Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Propinsi Sumatera Utara, 2008.
USU Repository © 2009
PERAN BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PROPINSI
SUMATERA UTARA DALAM TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG DI PROPINSI
SUMATERA UTARA
Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Oleh :
Berlian Evi Yenni Pakpahan
NIM : 050200338
Departemen : Huku m Pidana
Disetujui oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
(Abul Khair, SH., M.Hum)
Nip. 131 842 854
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Nurmalawaty, SH., M.Hum DR. Marlina, SH., M.Hum
Nip. 131 803 347 Nip. 132 300 072
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmatNya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Adapun tujuan penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Judul skripsi ini adalah “Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi
Sumatera Utara dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Sumatera
Utara”
Kepada orang tuaku tercinta ayahanda Remon Pakpahan, BBA dan Ibunda
Ir. Rohani Bakara, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
kasih sayang, doa dan dukungan baik moril serta materil yang diberikan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Buat adik-adikku Chandra
Felix Pakpahan dan Jhonferi Sebastian Pakpahan terima kasih penulis ucapkan
atas dukungan yang kalian berikan (“Sekarang giliran kalian yang harus belajar
giat ya dek.”).
Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah memberi dukungan serta doanya sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan, khususnya kepada:
1. Bapak Prof.DR. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh Pembantu Dekan
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
2. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberikan masalah
dan pandangan dalam mengerjakan skripsi ini;
3. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Pidana dan Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan pandangan yang
berguna kepada penulis sehingga skripsi ini selesai;
4. Ibu DR. Marlina, SH., M.Hum selaku Pembimbing II yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan
masukan pandangan yang berguna kepada penulis sehingga skripsi ini
selesai;
5. Ibu Zaidar, SH., M.Hum selaku dosen wali penulis yang memberikan
dukungan dan nasihat kepada penulis serta seluruh dosen dan staf pengajar
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan
membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
6. Ibu Ir. Hj. Nurlisa Ginting, MSc selaku Kepala Biro Pemberdayaan
Perempuan Sekretariat Daerah Propinsi Sumatera Utara yang memberikan
izin kepada penulis untuk mencari bahan dan data yang dibutuhkan penulis
dalam skripsi ini di Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah
7. Ibu Emmy Suryana Lubis, SH, dan seluruh staf pegawai di Biro
Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Propinsi Sumatera Utara yang
memberikan informasi bahan dan data mengenai masalah dalam skripsi
ini;
8. Ibu Azmiati Zuliah, SH selaku koordinator PUSPA (Pusat Layanan
Informasi dan Pengaduan Anak) PKPA yang membantu mmberikan
informasi yang penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini;
9. Kepada keluarga besar Op.Berlian Pakpahan di Pangaribuan, Opung doli,
uda Op. Riski, uda Elsa, uda Yogi, bou Toman, bou Mada, bou Rugun dan
keluarga besar Op. Rooselyn Bakara, Opung boru, Tulang-tulangku dan
nangtulang, tulang Sanggam SH Bakara, tulang J. Bakara , tulang Ronald
Bakara, SH., MH (“terima kasih ya tulang buat pandangan yang
diberikan”), dan tulang Ir. Parlin Bakara. Seluruh uda dan tante-tanteku
yang cerewet dan mentel tapi tetap baik, Dra. Dumaris Bakara, tante Ir.
Domdom Bakara, tante Renasti Bakara, SKM, tante Risma. Bakara, dan
tante Ledis Bakara, SH (“terima kasih tan buat dukungan doa dan nasihat
yang kalian berikan buat iyen..”) Para abang, kakak dan adek-adek
sepupuku, keluarga A. Pakpahan/E. Gultom, Elsa yang centil, Yogi,
Toman, Mada, Rugun dan keluarga L. Silaban, SE/ dr. Rooselyn Bakara,
MARS, keluarga E. Bakara/R. Napitupulu, Amk., Aprilija Bakara, Tina, si
kembar Karina dan Karini, Hezki, Eva Lumban Batu, Stevi, Theresia,
Frans, kembaranku Grace, dan keponakan-keponakanku terima kasih buat
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
10.Kepada My Soulmate Tercinta Arsenal P. Nainggolan, SKG, terima kasih
buat doa, dukungan dan bantuan yang abang berikan dari awal kuliah
hingga selesainya skripsi ini;
11.Kepada sobat-sobatku Melda Idola, Kristina Natalia, Sri Maria, Nova
Ratna, Sofianna yang banyak memberikan dukungan dan doa kepada
penulis selama perkuliahan hingga selesainya skripsi ini dan seluruh
teman-temanku stambuk 2005 khususnya grup D Tri Handayani, Meutia,
Lola, Ocha, Freddy, Zulkifli, Dudy, Amelia, Lydia, dan anak-anak pidana
Juita Citra, Bob, Segi, Grace, Nove, Dewi, Agaventa, Anggrek, dll.
Teman-temanku di pelayanan NHKBP Sektor I Padang Bulan Medan Cici,
Juwita, Friska, Frengky dll terima kasih buat doanya. Dan sobat lamaku
Elfi Amalia.
12.Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk
menyusun skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu persatu.
Oleh karena keterbatasan penulis dalam mengerjakan skripsi ini, maka
penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya, sehingga
penulis mengharapkan saran ataupun masukan dari pembaca semua.
Akhir kata dari Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna
bagi kita semua. Dan ilmu ang diperoleh Penulis dapat dipergunakan dan
Harapan Penulis semoga Tuhan Yang Maha Kuasa tetap melindungi kita
semua.
