KONVENSIONAL DALAM MENILAI JENIS KISTA COKLAT
OVARIUM DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU MEDAN
T E S I S
JESSY CHRESTELLA
117041119
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERITAS SUMATERA UTARA
KONVENSIONAL DALAM MENILAI JENIS KISTA COKLAT
OVARIUM DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU MEDAN
T E S I S
JESSY CHRESTELLA
117041119
Diajukan untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai keahlian dibidang Magister Kedokteran Klinik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
Pemeriksaan Imunohistokimia CD 10 Dibandingkan
Dengan Pemeriksaan Mikroskopis Histopatologi
Konvensional Dalam Menilai Jenis Kista Coklat
Ovarium di Laboratorium Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran USU Medan
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 23 Juli 2012
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa, berkat kasih dan karunia-Nya penulisan tesis ini dapat
diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus
dilaksanakan dalam rangka memenuhi persyaratan menyelesaikan
jenjang pendidikan Strata dua (S2) pada Program Pendidikan Magister
Kedokteran Klinik di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih
jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan penulis kiranya
tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah
perbendaharaan bacaan khususnya tentang :
Pemeriksaan Imunohistokimia CD 10 Dibandingkan Dengan Pemeriksaan Mikroskopis Histopatologi Konvensional Dalam Menilai
Jenis Kista Coklat Ovarium di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan
Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankan penulis
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, Sp.A(K) dan seluruh jajarannya yang telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada
Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr.
Gontar A. Siregar, SpPD(KGEH) atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pada
Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen
dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. H. Soekimin, Sp PA (Pembimbing I) dan Dr. H. Joko S. Lukito,
Sp.PA (Pembimbing II), yang dengan penuh perhatian dan kesabaran
telah mengorbankan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan,
semangat, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada
Penulis, mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian
tesis ini.
5. Ketua Departemen Patologi Anatomi FK USU; Dr. T. Ibnu Alferraly,
Sp.PA, dan seluruh Staf Pengajar Departemen Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bantuan dan
dukungannya dalam penyelesaian tesis ini.
6. Ibu Maya Fitria, SKM, M.Kes selaku pembimbing statistik yang telah
dengan sabar memberikan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.
7. Terima kasih kepada teman sejawat dan para senior, pegawai dan
analis di lingkungan Departemen Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas kerja sama dan saling
pengertian yang diberikan sehingga penulis dapat sampai pada akhir
program pendidikan ini.
8. Persembahan terima kasih yang tulus, rasa hormat dan sembah sujud
kepada ayahanda dan ibunda tercinta (Bpk. Riady dan Ibu Elisabeth
Tan) yang telah membesarkan, membimbing dan mendidik penulis
dengan penuh kasih sayang dari masa kecil hingga kini. Dengan jasa
mereka inilah Penulis dapat menjalani pendidikan Magister
Kedokteran Klinik.
9. Persembahan terima kasih yang tulus, rasa hormat dan sembah sujud
kepada ibunda mertua Dr. Endang Haryanti Gani, SpPar.K, yang telah
10. Buat suamiku yang tercinta Dr. Wahyudi Gani, SpOG dan
anak-anakku yang tercinta, Samuel Joe Anderson Gani, Grace Abigail Gani
dan Nathan Azriel Gani, tiada kata yang terindah yang dapat saya
ucapkan selain puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
kehadiran kalian berempat dalam hidup saya dan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas pengertian, kesabaran, dorongan semangat,
pengorbanan dan doa yang diberikan kepada saya hingga dapat
sampai pada akhir masa pendidikan ini.
Akhirnya, Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih perlu mendapat
koreksi dan masukan untuk kesempurnaan. Oleh karena itu Penulis
berharap adanya kritik dan saran untuk penyempurnaan tulisan ini.
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juli 2012
Penulis
Jessy Chrestella
Jenis Kista Coklat Ovarium di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan
Jessy Chrestella
Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
ABSTRAK
Latar belakang : Dalam penegakan diagnosis histopatologi kista coklat atau endometriosis pada ovarium, tidak jarang ditemukan adanya diskrepansi antara klinis dengan patologi. Kista lutein berdarah yang secara klinis mirip dengan kista endometriosis juga sering disalah diagnosis sehingga penanganan kista-kista tersebut menjadi tidak optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan histopatologi konvensional dalam membedakan kista endometriosis dengan kista lutein berdarah.
Metode : Terhadap 44 kasus sediaan kista ovarium yang telah didiagnosis awal dengan pemeriksaan histopatologi konvensional H&E, masing-masing 22 spesimen kista endometriosis dan 22 kista lutein berdarah, dilakukan pemeriksaan imunohistokimia CD 10 untuk melihat adanya ekspresi positif pada sel-sel stroma endometrium.
Hasil : Pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi konvensional untuk menilai kista endometriosis ovarium memiliki sensitivitas sebesar 72,27% dan spesifisitas sebesar 77,27%. Secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna antara pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan histopatologi konvensional (p= 0,001).
Kesimpulan : Pemeriksaan imunohistokimia CD 10 bermanfaat dalam penegakan diagnosis kista endometriosis yang akurat dan membedakannya dengan kista lutein berdarah.
Laboratory University of North Sumatera Medan
Jessy Chrestella
Department of Anatomical Pathology, Faculty of Medicine, University of North Sumatera, Medan
ABSTRACT
Background : Because endometriotic ovarian cysts and hemorrhagic corpus luteum cysts both contain blood products, they commonly have an overlapping appearance. Hence, it’s not uncommon to find discrepancies between clinical and pathological diagnosis, resulting in over or under treatment of the cysts. The purpose of this study were to investigate CD10 immunoreactivity compared to conventional routine histopathology in differentiating endometriotic cysts from hemorrhagic corpus luteum cysts.
Methods : Formalin-fixed and paraffin-embedded tissues from 44 hemorrhagic cysts of the ovary were included in this study. Among them are 22 cases of endometriotic cysts and another 22 cases of corpus luteum cysts. They were retrieved by hematoxylin-eosin examination in the initial pathologic diagnosis and were evaluated by immunohistocemistry with CD 10 antibody.
Results : CD 10 immunohistochemistry were found to have improved diagnostic sensitivity for endometriosis in the ovary by 72,27% with specificity about 77,27% if compared to conventional routine histopathology findings in assessing chocolate cysts of the ovaries. Statistically, there are significant difference between them (p value = 0,001).
Conclusions : CD10 immunostaining may play a useful role in assessing the differential diagnosis between endometriotic ovarian cysts and hemorrhagic corpus luteum cysts.
Halaman
2.3.1. Diagnosis stroma endometrium………….……….…………... 28
2.4. Kerangka Konsepsional………... 34
3.2. Rancangan Penelitian……….. 35
3.3. Kerangka Operasional……….. 36
3.4. Populasi, Sampel, dan Besar Sampel Penelitian………. 37
3.4.1. Populasi……… 37
3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional……… 39
3.6.1. Variabel penelitian……….. 39
3.6.2. Definisi operasional variabel………. 40
3.7. Prosedur dan Teknik Penelitian……….. 41
3.7.1. Pembuatan sediaan mikroskopis………. 41
3.7.2. Prosedur kerja..………. 42
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian……….. 46
4.2. Pembahasan……….. 49
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan………..……….. 52
5.2. Saran……….…….. 53
DAFTAR PUSTAKA………. 54
Halaman
Tabel 3.1. Intensitas tampilan imunohistokimia CD 10 pada
kista endometriosis dan kista lutein berdarah ………..……. 45
Tabel 4.1. Distribusi umur dari seluruh sampel kista ovarium yang
digunakan dalam penelitian.………. 46
Tabel 4.2. Distribusi jenis kista berdarah ovarium berdasarkan pemeriksaan konvensional hematoksilin-eosin dan pewarnaan imunohistokimia
CD 10..………..…………. 47
Tabel 4.3. Pengukuran sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan histopatologi konvensional kista endometriosis dan kista lutein berdarah
terhadap pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan uji
Chi-square………. 48
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pewarnaan H&E dan IHK CD 10 terhadap biopsi
COX2 Cyclooxygenase 2
GnRH Gonadotropin Releasing Hormone
HE Hematoksilin Eosin
IHC immunohistochemistry
IHK imunohistokimia
IL Interleukin
TNF Tumor Necrosis Factor
Jenis Kista Coklat Ovarium di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan
Jessy Chrestella
Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
ABSTRAK
Latar belakang : Dalam penegakan diagnosis histopatologi kista coklat atau endometriosis pada ovarium, tidak jarang ditemukan adanya diskrepansi antara klinis dengan patologi. Kista lutein berdarah yang secara klinis mirip dengan kista endometriosis juga sering disalah diagnosis sehingga penanganan kista-kista tersebut menjadi tidak optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan histopatologi konvensional dalam membedakan kista endometriosis dengan kista lutein berdarah.
