• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Lessor Dalam Perjanjian Leasing (Sewa Guna Usaha)(Studi Kasus Pada PT. OTO Multiartha Cabang Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Lessor Dalam Perjanjian Leasing (Sewa Guna Usaha)(Studi Kasus Pada PT. OTO Multiartha Cabang Medan)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM

PERJANJIAN LEASING (SEWA GUNA USAHA)

(Studi Kasus Pada PT. OTO Multiartha Cabang Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan memenuhi syarat – syarat

untuk

memperoleh gelar

SARJANA HUKUM

OLEH :

YUHDI FITHRIAWAN

NIM. 070200212

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

 

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...

DAFTAR ISI...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Pada Umumnya ... 15

B. Asas – asas Hukum Perjanjian ... 20

C. Syarat Sahnya Perjanjian ... 24

D. Pihak – pihak dalam Perjanjian... 26

E. Prestasi,Wanprestasi, dan Akibat – akibatnya ... 28

BAB III PERJANJIAN LEASING A. Pengertian Leasing ... 38

B. Leasing sebagai Lembaga Hukum Perjanjian ... 37

C. Jaminan – jaminan yang Diberikan Lessee Terhadap Lessor ... 43

D. Efektifitas Benda Jaminan dalam Penutupan Kerugian yang Dialami Lessor ... 45

(3)

B. Faktor – faktor Penyebab Terjadinya Wanprestasi dari Pihak Lesse

dalam Perjanjian Leasing ... 59

C. Upaya – upaya Penyelesaian Wanprestasi yang Dilakukan

Lessor Maupun Lessee... 62

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN ... 76

B. SARAN ... 79

DAFTAR PUSTAKA ...

(4)

ABSTRAK

Perkembangan perekonomian yang begitu pesat di Indonesia mendorong peningkatan kebutuhan akan dana investasi yang harus dipenuhi, melalui berbagai alternatif sumber pembiayaan yang dapat merupakan sumber dari pembiayaan asing juga terdapat pembiayaan dalam negeri. Keduanya berpengaruh dalam memfasilitasi penyediaan dana bagi kalangan dunia usaha.

Perusahaan pembiayaan leasing merupakan perusahaan pembiayaan yang masih relatif baru, pada awal perekembangannya usaha leasing dipacu oleh pemerintah dalam rangka mendorong dunia usaha dengan memberikan beberapa fasilitas antara lain dengan memberikan penundaan pembayaran perpajakan, sehingga usaha leasing berkembang dengan sangat maju dan pesat.

Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik, menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian kontrak leasing.

Mengenai perlindungan hukum terhadap lessor dalam perjanjian sewa guna usaha, timbullah beberapa permasalahan seperti apa sajakah syarat – syarat umum yang menjadi ketentuan dasar terhadap calon lessee sebagai kualifikasi kelayakan lesse, faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lessee dalam perjanjian leasing, serta upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang dapat dilakukan oleh lessor maupun lessee.

Metode penelitian yang digunakan adalah gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris.

Dari hasil penelitian dan analisis ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan seperti, Prosedur mekanisme leasing sangat diperlukan dalam proses pembuatan perjanjian leasing sebab dalam prosedur tersebut terdapat tahapan yang mengatur setiap tindakan yang harus diambil para pihak. Resiko yang sering dihadapi PT. OTO Multiartha Divisi Mobil adalah macetnya cicilan dari pihak leasing. Kerugian yang dialami PT. OTO Multiartha adalah barang modal yang dilease tidak menjadi hak milik dari orang yang menggunakan barang modal tersebut. Faktor lainnya adalah pihak lessee pailit atau bangkrut, sehingga tidak dapat membayar uang sewa yang telah diperjanjikan. PT. OTO Multiartha mempunyai tiga alternatif apabila terjadinya wanprestasi yaitu negosiasi, melalui badan arbitrase dan melalui pengadilan.

(5)

ABSTRAK

Perkembangan perekonomian yang begitu pesat di Indonesia mendorong peningkatan kebutuhan akan dana investasi yang harus dipenuhi, melalui berbagai alternatif sumber pembiayaan yang dapat merupakan sumber dari pembiayaan asing juga terdapat pembiayaan dalam negeri. Keduanya berpengaruh dalam memfasilitasi penyediaan dana bagi kalangan dunia usaha.

Perusahaan pembiayaan leasing merupakan perusahaan pembiayaan yang masih relatif baru, pada awal perekembangannya usaha leasing dipacu oleh pemerintah dalam rangka mendorong dunia usaha dengan memberikan beberapa fasilitas antara lain dengan memberikan penundaan pembayaran perpajakan, sehingga usaha leasing berkembang dengan sangat maju dan pesat.

Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik, menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian kontrak leasing.

Mengenai perlindungan hukum terhadap lessor dalam perjanjian sewa guna usaha, timbullah beberapa permasalahan seperti apa sajakah syarat – syarat umum yang menjadi ketentuan dasar terhadap calon lessee sebagai kualifikasi kelayakan lesse, faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lessee dalam perjanjian leasing, serta upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang dapat dilakukan oleh lessor maupun lessee.

Metode penelitian yang digunakan adalah gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris.

Dari hasil penelitian dan analisis ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan seperti, Prosedur mekanisme leasing sangat diperlukan dalam proses pembuatan perjanjian leasing sebab dalam prosedur tersebut terdapat tahapan yang mengatur setiap tindakan yang harus diambil para pihak. Resiko yang sering dihadapi PT. OTO Multiartha Divisi Mobil adalah macetnya cicilan dari pihak leasing. Kerugian yang dialami PT. OTO Multiartha adalah barang modal yang dilease tidak menjadi hak milik dari orang yang menggunakan barang modal tersebut. Faktor lainnya adalah pihak lessee pailit atau bangkrut, sehingga tidak dapat membayar uang sewa yang telah diperjanjikan. PT. OTO Multiartha mempunyai tiga alternatif apabila terjadinya wanprestasi yaitu negosiasi, melalui badan arbitrase dan melalui pengadilan.

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah.

Peta perekonomian global yang mendobrak batas-batas wilayah negara,

sistem pasar dan model investasi menjadi acuan seberapa besar potensi laba dan

resiko dari suatu usaha yang akan diadakan oleh investor.

Liberalisasi perdagangan tidak hanya menjadi persaingan anatara komoditi

andalan, tetapi juga merupakan persaingan dibidang jasa, pada kondisi sepereti ini

yang menjadi pertimbangan dari konsumen adalah tingkat efisiensi, sedangkan

produsen /pengusaha adalah tingkat keamanan dari suatu investasi modal yang

diselenggarakan.

Perkembangan perekonomian yang begitu pesat di Indonesia, mendorong

peningkatan kebutuhan akan dana investasi yang harus dipenuhi, melalui berbagai

alternatif sumber pembiayaan yang dapat merupakan sumber dari pembiayaan

asing melalui mekanisme PMA (penanaman modal asing), juga terdapat

pembiayaan dalam negeri yaitu melalui PMDN (penanaman modal dalam

negeri), yang keduanya berpengaruh dalam memfasilitasi penyediaan dana bagi

kalangan dunia usaha, baik yang penyelenggaraannya oleh pihak swasta, koperasi

maupun kekuatan ekonomi yang berbasis negara yaitu Badan Usaha Milik Negara

(BUMN).

Sumber pembiayaan (modal) baik untuk pengadaan barang guna

memenuhi kebutuhan usaha sering diperoleh dari pihak bank dalam bentuk kredit,

tetapi guna kepentingan modal baik berupa pengadaan barang /alat untuk

digunakan bagi kepentingan produksi maupun secara langsung berfungsi sebagai

(7)

       

dapat ditempuh melalui mekanisme leasing yang secara teoritis jelas lebih

menguntungkan bagi usahawan yang memiliki modal banyak untuk melakukan

ekspansi usaha.

