PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM
PERJANJIAN LEASING (SEWA GUNA USAHA)
(Studi Kasus Pada PT. OTO Multiartha Cabang Medan)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan memenuhi syarat – syarat
untuk
memperoleh gelar
SARJANA HUKUM
OLEH :
YUHDI FITHRIAWAN
NIM. 070200212
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...
DAFTAR ISI...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penulisan ... 9
D. Keaslian Penulisan ... 9
E. Metode Penelitian ... 10
F. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Pada Umumnya ... 15
B. Asas – asas Hukum Perjanjian ... 20
C. Syarat Sahnya Perjanjian ... 24
D. Pihak – pihak dalam Perjanjian... 26
E. Prestasi,Wanprestasi, dan Akibat – akibatnya ... 28
BAB III PERJANJIAN LEASING A. Pengertian Leasing ... 38
B. Leasing sebagai Lembaga Hukum Perjanjian ... 37
C. Jaminan – jaminan yang Diberikan Lessee Terhadap Lessor ... 43
D. Efektifitas Benda Jaminan dalam Penutupan Kerugian yang Dialami Lessor ... 45
B. Faktor – faktor Penyebab Terjadinya Wanprestasi dari Pihak Lesse
dalam Perjanjian Leasing ... 59
C. Upaya – upaya Penyelesaian Wanprestasi yang Dilakukan
Lessor Maupun Lessee... 62
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN ... 76
B. SARAN ... 79
DAFTAR PUSTAKA ...
ABSTRAK
Perkembangan perekonomian yang begitu pesat di Indonesia mendorong peningkatan kebutuhan akan dana investasi yang harus dipenuhi, melalui berbagai alternatif sumber pembiayaan yang dapat merupakan sumber dari pembiayaan asing juga terdapat pembiayaan dalam negeri. Keduanya berpengaruh dalam memfasilitasi penyediaan dana bagi kalangan dunia usaha.
Perusahaan pembiayaan leasing merupakan perusahaan pembiayaan yang masih relatif baru, pada awal perekembangannya usaha leasing dipacu oleh pemerintah dalam rangka mendorong dunia usaha dengan memberikan beberapa fasilitas antara lain dengan memberikan penundaan pembayaran perpajakan, sehingga usaha leasing berkembang dengan sangat maju dan pesat.
Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik, menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian kontrak leasing.
Mengenai perlindungan hukum terhadap lessor dalam perjanjian sewa guna usaha, timbullah beberapa permasalahan seperti apa sajakah syarat – syarat umum yang menjadi ketentuan dasar terhadap calon lessee sebagai kualifikasi kelayakan lesse, faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lessee dalam perjanjian leasing, serta upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang dapat dilakukan oleh lessor maupun lessee.
Metode penelitian yang digunakan adalah gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris.
Dari hasil penelitian dan analisis ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan seperti, Prosedur mekanisme leasing sangat diperlukan dalam proses pembuatan perjanjian leasing sebab dalam prosedur tersebut terdapat tahapan yang mengatur setiap tindakan yang harus diambil para pihak. Resiko yang sering dihadapi PT. OTO Multiartha Divisi Mobil adalah macetnya cicilan dari pihak leasing. Kerugian yang dialami PT. OTO Multiartha adalah barang modal yang dilease tidak menjadi hak milik dari orang yang menggunakan barang modal tersebut. Faktor lainnya adalah pihak lessee pailit atau bangkrut, sehingga tidak dapat membayar uang sewa yang telah diperjanjikan. PT. OTO Multiartha mempunyai tiga alternatif apabila terjadinya wanprestasi yaitu negosiasi, melalui badan arbitrase dan melalui pengadilan.
ABSTRAK
Perkembangan perekonomian yang begitu pesat di Indonesia mendorong peningkatan kebutuhan akan dana investasi yang harus dipenuhi, melalui berbagai alternatif sumber pembiayaan yang dapat merupakan sumber dari pembiayaan asing juga terdapat pembiayaan dalam negeri. Keduanya berpengaruh dalam memfasilitasi penyediaan dana bagi kalangan dunia usaha.
Perusahaan pembiayaan leasing merupakan perusahaan pembiayaan yang masih relatif baru, pada awal perekembangannya usaha leasing dipacu oleh pemerintah dalam rangka mendorong dunia usaha dengan memberikan beberapa fasilitas antara lain dengan memberikan penundaan pembayaran perpajakan, sehingga usaha leasing berkembang dengan sangat maju dan pesat.
Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik, menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian kontrak leasing.
Mengenai perlindungan hukum terhadap lessor dalam perjanjian sewa guna usaha, timbullah beberapa permasalahan seperti apa sajakah syarat – syarat umum yang menjadi ketentuan dasar terhadap calon lessee sebagai kualifikasi kelayakan lesse, faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lessee dalam perjanjian leasing, serta upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang dapat dilakukan oleh lessor maupun lessee.
Metode penelitian yang digunakan adalah gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris.
Dari hasil penelitian dan analisis ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan seperti, Prosedur mekanisme leasing sangat diperlukan dalam proses pembuatan perjanjian leasing sebab dalam prosedur tersebut terdapat tahapan yang mengatur setiap tindakan yang harus diambil para pihak. Resiko yang sering dihadapi PT. OTO Multiartha Divisi Mobil adalah macetnya cicilan dari pihak leasing. Kerugian yang dialami PT. OTO Multiartha adalah barang modal yang dilease tidak menjadi hak milik dari orang yang menggunakan barang modal tersebut. Faktor lainnya adalah pihak lessee pailit atau bangkrut, sehingga tidak dapat membayar uang sewa yang telah diperjanjikan. PT. OTO Multiartha mempunyai tiga alternatif apabila terjadinya wanprestasi yaitu negosiasi, melalui badan arbitrase dan melalui pengadilan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah.
Peta perekonomian global yang mendobrak batas-batas wilayah negara,
sistem pasar dan model investasi menjadi acuan seberapa besar potensi laba dan
resiko dari suatu usaha yang akan diadakan oleh investor.
Liberalisasi perdagangan tidak hanya menjadi persaingan anatara komoditi
andalan, tetapi juga merupakan persaingan dibidang jasa, pada kondisi sepereti ini
yang menjadi pertimbangan dari konsumen adalah tingkat efisiensi, sedangkan
produsen /pengusaha adalah tingkat keamanan dari suatu investasi modal yang
diselenggarakan.
Perkembangan perekonomian yang begitu pesat di Indonesia, mendorong
peningkatan kebutuhan akan dana investasi yang harus dipenuhi, melalui berbagai
alternatif sumber pembiayaan yang dapat merupakan sumber dari pembiayaan
asing melalui mekanisme PMA (penanaman modal asing), juga terdapat
pembiayaan dalam negeri yaitu melalui PMDN (penanaman modal dalam
negeri), yang keduanya berpengaruh dalam memfasilitasi penyediaan dana bagi
kalangan dunia usaha, baik yang penyelenggaraannya oleh pihak swasta, koperasi
maupun kekuatan ekonomi yang berbasis negara yaitu Badan Usaha Milik Negara
(BUMN).
