SUATU KAJIAN DAN ANALISIS GENDER
Harmona Daulay
Abstract: woman’s problems as a gender issue have become an actual issue in this decade. Complaining about the equality of gender is regulated in Inpres No.9/2000. It emphasizes the gender problems with focus in women empowerment and has been a National issue. This passage expresses a description about women who work in manufacture industries. The relevance between the regulation and gender mainstream is an expression about woman’s problem mapping which becomes gender in equality in industry scope. As we know, most manufacture industries use the women called blue color workers as the main workers in production processes. The main role is still followed by some exploitative problems and gender inequality between male and female. The reality is all about minimum wage, subordination, stereotype, violence and sexual harassment, etc. it has become bad face in industries which have women as their workers. The mapping of this problem is supported by the fact from relevant research result and relevant concept. The conclusion of this patriarchy system which gives stereotype in women as feminine creatures correlates very much with social values and empirical condition which become gender inequality in industries. We really need the gender mainstream as a relevant solution to solve this problem.
Keywords: woman worker, industry, and gender PENDAHULUAN
Isu pemberdayaan perempuan dan keberpihakan pada permasalahan perempuan menjadi suatu isu yang aktual dalam dekade ini, banyak permasalahan perempuan yang dikritisi secara faktual. Pembicaraan permasalahan perempuan dari tingkat dunia, nasional, dan lokal memberikan suatu kesimpulan, di mana masih sangat diperlukannya suatu gerakan kesadaran pemberdayaan perempuan. Respons secara relasional pun, di mana perempuan tidak bisa berjuang dan hanya menata diri sendiri tetapi memerlukan peran gender laki-laki melahirkan isu gender. Isu gender di Indonesia termaktub dalam Inpres No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional. Konsep ini adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, bertujuan mempersempit dan bahkan meniadakan kesenjangan gender. Harapan ini tentu saja sangat ideal.
Salah satu perkembangan perempuan dewasa ini adalah masuknya perempuan di dunia kerja. Isu-isu di dunia kerja menjadi isu tersendiri. Perempuan berpendidikan terbatas memasuki pekerjan di pabrik atau sektor informal lainnya. Dalam tulisan ini isu permasalahan perempuan ingin menjelaskan permasalahan perempuan yang bekerja di
industri manufaktur. Perkembangan industri sebagaimana kita ketahui banyak sekali menyerap tenaga kerja perempuan. Hasil temuan Setjen DPA (Bernas, 2 Agustus 1997) menjelaskan bahwa kondisi pekerja pabrik di Indonesia pada umumnya buruk. Mereka bukan hanya menerima perlakuan tidak adil dalam hal upah dan fasilitas kerja, tetapi juga tidak memperoleh perlindungan yang seharusnya sebagaimana diamanatkan undang-undang. Bergerak dari kondisi tersebut bagaimanakah gambaran buruh perempuan di industri manufaktur berdasarkan perspektif gender.
Sri a reproduksi, diskriminasi, pelecehan seksual, dan lain-lain.
Pembicaraan mengenai kondisi buruh perempuan selama ini memang diarahkan kepada kondisi upah mereka yang cukup rendah dibandingkan buruh laki-laki ataupun buruh perempuan di negara lain. Hal ini dapat kita lihat pada data upah buruh perempuan yang relatif pada kondisi upah yang rendah yang dilihat dari data tingkat daya beli buruh perempuan di Indonesia dibandingkan dengan kondisi daya beli buruh perempuan yang ada di Asia.
Pada Tabel I memperlihatkan betapa lemahnya daya beli buruh perempuan di Indonesia. Untuk membeli kebutuhan makanan sehari-hari, kebutuhan akan beras 1 kg pada tahun 1994, buruh perempuan harus bekerja selama 221 menit atau 3,5 jam lebih. Sementara kalau kita bandingkan dengan buruh Filipina dan Hongkong mereka hanya memerlukan waktu 55 menit saja atau tidak sampai satu jam bekerja. Hal ini terlihat pula pada pembelian makanan murah, buruh perempuan di Indonesia harus bekerja selama 312 menit sementara buruh perempuan Thailand hanya 23 menit. Hal ini berarti buruh perempuan di Indonesia harus bekerja lebih keras dari buruh perempuan di Thailand karena kalau mau menyamakan dengan kondisi di Thailand mereka harus bekerja hampir 17 kali lipat dari buruh perempuan di Thailand.
