• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Penanggulangan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Anak Balita Melalui Analisis Faktor Determinan di Tiga Kecamatan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan Tahun 2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Strategi Penanggulangan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Anak Balita Melalui Analisis Faktor Determinan di Tiga Kecamatan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan Tahun 2006"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENANGGULANGAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK BALITA MELALUI ANALISIS FAKTOR

DETERMINAN DI TIGA KECAMATAN KABUPATEN OGAN ILIR

SUMATERA SELATAN TAHUN 2006

TESIS

oleh

SANTI ROSALINA 047023025/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

STRATEGI PENANGGULANGAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK BALITA MELALUI ANALISIS FAKTOR

DETERMINAN DI TIGA KECAMATAN KABUPATEN OGAN ILIR

SUMATERA SELATAN TAHUN 2006

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.Kes) Dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

Santi Rosalina 047023025/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : Strategi Penanggulangan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Anak Balita Melalui Analisis Faktor Determinan di Tiga Kecamatan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan Tahun 2006

Nama Mahasiswa : Santi Rosalina

Nomor Induk Mahasiswa : 047023025

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi : Administrasi Kesehatan Komunitas / Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Nerseri Barus, MPH)

Ketua

(dr. Willem Panjaitan, DTM&H) (Herman Yasin, SKM, M.Epid)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur SPs USU

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr.Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)

(4)

PERNYATAAN

STRATEGI PENANGGULANGAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK BALITA MELALUI ANALISIS FAKTOR

DETERMINAN DI TIGA KECAMATAN KABUPATEN OGAN ILIR

SUMATERA SELATAN TAHUN 2006

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2008

(5)

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Di Kabupaten Ogan Ilir, ISPA merupakan penyakit yang paling banyak diderita penduduk dari tujuh penyakit utama di puskesmas dengan proportional morbidity ratio 69,4%.

Untuk mengetahui faktor determinan terjadinya ISPA telah dilakukan penelitian dengan rancangan studi kasus kontrol pada anak balita dengan sampel 94 kasus dan 94 kontrol. Metode analisa data dengan cara analisis univariat, analisis bivariat dengan uji chi square dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda.

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor determinan : status gizi kurang (p = 0,000), ASI eksklusif (p = 0,000), berat badan lahir rendah (p = 0,000), adanya asap rokok (p = 0,000), adanya asap dapur (p = 0,000), hunian yang padat (p = 0,000), status imunisasi tidak lengkap (p = 0,000), makanan tambahan dini (p = 0,000) dengan kejadian ISPA, sedangkan pemberian vitamin A tidak berhubungan dengan ISPA (p = 0,559). Hasil analisis multivariat melalui uji regresi logistik ganda menunjukkan adanya pengaruh pemberian ASI eksklusif (p = 0,000; OR Adjusted = 9,7), berat badan lahir rendah (p = 0,000; OR Adjusted = 5,3), polusi asap dapur (p = 0,001; OR Adjusted = 4) dan status imunisasi tidak lengkap (p = 0,001; OR Adjusted = 4,6) terhadap kejadian ISPA sebesar 80,9%. Faktor determinan yang paling dominan mempengaruhi kejadian ISPA pada anak balita adalah tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan OR Adjusted 9,7.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka petugas kesehatan perlu menekankan pada ibu yang memiliki anak balita agar memberikan ASI eksklusif kepada bayinya hingga usia 6 bulan, menjaga kehamilan dan memperhatikan kebutuhan nutrisi selama kehamilan, memberikan imunisasi dasar bagi anaknya dengan lengkap, dan tidak membawa anak balitanya ke dapur saat memasak.

(6)

ABSTRACT

Acute Respiratory Tract Infection (Infeksi Saluran Pernapasan Akut - ISPA) is still a main health problem in Indonesia. In Ogan Ilir Distict, ISPA, is number one of seven leading causes of morbidity in puskesmas, where proportional morbidity ratio is 69,4%.

To find out the risk factor of ISPA, a case control study design was conducted towards children under five years, with sample size of 94 cases and 94 not cases as control group. The data obtained were analyzed through univariate, bivariate (chi square test), and multivariate (multiple logistic regression test) analysis.

The result of chi-square test shows that there are significant relationship between determinant factors: low nutrient status (p=0.000), exclusive breastfeeding (p=0.000), born weight lower (p=0.000), smoke from smoking (p=0.000), kitchen’s smoke (p=0.000), density population (p.000), uncompleted immunization status (p=0.000), early feeding supplement (p=0.000), with incidents of ISPA, while the consumption of Vitamin A has no relationship at all. The result of multivariate analysis through the multiple logistic regression shows there are influence of exclusive breastfeeding (p = 0.000; OR Adjusted = 9.7), born weight lower (p = 0.000; OR Adjusted = 5.3), smoke from the kitchen pollution (p = 0.001; OR Adjusted = 4) and uncompleted immunization status (p = 0.001; OR Adjusted = 4.6) and the incident of ISPA for 80.9%. The most dominant factor of determinant influences the incident of ISPA in the children under five years old is not exclusive breastfeeding with OR Adjusted = 9.7.

Based on the result of this study, health workers need to ensure the mothers keep exclusive breastfeeding their babies until they are six months old, provide their babies with complete basic immunization, keep their pregnancy period, ask some advice on the nutrient needed by their fetuses, and not to bring their babies to the kitchen when cooking.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Dalam membuat tesis, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada :

1. Ibu Prof.dr. Nerseri Barus, MPH, Bapak dr. Willem Panjaitan, DTM&H dan Bapak Herman Yasin, SKM,M.Epid selaku komisi pembimbing yang telah banyak membantu dalam penyusunan tesis ini dengan meluangkan waktu dan pikiran dengan penuh kesabaran.

2. Bapak Prof.dr.Chairuddin P.Lubis, DTM&H, SpAK(k) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof.Dr.Ir. T. Chairun Nisa B, Msc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr.Drs. Surya Utama, MS selaku Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak drg. H. Izwar Arfanni, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten Ogan Ilir beserta pimpinan dan staf puskesmas Tanjung Raja, Tanjung Batu dan Indralaya yang telah memberikan izin dan membantu penulis dalam melakukan penelitian.

(8)

7. Bapak Drs. H. Bustam Effendi, MM selaku Drektur Akademi Keperawatan Sapta Karya Palembang.

8. Semua pihak yang telah membantu proses penyusunan tesis hingga selesai. Akhirnya penulis menghaturkan kasih dan sayang kepada suami tercinta Ady Susanto dan anak-anak tersayang Sabrina Ramadhani Putri dan Ananta Aditya beserta keluarga besar khususnya kepada ayah, ibu, dan saudara-saudaraku (ayuk & kak heri, teteng, iin & sohibah, mira & nana, mawan & petti, ulik, ninit, didi, pipit, dan dedek), yang selalu memberikan semangat, dorongan dan doa serta kesetiaan yang tidak bisa penulis ucapkan dengan kata-kata, semoga Allah, SWT selalu memberikan rahmat-Nya kepada kita.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Neng sekeluarga, mangata & bik susi, mangcik, terutama ujuk yang sudah ikut ke Medan, terima kasih banyak kepada ayah, ibu dan adik-adik di kenten (ican & esy, yanti & dodi, ita), semoga Allah, SWT membalas semua kebaikan ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Medan, September 2008

(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Santi Rosalina

Tempat/tanggal lahir : Palembang, 22 Januari 1977

Alamat Kantor : Jl. Kompol. HM. Damsyik No. 1526 Palembang

Alamat Rumah : Jl. D.I. Panjaitan Lr. Perdana No. 4A Palembang.

