• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Dalam Terjadi Eksekusi Jaminan Fidusia (Studi di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Dalam Terjadi Eksekusi Jaminan Fidusia (Studi di Kota Medan)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR DALAM TERJADI EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

(Studi di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

WIJAYA ADIBRATA 050200104

Departemen Hukum Keperdataan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR DALAM TERJADI EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

(Studi di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

WIJAYA ADIBRATA 050200104

Departemen Hukum Keperdataan Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MH NIP. 196204211988031004

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS M. Husni, SH, M.Hum NIP. 196204211988031004 NIP. 195802021988031004

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji kehadirat Allah SWT atas segala kenikmatan yang tak terhingga sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibunda, Ayahanda, Adik-adiku, Syamsiruddin,Bou Lina, Bou Ita, Bou Anik,Wak Amat, Uda Madan, Wak Der dan keluarga besar, Nantulangku, Seluruh sepupuku Kak Dina, Kak Rizky, Isfan, Satia, Kak Nova, Kak Minah, dan the special one for HM Saragih(kau selau di hatiku) atas segala perhatiannya, doa, dan dukungan moril serta materil yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, SpAk sebagai Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH, Mhum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, karena sudah berusaha untuk memberikan perubahan yang maksimal kepada fakultas dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di lingkungan kampus Fakultas Hukum USU.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH sebagai Pembantu Dekan I yang telah membantu para mahasiswa memenuhi segala kebutuhan akademik dan administrasi.

(4)

5. Bapak Pembantu Dekan III Muhammad Husni, SH, Mhum yang telah banyak membantu mahasiswa di bidang kemahasiswaan, beasiswa.

6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MH sebagai Ketua Departemen Hukum ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing, mengkritisi, memberikan saran-saran dan mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Ramli Siregar, SH, Mhum sebagai Dosen Penguji yang telah menyetujui judul, outline skripsi, membimbing, mengkritisi dan memberikan saran-saran yang konstruktif serta mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripi ini. 8. Ibu Sinta Uli, SH, M.Hum sebagai Dosen Wali Penulis yang selama delapan

semester telah membimbing dan memotivasi penulis untuk meraih hasil maksimal disetiap semesternya.

9. Para staf dosen Fakultas Hukum Universitas Suamtera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama delapan semester ini.

10.Untuk Kak Yani dan Kak Lia yang telah banyak membantu penulis selama delapan semster ini.

11.Bang Juliandi, SH., Bang Untung, SH. Dan Bang Samsirudin y telah membantu penulis dalam melakukan pengumpulan data.

12.Untuk Hayattum Mardiah Saragih yang banyak memotivasi dan memberikan inspirasi..

13.Seluruh rekan-rekan mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2005 yang telah banyak membantu penulis selama kuliah.

(5)

Penulis memohon maaf kepada Bapak/Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Akhirnya sembari mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, Oktober 2009 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi ... i

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

BAB II : PERJANJIAN KREDIT SEBAGAI PERJANJIAN POKOK ... 18

A. Pengertian Perjanjian Kredit ... 18

1. Pengertian Kredit ... 18

2. Perjanjian Pada Umumnya ... 21

3. Perjanjian Kredit Dengan Jaminan ... 30

B. Akta Perjanjian Kredit ... 32

C. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Pokok ... 36

D. Proses Pemberian Kredit Oleh Bank ... 41

BAB III : PENGATURAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN KREDIT ... 46

A. Ruang Lingkup Jaminan ... 46

B. Lingkup Jaminan Kredit ... 51

C. Objek Jaminan Fidusia ... 55

1. Pengertian Jaminan Fidusia ... 55

2. Asas-Asas Jaminan Fidusia ... 58

(7)

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR DALAM HAL TERJADI

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA ... 64

A. Prosedur Pendaftaran Jaminan Fidusia Di Departemen Hukum Dan HAM/Kanwil Hukum Dan HAM ... 64

B. Terjadinya Ingkar Janji/Wanprestasi Apabila Debitur Tidak Membayar ... 70

C. Eksekusi Terhadap Objek Jaminan Fidusia ... 76

1. Eksekusi Objek Jaminan Kredit Yang Diikat Dengan Jaminan Fidusia ... 76

2. Eksekusi Objek Jaminan Kredit Yang Diikat Tidak Sempurna Atau Tidak Melalui Lembaga Jaminan ... 89

D. Perlindungan Hak Kreditor Dengan Jaminan Berupa Barang Bergerak ... 90

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 95

(8)

ABSTRAK

Fungsi perbankan yakni sebagai penghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, yang salah satu usahanya adalah memberikan kredit. Dana yang ada pada bank pada prinsipnya adalah milik masyarakat yang dipercayakan atau dititipkan kepada bank, sehingga dalam mengelola dana tersebut bank harus bertanggung jawab kepada masyarakat. Untuk itu dalam memberikan kredit bank harus menjalankan prinsip kehati-hatian. Di dalam pemberian kredit, bank menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat kepada pihak yang membutuhkannya. Akan tetapi kredit yang diberikan oleh bank itu mengandung risiko, sehingga di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ditentukan bahwa dalam memberikan kredit bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

Pada dasarnya jaminan dalam pemberian kredit bertujuan untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalkan risiko yang mungkin timbul jika debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk pelunasan hutang atas kredit yang diambilnya. Jaminan tersebut dimaksudkan agar kreditur mempunyai kedudukan yang kuat dan aman serta terjamin untuk memperoleh kembali dana yang telah disalurkan dan adanya kepastian hukum. Barang yang dijadikan objek jaminan dapat berupa benda bergerak maupun yang tidak bergerak. Salah satu benda yang lazim dijadikan jaminan adalah tanah. Pengaturan tentang jaminan berupa tanah, pemerintah telah mengaturnya dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sebagi ganti dari Lembaga Jaminan Hipotik, sedangkan untuk benda bergerak diatur dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Fidusia. Jaminan secara hukum berfungsi untuk menutupi hutang yang ditimbulkan oleh debitur karena itu jaminan merupakan sarana perlindungan bagi para kreditor yaitu kepastian akan pelunasan hutang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau penjamin debitor.