Apakah penyebab dari rendahnya upah yang berkorelasi dengan melemahnya daya beli buruh perempuan ini semata-mata sebagai suatu alasan atau pertimbangan ekonomis semata dari perputaran arus modal pada sistem kapitalisme. Atau apakah hal ini merupakan refleksi dari permasalahan sosial budaya yang masih belum melihat kesejajaran antara laki-laki dan perempuan yang berkorelasi pada analisis kesetaraan gender.
Bila kita mencermati permasalahan buruh perempuan ini, maka dapat kita berikan
analisis bahwa buruh perempuan merupakan kelompok yang memperoleh dampak dari sistem dominasi di dalam lingkaran budaya kita. Hal ini dapat kita lihat di dalam pabrik mereka mendapat dominasi dari majikan, sebagai isteri mereka mendapat dominasi dari suami. Sebagai anak perempuan mereka mendapat dominasi dari bapak. Sebagai perempuan mereka mendapat dominasi dari laki-laki. Dari sini sangat kelihatan bahwa masih timpangnya nilai sosial budaya yang berlabel budaya patriarkhi. Melihat keseimbangan hubungan laki-laki dan perempuan yang akhirnya berekses negatif pada kondisi buruh perempuan di pabrik, terutama industri manufaktur yang kebanyakan mempekerjakan perempuan. Dari kondisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa posisi buruh perempuan tidak sama dengan buruh laki-laki walaupun mereka sama-sama mempunyai status sama yaitu sebagai buruh.
[image:2.595.70.515.620.726.2]Bila kita merujuk pada perjalanan sejarah dominasi yang diciptakan sistem budaya patriarkhi dan dihubungkan dengan fenomena buruh perempuan di pabrik, maka dapat kita cermati bahwa berdasarkan kondisi objektif, buruh perempuan mengenyam status subordinasi berganda. Di satu pihak mereka bersama buruh laki-laki adalah bagian dari alat produksi yang berfungsi sebagai penghasil produksi. Di lain pihak buruh perempuan mengalami penindasan berganda akibat status gendernya perempuan. Diantaranya karena mitos dan streotipe yang diciptakan untuk mereka. Buruh perempuan dicitrakan sebagai buruh ideal yang terampil, rajin, teliti, dan patuh serta bersedia dibayar murah. Di samping itu buruh perempuan dianggap berbahagia dengan kesempatan kerja yang diperolehnya, sehingga mereka menjadi buruh yang paling mudah diatur dan tidak banyak menuntut. Citra semacam ini sudah menjadi mitos yang dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengakumulasi modal. (Tjandraningsih, 1997: 253).
Tabel 1. Daya Beli Buruh Perempuan Dibanding dengan Pekerjaan per Menit
Kebutuhan Indonesia
1981
Indonesia
1994
Lank Malaysia Thailand Filipina Hongkong
Beras/kg 258 221 135 105 55 60 55
Telur 45 70 29 14 10 20 5
Coca cola
300 ml 240 305 84 45 23 27 11
Makanan
murah 240 312 84 45 23 27 15
Sumber: Juni Thamrin, 1993 Seperti dikutip dalam Pergulatan Hidup Buruh Perempuan, diterbitkan Yasanti, 1998.
Berkenaan dengan masalah di atas maka yang akan menjadi persoalan di dalam pembahasan di tulisan ini adalah bagaimana kondisi buruh perempuan di industri manufaktur yang akan di lihat dari analisis dan kajian sensitif gender disebabkan banyaknya kondisi di pabrik yang berhubungan dengan persoalan ketidakadilan gender.
PEMBAHASAN
Sejalan dengan uraian di atas bahwa buruknya persoalan dan kondisi buruh perempuan disebabkan adanya suatu ketidakadilan gender. Gender adalah bangunan sosio kultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminim. Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin, laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (More, 1988). Jenis kelamin laki-laki dan perempuan sering dilekatkan pada gender maskulin dan feminim, namun kaitan antara jenis kelamin dan gender bukanlah merupakan korelasi yang absolut. Konsep gender sangat berhubungan dengan definisi suatu budaya tertentu. Dengan kata lain ciri maskulin dan feminim sangat bergantung kepada penafsiran dan kesepakatan sosial dari suatu konteks sosial budaya tertentu.