Lembaga pembiayaan leasing dibentuk berdasarkan surat keputusan

bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri

Perdagangan Republik Indonesia Nomor.Kep.-122/MK/IV/2/1974,

Nomor.32/M/SK/2/1974, 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Februari 1974, tentang

perizinan usaha leasing.

Perusahaan pembiayaan leasing merupakan perusahaan pembiayaan yang

masih relatif baru, pada awal perkembangannya usaha leasing dipacu oleh

pemerintah dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha dengan

memberikan beberapa fasilitas anatara lain dengan memberikan penundaan

pembayaran perpajakan , sehingga usaha leasing berkembang dengan sangat maju

dan pesat.1

Perkembangan perusahaan leasing yang demikian pesat telah semakin kuat

maka timbul pemikiran untuk mengatur usaha leasing dalam suatu peraturan yang

lebih khusus, yaitu melalui KEPPRES No.61 Tahun 1988 tentang perusahaan

pembiayaan, Keputusan Mentri Keuangan No.1251 tahun 1988 tentang ketentuan

dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan serta keputusan Menteri Keuangan

Nomor 1169 tahun 1991 tantang kegiatan sewa guna usaha.

Dalam konteks lembaga leasing (sewa guna usaha) itu sendiri menjadi

perdebatan apakah lembagta jual beli, sewa beli, jual beli dengan angsuran atau

sewa menyewa dengan opsi membeli, hal tersebut berkaitan erat dengan hak

 

1

(8)

       

kebendaan yang pada salah satu pihak menyangkut batas-batas hak dan tanggung

jawabnya.

Fasilitas yang diadakan oleh perusahaan leasing (sewa guna usaha) sebagai

perusahaan pembiayaan sangat meringankan konsumen yang kekurangan modal

untuk membeli alat pendukung usaha, sehingga leasing menjadi yang sangat

solutif.

Leasing (sewa guna usaha) sebagai lembaga pembiayaan dalam sistem

kerjanya akan menghubungkan kepentingan dari beberapa pihak yang berbeda,

yaitu :2

1. Lessor yang adalah pihak leasing itu sendiri sebagai pemilik modal, yang

nantinya akan memberikan modal alat atau membeli suatu barang.

2. Lessee adalah nasabah atau perusahaan yang bertindak sebagai pemakai

peralatan/barang yang akan di leased atau atau yang akan disewakan pihak

penyewa/lessor.

3. Vendor atau leveransir atau disebut supplier, sebagai pihak ketiga penjual

suatu barang yang akan dibeli oleh lessor untuk disewakan kepada lessee.

Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik , menyangkut

pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari

kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee

dibuat perjanjian financial lease /kontrak leasing.

Bagi lessor keuntungan yang hendak dicapai dalam perjanjian financial

lease dengan lessee semata-mata bertumpu pada terciptanya kepastian hukum

terhadap perjanjian kontrak tentang serankaian pembayaran oleh lessee atas

penggunaan aset yang menjadi objek lease, termasuk pengakuan lessee tentang

 

2

(9)

       

penguasan objek oleh lessee yang kepemilikannya dipegang oleh lessor,

sehingga melahirkan hak secara hukum bagi lessor bila terjadi wanprestasi oleh

lessee untuk menyita objek lessee.3

Sedangkan kerugiannya dapa berupa :4

a. Sebagai pemilik, lessor mempunyai resiko yang yang lebih beasr dari pada lessee sehubungan dengan barang lease maupun dengan kegiatan operasionalnya, yaitu adanya tanggung jawab atas tuntutan pihak ketiga jika terjadi kecelakaan ataupun kerusakan atas barang orang lain yang disebabkan oleh lease property tersebut.

b. Pihak lessor walaupun statusnya sebagai pemilik dari lease property tetapi tidak bisa melakukan penuntututan (claim) kepada pabrik/suppliernya secara langsung, tindakan tersebut harus dilakukan oleh lessee sebagai pemakai barang.

c. Sebagai pemilik barang , lessor secara hukum harus bertanggung jawab atas pembayaran beberapa kewajiban pajak tertentu.

d. Walaupun lessor mempunyai hak secara hukum untuk menjual leased property, khususnya pada akhir periode lease, lessor belum dapat yakin bahwa barang yang bersangkutan bebas dari ikatan seperti liens (gadai), atau kepentingan-kepentingan lainnya.

Pada suatu financial lease ketentuan menyewakan ulang yang dilakukan

lessee tidak dibenarkan namun kenyataan terhadap hal tersebut sering terjadi.

Bagi lessee, keuntungan yang hendak dicapai dalam perjanjian financial

lease dengan leasing/lessor adalah :5

a. Capital saving, yakni ia tidak perlu menyediakan dana besar , maksimum

hanya down payment (uang muka) yang biasanya jumlahnya banyak.

b. Tidak diperlukan adanya jaminan (agunan).

c. Terhindar dari resiko.

d. Masih tetap mempunyai kesempatan untuk meminjam uang dari

sumber-sumber lain sesuai dengan kredit line yang dimiliki.

e. Mempunyai hak pilih (option rights).

 

3

Ibid.

4

Ibid., hal. 5

5

(10)

       

Penjelasan tentang tidak diperlukannya jaminan karena konsep dari usaha

leasing (sewa guna usaha) adalah pinjaman modal usaha dan jaminan

kedudukannya dalam perjanjian leasing menjadi ketentuan prinsipil, dasar

pemikiran dari konsep leasing tidak menghilangkan fungsi jaminan sebagai fungsi

modal dalam usaha leasing/lessee, hal tersebut yang menjadi penekanan bahwa

jaminan dalam penerapan perjanjian leasing sangat fleksibel.6

Menyangkut terhindar dari resiko adalah tidak terikatnya seorang lessee pada

kemungkinan hilang atau rusaknya objek leased, karena antisipasi keadaan

tersebut telah beralih ke asuransi. Sedangkan kerugian-kerugian yang dapat timbul

bagi pihak lessee dalam perjanjian financial lease adalah :7

a. Hak kepemilikan barang hanya akan berpindah apabila kewajiban lease sudah diselesaikan dan hak opsi digunakan.

b. Biaya bunga dalam perjanjian financial lease biasanya lebih besar dari pada biaya bunga pinjaman bank.

c. Seandainya terjadi pembatalan perjanjian suatu lease, maka kemungkinan biaya yang akan timbul cukup besar.

d. Hak kepemilikan mungkin dianggap lebih ber-prestige dabn lebih memberikan kepuasan kepada si pemilik.

e. Kemungkinan hilangnya memperoleh kesempatan benefit dari residual

value.

Terkadang hubungan lessor dan lessee hanya harmonis pada awal perjanjian,

pasa saat satu pihak membutuhkan sesuatu (modal pembiayaan) sedang pihak lain

berusaha mendapatkan keuntungan, selanjutnya hubungan lessor dan lessee yang

dalam perusahaan leasing merupakan resiko usaha, bahkan tidak jarang lessor

kehilangan objek leased.

Pada beberapa kondisi mempertimbangkan resiko hilangnya objek yang di

leasingkan, diantara para pihak biasanya diperjanjikan penanggungan jaminan

asuransi terhadap objek leased, namun perlu dimengerti jaminan asuransi terhadap

 

6

Ibid.