Nama Suami : Ady Susanto

Nama Anak : 1. Sabrina Ramadhani Putri

2. Ananta Aditya

Riwayat Pendidikan :

1. SD Muhammadiyah III Plaju Tamat Tahun 1989 2. SMP Negeri No. 16 palembang Tamat Tahun 1992 3. SMA Negeri No. 4 Palembang Tamat Tahun 1995 4. AKPER PPNI Palembang Tamat Tahun 1998 5. D IV Perawat Pendidik USU Tamat Tahun 2003

Riwayat Pekerjaan :

(10)

DAFTAR ISI

No Halaman

ABSTRAK... v

ABSTRACT... vi

KATA PENGANTAR... vii

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ………...………. 1

1.2Perumusan Masalah ………...……….. 4

1.3Tujuan Penelitian ...………...…...……… . 5

1.4Hipotesis Penelitian ………...………….…………. 5

1.5Manfaat Penelitian ………...…….………... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut...…………...… 6

2.2 Epidemiologi ... ……….... 7

2.3 Arah dan Kebijakan P2ISPA ... 21

2.4 Kegiatan Pokok P2ISPA... ...23

2.5 Landasan Teori... .………... 32

2.6 Kerangka Konsep ………... 34

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ...………...35

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...………...….. 36

3.3 Populasi dan Sampel ………... 36

3.4 Metode Pengumpulan Data………... 38

3.5 Variabel dan Definisi Operasional …..………...…………... 40

3.6 Metode Pengukuran ……….41

(11)

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………. ... 44

4.2. Hasil Penelitian ……… 47

4.2.1. Analisis Univariat ………. 48

4.2.2. Analisis Bivariat……… 51

4.2.3. Analisis Multivariat………... 55

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Faktor Risiko Kejadian ISPA... 59

5.1.1 Status Gizi Anak Balita ………. 59

5.1.2 Status ASI Anak Balita ………. 60

5.1.3 Berat Badan Lahir ………. 61

5.1.4 Polusi Asap Rokok ……… 62

5.1.5 Polusi Asap Dapur ………. 63

5.1.6 Kepadatan Hunian ………. 64

5.1.7 Status Imunisasi Dasar ……….. 66

5.1.8 Vitamin A ……….. 67

5.1.9 Makanan Tambahan Dini ……….. 68

5.1.10Faktor Risiko Paling Dominan ……….. 69

5.2. Strategi Penanggulangan ISPA ... 79

5.3. Keterbatasan Penelitian... 85

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 87

6.2. Saran ... 88

(12)

DAFTAR TABEL

No Halaman

Tabel 3.1 Variabel dan definisi operasional ... 40 Tabel 3.2 Metode Pengukuran ... 41 Tabel 4.3 Distribusi penduduk, luas daerah, jumlah desa, kepadatan

Penduduk per kecamatan di Kabupaten Ogan Ilir ... 45 Tabel 4.4 Distribusi sumber daya manusia kesehatan di Kabupaten

Ogan Ilir ... 46 Tabel 4.5 Distribusi penyakit di Kabupaten Ogan Ilir ... 47 Tabel 4.6.Distribusi proporsi sampel berdasarkan karakteristik umur dan Jenis kelamin ... 48

Tabel 4.7 Distribusi proporsi kasus dan kontrol berdasarkan variabel

Independen, nilai P, OR dengan CI 95% ... 50 Tabel 4.8 Uji regresi logistik ganda untuk identifikasi variabel yang akan Masuk dalam model dengan P< 0,05... 56

Tabel 4.9 Hasil analisis multivariat regresi logistik ganda pemodelan

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Uji Validitas ... 92

2. Uji Reliabilitas ………...…………. 93

3. Instrumen Penelitian ……….. 94

4. Master Data Hasil Penelitian ………. 96

5. Hasil Analisis Bivariat ……….. . 111

(14)

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Di Kabupaten Ogan Ilir, ISPA merupakan penyakit yang paling banyak diderita penduduk dari tujuh penyakit utama di puskesmas dengan proportional morbidity ratio 69,4%.

Untuk mengetahui faktor determinan terjadinya ISPA telah dilakukan penelitian dengan rancangan studi kasus kontrol pada anak balita dengan sampel 94 kasus dan 94 kontrol. Metode analisa data dengan cara analisis univariat, analisis bivariat dengan uji chi square dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda.

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor determinan : status gizi kurang (p = 0,000), ASI eksklusif (p = 0,000), berat badan lahir rendah (p = 0,000), adanya asap rokok (p = 0,000), adanya asap dapur (p = 0,000), hunian yang padat (p = 0,000), status imunisasi tidak lengkap (p = 0,000), makanan tambahan dini (p = 0,000) dengan kejadian ISPA, sedangkan pemberian vitamin A tidak berhubungan dengan ISPA (p = 0,559). Hasil analisis multivariat melalui uji regresi logistik ganda menunjukkan adanya pengaruh pemberian ASI eksklusif (p = 0,000; OR Adjusted = 9,7), berat badan lahir rendah (p = 0,000; OR Adjusted = 5,3), polusi asap dapur (p = 0,001; OR Adjusted = 4) dan status imunisasi tidak lengkap (p = 0,001; OR Adjusted = 4,6) terhadap kejadian ISPA sebesar 80,9%. Faktor determinan yang paling dominan mempengaruhi kejadian ISPA pada anak balita adalah tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan OR Adjusted 9,7.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka petugas kesehatan perlu menekankan pada ibu yang memiliki anak balita agar memberikan ASI eksklusif kepada bayinya hingga usia 6 bulan, menjaga kehamilan dan memperhatikan kebutuhan nutrisi selama kehamilan, memberikan imunisasi dasar bagi anaknya dengan lengkap, dan tidak membawa anak balitanya ke dapur saat memasak.

(15)

ABSTRACT

Acute Respiratory Tract Infection (Infeksi Saluran Pernapasan Akut - ISPA) is still a main health problem in Indonesia. In Ogan Ilir Distict, ISPA, is number one of seven leading causes of morbidity in puskesmas, where proportional morbidity ratio is 69,4%.

To find out the risk factor of ISPA, a case control study design was conducted towards children under five years, with sample size of 94 cases and 94 not cases as control group. The data obtained were analyzed through univariate, bivariate (chi square test), and multivariate (multiple logistic regression test) analysis.

The result of chi-square test shows that there are significant relationship between determinant factors: low nutrient status (p=0.000), exclusive breastfeeding (p=0.000), born weight lower (p=0.000), smoke from smoking (p=0.000), kitchen’s smoke (p=0.000), density population (p.000), uncompleted immunization status (p=0.000), early feeding supplement (p=0.000), with incidents of ISPA, while the consumption of Vitamin A has no relationship at all. The result of multivariate analysis through the multiple logistic regression shows there are influence of exclusive breastfeeding (p = 0.000; OR Adjusted = 9.7), born weight lower (p = 0.000; OR Adjusted = 5.3), smoke from the kitchen pollution (p = 0.001; OR Adjusted = 4) and uncompleted immunization status (p = 0.001; OR Adjusted = 4.6) and the incident of ISPA for 80.9%. The most dominant factor of determinant influences the incident of ISPA in the children under five years old is not exclusive breastfeeding with OR Adjusted = 9.7.

Based on the result of this study, health workers need to ensure the mothers keep exclusive breastfeeding their babies until they are six months old, provide their babies with complete basic immunization, keep their pregnancy period, ask some advice on the nutrient needed by their fetuses, and not to bring their babies to the kitchen when cooking.

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan yang tercantum dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yaitu terciptanya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk untuk mewujudkan kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Agar tercapai tujuan tersebut perlu diupayakan kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Depkes RI, 2004).

Walaupun secara umum kemajuan di bidang kesehatan telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun masalah-masalah kesehatan yang dihadapi terasa makin kompleks. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Dalam satu tahun rata-rata seorang anak dipedesaan dapat terserang ISPA 3 kali, sedangkan didaerah perkotaan sampai 6 kali, jumlah ini 90% diantaranya ISPA Non pnemonia dan 10% pnemonia (Depkes RI, 1993).

(17)

akan ditemukan 250.000 kematian penderita pnemonia setiap tahunnya atau Case Fatality Rate (CFR) = 10% bila tidak diberikan pengobatan (Depkes RI., 2002)

Dalam tujuan khusus Program P2 ISPA yaitu turunnya angka kesakitan balita akibat pnemonia dari 10% - 20% pada tahun 2000 menjadi 8% - 16% pada akhir tahun 2004, begitu juga angka kematian dari 5 per 1000 balita pada tahun 2000 menjadi 3 per 1000 balita pada akhir tahun 2004 (Depkes RI, 2002).