Medan, Desember 2008
Penulis
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... vi
ABSTRAKSI ... x
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8
D. Keaslian Penulisan ... 9
E. Tinjauan Kepustakaan ... 9
1. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 9
2. Peraturan Perundang-undangan mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 12
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 12
b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asas Manusia ... 13
c. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ... 13
e. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 17
3. Dasar Hukum Pembentukan Biro Pemberdayaan Perempuan ... 29
4. Kedudukan Biro Pemberdayaan Perempuan ... 29
5. Tugas, Fungsi, Struktur Organisasi dan Visi serta Misi Biro Pemberdayaan Perempuan ... 30
F. Metode Penelitian ... 32
G. Sistematika Penulisan ... 34
BAB II : FENOMENA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI PROPINSI SUMATERA UTARA... 37
A.Modus Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Sumatera Utara ... 37
a. Janji-janji indah ... 38
b. Kekerasan atau paksaan ... 40
B.Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 42
a. Penjualan Anak (Sale of Children) dan bayi ... 42
b. Penyelundupan manusia (Smuggling of Person) ... 43
c. Migrasi dengan tekanan ... 43
d. Prostitusi anak Perempuan dan Laki-laki ... 44
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
f. Pembantu Rumah Tangga (PRT) baik di luar ataupun di
wilayah Indonesia ... 46
g. Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya ... 47
h. Perbudakan Berkedok Pernikahan dan Pengantin Pesanan . 48
i. Jermal ... 49
j. Perdagangan Narkoba Internasional ... 50
BAB III : PERAN BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PROPINSI
SUMATERA UTARA DALAM TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG DI PROPINSI SUMATERA
UTARA ... 54
A.Kedudukan dan Tugas Biro Pemberdayaan Perempuan
Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 54
B.Produk Hukum yang diterbitkan Biro Pemberdayaan
Perempuan di Propinsi Sumatera Utara Tentang Perdagangan
Orang ... 56
a. Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
bagi Anak. ... 56
b. Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak ... 59
c. Peraturan Gubernur No. 24 Tahun 2005 tentang Rencana
Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking)
C.Program Biro Pemberdayaan Perempuan Dalam Tindak
Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Sumatera Utara ... 66
a. Upaya Pencegahan ... 67
b. Upaya Penanganan Kasus atau Pelayanan Korban ... 68
c. Upaya Reintegrasi Korban ... 69
d. Upaya Penataan Masa Depan Korban ... 69
e. Program Pembangunan Pemberdayaan Perempuan ... 70
BAB IV : UPAYA BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM MENGATASI HAMBATAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI PROPINSI SUMATERA UTARA ... 75
A.Hambatan yang Dihadapi Biro Pemberdayaan Perempuan Dalam Menangani Tindak Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Sumatera Utara ... 75
B.Upaya Dalam Mengatasi Hambatan yang Dilakukan Biro Pemberdayaan Perempuan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Sumatera Utara ... 79
BAB V : PENUTUP ... 85
A.Kesimpulan ... 85
B.Saran ... 92
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 ... 3
Tabel 2 ... 3
Tabel 3 ... 6
Tabel 4 ... 44
ABSTRAKSI
Berlian Evi Yenni P.*
Nurmalawaty, SH., M.Hum** DR. Marlina, SH., M.Hum**
Kasus perdagangan orang merupakan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak asasi manusia seseorang. Kejahatan ini terjadi hampir di seluruh dunia dan di Indonesia khususnya di Propinsi Sumatera Utara. Permasalahan yang diangkat yaitu fenomena Tindak Pidana Perdagangan Orang yang terjadi di Propinsi Sumatera Utara, peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Sumatera Utara, dan posisi Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara mengatasi hambatan dalam penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif analitis yang dilakukan dengan cara lebih dahulu meneliti bahan-bahan perpustakaan hukum yang berhubungan dengan perdagangan orang dan selanjutnya serta melihat kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat, dengan menitikberatkan kepada permasalahan mengenai peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara didalam tindak pidana perdagangan orang. Dimana metode pengumpulan data yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan yang berasal dari buku-buku literatur, makalah, internet dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan judul skripsi ini. Selain itu juga diadakan penelitian ke lapangan dengan metode analisis kualitatif yang memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku untuk mendapatkan data-data yang relevan dan terpadu. Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan normatif yaitu penelitian dilakukan dengan cara lebih dahulu meneliti bahan-bahan perpustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya serta melihat kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Secara keseluruhan penulisan skripsi ini menitikberatkan kepada para pelaku perdagangan orang yang didasarkan pada modus janji-janji indah seperti pekerjaan di luar negeri dengan gaji yang besar, pernikahan dengan orang asing maupun dengan paksaan seperti penculikan, hipnoptis dan lain-lain. Peraturan yang terkait dengan tindak pidana perdagangan orang ini meliputi KUHP, UU No 20 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Peraturan Daerah Sumatera Utara No. 5 tahun 2004, Peraturan Daerah Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 dan lain-lain. Dalam hal untuk mencegah semakin maraknya tindak pidana perdagangan orang ini, peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara sangat dibutuhkan untuk pencegahan dan penanggulangan terjadinya kejahatan kemanusiaan ini lewat program-program yang dilakukan.
________________
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah trafiking atau perdagangan manusia, khususnya pada perempuan
dan anak hingga saat ini masih menjadi persoalan yang memprihatinkan dan
angkanya semakin meningkat akhir-akhir ini. Perkembangan perdagangan orang
khususnya perempuan tidak dapat dipisahkan dengan tubuh perempuan1. Tubuh
perempuan merupakan perdebatan yang amat kontroversial di berbagai bidang di
sepanjang masa. Perdebatan itu ditemui dan diterjemahkan secara biologis,
seksual, ekonomi, budaya maupun politik. Trafiking merupakan perbuatan ilegal,
pelanggaran hak asasi manusia, menimbulkan gangguan fisik dan mental,
mengakibatkan kerentanan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tidak
dikehendaki, serta infeksi penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi dan menghapuskan tindak
kejahatan hak asasi ini. Ikhtisar tersebut mulai dari sosialisasi untuk tujuan
penyadaran dan pencegahan, penanganan korban, hingga advokasi lahirnya
produk hukum yang dapat melindungi korban. Namun jika ditilik lebih jauh,
persoalan trafiking di Indonesia sebenarnya bukan isu baru, karena praktik ini
sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Hal ini dibuktikan dengan adanya
Pasal 296-298 KUHP dimana Pasal 297 KUHP yang melarang
memperjualbelikan perempuan dan anak-anak dengan ancaman hukuman enam
perempuan untuk tujuan seksual. Sementara apabila dikaji secara mendalam,
rumusan pasal di dalam KUHP tersebut masih bias gender, sehingga kurang dapat
memberikan perlindungan dan keadilan hukum bagi perempuan dan anak2
Trafiking yang panjang berawal dari rekrutmen, transportasi, transit dan
penempatan di daerah tujuan, sering kali melibatkan jaringan kejahatan yang kuat,
terorganisir, dan lintas daerah/negara. Wilayah propinsi Sumatera Utara
merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menghadapi persoalan trafiking
hingga saat ini. Mayoritas perempuan dan anak-anak yang menjadi korban
trafiking berasal dari kelompok masyarakat miskin, berpendidikan rendah, tidak
memiliki akses informasi yang benar, terpengaruh oleh peer groups (teman
sepermainan), dan adanya penilaian yang rendah terhadap perempuan dan anak.