Sumber pembiayaan (modal) baik untuk pengadaan barang guna
memenuhi kebutuhan usaha sering diperoleh dari pihak bank dalam bentuk kredit,
tetapi guna kepentingan modal baik berupa pengadaan barang /alat untuk
digunakan bagi kepentingan produksi maupun secara langsung berfungsi sebagai
dapat ditempuh melalui mekanisme leasing yang secara teoritis jelas lebih
menguntungkan bagi usahawan yang memiliki modal banyak untuk melakukan
ekspansi usaha.
Lembaga pembiayaan leasing dibentuk berdasarkan surat keputusan
bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor.Kep.-122/MK/IV/2/1974,
Nomor.32/M/SK/2/1974, 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Februari 1974, tentang
perizinan usaha leasing.
Perusahaan pembiayaan leasing merupakan perusahaan pembiayaan yang
masih relatif baru, pada awal perkembangannya usaha leasing dipacu oleh
pemerintah dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha dengan
memberikan beberapa fasilitas anatara lain dengan memberikan penundaan
pembayaran perpajakan , sehingga usaha leasing berkembang dengan sangat maju
dan pesat.1
Perkembangan perusahaan leasing yang demikian pesat telah semakin kuat
maka timbul pemikiran untuk mengatur usaha leasing dalam suatu peraturan yang
lebih khusus, yaitu melalui KEPPRES No.61 Tahun 1988 tentang perusahaan
pembiayaan, Keputusan Mentri Keuangan No.1251 tahun 1988 tentang ketentuan
dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan serta keputusan Menteri Keuangan
Nomor 1169 tahun 1991 tantang kegiatan sewa guna usaha.
Dalam konteks lembaga leasing (sewa guna usaha) itu sendiri menjadi
perdebatan apakah lembagta jual beli, sewa beli, jual beli dengan angsuran atau
sewa menyewa dengan opsi membeli, hal tersebut berkaitan erat dengan hak
1
kebendaan yang pada salah satu pihak menyangkut batas-batas hak dan tanggung
jawabnya.
Fasilitas yang diadakan oleh perusahaan leasing (sewa guna usaha) sebagai
perusahaan pembiayaan sangat meringankan konsumen yang kekurangan modal
untuk membeli alat pendukung usaha, sehingga leasing menjadi yang sangat
solutif.
Leasing (sewa guna usaha) sebagai lembaga pembiayaan dalam sistem
kerjanya akan menghubungkan kepentingan dari beberapa pihak yang berbeda,
yaitu :2
1. Lessor yang adalah pihak leasing itu sendiri sebagai pemilik modal, yang
nantinya akan memberikan modal alat atau membeli suatu barang.
2. Lessee adalah nasabah atau perusahaan yang bertindak sebagai pemakai
peralatan/barang yang akan di leased atau atau yang akan disewakan pihak
penyewa/lessor.
3. Vendor atau leveransir atau disebut supplier, sebagai pihak ketiga penjual
suatu barang yang akan dibeli oleh lessor untuk disewakan kepada lessee.
Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik , menyangkut
pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari
kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee
dibuat perjanjian financial lease /kontrak leasing.
Bagi lessor keuntungan yang hendak dicapai dalam perjanjian financial
lease dengan lessee semata-mata bertumpu pada terciptanya kepastian hukum
terhadap perjanjian kontrak tentang serankaian pembayaran oleh lessee atas
penggunaan aset yang menjadi objek lease, termasuk pengakuan lessee tentang
2
penguasan objek oleh lessee yang kepemilikannya dipegang oleh lessor,
sehingga melahirkan hak secara hukum bagi lessor bila terjadi wanprestasi oleh
lessee untuk menyita objek lessee.3
Sedangkan kerugiannya dapa berupa :4
a. Sebagai pemilik, lessor mempunyai resiko yang yang lebih beasr dari pada lessee sehubungan dengan barang lease maupun dengan kegiatan operasionalnya, yaitu adanya tanggung jawab atas tuntutan pihak ketiga jika terjadi kecelakaan ataupun kerusakan atas barang orang lain yang disebabkan oleh lease property tersebut.
b. Pihak lessor walaupun statusnya sebagai pemilik dari lease property tetapi tidak bisa melakukan penuntututan (claim) kepada pabrik/suppliernya secara langsung, tindakan tersebut harus dilakukan oleh lessee sebagai pemakai barang.
c. Sebagai pemilik barang , lessor secara hukum harus bertanggung jawab atas pembayaran beberapa kewajiban pajak tertentu.
d. Walaupun lessor mempunyai hak secara hukum untuk menjual leased property, khususnya pada akhir periode lease, lessor belum dapat yakin bahwa barang yang bersangkutan bebas dari ikatan seperti liens (gadai), atau kepentingan-kepentingan lainnya.
Pada suatu financial lease ketentuan menyewakan ulang yang dilakukan
lessee tidak dibenarkan namun kenyataan terhadap hal tersebut sering terjadi.
Bagi lessee, keuntungan yang hendak dicapai dalam perjanjian financial
lease dengan leasing/lessor adalah :5
a. Capital saving, yakni ia tidak perlu menyediakan dana besar , maksimum
hanya down payment (uang muka) yang biasanya jumlahnya banyak.
b. Tidak diperlukan adanya jaminan (agunan).
c. Terhindar dari resiko.
d. Masih tetap mempunyai kesempatan untuk meminjam uang dari
sumber-sumber lain sesuai dengan kredit line yang dimiliki.
e. Mempunyai hak pilih (option rights).
3
Ibid.
4
Ibid., hal. 5
5
Penjelasan tentang tidak diperlukannya jaminan karena konsep dari usaha
leasing (sewa guna usaha) adalah pinjaman modal usaha dan jaminan
kedudukannya dalam perjanjian leasing menjadi ketentuan prinsipil, dasar
pemikiran dari konsep leasing tidak menghilangkan fungsi jaminan sebagai fungsi
modal dalam usaha leasing/lessee, hal tersebut yang menjadi penekanan bahwa
jaminan dalam penerapan perjanjian leasing sangat fleksibel.6
Menyangkut terhindar dari resiko adalah tidak terikatnya seorang lessee pada
kemungkinan hilang atau rusaknya objek leased, karena antisipasi keadaan
tersebut telah beralih ke asuransi. Sedangkan kerugian-kerugian yang dapat timbul
bagi pihak lessee dalam perjanjian financial lease adalah :7
a. Hak kepemilikan barang hanya akan berpindah apabila kewajiban lease sudah diselesaikan dan hak opsi digunakan.
b. Biaya bunga dalam perjanjian financial lease biasanya lebih besar dari pada biaya bunga pinjaman bank.
c. Seandainya terjadi pembatalan perjanjian suatu lease, maka kemungkinan biaya yang akan timbul cukup besar.
d. Hak kepemilikan mungkin dianggap lebih ber-prestige dabn lebih memberikan kepuasan kepada si pemilik.
e. Kemungkinan hilangnya memperoleh kesempatan benefit dari residual
value.
Terkadang hubungan lessor dan lessee hanya harmonis pada awal perjanjian,
pasa saat satu pihak membutuhkan sesuatu (modal pembiayaan) sedang pihak lain
berusaha mendapatkan keuntungan, selanjutnya hubungan lessor dan lessee yang
dalam perusahaan leasing merupakan resiko usaha, bahkan tidak jarang lessor
kehilangan objek leased.