(9)

ABSTRAK

Fungsi perbankan yakni sebagai penghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, yang salah satu usahanya adalah memberikan kredit. Dana yang ada pada bank pada prinsipnya adalah milik masyarakat yang dipercayakan atau dititipkan kepada bank, sehingga dalam mengelola dana tersebut bank harus bertanggung jawab kepada masyarakat. Untuk itu dalam memberikan kredit bank harus menjalankan prinsip kehati-hatian. Di dalam pemberian kredit, bank menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat kepada pihak yang membutuhkannya. Akan tetapi kredit yang diberikan oleh bank itu mengandung risiko, sehingga di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ditentukan bahwa dalam memberikan kredit bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

Pada dasarnya jaminan dalam pemberian kredit bertujuan untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalkan risiko yang mungkin timbul jika debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk pelunasan hutang atas kredit yang diambilnya. Jaminan tersebut dimaksudkan agar kreditur mempunyai kedudukan yang kuat dan aman serta terjamin untuk memperoleh kembali dana yang telah disalurkan dan adanya kepastian hukum. Barang yang dijadikan objek jaminan dapat berupa benda bergerak maupun yang tidak bergerak. Salah satu benda yang lazim dijadikan jaminan adalah tanah. Pengaturan tentang jaminan berupa tanah, pemerintah telah mengaturnya dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sebagi ganti dari Lembaga Jaminan Hipotik, sedangkan untuk benda bergerak diatur dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Fidusia. Jaminan secara hukum berfungsi untuk menutupi hutang yang ditimbulkan oleh debitur karena itu jaminan merupakan sarana perlindungan bagi para kreditor yaitu kepastian akan pelunasan hutang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau penjamin debitor.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan di Indonesia dilaksanakan secara berkesinambungan di berbagai bidang termasuk di bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat baik perorangan maupun badan hukum memerlukan dana yang cukup besar. Oleh karena itu bank sebagai lembaga keuangan dapat dan mampu menyediakan dan menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan melalui pemberian kredit. Tujuan pemberian kredit dari bank tersebut adalah untuk menambah modal yang akan disalurkan ke berbagai bidang dan proyek dengan tujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan perekonomian.

Fungsi perbankan yakni sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, yang salah satu usahanya adalah memberikan kredit.1

Corak perbankan Indonesia mempunyai kekhasan karakteristik yang mungkin sangat berbeda dengan corak perbankan yang lazim di negara lain, tetapi secara umum Dana yang ada pada bank pada prinsipnya adalah milik masyarakat yang dipercayakan atau dititipkan kepada bank, sehingga dalam mengelola dana tersebut bank harus bertanggung jawab kepada masyarakat. Untuk itu dalam memberikan kredit bank harus menjalankan prinsip kehati-hatian.

1

(11)

corak perbankan Indonesia tetap sama dengan yang berlaku menyeluruh di dunia manapun. Perbankan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ideologi Pancasila, dan tujuan negara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Kekhasan yang terlihat jelas dalam kehidupan perbankan Indonesia, diantaranya:

1. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.

2. Perbankan Indonesia sebagai sarana untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, juga guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945, pelaksanaan perbankan Indonesia harus banyak memperhatikan keserasian, keselarasan, dan kesinambungan unsur-unsur Trilogi Pembangunan.

3. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi, dan tanggungjawabnya kepada masyarakat tetap harus senantiasa bergerak cepat guna menghadapi tantangan yang semakin berat dan luas dalam perkembangan perekonomian nasional maupun internasional.2

Perbankan yang didasarkan kepada demokrasi ekonomi, mempunyai arti bahwa masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan perbankan, sedangkan pemerintah bertindak memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan dunia perbankan sekaligus menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangannya.

Hukum modern mempunyai sifat dan fungsi instrumental, yaitu bahwa hukum sebagai sarana perubahan. Hukum akan membawa perubahan-perubahan melalui perbuatan perundang-undangan yang dijadikan sebagai sarana menyalurkan

2

(12)

kebijakan-kebijakan yang dengan demikian bisa berarti menciptakan keadaan yang baru, atau mengubah sesuatu yang telah ada.

Dalam kehidupan sehari-hari keperluan akan dana guna menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat yang kelebihan dana dan di sisi lain ada kelompok masyarakat lain yang memiliki kemampuan untuk berusaha namun terhambat dikarenakan hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki dana sama sekali. Untuk mempertemukan keduanya diperlukan perantara (intermediary) yang akan bertindak selaku kreditur yang akan menyediakan dana bagi debitur. Disinilah timbul perjanjian hutang piutang atau pemberian kredit.

Di dalam pemberian kredit, bank menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat kepada pihak yang membutuhkannya. Akan tetapi kredit yang diberikan oleh bank itu mengandung risiko, sehingga di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ditentukan bahwa dalam memberikan kredit bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

Pemberian kredit yang sangat berisiko tersebut menuntut bank menerapkan prinsip kehati-hatian dengan seksama agar uang yang telah disalurkan dalam bentuk kredit itu dapat kembali pada waktunya, karena bank dalam usahanya itu menggunakan dana yang dihimpun dari masyarakat. Bank bertanggung jawab penuh atas pengembalian dana yang dipercayakan masyarakat kepadanya pada waktu yang telah diperjanjikan itu kepada para nasabahnya.3

3

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda LainYang Melekat

Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung : Citra Aditya Bakti,

1996), hal. 12-13.

(13)

Pada dasarnya jaminan dalam pemberian kredit bertujuan untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalkan risiko yang mungkin timbul jika debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk pelunasan hutang atas kredit yang diambilnya. Jaminan tersebut dimaksudkan agar kreditur mempunyai kedudukan yang kuat dan aman serta terjamin untuk memperoleh kembali dana yang telah disalurkan dan adanya kepastian hukum.

Barang yang dijadikan objek jaminan dapat berupa benda bergerak maupun yang tidak bergerak. Salah satu benda yang lazim dijadikan jaminan adalah tanah. Pengaturan tentang jaminan berupa tanah, pemerintah telah mengaturnya dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sebagi ganti dari Lembaga Jaminan Hipotik, sedangkan untuk benda bergerak diatur dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Fidusia.