Apakah gender ini menjadi suatu permasalahan yang mendasar yang harus di cermati? Sebenarnya konsep gender pada hakikatnya adalah menyangkut pembagian hak dan tugas antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ini tidak akan menjadi polemik selama tidak menghasilkan kondisi ketidakadilan gender.
Mansour Fakih (1996) mengklasifikasikan ketidakadilan gender yang
termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan gender yaitu:
1. Marginalisasi dan proses pemiskinan ekonomi
2. Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik
3. Streotip atau pelabelan negatif 4. Kekerasan
5. Beban kerja di rumah tangga
Berdasarkan analisisis ketidakadilan gender yang termanifestasi pada 5 kondisi di atas, bagaimana persoalan ketidakadilan gender pada konteks industri dengan kondisi buruh perempuan di pabrik industri manufaktur. Bagaimana pula kondisi pabrik sebagai sektor publik yang mempunyai
perbedaan nilai yang berbeda dengan sektor domestik di rumah tangga.
Satu hal lagi mengapa pembahasan ini difokuskan kepada pabrik-pabrik industri manufaktur, hal ini disebabkan kondisi buruh di sektor manufaktur di dominasi oleh buruh perempuan dan secara faktual telah terjadi feminisasi di sektor industri manufaktur. Usia yang relatif muda dan berstatus muda dan lajang merupakan status yang dominan dari buruh perempuan di pabrik-pabrik industri manufaktur yang memproduksi garmen, barang elektronik, sepatu sampai komponen ekspor lainnya. Kondisi ini memperlihatkan fenomena preferensi industri manufaktur terhadap buruh perempuan yang dikerahkan untuk menjalankan produksinya. Secara perhitungan ekonomis perusahaan memiliki buruh-buruh perempuan yang muda dan lajang dengan asumsi bahwa usia mereka akan produktif dan secara status mereka tidak mem-punyai beban domestik. Bila kita ingin melihat kondisi fakta maka kita dapat melihat pada industri di kota Bandung, di mana kesem-patan kerja di tingkat produksi diprioritaskan kepada gadis-gadis muda. Perusahaan menyisakan jenis-jenis pekerjaan yang tidak berarti dari sisi status dan penghasilan bagi perempuan berkeluarga (Tjandraningsih, 1997: 259).
Berikut ini adalah pembahasan buruh perempuan yang berkaitan dengan isu gender:
1. Permasalahan Marginalisasi,
Subordinasi dan Streotipe sosial a. Marginalisasi
Deskilling, meskipun ia mempunyai keahlian tertentu, tidak berarti bahwa ia akan menda-patkan pekerjaan sesuai dengan bidang dan keahliannya. Ideologi dalam memandang perempuan sangat berpengaruh pada kondisi marginalisasi perempuan dalam konteks buruh perempuan di pabrik.
Scott (seperti di kutip Grijins, 1992) memandang segregasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin merupakan salah satu bagian dari marginalisasi. Marginalisasi adalah sebuah konsep yang penting untuk memahami hubungan antara industrialisasi dengan pekerja perempuan. Marginalisasi dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai proses perubahan hubungan kekuasaan antar manusia. Perubahan hubungan ini mengakibatkan akses salah satu kelompok ke sumber-sumber vital semakin terbatas. Sumber-sumber itu antara lain meliputi modal, pekerjaan, pendidikan, dan lain-lain. Sejalan dengan berlalunya waktu, sumber-sumber itu semakin dimonopoli oleh sekelom-pok kecil orang. Dalam proses ini perempuan lebih tersisih dibandingkan laki-laki. Sebagai konsekuensinya perempuan harus menyandarkan kehidupan mereka pada sumber-sumber marginal yang terletak di pinggiran ekonomi pasar.
Disadari atau tidak marginalisasi pada buruh perempuan ini tidak saja terjadi di pabrik dengan sentuhan kapitalisme modern, tetapi terjadi juga dalam lingkup keluarga, masyarakat, kultur bahkan negara. Misalnya marginalisasi di dalam keluarga, anak perempuan selalu mendapatkan kesempatan kedua setelah anak laki-laki. Dampak marginalisasi ini di dalam keluarga mengimbas pada pekerjaan publik (baca pabrik), yang mempekerjakan perempuan. Jika perempuan mengintegrasikan ke dalam industrialisasi, maka selayaknya ia mendapatkan peluang kerja setara dengan laki-laki bukan hanya bidang-bidang yang merupakan perpanjang tangan tugasnya di sektor domestik seperti pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan, ketelitian, dan kesabaran.