Metode : Terhadap 44 kasus sediaan kista ovarium yang telah didiagnosis awal dengan pemeriksaan histopatologi konvensional H&E, masing-masing 22 spesimen kista endometriosis dan 22 kista lutein berdarah, dilakukan pemeriksaan imunohistokimia CD 10 untuk melihat adanya ekspresi positif pada sel-sel stroma endometrium.
Hasil : Pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi konvensional untuk menilai kista endometriosis ovarium memiliki sensitivitas sebesar 72,27% dan spesifisitas sebesar 77,27%. Secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna antara pemeriksaan imunohistokimia CD 10 dengan histopatologi konvensional (p= 0,001).
Kesimpulan : Pemeriksaan imunohistokimia CD 10 bermanfaat dalam penegakan diagnosis kista endometriosis yang akurat dan membedakannya dengan kista lutein berdarah.
Laboratory University of North Sumatera Medan
Jessy Chrestella
Department of Anatomical Pathology, Faculty of Medicine, University of North Sumatera, Medan
ABSTRACT
Background : Because endometriotic ovarian cysts and hemorrhagic corpus luteum cysts both contain blood products, they commonly have an overlapping appearance. Hence, it’s not uncommon to find discrepancies between clinical and pathological diagnosis, resulting in over or under treatment of the cysts. The purpose of this study were to investigate CD10 immunoreactivity compared to conventional routine histopathology in differentiating endometriotic cysts from hemorrhagic corpus luteum cysts.
Methods : Formalin-fixed and paraffin-embedded tissues from 44 hemorrhagic cysts of the ovary were included in this study. Among them are 22 cases of endometriotic cysts and another 22 cases of corpus luteum cysts. They were retrieved by hematoxylin-eosin examination in the initial pathologic diagnosis and were evaluated by immunohistocemistry with CD 10 antibody.
Results : CD 10 immunohistochemistry were found to have improved diagnostic sensitivity for endometriosis in the ovary by 72,27% with specificity about 77,27% if compared to conventional routine histopathology findings in assessing chocolate cysts of the ovaries. Statistically, there are significant difference between them (p value = 0,001).
Conclusions : CD10 immunostaining may play a useful role in assessing the differential diagnosis between endometriotic ovarian cysts and hemorrhagic corpus luteum cysts.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Kista coklat ovarium adalah salah satu entitas atau jenis kista ovarium
yang paling sering ditemukan para klinisi dalam bidang obstetri dan
ginekologi. Salah satu dari kista coklat yang paling memberikan dampak
klinis adalah kista endometriosis atau sering disebut endometrioma.
Prevalensi endometriosis pada ovarium masih belum pasti diketahui.
Namun kasus endometriosis sendiri dikatakan sering terjadi pada sekitar
5–15% wanita usia reproduktif pada populasi umum.
Data penderita endometriosis di Indonesia yang diambil dari beberapa
rumah sakit pemerintah adalah sebagai berikut : di RSUD dr. Muwardi
Surakarta angka kejadian endometriosis pada temuan bedah ginekologis
tahun 2000 menurut Danujo berkisar antara 13,6%; di RSUD dr. Sutomo
Surabaya angka kejadian endometriosis tahun 1987-1991 sebesar
23,8% dan meningkat menjadi 37,2% pada tahun 1992-1993; dan di
RSUP dr. Cipto Mangunkusumo menurut Yacob (1998) angka kejadian
endometriosis berkisar 69,5%.1
Endometriosis selain dapat menyebabkan nyeri pelvis kronis atau
dysmenorrhea, ia sering juga menyebabkan infertilitas. Selain daripada
itu, sering kasus neoplasma ganas pada ovarium maupun ekstraovarium
Seringkali tindakan operasi untuk penanganan kista endometriosis
dianggap tidak cukup, bahkan diperlukan terapi medikamentosa yang
memakan waktu cukup lama sehingga menyebabkan biaya yang
dibutuhkan seringkali tidak murah. Juga adanya efek samping dari
obat-obatan yang tersedia untuk terapi kista endometriosis. 3
Tampilannya yang khas secara ultrasonografi dan tampilan makroskopik
saat operasi sering kali begitu khas sehingga klinisi sering menjadi
sangat yakin akan diagnosis kista endometriosis ini. Padahal kista coklat
ovarium dalam terminologi histopatologi bukanlah semata hanya kista
endometriosis. Kita masih mengenal jenis - jenis kista coklat lainnya
seperti kista lutein berdarah dan kista hemoragis lainnya. 2,3
Tampilan mikroskopik histopatologi kista coklat ini sebenarnya cukup
khas untuk bisa menegakkan jenis dari kista coklat tersebut. Seperti
contoh, untuk menegakkan diagnosis kista endometriosis atau
endometrioma, diperlukan kriteria identifikasi kelenjar dan stroma
endometrium ektopik di dalam ovarium. Namun sering sekali terjadi,
dalam sebuah specimen histopatologi, gambaran kelenjar maupun
stroma endometriosis tidaklah begitu spesifik. Begitu juga halnya dengan
jenis kista ovarium hemoragis lainnya yang memberikan gambaran yang
mirip dengan endometrioma. Pemeriksaan histopatologi rutin
konvensional ini sering memberikan hasil negatif palsu atau positif palsu.
Karena terapi dari kondisi di atas sangat berbeda, maka penting sekali
diperlukan metode yang lebih baik dan objektif dalam penegakan
diagnosis endometriosis.4
Beberapa tahun belakangan ini, dunia telah melihat penggunaan marker
antibodi-antibodi yang sangat luas dan bervariasi dalam pemeriksaan
imunologi terutama dalam patologi ginekologi. Kebanyakan
penggunaannya berhubungan dengan diagnosis kasus-kasus
neoplasma ginekologi dan tidak jarang untuk menilai prognosis dan
nilai prediktif.5
Perkembangan imunohistokimia membuka celah ketajaman diagnostik
baru untuk kasus-kasus endometriosis, dimana menurut beberapa
penelitian, sel-sel stroma endometrium akan menampilkan ekspresi
positif terhadap CD 10.
Chu dan Arber (2000) dalam penelitian mereka menyebutkan bahwa
CD10 tertampil positif kuat pada 100% kasus sarkoma stroma
endometrium, dan 89% dari 46 kasus karsinoma sel renal.6
Dengan pewarnaan imunohistokimia CD 10, sel-sel endometrium akan
memberikan respon positif untuk pewarnaan ini. Kista endometriosis
haruslah terwarnai positif karena secara per definisi harus mengandung
sel-sel stroma endometrium, sedangkan kista-kista coklat lainnya
tentunya harus memberikan pewarnaan imunohistokimia yang negatif.
Untuk itulah penulis tertarik untuk apakah penilaian mikroskopik
konvensional terhadap kista coklat dapat sebanding dengan pengujian
Bila ternyata pembacaan mikroskopik dapat menunjukkan sensitifitas
yang cukup baik, maka pewarnaan imunohistokimia tidak diperlukan
untuk menegakkan jenis kista coklat. Namun bila ternyata pembacaan
mikroskopik konvensional terpaut jauh sensitifitasnya dengan
pemeriksaan imunohistokimia, maka seyogyanya setiap pemeriksaan
preparat kista coklat harus diteruskan dengan pemeriksaan
imunohistokimia CD 10 sehingga penegakan diagnosis histopatologi
dapat benar benar mendukung kerja para klinisi dan memberikan
pelayanan pasien yang terbaik pada akhirnya.