Hasil konferensi Internasional mengenai ISPA di Canberra Australia pada Juli 1997, menemukan empat juta bayi dan balita di negara-negara berkembang meninggal tiap tahun akibat ISPA. Pada akhir 2000, kematian akibat pnemonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia mencapai 150 ribu bayi atau balita meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan, atau 416 kasus perhari, atau 17 anak perjam, atau seorang bayi tiap lima menit.

Pencemaran lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas buang sarana tansportasi dan polusi udara dalam rumah merupakan ancaman kesehatan terutama penyakit ISPA. Demikian pula perubahan iklim global terutama suhu, kelembaban udara, curah hujan, merupakan beban ganda dalam pemberantasan penyakit ISPA, maka salah satu upaya adalah dengan memperhatikan atau menanggulangi faktor resiko lingkungan (Depkes RI., 2002).

(18)

melalui kerja sama dengan program imunisasi, bina kesehatan balita, bina gizi masyarakat dan program penyehatan lingkungan pemukiman (Depkes RI., 2002).

Di Kabupaten Ogan Ilir penyakit-penyakit yang berbasis lingkungan masih cukup tinggi yaitu penyakit diare sebanyak 6850 kasus, penyakit DBD 12 kasus, malaria klinis 349 kasus dan penyakit ISPA sebanyak 17.037 kasus serta penyakit TB-Paru sebanyak 246 kasus pada tahun 2005. Tingginya kasus kejadian penyakit berbasis lingkungan disebabkan karena masih rendahnya sarana-sarana kesehatan lingkungan yang ada di Ogan Ilir misalnya, cakupan sarana air bersih 32,8%, rumah sehat sebesar 34,4%, tingkat kepadatan hunian dalam satu rumah hampir mencapai 70%, saluran pembuangan air limbah sebesar 21 %.

Masalah gizi utama yang dihadapi oleh Kabupaten Ogan Ilir sama dengan masalah gizi di kabupaten dan daerah-daerah lain di Indonesia yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), kurang vitamin A, masalah gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) serta masalah anemia zat besi terutama pada ibu hamil, masalah anemia pada ibu hamil ini dapat berakibat bayi yang dilahirkan berat badannya dibawah normal (BBLR) atau bayi lahir kurang bulan (prematur). Dilihat dari etiologinya status gizi penduduk dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang sangat kompleks seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, lingkungan alam maupun penduduk yang saling berkaitan antar satu dengan yang lainnya (Profil Kesehatan Ogan Ilir, 2006).

(19)

seluruh Puskesmas melakukan kegiatan PHBS karena kendala-kendala operasional yang ada di masing-masing Puskesmas. Dari hasil kegiatan diketahui bahwa seluruh wilayah Puskesmas mempunyai klasifikasi I (merah) dengan jumlah rumah tangga yang dipantau sebanyak 420 rumah tangga. Permasalahan PHBS di Kabupaten Ogan Ilir yaitu masalah Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), perilaku merokok, dan penggunaan jamban (Profil Kesehatan Ogan Ilir., 2006).

Rasio sarana kesehatan dasarpun belum mencukupi, dibandingkan dengan standar nasional dimana terdapat 1 puskesmas per 10.000 penduduk. Hal ini tentunya akan mempengaruhi luasnya cakupan pelayanan kepada masyarakat, terutama guna menurunkan angka kejadian penyakit infeksi seperti ISPA. Hingga saat ini Ogan Ilir memiliki 10 puskesmas, 27 puskesmas pembantu, 86 polindes, 2 balai pengobatan swasta, dan belum memiliki Rumah Sakit yang masih dalam proses pengusulan, karena memerlukan dana yang tidak sedikit bagi sebuah Kabupaten yang baru diresmikan pada 16 Desember 2003 (Profil Kesehatan Ogan Ilir, 2006).

Berdasarkan hal diatas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor determinan ISPA, yang dibutuhkan untuk menyusun strategi upaya penurunan kejadian ISPA.

1.2.Perumusan masalah

(20)

1.3.Tujuan Penelitian

Mengetahui keeratan hubungan faktor determinan (status gizi, ASI eksklusif, berat badan lahir, polusi asap rokok, polusi asap dapur, kepadatan hunian, imunisasi, vitamin A, dan makanan tambahan dini) dengan kejadian ISPA pada anak balita untuk menyusun strategi penanggulangan ISPA di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan tahun 2006.

1.4.Hipotesa Penelitian

Kepadatan hunian merupakan faktor determinan yang paling erat hubungannya dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada anak balita di Kabupaten Ogan Ilir tahun 2006.

1.5.Manfaat penelitian

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi saluran Pernapasan Akut

2.1.1. Pengertian ISPA

Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran pernapasan adalah organ dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksa seperti sinus-sinus, rongga telinga dan pleura. Istilah ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002).

(22)

2.2. Epidemiologi

2.2.1. Distribusi dan Frekwensi ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia dari bayi, anak-anak dan sampai orang tua. Menurut WHO 1981, bahwa satu dari tiga penyebab kematian anak dibawah lima tahun adalah ISPA dengan pneumonia sebesar 75% dari semua jumlah kematian. Data CBS-UNICEF juga mengungkapkan bahwa pneumonia menyebabkan 28% kematian anak di dunia (Zairil, 2000).

Penelitian yang dilakukan di Klaten tahun 1996 menemukan bahwa sebagian besar kasus ISPA terjadi pada kelompok umur 7 – 12 bulan (65,23%) dan sebagian besar kasus terjadi pada bayi laki-laki (73, 45 %). (Dewi, 1996).

ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun masyarakat masih awam dengan gangguan ini. Penderita cepat meninggal akibat pneumonia berat dan sering tidak tertolong. Lambatnya pertolongan ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang gangguan ini (DepKes RI., 2000).

2.2.2. Determinan ISPA

(23)

a. Bibit Penyakit (Agent)

ISPA disebabkan oleh berbagai infectious agent yang terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri, ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain, golongan Paramyksovirus termasuk didalamnya virus Influenza, Parainfluenza, dan virus campak, adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain.

Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang yang tersering sebagai penyebab pneumonia pada anak ialah Streptococcus pneumonia dan Haemofilus influenza. Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.

b. Pejamu (Host)

Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit, terutama faktor yang ada pada dirinya sendiri seperti :

1. Umur

Terjadinya ISPA terutama pneumonia pada bayi dan pada anak balita dipengaruhi oleh faktor usia anak. Bayi yang berumur kurang dari 2 bulan mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan anak umur 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI., 1996).

(24)

pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita pneumonia, semakin kecil resiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita yang berusia muda (Djaja S, 1999).

Insidens ISPA paling tinggi terdapat pada bayi dibawah satu tahun dan insidens menurun dengan bertambahnya umur (Kartasamita, 2000).

Hasil penelitian Sukar dkk (1996) didapatkan bahwa anak yang berumur 1-2 tahun lebih peka 5 kali terkena ISPA dibandingkan dengan umur 5 tahun.

2. Jenis Kelamin

Menurut buku pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita (1996), anak jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan (Depkes RI., 1996).

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa proporsi kasus ISPA-pneumonia menurut jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki 59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda.

(25)

3. Status Gizi

Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk ISPA menurut Martin yang dikutip oleh Djaja (1999), membuktikan adanya hubungan antara gizi buruk dengan infeksi paru sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa malnutrisi merupakan faktor resiko penting untuk ISPA. Anak yang menderita malnutrisi berat dan kronis lebih sering terkena ISPA dibandingkan anak dengan berat badan normal.

Anak balita yang mengkonsumsi makanan yang tidak cukup baik dapat mengakibatkan daya tahan tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit infeksi.

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa status gizi kurang pada anak balita mempunyai resiko untuk terkena ISPA 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang bergizi baik. Dalam penelitian ini proporsi anak yang bergizi kurang lebih banyak pada kasus (41,03%) dari pada pembanding (25,64%).