Bila kita kritisi bahwa marginalisasi yang terjadi pada perempuan di pabrik berjalan seiring dengan eksploitasi. Hal ini dapat dijelaskan dengan 4 asumsi dasar yaitu:
1. Perempuan memegang peranan utama dalam produksi subsistem
2. Kegiatan subsistem menawarkan otonomi dan akses ke sumber daya
3. Status perempuan terkikis oleh perkembangan kapitalisme
4. Peranan perempuan yang utama adalah sebagai isteri sehingga peluang kerja yang disediakan sebagai yang bersifat “ keibuan “ sebagai perluasan dari pekerjaan ibu rumah tangga.
Bila permasalahan marginalisasi ini dikaitkan dengan ketimpangan gender, Maka ada 2 hal yang dapat dijelaskan:
1. Pekerjaan-pekerjaan marginal yang dikerjakan oleh perempuan dapat dilihat sebagai akibat proses identifikasi perempuan terhadap apa-apa yang sesuai dengan sifat keperempuanannya yang telah dikonstruksikan secara sosial. Identifikasi ini merupakan proses pemaknaaan diri dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perempuan sehingga berbagai faktor diperhatikan di dalamnya. Keterlibatan dalam kegiatan ekonomi marginal karena itu merupakan hasil dari suatu proses interaksi dan negosiasi di mana perempuan sendiri aktif di dalamnya.
2. Berbagai proses telah mereproduksi sifat keperempunanan dan kenyataan tentang pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat keperempuanan tersebut. Tingkat absensia perempuan yang tinggi (karena cuti hamil dan melahirkan) sering dijadikan alasan untuk tidak memilih tenaga kerja perempuan atau menempatkan perempuan dalam pekerjaan yang marginal. (Abdullah, 1995: 9).
Bila kita menganalisa mengapa terjadi marginalisasi, Boserup (1970) menunjukkan faktor budaya sebagai penyebabnya. Menurut pendapatnya, pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan tekanan terhadap tanah dan sumber daya langka lainnya seperti teknologi. Marginalisasi berlangsung selama dan setelah masa penjajahan yang mencerminkan ideologi gender yang diperkuat nilai-nilai patriarkhi.
b. Subordinasi
Bila kita berbicara pada konteks subordinasi tentu hal ini tidak lepas dari pembicaraan hubungan kekuasaan antara kelompok superior dengan kelompok yang tersubordinasi. Hubungan ini melukiskan hubungan tuan dan bawahan, di mana sang tuan melakukan eksploitasi . Pada konteks fenomena buruh pabrik ini adanya anggapan bahwa perempuan itu tidak rasional, emosi-onal, dan lemah sehingga menempatkan
perempuan pada posisi yang kurang penting. Laki-laki di bangun sebagai “tuan” telah mengakibatkan pandangan bahwa relasinya adalah sebagai budak. Sistem kapitalis mem-perkuat pandangan tersebut.
Buruh pabrik sebagai kelas yang tersubordinasi dari para pemilik pabrik/majikan merupakan pandangan yang dikotomis. Elizabeth Florence (1992) menamakan struktur ini kyiarkhi yaitu sistem dominasi dan subordinasi sosial, ekonomi, politik, budaya yang didasarkan pada kekuasaan tuan/majikan.
Bila kita menggunakan pendekatan teori konflik Marx, menyatakan masyarakat terpolarisasi dalam dua kelas yang selalu ber-tentangan yaitu kelas yang mengeksploitasi dan kelas yang di eksploitasi. Ada subordinasi antara kelas yang satu dengan kelas lainnya.
Dalam konteks fenomena buruh perempuan di pabrik ini, maka kita dapat melihat bahwa pemilik modal/majikan adalah sebagai kelompok yang mendominasi, karena memiliki sarana produksi. Bila kita simak feminisme Marxist mereka mempertegas bahwa asal muasal penindasan terhadap perempuan sehingga mereka tetap menjadi kelompok subordinasi adalah karena laki-laki akses pada ekonomi. Buruh perempuan di pabrik sebagai pihak yang tersubordinasi yang tetap pasrah pada kondisi yang diciptakan karena mereka tidak mempunyai akses dan kontrol ekonomi.
c. Streotipe
Secara umum streotipe adalah pelabelan atau ciri-ciri penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Selama ini karena budaya patriarkhi yang sangat internalize di dalam masyarakat melahirkan streotipe pada masyarakat tersebut di dalam melihat keberadaaan perempuan. Perempuan dianggap mempunyai fungsi atau posisi yang layak di rumah sehingga dilekatkan label-label domestik yang mengatakan perempuan itu tekun, sabar, teliti, pasrah, tidak akses pada ekonomi dan informasi.