Pada beberapa kondisi mempertimbangkan resiko hilangnya objek yang di
leasingkan, diantara para pihak biasanya diperjanjikan penanggungan jaminan
asuransi terhadap objek leased, namun perlu dimengerti jaminan asuransi terhadap
6
Ibid.
7
claim musnahnya leased terbatas pada sebab musnah karena pencurian bukan
karena penipuan.8
Dalam kajian lebih jauh mencermati fakta yang ada, perlu diakui bahwa
lessorlah yanglebih banyak memberikan prestasi, karena selain barang lessor
hanya pada perjanjian/kontrak yang ada, dengan kemungkinan akan terjadinya
penggelapan benda lessor oleh pihak lessee seperti menjual atau merubah bentuk
objek kebendaan dengan mengabaikan isi perjanjian.
Kerugian-kerugian yang dialami oleh perusahaan leasing /lessor karena status
barang masih miliknya dan lessee hanya memiliki opsi membeli , itupun setelah
berakhirnya pembayaran angsuran, karenanya kemungkinan-kemingkinan
kerugian yang disebabkan wanprestasi pihak lessee diperkecil resikonya dengan
mempertajam kontrak klausula-klausula didalam perjanjian/kontrak, bahkan
membuat akta-akta tambahan sebagai bentuk perjanjian lain yang disatukan
dengan perjanjian pokoknya.
Perusahaan leasing disamping memberikan modal kepada lessee juga harus
mengawasi barang modal dan kegiatan usaha yang dijalankan oleh lessee
sehingga dari hasil pengawasan tersebut akan timbul suatu keyakinan pada lessor
bahwa harga barang modal akan kembali karena kegiatan usaha lessee
mempunyai prospek yang cerah, tetapi karena pengawasan lessor kurang ketat
maka bagi lessee yang bertikad tidak baik akan memanfaatkannya, seperti akan
mengagunkan barang modal kepada Bank untuk mendapatkan kredit.
Penelitian awal penulis pada beberapa kasus dipindah-alihkan objek kepada
pihak lain akan menimbulkan konflik hukum yang tentunya memakan waktu dan
biaya sehingga dilihat dari segi usaha sangat merugikan bagi lessor karena pada
8
akhirnya penyelesaian dari kasus-kasus tersebut adalah lewat gugatan secara
perdata.
Berdasarkan uraian diatas dan dilandasi pemikiran bahwa sangatlah penting
diketahui atau ditemukan mekanisme yang tepat dan efisien untuk memberikan
solusi kepada lessor berupa upaya praktis apa yang mesti dilakukan oleh lessor
untuk menjamin kepastian hukum bagi lessor tentang kesanggupan lessee untuk
membayar uang sewa dari suatu perjanjian leasing dan menyangkut pegawasan
bagaimana yang dilakukan oleh perusahaan leasing terhadap hal-hal yang dapat
menimbulkan wanprestasi dari pihak lessee serta akibatnya dalam perjanjian
leasing dan bagaimana penyelesaian yang akan atau harus ditempuh oleh
perusahaan leasing dalam menghadapi lessee yang mengalami kemacetan
pembayaran uang sewa guna usaha.
Atas dasar uraian diatas penulis merasa tertarik untuk menulis skripsi dengan
judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM
PERJANJIAN LEASING ( SEWA GUNA USAHA )“
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas mengenai perlindungan hukum
terhadap lessor dalam perjanjian sewa guna usaha , penulis dapat merumuskan
beberapa permasalahan yang penting untuk dikaji yaitu :
1. Apa sajakah syarat-syarat umum yang menjadi ketentuan lessor terhadap
calon lessee sebagai kualifikasi kelayakan lessee dan bentuk pengawasan
standart oleh pihak lessor?
2. Apakah faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lesse
3. Bagaimana upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang dapat
dilakukan oleh Lessor maupun lessee dalam menyelesaikan sengketa
wanprestasi yang dilakukan oleh lessee ?
Beberapa permasalahan yang diajukan diatas, diharapkan dapat diketahui
dan dijelaskan bagaimana pentingnyan suatu perlindungan hukum yang diberikan
kepada lessor dengan mendasarkan pada dasar hukum serta kepastian hukum yang
membawa kepada keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus diberikan
antara pihak lessor dan lessee.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan sebagaimana telah
dirumuskan, maka dapat dirumuskan tujuan penulisan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apakah syarat-syarat umum yang diberikan lessor
terhadap lesse untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap
lessor dan bentuk pengawasan standart oleh pihak lessor.
2. Untuk mengetahui apakah faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi
dari pihak lesse dalam perjanjian leasing.
3. Untuk mengetahui apakah upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang
dapat dilakukan oleh Lessor maupun lessee dalam menyelesaikan
sengketa wanprestasi yang dilakukan oleh lessee.
Selain dari tujuan teoritis diatas, karya ilmiah yang dibuat penulis ini juga
bertujuan praktis untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
sarjana lengkap (S – 1), khususnya Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Disamping itu penulis juga berharap agar tulisan ini
menyangkut tentang perlindungan hukum terhadap lessor dalam pelaksanaan
perjanjian – perjanjian leasing di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi seorang calon
sarjana untuk memperoleh gelar kesarjanaannya dalam hal ini untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR
DALAM PERJANJIAN LEASING (SEWA GUNA USAHA)” belum pernah
dibahas sebelumnya oleh orang lain dan ide untuk menulis topik ini merupakan
inisiatif sendiri. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini adalah asli sesuai dengan
asas – asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, serta terbuka.
E.Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah
gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
empiris, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
Penulisan skripsi ini memakai metode penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris. Dalam hal ini penelitian hukum normatif
dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang – undangan dan
bahan – bahan hukum yang berhubungan dengan skripsi ini. Sedangkan
melalui wawancara dengan pihak – pihak tertentu pada perusahaan
leasing, yakni PT. OTO Multiartha Cabang Medan.
2. Data
Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini
dilakukan melalui pengumpulan data primer, skunder dan tersier.
a) Bahan Hukum Primer yaitu norma atau kaedah dasar seperti
pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Peraturan Perundang – undangan dan lain sebagainya.
b) Bahan Hukum Sekunder yaitu buku – buku yang memberikan
penjelasan tentang bahan hukum primer seperti hasil karya dari
kalangan hukum.
c) Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam skripsi ini penulis menggunakan 2 (dua) teknik pengumpulan data,
yaitu :
a) Penelitian Kepustakaan (Library Reasearch)
Penelitian ini adalah penelitian dengan mengumpulkan data dan
meneliti melalui sumber bacaan, menganalisa peraturan perundang –
undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah, surat
kabar, internet, dan sumber lainnya yang berhubungan dengan skripsi
ini.
Kegiatan ini penulis lakukan dengan mengumpulkan bahan – bahan
di lapangan untuk memperoleh data yang akurat dengan permasalahan
yang penulis teliti. Dilakukan dengan mencari informasi langsung pada
instansi atau lembaga yang berhubungan dengan judul skripsi ini,
yakni dengan melakukan wawancara dengan pihak – pihak tertentu
diperusahaan leasing yang menjadi objek penelitian penulis.
4. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif
yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat
sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh yang diperoleh
dari bahan bacaan atau buku – buku, peraturan perundang – undangan dan
hasil analisis perjanjian leasing.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi sistematika penulisan ke dalam
lima bab, dan setiap bab terbagi dalam beberapa sub bab yang lebih kecil. Adapun
perinciannya adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam Bab ini dimana di dalam Pendahuluan ini penulis
menguraikan dan menjelaskan mulai dari Latar Belakang
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Keaslian
Penulisan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan
dalam skripsi ini.
Pada bab ini diuraikan berbagai konsep teoritis yang
berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti yang
meliputi perjanjian pada umumnya, asas – asas hukum
perjanjian, syarat sahnya perjanjian, pihak – pihak dalam
perjanjian, prestasi, wanprestasi dan akibat – akibatnya.
BAB III : PERJANJIAN LEASING
Pada bab ini diuraikan tentang pengertian leasing, leasing
sebagai lembaga hukum perjanjian, jaminan – jaminan
yang diberikan lessee terhadap lessor, efektifitas benda
jaminan dalam penutupan kerugian yang dialami lessor.
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
LESSOR DALAM PERJANJIAN LEASING
Pada bab ini penulis menguraikan syarat-syarat dan
ketentuan umum yang diberikan lessor dan bentuk
pengawasan standart oleh pihak lessor, faktor-faktor
penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lesse dalam
perjanjian leasing dan akibat wanprestasi dalam perjanjian
leasing , upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang
dilakukan lessor maupun Lesse.
BAB V : PENUTUP
Pada Bab ini penulis menguraikan tentang kesimpulan
mengenai permasalahan yang telah dibahas penulis serta
saran atas penulisan yang telah diuraikan pada bab – bab
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Perjanjian Pada Umumnya
Ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata mengawali
ketentuan Buku III Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan
bahwa “Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang – undang”.9
Selanjutnya dalam ketentuan berikutnya, yaitu dalam Pasal 1234 Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa “ Tiap – tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu”.10
Dari kedua rumusan sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa perikatan
melahirkan “kewajiban”, kepada orang perorangan atau pihak tertentu, yang dapat
berwujud dalam salah satu dari tiga bentuk berikut, yaitu :
1. Untuk memberikan sesuatu.
2. Untuk melakukan sesuatu.
3. Untuk tidak melakukan sesuatu tertentu.
Istilah kewajiban itu sendiri dalam ilmu hukum dikenal dengan nama
prestasi, selanjutnya pihak yang berkewajiban dinamakan dengan debitur, dan
pihak yang berhak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban atau prestasi disebut
dengan kreditur.11
Sumber perikatan adalah sebagai berikut12 : 1. Perjanjian
2. Undang – undang yang dapat dibedakan
9
Soedharyo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), hal 313
10
Ibid.
11
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, inan Fidusia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 12
Jam
12
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 6
a) Undang – undang semata
b) Undang – undang karena perbuatan manusia yang : 1) Halal
2) Melawan hukum 3. Jurisprudensi
4. Hukum tertulis dan tidak tertulis 5. Ilmu pengetahuan hukum
Perikatan dapat dibedakan dalam berbagai jenis, yaitu13 :
1. Dilihat dari objeknya
2. Perikatan untuk memberikan sesuatu 3. Perikatan untuk berbuat sesuatu 4. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
Perikatan untuk memberi sesuatu (geven) dan untuk berbuat sesuatu (doen) dinamakan perikatan positif dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu (niet doen) dinamakan perikatan negatif.
5. Perikatan mana suka (alternatif) 6. Perikatan fakultatif
7. Perikatan generik dan spesifik
8. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (deelbaar dan
ondeerlbaar)
9. Perikatan yang sepintas lalu dan terus menerus (voorbijgaande dan
voortdurende)
10. Dilihat dari subyeknya maka dapat dibedakan :
1) Perikatan tanggung menanggung (hoofdlijk atau solidair) 2) Perikatan pokok dan tambahan (principale dan accessoir) 11. Dilihat dari daya kerjanya
12. Perikatan dengan ketetapan waktu.
Meskipun bukan yang paling dominan, namun pada umumnya, sejalan
dengan sifat dari Buku III Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang bersifat
terbuka, perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak
terjadi dalam kehidupan manusia sehari – hari, dan yang juga ternyata banyak
dipelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara luas menjadi aturan-aturan
hukum positif yang tertulis oleh para legislator.14
Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal
1313 Kitab Undang –undang Hukum Perdata menyiratkan bahwa sesungguhnya
dari duatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang
13
Ibid.
14
(pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi
tersebut.
Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu
perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang berhak
atas prestasi tersebut (kreditur).
Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan
dengan perkembangan ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau
lebih badan hukum.
Selanjutnya dalam rumusan Pasal 1314 dan 1313 KUHPerdata, bila
dikembangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib
dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut, debitur yang berkewajiban
tersebut dapat meminta dilakukan “kontra prestasi” dari lawan pihaknya tersebut
atau dengan istilah “dengan atau tanpa beban”.15
Kedua rumusan diatas memberikan banyak arti bagi ilmu hukum, yang
menggambarkan secara jelas bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan
perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi)
dan perikatan yang timbal balik (dengan kedua belah pihak yang berprestasi).16
Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan. Ilmu hukum
mengenal unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut
dengan perjanjian (yang sah), unsur tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam
dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian
15
Ibid.
16
(unsur subyektif), dan dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung
dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).17
Syarat subjektif :18
1. Terjadinya kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang
mengadakan atau melangsungkan perjanjian.
Syarat ini diatur dalam Pasal 1321 sampai pada Pasal 1328
KUHPerdata, pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada
saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa
kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan
maupun penipuan, kekhilafan tidak mengakibatkan dapat
dibatalkannya perjanjian, kecuali jika kekhilafan tersebut terjadi
mengenai hakekat dari kebendaan yang menjadi pokok persetujuan.
2. Adanya kecakapan pihak-pihak yang berjanji.
a. Kecakapan dalam rangka tindakan pribadi orang perorangan (Pasal
1329 sampai dengan pasal 1331 KUHPerdata)
Pada prinsipnya semua orang dianggap cakap untuk melakukan
tindakan hukum, kecuali mereka yang masih berada dibawah umur,
yang berada dibawah pengampuan, dan mereka yang dinyatakan
pailit (Pasal 1330 KUHPerdata).
b. Kecakapan dalam hubungan dengan pemberi kuasa
Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kecakapan bertindak
dalam hukum, tidak hanya dari pihak yang memberi kuasa,
melainkan juga dari pihak yang menerima kuasa secara
bersama-
17
Wirjono Prodjodikoro, Asas – asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 12
18
sama. Khusus untuk orang perorangan, maka berlakulah
persyaratan yang ditentukan dalam Kitab Undang – Undang
Hukum Perdata.
c. Kecakapan dalam hubungannya dengan sifat perwalian dan
perwakilan.
Dalam hal perwalian maka harus diperhatikan kewenangan
bertindak yang diberikan oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Syarat Objektif :19
1. Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai
keharusan adanya suatu obyek dalam perjanjian.
Hal ini adalah konsekuensi logis dari perjanjian itu sendiri. Tanpa
adanya suatu obyek, yang merupakan tujuan dari para pihak, yang
berisikan hak dan kewajiban dari salah satu atau para pihak dalam
perjanjian, maka perjanjian itu sendiri “ absurd” adanya.
2. Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata
Mengatur mengenai kewajiban adanya suatu causa yang halal dalam
setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, pasal 1337
KUHPerdata memberikan perumusan secara negatif, dengan
menyatakan bahwa suatu causa dianggap sebagai terlarang, jika
causa tersebut dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, maupun
ketertiban umum yang berlaku dalam masyarakat dari waktu ke
waktu.
Asas – asas umum dalam perjanjian meliputi20 :
19
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Rumusan ini dapat ditemukan di dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang dipertegas kembali dengan ketentuan ayat (2) nya yang menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian, atau dalam hal-hal dimana oleh undang- undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu.
Secara umum, kalangan ilmuwan hukum menghubungkan dan memperlakukan ketentuan sebagai mana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata sebagai asas kebebasan berkontrak.
2. Asas Konsensualitas
Asas konsensualitas merupakan kesatuan dari sistem terbuka buku III KUHPerdata, hukum perjanjian memberikan kesempatan seluas – luasnya pada para pihak untuk membuat perjanjian yang akan mengikat mereka sebagai undang – undang, selama dan sepanjang dapat dicapai kesepakatan oleh para pihak. Suatu kesepakatan lisan diantara para pihak telah mengikat para pihak yang telah bersepakat secara lisan tersebut, dan oleh karena ketentuan ini mengenai kesepakatan lisan diatur didalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka rumusan tersebut dianggap sebagai dasar asas konsensualitas dalam hukum perjanjian.
3. Asas Personalia
Asas Personalia ini dapat kita temui dalam rumusan Pasal 1315 KUHPerdata yang dipertegas lagi oleh ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata, dari kedua rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya perjanjian hanya akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara para pihak yang membuatnya. Pada dasarnya seorang tidak dapat mengikatkan dirinya untuk kepentingan maupun kerugian bagi pihak ketiga, kecuali dalam hal terjadinya peristiwa penanggungan (dalam hal demikianpun penanggungan tetap berkewajiban untuk membentuk perjanjian dengan siapa penanggungan tersebut akan diberikan dan dalam hal yang demikian maka perjanjian yang ditanggung dalam perjanjian penanggungan). Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, demi hukum hanya akan mengikat para pihak yang membuatnya.
B. Asas – asas Hukum Perjanjian
20
Menurut Rutten dalam buku Purwahid Patrik menyebutkan asas – asas
hukum perjanjian yang didalam Pasal 1338 KUHPerdata ada tiga asas yaitu :21
a. Asas Konsensualisme
Bahwa perjanjian yang dibuat pada umumnya bukan secara formil tetapi
konsensual, artinya perjanjian itu ada karena persesuaian kehendak atau
konsensus semata-mata.
b. Asas Kekuatan Mengikat Dari Perjanjian
Bahwa pihak – pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan,
sebagaimana disebut dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian
berlaku sebagai undang – undang bagi para pihak.
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Bahwa orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas
menentukan isi, berlakunya dan syarat – syarat perjanjian, dengan bentuk
tertentu atau tidak dan bebas memilih undang – undang mana yang akan
dipakainya untuk perjanjian itu.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman di dalam hukum perjanjian terdapat
beberapa asas, sebagai berikut :22
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas dari hukum perjanjian dan
tidak berdiri sendiri, hanya dapat ditentukan setelah kita memahami
posisinya dalam kaitan yang terpadu dengan asas – asas hukum perjanjian
yang lain, secara menyeluruh asas – asas ini merupakan pilar, tiang,
pondasi dari hukum perjanjian.
21
Wiryono Prodjodikoro, Loc. Cit., Asas – Asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 5
22
Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian,
yaitu kebebasan menentukan “ apa “ dan dengan “ siapa” perjanjian ini
diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata
mempunyai kekuatan mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah satu
asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian, kebebasan adalah
perwujudan dari kehendak bebas pancaran hak asasi manusia.23
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dengan perkataan lain bahwa di
dalam kebebasan terkandung tanggung jawab, di dalam hukum perjanjian nasional
asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara
keseimbangan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan
batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. Asas
kebebasan berkontrak mendukung kedudukan yang seimbang diantara para pihak,
sehingga sebuah perjanjian akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi
kedua pihak.24
Asas Kebebasan berkontrak menurut Hartkamp menyebutkan bahwa kita
terikat pada perjanjian yang harus dipenuhi secara moral, secara hukum karena
kita berada dalam suatu masyarakat yang beradab dan maju. Untuk itu diperlukan
suatu prinsip yaitu adanya kebebasan berkontrak yang merupakan suatu bagian
dari hak – hak dan kebebasan manusia.25
Menurut Bentham dalam buku Johanes Ibrahim menyebutkan ukuran yang
menjadi patokan sehubungan dengan kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap
orang dapat bertindak bebas, tanpa dapat dihalangi hanya karena memiliki
bargaining position atau posisi tawar untuk dapat memperoleh uang untuk
23
Ibid.
24
Ibid., hal 14
25
memenuhi kebutuhannya, juga tidak seorangpun sebagai satu pihak dalam suatu
perjanjian dapat dihalangi untuk dapat bertindak bebas memenuhi hal tersebut,
asal saja pihak yang lain dapat menyetujui syarat – syarat perjanjian itu sebagai
hal yang patut diterima, secara umum tidak seorangpun dapat mengetahui apa
yang baik untuk kepentingan seseorang kecuali dirinya sendiri, pemerintah tidak
boleh ikut campur tangan dalam hal yang tidak dipahaminya.26
Asas kebebasan berkontrak berarti para pihak dapat membuat perjanjian apa
saja asal tidak bertantangan dengan undang – undang, ketertiban umum dan
kesusilaan.27
a. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme yang terdapat didalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi atas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.
Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya. Kata semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang – undang.28
b. Asas Kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain akan menumbuhkan kepercayaan diantara pihak, bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya, tanpa adanya kepercayaan maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, dengan kepercayaanm kedua pihak mengikatkan dirinya dan perjanjian itu mempunyai kekuatan sebagai undang – undang.29
c. Asas Kekuatan Mengikat
Para pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjiakan, terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata – mata pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga ada beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki yaitu kebiasaan dan kepatutan serta moral yang mengikat para pihak.30
d. Asas Persamaan Hukum
26
Ibid.
27
Ibid., hal 92
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain – lain. Masing – masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan tuhan.31
e. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian, asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntuk pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, dapat dilihat bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.32
f. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang – undang para pihak.33
g. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan.34
h. Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang – undang.
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah sah apabila
memenuhi empat syarat sebagai berikut : 35
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
31
Ibid., hal 93
32
Ibid.
33
Ibid., hal 94
34
Ibid., hal. 95
35
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Dua syarat pertama disebut syarat Subjektif, karena menyangkut
subjeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua
syarat terakhir adalah syarat objektif. Berikut ini uraian masing – masing
syarat tersebut:
a. Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya
Menurut Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan jika didalam suatu
perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan dan penipuan, maka berarti di
dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar para pihak
dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan.36
b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan
Menurut Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan setiap orang adalah
cakap untuk membuat suatu perikatan, kecuali jika undang – undang
menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap, orang – orang
yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang – orang yang
belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampunan.37
c. Suatu Hal Tertentu
Menurut Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan hanya barang –
barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu
perjanjian. Pasal 1334 KUHPerdata menyebutkan barang – barang
yang baru akan ada, di kemudian hari dapat menjadi suatu pokok
perjanjian.