Pemberian kredit oleh bank kepada debitur dilakukan melalui perjanjian kredit. Perjanjian kredit bank ini terdiri atas kata “Perjanjian” dan “Kredit”. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa :

”kredit yang diberikan oleh bank adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

(14)

mesin-mesin, kapal yang berukuran tidak lebih dari 20 meter kubik dengan bentuk perjanjian jaminannya adalah jaminan fidusia. 4

Demi kepentingan kreditur yang mengadakan perutangan, undang-undang memberikan jaminan yang tertuju terhadap semua kreditur dan mengenai harta benda debitur. Baik mengenai benda bergerak maupun tidak bergerak, baik benda yang sudah ada maupun yang akan ada, semua menjadi jaminan bagi seluruh utang debitur. Jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut harta kekayaan debitur dan sebagainya disebut jaminan umum. Artinya benda jaminan itu tidak ditunjuk secara khusus dan tidak diperuntukkan kepada kreditur, sedang hasil penjualan benda jaminan itu dibagi-bagi di antara para kreditur seimbang dengan piutangnya masing-masing kecuali apabila diantara para kreditur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.5

Dalam hal pemberian kepastian hukum terhadap objek jaminan maka dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, mengharuskan dilakukannya pendaftaran atas objek jaminan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 11 tersebut dikatakan bahwa pendaftaran benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia dilaksanakan ditempat kedudukan Pemberi Fidusia dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Salah satu syarat untuk mendaftarkan akta jaminan fidusia adalah bahwa akta itu harus dibuat dalam bentuk akta notaris.6

4

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia (Seri Hukum Bisinis), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hlm 61

5

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia-Pokok-Pokok Hukum

Jaminan dan Jaminan Perorangan ,(Yogyakarta : Liberty, 2003), hlm 44-45 6

Tan Kamelo, ibid, hlm 216

(15)

Terhadap objek jaminan fidusia yang tidak didaftarkan oleh kreditur maka akan mengakibatkan objek fidusia tidak akan mendapat perlindungan hukum sesuai dengan UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang jaminan Fidusia. Sehingga dengan demikian kepentingan kreditur tidak dilindungi oleh undang-undang apabila terjadi kredit macet oleh debitur.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah merupakan suatu persoalan yang harus dipecahkan. Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada pembahasan hal yang diluar permasalahan. Adapun permasalahan yang diajukan dalam penulisan ini adalah : 1. Bagaimanakah prosedur pendaftaran jaminan fidusia pada Departemen Hukum

Dan Hak Asazi Manusia/Kanwil Hukum Dan Ham?

2. Bagaimanakah pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia?

3. Bagaimanakah perlindungan terhadap hak kreditur dengan jaminan benda bergerak?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan pendaftaran objek jaminan fidusia pada Kantor Departemen Hukum Dan HAM/Kanwil Hukum Dan Ham.

(16)

3. Untuk mengetahui perlindungan terhadap hak kreditur dengan jaminan berupa benda bergerak.

Manfaat dari hasil penulisan skripsi ini dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini akan menguatkan teori bahwa suatu norma hukum wajib ditaati karena norma hukum itu akan menjadi bermanfaat apabila benar-benar diterapkan atau dilaksanakan, khususnya dalam hal ini adalah tentang pelaksanaan jaminan fidusia.

2. Secara praktis

Hasil penulisan skripsi ini dapat menjadi masukan secara umum ataupun sumbang saran bagi perusahaan-perusahaan baik perbankan maupun non perbankan sebagai lembaga pembiayaan yang mempergunakan lembaga jaminan fidusia sebagai pengikatan objek jaminan.

D. Keaslian Penulisan

(17)

E. Tinjauan Kepustakaan

Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Undang-undang khusus yang mengatur tentang hal ini yaitu Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, juga menggunakan istilah “fidusia”. Dengan demikian fidusia sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum.

Fidusia, menurut asal katanya berasal dari kata fides yang berarti “kepercayaan”7

Sedangkan istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu

zekerheid atau cautie, mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin

dipenuhinya tagihan di samping pertanggung jawaban umum debitur terhadap barang-barangnya. Menurut Hartono Hadisoeprapto jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajian yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.

. Dari definisi diatas dapat diambil pengertian bahwa fidusia adalah suatu penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan, bukan sebagai gadai dan bukan juga sebagai pemindahan hak milik, tetapi ikatan timbal balik atas dasar kepercayaan.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pengertian dari fidusia adalah: “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan, dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

8

Menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pengertian dari pada jaminan fidusia adalah “hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat di bebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi perlunasan utang tertentu,

7

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Jakarta, Rajawali Pers, 2000, hlm 113

8

(18)

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”9

1) Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia.

Jaminan fidusia ini demi hukum hapus sebagai mana yang terdapat dalam pasal 25 Undang-undang Fidusia yaitu:

2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia. 3) Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Adanya jaminan fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya hutang atau karena pelepasan hak maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan menjadi hapus. Hapusnya hutang ini antara lain dibuktikan dengan bukti pelunasan atau bukti hapusnya hutang berupa keterangan yang dibuat oleh kreditur. Apabila objek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan maka klaim asuransi akan menjadi pengganti objek jaminan fidusia tersebut.

Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial, oleh karena itu hukum tidak bersifat statis melainkan dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Hukum adalah ketentuan yang lahir dari dalam dan karena pergaulan hidup manusia seperti juga lahir dan berkembangnya fidusia. Sebagaimana diketahui di dalam kenyataannya hukum selalu tertinggal di belakang masalah yang diaturnya.

Dalam rangka pembangunan ekonomi suatu negara dibutuhkan dana yang besar. Kebutuhan dana yang besar itu hanya dapat dipenuhi dengan memberdayakan secara maksimal sumber-sumber dana yang tersedia. Sumber-sumber dana tersebut tidak hanya mengandalkan sumber dana dalam negeri saja, tetapi juga sapat menggunakan sumber-sumber dana dari luar negeri.

9

(19)

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Penyaluran dana masyarakat ini dilakukan dalam bentuk pemberian kredit.

Kredit berasal dari kata latin “creditum" atau “credo” dan bahasa yunani “credere” yang artinya percaya, kepercayaan (truth or faith), dasar dari kredit ialah kepercayaan, yang mana seseorang penerima kredit akan memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan terlebih dahulu di dalam perjanjian kredit.

Pada dunia bisnis kredit juga mempunyai banyak arti, salah satunya adalah kredit dalam arti seperti kredit yang diberikan oleh suatu bank kepada nasabahnya, sedangkan di dunia bisnis pada umumnya, kata “kredit” diartikan sebagai “kesanggupan akan meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayar kelak.” 10

“Kredit adalah penyediaan utang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam

Kredit adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaga jaminan, yang akan menjamin ketertiban pengembalian kredit kepada pemberi kredit (kreditur) secara cepat dan pasti, oleh karena itu sudah seharusnya jika pemberi kredit (kreditur) dan penerima kredit (debitur) serta pihak lain yang terkait mendapatkan perlindungan melalui suatu lembaga hukum jaminan yang kuat dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.

Pengertian kredit menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Pasal 1 butir k :

10

(20)

antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Berdasarkan pengertian di atas menunjukkan bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi hutangnya tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.