3. Berat Badan Lahir

(26)

cukup dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah. Penyakit anemia defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur (Sulistyowati (1999).

Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Menurut Thomson (1959) yang diikutip Pudjiadi (2000) membuktikan bahwa berat badan lahir bayi naik dan insiden BBLR menurun bila kandungan energi diet ibu bertambah.

Jika ibu hamil menderita anemia berat, resiko morbiditas maupun mortalitas bagi ibu dan bayinya meninggi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur lebih besar (Pudjiadi, 2000).

Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat lebih dari 2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. ISPA adalah penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi yang baru lahir dengan berat rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang beratnya diatas 2500 gram (Tuminah, S., 1999).

4. Status ASI dan Makanan Tambahan

(27)

Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi mulai diberikan makanan pendamping secara bertahap dan bervariasi, dari mulai bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat. Menyusukan bayi harus selalu dianjurkan bila bayi dan ibunya ada dalam keadaan sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang tidak memungkinkan untuk menyusukan, jika memungkinkan ASI diberi sampai 2 tahun (Roesli, 2001).

Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus. Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan (imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Penelitian di beberapa negara sedang berkembang menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi saluran pernapasan berat. Angka kematian kasus secara berarti lebih tinggi pada anak yang telah disapih daripada anak yang masih diberi ASI (Tuminah, S., 1999).

Menurut Roesli (2001) yang mengutip pendapat Cunningham dan Howwie (1990) bahwa kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2 – 6 kali lebih banyak pada bayi yang diberi susu formula daripada bayi yang mendapat ASI.

(28)

Bila ASI cukup bayi tidak perlu diberikan makanan tambahan dengan makanan lain sampai usia 4 bulan atau bahkan 6 bulan. Namun bila ternyata bayi menangis karena lapar, dapat diberikan makan tambahan sejak kira-kira umur 2 bulan. Sejak 2 bulan dapat diberikan buah-buahan (pisang) atau biskuit, sedangkan pemberian makanan lumat sampai lembek (bubur susu) pada usia 3-4 bulan sesuai keperluan bayi masing-masing. Bayi akan lapar dan menangis terus bila ASI kurang memuaskan. Untuk mengawasi pertumbuhan, bayi perlu ditimbang secara berkala. Pada bulan ke empat biasanya mulai pemberian makanan padat bayi yang pertama, yaitu makanan lumat misalnya; bubur susu yang dapat dibuat dari tepung, susu dan gula (Roesli, 2001).

5. Status Imunisasi

Imunisasi berarti memberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Setiap anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1 tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, polio, campak dan hepatitis B. (Roesli, 2001).

Imunisasi adalah cara untuk menimbulkan kekebalan terhadap berbagai penyakit. Anak yang belum pernah diimunisasi campak lebih berisiko terhadap terjadinya kematian karena pneumonia, terutama pada balita yang sedang menderita pneumonia (Djaja, S., 1999)

(29)

Menurut The World Health Report 2005, angka kematian balita di Indonesia sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup, penyebab utama kematian pada anak balita adalah penyakit infeksi saluran napasan akut, diare, penyakit yang ditularkan binatang dan penyakit-penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi .

UNICEF menyebutkan bahwa 27 juta anak balita dan 40 juta ibu hamil di seluruh dunia masih belum mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibat penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin ini diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta kematian tiap tahun, termasuk 1,4 juta anak balita yang meninggal karena tidak divaksin. Di Indonesia 2.400 anak meninggal setiap hari termasuk yang meninggal karena sebab-sebab yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin. Misalnya tuberculosis, pertusis, difteri dan tetanus (Francais, 2007).

Penelitian yang dilakukan Dewi dkk (1996), diketahui bahwa ketidakpatuhan imunisasi (imunisasi tidak lengkap) mempengaruhi berkembangnya ISPA pada anak balita. Jumlah anak pada penelitian ini yang imunisasi tidak lengkap pada kasus 10,25% dan kontrol 5,13%.

6. Vitamin A

Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan berbagai macam infeksi, namun asosiasi langsung antara kekurangan vitamin A dan infeksi tidak begitu jelas (Pudjiadi, 2000).

(30)

penelitian dilakukan untuk mengetahui efek suplementasi vitamin A terhadap morbiditas, mortalitas dan lamanya ISPA, akan tetapi hasilnya masih saling bertentangan (Zairil, 2000).

Sampai saat ini satu hal mengenai suplementasi vitamin A yang diterima secara luas yang juga direkomendasikan oleh WHO adalah untuk memberikan vitamin A pada penderita campak, didaerah dimana angka kematian akibat penyakit campak (CFR) lebih dari 1%.

Hasil penelitian prospektif yang pernah dilakukan menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada insiden dan derajat ISPA diantara anak yang mendapat vitamin A, juga tidak didapatkan perbedaan ISPA sebelum dan setelah pemberian vitamin A, hanya didapatkan lama ISPA agak lebih panjang pada anak yang tidak mendapat vitamin A (Kartasasmita, 2000).

c. Lingkungan (environment)

Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit. Secara garis besarnya lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial.

(31)

diasease karena salah satu penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan, maka udara secara epidemiologi mempunyai peranan yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan.

Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran udara dalam ruangan (indoor) adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat meliputi bagian atas saja dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis, tracheobronchitis, bronchitis dan pnemonia (Depkes RI, 1993).

Secara garis besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang / minyak tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan oleh ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya.

1. Asap Dalam Ruangan

Pencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas penghuninya, antara lain ; penggunaan bahan bakar biomasa untuk memasak maupun memanaskan ruangan, asap dari sumber penerangan yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok, penggunaan insektisida semprot maupun bakar. Disamping itu ditentukan juga oleh ventilasi, penggunaan bahan bangunan sintetis berupa cat dan asbes (Anwar, A., 1992).

(32)

biomasa untuk memasak (Charles dkk, 1996). Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang penuh asap sambil memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan ibu yang tidak membawa bayi/anak balitanya didapur (Sukar dkk., 1997).

Rumah dengan bahan bakar minyak tanah baik untuk memasak maupun sumber penerangan memberikan resiko terkena ISPA pada balita 3,8 kali lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar gas (Soesanto, dkk, 2000). Keadaan dapur yang penuh dan lembab juga merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pernapasan. (Charles, dkk.,1996)

Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan bakar kimia. Satu batang rokok dibakar akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, karbon monoksida, nitrogen oksida, hiydrogen cyanida, amoniak, acrolein, artcresor, peryline dan lain-lain. Secara umum bahan ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen padat atau partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Bila rokok dibakar maka asapnya akan berterbangan disekitar perokok. Asap yang berterbangan itu mengandung bahan yang berbahaya dan bila dihisap oleh orang yang berada disekitar si perokok, maka orang itu juga akan menghisap bahan kimia berbahaya didalam dirinya walau ia sendiri tidak merokok. Anak balita misalnya akan lebih berbahaya dibanding orang dewasa karena daya tahan tubuhnya masih rendah (Aditama, T.Y., 1996).

(33)

timbulnya infeksi saluran pernapasan akut dan gangguan fungsi paru-paru pada waktu dewasanya nanti.

Paparan asap rokok memperberat timbulnya ISPA, karena dari 1 batang rokok yang dinyalakan akan menghasilkan asap sampingan selama sekitar 10 menit, sementara asap utamanya hanya akan dikeluarkan pada waktu rokok itu dihisap dan biasanya hanya kurang dari 1 menit. Walaupun asap sampingan dikeluarkan dahulu ke udara bebas sebelum dihisap perokok pasif, tetapi karena kadar bahan berbahayanya lebih tinggi dari pada asap utamanya, maka perokok pasif tetap menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok orang sekitarnya (Aditama, T. Y., 1996). Di negara maju, anak-anak yang orang tuanya merokok dalam rumah didapatkan memiliki suatu peningkatan resiko bronkitis dan pnemonia jika dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak merokok (Tuminah, 1999).

2. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007).

(34)

dimaksud diatas diperlukan adanya ventilasi yang baik. Luas lubang ventilasi insidentil (dapat buka tutup) minimum 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya adalah 10% dari luas lantai ruangan (Sanropie, D., 1989).

Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan masalah ventilasi. Sebuah penelitian menunjukkan hubungan penyakit saluran pernapasan dengan kondisi ventilasi. Sebab itu kondisi ventilasi dapat dijadikan indikator rumah sehat (Achmadi, U.F., 1991).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (1996) diketahui bahwa rumah yang berventilasi buruk lebih banyak anggota keluarganya yang menderita ISPA dibandingkan dengan rumah yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan.

3. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian

Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya. Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus.

(35)

dengan terjadinya peningkatan bakteri patogen dengan kepadatan penghuni pada setiap keluarga. Dengan demikian kuman yang umumnya sebagai penyebab penyakit menular saluran pernapasan terdapat makin banyak, bila jumlah penghuni semakin banyak jumlahnya. Jadi ukuran rumah yang kecil dengan jumlah penghuni yang padat serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit melalui droplet kontak langsung (Poerno, K., 1983).

Demikian halnya dengan Achmadi (1991) yang melaporkan bahwa anak yang tinggal dirumah yang padat (<10 m2 / orang) akan mendapat resiko ISPA sebesar 1,75 kali dibandingkan anak yang tinggal dirumah yang tidak padat.

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3 m2 untuk setiap anggota keluarga (Notoatmodjo, 2007).

Untuk menilai kepadatan penghuni dalam rumah, konsep dari Fakultas Tehnik Universita Indonesia (FT UI) menggunakan luas rumah per penghuni, yang dibedakan dalam 5 kategori yaitu ≤ 3,9 m2 / orang, 4-5 m 2 / orang, 5-6,9 m2/ orang, 7-8 m2/ orang, dan ≥ 9 m2/ orang (FT UI., 1983).

4. Status Ekonomi dan Kependidikan

(36)

kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya status ekonominya rendah pula. Mereka sulit untuk menyerap informasi mengenai kesehatan dalam hal penularan dan cara pencegahannya. Pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak tahu cara untuk memilih makanan yang bergizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan (Soewasti, dkk., 1997).

Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor resiko yang meningkatkan kematian ISPA terutama pnemonia. Kekurangpahaman orang tua terhadap pnemonia juga menyebabkan keterlambatan mereka mambawa anak mereka yang sakit pada tenaga kesehatan. Mereka beranggapan bahwa bayi/anak balita mereka hanya menderita batuk-batuk biasa, yang sebenarnya merupakan tanda awal pnemonia. Orang tua hanya memberikan obat batuk tradisional yang tidak memecahkan masalah (Tuminah, S., 1999).

Dari hasil penelitian yang dilakukan Djaya (1999), ibu dengan pendidikan lebih tinggi akan lebih banyak membawakan anak berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati sendiri maupun berobat ke dukun ketika anaknya sakit.

2.3 Arah dan Kebijakan P2 ISPA

(37)

2.3.1. Kebijakan

Untuk mencapai tujuan program pemberatasan penyakit ISPA balita maka dirumuskan kebijakan sebagai berikut :

a. Melaksanakan promosi penanggulangan pnemonia balita sehingga masyarakat, mitra kerja terkait dan pengambil keputusan mendukung pelaksanaan penanggulangan pnemonia balita.

b. Melaksanakan penemuan penderita melalui saran kesehatan dasar (pelayanan kesehatan di desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan Sarana Rawat Jalan Rumah Sakit) dibantu oleh kegiatan Posyandu dan Kader Posyandu.

c. Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan deteksi dini, pengobatan yang tepat dan segera, pencegahan komplikasi dan rujukan ke sarana kesehatan yang lebih memadai.

d. Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pnemonia balita serta faktor resikonya termasuk faktor resiko lingkungan dan kependudukan.

2.3.2. Strategi

Rumusan umum strategi pemberantasan penyakit ISPA adalah sebagai berikut:

a. Promosi penanggulangan pnemonia balita melalui advokasi, bina suasana dan gerakan masyarakat.

(38)

balita, program bina gizi masarakat dan program penyehatan lingkungan pemukiman.

c. Peningkatan penemuan melalui upaya peningkatan prilaku masyarakat dalam pencaharian pengobatan yang tepat.

d. Melaksanakan tatalaksana kasus melalui pendekatan Manejemen Terpadu Balita sakit (MTBS) dan audit kasus untuk peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA. e. Peningkatan sistem surveilans ISPA melalui kegiatan surveilans rutin, autopsi

verbal dan pengembangan informasi kesehatan serta audit manejemen program.

2.4 Kegiatan Pokok P2 ISPA

Dalam mencapai sasaran dan tujuan pemberantasan penyakit ISPA, maka Strategi Pemberantasan Penyakit ISPA dijabarkan dalam 8 kegiatan pokok yaitu promosi penanggulangan pnemonia balita, kemitraan, peningkatan penemuan kasus, peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA, peningkatan kualitas sumber daya, surveilans ISPA, pemantauan dan evaluasi dan pengembangan program ISPA.

(39)

Secara rinci kegiatan pokok ISPA dijabarkan sebgai berikut:

2.4.1. Promosi Penanggulangan Pnemonia Balita

Promisi pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia mencakup kegiatan advokasi, bina suasana dan gerakan masyarakat. Tujuan yang diharapkan dari kegiatan promosi balita secara umum adalah meningkatnya pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam upaya dalam penanggulangan pnemonia balita. Sasaran promosi dalam P2 ISPA mencakup sasaran primer (ibu balita dan keluarganya), sasaran sekunder (petugas kesehatan dan petugas lintas program serta lintas sektor), dan sasaran tersier (pengambil keputusan). Pesan pokok, metode dan media yang digunakan sesuai dengan sasaran.

2.4.2. Kemitraan

Merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan program. Pembangunan kemitraan dalam program P2 ISPA diarahkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat, peran serta lintas program dan lintas sektor terkait serta peran pengambil keputusan termasuk penyandang dana. Dengan demikian pembangunan kemitraan diharapkan pendekatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA khususnya pnemonia dapat terlaksana secara terpadu dan kompherensif.

(40)

2.4.3. Peningkatan Penemuan dan Tatalaksana Kasus

Kegiatan ini merupakan kegiatan terpenting, karena keberhasilan upaya penurunan kematian pnemonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan upaya penemuan dan tatalaksana penderita ini.

Dalam kebijakan dan strategi Program P2 ISPA maka penemuan dan tatalaksana penderita ini dilaksanakan di rumah tangga dan masyarakat (keluarga, kader dan posyandu), di tingkat pelayanan kesehatan swasta (praktek dokter, poliklinik swasta, RS swasta). Dengan demikian yang melaksanakan kegiatan secara langsung adalah tenaga kesehatan di sarana-sarana kesehatan tersebut dan kader posyandu di masyarakat. Adapun prosedur penemuan dan tatalaksana penderita ISPA di masing-masing sarana/tingkatan mengacu pada tatalaksana standar yang ditetapkan.

Sedangkan tatalaksana kasus ISPA dilaksanakan melalui pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) disarana kesehatan dasar. Disamping itu perlu dilakukan audit kasus dalam upaya peningkatan kualitas tatalaksana kasus yang dilaksanakan dengan koordinasi tingkat kabupaten/kota.

2.4.4. Peningkatan Kualitas Sumber Daya

a. Sumber Daya Manusia (SDM)

(41)

kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilakukan di berbagai jenjang melalui kegiatan pelatihan, setiap pelatihan yang dilakukan perlu ditindaklanjuti dengan supervisi dan monitoring serta pembinaan di lapangan. Selanjutnya pelaksanaan pelatihan secara terpadu dengan program lain perlu dikembangkan, terutama pelatihan menyangkut aspek manajemen atau pengelola program P2 ISPA dilakukan pula melalui kegiatan magang, asistensi tatalaksana oleh dokter ahli, studi banding, seminar dan workshop sesuai dengan kebutuhan.

b. Logistik

Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan program P2 ISPA. Aspek logistik Pemberantasan Penyakit ISPA mencakup peralatan, bahan dan sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan. Sampai saat ini logistik kegiatan distandarisasi, dari logistik untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita dan logistik untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi. Untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita mencakup obat dan alat bantu hitung pernapasan (soundtimer). Untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi, logistik yang telah disediakan program meliputi media cetak dan elektronik.