Peneliti juga berkeinginan untuk mengevaluasi hasil pemeriksaan
histopatologi konvensional terhadap kista endometriosis dan kista lutein
berdarah dengan membandingkannya terhadap hasil pemeriksaan
ekspresi CD 10 secara imunohistokimia pada berbagai spektrum kista
coklat ovarium. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, diagnosis kista
berdarah pada ovarium akan menjadi lebih akurat, jelas dan memberi
dampak pada usaha kuratif dan tata laksana lanjutan bagi penderita
endometriosis.
1.2. Identifikasi Masalah
Banyak kasus endometriosis menyebabkan masalah infertilitas pada
wanita usia reproduktif umumnya dan nyeri pelvis kronis khususnya.
Bahkan menurut beberapa penelitian, lesi endometriosis juga dikatakan
maupun ekstraovarium. Hal ini mengakibatkan penyakit endometriosis
khususnya pada ovarium membutuhkan diagnosis yang akurat.
Pada laboratorium kami, sering dijumpai diskrepansi antara diagnosis
histopatologi kista berdarah dengan diagnosis klinis. Klinisi sering sekali
merasa cukup yakin akan temuan mereka terhadap kista endometriosis
dengan bantuan USG dan juga pada saat durante operasi. Padahal
selain kista endometriosis, kista berdarah ovarium lainnya seperti kista
lutein berdarah sering memberikan gambaran perdarahan yang cukup
masif dan mengaburkan diagnosis.
Untuk menegakkan diagnosis kista endometriosis, diperlukan kriteria
identifikasi kelenjar dan stroma endometrium ektopik pada ovarium.
Namun terkadang, kelenjar-kelenjar endometrium tidak begitu jelas
terlihat pada sediaan histopatologi, dan stroma endometrium kadang
tampak seperti stroma ovarium normal. Ditambah lagi massa perdarahan
yang disertai makrofag hemosiderin-laden dapat dijumpai pada kedua
jenis kista ini, menyebabkan diagnosis kista endometriosis bisa positif
palsu atau negatif palsu.
Hal ini berefek pada pengobatan kista endometriosis dimana tata
laksana yang diberikan terhadapnya sangat kompleks karena seringkali
tindakan operasi saja dianggap tidak cukup. Endometriosis bahkan
perlu diterapi medikamentosa dalam waktu cukup lama sehingga
menyebabkan biaya yang dibutuhkan seringkali tidak murah. Sedangkan
lagi diberikan pengobatan lanjutan. Karena terapi dari kondisi diatas
berbeda, untuk itulah dalam penegakan diagnosis histopatologi kista
berdarah ovarium, diperlukan diagnosis yang akurat.
Maka dengan itu, penting sekali untuk bisa mengkonfirmasi diagnosis
endometriosis yang ditegakkan dengan pemeriksaan sampel biopsi yang
diwarnai dengan HE. Metode yang paling objektif adalah dengan
menandai atau memberi marker terhadap stroma endometrium yang
telah terbukti menurut literatur dapat memberikan ekspresi positif
terhadap antibodi CD 10. Sedangkan kista berdarah yang tidak
mengandung stroma endometrium (seperti kista lutein berdarah) tidak
akan memberikan ekspresi terhadap CD 10.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui peranan imunohistokimia CD 10 dalam menentukan
jenis kista endometriosis ovarium atau kista berdarah lainnya.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Melihat gambaran karakteristik penderita lesi kista berdarah
ovarium khususnya kista endometriosis ovarium dan kista lutein
berdarah.
2. Mengevaluasi kembali diagnosis kista endometriosis dan kista
lutein berdarah menurut pemeriksaan histopatologi
3. Melihat perbandingan antara positivitas imunoekspresi CD 10
dengan diagnosis kista endometriosis berdasarkan histopatologi
Hematoksilin Eosin konvensional.
1.4. Hipotesis
Hipotesis kami adalah bahwa pemeriksaan imunohistokimia CD10
dapat meningkatkan sensitivitas dari penegakan diagnosis
endometriosis secara histopatologi dengan pewarnaan
Hematoksilin-Eosin dengan mempertajam identifikasi sel stroma endometrium
ektopik. Untuk menguji kemungkinan ini, maka kami membandingkan
efikasi diagnostik dengan perwarnaan HE dengan atau tanpa bantuan
pewarnaan imunohistokimia CD10 pada sampel biopsi surgikal kasus
endometriosis.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sarana indikator untuk
mendiagnosis secara akurat lesi-lesi kista endometriosis ovarium dan
menurunkan angka misdiagnosis/overdiagnosis kista ovarium berdarah
lainnya.
2. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan pemahaman ahli Patologi
Anatomi akan peran imunohistokimia secara umum dan
imunohistokimia CD 10 secara khusus dalam mengevaluasi dan
membantu penegakan diagnostik kista coklat endometriosis dapat
3. Pemahaman akan peranan antibodi CD 10 dalam menegakkan
diagnosis kista coklat endometriosis diharapkan akan memberikan
sumbangsih dalam usaha penanganan lanjut terhadap endometriosis
dan pencegahan kista endometriosis berkembang menjadi lesi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Endometriosis
2.1.1. Definisi
Endometriosis, yang pertama kali dilaporkan oleh Sampson tahun
1921, adalah kondisi dimana endometrium atau jaringan menyerupai
endometrium tumbuh di area di luar endometrium. Penyakit ini sering
dijumpai di area pelvis namun dapat muncul pada area selain uterus
atau ovarium. Keadaan ini disebut endometriosis ektopik.7,8
2.1.2. Patogenesis
Hingga kini, patogenesis endometriosis masih belum jelas.