Kredit sangat penting bagi pembangunan ekonomi, oleh karena itu kredit selalu dibutuhkan bagi pengembangan usaha besar, menengah, maupun pengusaha kecil. Kredit merupakan penunjang pembangunan dimana diharapkan masyarakat dari semua lapisan dapat berperan serta.

Penyaluran dan penggunaan kredit sangat berperan didalam kelangsungan usaha debitur maupun bank. Manfaat kredit bagi debitur, misalnya adalah akan mendapat tambahan modal usaha sehingga dapat meningkatkan omset dan pendapatan usaha. Manfaat bagi bank, yaitu akan memperoleh keuntungan dari bunga kredit yang dibayar oleh debitur. Pendapatan inilah yang menjadi pendapatan utama bank dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Semakin sehat dan lancar pengembalian kredit oleh debitur maka semakin besar keuntungan atau laba yang diperoleh bank. Sebaliknya semakin banyak kredit bermasalah bisa menjadikan bank merugi ataupun bangkrut.

(21)

Sebelum fasilitas kredit yang disetujui diikat dalam perjanjian kredit, terlebih dahulu bank menyatakan persetujuannya dalam bentuk tertulis kepada debitur. Surat ini sering diistilahkan dengan surat persetujuan kredit atau offering letter. Dalam surat tersebut dicantumkan syarat-syarat pemberian kredit oleh kreditur, dan pada surat tersebut calon debitur akan menyatakan persetujuannya dengan membubuhkan tanda tangan pada surat dimaksud.

Dari definisi kredit menurut undang-undang perbankan dapat dilihat bahwa pemberian fasilitas kredit itu didasari atas kesepakatan dan prinsip kepercayaan antara pihak bank dengan peminjam yang dituangkan dalam suatu perjanjian. Namun dalam pasal tersebut tidak disyaratkan apakah kesepakatan itu dituangkan dalam akta otentik atau cukup dengan akta dibawah tangan. Sebagai petunjuk bagi bank dalam pembuatan akta perjanjian kredit adalah sebagaimana disyaratkan dalam SK Direksi Bank Indonesia No.27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No.27/7/UPPB masing-masing tertanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi bank umum yang menegaskan bahwa setiap akad kredit harus dibuat tertulis baik dibawah tangan maupun dimuka Notaris.

Pada umumnya bank lebih cenderung membuat perjanjian kredit dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh Notaris. Hal ini disebabkan karena kredit yang diberikan itu tetap mengandung unsur risiko yang sewaktu-waktu menjadi macet karena debitur wanprestasi. Wujud wanprestasi ini dapat dibuktikan dengan apa yang telah diperjanjikan dalam akta perjanjian kredit.

(22)

kredit yang bersangkutan. Pada prakteknya bank biasanya akan meminta jaminan tambahan berupa perjanjian jaminan kebendaan maupun perjanjian jaminan perorangan. Perjanjian jaminan kebendaan sebagai pengaman kredit lebih disukai kreditur dari pada perjanjian jaminan perorangan, karena dalam perjanjian jaminan kebendaan ada benda tertentu yang diikat dalam perjanjian dan disediakan apabila terjadi cedera janji di kemudian hari.

Salah satu lembaga jaminan kebendaan adalah fidusia, yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan kebendaan adalah jaminan yang mempunyai hubungan langsung dengan benda tertentu, selalu mengikuti benda tersebut kemanapun benda tersebut beralih atau dialihkan, dapat dialihkan dan dapat dipertahankan kepada siapapun.11

Suatu sistem hukum jaminan yang baik adalah hukum jaminan yang mengatur asas-asas dan norma-norma hukum yang tidak tumpang tindih (overlapping) satu sama lain.

Teori fidusia yang menjadi pedoman dalam penulisan tesis ini adalah perjanjian pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan hak kepemilikan atas benda yang dialihkan itu tetap berada dalam penguasaan si pemilik benda. Apabila debitur pemberi fidusia cedera janji, kreditur penerima fidusia tidak dapat memiliki benda jaminan fidusia melainkan benda jaminan itu dijual untuk mengambil pelunasan piutangnya sesuai dengan hak preferensi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kreditur. Hak tersebut tidak hapus walaupun terjadi kepailitan pada debitur.

12

11

Hansanuddun Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), hal.162.

12

H.R.Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 276.

(23)

pengaturan asas hukum dalam jaminan fidusia dengan jaminan kebendaan lainnya akan menyulitkan penegakan hukum jaminan tersebut.

Secara teoritis maupun empiris bahwa fidusia memiliki arti penting dalam hal menampung keinginan masyarakat akan kebutuhan kredit. Khususnya kepada para pemakai fidusia perusahaan kecil dan menengah seperti pertokoan, pengecer, pengrajin, rumah makan, usaha pertanian sangat membantu dan tidak memberatkan, oleh karena itu kehadirannya dapat memberikan manfaat ganda. Pihak penerima kredit masih dapat menguasai barang jaminan untuk keperluan usahanya sehari-hari dan pihak perbankan lebih praktis mempergunakan prosedur pengikatan fidusia disebabkan bank tidak perlu menyediakan tempat khusus untuk menyimpan barang jaminan seperti pada lembaga gadai. Pada perjanjian gadai, barang jaminan harus diserahkan kepada pihak bank sesuai dengan Pasal 1150 Junto Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pengertian gadai menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1150 : “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”13

Akibat pengaturan gadai yang terlalu sempit, fidusia lahir untuk mengatasi kekosongan hukum jaminan melalui putusan pengadilan. Lahirnya fidusia adalah Adanya syarat gadai yang demikian cukup memberatkan debitur karena barang jaminan tidak dapat lagi dipergunakan untuk usaha debitur, sedangkan bagi bank hal ini menimbulkan masalah mengenai tempat penyimpanan, khususnya bank-bank yang tidak mempunyai gudang yang cukup luas.

13

(24)

karena hakim atas desakan kebutuhan masyarakat melakukan suatu rechtvinding yaitu menemukan hukum baru, oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa hukum fidusia sebagai hukum hakim.

Undang-Undang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan Jaminan Fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan (Zakelijke Zekerheid) yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak didahulukan terhadap kreditur lainnya.14

1. Tinjauan Kepustakaan yaitu, berupa buku bacaan yang relevan dengan penulisan skripsi ini, dengan membaca dan mempelajari bahan buku bacaan maupun perundang-undangan seperti Undang-Undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

F. Metode Penulisan

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, untuk mendapatkan hasil maksimal, diupayakan pengumpulan data secara baik dan layak yang dilakukan penulis berupa :

2. Tinjauan lapangan yaitu dengan melakuan tinjauan secara langsung terhadap perjanjian penggabungan antara PT. Bank Haga dengan PT. Rabobank.