2.4.5. Surveilans ISPA

(42)

dasar (baseline) dan data program yang lengkap dan akurat. Upaya dalam mendapatkan data atau informasi tersebut diatas dilakukan melalui kegiatan surveilans epidemiologi ISPA yang aktif dengan diferivikasi oleh survey atau penelitian yang sesuai.

Surveilans epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi yang dapat digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan program pemberantasan ISPA secara efektif dan efisien serta mampu mengantifikasi kecenderungan-kecenderungan yang bakal muncul. Data dan informasi dimaksud meliputi data dan informasi kesakitan dan kematian pnemonia, sumber penularan, faktor resiko yang berhubungan dengan pnemonia (faktor resiko lingkungan dan kependudukan) dan data yang berhubungan dengan kinerja program. Untuk itu mulai tahun 2002 dikembangkan kegiatan autopsi verbal kematian balita akibat pnemonia dan audit kasus pnemonia.

Dalam pelaksanaanya di lapangan, kegiatan surveilans dapat disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan setempat, baik mekanisme kerja maupun bentuk instrumennya. Namun demikian secara umum pelaksanaan surveilans Program P2 ISPA mengikuti langkah-langkah surveilans epidemiologi pada umumnya, sebagaimana diuraikan berikut:

a. Tujuan Surveilans ISPA

(43)

masyarakat beserta faktor resikonya dan informasi lain yang diperlukan bagi upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA secara efektif sehingga angka kesakitan dan kematian balita akibat pnemonia dapat diturunkan sesuai tujuan pemberantasan penyakit ISPA.

b. Kegiatan

1. Pengumpulan data

Data penyakit ISPA termasuk pnemonia balita dikumpulkan di sarana kesehatan tingkat pertama (rawat jalan rumah sakit, Puskesmas, Pustu dan Posyandu, serta pelayanan kesehatan swasta) dengan menggunakan formulir, kartu atau buku khusus. Selanjutnya kasus pnemonia dari sarana tersebut dilaporkan ke puskesmas yang menangani wilayah kerja dari sarana kesehatan yang bersangkutan, secara aktif (melaporkan sendiri) maupun pasif (puskesmas menjemput laporan dari sarana kesehatan di wilayah kerjanya) dengan menggunakan instrumen standar yang dibuat oleh puskesmas. Puskesmas selanjutnya meneruskan laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Untuk laporan kasus pnemonia dari rumah sakit, laporan langsung ke Dinas Kesehatan (Subdin P2M).

2. Pengolahan dan Analisa Data

(44)

3. Penyajian Data Umpan Balik

Sebagai bahan atau dasar bagi kepentingan pelaksanaan kegiatan atau perbaikan pelaksanaan kegiatan, hasil kerja survailans ISPA perlu disajikan dan disebarluaskan atau diumpanbalikan kepada pihak-pihak yang memerlukannya secara teratur, baik kalangan internal maupun eksternal.

4. Peningkatan Jaringan Informasi

Jaringan informasi antara Kabupaten/Kota, Provinsi dan pusat sangat diperlukan untuk membangun sistem informasi kesehatan yang handal sehingga mampu meningkatkan koordinasi dan keterpaduan pelaksanaannya pemberantasan penyakit ISPA antar berbagai jenjang dari mulai perencanaan sampai dengan evaluasi program.

2.4.6. Pemantauan dan Evaluasi

Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi).

a. Pemantauan

Pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA (monitoring) dimaksudkan untuk memantau secara teratur kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat diketahui apakah kegiatan program dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan digariskan oleh kebijaksanaan program.

(45)

Pemberantasan Penyakit ISPA, dan Pemantauan program P2M&PL di Kabupaten/kota.

b. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pencapaian hasil kegiatan telah memenuhi target yang diharapkan, mengidentifikasi masalah dan hambatan yang dihadapi serta menyusun langkah-langkah perbaikan selanjutnya termasuk perencanaan dan penganggaran. Kegiatan evaluasi dilaksanakan di berbagai jenjang administrasi kesehatan, baik ditingkat pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota.

2.4.7. Peningkatan Manajemen Program

Aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian terus ditingkatkan diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan,dan administrsi. Aspek manajemen tersebut diatas merupakan beban kerja terbesar untuk unit yang mengelola Pemberantasan Penyakit ISPA baik di tingkat pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kegiatan ini juga dilaksanakan di berbagai tingkat administrasi kesehatan.

(46)

Dalam meningkatkan manajemen pembiayaan, diupayakan penggalian potensi sumber biaya masyarakat, swasta, organisasi non pemerintah, dan lembaga-lembaga donor, mengingat kemampuan pemerintah dalam penyediaan biaya untuk program cukup terbatas. Pembiayaan dipusat terutama bersumber pada APBN dengan sumber dana tambahan dari sumber dana lain seperti dana kerjasama Pemerintah RI dengan organisasi internasional, dana bantuan pinjaman luar negeri.

Di provinsi pembiayaan terutama bersumber dari APBN dan Dana Alokasi Umum (DAU) provinsi disamping sumber dana lain. Begitu pula di tingkat Kabupaten/Kota sebagian besar masih bertumpu pada APBN disamping DAU Kabupaten/Kota, sedangkan potensi sumber dana dari masyarakat atau swasta belum teralokasi dengan baik. Untuk itu dalam mewujudkan pembiayaan program P2ISPA yang memadai di berbagai jenjang administrasi kesehatan, perlu diupayakan secara terus-menerus penggalian potensi sumber biaya non pemerintah.

2.4.8. Pengembangan Program

(47)

peningkatan manajemen dan sebagainya serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya seperti pertemuan kajian program, seminar, workshop dan sebagainya.

2.5Landasan Teori

Menurut John Gordon bahwa timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh adanya pengaruh faktor pejamu (host) dan lingkungan (Environment) yang digambarkan dengan model tuas (gambar 2.1.). Agent suatu penyakit meliputi agent biologis dan non-biologis, misalnya agent fisik, kimia. Faktor host adalah faktor-faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu terhadap faktor-faktor agent. Sedangkan faktor lingkungan adalah elemen-elemen ekstrinsik yang dapat mempengaruhi keterpaparan pejamu terhadap faktor agent.

Host Agent

Environment

Gambar 2.1. Neraca keseimbangan model terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit termasuk didalamnya “kejadian ISPA”.

Berdasarkan hasil penelitian di berbagai negara, termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah dilaporkan berbagai faktor resiko yang meningkatkan kejadian (morbiditas) ISPA yang akan dijelaskan berikut, yaitu:

a. Host (pejamu)

(48)

b. Agent (Infectious agent)

Faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus, dan parasit (infection agent)

c. Environment (lingkungan)

Faktor di luar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host yang terdiri dari lingkungan biologis, fisik dan sosial. Dalam penelitian ini yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi ; Bakteri, virus dan parasit (infectious agent), polusi udara (asap rokok dan dapur) dan kepadatan tempat tinggal.

Konsep di atas adalah suatu konsep yang dinamis, setiap perubahan dari ketiga lingkungan tersebut akan menyebabkan bertambah atau berkurangnya kejadian suatu penyakit. Untuk itu guna menurunkan kesakitan/kejadian ISPA. Maka dirumuskan suatu upaya pemberantasan penyakit dengan pendekatan terhadap faktor resiko yang berhubungan melalui kerjasama dengan program imunisasi, program bina kesehatan balita, program bina gizi masyarakat dan program penyehatan lingkungan pemukiman (Depkes RI., 2002).