Diperkirakan endometriosis ovarium muncul akibat proses invaginasi
dan metaplasia coelomic dari pelapis epitel ovarium atau dapat terjadi
akibat implantasi langsung jaringan endometrium ke dalam kista folikel
atau kista luteum. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi
penyebab endometriosis peritoneum dan endometriosis pada ovarium
adalah perubahan mekanisme apoptosis sehingga terbentuklah
implantasi endometrium.8
Terdapat empat teori yang berusaha untuk menjelaskan terjadinya lesi
endometriosis.9.10
1. Teori regurgitasi dimana diperkirakan aliran darah menstruasi
sehingga menghasilkan tumpahan dan implantasi sel endometrium
yang masih hidup ke dalam rongga abdomen atau pelvis. Namun
demikian, teori ini tidak bisa menjelaskan endometriosis yang
tumbuh di dalam kelenjar limfe, otot skeletal atau paru-paru.9
2. Teori metaplasia dimana terjadi proses diferensiasi epitel coelomic
(mesothel pada pelvis atau abdomen) dimana pembentukan
duktus mullerian dan endometrium bermula pada saat
perkembangan embrio. Teori ini juga tidak bisa menjelaskan
terjadinya proses endometriosis di organ seperti paru-paru dan
kelenjar limfe.9,10
3. Teori diseminasi vaskular atau limfatik yang dianggap bisa
menjelaskan implantasi ekstrapelvis atau implantasi intra nodal.9
4. Teori metastasis dimana jaringan endometrium mengadakan
implantasi di cavum peritoneal akibat menstruasi retrograde
ataupun pada mukosa serviks oleh karena prosedur bedah. Dalam
hal ini, penyebaran endometriosis ke tempat-tempat yang jauh
adalah melalui ‘metastasis’ hematogen dan limfogen. Istilah
metastasis disini hanya menunjukkan adanya jaringan
endometrium yang menyebar ke tempat lain, namun tidak
menunjukkan mekanisme yang sama dengan metastasis
keganasan.10
Dari kesemua teori di atas, teori yang paling diterima dan menjadi
Namun teori ini juga mempunyai kelemahan dimana ia tak dapat
menjelaskan mengenai endometriosis pada wanita amenorrhea seperti
oleh karena gonadal dysgenesis dan sebagainya.10
Sebagai tambahan, rendahnya insidensi endometriosis dibandingkan
dengan tingginya kejadian menstruasi retrograde pada wanita (76%
hingga 90%) memunculkan dugaan adanya faktor individual yang
spesifik yang mendorong wanita tertentu lebih rentan menderita
endometriosis.10
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor genetik, hormonal, dan
faktor imunitas. Analisis molekuler yang menyangkut profil ekspresi
genetik mulai menunjukkan patogenesis endometriosis. Beberapa
abnormalitas spesifik yang dapat membedakan endometrium normal
dengan jaringan endometriosis dapat diterangkan sebagai berikut di
bawah ini : 10
Terdapat aktivasi kaskade proses inflamasi pada endometriosis
yang dikarakteristik oleh tingginya kadar prostaglandin E2, IL-1β,
TNF dan IL6. Peran utama prostaglandin dalam endometriosis
juga didukung oleh efek penggunaan obat inhibitor COX2 dalam
penganganan nyeri pelvis yang merupakan gejala klinis utama dari
endometriosis. 10
Produksi estrogen oleh sel stroma endometriosis secara bermakna
meningkat, hal ini disebabkan oleh peningkatan proses enzimatik
endometrium normal. Estrogen sendiri meningkatkan ketahanan
hidup dan persistensi dari jaringan endometrium. Oleh karena itu
penggunaan inhibitor aromatase dapat mengguntungkan dalam
terapi endometriosis. 10
Hubungan antara aktivasi inflamasi dan produksi estrogen juga
didukung oleh kemampuan prostaglandin E2 untuk merangsang
sintesis lokal estrogen pada jaringan endometriosis.10
Jaringan endometriosis juga ternyata resisten terhadap efek anti
estrogen yang didapat dari progesterone, sehingga diperkirakan
resistensi hormone progesteron juga berperan dalam patogenesis
endometriosis.10
2.1.3. Epidemiologi
Endometriosis dapat terjadi pada sekitar 5–15% wanita usia reproduktif
pada populasi umum, dan pada 40% wanita yang mencari pengobatan
infertilitas.8,11 Lebih sering terjadi pada wanita usia 25-35 tahun, jarang
pada wanita premenars dan postmenopause. Prevalensi endometriosis
secara umum juga terlihat lebih rendah pada wanita dengan ras hitam
dan Asia dibandingkan dengan Kaukasia. 12
Prevalensi kejadian endometriosis berdasarkan visualisasi organ pelvis
dapat diestimasi sebagai berikut :12
1% dari wanita yang menjalani bedah mayor dengan semua indikasi
ginekologis.
12 sampai 32% dari wanita usia reproduktif yang dilakukan
laparoskopi diagnostik terhadap keluhan nyeri pelvis.
9 sampai 50% wanita women yang dilakukan laparoskopi karena
infertilitas.
50% dari remaja perempuan yang dilakukan laparoskopi evaluasi
terhadap nyeri pelvis kronis atau dysmenorrhea.
Pengaruh status sosioekonomi, ras dan umur pada angka prevalensi
endometriosis juga sangat kontroversial. Penundaan kehamilan
dikatakan meningkatkan risiko endometriosis, sehingga kejadian
endometriosis dikatakan lebih sering pada wanita dengan kelas
ekonomi tinggi dimana wanita tersebut lebih sering menunda
kehamilan. Namun hal ini mungkin juga diakibatkan oleh karena wanita
tersebut mempunyai kans lebih tinggi untuk mendapat pelayanan
medis.12
Angka prevalensi kejadian kista endometriosis pada ovarium belum
diketahui secara pasti. Menurut Masson, endometriosis kulit
merupakan dengan total hanya 1,1% dari keseluruhan kasus
endometriosis. Namun menurut Scott dan TeLinde, persentasenya
mencapai 2,6%.7,13
2.1.4. Patologi Endometriosis
Dinding dari rongga kelenjar terdiri dari lapisan epitel kolumnar tinggi
dan dapat juga terdiri dari lebih satu lapisan. Bukti adanya perdarahan
dapat diamati pada area interstitial yang edematous di sekitar rongga
kelenjar. Sel atipik tidak tampak pada pemeriksaan sel-sel ini. 7,14
Endometrioma adalah massa soliter, non neoplastik, berbatas tegas
yang mengandung jaringan endometrium dan juga seringkali darah.
Endometrioma secara klinis bisa dikenali dengan perabaan pada
palpasi bila massa berukuran besar atau hanya muncul sebagai nyeri
pelvis kronik dan nyeri abdomen. Kebanyakan kasus terjadi di dalam
pelvis, namun pada endometrioma atipikal, endometrioma dapat
ditemukan pada usus, thorax, dan dinding abdomen. Banyak dari
pasien ini sebelumnya menjalani operasi ginekologi atau seksio sesar
dan histerektomi. Endometrioma dinding abdomen banyak dijumpai
pada pasien dengan riwayat operasi ginekologi. 13,15
Penemuan khas dari kasus endometriosis adalah dijumpainya implan
endometriosis, endometrioma dan perlengketan atau adhesi. Implan
yang terbentuk dapat sangat kecil sampai dengan beberapa
sentimeter, dapat merupakan lesi implan superfisial ataupun tertanam
cukup dalam. Penampakan warna dari implantasi endometriosis ini bisa
berubah selama siklus menstruasi, dapat membesar dan mengalami
kongesti dan mengalami perdarahan seiring dengan perdarahan siklus
menstruasi. Implan endometriosis lebih mudah diamati saat fase
sekresi siklus menstruasi. Saat ini lesi endometriosis akan
mengeluarkan respons inflamasi dengan pembentukan area
Kista endometriosis (endometrioma) biasanya terjadi di dalam ovarium
sebagai akibat dari perdarahan intra ovarium berulang. Lebih dari 90%
endometrioma adalah pseudokista yang terbentuk akibat invaginasi
korteks ovarium, yang kemudian tertutup oleh pembentukan jaringan
adhesi. Endometrioma dapat sepenuhnya menggantikan jaringan
ovarium normal. Dinding kista umumnya tebal dan fibrotik dan biasanya
memiliki perlekatan fibrotik dan adanya area dengan perubahan warna.