14

(25)

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika dari penulisan ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Di dalam Bab ini disajikan pengantar-pengantar permasalahan pokok yang terdiri dari : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Pokok

Pada Bab yang kedua ini akan membahas tentang Pengertian Perjanjian Kredit, Akta Perjanjian Kredit, Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Pokok, Proses Pemberian Kredit Oleh Bank, Perjanjian Pokok Sebagai Akta Otentik.

BAB III : Pengaturan Objek Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Kredit

Pada Bab yang ketiga ini membahas mengenai Ruang Lingkup Jaminan, Lingkup Jaminan Kredit dan Objek Jaminan Fidusia.

BAB IV: Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Hal Terjadi Eksekusi Jaminan Fidusia

(26)

BAB V : Kesimpulan Dan Saran

(27)

BAB II

PERJANJIAN KREDIT SEBAGAI PERJANJIAN POKOK

A. Pengertian Perjanjian Kredit 1. Pengertian Kredit

Secara etimologis istilah kredit berasal dari Bahasa Latin, credere, yang berarti percaya atau credo yang berarti saya percaya. Sedangkan menurut tata bahasa Indonesia kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang di izinkan oleh bank atau badan lain. 15

Noah Websten, sebagaimana dikutip Munir Fuady mengartikan kata “kredit” berasal dari bahasa Latin “creditus” yang berarti to trust. Kata “trust” itu sendiri berarti “kepercayaan”.

Oleh karena itu apabila seseorang atau suatu badan memberikan kredit berarti ia percaya akan kemampuan pihak debitur pada masa yang akan datang mampu memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan baik itu berupa uang, barang atau jasa.

16

Dengan demikian, walaupun kata “kredit” telah berkembang, tetapi dalam tahap apapun dan kemanapun arah perkembangannya, kata “kredit” tetap mengandung arti “kepercayaan” walaupun sebenarnya kredit tidak hanya sekedar kepercayaan.

15

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Di Indonesia Ditinjau Menurut Undang-Undang

No.7 tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagimana Telah diubah Dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998 dan Undang-Undang N0.23 tahun 1999 Jo Undang-Undang No.3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, (Jakarta:Prenada Media,2005), hlm 55

16

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang – Undang Tahun 1998, Buku Kesatu, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti), 1999, hlm 128

(28)

Savelberg mangatakan bahwa kredit mempunyai arti antara lain :

1. Sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain.

2. Sebagai jaminan, demana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.17 Levy merumuskan arti hukum dari kredit sebagai berikut:

Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit mempergunakan pinjaman itu untuk kepentingannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari.18

Sedangkan M. Jake mengemukakan bahwa “Kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu”.19

Dari Black’s Laws Dictionary yang dikutip oleh Djulhaendah Hasan, diproleh pengertian bahwa “Credit is the ability of a businessman to borrow money, or to

obtain goods on time, inconsequence of favorable opinion held by the particular

tender, as to his solvency and reliability”.20

Dalam dunia bisnis kata “kredit” diartikan sebagai “Kesanggupan dalam meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang, atau jasa dengan perjanjian akan membayarkannya kelak”.21

Pengertian kredit dapat juga dilihat dalam Pasal 1 butir 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

17

Mariam Darus Badrulzaman, Op Cit, hal. 21

18

Ibid, hal. 22

19

Ibid

20

Djulhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang

Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, (Bandung : PT Citra

Aditya Bakti, 1996), hal. 140-141

21

A. Abdurrahman, Ensikopedia Ekonomi, Keuangan Perdagangan, Jakarta : Pradnya Paramita, 1993, hal. 279, dalam S. Mantayborbir, Iman Jauhari, Agus Hari Widodo, Pengurusan

Piutang Negara Macet Pada PUPN/BUPLN (Suatu Kajian Teori dan Praktek) ,(Medan : Pustaka

(29)

Perbankan (selanjutnya disingkat dengan UU Perbankan), kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam – meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Menurut OP. Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang yang dengan demikian transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi dimasa mendatang.22

a. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis;

Intisari dari kredit adalah kepercayaan. Unsur lainnya adalah mempunyai pertimbangan moral. Selain itu, dililhat dari pihak kreditur, unsur penting dalam kegiatan kredit sekarang ini adalah untuk mengambil keuntungan dari modal dengan mengambil kontra prestasi, sedangkan dipandang dari segi debitur, adalah adanya bantuan dari kreditur untuk menutupi kebutuhan yang berupa prestasi. Hanya saja antara prestasi dengan kontra prestasi tersebut ada suatu masa yang memisahkannya. Kondisi ini mengakibatkan adanya risiko yang berupa ketidak tentuan, sehingga diperlukan suatu jaminan di dalam pemberian kredit.

Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat yaitu antaranya :

22

(30)

b. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat akan membawa keerugian;

c. Bank tidak diperkenankan memberikan kredituntuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jualbeli;

d. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit. 2. Perjanjian Pada Umumnya

Hartkamp, menyatakan bahwa: “perjanjian adalah tindakan hukum yang terbentuk dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan perihal aturan bentuk formal atau perjumpaan pernyataan kehendak yang saling bergantung satu sama lain sebagaimana dinyatakan oleh dua pihak atau lebih dan dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak serta atas beban pihak lainnya, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah pihak (semua) pihak bertimbal balik.23

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang.

24

Menurut Roscou Pound, perjanjian bagian dari harta kekayaan. Sebagian kekayaan terdiri atas janji-janji. Sebagian yang penting dari harta benda seseorang adalah keuntungan yang dijanjikan oleh orang lain bahwa akan disediakan atau diserahkannya, terdiri atas tuntutan terhadap keuntungan yang dijanjikan, yang diajukannya terhadap perseorangan tertentu.25

23

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 139.

24

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 2006), hal.93.

25

Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip Unidroit Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan

Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 6.

(31)

perikatan adalah bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan atau perikatan timbul karena adanya perjanjian.

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; c. Mengenai suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.26 Apabila salah satu dari syarat subjektif tersebut diatas tidak dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan apabila salah satu dari syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum.27

26

Subekti, Op.cit, hal 17.

27

Johannes Ibrahim & Lindawaty, Hukum Bisnis Dalam Presepsi Manusia Modern, (Bandung : Refikab Aditama, 2004), hal. 44.

