keuangan Syariah Secara umum, bank syariah memiliki dua aktivitas:
1. Aktivitas perdagangan (a’mal tijariyah) yang diklaim sebagai pengganti aktivitas Ribawi. Ini dijalankan dengan melalui berbagai macam akadnya, seperti: mudharabah, murabahah (pembelian barang lewat lembaga) dan musyarakah (patungan) dalam sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan dan lain-lain.
2. Aktivitas jasa perbankan dalam berbagai bentuknya dengan menarik imbalan jasa, misal jasa transfer uang dan pertukaran mata uang.
III. Kesimpulan
Menurut Siddik al-Jawi, Dosen STEI Hamfara Jogja, aktivitas yang pertama memiliki subhat pada realitasnya, karena terdapat beberapa penyimpangan yang terjadi: Pertama, secara teori, syirkah mudharabah berlaku prinsip bagi hasil dan bagi rugi (profit and loss sharing) sesuai kaidah fikih, “Al-ghurmu bi al-ghunmi (Risiko kerugian diimbangi hak mendapat keuntungan).” Namun pada faktanya, tidak pernah satu kali pun ada bank syariah yang mengumumkan dirinya rugi. Ini menunjukkan suatu keanehan. Karena pada teori, harusnya bank syariah bisa saja mengalami kerugian. Kedua, kurangnya SDM yang cakap untuk mengelola keuangan syariah. Akibatnya, bank syariah mengambil pegawainya dari bank konvesional (berbasis riba) yang terindikasi masih memiliki pola pikir dan budaya kerja non syariah. Adapun aktivitas yang kedua, merupakan aktivitas yang dibolehkan syariah, asal dijalankan sesuai syarat dan rukunnya.
Referensi