Bentuk praktik trafiking yang berkembang dan ditangani di pekerjaan terburuk
seperti buruh perkebunan, pekerja anak di sektor perikanan lepas pantai, pekerja
rumah tangga, tempat hiburan malam, pengemis jalanan, serta
penculikan/penjualan bayi. Korban trafiking ini pada umumnya berasal dari
keluarga miskin, berpendidikan rendah dari pinggiran kota dan pedesaan. Kondisi
keluarga dan sosial masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan, sumber
pendapatan, ketidaktahuan akan hak dan informasi, gaya hidup konsumtif,
ketidakadilan gender dan budaya patriarkhi atau kuatnya dominsai laki-laki dalam
keluarga dan masyarakat, meningkatnya permintaan tenaga kerja perempuan dan
anak, dorongan penyiaran dan tulisan pornografi di media massa, rendanhya
kesadaran terhadap nilai anak dan faktor-faktor lain yang merupakan titik lemah .
1
Sulistyowati Irianto, et al, Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal 15.
2
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
ketahanan keluarga dan masyarakat dan pendidikan yang rendah merupakan
faktor-faktor pendorong meningkatnya perempuan dan anak menjadi korban
perdagangan.3 Modus operandinya sebagian besar adalah bujukan atau
iming-iming, yang merupakan pembohongan atau penipuan. Adapun data yang
menunjukkan daerah sumber, transit dan tujuan perdagangan orang di Sumatera
Utara sebagai Propinsi Sumatera Utara sebagian besar untuk kepentingan
prostitusi dan bentuk berikut4
Daerah Sumber
:
Tabel 1. Daerah sumber, daerah transit, dan daerah penerima atau tujuan
Daerah Transit Daerah Penerima/
Tujuan
Propinsi Sumatera Utara :
Medan, Deli Serdang,
Serdang Bedagai,
Simalungun, Binjai,
Pematang Siantar, asahan,
Batu Bara, Tanjung balai,
Langkat, Tebing Tinggi,
Edy Ikhsan et al, Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak Berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2005 tentang Rencana Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Yayasan Pusaka Indonesia, Medan, 2005, hal 5.
4
Tabel 2. Jumlah korban trafiking di Sumatera Utara sebagai berikut5
NO
:
LEMBAGA JUMLAH KORBAN YANG DITANGANI
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
Daerah
Sumatera Utara
(KPAID-SU)
8 Cahaya
Perempuan
2 43 36 47 15
Keterangan Tambahan :
Data korban di atas pertahun, tidak dapat dijumlahkan besarannya karena ada
beberapa korban yang merupakan data korban yang penangannya dilakukan 2 atau
lebih dan dicata oleh kedua atau lebih lembaga yang menanganinya. Penanganan
dilakukan secara menyeluruh, sementara kewenangan lembaga terbatas sehingga
korban tersebut ditangani secara bersama-sama.
Salah satu publikasinya, United Nation Office on Drugs and Crime
(UNODC), menyebutkan setidaknya 15 akar utama penyebab trafficking in person
(perdaganngan orang atau manusia). Hanya satu penyebab dari 15 akar yang tidak
secara langsung terkait dengan masyarakat atau kelompok komunitas, yakni failed
and corrupt goverments (pemerintahan yang gagal dan korup). Keempat belas
akar lainnya sangat berhubungan langsung dengan masyarakat antara lain:6
1) Kekerasan berbasis gender;
2) Diskriminasi kerja;
3) Marginalisasi etnis, ras, da agama
4) Kehilangan status;
6) Power dan pranata sosial;
7) Sejarah kerja paksa;
8) Perkawinan dini dan paksa;
9) Struktur sosial yang patriarki;
10)Jaringan keluarga yang rapuh;
11)Peran perempuan dan anak di keluarga;
12)Tinginya angka perceraian;
13)Peluang pendidikan yang terbatas, dan
14)Peluang ekonomi yang terbatas.
Saat ini perdagangan manusia menjadi bisnis global yang memberikan
keuntungan ketiga terbesar setelah perdagangan senjata dan obat-obat terlarang.
Upaya memerangi kejahatan trafiking, harus ditingkatkan usaha-usaha yang lebih
terencana dan terkoordinir yang memerlukan kebijakan, strategi dan program
yang komprehensif, responsif gender, berbasis HAM, terintegrasi multisektor dan
berkelanjutan. Upaya tersebut merupakan tugas bersama baik pemerintah,
keluarga/ lingkungan terdekat dan masyarakat (tokoh masyarakat, tokoh adat,
LSM, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, dll), juga penyelenggara
negara lainnya seperti legislatif dan yudikatif.