7

(11)

       

claim musnahnya leased terbatas pada sebab musnah karena pencurian bukan

karena penipuan.8

Dalam kajian lebih jauh mencermati fakta yang ada, perlu diakui bahwa

lessorlah yanglebih banyak memberikan prestasi, karena selain barang lessor

hanya pada perjanjian/kontrak yang ada, dengan kemungkinan akan terjadinya

penggelapan benda lessor oleh pihak lessee seperti menjual atau merubah bentuk

objek kebendaan dengan mengabaikan isi perjanjian.

Kerugian-kerugian yang dialami oleh perusahaan leasing /lessor karena status

barang masih miliknya dan lessee hanya memiliki opsi membeli , itupun setelah

berakhirnya pembayaran angsuran, karenanya kemungkinan-kemingkinan

kerugian yang disebabkan wanprestasi pihak lessee diperkecil resikonya dengan

mempertajam kontrak klausula-klausula didalam perjanjian/kontrak, bahkan

membuat akta-akta tambahan sebagai bentuk perjanjian lain yang disatukan

dengan perjanjian pokoknya.

Perusahaan leasing disamping memberikan modal kepada lessee juga harus

mengawasi barang modal dan kegiatan usaha yang dijalankan oleh lessee

sehingga dari hasil pengawasan tersebut akan timbul suatu keyakinan pada lessor

bahwa harga barang modal akan kembali karena kegiatan usaha lessee

mempunyai prospek yang cerah, tetapi karena pengawasan lessor kurang ketat

maka bagi lessee yang bertikad tidak baik akan memanfaatkannya, seperti akan

mengagunkan barang modal kepada Bank untuk mendapatkan kredit.

Penelitian awal penulis pada beberapa kasus dipindah-alihkan objek kepada

pihak lain akan menimbulkan konflik hukum yang tentunya memakan waktu dan

biaya sehingga dilihat dari segi usaha sangat merugikan bagi lessor karena pada

 

8

(12)

akhirnya penyelesaian dari kasus-kasus tersebut adalah lewat gugatan secara

perdata.

Berdasarkan uraian diatas dan dilandasi pemikiran bahwa sangatlah penting

diketahui atau ditemukan mekanisme yang tepat dan efisien untuk memberikan

solusi kepada lessor berupa upaya praktis apa yang mesti dilakukan oleh lessor

untuk menjamin kepastian hukum bagi lessor tentang kesanggupan lessee untuk

membayar uang sewa dari suatu perjanjian leasing dan menyangkut pegawasan

bagaimana yang dilakukan oleh perusahaan leasing terhadap hal-hal yang dapat

menimbulkan wanprestasi dari pihak lessee serta akibatnya dalam perjanjian

leasing dan bagaimana penyelesaian yang akan atau harus ditempuh oleh

perusahaan leasing dalam menghadapi lessee yang mengalami kemacetan

pembayaran uang sewa guna usaha.

Atas dasar uraian diatas penulis merasa tertarik untuk menulis skripsi dengan

judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM

PERJANJIAN LEASING ( SEWA GUNA USAHA )“

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas mengenai perlindungan hukum

terhadap lessor dalam perjanjian sewa guna usaha , penulis dapat merumuskan

beberapa permasalahan yang penting untuk dikaji yaitu :

1. Apa sajakah syarat-syarat umum yang menjadi ketentuan lessor terhadap

calon lessee sebagai kualifikasi kelayakan lessee dan bentuk pengawasan

standart oleh pihak lessor?

2. Apakah faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lesse

(13)

3. Bagaimana upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang dapat

dilakukan oleh Lessor maupun lessee dalam menyelesaikan sengketa

wanprestasi yang dilakukan oleh lessee ?

Beberapa permasalahan yang diajukan diatas, diharapkan dapat diketahui

dan dijelaskan bagaimana pentingnyan suatu perlindungan hukum yang diberikan

kepada lessor dengan mendasarkan pada dasar hukum serta kepastian hukum yang

membawa kepada keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus diberikan

antara pihak lessor dan lessee.

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan sebagaimana telah

dirumuskan, maka dapat dirumuskan tujuan penulisan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apakah syarat-syarat umum yang diberikan lessor

terhadap lesse untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap

lessor dan bentuk pengawasan standart oleh pihak lessor.

2. Untuk mengetahui apakah faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi

dari pihak lesse dalam perjanjian leasing.

3. Untuk mengetahui apakah upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang

dapat dilakukan oleh Lessor maupun lessee dalam menyelesaikan

sengketa wanprestasi yang dilakukan oleh lessee.

Selain dari tujuan teoritis diatas, karya ilmiah yang dibuat penulis ini juga

bertujuan praktis untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar

sarjana lengkap (S – 1), khususnya Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara. Disamping itu penulis juga berharap agar tulisan ini

(14)

menyangkut tentang perlindungan hukum terhadap lessor dalam pelaksanaan

perjanjian – perjanjian leasing di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi seorang calon

sarjana untuk memperoleh gelar kesarjanaannya dalam hal ini untuk memperoleh

gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR

DALAM PERJANJIAN LEASING (SEWA GUNA USAHA)” belum pernah

dibahas sebelumnya oleh orang lain dan ide untuk menulis topik ini merupakan

inisiatif sendiri. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini adalah asli sesuai dengan

asas – asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, serta terbuka.

E.Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah

gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum

empiris, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

Penulisan skripsi ini memakai metode penelitian hukum normatif dan

penelitian hukum empiris. Dalam hal ini penelitian hukum normatif

dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang – undangan dan

bahan – bahan hukum yang berhubungan dengan skripsi ini. Sedangkan

(15)

melalui wawancara dengan pihak – pihak tertentu pada perusahaan

leasing, yakni PT. OTO Multiartha Cabang Medan.

2. Data

Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini

dilakukan melalui pengumpulan data primer, skunder dan tersier.

a) Bahan Hukum Primer yaitu norma atau kaedah dasar seperti

pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Peraturan Perundang – undangan dan lain sebagainya.

b) Bahan Hukum Sekunder yaitu buku – buku yang memberikan

penjelasan tentang bahan hukum primer seperti hasil karya dari

kalangan hukum.

c) Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder,

seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam skripsi ini penulis menggunakan 2 (dua) teknik pengumpulan data,

yaitu :

a) Penelitian Kepustakaan (Library Reasearch)

Penelitian ini adalah penelitian dengan mengumpulkan data dan

meneliti melalui sumber bacaan, menganalisa peraturan perundang –

undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah, surat

kabar, internet, dan sumber lainnya yang berhubungan dengan skripsi

ini.

(16)

Kegiatan ini penulis lakukan dengan mengumpulkan bahan – bahan

di lapangan untuk memperoleh data yang akurat dengan permasalahan

yang penulis teliti. Dilakukan dengan mencari informasi langsung pada

instansi atau lembaga yang berhubungan dengan judul skripsi ini,

yakni dengan melakukan wawancara dengan pihak – pihak tertentu

diperusahaan leasing yang menjadi objek penelitian penulis.

4. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif

yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat

sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh yang diperoleh

dari bahan bacaan atau buku – buku, peraturan perundang – undangan dan

hasil analisis perjanjian leasing.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi sistematika penulisan ke dalam

lima bab, dan setiap bab terbagi dalam beberapa sub bab yang lebih kecil. Adapun

perinciannya adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab ini dimana di dalam Pendahuluan ini penulis

menguraikan dan menjelaskan mulai dari Latar Belakang

Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Keaslian

Penulisan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan

dalam skripsi ini.

(17)

Pada bab ini diuraikan berbagai konsep teoritis yang

berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti yang

meliputi perjanjian pada umumnya, asas – asas hukum

perjanjian, syarat sahnya perjanjian, pihak – pihak dalam

perjanjian, prestasi, wanprestasi dan akibat – akibatnya.