Streotipe ini juga masuk dalam dunia industri, berdasarkan streotipe manajemen pabrik menempatkan posisi perempuan berkenaan dengan barang – barang yang dikerjakan di dalam pabrik, biasanya dekat dengan yang dikonsumsi perempuan sehingga muncul feminisasi dalam dunia pabrik. Semua pekerjaan dilaksanakan oleh perempuan dan
biasanya mereka bekerja di bagian operator, sedangkan buruh laki-laki bekerja di bengkel. Dengan dasar pikir streotipe bahwa pekerjaan itu memerlukan tenaga yang kuat, sedangkan perempuan ditempatkan pada bagian yang dianggap memerlukan ketelatenan.
Secara garis besar bila kita membahas ketidakadilan gender dalam konteks margi-nalisasi, subordinasi, dan streotipe dikaitkan pada kondisi buruh perempuan di pabrik, maka berdasarkan penjelasan terdahulu kita melihat bahwa karena persepsi yang tidak egaliter melihat hubungan laki-laki dan perempuan sehingga kondisi ketiga hal di atas terjadi. Secara fakta buruh perempuan terpinggirkan dengan alasan pendidikan rendah, sulit mendapat posisi tertentu karena emosional. Hal ini masih terjadi walaupun buruh perempuan tersebut mempunyai kemampuan. Di sinilah letak ketidakadilan tersebut mereka (buruh perempuan) tidak bisa akses semata-mata pendidikan belum mencukupi tetapi juga disebabkan karena gendernya perempuan. Secara fakta perempuan tetap tersubordinasi, kondisi berlaku di pabrik yang sangat bias gender laki-laki dalam menetapkan kebijaksanaan. Dengan di bungkus budaya patriarkhi yang sangat membela kepada kepentingan patriarkhi sehingga perspektif terhadap perempuan ditandai dengan streo-tipe-streotipe yang merugikan perempuan secara ekonomis. Salah satu contoh anggapan bahwa perempuan dianggap sebagai pekerja yang mencari tambahan bagi ekonomi rumah tangga sehingga kebijakan-kebijakan yang diturunkan disamakan dengan kondisi laki-laki yang masih lajang, padahal sering sekali para perempuan buruh pabrik adalah sebagai kepala keluarga.
2. Permasalahan Ketidakadilan Gender di dalam Pabrik
a. Jenis Pekerjaaan
dan sebagainya diserahkan kepada laki-laki. Hal ini berdasarkan bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut membutuhkan tenaga yang kuat. Sedangkan buruh perempuan biasanya ditempatkan pada bagian yang membutuhkan ketelitian dan tidak membutuhkan kekuatan fisik yang berat seperti bagian finishing, loom, dan garment. Pada departemen tertentu tenaga buruh perempuan dan laki-laki dipergunakan bersama-sama. Namun demikian di sini pun terdapat beberapa perbedaan peran dalam pekerjaan laki-laki dan perempuan. Misalnya di bagian potong terdapat buruh perempuan dan laki-laki. Pekerjaan perempuan mendapatkan bagian untuk mengukur dan mengatur ukuran, sebab pekerjaan tersebut membutuhkan ketelitian dan buruh perempuan dianggap lebih teliti dari buruh laki-laki. Sementara laki-laki berperan dalam potong memotong kain yang jumlahnya banyak dan tebal serta berat atau di bagian ngepres di perusahaan plastik misalnya perempuan mendapatkan bagian mengatur dan laki-laki melakukan bagian pengepresan. (Annisa, 1996).
b. Penyediaan Fasilitas Kerja yang Berbeda
Kondisi perempuan secara biologis sangat berbeda dengan laki-laki. Di dalam penyediaan fasilitas kerja perempuan memerlukan tempat-tempat berbeda dengan laki-laki seperti tersedianya kamar kecil yang sanitasinya terjaga untuk kesehatan reproduksi mereka. Biasanya di pabrik jarang sekali ada fasilitas kesehatan perempuan, di dalam merawat mereka/memperhatikan kesehatan reproduksinya. Hal ini tergambar juga pada perolehan cuti masa hamil muda, mereka tidak mendapat cuti hamil. Padahal usia kehamilan muda membawa risiko kehamilan yang rentan terhadap keguguran. Hal ini belum lagi kasus mesin pabrik yang tidak sesuai dengan postur tubuh kebanyakan orang Indonesia. Kondisi ini bisa membahayakan buruh terutama yang sedang hamil.