36
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Op.Cit. hal 25
37
d. Suatu Sebab Yang Halal
Pengertian suatu sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan
perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan undang – undang kesusilaan maupun ketertiban
umum menurut Pasal 1337 KUHPerdata.38
D. Pihak – Pihak dalam Perjanjian
Pihak – pihak disini adalah siapa – siapa yang terlibat di dalam
perjanjian. Berdasarkan pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata,
pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut. Asas ini dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian.
Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan, pada umumnya tak seorangpun
dapat mengikatkan diri atas nama sendiri. Namun dalam Pasal 1340
KUHPerdata pada pokoknya menentukan bahwa perjanjian hanya berlaku
diantara pihak yang mengadakannya.39
Terhadap asas kepribadian tersebut dalam pengecualiannya, yakni apa
yang disebut dengan janji pada pihak ketiga. Pasal 1317 KUHPerdata
menyatakan sebagai berikut :
“lagi pula diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji
guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang
38
Ibid., hal 26
39
dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang
dilakukan kepada seorang lain memuat satu janji yang seperti itu.”
Menurut R. Setiawan yang dimaksud dengan janji untuk pihak ketiga
adalah janji yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu persetujuan dimana
ditentukan bahwa pihak ketiga akan memperoleh hak atas suatu prestasi.40
Berdasarkan Pasal 1317 KUHPerdata, maka timbulnya hak bagi pihak
ketiga terhadap prestasi yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu
perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga itu menyatakan kesediannya
menerima prestasi tersebut.41
Selain dari pengaturan hal diatas didalam perjanjian, terutama
mengenai pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing, dalam prakteknya
terdapat beberapa pihak yang terlibat atau terkait, misalnya : 42
1) Pihak Surveyor atau pihak pemeriksa dari pihak lessor
Tugas utama pihak Surveyor ini adalah memeriksa dan meneliti
rentabilitas dan solvabilitas calon leassee tersebut.
2) Pihak Pembuat Akta Perjanjian
Pihak ini pada umumnya adalah Pejabat Notaris, tugas utama dari
notaris ini adalah membuat akta tentang perjanjian dan segala tindakan
dalam perjanjian leasing tersebut.
Dalam prakteknya terdapat beberapa pihak yang terkait langsung maupun
tidak langsung di dalam mempersiapkan atau pelaksanaan perjanjian leasing itu,
antara lain :43
40
R. Setiawan, Pokok – Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta : Binacipta, 1987), hal 54
41
Ibid.
42
Ibid.
43
1. Lessor, pihak yang menyewakan barang, terdiri dari beberapa
perusahaan. Lessor disebut juga sebagai investor, equity holder, owner
participants atau truster owners.
2. Lessee, yaitu pihak yang memerlukan barang modal, dimana barang
modal tersebut dibiayai oleh lessor dan diperuntukkan kepada lessee.
3. Kreditur atau lender, yaitu pihak yang disebut juga dengan debt holders
atau loan participants dalam suatu transaksi leasing. Umumnya kreditur
atau lender terdiri dari bank, insurance company trust dan yayasan.
4. Supplier, yaitu penjual atau pemilik barang yang disewakan dapat
terdiri dari perusahaan yang berada di dalam negri ataupun yang
berkantor pusat diluar negri.
5. Surveyor, pihak peneliti atau pemeriksa.
6. Pejabat Pembuat Akta Notaris.
E. Prestasi, Wanprestasi dan Akibat – akibatnya
Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap – tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk membuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu”.
Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan “ Dalam tiap – tiap
perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaksud kewajiban si berutang
untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya
sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada saat penyerahan.”
Dari pasal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu
menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu
penyerahannya.
Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan dalam pasal 1235
KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu :44
1. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi objek
perjanjian.
2. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian, yang
dinamakan penyerahan yuridis.
Wujud prestasi yang lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat
sesuatu” . berbuat sesuatu adalah melakukan sesuatu perbuatan yang telah
ditetapkan di dalam perjanjian. Tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan
sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan didalam suatu
perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian
tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan.
Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia atau menolak memenuhi
prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan. Hal inilah yang disebut
wanprestasi.
Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena
kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak diperbolehkan dilakukan.
Menurut R. Subekti melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya
juga dinamakan wanprestasi.45 Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan
debitur dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau
44
Ibid.,
45
bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi itu sangat menentukan sejak kapan
seorang debitur dapat dikatakan telah wanprestasi.
Dalam hal wujudnya prestasinya “memberikan sesuatu” maka perlu pula
dipernyatakan apakah di dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai
tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila tenggang waktu pemenuhan
prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238
KUHPerdata debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu
pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak
dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu
memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi,
maka ia telah dinyatakan wanprestasi.46
Surat peringatan tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang
digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Untuk perikatan
yang wujud prestasinya “tidak berbuat sesuatu” kiranya tidak menjadi persoalan
untuk menentukan sejak kapan seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila
debitur melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia
dinyatakan telah wanprestasi.
Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau
ingkar janji, melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya, kata “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda yang berarti
prestasi buruk. Debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat – syarat
46
diatas dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang
dilakukan debitur dapat berupa empat macam, yaitu :47
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Permasalahan tentang wanprestasi, terdapat pendapat lain mengenai syarat
– syarat terjadinya wanprestasi, yaitu :48
a. Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu
menyatakan peringatan atau teguran karena karena hal ini percuma
sebab debitur memang tidak mampu berprestasi.
b. Debitur salah berprestasi, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik
untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan
pemenuhannya.
c. Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini banyak kasus yang dapat
menyamakan bahwa terlambat berprestasi dengan tidak berprestasi
sama sekali.
Berdasarkan dengan akibat wanprestasi tersebut, Abdul Kadir Muhammad
berpendapat “akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah
hukuman atau sanksi sebagai berikut :49
a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita
kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata)
47
Ibid.
48
Loc. Cit
49
b. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari suatu
pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau
memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata)
c. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal
1237 (2) KUHPerdata), ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan
untuk memberikan sesuatu.
d. Membayar biaya perkara apabila perkara diperkarakan dimuka hakm
(Pasal 181 (1) HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi
tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua
perikatan.
e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan
perjanjian disertai dengan pembatalan ganti kerugian (Pasal 1267
KUHPerdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.
Dari beberapa akibat wanprestasi tersebut, kreditur dapat memilih diantara
beberapa kemungkinan sebagai berikut :
a. Meminta pelaksanaan perjanjian walaupun pelaksanaan sudah
terlambat.
b. Meminta penggantian kerugian menurut pasal 1243 KUHPerdata, ganti
rugi ini dapat berupa biaya (konsten), rugi (schaden), atau bunga
(interessen).
c. Meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, bila perlu disertai
dengan penggantian kerugian (Pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal 1267
KUHPerdata).