(49)

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Determinan

Gambar.2.2. Kerangka konsep penelitian

Kerangka konsep penelitian pada gambar 2.2 terlihat bahwa ISPA pada anak balita dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam yaitu status gizi, status ASI dan berat badan lahir sedangkan faktor dari luar yaitu asap rokok, asap dapur, kepadatan hunian, status imunisasi, vitamin A dan makanan tambahan dini.

Faktor internal :

- Status Gizi - Status ASI - BBL

Faktor External:

- Asap Rokok - Asap Dapur - Kepadatan hunian - Status imunisasi - Vitamin A

- Pemberian makanan tambahan

Kasus Ispa

(50)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain studi kasus kelola (Case Control Study) yang menilai hubungan antara faktor risiko (paparan) dengan kejadian penyakit dengan cara membandingkan sekelompok orang berpenyakit (kasus) dan sekelompok orang tidak berpenyakit (kontrol).

Dalam penelitian studi kasus kelola dibuat alur penelitian sebagaimana terlihat pada gambar 3.1

Ket:

: Diteliti : Tidak diteliti

Faktor internal :

- Status Gizi - Status ASI - BBL

Faktor External:

- Asap Rokok - Asap Dapur - Kepadatan hunian - Status imunisasi - Vitamin A

- makanan tambahan Kasus

ISPA

Strategi Penanggulangan

(51)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Ogan Ilir, yaitu di Kecamatan Tanjung Raja, Indralaya,dan Tanjung Batu. Pemilihan lokasi ini didasarkan pertimbangan bahwa kecamatan tersebut memiliki rekam medis yang baik dan guna terpenuhinya jumlah sampel yang nantinya akan mempermudah dalam pengumpulan data primer dan sekunder. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan September 2006.

3.3.Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak balita (1-<5 tahun) yang tinggal di 3 kecamatan terpilih di Kabupaten Ogan Ilir tahun 2006.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah anak balita yang menderita ISPA dan tidak ISPA yang datang berobat ke puskesmas Tanjung Raja, puskesmas Tanjung Batu dan puskesmas Indralaya.

a. Kasus

(52)

b. Kontrol

Kontrol adalah anak balita (12 – 59 bulan) yang tidak menderita ISPA dari puskesmas yang sama dengan kasus, dengan karakteristik sama yaitu umur (batita 1 - <3 tahun, balita 3 - <5 tahun), dan jenis kelamin anak balita.

Yang menjadi responden adalah ibu yang memiliki anak balita dalam kasus dan kontrol.

3.3.3. Besar Sampel

Odds Rasio dari beberapa variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada penelitian terdahulu dan jumlah sampel. Pada penelitian Muluki (2003) dengan jumlah sampel 142 orang terdiri dari 71 kasus dan 71 kontrol.

1. Gizi kurang OR = 4 2. ASI eksklusif OR = 5,4 3. Polusi asap rokok OR = 7,1 4. Polusi asap dapur OR = 9,4 5. Kepadatan hunian OR = 2,25 6. Status imunisasi OR = 5,4 7. Makanan tambahan OR = 11

Perhitungan besar sampel dipakai rumus Lwanga and Lemeshow (1997) yaitu : P2 = P1/ [OR (1 – P1) + P1]

OR = [P1/(1 – P1)] / [P2/(1 – P2)] N = Z1-α/2 {1/[P1 (1 – P1)] + 1/[P2 (1 – P2)]}

(53)

Dengan menggunakan ketentuan :

P = 70% (Proporsi kepadatan hunian di Kabupaten Ogan Ilir) OR = 2 (penelitian Muluki, variabel kepadatan hunian)

Tingkat kemaknaan 95%, α = 0,05 Relative precision 50%

Maka besarnya sampel adalah 94 anak balita untuk kasus dan 94 anak balita untuk kontrol.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data Primer yaitu data yang diambil dari wawancara langsung dengan ibu yang mempunyai anak balita yang dijadikan responden dan berpedoman pada instrumen yang telah dipersiapkan.

3.4.2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari catatan dan laporan yang ada pada puskesmas dan laporan program P2M ISPA Kabupaten Ogan Ilir.

3.4.3. Pengumpulan data dikerjakan oleh peneliti dibantu 3 orang yang sebelumnya dilatih terlebih dahulu terutama tentang cara observasi, pengukuran dan wawancara yang baik, pemahaman isi kuesioner, dan cara mengisinya. Tenaga yang dipilih dan dilatih melaksanakan pengumpulan data pada masing-masing lokasi yang terpilih.

3.4.4. Pengujian Validitas

(54)

sehingga dapat disimpulkan bahwa semua pertanyaan dalam instrumen adalah valid. Nilai r terdapat dalam lampiran colom corrected item-total correlation.

3.4.5. Pengujian Reliabilitas

(55)

3.5 Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 3.1 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel Dependen Definisi Operasional

Kejadian ISPA Proses infeksi saluran pernapasan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, disertai adanya napas cepat ataupun tarikan diding dada bagian bawah kedalam

Variabel Independen Definisi Operasional

Status gizi anak balita Keadaan gizi anak balita saat sakit yang dilihat dari pengukuran Antropometrik berdasarkan BB/TB.

Status ASI Anak balita mendapatkan ASI eksklusif sejak lahir sampai umur 4 Bulan.

Berat badan lahir rendah

Berat badan anak balita pada waktu lahir sesuai yang tercatat pada status/KMS, dikatagorikan atas : <2500 gram dan ≥ 2500gram.

Polusi asap rokok Anggota keluarga yang merokok di rumah

Polusi asap dapur Menggunakan bahan bakar kayu/arang dan minyak tanah untuk memasak

Kepadatan hunian Kepadatan penghuni dalam rumah.

Status imunisasi dasar Pemberian imunisasi dasar pada balita yang tercatat pada status/KMS .

(BCG 1x : 0 – 1 bln, DPT 3x : 2 – 11 bln, Polio 3x : 2 – 11 bln, Campak 1x: 9 bln, Hepatitis B 3x: 0 – 9 bln)

Pemberian Vitamin A Pemberian Vitamin A pada Anak balita Makanan tambahan

dini

(56)

3.6 Metode Pengukuran

Tabel 3.2 Metode Pengukuran

Variabel Alat Ukur Hasil ukur Skala

Ukur

Kurus jika :<-2 SDs/d >-3SD

2. B a i k

Normal jika:>-2SD s/d 2SD

Nominal

Status ASI Kuisioner 1.Tidak mendapat: <4 Bulan

2. Mendapat : > 4 Bulan

Polusi Asap Dapur Kuisioner 1. Ya 2. Tidak

Nominal Kepadatan Hunian Kuisioner 1. Padat ;

Kepadatan ≤ 3,9 m2/org

(57)

3.7 Analisa Data

Data yang berhasil dikumpulkan dianalisis dengan mempergunakan program komputer :

3.7.1. Analisis Univariat

Analisis data dilakukan pada semua variabel untuk mendeskripsikan tiap variabel yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu faktor determinan dari kejadian ISPA.

3.7.2. Analisis Bivariat

Analisa Bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat, yang dilakukan secara statistik dengan menggunakan uji Chi-square pada tingkat kemaknaan 95% (α= 0,05).

3.7.3. Analisis multivariat.

Analisis Multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama hubungannya dengan kejadian ISPA. Sekaligus variabel yang mempunyai kemaknaan stastistik pada analisis bivariat, diuji melalui analisis regresi logistik ganda. Untuk melakukan analisis regresi logistik ini menggunakan rumus :

Y = B0 + B1X1 + ...+ BpXp = Bo + B1X1

Adapun tahapan analisis multivariat sebagai berikut :

(58)

b. Melakukan pemilihan variabel yang potensial untuk dimasukkan dalam model. Variabel yang dipilih atau dianggap signifikan adalah variabel yang mempunyai nilai p kurang dari 0,25 (p<0.25).