Secara garis besar, trafiking dapat dikelompokkan menjadi trafiking
domestik dan internasional yang melakukan perdagangan manusia untuk tujuan
prostitusi, kerja paksa, perbudakan, penjualan bayi, dan kawin kontrak. Di
samping itu, banyak bukti menunjukkan adanya kelompok terorganisir yang
memperdagangkan anak-anak untuk dipaksa mengemis. Dalam konteks
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
wilayah antar negara, pekerja rumah tangga dan eksploitasi seksual untuk
pelacuran merupakan dua tujuan utama dari perdagangan perempuan dan anak
perempuan Indonesia. Sementara untuk laki-laki, mereka terutama
diperdagangkan untuk diperkerjakan di perkebunan, perusahaan konstruksi, dan
pabrik. Adapun data rute perdagangan orang di Indonesia digambarkan sebagai
berikut:
Tabel 3. Daftar Indikasi Rute Penting Perdagangan Trafiking di Indonesia7
Tempat Tujuan/
Penang Malaysia Belawan (Sumatera
Utara)
Dumai (Riau) Sumatera bagian utara
Singapura, Johor Baru
(Malaysia)
Batam, Karimun
Kualatungkal (Jambi) Sumatera bagian barat,
seluruh Jawa, NTT dan
NTB
Singapura, Malaysia,
Batam, Karimun
Tanjung Priok (Jakarta) Seluruh Jwa, NTT dan
NTB
Masyarakatnya, Pusaka Indonesia, Medan, hal. 1
7
Surabaya (Jawa Timur) Jawa Tengah, Jawa
Papua Bitung (Sulawesi Utara) Sulawesi Utara
Ujung Pandang
(Makassar)
Sulawesi Utara
Surabaya (jawa Timur) Jawa, Nusa Tenggara
Kupang (NTT) Nusa Tenggara Timur
Ternate (Maluku Utara) Bitung (Sulawesi Utara) Sulawesi Utara
Tobelo (Maluku Utara) Bitung (Sulawesi Utara) Sulawesi Utara
Banyak kasus trafiking yang tidak terlaporkan atau tidak dapat diusut
merupakan keprihatinan terhadap penghormatan hak asasi manusia. Berbagai
faktor yang menjadi penyebab fenomena kasus trafiking yang dirasakan banyak
sekali oleh masyarakat tidak ditemukan atau sangat sedikit data yang tercatat.
Panjangnya proses hukum yang harus dilalui korban trafiking sehingga
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
menjadi alasan pilihan kasus trafiking terpaksa tidak dilaporkan. Proses
pengadilan ini dirasakan sebagai beban yang berat, karena biaya transport yang
harus dikeluarkan korban untuk memenuhi proses tersebut. Selain itu publikasi
yang dilakukan media terkadang melupakan kerahasiaan identitas korban,
sehingga ada kekhawatiran jika masalahnya dilaporkan kepada polisi maka akan
tercium oleh media dan akan dipublikasikan. Situasi ini dapat menempatkan
korban sebagai korban baru dari tindakan kekerasan psikis yang dilakukan oleh
media atau sanksi sosial yang diterima karena adanya pemberitaan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam tugas akhir ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana fenomena Tindak Pidana Perdagangan Orang yang terjadi di
Propinsi Sumatera Utara?
2. Bagaimana peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara
dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Sumatera Utara?
3. Bagaimana posisi Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera
Utara mengatasi hambatan dalam penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui :
1. Fenomena Tindak Perdagangan Orang yang terjadi di Propinsi Sumatera
2. Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara dalam
Tindak Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Sumatera Utara.
3. Posisi Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara mengatasi
hambatan dalam penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Manfaat Penulisan :
1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut
untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan
sumbangan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.
2. Secara patriarkis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh
gambaran tentang perkembangan perdagangan orang khususnya wanita
dan anak di propinsi Sumatera Utara.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan ini tentang “Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi
Sumatera Utara Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Sumatera
Utara”. Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan studi kasus sepanjang yang
diketahui belum dilakukan penulisan, oleh karena itu penulisan ini asli. Bila
ternyata skripsi yang sama dengan skripsi ini sebelum dibuat, penulis bertanggung
jawab sepenuhnya.
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak 1. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang
Definisi perdagangan perempuan dan anak yang tertuang dalam
Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang menyatakan :
“Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku
(trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan,
pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan,
penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan
anak, dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan,
penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika
seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan
hutang, dan lai-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan,
dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi
seksual (termasuk phaedopilia), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak,
pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri
pornografi, pengedaran obat terlarang dan penjualan organ tubuh serta
bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.”
Suatu langkah maju Pemerintah Propinsi Sumatera Utara telah
melahirkan suatu Peraturan Daerah Trafiking disahkan pada tanggal 6 Juli 2004,
oleh Gubernur Propinsi Sumatera Utara, T. Rizal Nurdin (alm) dan diundangkan
pada tanggal 26 Juli 2004.8
8
Chairul Bariah Mozasa, op.cit., hal. 48.
Dalam Pasal 1 huruf O Perdagangan (Trafiking)
Perempuan dan Anak adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah
dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan,
penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau
penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan
dan anak.
Pasal 1 huruf i UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau
memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.
Perdagangan manusia yang menonjol terjadi khususnya yang dikaitkan
dengan perempuan dan kegiatan industri seksual, baru mulai menjadi perhatian
masyarakat melalui media masa pada beberapa tahun terakhir ini, tentu saja sama
sekali hal ini tidak dapat disimpulkan bahwa sebelumnya fenomena ini tidak
terjadi. Komunitas internasional masih menenggarai adanya kegiatan setara dalam
bentuknya yang lebih “modern” yang kemudian dinamakan sebagai
bentuk-bentuk perbudakan kontemporer (comtemporary forms of slavery). Demikian
seriusnya masalah ini, sehingga PBB melalui Office of The high Commissioner of
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
Comtemporary forms of Slavery. Perilaku yang termasuk dalam kategori ini
adalah :9
a. Perdagangan anak-anak
b. Prostitusi anak
c. Pornografi anak
d. Eksploitasi pekeja anak
e. Mutilasi seksual terhadap anak perempuan
f. Pelibatan anak dalam konflik bersenjata
g. Perhambaan
h. Perdagangan manusia
i. Perdagangan organ tubuh manusia
j. Eksploitasi untuk pelacuran, dan
k. Sejumlah kegiatan di bawah rezim apartheid dan penjajahan
2. Ketentuan Pidana Dalam Beberapa Peraturan Perundang-undangan
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 296 menyatakan “Barangsiapa yang pencahariannya atau
kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan
cabul dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp 15.000,00“
Pasal 297 menyatakan “Memperniagakan perempuan dan
memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya
enam tahun.”