BAB III : PERJANJIAN LEASING

Pada bab ini diuraikan tentang pengertian leasing, leasing

sebagai lembaga hukum perjanjian, jaminan – jaminan

yang diberikan lessee terhadap lessor, efektifitas benda

jaminan dalam penutupan kerugian yang dialami lessor.

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

LESSOR DALAM PERJANJIAN LEASING

Pada bab ini penulis menguraikan syarat-syarat dan

ketentuan umum yang diberikan lessor dan bentuk

pengawasan standart oleh pihak lessor, faktor-faktor

penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lesse dalam

perjanjian leasing dan akibat wanprestasi dalam perjanjian

leasing , upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang

dilakukan lessor maupun Lesse.

BAB V : PENUTUP

Pada Bab ini penulis menguraikan tentang kesimpulan

mengenai permasalahan yang telah dibahas penulis serta

saran atas penulisan yang telah diuraikan pada bab – bab

(18)

       

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Perjanjian Pada Umumnya

Ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata mengawali

ketentuan Buku III Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

bahwa “Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang – undang”.9

Selanjutnya dalam ketentuan berikutnya, yaitu dalam Pasal 1234 Kitab

Undang – Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa “ Tiap – tiap perikatan adalah

untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat

sesuatu”.10

Dari kedua rumusan sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa perikatan

melahirkan “kewajiban”, kepada orang perorangan atau pihak tertentu, yang dapat

berwujud dalam salah satu dari tiga bentuk berikut, yaitu :

1. Untuk memberikan sesuatu.

2. Untuk melakukan sesuatu.

3. Untuk tidak melakukan sesuatu tertentu.

Istilah kewajiban itu sendiri dalam ilmu hukum dikenal dengan nama

prestasi, selanjutnya pihak yang berkewajiban dinamakan dengan debitur, dan

pihak yang berhak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban atau prestasi disebut

dengan kreditur.11

Sumber perikatan adalah sebagai berikut12 : 1. Perjanjian

2. Undang – undang yang dapat dibedakan

 

9

Soedharyo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), hal 313

10

Ibid.

11

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, inan Fidusia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 12

Jam

12

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 6

(19)

       

a) Undang – undang semata

b) Undang – undang karena perbuatan manusia yang : 1) Halal

2) Melawan hukum 3. Jurisprudensi

4. Hukum tertulis dan tidak tertulis 5. Ilmu pengetahuan hukum

Perikatan dapat dibedakan dalam berbagai jenis, yaitu13 :

1. Dilihat dari objeknya

2. Perikatan untuk memberikan sesuatu 3. Perikatan untuk berbuat sesuatu 4. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Perikatan untuk memberi sesuatu (geven) dan untuk berbuat sesuatu (doen) dinamakan perikatan positif dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu (niet doen) dinamakan perikatan negatif.

5. Perikatan mana suka (alternatif) 6. Perikatan fakultatif

7. Perikatan generik dan spesifik

8. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (deelbaar dan

ondeerlbaar)

9. Perikatan yang sepintas lalu dan terus menerus (voorbijgaande dan

voortdurende)

10. Dilihat dari subyeknya maka dapat dibedakan :

1) Perikatan tanggung menanggung (hoofdlijk atau solidair) 2) Perikatan pokok dan tambahan (principale dan accessoir) 11. Dilihat dari daya kerjanya

12. Perikatan dengan ketetapan waktu.

Meskipun bukan yang paling dominan, namun pada umumnya, sejalan

dengan sifat dari Buku III Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang bersifat

terbuka, perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak

terjadi dalam kehidupan manusia sehari – hari, dan yang juga ternyata banyak

dipelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara luas menjadi aturan-aturan

hukum positif yang tertulis oleh para legislator.14

Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal

1313 Kitab Undang –undang Hukum Perdata menyiratkan bahwa sesungguhnya

dari duatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang

 

13

Ibid.

14

(20)

       

(pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi

tersebut.

Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu

perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang berhak

atas prestasi tersebut (kreditur).

Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan

dengan perkembangan ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau

lebih badan hukum.

Selanjutnya dalam rumusan Pasal 1314 dan 1313 KUHPerdata, bila

dikembangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib

dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut, debitur yang berkewajiban

tersebut dapat meminta dilakukan “kontra prestasi” dari lawan pihaknya tersebut

atau dengan istilah “dengan atau tanpa beban”.15

Kedua rumusan diatas memberikan banyak arti bagi ilmu hukum, yang

menggambarkan secara jelas bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan

perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi)

dan perikatan yang timbal balik (dengan kedua belah pihak yang berprestasi).16

Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan. Ilmu hukum

mengenal unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut

dengan perjanjian (yang sah), unsur tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam

dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian

 

15

Ibid.

16

(21)

       

(unsur subyektif), dan dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung

dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).17

Syarat subjektif :18

1. Terjadinya kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang

mengadakan atau melangsungkan perjanjian.

Syarat ini diatur dalam Pasal 1321 sampai pada Pasal 1328

KUHPerdata, pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada

saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa

kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan

maupun penipuan, kekhilafan tidak mengakibatkan dapat

dibatalkannya perjanjian, kecuali jika kekhilafan tersebut terjadi

mengenai hakekat dari kebendaan yang menjadi pokok persetujuan.

2. Adanya kecakapan pihak-pihak yang berjanji.

a. Kecakapan dalam rangka tindakan pribadi orang perorangan (Pasal

1329 sampai dengan pasal 1331 KUHPerdata)

Pada prinsipnya semua orang dianggap cakap untuk melakukan

tindakan hukum, kecuali mereka yang masih berada dibawah umur,

yang berada dibawah pengampuan, dan mereka yang dinyatakan

pailit (Pasal 1330 KUHPerdata).

b. Kecakapan dalam hubungan dengan pemberi kuasa

Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kecakapan bertindak

dalam hukum, tidak hanya dari pihak yang memberi kuasa,

melainkan juga dari pihak yang menerima kuasa secara

bersama- 

17

Wirjono Prodjodikoro, Asas – asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 12

18

(22)

       

sama. Khusus untuk orang perorangan, maka berlakulah

persyaratan yang ditentukan dalam Kitab Undang – Undang

Hukum Perdata.

c. Kecakapan dalam hubungannya dengan sifat perwalian dan

perwakilan.

Dalam hal perwalian maka harus diperhatikan kewenangan

bertindak yang diberikan oleh hukum dan peraturan

perundang-undangan.

Syarat Objektif :19

1. Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai

keharusan adanya suatu obyek dalam perjanjian.

Hal ini adalah konsekuensi logis dari perjanjian itu sendiri. Tanpa

adanya suatu obyek, yang merupakan tujuan dari para pihak, yang

berisikan hak dan kewajiban dari salah satu atau para pihak dalam

perjanjian, maka perjanjian itu sendiri “ absurd” adanya.

2. Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata

Mengatur mengenai kewajiban adanya suatu causa yang halal dalam

setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, pasal 1337

KUHPerdata memberikan perumusan secara negatif, dengan

menyatakan bahwa suatu causa dianggap sebagai terlarang, jika

causa tersebut dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, maupun

ketertiban umum yang berlaku dalam masyarakat dari waktu ke

waktu.

Asas – asas umum dalam perjanjian meliputi20 :

 

19

(23)

      

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Rumusan ini dapat ditemukan di dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang dipertegas kembali dengan ketentuan ayat (2) nya yang menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian, atau dalam hal-hal dimana oleh undang- undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu.