Di dalam kista umumnya terdapat cairan kental, berwarna gelap, berisi
produk darah yang sudah berdegenerasi dimana penampilan ini
menyebabkan kista endometriosis atau endometrioma ini sering
disebut kista coklat. Kebanyakan endometrioma terjadi pada ovarium
kiri.16
Endometrioma bilateral terjadi dalam 50 % kasus dan bisa ditemukan
cukup besar walau jarang melebihi diameter 15 cm. Lokasi lain dari
endometriosis selain ovarium adalah ligament uterus (ligamentum
latum posterior, ligament sacro uterine), cavum Douglas, peritoneum
rongga pelvis, tuba falopi, daerah rektosigmoid dan kandung kemih.16
Lesi yang besar dan lesi dengan dinding noduler harus diperiksa untuk
menyingkirkan keganasan. Endometriosis biasanya akan mengalami
regresi alami setelah menopause.16
Diagnosis standar untuk endometriosis adalah dengan menggunakan
modalitas laparoskopi, karena hanya dengan menggunakan
dan lesi pada peritoneal dapat dilakukan. Namun demikian, karena
laparoskopi adalah tindakan diagnostik invasif, maka sebaiknya
laparoskopi hanya dipakai bila teknik imaging seperti ultrasound masih
belum mendapatkan kepastian diagnostik.16
Massa adneksa seperti kista ovarium berdarah, kista teratoma matur,
korpus luteum berdarah, tumor ovarium jinak dan radang panggul serta
mioma bertangkai dapat menyerupai gambaran endometrioma. 16
2.1.7. Neoplasma yang berasal dari endometriosis
Angka kejadian kanker yang berasal dari endometriosis pelvis tidak
diketahui secara akurat karena frekuensi endometriosis di dalam
populasi umum juga tidak jelas. Lebih jauh lagi, beberapa kanker yang
terjadi pada jaringan endometriosis tumbuh sedemikian besar dan
menyamarkan endometriosis yang merupakan sumber dari tumor itu
sendiri.17
Dalam penelitiannya, Stern dkk (2001) menemukan 10% dari kasus
endometriosis pelvis berkaitan dengan kanker rongga pelvis yang
memiliki gambaran histopatologi yang sejalan dengan dugaan asal
tumor yang berasal dari endometriosis. Dalam beberapa kasus, tumor
yang berasal dari endometriosis didahului oleh riwayat terapi sulih
hormon dengan estrogen tanpa preparat progesteron dalam waktu
Dibandingkan dengan tumor sejenis yang tidak berkaitan dengan
endometriosis, maka karsinoma yang berkaitan dengan endometriosis
umumnya terjadi pada grup usia muda, dengan stadium rendah dan
mempunyai angka harapan hidup yang lebih baik.17
Menurut Heaps (1990), transformasi malignan dari endometriosis
merupakan suatu fenomena. Ia melaporkan 10 kasus baru pada saat
itu dan total jumlah kasus yang dilaporkan pada literatur dunia
berjumlah 205. Okugawa et al (2002) melaporkan adanya 9 kasus
baru yang ditemukan pada Medline sejak tahun 1990. Suatu studi oleh
Brinton et al. (1997) di Swedia yang dilakukan terhadap 20,686
wanita antara periode tahun 1969-1993, menyatakan bahwa risiko
terjadinya keganasan meningkat pada wanita dengan endometriosis
kronis (Relative Risk 4.2).18
Beberapa penelitian juga pernah mencatat, sekitar 20-30% kanker
epitel permukaan ovarium ternyata berhubungan dengan endometriosis
ovarium. Kaitan ini khususnya kuat untuk jenis karsinoma clear cell dan
karsinoma endometrioid; dimana 40-70% dari jenis clear sel dan
30-40% dari jenis karsinoma endometrioid berkaitan dengan endometriosis
dalam penelitian tersebut.17,18
Del Carmen Mercila et al. (2003) dalam jurnal yang telah
dipublikasikan, menemukan jenis histopatologi keganasan yang paling
sering ditemukan berasal dari endometriosis ovarium adalah
Dalam penelitian ini juga ditemukan sebanyak 61% endometriosis
ovarium dalam kasus kanker tersebut merupakan endometriosis fokal
atipik yang secara bersamaan ada atau bergabung dengan karsinoma.
17,18
Lokasi ekstra ovarium tersering dari tumor terkait endometriosis adalah
septum rektovaginal, dengan lokasi yang lebih jarang seperti vagina,
colon dan rectum, kandung kemih dan lokasi lain di dalam rongga
pelvic atau abdomen. Sebanyak 90% karsinoma yang berasal dari
endometriosis ekstra ovarium adalah karsinoma endometrioid. Heaps
(1990) juga menyatakan bahwa lesi endometriosis ekstraovarium yang
berlanjut menjadi tumor endometrioid adalah sebanyak 66% dan
menjadi sarcoma sebanyak 25%.17,18
Beberapa penelitian menemukan variasi tumor yang berasal dari
endometriosis kolon dapat menyerupai adenokarsinoma kolon primer,
suatu misdiagnosis yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam
staging dan pemberian terapi. Beberapa fitur yang mendukung
karsinoma endometrioid dalam kasus ini adalah adanya endometriosis,
penampakan makroskopis yang atipikal dari adenokarsinoma colon
termasuk tidak ditemukannya keterlibatan mukosa, grade nukleus
yang rendah, metaplasia skuamosa dan tidak adanya proses nekrotik
2.1.7. Endometriosis dan infertilitas
Endometriosis sering dikaitkan dengan infertilitas pada wanita. Hal ini
terutama sangat nyata bila endometriosis menyebabkan proses adhesi
atau perlengketan tuba fallopi dan atau adhesi ovarium . Sedangkan
endometriosis derajat ringan tidak memiliki hubungan yang jelas
dengan kejadian infertilitas. Oleh karena itu terapi endometriosis
ringan untuk kasus infertilitas sering menjadi dilema. Dalam beberapa
penelitian di Kanada, angka harapan kehamilan untuk endometriosis
ringan dalam 5 tahunan mencapai 90%. Pada grup yang mendapatkan
terapi, angka kehamilan mencapai 48% sedangkan bila tidak diterapi
35%.19
Endometriosis sedang dan berat dengan atau tanpa adhesi harus
ditangani dengan pembedahan, terutama untuk endometrioma >2cm
atau adanya perlengketan hebat. Fungsi pembedahan adalah untuk
mengembalikan posisi anatomis yang baik. Kehamilan umumnya paling
sering terjadi dalam 2 tahun paska pembedahan. Untuk penanganan
nyeri menstruasi karena endometriosis dapat dilakukan presakral
neurectomy dan pemberian terapi medikamentosa paska operasi.
Pembedahan radikal seperti histerektomi dan ooforektomi juga dapat
dilakukan untuk pasien yang tidak menginginkan keturunan lagi.19
Angka kekambuhan endometriosis dalam 5 tahun paska pembedahan
mencapai 20%; pada pasien dengan konservasi ovarium terdapat 6 kali
pengingkatan resiko kekambuhan dibandingkan dengan pasien yang
Terapi medikamentosa diberikan untuk penanganan nyeri menstruasi
(dismenorea), nyeri saat berhubungan badan (dispareunia) dan nyeri
rongga pelvis. Terapi medikamentosa tidak berguna dalam
penanganan infertilitas.19
Beberapa opsi pemilihan medikamentosa untuk kasus endometriosis
adalah sebagai berikut :19
1. Pil KB yang diberikan continue. Bertujuan untuk menekan laju
endometriosis dengan proses desidualisasi sel dan inaktifasi
kelenjar endometriosis. Angka kehamilan setelah terapi ini
dihentikan bisa mencapai 40-50%. Pemberian pil KB hanya
merupakan terapi supresif namun tidak kuratif.
2. Danazol
Danazol merupakan derivat isozazole dari etinil testosterone.
Terapi dengan danazol menciptakan lingkungan tinggi androgen –
rendah estrogen yang akan mencetuskan keadaan amenorea. Oleh
karena itu 80% pasien pengguna danazol dapat mengalami efek
samping berupa pengecilan ukuran payudara, bertambahnya
jerawat, hirsustisme, perubahan suara, vaginitis atrofik dan hot
flushes. Danazol diberikan dengan dosis 2x 400 mg atau 4 x 200
mg . Bila diberikan dengan dosis lebih rendah, efektifitas terapi ini
tidak tercapai. Angka kekambuhan setelah 1 tahun pemakaian
3. Progestin
Progestin dapat diberikan dalam bentuk oral atau intramuskuler
medroxyprogesterone acetat. Dosis oral adalah 30 mg per hari.
Progestin bekerja dengan menekan sekresi LH hingga tercapai
keadaan hipoestrogen. Terapi ini cukup efektif untuk menekan
nyeri tapi tidak berguna dalam penanganan infertilitas. Efek
samping pemberian progestin mencakup kehilangan masa tulang,
kenaikan berat badan, retensi cairan, perdarahan bercak dan
depresi.
4. GnRH agonist mempunyai efektifitas yang sebanding dengan
danazol atau progestin. Pemberian GnRH agonist merupakan
terapi supresif tapi tidak kuratif, dan tidak bermanfaat untuk
perbaikan fertilitas. GnRH diberikan dalam bentuk suntikan sebulan
sekali untuk durasi 6 bulan.19
2.2. Kista ovarium hemorhagis
Kista ini adalah akibat dari perdarahan yang terjadi didalam kista
fungsional dan biasanya sejalan dengan timbulnya nyeri pelvik akut.