Pasal 298 menyatakan dalam ayat (1) “Pada waktu menjatuhkan hukuman
karena satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 281, 284-290 dan 292-297,
maka dapat dijatuhkan hukuman penjatuhan hak yang tersebut dalam pasal 35 No.
1-5.” Dan dalam ayat (2) dikatakan “Kalau sitersalah melakukan salah satu
kejahatan yang ditersangkakan dalam pasal 292-297 dalam pekerjaannya, dapat ia
dipecat dari pekerjaannya.”
b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 20 Bagian Kelima Hak Atas Kebebasan Pribadi menyatakan :
(1) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba
(2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita,
dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.
Pasal 65 menyatakan : “Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dan kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik,
psikotropika dan zat adiktif lainnya.”
c. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
Pasal 9 menyatakan “ Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana
dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
a) pembunuhan;
b) pemusnahan;
c) perbudakan;
d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f) penyiksaan;
g) perkosa, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan lain
yang setara;
h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik , ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin atau alasaan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional;
i) penghilangan orang secara paksa;
j) kejahatan apartheid.”
Pasal 38 menyatakan “Setiap orang yang melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana dengan pidaana penjara
Pasal 40 menyatakan “ Setiap orang yang melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h atau i dipidana dengan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.”
d. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pembentukan UU Perlindungan anak ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang
menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara perlindungan anak masa
depan. Penyelenggaraan perlindungan anak ini dilakukan berasaskan pada:10
1) Dasar Filosofis, Pancasila yang merupakan dasar kegiatan dalam berbagai
bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan berbegara dan
merupakan dasar filosofis dalam pelaksanaan penegakan perlindungan
anak di Indonesia;
2) Dasar Yuridis, Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan
perundang-undangan anak lainnya yang berlaku. Pnerapan dasar yuridis
ini harus secara integratif yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan
perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan;
3) Dasar Etis, Prinsip-prinsip Dasar Konvensi Hak-hak anak, pelaksanaan
perlindungan anak harus sesuai dengan etika dan potensi yang berkaitan
untuk mencegah pelaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan,
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
Didalam Undang-Undang Perlindungan anak ini disebutkan bahwa anak
wajib dilindungi dari perlakuan-perlakuan :
a) Diskriminasi yakni perlakuan membeda-bedakan jenis kelamin, ras,
agama, status hukum anak
b) Eksploitasi yakni tindakan memperalat ataupun memeras anak
c) Penelantaran yakni dengan sengaja mengabaikan perawatan dan
pengurusan anak
d) Kekejaman yakni tindakan yang keji, bengis, dan tidak menaruh belas
kasihan pada anak
e) Kekerasan dan penganiayaan yakni perbuatan mencederai, melukai anak
baik fisik, mental, dan sosial
f) Ketidakadilan yaitu kesewenang-wenangan terhadap anak
g) Perlakuan salah lainnya yakni perbuatan cabul terhadap anak
Pasal 78 menyebutkan : “Setiap orang yang mengetahui dan
sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas
dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak
yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban
perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59,
padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana
10
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Pasal 83 menyatakan “ Setiap orang yang memperdagangkan, menjual
atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”
Pasal 85 ayat (1) menyatakan “Setiap orang yang melakukan jual beli
organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah)”
e. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang
Undang-Undang No. 21 tahun 2007 merupakan produk hukum pemerintah
yang khusus mengatur pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Undang-undang ini sebagai alat negara untuk memberi upaya perlindungan hukum bagi
warganya dan untuk memberi hukuman yang setimpal bagi para pelaku trafiking.
Adapun unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang sebagai mana
termaktub dalam Undang-Unang Pmberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang atau yang disingkat dengan UUPTPPO Pasal 2 ayat (1) dan (2) adalah :
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang
melakukan tindak pidana perdagangan orang. Sedangkan yang
dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
b) Yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang;
Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan,
membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau
komunitasnya. Yang dimaksud dengan pengiriman adalah tindakan
memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke
tempat lain.
c) Dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasaan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain;
Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan
atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang
menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan
terampasnya kemerdekaan seseorang. Ancaman kekerasan adalah
setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan,
gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik atau dengan tanpa
kebebasan hakiki seseorang. Yang dimaksud dengan penjeratan utang
adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan
menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya
atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa
pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.
d) untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara
Republik Indonesia.
Adapun ruang lingkup berlakunya UUPTPPO sebagaimana tercantum
dari pasal-pasal yang ada dalam UUPTPPO adalah terhadap tindak pidana sebagai
berikut :
1. Tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan baik di wilayah
Indonesia maupun ke luar wilayah Indonesia diatur dalam
pasal-pasal UUPTPPO sebagai berikut :
a) Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang yang melakukan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh kendali atas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
b) Pasal 3 menyatakan "Setiap orang yang memasukkan orang ke
wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk
dieksploitasi di wilayah Republik Indonesia atau dieksploitasi di
negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
c) Pasal 4 menyatakan "Setiap orang yang membawa warga negara
Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan
maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik
Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
d) Pasal 5 menyatakan "Setiap orang yang melakukan pengangkatan
anak dengan menjanjikan atau memberikan sesuatu atau
memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
e) Pasal 6 menyatakan "Setiap orang yang melakukan pengiriman
anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang
mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
f) Pasal 7 ayat (1) menyatakan "Jika tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan
Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan
jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan
jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi
reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6". Dan dalam ayat (2) menyatakan
"Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
g) Pasal 8 ayat (1) menyatakan “Setiap penyelenggara negara yang
menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”. Dalam ayat 2 dinyatakan
“Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian
secara tidak dengan hormat dari jabatannya”. Pada ayat (3)
dikatakan “Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan”.
h) Pasal 9 menyatakan “Setiap orang yang berusaha menggerakkan
orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang,
dan tindak pidana itu terjadi, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 240.000.000,00 (dua ratus empat
puluh juta rupiah)”.