(59)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Geografi dan Demografi

Posisi Ogan Ilir secara geografi sangat strategis, merupakan penyangga atau daerah perlintasan perdagangan, perindustrian, dan pendidikan. Wilayah Kabupaten Ogan Ilir berbatasan secara langsung dengan Kota Palembang disebelah utara, Kecamatan Peninjauan Kabupaten Ogan Komering Ulu di sebelah selatan, di sebelah barat Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Banyuasin, dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dan Kabupaten Banyuasin. Luas wilayah Ogan Ilir adalah 2.666,07 km2 dan terbagi dalam 6 kecamatan.

Kabupaten Ogan Ilir merupakan daerah yang mempunyai iklim tropis basah (Type B) dengan suhu udara berkisar 230 C sampai 320 C. Wilayah bagian utara merupakan hamparan dataran rendah berawa yang sangat luas sehingga berdampak pada kendala transportasi dan komunikasi terhadap keterjangkauan upaya pelayanan kesehatan.

(60)

Tabel 4.3 Distribusi Penduduk, Luas Daerah, Jumlah Desa, Kepadatan penduduk Per Kecamatan di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2006

No Kecamatan Jumlah Sumber : Dinas kesehatan Kabupaten Ogan Ilir 2006

Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah sebagai tani, nelayan (penggarap, penangkap dan penyewa) yaitu sebesar 61%, diikuti oleh penduduk bergerak di bidang jasa yaitu sebesar 12%, pekerjaan PNS dan lain-lain sebesar 11%, sebagai pedagang sebesar 10%, serta bergerak pada bidang kerajinan industri kecil sebanyak 6%.

4.1.2. Fasilitas Kesehatan

(61)

Dari segi pemanfaatan pelayanan kesehatan, puskesmas merupakan sarana yang paling banyak dikunjungi dengan persentase sebesar 57,71% dari total jumlah penduduk. Jika dibandingkan dengan target indikator Indonesia Sehat 2010 ataupun indikator Sumsel sehat 2008 yaitu sebesar 15%, kabupaten Ogan Ilir telah melampaui target minimal, artinya masyarakat telah memanfaatkan puskesmas, namun di sisi lain berarti tingkat kesakitan di kabupaten ini tergolong tinggi.

Jumlah tenaga kesehatan di kabupaten Ogan Ilir hingga saat ini terus bertambah, akan tetapi penyebarannya masih belum merata karena sebagian besar dari mereka lebih banyak yang bertugas di puskesmas yang berlokasi di kecamatan atau pinggiran kota kabupaten dan propinsi. Sebagian besar puskesmas yang berada di pinggiran sungai atau daerah yang terpencil memiliki tenaga kesehatan dengan jumlah dan latar belakang pendidikan yang minim. Penyebaran sumber daya manusia kesehatan di kabupaten Ogan Ilir dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Distribusi Sumber Daya Manusia Kesehatan di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2006

No Kecamatan Dokter Perawat Bidan Ahli

Gizi

(62)

Kasus penyakit di Kabupaten Ogan Ilir masih merupakan beban ganda (Triple burden) antara lain penyakit klasik seperti ISPA , diare, DBD, TBC dan seterusnya dapat dilihat pada tabel 4.5 dibawah ini.

Tabel 4.5 Distribusi Penyakit yang diamati Puskesmas di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2006 Sumber : Dinas kesehatan Kabupaten Ogan Ilir 2006

4.2. Hasil Penelitian

(63)

4.2.1. Analisis Univariat

Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh anak balita (1-<5 tahun) yang tinggal di 3 kecamatan terpilih di Kabupaten Ogan Ilir tahun 2006.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 188 anak balita yang menjadi sampel dalam penelitian ini 98 anak balita berada dalam kelompok usia batita (1 – <3 tahun) yaitu 49 kasus dan 49 kontrol. Kelompok usia 3 – <5 tahun sebesar 90 anak balita yaitu pada kasus 45 balita dan kontrol 45 balita, yang dapat dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Distribusi Proporsi Sampel Berdasarkan Karakteristik Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2006

Kasus Kontrol

(64)

69 rumah, rumah dengan penghuni yang padat 76 rumah, status imunisasi tidak lengkap sebanyak 67 anak balita, yang tidak mendapatkan vitamin A sebanyak 51 anak balita, dan telah mendapatkan makanan dini sebanyak 79 anak balita.

(65)

Tabel 4.7. Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Variabel Independen, Nilai p, Odds Rasio dengan 95% Confidence Interval pada anak balita di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2006

Kasus Kontrol

7. Status Imunisasi

Tidak Lengkap

8. Pemberian vitamin A

Tidak Ada

9. Makanan Tambahan

(66)

4.2.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan tes kemaknaan Chi-Square pada derajat kepercayaan 95%, apabila hasil perhitungan statistik mempunyai nilai p<0,05 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara variabel independen dan variablel dependen dengan hasil terlihat pada tabel 4.5.

a. Hubungan status gizi dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut

Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000 artinya terdapat hubungan yang bermakna status gizi dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut yaitu anak balita yang status gizinya kurang secara bermakna proporsinya lebih tinggi pada kasus (73,4%) dibandingkan dengan kontrol (29,8%). Nilai OR=6,506 (CI 95%: 3,444 -12,291, menunjukkan bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan 6,5 kali status gizinya kurang dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95% diyakini nilai OR berada pada interval 3,444 – 12,291.

b. Hubungan status ASI dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut

(67)

mendapat ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95% diyakini nilai OR berada pada interval 6,852 – 27,865.

c. Hubungan berat badan lahir dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000, artinya terdapat hubungan yang bermakna berat badan lahir dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut yaitu proporsi anak balita yang berat badan lahirnya rendah secara bermakna lebih tinggi pada kasus (56,3%)dibandingkan dengan kontrol (24,4%). Nilai OR=3,990 (CI 95%: 2,142 – 7,435), menunjukkan bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan besar 3,9 kali berat badan lahirnya kurang dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95% diyakini nilai OR berada pada interval 2,142 – 7,435.

d. Hubungan polusi asap rokok dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut

(68)

dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95% diyakini nilai OR berada pada interval 6,885 – 29,205.

e. Hubungan polusi asap dapur dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000, artinya polusi asap dapur berhubungan secara bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut yaitu anak balita yang terpapar asap dapur secara bermakna proporsinya lebih tinggi pada kasus (73,4%) dibandingkan dengan kontrol (31,9%). Nilai OR= 5,888 (CI 95%: 3,135 – 11,060), menunjukkan bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan besar 5,9 kali terpapar polusi asap dapur dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95% diyakini nilai OR berada pada interval 3,135 – 11,060.

f. Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut

Gambar

Gambar.2.2.  Kerangka konsep penelitian
Tabel 4.3 Distribusi Penduduk, Luas Daerah, Jumlah Desa, Kepadatan penduduk Per Kecamatan di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2006
Tabel 4.4 Distribusi Sumber Daya Manusia Kesehatan di Kabupaten Ogan
Tabel 4.5   Distribusi Penyakit yang diamati  Puskesmas di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2006
+5

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1)Untuk mengetahui kemampuan berbicara anak usia dini pada kelasyang menggunakan kegiatan sosiodrama usia 5-6 tahun.

Secara keseluruhan terjadi peningkatan serapan logam pada tanaman akibat perlakuan setelah prosentase pemberian campuran lumpur lapindo diturunkan. Ini dikarenakan

Tidak adanya sanksi yang tegas dari pihak UPT Pengelolaan Pasar Keramat maupun dari Dinas Perdagangan ataupun dari pihak pemerintah daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah

Analisis sebaran dan luaran sawah yag terkena banjir melalui penggabugan data hasil pengolahan identifikasi banjir menggunakan metode change detection dan

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa nilai Fhitung 9.475 &gt; Ftabel 2,78 dan nilai signifikan sebesar 0,000&gt; 0,05 , dengan demikian Ho diterima, hal

berpengaruh positif signifikan secara langsung terhadap faktor penghindaran hukum maupun kesempatan, dan berpengaruh tidak langsung terhadap

Maka dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar- besarnya kepada : Kedua orang tua ( Ayahanda M.Sitanggang dan Ibunda R.Silitonga