Kebanyakan akan membaik dengan sendirinya dalam 2 sampai 8
minggu. Di Amerika, lesi ini tampak pada pemeriksaan ultrasound
sebagai lesi dengan echogenik rendah, dan sering mempunyai
gambaran serabut halus, fibrin-fibrin avaskular yang sering menyerupai
lesi benigna dan dapat membaik dengan sendirinya pada follow up
jangka pendek. Terkadang sulit untuk membedakan kista hemorhagis
dengan endometrioma, Namun kista hemorhagis ini biasanya soliter
sedangkan endometrioma biasanya dijumpai multipel.20
Gejala klinik klasik dari suatu perdarahan kista ovarium adalah
timbulnya nyeri pelvik akut atau nyeri perut bawah yang sedemikian
rupa sehingga dapat membangunkan wanita dari tidurnya.16
Salah satu dari jenis kista berdarah ovarium adalah kista korpus
luteum.
2.2.1. Kista korpus luteum
Kista korpus luteum adalah struktur ovarium yang normal terbentuk
setelah ovulasi dan berasal dari folikel dominan. Dinding folikel
mengalami vaskularisasi dan menebal, yang dikenal dengan proses
luteinisasi dan berkaitan dengan sekresi estrogen dan progesterone
pada paruh kedua siklus menstruasi. Walaupun kista corpus luteum
tidak patologis, namun dapat menyebabkan nyeri periovulatoar yang
terkadang membutuhkan pemeriksaan radiologis. Sonografi merupakan
modalitas utama untuk mengevaluasi kelainan ginekologis ini.21
Tampilan karakteristik kista korpus luteum adalah penebalan mural dan
krenulasi yang sejalan dengan perubahan histopatologi saat ovulasi.
kuning yang secara mikroskopis terdiri dari invaginasi sel theca lutein
yang berasal dari stroma ovarium yang berubah menjadi sel lutein
granulosa dari dinding folikel de graff. Sel lutein menghasilkan
progesterone dalam jumlah banyak dan proses luteinisasi dinding kista
ini diikuti dengan proses neovaskularisasi dalam 2-4 hari masa ovulasi.
21,22
Kista corpus luteum dapat dijumpai pada awal kehamilan namun
biasanya akan menghilang pada trimester kedua kehamilan. Biasanya
berdinding tipis dan unilocular dengan diameter antara 3 sampai 11 cm.
Perdarahan dari ruptur kista corpus luteum dapat mengakibatkan
keadaan akut abdomen dalam kehamilan.16,23
Kista theca lutein biasanya berkaitan dengan peningkatan kadar AhCG
(A human chorionic gonadotropin). Peningkatan kadar hormon ini
biasanya diakibatkan oleh penyakit trophoblast dalam kehamilan,
termasuk di dalamnya mola hidatidosa atau choriocarcinoma.
Penyebab lain adalah kehamilan kembar, diabetes, atau stimulasi
farmakologis terhadap ovarium. Kista theca lutein adalah salah satu
dari kista ovarium fungsional , juga merupakan kista fisiologis yang
dapat mencapai ukuran cukup besar, antara 6-12 cm hingga 20 cm.
Kista ini biasanya berdinding tipis tanpa komponen noduler atau bagian
padat di dalamnya. Oleh karena besarnya diameter kista ini, kista ini
Adalah penting untuk mempertimbangkan adanya kista theca lutein
dalam keadaan pembesaran ovarium bilateral pada wanita
premenopause untuk menghindari pembedahan yang tidak perlu.
Neoplasma ovarium yang sesungguhnya biasanya unilateral dengan
adanya penebalan septa dan pertumbuhan papiler di dalam kista. 20,22
Tingginya kadar gonadotropin atau androgen dapat menyebabkan
sekresi cairan oleh struktur epitel halus di dalam dinding ovary yang
membentuk kumpulan cairan sehingga menjadi kista.24
Hal ini tidaklah jarang dan dapat terjadi terutama di tahun tahun awal
setelah menopause. Prevalensi dari kista unilokuler pada wanita pasca
menopause berkisar antara 2,5% sampai 18 %, tergantung pada
populasi dan kriteria yang digunakan (misal diameter <5 atau
<10cm).22,24
Kista fungsional dan kista fisiologis seperti kista korpus luteum dan
kista folikel biasa terjadi sebagai bagian dari proses ovulasi. Kista-kista
tersebut berasal dari folikel Graaf yang tidak ruptur, atau folikel yang
ruptur namun segera menjadi tertutup kembali. Kista folikel dan kista
lutein juga bisa ditemukan multipel dan berada dekat pada lapisan
serosa ovarium. 9,24
Kista folikel biasanya berukuran kecil antara 1-1,5 cm, namun bisa
menjadi cukup besar namun tidak melebihi 10 cm. Kista ini biasanya
asimptomatik, walaupun pasien dengan kista fungsional yang besar
folikel mempunyai ciri permukaan licin, berdinding tipis dan unilokuler
serta berisi cairan serous jernih, sedangkan kista korpus luteum dilapisi
oleh sel-sel terluteinisasi yang apabila terjadi penimbunan cairan dalam
kista, tekanan intrakistik dapat menyebabkan sel-sel pelapis mengalami
atrofi. Kadang-kadang apabila kista ini ruptur, akan terjadi perdarahan
intraperitoneal dan gejala akut abdomen. 9,22,24
Karena terapi dari kondisi diatas berbeda, maka sangatlah penting
untuk bisa mengkonfirmasi diagnosis endometriosis yang ditegakkan
dengan pemeriksaan sampel biopsi yang diwarnai dengan HE. Namun
demikian pemeriksaan histologi ini dapat memberikan hasil negatif
palsu, sehingga diperlukan metode yang lebih baik dalam penegakan
diagnosis endometriosis.4
Oleh karena itu kami mempunyai hipotesis bahwa imunohistokimia
CD10 dapat meningkatkan sensitivitas dari penegakan diagnosis
endometriosis secara histopatologi dengan pewarnaan HE dengan
mempertajam identifikasi sel stroma ektopik. Untuk menguji
kemungkinan ini, maka kami membandingkan efikasi diagnostik
dengan perwarnaan HE dengan bantuan pewarnaan imunohistokimia
CD10 pada sampel biopsi eksisi kasus endometriosis.4
2.3. CD 10
Beberapa tahun belakangan ini, dunia telah melihat penggunaan marker
imunologi terutama dalam patologi ginekologi. Kebanyakan
penggunaannya berhubungan dengan diagnosis kasus-kasus neoplasma
ginekologi dan tidak jarang untuk menilai prognosis dan nilai prediktif.5
Dalam tahun-tahun mendatang, diagnosis molekuler akan lebih lanjut lagi
berperan penting dalam kesehatan publik secara global. Berbagai
pemeriksaan molekuler genetik akan memfasilitasi dalam banyak hal
seperti deteksi dan menentukan karakterisasi penyakit, dan bukan hanya
itu, bahkan dapat menjadi monitor terhadap respon pengobatan dan
identifikasi patogenesis serta suseptibilitas penyakit.25
Banyak antibodi immunologis yang pada awalnya diperkirakan spesifik
untuk satu jenis tumor tertentu, di kemudian hari akhirnya terbukti memiliki
reaktivitas yang lebih luas terhadap beberapa kondisi atau jenis tumor
yang lebih beragam.5
Sebagai contoh, CD 10 pada awalnya dikenal sebagai CALLA (Common
Acute Lymphoblastic Leukemia Antigen), yang disebut juga
endopeptidase netral yang ditampilkan oleh sel-sel precursor limfoid dan
sel limfoid B yang berasal dari sentra germinal.18 Antigen ini berukuran