i) Pasal 10 menyatakan “Setiap orang yang membantu atau
melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6”.
j) Pasal 11 menyatakan “Setiap orang yang merencanakan atau
melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6”.
k) Pasal 12 menyatakan “Setiap orang yang menggunakan atau
memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan
cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya
dengan korban tindak pidana perdagangan orang,
mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk
meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari
hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal
4, Pasal 5, dan Pasal 6”.
l) Pasal 13 ayat (1) menyatakan “Tindak pidana perdagangan orang
dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas
nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak
dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama”. Dalam ayat (2) dinyatakan “Dalam hal tindak
pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan,
penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi
dan/atau pengurusnya”.
m) Pasal 14 menyatakan “Dalam hal panggilan terhadap korporasi,
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus
berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat
tinggal pengurus”.
n) Pasal 15 ayat (1) menyatakan “Dalam hal tindak pidana
perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.
Dalam ayat (2) dinyatakan “Selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa :
a. pencabutan izin usaha;
b. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c. pencabutan status badan hukum;
d. pemecatan pengurus; dan/atau
e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan
korporasi dalam bidang usaha yang sama”.
o) Pasal 16 menyatakan “Dalam hal tindak pidana perdagangan
orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap
pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang
terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama
p) Pasal 17 menyatakan “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak,
maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)”.
q) Pasal 18 menyatakan “Korban yang melakukan tindak pidana
karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang,
tidak dipidana”.
2. Tindak pidana lainnya yang dilakukan berkaitan dengan tindak
pidana perdagangan orang, seperti pemalsuan dokumen; kesaksian
palsu; penyerangan saksi dan/ataupun petugas; merintangi
berjalannya proses penegakan hukum; membantu pelaku tindak
pidana dalam pelarian; dan ataupun membocorkan informasi tentang
saksi. Pengaturan tersebut dapat dilihat pada pasal-pasal sebagai
berikut :
a. Pasal 19 menyatakan “Setiap orang yang memberikan atau
memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau
dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen
lain untuk mempermudah terjdinya tindak pidana perdagangan
orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah)”.
b. Pasal 20 menyatakan “Setiap orang yang memberikan kesaksian
palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 280.000.000,00 (dua ratus delapan
puluh juta rupiah)”.
c. Pasal 21 ayat (1) menyatakan “Setiap orang yang melakukan
penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan
dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)”. Dalam ayat (2) dinyatakan “Jika perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau
petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah). Dalam ayat 3 (tiga) dinyatakan “Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
saksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
d. Pasal 22 menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja
mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau
tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara
perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.
e. Pasal 23 menyatakan “Setiap orang yang membantu pelarian
pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan
pidana dengan :
a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta
kekayaan lainnya kepada pelaku;
b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;
c. menyembunyikan pelaku; atau
d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku,
e. dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.
f. Pasal 24 menyatakan “Setiap orang yang memberitahukan identitas
saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa
identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan dipidana
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
120.000.000,00 (seratus dua puluh juta) dan paling banyak Rp
280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah)”.
g. Pasal 25 menyatakan “Jika terpidana tidak mampu membayar
pidana denda maka terpidana dapat dijatuhi pidana pengganti
kurungan paling lama 1 (satu) tahun”.
h. Pasal 26 menyatakan “Persetujuan korban perdagangan orang tidak
menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang”.
i. Pasal 27 menyatakan “Pelaku tindak pidana perdagangan orang
kehilangan hak tagihnya atas utang atau perjanjian lainnya
terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya tersebut
digunakan untuk mengeksploitasi korban”.
Adapun sanksi pidana yang diatur dalam UUPTPPO pada dasarnya terbagi
atas 3 klasifikasi :
1) Pidana penjara
Pidana penjara yang diatur pada pasal-pasal yang bervariasi dari mulai
penjara selama 1 tahun hingga pidana seumur hidup sesuai dengan
pelanggaran pasal-pasal yang ada dalam UUPTPPO.
2) Pidana denda
Setiap pelanggaran terhadap pasal-pasal dalam UUPTPPO juga
dikenakan pidana denda yang jumlahnya mulai dari Rp 40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 15.000.000.000,00 (lima
belas milyar rupiah). Mengenai besar kecilnya denda yang diterima
3) Pidana tambahan
Di dalam UUPTPPO juga diatur suatu mekanisme pemberatan
hukuman yang dinyatakan sebagai pidana tambahan, dimana
pemberatan tersebut ditujukan bagi pelaku tindak pidana perdagangan
orang dengan kualifikasi sebagai berikut :
a. Bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang yang merupakan
pejabat pemerintah maka hukumannya ditambahkan dengan
sanksi pemberhentian secara tidak hormat (pemecatan), yang
diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UUPTPPO.
b. Bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang yang merupakan
suatu korporasi maka hukumannya selain pidana penjara dan
denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3
(tiga) kali dari pidana denda dan korporasi dapat dijatuhkan
pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, perampasan hasil
tindak pidana, pencabutan ststus badan hukum, pemecatan
pengurus, dan/atau pelarangan kepada pengurus tersebut untuk
mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama, yang diatur
dalam Pasal 15 ayat (2).
3. Dasar Hukum Pembentukan Biro Pemberdayaan Perempuan
Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara dibentuk
berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No. 2 Tahun 2001 tentang
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
Sumatera Utara yang termaktub dalam Bagian Keempatbelas Pasal 16. Dan
daalam Lembaran Daerah Propinsi Sumatera Utara No. 35 Tahun 2002 Keputusan
Gubernur Sumatera Utara No. 061.1-855.K/ Tahun 2002 tentang Tugas, Fungsi
dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Propinsi Sumatera Utara yang termaktub dalam Bab II bagian ketigabelas
pasal 64.