Secara umum, kalangan ilmuwan hukum menghubungkan dan memperlakukan ketentuan sebagai mana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata sebagai asas kebebasan berkontrak.

2. Asas Konsensualitas

Asas konsensualitas merupakan kesatuan dari sistem terbuka buku III KUHPerdata, hukum perjanjian memberikan kesempatan seluas – luasnya pada para pihak untuk membuat perjanjian yang akan mengikat mereka sebagai undang – undang, selama dan sepanjang dapat dicapai kesepakatan oleh para pihak. Suatu kesepakatan lisan diantara para pihak telah mengikat para pihak yang telah bersepakat secara lisan tersebut, dan oleh karena ketentuan ini mengenai kesepakatan lisan diatur didalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka rumusan tersebut dianggap sebagai dasar asas konsensualitas dalam hukum perjanjian.

3. Asas Personalia

Asas Personalia ini dapat kita temui dalam rumusan Pasal 1315 KUHPerdata yang dipertegas lagi oleh ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata, dari kedua rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya perjanjian hanya akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara para pihak yang membuatnya. Pada dasarnya seorang tidak dapat mengikatkan dirinya untuk kepentingan maupun kerugian bagi pihak ketiga, kecuali dalam hal terjadinya peristiwa penanggungan (dalam hal demikianpun penanggungan tetap berkewajiban untuk membentuk perjanjian dengan siapa penanggungan tersebut akan diberikan dan dalam hal yang demikian maka perjanjian yang ditanggung dalam perjanjian penanggungan). Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, demi hukum hanya akan mengikat para pihak yang membuatnya.

B. Asas – asas Hukum Perjanjian

 

20

(24)

       

Menurut Rutten dalam buku Purwahid Patrik menyebutkan asas – asas

hukum perjanjian yang didalam Pasal 1338 KUHPerdata ada tiga asas yaitu :21

a. Asas Konsensualisme

Bahwa perjanjian yang dibuat pada umumnya bukan secara formil tetapi

konsensual, artinya perjanjian itu ada karena persesuaian kehendak atau

konsensus semata-mata.

b. Asas Kekuatan Mengikat Dari Perjanjian

Bahwa pihak – pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan,

sebagaimana disebut dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian

berlaku sebagai undang – undang bagi para pihak.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Bahwa orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas

menentukan isi, berlakunya dan syarat – syarat perjanjian, dengan bentuk

tertentu atau tidak dan bebas memilih undang – undang mana yang akan

dipakainya untuk perjanjian itu.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman di dalam hukum perjanjian terdapat

beberapa asas, sebagai berikut :22

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas dari hukum perjanjian dan

tidak berdiri sendiri, hanya dapat ditentukan setelah kita memahami

posisinya dalam kaitan yang terpadu dengan asas – asas hukum perjanjian

yang lain, secara menyeluruh asas – asas ini merupakan pilar, tiang,

pondasi dari hukum perjanjian.

 

21

Wiryono Prodjodikoro, Loc. Cit., Asas – Asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 5 

22

(25)

       

Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian,

yaitu kebebasan menentukan “ apa “ dan dengan “ siapa” perjanjian ini

diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata

mempunyai kekuatan mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah satu

asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian, kebebasan adalah

perwujudan dari kehendak bebas pancaran hak asasi manusia.23

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dengan perkataan lain bahwa di

dalam kebebasan terkandung tanggung jawab, di dalam hukum perjanjian nasional

asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara

keseimbangan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan

batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. Asas

kebebasan berkontrak mendukung kedudukan yang seimbang diantara para pihak,

sehingga sebuah perjanjian akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi

kedua pihak.24

Asas Kebebasan berkontrak menurut Hartkamp menyebutkan bahwa kita

terikat pada perjanjian yang harus dipenuhi secara moral, secara hukum karena

kita berada dalam suatu masyarakat yang beradab dan maju. Untuk itu diperlukan

suatu prinsip yaitu adanya kebebasan berkontrak yang merupakan suatu bagian

dari hak – hak dan kebebasan manusia.25

Menurut Bentham dalam buku Johanes Ibrahim menyebutkan ukuran yang

menjadi patokan sehubungan dengan kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap

orang dapat bertindak bebas, tanpa dapat dihalangi hanya karena memiliki

bargaining position atau posisi tawar untuk dapat memperoleh uang untuk  

23

Ibid.

24

Ibid., hal 14

25

(26)

       

memenuhi kebutuhannya, juga tidak seorangpun sebagai satu pihak dalam suatu

perjanjian dapat dihalangi untuk dapat bertindak bebas memenuhi hal tersebut,

asal saja pihak yang lain dapat menyetujui syarat – syarat perjanjian itu sebagai

hal yang patut diterima, secara umum tidak seorangpun dapat mengetahui apa

yang baik untuk kepentingan seseorang kecuali dirinya sendiri, pemerintah tidak

boleh ikut campur tangan dalam hal yang tidak dipahaminya.26

Asas kebebasan berkontrak berarti para pihak dapat membuat perjanjian apa

saja asal tidak bertantangan dengan undang – undang, ketertiban umum dan

kesusilaan.27

a. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme yang terdapat didalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi atas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.

Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya. Kata semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang – undang.28

b. Asas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain akan menumbuhkan kepercayaan diantara pihak, bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya, tanpa adanya kepercayaan maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, dengan kepercayaanm kedua pihak mengikatkan dirinya dan perjanjian itu mempunyai kekuatan sebagai undang – undang.29

c. Asas Kekuatan Mengikat

Para pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjiakan, terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata – mata pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga ada beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki yaitu kebiasaan dan kepatutan serta moral yang mengikat para pihak.30

d. Asas Persamaan Hukum

 

26

Ibid.

27

Ibid., hal 92 

(27)

       

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain – lain. Masing – masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan tuhan.31

e. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian, asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntuk pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, dapat dilihat bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.32

f. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang – undang para pihak.33

g. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan.34

h. Asas Kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang – undang.

C. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah sah apabila

memenuhi empat syarat sebagai berikut : 35

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

 

31

Ibid., hal 93 

32

Ibid.

33

Ibid., hal 94

34

Ibid., hal. 95 

35

(28)

       

c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Dua syarat pertama disebut syarat Subjektif, karena menyangkut

subjeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua

syarat terakhir adalah syarat objektif. Berikut ini uraian masing – masing

syarat tersebut:

a. Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya

Menurut Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan jika didalam suatu

perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan dan penipuan, maka berarti di

dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar para pihak

dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan.36

b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Menurut Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan setiap orang adalah

cakap untuk membuat suatu perikatan, kecuali jika undang – undang

menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap, orang – orang

yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang – orang yang

belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampunan.37

c. Suatu Hal Tertentu

Menurut Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan hanya barang –

barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu

perjanjian. Pasal 1334 KUHPerdata menyebutkan barang – barang

yang baru akan ada, di kemudian hari dapat menjadi suatu pokok

perjanjian.

 

36

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Op.Cit. hal 25 

37

(29)

       

d. Suatu Sebab Yang Halal

Pengertian suatu sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan

perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh

bertentangan dengan undang – undang kesusilaan maupun ketertiban

umum menurut Pasal 1337 KUHPerdata.38

D. Pihak – Pihak dalam Perjanjian

Pihak – pihak disini adalah siapa – siapa yang terlibat di dalam

perjanjian. Berdasarkan pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata,

pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang mengadakan

perjanjian tersebut. Asas ini dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian.

Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan, pada umumnya tak seorangpun

dapat mengikatkan diri atas nama sendiri. Namun dalam Pasal 1340

KUHPerdata pada pokoknya menentukan bahwa perjanjian hanya berlaku

diantara pihak yang mengadakannya.39

Terhadap asas kepribadian tersebut dalam pengecualiannya, yakni apa

yang disebut dengan janji pada pihak ketiga. Pasal 1317 KUHPerdata

menyatakan sebagai berikut :

“lagi pula diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji

guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang

 

38

Ibid., hal 26 

39

(30)

       

dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang

dilakukan kepada seorang lain memuat satu janji yang seperti itu.”

Menurut R. Setiawan yang dimaksud dengan janji untuk pihak ketiga

adalah janji yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu persetujuan dimana

ditentukan bahwa pihak ketiga akan memperoleh hak atas suatu prestasi.40

Berdasarkan Pasal 1317 KUHPerdata, maka timbulnya hak bagi pihak

ketiga terhadap prestasi yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu

perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga itu menyatakan kesediannya

menerima prestasi tersebut.41

Selain dari pengaturan hal diatas didalam perjanjian, terutama

mengenai pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing, dalam prakteknya

terdapat beberapa pihak yang terlibat atau terkait, misalnya : 42

1) Pihak Surveyor atau pihak pemeriksa dari pihak lessor

Tugas utama pihak Surveyor ini adalah memeriksa dan meneliti

rentabilitas dan solvabilitas calon leassee tersebut.

2) Pihak Pembuat Akta Perjanjian

Pihak ini pada umumnya adalah Pejabat Notaris, tugas utama dari

notaris ini adalah membuat akta tentang perjanjian dan segala tindakan

dalam perjanjian leasing tersebut.

Dalam prakteknya terdapat beberapa pihak yang terkait langsung maupun

tidak langsung di dalam mempersiapkan atau pelaksanaan perjanjian leasing itu,

antara lain :43

 

40

R. Setiawan, Pokok – Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta : Binacipta, 1987), hal 54

41

Ibid.

42

Ibid.

43

(31)

1. Lessor, pihak yang menyewakan barang, terdiri dari beberapa

perusahaan. Lessor disebut juga sebagai investor, equity holder, owner

participants atau truster owners.

2. Lessee, yaitu pihak yang memerlukan barang modal, dimana barang

modal tersebut dibiayai oleh lessor dan diperuntukkan kepada lessee.

3. Kreditur atau lender, yaitu pihak yang disebut juga dengan debt holders

atau loan participants dalam suatu transaksi leasing. Umumnya kreditur

atau lender terdiri dari bank, insurance company trust dan yayasan.

4. Supplier, yaitu penjual atau pemilik barang yang disewakan dapat

terdiri dari perusahaan yang berada di dalam negri ataupun yang

berkantor pusat diluar negri.

5. Surveyor, pihak peneliti atau pemeriksa.

6. Pejabat Pembuat Akta Notaris.

E. Prestasi, Wanprestasi dan Akibat – akibatnya

Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap – tiap perikatan adalah

untuk memberikan sesuatu, untuk membuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat

sesuatu”.

Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan “ Dalam tiap – tiap

perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaksud kewajiban si berutang

untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya

sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada saat penyerahan.”

Dari pasal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu

(32)

       

menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu

penyerahannya.

Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan dalam pasal 1235

KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu :44

1. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi objek

perjanjian.

2. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian, yang

dinamakan penyerahan yuridis.

Wujud prestasi yang lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat

sesuatu” . berbuat sesuatu adalah melakukan sesuatu perbuatan yang telah

ditetapkan di dalam perjanjian. Tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan

sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan didalam suatu

perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian

tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan.

Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia atau menolak memenuhi

prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan. Hal inilah yang disebut

wanprestasi.

Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena

kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang

menurut perjanjian tidak diperbolehkan dilakukan.

Menurut R. Subekti melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya

juga dinamakan wanprestasi.45 Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan

debitur dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau

 

44

Ibid.,

45

(33)

       

bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi itu sangat menentukan sejak kapan

seorang debitur dapat dikatakan telah wanprestasi.

Dalam hal wujudnya prestasinya “memberikan sesuatu” maka perlu pula

dipernyatakan apakah di dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai

tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila tenggang waktu pemenuhan

prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238

KUHPerdata debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu

pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak

dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu

memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi,

maka ia telah dinyatakan wanprestasi.46

Surat peringatan tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang

digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Untuk perikatan

yang wujud prestasinya “tidak berbuat sesuatu” kiranya tidak menjadi persoalan

untuk menentukan sejak kapan seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila

debitur melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia

dinyatakan telah wanprestasi.

Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau

ingkar janji, melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh

dilakukannya, kata “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda yang berarti

prestasi buruk. Debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat – syarat

 

46

(34)

       

diatas dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang

dilakukan debitur dapat berupa empat macam, yaitu :47

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan.

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang

dijanjikan.

c. Melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Permasalahan tentang wanprestasi, terdapat pendapat lain mengenai syarat

– syarat terjadinya wanprestasi, yaitu :48

a. Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu

menyatakan peringatan atau teguran karena karena hal ini percuma

sebab debitur memang tidak mampu berprestasi.

b. Debitur salah berprestasi, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik

untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan

pemenuhannya.

c. Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini banyak kasus yang dapat

menyamakan bahwa terlambat berprestasi dengan tidak berprestasi

sama sekali.

Berdasarkan dengan akibat wanprestasi tersebut, Abdul Kadir Muhammad

berpendapat “akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah

hukuman atau sanksi sebagai berikut :49

a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita

kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata)

 

47

Ibid.

48

Loc. Cit

49

(35)

b. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari suatu

pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau

memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata)

c. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal

1237 (2) KUHPerdata), ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan

untuk memberikan sesuatu.

d. Membayar biaya perkara apabila perkara diperkarakan dimuka hakm

(Pasal 181 (1) HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi

tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua

perikatan.

e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan

perjanjian disertai dengan pembatalan ganti kerugian (Pasal 1267

KUHPerdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.

Dari beberapa akibat wanprestasi tersebut, kreditur dapat memilih diantara

beberapa kemungkinan sebagai berikut :

a. Meminta pelaksanaan perjanjian walaupun pelaksanaan sudah

terlambat.

b. Meminta penggantian kerugian menurut pasal 1243 KUHPerdata, ganti

rugi ini dapat berupa biaya (konsten), rugi (schaden), atau bunga

(interessen).

c. Meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, bila perlu disertai

dengan penggantian kerugian (Pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal 1267

KUHPerdata).

Sehubungan dengan kemungkinan pembatalan lewat hakim sebagaimana

(36)

       

perjanjian tersebut sudah batal karena kelalaian pihak debitur atau apakah harus

dibatalkan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim tersebut bersifat

declaratoir atau bersifat constitutive. 50

R. subekti mengemukakan bahwa “menurut pendapat yang paling banyak

dianut, bukannya kelalaian debitur, tetapi putusan hakimlah yang membatalkan

perjanjian sehingga putusan hakim itu bersifat constitutive bukan declaratoir.51

 

50

Ibid.