c. Perbedaan Pemberian Upah
Kebijakan upah yang didasarkan pada kebutuhan fisik minimum (FKM) juga dipertimbangkan adanya perbedaan kebutuhan dasar antara buruh laki-laki dan perempuan. Perhitungan FKM ini dipengaruhi anggapan umum bahwa perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama keluarga, karenanya dalam penentuan komponen upah ini, standar
yang digunakan adalah kebutuhan fisik laki-laki. FKM selayaknya memasukkan unsur-unsur kebutuhan dasar perempuan misalnya berkaitan dengan fungsi reproduksinya untuk membeli keperluan ketika menstruasi setiap bulannya.
Upah buruh yang rendah memang merupakan satu persoalan klasikal yang selalu melahirkan tuntutan berupa demonstrasi buruh. Dari hasil penelitian dijelaskan berikut ini akan menunjukkan bahwa ada perbedaan upah antara buruh laki-laki dan buruh perempuan:
• Menurut penelitian Maine Wolf (1980) yang dilakukan di daerah Jawa Tengah bahwa pekerja laki-laki memperoleh upah lebih tinggi dari pekerja perempuan dengan pekerjaan yang sama
• Penelitian Kusyuniati (1989) dari Yasanti yang dilakukan di Jawa Tengah menunjukkan hasil yang sama. Pada penelitian di pabrik rokok di Kudus, pengusaha memberikan insentif 3 batang rokok untuk buruh laki-laki dan tidak ada insentif untuk buruh perempuan dengan alasan buruh perempuan tidak merokok. Padahal yang terjadi bahwa buruh laki-laki menjual insentif dengan harga Rp. 125/hari
• Beberapa studi pekerja perempuan menemu-kan bahwa upah perempuan acap kali lebih rendah dari upah laki-laki sebagai contoh upah minimum pekerja perempuan yang ditetapkan oleh pemerintah, hanya di Maluku dan Kalimantan upah buruh perempuan yang tidak lebih rendah dari buruh laki-laki.
• Sebuah penelitian di Padang dan Yogyakarta menunjukkan bahwa jenis kelamin menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam memberikan upah. Segmentasi yang terjadi didasarkan pada berbagai hal dan salah satunya adalah jenis kelamin. Dalam penelitian tersebut terungkap rata-rata pekerja perempuan di segala tingkat pendidikan selalu lebih rendah dibanding dengan upah yang diterima oleh laki-laki. Sebenarnya untuk pekerja yang berpendidikan rendah (SMP ke bawah), cukup bisa dipahami jika upah yang lebih tinggi diberikan pada pekerja laki-laki. Mereka umumnya bekerja di bidang pekerjaan yang tergolong kasar, yang membutuhkan kekuatan fisik, akan tetapi bukan hanya tingkat pendidikan rendah upah rata-rata perempuan lebih rendah, di tingkat pendidikan lebih tinggi mereka di kalahkan (Susi Eja, 1997).
Mengapa buruh perempuan mendapat upah yang rendah dan berbeda dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu:
1. Pendekatan patriarkhi yang menjelaskan bahwa perempuan merupakan subordinasi laki-laki, hubungan yang tidak simetris tersebut terjadi karena pengaruh budaya. 2. Pendekatan sistem di mana perempuan
tidak dimasukkan dalam sistem yang ada dan terjadi diskriminasi dan subordinasi perempuan secara politik dan diikuti dengan ekonomis yang bias gender kepada laki-laki.
d. Jenjang Karier
Streotipe buruh laki-laki lebih rasional, kuat, dan lebih bebas berkarier berpengaruh pada industri. Dari hasil penelitian Yasanti 1996 ternyata buruh laki-laki lebih berpeluang meniti jenjang karier hingga posisi pengawas bahkan koordinator shift, sedangkan buruh perempuan hanya sebagai ketua regu (karu). Kondisi ini memperlihatkan bahwa buruh perempuan tidak dipercaya karena gendernya dan streotipenya bahwa mereka lebih emosional dan rata-rata berpendidikan rendah.