4. Kedudukan Biro Pemberdayaan Perempuan
Pasal 16 ayat (1) Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No. 2
Tahun 2001 tentang Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Propinsi Sumatera Utara menyebutkan Biro Pemberdayaan Perempuan
adalah unsur Staf Sekretariat Daerah, yang dipimpin oleh seorang Kepala Biro,
berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Sekretariat Daerah melalui
Asisten Pembinaan Hukum dan Sosial.
5. Tugas, Fungsi, Struktur Organisasi dan Visi serta Misi Biro
Pemberdayaan Perempuan
a. Tugas
Dalam Pasal 16 ayat (2) Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara
No. 2 Tahun 2001 tentang Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara menyatakan Biro Pemberdayaan
Daerah dalam rangka pemberdayaan perempuan, koordinasi dan pengendalian
atas pelaksanaannya.
b. Fungsi
Dalam Pasal 16 ayat (3) Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara
No. 2 Tahun 2001 tentang Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara dikatakan untuk melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, Biro Pemberdayaan Perempuan
menyelenggarakan fungsi-fungsi :
1) Menyiapkan konsep kebijakan Kepala Daerah dalam rangka
pemberdayaan perempuan yang meliputi peningkatan kemandirian, peran
dan perlindungan perempuan serta peningkatan peran masyarakat.
2) Melakukan koordinasi, kerjasama, monitoring dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan-kebijakan dalam Pemberdayaan Perempuan.
c. Struktur Organisasi
Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No. 2 Tahun 2001 tentang
Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi
Sumatera Utara dikatakan untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang dimaksud,
Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan dibantu oleh :
a. Bagian Program dan Umum, terdiri dari :
1) Sub Bagian Program dan Evaluasi
2) Sub Bagian Tata Usaha Biro
b. Bagian Peningkatan Peran Perempuan, terdiri dari :
1) Sub Bagian Sumber Daya dan Kemandirian
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
c. Bagian Peningkatan Peran Serta Masyarakat, terdiri dari :
1) Sub Bagian Kordinasi dan Kerjasama Pemberdayaan
2) Sub Bagian Peran Serta Masyarakat.
d. Visi
Pernyataan Visi adalah jawaban dari pertanyaan “Menjadi apa yang
diinginkan” (What do we want to become). Pernyataan visi juga memikirkan
tentang “Apa tugas atau misi dimasa datang” (What is our business or mission in
the future). Secara sederhana visi adalah gambaran tentang masa depan yang
realistis yang dipilih dan ingin diwujudkan dalam kurun waktu tertentu.
Berdasarkan batasan tersebut, visi Biro Pemberdayaan Perempuan
Setdapropsu selama 4 (empat) tahun kedepan atau sampai tahun 2009 adalah:
“Menjadi Penggerak Untuk Terwujudnya Kesadaran Aparat dan Publik Akan
Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam keluarga, Masyarakat dan Negara Tahun
2009.”
e. Misi
Untuk merealisasi Visi Biro Pemberdayaan Perempuan dan memberikan
gambaran yang jelas tentang usaha dan upaya yang harus dilakukan untuk
mencapai Visi tersebut maka dirumuskan misi Biro Pemberdayaan Perempuan
Setdapropsu, sebagai berikut :
1) Mengembangkan kapasitas kelembagaan Pengarusutamaan Gender
(capacity building).
2) Meningkatkan kesadaran aparat dan masyarakat (public awearness).
3) Membangun jaringan kerja pemberdayaan perempuan (networking
F. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan
dan menganalisis permasalahan yang bertujuan untuk mendeskriptifkan secara
konkrit tentang ruang lingkup perdagangan orang dan perkembangannya. Metode
deskriptif analitis adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk meneliti
sekelompok manusia, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu
peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk membuat
deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.11
2. Sumber Data
Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan normatif yaitu
penelitian dilakukan dengan cara lebih dahulu meneliti bahan-bahan perpustakaan
hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan pendekatan sosiologis yang
melihat kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Secara umum dalam penelitian yang dijadikan sebagai bahan dalam
pengolahan data, bersumber dari :12
a. Bahan hukum primer, yakni bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri
dari:
1) Norma atau kaedah dasar, yakni Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
11
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
2) Peraturan Dasar,
i. Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945
ii. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3) Peraturan Perundang-undangan:
i. Undang-Undang dan Peraturan yang setaraf;
ii. Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf;
iii. Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf;
iv. Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf;
v. Peraturan-peraturan daerah.
4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasi, seperti hukum adat,
5) Yurisprudensi,
6) Traktat,
7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku,
seperti misalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitan,
hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah
kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
Penelitian ini adapun yang menjadi bahan hukumnya adalah data sekunder
sedangkan sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari penelitian hukum
diperoleh dari penelitian lapangan yaitu dengan melalui wawancara pada Biro
Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara, korban serta LSM.
3. Analisis Data
Dalam penulisan skripsi ini segala data yang telah diperoleh oleh
penulis kemudian dianalisis secara analitis kualitif untuk menjawab segala
permasalahan di dalam skripsi ini, yang kemudian analisis analitis kualitif tersebut
akan membantu penulis membuat suatu kesimpulan yang benar. Analitis kualitatif
memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang
dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola
yang berlaku.13
Bab II : FENOMENA TERJADINYA TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG DI PROPINSI SUMATERA
UTARA yang menjelaskan tentang: Modus terjadinya Tindak
Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Sumatera Utara yaitu
dengan janji-janji indah dan kekerasan atau paksaan. Dan
G. Sistematika Penulisan
Bab I : PENDAHULUAN yang terdiri dari latar belakang, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika
penulisan serta gambaran singkat tentang isi skripsi.
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
mengenai Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang
yaitu penjualan anak dan bayi, penyelundupan manusia, migrasi
dengan tekanan, prostitusi anak perempuan dan laki-laki, kerja
paksa seks dan eksploitasi seks di luar maupun di wilayah
Indonesia, Pembantu Rumah Tangga baik di luar ataupun di
wilayah Indonesia, Penari, Penghibur dan Pertukaran Budaya,
Perbudakan berkedok pernikahan dan pengantin pesanan, Jermal
dan Perdagangan narkotika Internasional.