Syarat pertama, sepakat atau juga dinamakan perizinan maksudnya bahwa subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain.

(32)

a. Bahasa yang sempurna dan tulisan; b. Bahasa yang sempurna secara lisan;

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan, karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

e. Diam atau membisu, tetapi dipahami atau diterima pihak lawan.

Pada dasarnya cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tulisan. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna apabila timbul sengketa dikemudian hari. Momentum terjadinya perjanjian yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara kreditur dan debitur.28

Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan

Kesepakatan di antara para pihak diatur dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sampai dengan Pasal 1328 Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan.

28

(33)

hukum adalah orang yang sudah dewasa. Dewasa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu:

a. Anak dibawah umur (minderjaringheid); b. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan;

c. Isteri (Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Akan tetapi dalam perkembangannya isteri dapat melakukakan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo SEMA Nomor 3 Tahun 1963.

Di berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari:

a. Memberikan sesuatu; b. Berbuat sesuatu;

c. Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).29 Syarat kedua, orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.

30

29

Salim.H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 33-34.

30

Subekti, Op.cit, hal.17.

Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa dan orang yang dibawah pengampuan (Pasal 1329-1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(34)

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Dalam Pasal 1334 KUH Perdata angka (1) ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian, namun dalam Pasal 1334 KUH Perdata ayat (2) barang-barang yang akan masuk hak warisan seseorang karena yang lain akan meninggal dunia dilarang dijadikan objek suatu perjanjian, kendatipun hal itu dengan kesepakatan orang yang akan meninggal dunia dan akan meninggalkan barang-barang warisan itu.31

Syarat terakhir adanya sebab halal, dimaksudkan tiada lain pada isi perjanjian dengan segera harus dihilangkan kemungkinan salah sangka. Jadi isi perjanjian tersebut harus mencerminkan tindakan yang tidak melanggar hukum yang berlaku. Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dalam Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

32

Hoge Raad sejak tahun 1972 mengartikan kausa yang halal (ozaak) sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.33

31

Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 2004), hal.209.

32

Ibid, hal. 211.

33

H. Salim HS & H. Abdullah, dkk, Perancangan Kontrak & Memorandum Of

(35)

Unsur-unsur perjanjian yang harus diperhatikan adalah: a. Unsur essensialia

Unsur essensialia adalah unsur yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian. Merupakan unsur mutlak di mana tanpa adanya unsur tersebut tidak mungkin ada suatu perjanjian. Unsur essensialia, terdiri dari:

1) Kata sepakat dari para pihak yang melakukan perjanjian. Hal ini didasarkan pada pernyataan kehendak dari para pihak;

2) Ada dua pihak atau lebih yang berdiri sendiri;

3) Kata sepakat yang tercapai antara para pihak tersebut tergantung satu dengan yang lainnya;

4) Para pihak menghendaki agar perjanjian itu mempunyai akibat hukum; 5) Akibat hukum tadi adalah untuk kepentingan yang satu atas beban yang

lain atau timbal balik yaitu untuk kepentingan dan beban kedua belah pihak.

b. Unsur naturalia

Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur dan merupakan bagian dari suatu perjanjian yang tanpa disebutkan secara khusus sudah merupakan bagian yang ada pada perjanjian tersebut. Misalnya jaminan kenikmatan, jaminan keamanan dan tidak adanya cacat-cacat tersembunyi dari penjual kepada pembeli dalam perjanjian jual beli.

c. Unsur accidentalia

(36)

Undang-Undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut, misalnya domisili para pihak. Berdasarkan Pasal 1332 KUH Perdata, berbunyi:

“hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.34

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas-asas dari hukum perjanjian, seperti:

Prof. Subekti, menyimpulkan bahwa Pasal 1338 KUH Perdata mengandung suatu asas kebebasan dalam membuat perjanjian atau menganut sistem terbuka, dengan menekankan pada kata “semua” maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat tentang diperbolehkannya membuat perjanjian apa saja (asalkan dibuat secara sah) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu Undang-Undang35 dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan.36

b. Asas konsensualisme

Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.37 Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang timbal balik antara para pihak melahirkan sepakat dan sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti Undang-Undang). Asas konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.38

34

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1332.

35

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal. 37.

36

Djuhaendah Hasan, Lembaga jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang

Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahaan horisontal, (Bandung : Citra

Aditya Bakti, 1996), hal. 177.

37

Salim HS, ibid, hal. 10.

38

(37)

c. Asas itikad baik

Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari pihak lain.

d. Asas keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas-asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut perlunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

e. Asas moral

(38)

f. Asas kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

g. Asas kepastian hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai Undang-Undang bagi para pihak.39 Asas kepastian hukum (asas pacta sunt

servanda) merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Asas ini disimpulkan dalam Pasal 1338 angka (1) yang berbunyi: “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang”.40

h. Asas kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, dengan kepercayaan ini kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang.

i. Asas kekuatan mengikat

Dari asas ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan akan mengikat para pihak.

39

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : alumni, 2005), hal. 43-44.

40

(39)

j. Asas persamaan hak

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekeuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

3. Perjanjian Kredit dengan Jaminan

Pengertian perjanjian kredit menurut hukum perdata merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Pasal 1754-1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada praktik perbankan modern hubungan hukum dalam kredit tidak lagi semata-mata hanya berbentuk perjanjian pinjam meminjam tetapi sudah ada bentuk perjanjian yang lain seperti bentuk perjanjian pemberian kuasa. Pada Praktiknya bentuk dan materi perjanjian kredit antara suatu bank dengan bank yang lainnya tidak sama, hal ini terjadi dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebutuhannya masing-masing, dengan demikian perjanjian kredit tersebut tidak mempunyai bentuk yang berlaku umum.

Asas utama dari perjanjian kredit adalah asas kebebasan berkontrak, dalam perkembangannya asas ini mendapat pengaruh dari peraturan ekonomi yang memuat ketentuan yang bersifat memaksa yang ditunjukan untuk menyeimbangkan kemampuan pihak-pihak pelaku ekonomi secara lebih adil dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang berdasarkan asas pemerataan.

(40)

dimana prestasi yang diberikan benar-benar sudah diyakini akan dapat dibayar kembali oleh si penerima kredit sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit.

Pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dikatakan bahwa:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

M. Jakile mengemukakan bahwa

“kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari perjanjian untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu.”41

“Kredit adalah merupakan suatu penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, dimana prestasi tersebut pada dasarnya akan berbentuk nilai uang”.