e. Pelecehan Seksual
Bila kita menganalisis mengapa pelecehan seksual tersebut terjadi pada buruh perempuan, hal ini tidak lepas dari konsep nilai yang melihat bahwa perempuan itu sebagai gender yang layak untuk mendapat godaan. Hal ini tidak terjadi pada buruh laki-laki yang dianggap sebagai pihak yang pantas melakukan gangguan dan godaan, walaupun berkembang jauh menjadi pelecehan. Hal ini dapat pula di analisis berdasarkan ketimpangan hubungan ekonomi. Berhubungan dengan tindakan yang sewenang-wenang yang menyebabkan terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja. Tidak ada jaminan keamanan dan hukum yang membuat perempuan memiliki kekuatan untuk terlibat dalam suatu pekerjaan. Pelecehan ternyata tidak hanya dilakukan oleh mandor atau atasan juga tetapi juga oleh teman sekerja dan laki-laki secara umum. Teman sekerja menjadi pengganggu yang cukup potensial. Gangguan ini sering menyebabkan perempuan meninggalkan tempat kerja dan keluar, meskipun tidak ada jaminan untuk tidak akan dilecehkan di tempat yang baru.
Bila kita menganalisis ketimpangan gender pada kasus buruh perempuan di pabrik
ini, kita dapat melihat dan menganalisisnya de-ngan analisis gender. Analisis gender dan feminis melihat kedudukan perempuan yang relatif rendah dalam pasar tenaga kerja ini tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial yang menempatkan perempuan pada kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki. (Anker dan Hein, 1986).
Penjelasan-penjelasan di atas berusaha melihat ketimpangan yang dialami oleh perem-puan khususnya buruh peremperem-puan di pabrik-pabrik. Secara fakta dan uraian teoritis telah memperlihatkan bahwa memang ada kondisi bias gender laki-laki di dalam pabrik, sehingga menimbulkan ketidakadilan seperti marginalisasi, subordinasi, streotipe, yang semuanya menggunakan ukuran nilai laki-laki yang terbungkus di dalam nilai-nilai patriarkhi. Ternyata pabrik sebagai fenomena kapitalisme tetap saja mengadopsi nilai-nilai patriarkhi yang diwujudkan dalam kerangka hubungan majikan dan buruh perempuan di dalam pabrik. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan-perbedaan antara yang diterima buruh laki-laki dengan buruh perempuan karena perbedaan gender. Perbedaan upah, pembagian kerja, jenjang karier, penyediaan fasilitas kerja sampai kepada pelecehan seksual kesemuanya terjadi karena pemahaman tertentu terhadap gender perempuan yang berakibat merugikan buruh perempuan itu sendiri, karena mereka terus-menerus dalam kondisi tertindas.
Bila kita melihat dari sisi manajemen pabrik di dalam melihat ketidakadilan gender ini sbb:
1. Buruh perempuan telah dikonstruksikan sebagai manusia yang lemah lembut, di mana sejak kecil terjadi sosialisasi nilai yang memposisikan karakter sosial dari seseorang perempuan. Kondisi ini tentu saja menguntungkan perusahaan, sebab berarti sebagai buruh perempuan akan bekerja hati-hati, telaten, dan tidak mudah tersulut emosinya, mudah mengalahkan dalam arti ditekan.
2. Dalam nilai-nilai patriarkhi tenaga perem-puan tidak pernah dinilai sebagai sumbangan utama, melainkan hanya sebagai pelengkap belaka. Pandangan ini, kemudia dirumuskan dan termanifestasi dalam diskriminasi upah, di mana upah buruh perempuan diberikan dengan nilai berada di bawah upah buruh laki-laki dengan beban kerja yang sama.
KESIMPULAN
Memerangi ketidakadilan sosial sepan-jang sejarah kemanusiaan, selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan. Sejarah kemanusiaan dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis sosial. Termasuk di dalam konteks permasalahan ketidakadilan gender yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam skop buruh perempuan di dalam pabrik. Pada kondisi ini banyak sekali terlihat ketimpangan-ketimpangan hubungan sosial yang termanifestasi dalam ketidakadilan gender.