51

(37)

  36

       

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM PERJANJIAN

LEASING

A. Pengertian Leasing

Perkataan Leasing bersal dari bahasa Inggris yaitu kata lease , kata ini

secara umum berarti menyewakan akan tetapi harus dibedakan dengan istilah

Inggris lain yang senada, yaitu rent yang ditinjau dari sudut hukum mempunyai

maksud berbeda. Namun dibandingkan dengn menyewakan, leasing lebih luas

ruang lingkupnya atau lebih banyak variasinya. Ada beberapa negara yang

berusaha untuk mencari nama lain dari leasing kedalam bahasa nasionalnya tetapi

pada kenyataannya mengalami kesulitan karena menimbulkan penafsiran yang

berbeda – beda.52

Dalam Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, Menteri Keuangan,

Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No. KEP-122/MK/IV/2/1974,

No. 32/M/SK/2/1974, No. 30/Kbp/I/1974 secara resmi mengartikan leasing

sebagai berikut :

“setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang

– barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu

tertentu, berdasarkan pembayaran – pembayaran secara berkala disertai dengan

hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang – barang modal

 

52

(38)

       

yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai

sisa yang telah disepakati bersama.”53

Sedangkan Sri Soedewi mengartikan leasing adalah :

“segala perjanjian dimana si penyewa (lessee) menyewa barang modal

untuk usaha tertentu dengan mengangsur untuk jangka waktu tertentu dan jumlah

angsuran tertentu, dimana lamanya perjanjian sewa menyewa, beberapa kali

mengangsur umlah angsuran, sama dengan nilai ekonomi dari benda itu.”54

Dari definisi leasing ini, dinyatakan bahwa leasing adalah suatu kegiatan

pembiayaan, berarti suatu pengertian ekonomi. Sedangkan bila ditinjau dari segi

hukum, leasing adalah suatu lembaga hukum perjanjian. Dan pengertian leasing

terlalu kompleks untuk dianggap sebagai bentuk perjanjian sewa menyewa saja.

Karena dalam perjanjian sewa menyewa tidak selalu dicantumkan janji – janji

khusus yang memberikan kepada si penyewa yaitu suatu hak pilih (optie),

sedangkan dalam perjanjian leasing hak optie ini selalu diperjanjikan.

Untuk membuktikan bahwa leasing adalah suatu lembaga hukum

perjanjian, dapat dilihat dari perumusan Pasal 1 Surat Keputusan Tiga Menteri itu,

yang jika dianalisa secara hukum dapat disimpulkan bahwa leasing adalah suatu

kegiatan pembiayaan oleh suatu perusahaan untuk dinikmati oleh perusahaan

lainnya. Jadi ada dua pihak yang mempunyai suatu persetujuan untuk saling

mengikat. Dengan demikian leasing terbukti sebagai suatu perjanjian dan titik

 

53

Soejono Soekanto, Inventarisasi Perundang – Undangan Mengenai Leasing, (Jakarta, : IND HILL Co, 1986), hal 4

54

(39)

       

tolak dari hukum perjanjian adalah diatur dalam Kitab Undang – Undang

Hukum Perdata.55

Setelah menentukan bahwa dasar perjanjian leasinh adalah ketentuan –

ketentuan yang tertera dalam KUHPerdata yang berlaku di Indonesia, maka

perjanjian tersebut harus dibentuk menurut KUHPerdata itu dan secara konsisten

menerapkan ketentuan – ketentuan tersebut sesuai dengan perkembangan

interpretasi dan yurisprudensi Indonesia untuk semua unsur dalam perjanjian

leasing itu, maupun terhadap dampak – dampak di bidang hukum seperti

wanprestasi.56

Unsur – unsur yang terlihat jelas dalam definisi leasing menurut Surat

Keputusan Tiga Menteri tersebut adalah sebagai berikut :

1. Leasing adalah suatu bentuk pembiayaan, bukan bentuk lainnya.

2. Yang disediakan adalah barang modal, yang macamnya sudah

dinyatakan jelas dalam lampiran izin leasing yang dikeluarkan oleh

Departemen Keuangan.

3. Digunakan oleh perusahaan, baik yang berbentuk badan hukum

maupun yang tidak berbentuk badan hukum.

4. Jangka waktu tertentu dan disesuaikan pula dengan masa ekonomis

dari barang modal dan kemampyan yang bersangkutan.

5. Pembayaran berkala, tidak dapat dibayar sewaktu – waktu.

6. Ada hak pilih pada masa akhir lessee.

B. Leasing Sebagai Lembaga Hukum Perjanjian

 

55

Murti Sianipar, Dasar Hukum dan Masalah Hukum Dalam Industri Leasing di Indonesia, ( Bandung : Nuansa Aulia, 1999), hal 5

56

(40)

       

Seperti sudah dijabarkan pada bagian sebelumnya tentang pengertian

leasing, kedudukan leasing adalah sebagai perjanjian bernama di luar

KUHPerdata, perjanjian bernama ini antara lain terdiri dari :

1. Perjanjian keagenan dan distributor, berdasarkan SK Menteri

Perindustrian No. 295/M/SK/7/1992 dan SK No. 428/M/SK/12/1987,

yang mengatur khusus tentang keagenan jenis barang kendaraan

bermotor dan alat – alat besar serta keagenan alat – alat elektronik dan

alat – alat listrik untuk rumah tangga.

2. Perjanjian Pembiayaan, lahir dari kepres No. 1251/KMK.013/1988,

KPTS Mentri Keuangan No. 1169/KMK.01-1991 tentang kegiatan

Sewa Guna Usaha (leasing), undang – undang Perbankan No. 7/1992.

Perjanjian pembiayaan ini antara lain sebagai nberikut :

a. Perjanjian Sewa Guna Usaha

b. Perjanjian Anjang Piutang

c. Perjanjian Modal Ventura

d. Perjanjian Kartu Kredit

e. Perjanjian Pembiayaan Konsumen

f. Perjanjian Simpanan

g. Perjanjian Kredit

h. Perjanjian Penitipan

i. Perjanjian Bagi Hasil.57

Leasing merupakan suatu “kata atau peristilahan” baru dari bahasa asing

yang masuk kedalam bahasa Indonesia, yang sampai sekarang padanannya dalam

bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak atau belum ada yang dirasa cocok.

 

57

(41)

       

Istilah Leasing ini sangat menarik karena bertahan dalam nama tersebut tanpa

diterjemahkan dalam bahasa setempat, baik di Amerika yang merupakan asal –

usul addanya lembaga leasing ini, maupun di negara – negara yang telah

mengenal lembaga leasing ini.

Secara umum leasing artinya adalah equipment funding, yaitu pembiayaan

peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan

baik secara langsung maupun tidak.58

Adapun definisi lain dari leasing daopat dikemukakan sebagai berikut:

Berdasarkan pasal 1 surat keputusan bersama tiga menteri, menteri keuangan

,menteri perdagangan, dan menteri perindustrian NO.KEP.122/MK/IV/2/1974,

NO.32/M/SK/2/1974, dan NO.30/kpb/I/1974, menyebutkan bahwa leasing adalah;

“ setiap kegiatan pembiayaan perusahaan perusahaan dalam bentuk

penyediaan barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan tertentu,

berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala, disertai dengan hak

pilih (optie) bagi perusahaan leasing tersebut untuk membeli

barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu

leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama”.

Sejak dikeluarkan surat keputusan bersama tiga menteri mengenai status

hukum leasing di Indonesia, maka para sarjana hukum di Idonesia bertanya-tanya

tentang apakah leasing itu bila ditinjau dari segi hukum di Indonesia, sebab

selama ini segi – segi ekonomislah yang lebih sering ditonjolkan dalam informasi

teknis yang diberikan oleh pihak – pihak yang bersangkutan, namun aspek

yuridisnya belumlah dianalisis secara mendalam.

 

58

(42)

       

Bertalian dengan sifat hukum perdata dari leasing tampaknya ada dua

pendapat yang berlawanan :59

Pendapat yang pertama menyatakan bahwa leasing dalam pengertian

yuridis adalah sewa menyewa, sedangkan pendapat yang kedua menyatakan

bahwa kontrak lease berdasarkan hukum perdata tidak dapat ditetapkan di bawah

satu penyebutan (noemen).