Bab III : PERAN BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PROPINSI
SUMATERA UTARA DALAM TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG DI PROPINSI SUMATERA
UTARA yang berisikan tentang Kedudukan dan Tugas Biro
Pemberdayaan Perempuan Dalam Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Produk Hukum yang diterbitkan Biro
Pemberdayaan Perempuan di Propinsi Sumatera Utara Tentang
Perdagangan Orang yaitu Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2004
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk bagi Anak, Peraturan Daerah No. 6 Tahun
2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan
dan Anak, dan Peraturan Gubernur No. 24 Tahun 2005 tentang
Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking)
Perempuan dan Anak, dan mengenai Program Biro
Pemberdayaan Perempuan Dalam Tindak Pidana Perdagangan
Upaya Reintgrasi Korban, Upaya Penanganan Kasus atau
Pelayanan Korban, Upaya Reintegrasi Korban, Upaya Penataan
Masa Depan Korban, dan Program Pembangunan
Pemberdayaan Perempuan.
Bab IV : UPAYA BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM
MENGATASI HAMBATAN PENANGANAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI PROPINSI
SUMATERA UTARA yang berisikan tentang Hambatan yang
dihadapi Biro Pemberdayaan Perempuan dalam menangani
tindak pidana perdagangan orang di propinsi Sumatera Utara dan
upaya dalam mengatasi hambatan yang dilakukan Biro
Pemberdayaan Perempuan dalam tindak pidana perdagangan
orang di propinsi Sumatera Utara.
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
BAB II
FENOMENA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
DI PROPINSI SUMATERA UTARA
A. Modus Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang di Propinsi
Sumatera Utara
Modus yang dikembangkan sindikat, para calo, dan orang-orang yang
terbiasa melakukan tindak kejahatan memperdagangkan orang (perempuan dan
anak) cenderung sangat beragam. Pola umum yang berlaku biasanya adalah bujuk
rayu dan tipu daya pada korban dan keluarganya. Para calo berhasil menipu
banyak perempuan yang tergiur dengan berbagai pekerjaan dengan janji gaji dan
pembayaran yang sangat memuaskan.14 Di tengah makin langkanya kesempatan
kerja yang tersedia di desa dan tekanan situasi krisis, memang tidak banyak
pilihan yang dapat dikembangkan perempuan dan penduduk miskin di desa.
Seorang calo yang sudah berpengalaman niscaya sudah tahu persis bagaimana
menghadapai orang-orang yang kehidupan sehari-harinya sengsara seperti
mereka. Para agen atau calo ini pada umumnya menawarkan bekerja dalam
kelompok yang terdiri dari 3-4 orang dan menyatu sebagai remaja yang sedang
bersenang-senang.15
Para pelaku dalam melakukan aksi tindak pidana perdagangan orang
menggunakan berbagai cara untuk merekrut korbannya baik itu dengan janji-janji
indah maupun dengan paksaan.
1. Dengan Janji – janji indah
Kasus - kasus perdagangan manusia dimana laki - laki dewasa menjadi
korbannya berkarasteristik korbannya merupakan para pencari kerja yang tertipu
oleh janji-janji indah dan giro pencari kerja.
Kasus penjualan remaja di Sumatera Utara, didapati adanya dua model
pola rekrutmen. Pertama, para anggota sindikat mendatangi desa-desa dan
menawarkan pekerjaan di restoran atau pabrik, sementara nantinya anak-anak
perempuan tersebut dijual ke lokasi prostitusi. Kedua, melakukan pendekatan
personal dan bujuk rayu para remaja yang berada di pusat-pusat perbelanjaan,
namun setelah itu mereka dijual. Setiap anak atau remaja yang dibawa ke tempat
penampungan dipaksa untuk menanggung biaya sendiri atau dinyatakan sebagi
hutang yang kadang tak terlunaskan meski mereka telah bekerja.16 Kasus yang
paling sering terjadi pada TKI dimana mereka mengalami baik pada saat pra
penempatan ( di dalam negeri) maupun pada masa penempatan (di luar negeri).
Keterlibatan aparat pada umumnya antara lain berkaitan dengan pembuatan akte
lahir atau identitas asli tapi palsu bagi si korban.17
1) Anak-anak yang dibujuk dan dirayu dengan diberi makanan atau
pakaian serta diajak pesiar oleh orang asing (bule). Modus operandi pemberian janji juga terlihat dalam kasus :
16
Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Perempuan di Indonesia, Lokakarya, Jakarta, hlm. 142
Berlian Evi Yenni Pakpahan : Peran Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Sumatera Utara Dalam Tindak
2) Anak-anak yang dibujuk dan dirayu serta dijanjikan menjadi anak
asuh oleh orang asing.
3) Janji kepada orang tua bahwa anaknya akan disekolahkan dan
dipelihara dengan baik.
4) Dijanjikan pekerjaan dan memperoleh gaji dan fasilitas yang menarik
5) Dijanjikan untuk bekerja sebagai pelayan toko atau restoran dengan
gaji pertama Rp 400.000,- / bulan namun bisa naik Rp 500.000,- /
bulan dalam 1 tahun. Rekrutmen dilakukan ke desa-desa oleh oknum
yang berpakaian rapi dengan dengan gelang dan kalung emas yang
besar-besar.
6) Dijanjikan bekerja sebagai TKW/ TKI.18
7) Ditawari dan dijanjikan kepada anak-anak untuk bekerja di restoran,
karaoke, rumah tangga dan hotel.
8) Para rekrutmen beroperasi di mall/ tempat hiburan lainnya,
mendatangi daerah pinggiran, informasi disampaikan secara berantai.
9) Menjanjikan pekerjaan tanpa harus melamar.
10) Anak yatim piatu pengungsi dijanjikan untuk memperoleh pekerjaan.
11) Para korban dijanjikan menjadi duta kesenian.
12) Menipu istrinya dengan menawarkan pekerjaan.
13) Dijanjikan untuk menjadi duta budaya atau budaya seni.
14) Adanya kotrak yang tidak jelas dan tidak diberikan copynya kepada
pekerja.
18