90-110 kDa, dependen terhadap zincum permukaan metalloproteinase,
yang mengontrol pertumbuhan dan differensiasi sel normal. CD 10
dikenal juga sebagai antigen leukemia limfoblastik akut, endopeptidase
netral, neprilysin, dan enkephalinase.26,27
Dalam perannya sebagai peptidase permukaan sel, CD10 membantu
konsentrasi local yang tersedia untuk berikatan dengan reseptor dan
transduksi signal. CD10 telah diidentifikasi dalam banyak jenis sel (seperti
pusat germinal limfoid, tubulus renalis, glomerulli, kanalikuli parenkim hati,
sinsitiotrofoblas, fibroblast dan mioepitel payudara) dan tumor (karsinoma
sel renal, adenocarcinoma prostat, sarcoma stroma endometrium,
rabdomiosarkoma dan neoplasma urothelial).5,27,28,29
Neves dkk dan juga Keller dkk (2011) menemukan ekspresi positif CD
10 pada myoepitel payudara sehingga CD10 dapat digunakan untuk
membedakan epitel basal dari epitel luminal jaringan payudara. 28,30
Pada jaringan tumor, aktifitas peptidase CD 10 telah menunjukkan
pengaturan akumulasi peptid selama proses proliferasi sel dan terlibat
pula dalam pertumbuhan seperti yang tampak pada kanker prostat,
pankreas ataupun kanker paru. Walaupun CD 10 tidak bisa digunakan
sendirian, CD 10 tetap merupakan alat yang sangat berguna baik dalam
penegakan diagnosis ataupun penentuan prognosis, tidak hanya terbatas
pada tumor hemopoetik, tapi juga beberapa tumor lainnya.30
Metalloendopeptidase CD10 pada permukaan sel ditemukan atau
terekspresikan pada jaringan mioepitel payudara, sel tubulus renalis
normal, sel glomerulus, karsinoma ginjal, karsinoma hepatosellular, epitel
kelenjar prostat , alveoli paru, sel limfoid, asal mesenkim tumor kulit,
tumor mesonefrik dan leukemia limfoblastik akut dan limfoma . sebagai
stroma normal endometrium dan endometrium ektopik, serta neoplasma
stroma endometrium dan adenomyosis.4
2.3.1. Diagnosis stroma endometrium
CD 10 belakangan ini sering digunakan sebagai marker
imunohistokimia bagi tumor stroma endometrium. Tumor stroma
endometrial yang bermetastase ke ovarium dan sarcoma stroma
endometrioid primer dapat menunjukkan gambaran histology yang
berdekatan dengan tumor stroma murni atau pun tumor stroma sex
cord (SCST). Pada genital wanita, Imai dkk pertama kali
mendeskripsikan ekspresi positif CD10 pada sel stroma endometrium
pada kasus endometriosis dan adenomyosis, juga pada sel desidua,
dan hal ini telah dikonfirmasi oleh peneliti lainnya.26,27
Oliva E (2007) meneliti untuk memastikan peranan dan kegunaan dari
ekspresi CD10 dalam pembedaan kasus tumor stromal murni dan
SCST ovarium.7,26,27
McCluggage (2009) dalam penelitiannya terhadap tumor stroma
endometrium menyatakan bahwa kadang-kadang gambaran morfologi
tumor tersebut sangat mirip dengan otot polos uterus dan juga
sebagian tumor sex cord- stroma. Ia menemukan bahwa CD 10
tertampil dengan persentase yang tinggi pada tumor stroma
Berkenaan dengan kegunaannya sebagai modalitas diagnostik, Neves
dan Soares (2010) juga merekomendasikan agar CD10 dipakai dalam
panel pewarnaan imunohistokimia sehingga untuk sarcoma stroma
endometrium dan karsinoma sel renal.28
Kriteria diagnosis HE memerlukan identifikasi dari kelenjar
endometrium dan stroma. Pewarnaan positif CD10 berarti dijumpainya
stroma endometrium dan dianggap konsisten dengan diagnosis
endometriosis.4
Ketika IHC CD10 dinyatakan positif, seorang patologis dapat
memeriksa ulang slide HE yang bersangkutan, sehingga
berkesempatan untuk merevisi diagnosis yang tadinya hanya
didasarkan pada morfologi kelenjar dan stroma endometrium.4
Penelitian terkini mendeteksi sejumlah kecil negatif palsu pada
pemeriksaan endometriosis berbasis HE. Penambahan IHC CD10
meningkatkan deteksi histologi dari 35% menjadi 45%, sehingga
menghasilkan diagnosis baru endometriosis pada 3 dari 12 wanita yang
tadinya dinyatakan negatif berdasar pewarnaan HE.4,30
Penelitian Potlog-Nahari (2004) menunjukkan bawa penggunakan
CD10 secara bersamaan degan HE meningkatkan sensitivitas
diagnostik endometriosis dibandingkan dengan pewarnaan HE saja.
Karena IHC CD10 dapat mengkonfirmasi semua diagnosis positif
merekomendasikan penggunaan IHC CD10 digunakan hanya pada
kasus-kasus negatif HE pada semua spesimen pada seorang wanita,
sehingga dapat menekan biaya. Pewarnaaan CD 10 juga dapat
memperbaiki akurasi diagnostik untuk kasus endometriosis ringan,
yang juga sangat penting dalam menentukan terapi paling tepat.4,30
Gambar 2.1. (A) Pewarnaan H&E biopsi cul-de-sac dengan sangkaan endometriosis. (B) Imunohistokimia CD10 mengkonfirmasi diagnosis endometriosis, terlihat positif pada sel-sel stroma endometrium bukan pada kelenjar (diambil dari kepustakaan no.4).
Dalam penelitian lain dimana dicurigai adanya endometriosis namun
stroma tidak jelas dijumpai, 17 dari 20 biopsi dinyatakan diagnosis
endometriosis setelah pewarnaan CD10. Secara kontras dari 70 lesi
negatif yang dievaluasi dengan menggunakan imunohistokimia CD10,
hanya 15% yang memang mempunyai endometriosis. Bila disimpulkan,
maka penelitian ini menunjukkan bawa terdapat variabilitas di antara
ahli patologi dalam mendiagnosa endometriosis dari pewarnaan HE
dan pewarnaan CD 10 terbukti sangat berguna dalam kasus-kasus
yang meragukan secara morfologi histologi.4,30
Wanita yang salah didiagnosis menderita endometriosis dapat
mendapat terapi yang tidak semestinya diterima, yang tentunya
mempunyai resiko dan efek samping pula. Demikian pula dengan
wanita yang tidak terdiagnosa dengan benar, justru akan luput dari
terapi yang semestinya diberikan. Oleh karena itu diperlukan standar
baku dalam penegakan endometriosis. Diagnosis klinis saat
pembedahan mempunyai tingkat positif palsu dan negatif palsu,
dimana kasus yang ringan, kasus atipik atau lesi endometriosis dalam
dapat terlewatkan. 4,30
Secara kontras, pemeriksaan histologi kasus dengan sangkaan
endometriosis memiliki tingkat positif palsu yang sangat rendah namun
dapat secara tidak sengaja menganggap seorang wanita bebas dari
penyakit ini. Walter dkk gagal mengkonfirmasi secara histologi
diagnosis pembedahan endometriosis minimal pada 32 % dari 37
wanita. Hal ini dapat merupakan diagnosis pembedahan yang positif
palsu atau hanya merepresentasikan kegagalan deteksi histologi. 4,30
Beberapa patologis dapat mendiagnosa specimen yang diduga
endometriosis dengan hanya bertumpu pada ditemukannya makrofag
laden hemosiderin, kelenjar endometrium atau stroma endometrium,
stroma endometrium secara bersamaan untuk menegakkan diagnosa.