Dalam konteks buruh perempuan di pabrik. Mengapa buruh perempuan dianggap berbeda dengan laki-laki yang mengakibatkan terjadinya perbedaan di dalam konsep nilai-nilai sosial yang egaliter yang termanifestasi dalam kondisi marginalisasi, subordinasi, dan streotipe serta kondisi di dalam pabrik yang real terjadi seperti perbedaan jenis pekerjaan, pemberian upah, penyediaan fasilitas kerja, jenjang karier sampai kepada pelecehan seksual.
Sebenarnya kalau kita mencermati bahwa konsep gender itu sendiri membatasi juga ruang gerak pada laki-laki dengan adanya pembatasan peran-peran tertentu. Akan tetapi secara umum yang sangat dirugikan akibat ketimpangan gender ini adalah perempuan. Hal
ini akibatnya melahirkan ketidakadilan gender, yang pada konteks ini di bahas dari sisi buruh perempuan di pabrik. Hal ini dianggap penting karena fenomena industrialisasi dengan berdirinya pabrik-pabrik ternyata menghasilkan fenomena preferensi pada buruh perempuan yang merupakan hasil dari penafsiran konsep gender yagn berbasis nilai-nilai patriarkhi.
Akhirnya tulisan ini menyimpulkan dari penjelasan dan data-data di atas membuka pemahaman kita bahwa buruh perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik yang sebenarnya mereka sebagai soko guru bagi pabrik di dalam mendukung proses produksi ternyata mengalami kondisi ketidakadilan gender yang berasal dari nilai-nilai patriarkhi yang membungkus dalam kehidupan sosial yang begitu menginternalisasi sehingga buruh perempuan itu sendiri terkadang tidak merasa dieksploitasi dengan berbagai macam manifestasi ketidakadilan gender yang tetap mewarnai irama kehidupan perempuan dengan status sosial apapun, tetapi kondisi munculnya kapitalisme dengan pendirian pabrik-pabrik industri manufaktur yang membawa persoalan-persoalan yang berakar dari ketimpangan gender yang berakibat kondisi ketidakadilan gender yang berkepanjangan yang menyudutkan posisi perempuan.
Sebagai kesimpulan terakhir jelaslah bahwa buruh perempuan di pabrik dengan kondisi realitas yang bias gender laki-laki, mereka mengalami ketidakadilan gender dan mereka sebagai korban ketidakadilan dari nilai-nilai patriarkhi yang masih mewarnai irama kerja mereka sehari-hari dari deru asap industri yang mereka hidupkan sebagai eksploitasi dari suatu sistem yang belum berpihak dan berkeadilan gender. Kiranya kondisi ini memang tidaklah bisa dan layak terus-menerus untuk dapat dipertahankan, karena bagaimanapun penindasan itu bertentangan dengan keadilan dan hak asasi manusia untuk dapat hidup layak dari pekerjaan yang dikerjakannya tetapi memperoleh hasil yang berbeda karena perbedaan gender.
SARAN
1. Diperlukan sensitivitas gender pada semua lapisan apakah itu pengusaha industri, pemerintah, masyarakat maupun para buruh perempuan tersebut dalam meminimalisir persoalan-persoalan bias gender di pabrik.
2. Diperlukan penerapan dan pengawasan terhadap Inpres No. 9 tahun 2000 dan sehingga bisa diterapkan pengarusutamaan gender sehingga keadilan gender terwujud di dalam semua sektor termasuk sektor industri manufaktur.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogya, Pustaka Pelajar.
Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogya, Pustaka Pelajar.
Grijns, Mies, et al. 1992. Gender, Marginalisasi, dan Industri Pedesaan, Pengusaha, Pekerja Upahan dan Pekerja Keluarga Wanita di Jawa Barat. Bandung, PSP.
IPB, ISS, PPLH – ITB, Seri Laporan Penelitian No. RB – 6.
Moore, Henrietta L. 1988. Feminism and Antropology. Cambridge, Polity Press.
Nasikun. 1990. Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan, dalam Populasi No. 1, PPK UGM.
Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta, Pustaka Utama, Grafiti.
Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Yogya, Kanisius.
Susilastuti, Dewi, H. Dkk. 1994. Feminisasi Pasar Tenaga Kerja. Yogyakarta, PPK UGM.
Wahyuni, Budi. 1997. Terpuruk di Ketimpangan Gender. Yogyakarta, Laporan Pustaka.
Yasanti. 1998. Pergulatan Hidup Buruh Perempuan. Refleksi Perjalanan Yasanti dalam Mendampingi Buruh Yogya.