Bandingkan dengan ketentuan Pasal 1 huruf (a) Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 1169 Tahun 1991 Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha

(leasing) menyebutkan :

“sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk

penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance

Lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk

digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran

secara berkala”.

Dalam pengumuman Direktorat Jendral Moneter No. Peng 307/DJM/III.

I/7.1974 Tanggal 8 Juli 1974, yang menyebutkan bahwa untuk kepentingan

pengawasan dan pembinaan pada pengusaha leasing diharuskan menyampaikan

kepada Direktur Jendral Moneter, Departemen Keuangan, antara lain “copy

kontrak leasing dan sebagainya”, dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian

leasing harus dibuat secara tertulis. Akan tetapi tidak ditentukan atau diwajibkan

apakah perjanjian leasing harus berbentuk akta otentik/akta notaris atau akta

dibawah tangan. Jadi terserah pada pihak-pihak yang bersangkutan untuk

menentukan apakah akan membuat perjanjian itu dengan akta notaris atau tidak.60

 

59

Komar andasasmita, leasing (Teori dan Praktek), Op. Cit., hal 38

60

(43)

       

Namun ditinjau dari sudut hukum pembuktian yang berlaku di

Indonesia, pada Pasal 1870 KUHPerdata menentukan bahwa :61

“bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun

bagi orang – orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik

memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya”.

Menurut pengumuman Direktorat Jendral Moneter Nomor

Peng-307/DJM/III. 1/7/1974, isi perjanjian leasing harus memuat keterangan terperinci

mengenai :

1. Objek perjanjian financial lease

2. Janngka waktu financial lease

3. Harga sewa serta cara pembayarannya

4. Kewajiban perpajakan

5. Penutupan asuransi

6. Perawatan barang

7. Penggantian dalam hal barang hilang/rusak.

Dapat dibandingkan dengan pendapat Komar Andasasmita bahwa dalam

perjanjian kontrak leasing/financial lease sedikitnya harus memuat :62

1. Objek lease

2. Hak milik dari barang lease

3. Lamanya kontrak

4. Kewajiban lessor dan lessee

5. Pertanggungan asuransi

 

61

Soedharya Soimin, Op. Cit ., Hal. 436

62

(44)

       

Pada prinsipnya pengertian dari lembaga leasing itu sendiri adalah sama

dan harus trdiri dari unsur – unsur pengertian sebagai berikut :63

1. Pembiayaan perusahaan

2. Penyediaan barang – barang modal

3. Adanya jangka waktu tertentu

4. Pembayaran secara berkala

5. Adanya hak pilih (optie)

6. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama.

Untuk memahami isi dan fungsi lembaga yang baru berkembang ini,

dirasakan perlu untuk mengadakan penggolongan jenis – jenis leasing tersebut,

serta meneliti ciri – ciri khususnya masing – masing, usaha ini telah dilakukan

oleh beberapa penulis, oleh ikatan – ikatan profesi dan oleh persatuan pengusaha

leasing itu sendiri.64

Dalam melakukan klasifikasi ini berbagai macam kriteria telah

dipergunakan, misalnya :

1. Pembagian risiko ekonomis diantara pihak – pihak yang terkait

pada suatu kontrak lease

2. Jenis benda yang merupakan objek lease

3. Isi paket jasa yang dilakukan oleh leasor

Kriteria yang paling lazim dipergunakan adalah pembagian risiko

ekonomis diantara pihak – pihak yang terkait pada suatu kontrak lease,

 

63

Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Op. Cit.,Hal. 9

64

(45)

       

berdasarkan kriteria ini leasing dapat dibedakan dalam operational leasing dan

financial leasing.65

Leasing dipandang sebagai suatu cara yang memungkinkan suatu badan

usaha memperoleh alat – alat produksi yang diinginkan oleh leassee, oleh karena

itu maka leassee berkewajiban memenuhi seluruh pembayaran, ia tidak berhak

menghentikan perjanjian tersebut sebelum harga pembelian barang ditambah

dengan sejumlah keuntungan, biaya dan bunga terbayar lunas.66

Dilihat dari segi transaksi yang terjadi antara lessor dan lessee maka sewa

guna usaha dapat dibedakan menjadi dua (2) jenis yaitu :

1. Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease)

2. Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease)

Ciri utama dari sewa guna usaha dengan hak opsi adalah pada akhir

kontrak, lessee mempunyai hak pilih untuk membeli barang modal sesuai dengan

nilai sisa (residual value) yang disepakati atau pengembaliannya kepada lessor,

atau memperpanjang masa kontrak sesuai dengan syarat – syarat yang telah

disetujui bersama.

Pada sewa guna usaha jenis ini, lessee menghubungi lessor untuk memilih

barang modal yang dibutuhkan, memesan, memeriksa, dan memelihara barang

modal tersebut, selama masa sewa, lessee membayar sewa secara berkala dari

jumlah seluruhnya ditambah dengan pembayaran nilai sisa (full pay out), sehingga

bentuk pembiayaan ini disebut fullplay out lease atau capital lease.67

C. Jamninan – jaminan yang Diberikan Leassee Terhadap Lessor

 

65

Ibid.

66

Ibid.

67

(46)

Secara teoritis yuridis pemberian jaminan pada perjanjian leasing

berlaku aturan umum dalam KUHPerdata, yang dapat dijumpai pada Pasal 1131

dan Pasal 1132, yang isinya :

Pasal 113 : “segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun

yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang

baru akan dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala

perikatan perseorangan”.

Pasal 1132 : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama – sama bagi

semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan

penjualan benda – benda itu dibagi – bagi menurut

keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing –

masing, kecuali diantara piutang itu ada alasan – alasan yang sah

untuk didahulukannya.”

Dari landasan pemikiran diatas dapat dikemukakan kenyataan praktek

bahwa pemberian jaminan pada perjanjian leasing pada praktek kebiasaan menjadi

keharusan untuk turut serta diberikan, jaminan yang diberikan pada umumnya

adalah BPKB dari kendaraan roda empat (objek dari perjanjian leasing yang pada

umumnya ada).

Keganjilan pada proses p

Referensi

Dokumen terkait

Dalam sebuah pipa lurus, air mengalir dari penampang kecil yang luasnya 10 cm2 dengan cepat aliran 10 cm/dt menuju penampang besar yang luasnya 30 cm2.. Dalam sebuah pipa lurus,

Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer , (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm.. Meminjam uang pemerintah dapat meminjam uang dari masyarakat atau sumber-sumber yang lainnya

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk: (1) menghasilkan pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) berorientasi Problem Based

telah memberikan motivasinya sehingga terwujudlah tesis ini dan dapat mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia... Imam

Terdapat beberapa siswa di SMP Mutiara Persada yang memiliki persepsi negatif terhadap Guru Bimbingan dan Konseling. Beberapa siswa tersebut masih setuju dengan

Dengan demikian, instrumen baku penilaian kualitas LKS tematik subsains SD kelas tinggi yang telah dikembangkan ini dapat digunakan untuk memperoleh data apa adanya tentang

oleh guru pamong maupun guru kelas. Dalam pelaksanaannya, praktikan mengkonsultasikan RPP yang telah dirancang kepada guru kelas untuk diteliti jika ada yang perlu

Adapun secara umum manfaat madu rambutan adalah: Madu asli mengandung bahan-bahan yang bisa. membunuh bakteri , Kekuatan anti mikroba dari madu itu lebih kuat dari antibiotik