Menurut Thomas Suyanto,

42

Seorang nasabah yang mendapat kredit dari bank adalah seseorang yang mendapat kepercayaan dari bank contoh: apabila seseorang membeli peralatan rumah tangga dengan kredit maka ia mendapat kepercayaan dari toko yang menjual peralatan rumah tangga tersebut. Pengertian kredit yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dinyatakan bahwa dalam pengertian kredit tersebut terkandung perkataan perjanjian pinjam-meminjam sebagai dasar diadakannya

41

Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kredit Bank

Dengan Jaminan Hypotek Serta Hambatan –hambatannya Dalam Praktik, (Bandung : Alumni : 1978),

hal. 21-22.

42

(41)

perjanjian kredit, atas dasar itu pula dapat dikatakan bahwa kredit adalah suatu perjanjian yang lahir dari persetujuan.

B. Akta Perjanjian Kredit

Pada umumnya bank lebih cenderung membuat perjanjian kredit dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh notaris. Hal ini disebabkan karena kredit yang diberikan itu tetap mengandung unsur risiko yakni kredit menjadi macet yang dapat terjadi karena debitur wanprestasi.

Sebagai petunjuk bagi bank dalam pembuatan akta perjanjian kredit adalah sebagaimana disyaratkan dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No 27/7/UPB masing-masing tertanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi bank umum yang menegaskan bahwa setiap akad kredit harus dibuat tertulis baik di bawah tangan maupun dihadapan notaris.

Kredit yang diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan sehingga dengan demikian pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabah. Oleh karena pemberian kredit oleh bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha bank untuk mendapatkan keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit, jika ia benar-benar yakin bahwa si debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.43

43

ibid,hlm 228

(42)

sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan namun demikian ada hal-hal yang tetap harus dipedomani yaitu bahwa perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memenuhi keabsahan dan persyaratan secara hukum, sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit. Hal-hal yang menjadi perhatian tersebut perlu guna mencegah adanya pembatalan dari perjanjian yang dibuat (invalidity), sehingga dengan demikian pada saat dilakukannya perbuatan hukum (perjanjian) tersebut jangan sampai melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga dengan demikian pejabat bank harus dapat memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan perjanjian kredit telah diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.

(43)

Dalam perjanjian kredit sering pula dalam prakteknya peminjam diminta memberikan presentasi yaitu keterangan-keterangan yang diberikan oleh debitur guna pemrosesan pemberian kredit, kemudian memberikan warranties yaitu suatu janji, misalnya janji bahwa si debitur akan melindungi kekayaan perusahaan atau asetnya yang telah dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit tersebut, dan covenants yaitu janji untuk melakukan sesuatu, seperti misalnya janji bahwa si debitur tidak akan mengadakan merger dengan perusahaan lain, atau menjual atau memindah tangankan seluruh atau sebagian besar asetnya tanpa seizin bank (kreditur).

Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal, atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjnajian pengikatan jaminan.

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagaialat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

Ada beberapa klausul yang selalu dan perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit yaitu :

1. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali Klausul ini menyangkut :

a. Pembayaran provisi, premi asuransi kredit, dan asuransi barang jaminan serta biaya pengikatan jaminan secara tunai.

b. Penyerahan barang jaminan, dan dokumennya serta pelaksanaan pengikatan barang jaminan tersebut.

c. Pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan, dan asuransi kredit dengan tujuan untuk memperkecil risiko yang terjadi di luar kesalahan debitur maupun kreditur

2. Klausul mengenai maksimum kredit.

Klausul ini mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu :

a. Merupakan objek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan mengenai materi ini menimbulkan konsekuensi diperlukannya pembuatan perjanjian kredit baru;

b. Merupakan batas kewajiban pihak kreditur yang berupa penyediaan dana selama tenggang waktu perjanjian kredit, yang berarti pula batas hak debitur untuk melakukan penarikan pinjaman;

c. Merupakan penetapan besarnya nilai agunan yang harus diserahkan, dasar perhitungan penetapan besarnya provisi atau commitment fee;

(44)

a. Merupakan batas waktu bagi bank, kapan keharusan menyediakan dana sebesar maksimum kredit berakhir dan sesudah dilewatinya jangka waktu ini sehingga menimbulkan hak tagih/pengembalian kredit dari nasabah.

b. Merupakan batas waktu kapan bank boleh melakukan teguran-teguran kepada debitur bila tidak memenuhi kewajiban tepat pada waktunya.

c. Merupakan suatu masa yang tepat bagi bank untuk melakukan review, atau analisis kembali apakah fasilitas kredit tersebut perlu diperpanjang atau perlu segera ditagih kembali.

4. Klausul mengenai pinjaman

Klausul ini diatur secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk :

a. Memberikan kepastian mengenai hak bank untuk memungut bunga pinjaman dengan jumlah yang sudah disepakati bersama karena bunga meupakan penghasilan bank yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit tersebut. b. Pengesahan pemungutan bunga di atas 6 % (enam persen) per tahun. Dengan

mendasarkan pada pedoman keterangan Pasal 1765 dan Pasal 1767 KUHPerdata yang memungkinkan pemungutan bunga pinjaman di atas 6 % (enam persen) per tahun asalkan diperjanjikan secara tertulis.

5. Klausul mengenai barang agunan kredit

Klausul ini bertujuan agar pihak debitur tidak melakukan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak, tetapi harus ada kesepakatan dengan pihak bank

6. Klausul asuransi

Kalusul ini bertujuan untuk pengalihan risiko yang mungkin terjadi baik atas barang agunan maupun atas kreditnya sendiri.

7. Klausul mengenai tindakan yang dilarang oleh bank

Klausul ini terdiri atas berbagai macam hal yang mempunyai akibat yuridis, dan ekonomis bagi pengamanan kepentingan bank sebagai tujuan utama.

8. Tigger Clause atau Opeisbaar Clause

Klausul ini mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir.

9. Klausul mengenai denda

Klausul ini dimaksudkan untuk mempertegas hak-hak bank untuk melakukan pungutan baik mengenai besarnya maupun kondisinya.

10. Expence Clause

Klausul ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan kepada nasabah.

11. Debet Authorization Clause

Pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah dengan izin debitur. 12. Representation and Warranties

Klausul ini sering juga disebut dengan istilah material adverse change clause. Maksudnya ialah bahwa pihak debitur menjanjikan, dan menjamin semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputarbalikkan. 13. Klausul ketaatan pada ketentuan bank

Klausul ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan bila terdapat hal-hal yang tidak diperjanjikan secara khusus tetapi dipandang perlu, maka sudah dianggap telah diperjanjikan secara umum. Misalnya mengenai masalah tempat dan waktu melakukan pencairan dan penyetoran kredit, penggunaan formulir, format surat konfirmasi atau pemberitahuan saldo rekening bulanan.