Sehubungan dengan kemungkinan pembatalan lewat hakim sebagaimana
perjanjian tersebut sudah batal karena kelalaian pihak debitur atau apakah harus
dibatalkan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim tersebut bersifat
declaratoir atau bersifat constitutive. 50
R. subekti mengemukakan bahwa “menurut pendapat yang paling banyak
dianut, bukannya kelalaian debitur, tetapi putusan hakimlah yang membatalkan
perjanjian sehingga putusan hakim itu bersifat constitutive bukan declaratoir.51
50
Ibid.
51
36
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM PERJANJIAN
LEASING
A. Pengertian Leasing
Perkataan Leasing bersal dari bahasa Inggris yaitu kata lease , kata ini
secara umum berarti menyewakan akan tetapi harus dibedakan dengan istilah
Inggris lain yang senada, yaitu rent yang ditinjau dari sudut hukum mempunyai
maksud berbeda. Namun dibandingkan dengn menyewakan, leasing lebih luas
ruang lingkupnya atau lebih banyak variasinya. Ada beberapa negara yang
berusaha untuk mencari nama lain dari leasing kedalam bahasa nasionalnya tetapi
pada kenyataannya mengalami kesulitan karena menimbulkan penafsiran yang
berbeda – beda.52
Dalam Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, Menteri Keuangan,
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No. KEP-122/MK/IV/2/1974,
No. 32/M/SK/2/1974, No. 30/Kbp/I/1974 secara resmi mengartikan leasing
sebagai berikut :
“setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang
– barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu
tertentu, berdasarkan pembayaran – pembayaran secara berkala disertai dengan
hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang – barang modal
52
yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai
sisa yang telah disepakati bersama.”53
Sedangkan Sri Soedewi mengartikan leasing adalah :
“segala perjanjian dimana si penyewa (lessee) menyewa barang modal
untuk usaha tertentu dengan mengangsur untuk jangka waktu tertentu dan jumlah
angsuran tertentu, dimana lamanya perjanjian sewa menyewa, beberapa kali
mengangsur umlah angsuran, sama dengan nilai ekonomi dari benda itu.”54
Dari definisi leasing ini, dinyatakan bahwa leasing adalah suatu kegiatan
pembiayaan, berarti suatu pengertian ekonomi. Sedangkan bila ditinjau dari segi
hukum, leasing adalah suatu lembaga hukum perjanjian. Dan pengertian leasing
terlalu kompleks untuk dianggap sebagai bentuk perjanjian sewa menyewa saja.
Karena dalam perjanjian sewa menyewa tidak selalu dicantumkan janji – janji
khusus yang memberikan kepada si penyewa yaitu suatu hak pilih (optie),
sedangkan dalam perjanjian leasing hak optie ini selalu diperjanjikan.
Untuk membuktikan bahwa leasing adalah suatu lembaga hukum
perjanjian, dapat dilihat dari perumusan Pasal 1 Surat Keputusan Tiga Menteri itu,
yang jika dianalisa secara hukum dapat disimpulkan bahwa leasing adalah suatu
kegiatan pembiayaan oleh suatu perusahaan untuk dinikmati oleh perusahaan
lainnya. Jadi ada dua pihak yang mempunyai suatu persetujuan untuk saling
mengikat. Dengan demikian leasing terbukti sebagai suatu perjanjian dan titik
53
Soejono Soekanto, Inventarisasi Perundang – Undangan Mengenai Leasing, (Jakarta, : IND HILL Co, 1986), hal 4
54
tolak dari hukum perjanjian adalah diatur dalam Kitab Undang – Undang
Hukum Perdata.55
Setelah menentukan bahwa dasar perjanjian leasinh adalah ketentuan –
ketentuan yang tertera dalam KUHPerdata yang berlaku di Indonesia, maka
perjanjian tersebut harus dibentuk menurut KUHPerdata itu dan secara konsisten
menerapkan ketentuan – ketentuan tersebut sesuai dengan perkembangan
interpretasi dan yurisprudensi Indonesia untuk semua unsur dalam perjanjian
leasing itu, maupun terhadap dampak – dampak di bidang hukum seperti
wanprestasi.56
Unsur – unsur yang terlihat jelas dalam definisi leasing menurut Surat
Keputusan Tiga Menteri tersebut adalah sebagai berikut :
1. Leasing adalah suatu bentuk pembiayaan, bukan bentuk lainnya.
2. Yang disediakan adalah barang modal, yang macamnya sudah
dinyatakan jelas dalam lampiran izin leasing yang dikeluarkan oleh
Departemen Keuangan.
3. Digunakan oleh perusahaan, baik yang berbentuk badan hukum
maupun yang tidak berbentuk badan hukum.
4. Jangka waktu tertentu dan disesuaikan pula dengan masa ekonomis
dari barang modal dan kemampyan yang bersangkutan.
5. Pembayaran berkala, tidak dapat dibayar sewaktu – waktu.
6. Ada hak pilih pada masa akhir lessee.
B. Leasing Sebagai Lembaga Hukum Perjanjian
55
Murti Sianipar, Dasar Hukum dan Masalah Hukum Dalam Industri Leasing di Indonesia, ( Bandung : Nuansa Aulia, 1999), hal 5
56
Seperti sudah dijabarkan pada bagian sebelumnya tentang pengertian
leasing, kedudukan leasing adalah sebagai perjanjian bernama di luar
KUHPerdata, perjanjian bernama ini antara lain terdiri dari :
1. Perjanjian keagenan dan distributor, berdasarkan SK Menteri
Perindustrian No. 295/M/SK/7/1992 dan SK No. 428/M/SK/12/1987,
yang mengatur khusus tentang keagenan jenis barang kendaraan
bermotor dan alat – alat besar serta keagenan alat – alat elektronik dan
alat – alat listrik untuk rumah tangga.
2. Perjanjian Pembiayaan, lahir dari kepres No. 1251/KMK.013/1988,
KPTS Mentri Keuangan No. 1169/KMK.01-1991 tentang kegiatan
Sewa Guna Usaha (leasing), undang – undang Perbankan No. 7/1992.
Perjanjian pembiayaan ini antara lain sebagai nberikut :
a. Perjanjian Sewa Guna Usaha
b. Perjanjian Anjang Piutang
c. Perjanjian Modal Ventura
d. Perjanjian Kartu Kredit
e. Perjanjian Pembiayaan Konsumen
f. Perjanjian Simpanan
g. Perjanjian Kredit
h. Perjanjian Penitipan
i. Perjanjian Bagi Hasil.57
Leasing merupakan suatu “kata atau peristilahan” baru dari bahasa asing
yang masuk kedalam bahasa Indonesia, yang sampai sekarang padanannya dalam
bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak atau belum ada yang dirasa cocok.
57
Istilah Leasing ini sangat menarik karena bertahan dalam nama tersebut tanpa
diterjemahkan dalam bahasa setempat, baik di Amerika yang merupakan asal –
usul addanya lembaga leasing ini, maupun di negara – negara yang telah
mengenal lembaga leasing ini.