Oleh karena itu, diagnosis endometriosis juga memiliki problem lainnya
yaitu sangat rendahnya reprodusibilitas interobserver terutama bila
patologis tidak menggunakan kriteria diagnostik yang sama. 4,30
Penelitian ini menunjukkan bawah penggunaan imunohistokimia CD10
bersamaan dengan pewarnaan HE dapat meningkatkan deteksi
histologi endometriosis. Beberapa penelitain mengindikasikan bawa
CD10 merupakan marker sensitive untuk stroma endometrium ektopik
dan neoplasma stroma endometrium. Dalam penelitian terhadap 25
biopsi, 22 kasus dinyatakan positif endometriosis dengan
menggunakan HE dan 22 positif CD10. Hanya satu dari tiga kasus
negatif HE ternyata positif imunohistokimia CD10 nya. 4,30
Dalam seri penelitian dari rumah sakit terkenal seperti Mayo Clinic,
NIH, Bethesda, Maryland dan Chicago, ditemukan lebih sepertiga
biopsi endometriosis yang diambil saat pembedahan menunjukkan
hasil negatif dengan pewarnaan HE dengan tingkat negativitas yang
lebih tinggi untuk penyakit endometriosis derajat ringan; 60% pada
derajat I ( minimal ), 30% pada derajat II dan III (endometriosis ringan-
moderat) dan 0% pada derajat IV (endometriosis berat). 31,32
Groisman dan Meir dalam empat penelitian retrospektif mempelajari
20 kasus endometriosis yang secara histologi dianggap ekuifokal,
menemukan bahwa 85% positif dengan pewarnaan IHC CD10, yang
langsung mengkonfirmasi diagnosis endometriosis. Potlog –Nahari
dkk (2004) menggunakan imunohistokimia CD10 pada 31 wanita
dengan nyeri pelvis kronik, dan berhasil melipatduakan ketajaman
2.4. Kerangka Konsepsional
Kista coklat ovarium
Immunohistokimia CD 10 Kista
endometriosis Kista lutein berdarah
Pelapis epitel kelenjar (+) Stroma
endometrium (+)
Stroma ovarium menyerupai endometrium
CD 10 (+)
Massa perdarahan (+) Hemosiderin laden
makrofage (+) Pelapis epitel (-)
Stroma endometrium (-)
CD 10 (-)
Kista endometriosis
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
3.1.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sentra Diagnostik Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan.
3.1.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari Januari 2012 sampai Juli 2012
yang meliputi studi kepustakaan, pengumpulan data, pengumpulan
sampel, pengolahan data penelitian serta penulisan tesis.
3.2. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan specimen jaringan kista ovarium yang telah
didiagnosis sebelumnya menggunakan mikroskop cahaya dengan
pewarnaan rutin H&E (Hematoksilin dan Eosin), berupa kista
endometriosis dan kista berdarah lainnya terutama kista lutein berdarah.
Jaringan-jaringan tersebut kemudian dievaluasi secara imunohistokimia
untuk melihat tampilan/ekspresi CD10. Rancangan penelitian ini akan
menggunakan metode observasional dengan pendekatan cross
sectional. Dalam penelitian ini, tidak diberikan perlakuan terhadap
variabel, namun hanya dilihat hasil pulasan imunohistokimia CD 10.
3.3. Kerangka Operasional
Kriteria eksklusi
Kista endometriosis
Kista lutein berdarah Blok paraffin kista
coklat ovarium
Immunohistokimia CD 10
Pemeriksaan histopatologi konvensional H&E
CD 10 (+) CD 10 (-)
Kista endometriosis
3.4. Populasi, Sampel dan Besar Sampel Penelitian
3.4.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang
berasal dari jaringan kista ovarium yang didiagnosa sebagai kista
lutein berdarah dan kista endometriosis pada Sentra diagnostik
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan Laboratorium
swasta di Medan.
3.4.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari
jaringan kista ovarium berupa endometriosis dan kista lutein
berdarah yang sesuai dengan kriteria inklusi dan sesuai besar
sampel penelitian.
3.4.3. Besar Sampel Penelitian
Perkiraan besarnya sampel penelitian berdasarkan perhitungan
dengan menggunakan rumus uji hipotesis terhadap 2 proporsi :
Keterangan :
n = besar sampel n1 = n2
Zα = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada
nilai α yang ditentukan (untuk α = 0,05 Zα = 1,96) (Zα√2PQ + Zβ√P1Q1+P2Q2 )2
Zβ = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada
nilai β yang ditentukan (untuk β = 0,10 Zβ = 1,282)
P1 = proporsi penderita kista endometriosis = 0,695
menurut salah satu studi, angka kejadian endometriosis di
RSCM = 69,5% (kepustakaan no.1)
Q1 = 1- P1 = 1 – 0,695 = 0,305
P2 = proporsi penderita kista lutein berdarah yang diharapkan
dalam penelitian ini = 0,495
Q2 = 1- P2 = 1 - 0,495 = 0,505
P = ½ (P1+P2) = ½ (0,695 + 0,495) = 0,545
Q = 1- P = 1 – 0,545 = 0,455
Hasil perhitungan :
n = [ (1,96√2(0,545)(0,455) + 1,282√(0,695)(0,305)+(0,495)(0,505) ]2 (0,50)2
= (0,9714 + 0,8589)2 (0,30)2
= 37,22 ≈ 38
Jadi dibutuhkan sampel minimal untuk masing-masing kelompok
pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunohistokimia CD 10
kista ovarium masing-masing adalah 38.
Dalam penelitian ini, setengah jumlah sampel minimal diambil dari
kelompok kista endometriosis dan setengah lagi dari kelompok kista
Kemudian untuk kelompok ke-2 yaitu untuk pemeriksaan IHK CD 10,
sampel minimal juga 38 kasus.
3.5. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi
3.5.1. Kriteria Inklusi
Yang termasuk kriteria inklusi adalah sediaan blok parafin jaringan
kista lutein berdarah dan kista endometriosis dan slide pulasan
Hematoksilin-Eosin nya.
3.5.2. Kriteria Eksklusi
Sediaan blok parafin jaringan kista jenis lain seperti kista adenoma,
kista ganas, kista folikel, kista sex cord, kista germ cell, kista
metastase.
Sediaan blok parafin yang rusak dan tidak dapat diproses lebih
lanjut dengan pulasan imunohistokimia CD 10.
3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.6.1. Variabel Penelitian
Variabel yang menjadi perhatian di dalam penelitian ini adalah :
Variabel bebas berupa tampilan immunohistokimia CD 10,
dan
Variabel terikat berupa lesi kista endometriosis dan kista
3.6.2. Definisi Operasional
Kista endometriosis adalah kista ovarium yang mengandung
sel-sel endometrium ektopik baik epitel kelenjar maupun sel-sel
stromanya.
Kista lutein berdarah adalah kista ovarium yang mengandung
banyak massa perdarahan yang mirip dengan kista endometriosis.
Pemeriksaan histopatologi konvensional adalah pemeriksaan
jaringan menggunakan mikroskop cahaya terhadap specimen yang
telah melalui prosesing sampai diwarnai dengan
hematoksilin-eosin.
CD 10 adalah antibodi yang mampu mewarnai sel-sel stroma
endometrium menjadi coklat.
Hasil pulasan immunohistokimia CD 10 adalah tampilan pulasan
warna coklat pada sitoplasma sel stroma yang dinyatakan dengan :
Negatif, bila tidak berhasil menampilkan warna coklat,
dimana pada saat proses yang sama kontrol (+)
menampilkan warna coklat dengan pewarnaan kromogen
DAB.
Positif, bila terlihat tampilan pulasan warna coklat pada
sitoplasma sel stroma dengan menggunakan mikroskop
cahaya pembesaran 100X dan 400x pada seluruh lapangan
pandang dan pada saat yang sama kontrol (+) juga
3.7. Prosedur dan Teknik Penelitian
3.7.1. Pembuatan sediaan mikroskopis
Sediaan mikroskopis dibuat dengan cara sebagai berikut :
1. Blok parafin yang telah dikumpulkan, disimpan dalam freezer
sampai cukup dingin, selanjutnya dipotong tipis dengan
menggunakan mikrotom dengan tebal 4 µm. Setiap blok parafin,
dipotong ulang 1 kali untuk pulasan imunohistokimia CD 10.
2. Sampel blok parafin yang sudah dipotong tipis (4 µm)
ditempelkan pada kaca objek.
Pada pulasan imunohistokimia CD 10 digunakan kaca objek yang
telah di-coating dengan poly-L-lysine atau Silanized slide agar
jaringan dapat menempel pada kaca objek selama proses pulasan
imunohistokimia.
Cara menempelkan potongan tipis pada kaca objek silanized adalah
menggunakan ujung pisau atau pinset yang runcing. Potongan tipis
dipisahkan dan diratakan dengan memasukkannya ke dalam air
hangat. Setelah mengembang, pindahkan ke atas kaca objek.
Selanjutnya, kaca objek diletakkan di atas alat pemanas (hot plate).
Setelah parafin melunak, kaca objek dikeringkan dan potongan