(45)

Pasal-pasal tambahan

15. Dispute Settlement (Alternatif Dispute Resolution)

Klausul mengenai metode penyelesaian perselisihan antara kreditur dengan debitur (bila terjadi).

16. Pasal Penutup

Pasal penutup memuat eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya mengadakan pengaturan mengenai jumlah alat bukti dan tanggal mulaiberlakunya perjanjian kredit serta tanggal penandatanganan perjanjian kredit.44

B. Kedudukan pengusaha di dalam perjanjian baku sama seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever), karenanya perjanjian baku bukan perjanjian.

C. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Pokok

Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku (Standar Contract), dimana isi atau klausula-klausula perjanjian kredit tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blanko), tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu (vorn

vrij), calon nasabah menerima isi perjanjian tersebut, tidak memberikan kesempatan

kepada calon debitur untuk membicarakan lebih lanjut isi atau klausula-klausula yang diajukan pihak bank. Perjanjian baru ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini, kedudukan calon debitur sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang disodorkan oleh pihak bank, karena jika tidak demikian calon debitur tidak akan mendapatkan kredit.

Beberapa pakar hukum menolak kehadiran perjanjian baku ini, karena dinilai :

C. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa (dwangcontract).

D. Negara-negara common law system menerapkan doktrin unconscionability. Doktrin unconscionability memberikan wewenang kepada perjanjian demi hati nurani. Perjanjian baku dianggap meniadakan keadilan.45

Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku sebagai suatu perjanjian, hal ini karena:

a. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vetrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu;

a. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada

44

Muhammad Jumhana,Ibid,hlm 389

45

Sutan Remy Sjahdeini,Hak Tanggungan Asas-Asas,Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan

(46)

formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang menandatangani tidak mungkin tidak mengetahui isi dari perjanjian tersebut b. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan yang

berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.46

Dengan demikian keabsahan perjanjian baku terletak pada penerimaan masyarakat dan lalu lintas bisnis untuk memperlancar arus lalu lintas perdagangan dan bisnis. Dunia perdagangan dan bisnis membutuhkan kehadiran perjanjian baku guna menunjang dan menjamin kelangsungan hidup usaha perdagangan dan bisnis. Perjanjian baku pada umumnya mengandung klausula yang tidak setara antara pihak yang mempersiapkan dan pihak lainnya. Isi, aturan atau ketentuan dan syarat-syarat klausula terlebih dahulu dipersiapkan dan ditetapkan secara sepihak oleh yang membuat perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh pihak lainnya, dengan sendirinya pihak yang mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausula yang menguntungkan dirinya, sedangkan pihak lain dibebani dengan sejumlah kewajiban. Perjanjian baku yang tidak setara ini perlu diwaspadai.

Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa berbeda dengan perjanjian-perjanjian pada lazimnya, dalam perjanjian-perjanjian kredit bank harus diingat bahwa bank tidak hanya mewakili dirinya sebagai perusahaan bank saja tetapi juga mengemban kepentingan masyarakat, yaitu masyarakat penyimpan dana dan selaku bagian dari sistem moneter, oleh karena itu dalam menentukan apakah suatu klausula itu memberatkan, baik dalam bentuk klausula eksemi atau dalam bentuk yang lain, perimbangannya sangat berbeda bila dibandingkan dengan menentukan klausula-klausula dalam perjanjian-perjanjian baku, pada umumnya yang para pihakya adalah perorangan atau perusahan biasa.

46

(47)

Atas dasar pertimbangan ini maka tidak dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan keadilan apabila di dalam perjanjian kredit dimuat klausula yang dimaksudkan justru untuk mepertahankan atau untuk melindungi eksistensi bank atau bertujuan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang moneter.

Seperti diketahui bahwa di dalam pemberian kredit yang terjadi antara bank dengan debitur maka dilakukan suatu proses yang namanya perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan dokumen paling penting yang mengatur hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yaitu kreditur dan debitur. Di dalam pemberian kredit, pihak perbankan sebelumnya telah menyiapkan bentuk atau model perjanjian kredit yang sudah baku sifatnya. Model perjanjian kredit juga berisi berbagai ketentuan tentang peminjaman uang dan syarat-syarat kredit. Model perjanjian kredit dibuat secara seragam untuk seluruh kantor cabang, akan tetapi masing-masing kantor bank memiliki model perjanjian kredit yang berbeda dengan kantor bank yang lain.

Model perjanjian kredit diperlukan untuk bukti peminjaman di suatu bank. Dalam proses penandatanganan model perjanjian kredit itu, pihak bank cukup menyodorkan model perjanjian kredit yang telah disediakan untuk ditandatangani oleh debitur. Biasanya perjanjian timbal balik hanya diadakan menyangkut peminjaman uang yaitu mengenai besarnya pinjaman, besarnya bunga pinjaman,

tujuan peminjaman dan cara pengembalian uang pinjaman.

Mengenai syarat-syarat peminjaman uang maka pihak bank tidak memerlukan perundingan. Dengan demikian model perjanjian kredit yang disodorkan oleh pihak bank kepada debitur adalah model yang sudah baku atau disebut sebagai perjanjian standard.

Referensi

Dokumen terkait

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai kaidah bahasa Bali sebagai rujukan Dapat menggunakan konfiks dalam pembentukan keilmuan yang mendukung mata pelajaran

Dalam proses demokratisasi, publik di Indonesia saat ini sangat menggantungkan diri pada program berita yang ditayangkan oleh stasiun televisi untuk

Dalam ketentuan pasal tersebut terdapat makna dari demokrasi yang merupakan suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat atau dengan kata lain bahwa kekuasaan

Untuk itu diperlukan penelitian teknologi pengolahan bahan baku secara biologi dengan mencoba beberapa perlakuan fisik, kimia dan biologi secara terus menerus

[r]

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL (STUDI KASUS

• Teorinya tentang "dualisme masyarakat" merupakan teori umum pembangunan masyarakat dan pembangunan ekonomi negara terbelakang yang terutama didasarkan pada hasil

Pelayanan kesehatan yang ada pada waktu itu adalah klinik umum, klinik spesialis (bedah, kandungan, penyakit dalam dan kesehatan anak), klinik gigi, instalasi gawat darurat,