Secara umum leasing artinya adalah equipment funding, yaitu pembiayaan
peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan
baik secara langsung maupun tidak.58
Adapun definisi lain dari leasing daopat dikemukakan sebagai berikut:
Berdasarkan pasal 1 surat keputusan bersama tiga menteri, menteri keuangan
,menteri perdagangan, dan menteri perindustrian NO.KEP.122/MK/IV/2/1974,
NO.32/M/SK/2/1974, dan NO.30/kpb/I/1974, menyebutkan bahwa leasing adalah;
“ setiap kegiatan pembiayaan perusahaan perusahaan dalam bentuk
penyediaan barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan tertentu,
berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala, disertai dengan hak
pilih (optie) bagi perusahaan leasing tersebut untuk membeli
barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu
leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama”.
Sejak dikeluarkan surat keputusan bersama tiga menteri mengenai status
hukum leasing di Indonesia, maka para sarjana hukum di Idonesia bertanya-tanya
tentang apakah leasing itu bila ditinjau dari segi hukum di Indonesia, sebab
selama ini segi – segi ekonomislah yang lebih sering ditonjolkan dalam informasi
teknis yang diberikan oleh pihak – pihak yang bersangkutan, namun aspek
yuridisnya belumlah dianalisis secara mendalam.
58
Bertalian dengan sifat hukum perdata dari leasing tampaknya ada dua
pendapat yang berlawanan :59
Pendapat yang pertama menyatakan bahwa leasing dalam pengertian
yuridis adalah sewa menyewa, sedangkan pendapat yang kedua menyatakan
bahwa kontrak lease berdasarkan hukum perdata tidak dapat ditetapkan di bawah
satu penyebutan (noemen).
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 1 huruf (a) Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1169 Tahun 1991 Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
(leasing) menyebutkan :
“sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance
Lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk
digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran
secara berkala”.
Dalam pengumuman Direktorat Jendral Moneter No. Peng 307/DJM/III.
I/7.1974 Tanggal 8 Juli 1974, yang menyebutkan bahwa untuk kepentingan
pengawasan dan pembinaan pada pengusaha leasing diharuskan menyampaikan
kepada Direktur Jendral Moneter, Departemen Keuangan, antara lain “copy
kontrak leasing dan sebagainya”, dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian
leasing harus dibuat secara tertulis. Akan tetapi tidak ditentukan atau diwajibkan
apakah perjanjian leasing harus berbentuk akta otentik/akta notaris atau akta
dibawah tangan. Jadi terserah pada pihak-pihak yang bersangkutan untuk
menentukan apakah akan membuat perjanjian itu dengan akta notaris atau tidak.60
59
Komar andasasmita, leasing (Teori dan Praktek), Op. Cit., hal 38
60
Namun ditinjau dari sudut hukum pembuktian yang berlaku di
Indonesia, pada Pasal 1870 KUHPerdata menentukan bahwa :61
“bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun
bagi orang – orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik
memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya”.
Menurut pengumuman Direktorat Jendral Moneter Nomor
Peng-307/DJM/III. 1/7/1974, isi perjanjian leasing harus memuat keterangan terperinci
mengenai :
1. Objek perjanjian financial lease
2. Janngka waktu financial lease
3. Harga sewa serta cara pembayarannya
4. Kewajiban perpajakan
5. Penutupan asuransi
6. Perawatan barang
7. Penggantian dalam hal barang hilang/rusak.
Dapat dibandingkan dengan pendapat Komar Andasasmita bahwa dalam
perjanjian kontrak leasing/financial lease sedikitnya harus memuat :62
1. Objek lease
2. Hak milik dari barang lease
3. Lamanya kontrak
4. Kewajiban lessor dan lessee
5. Pertanggungan asuransi
61
Soedharya Soimin, Op. Cit ., Hal. 436
62
Pada prinsipnya pengertian dari lembaga leasing itu sendiri adalah sama
dan harus trdiri dari unsur – unsur pengertian sebagai berikut :63
1. Pembiayaan perusahaan
2. Penyediaan barang – barang modal
3. Adanya jangka waktu tertentu
4. Pembayaran secara berkala
5. Adanya hak pilih (optie)
6. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama.
Untuk memahami isi dan fungsi lembaga yang baru berkembang ini,
dirasakan perlu untuk mengadakan penggolongan jenis – jenis leasing tersebut,
serta meneliti ciri – ciri khususnya masing – masing, usaha ini telah dilakukan
oleh beberapa penulis, oleh ikatan – ikatan profesi dan oleh persatuan pengusaha
leasing itu sendiri.64
Dalam melakukan klasifikasi ini berbagai macam kriteria telah
dipergunakan, misalnya :
1. Pembagian risiko ekonomis diantara pihak – pihak yang terkait
pada suatu kontrak lease
2. Jenis benda yang merupakan objek lease
3. Isi paket jasa yang dilakukan oleh leasor
Kriteria yang paling lazim dipergunakan adalah pembagian risiko
ekonomis diantara pihak – pihak yang terkait pada suatu kontrak lease,
63
Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Op. Cit.,Hal. 9
64
berdasarkan kriteria ini leasing dapat dibedakan dalam operational leasing dan
financial leasing.65
Leasing dipandang sebagai suatu cara yang memungkinkan suatu badan
usaha memperoleh alat – alat produksi yang diinginkan oleh leassee, oleh karena
itu maka leassee berkewajiban memenuhi seluruh pembayaran, ia tidak berhak
menghentikan perjanjian tersebut sebelum harga pembelian barang ditambah
dengan sejumlah keuntungan, biaya dan bunga terbayar lunas.66
Dilihat dari segi transaksi yang terjadi antara lessor dan lessee maka sewa
guna usaha dapat dibedakan menjadi dua (2) jenis yaitu :
1. Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease)
2. Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease)
Ciri utama dari sewa guna usaha dengan hak opsi adalah pada akhir
kontrak, lessee mempunyai hak pilih untuk membeli barang modal sesuai dengan
nilai sisa (residual value) yang disepakati atau pengembaliannya kepada lessor,
atau memperpanjang masa kontrak sesuai dengan syarat – syarat yang telah
disetujui bersama.
Pada sewa guna usaha jenis ini, lessee menghubungi lessor untuk memilih
barang modal yang dibutuhkan, memesan, memeriksa, dan memelihara barang
modal tersebut, selama masa sewa, lessee membayar sewa secara berkala dari
jumlah seluruhnya ditambah dengan pembayaran nilai sisa (full pay out), sehingga
bentuk pembiayaan ini disebut fullplay out lease atau capital lease.67
C. Jamninan – jaminan yang Diberikan Leassee Terhadap Lessor
65
Ibid.
66
Ibid.
67
Secara teoritis yuridis pemberian jaminan pada perjanjian leasing
berlaku aturan umum dalam KUHPerdata, yang dapat dijumpai pada Pasal 1131
dan Pasal 1132, yang isinya :
Pasal 113 : “segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan”.
Pasal 1132 : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama – sama bagi
semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan
penjualan benda – benda itu dibagi – bagi menurut
keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing –
masing, kecuali diantara piutang itu ada alasan – alasan yang sah
untuk didahulukannya.”
Dari landasan pemikiran diatas dapat dikemukakan kenyataan praktek
bahwa pemberian jaminan pada perjanjian leasing pada praktek kebiasaan menjadi
keharusan untuk turut serta diberikan, jaminan yang diberikan pada umumnya
adalah BPKB dari kendaraan roda empat (objek dari perjanjian leasing yang pada
umumnya ada).
Keganjilan pada proses p