SKRIPSI
PENGARUH LDR (LOAN TO DEPOSIT RATIO), NPL (NON PERFORMING
LOAN), ROE (RETURN ON EQUITY), IML (INTEREST MARGIN ON
LOAN) DAN BOPO (BIAYA OPERASIONAL TERHADAP
PENDAPATAN OPERASIONAL ) TERHADAP KECUKUPAN MODAL PADA PERUSAHAAN
PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BEI
OLEH
IRESTU JOLIANA
090503102
PROGRAM STUDI STRATA I AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul “Pengaruh LDR (Loan to Deposit Ratio), NPL
(Non Performing Loan), ROE (Return On Equity), IML (Interest Margin on
Loan) dan BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) Terhadap
Kecukupan Modal pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI” adalah
benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna
menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera
Utara.
Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan atau lembaga,
dan/atau saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin, dan/atau
dituliskan sumbernya dengan jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika
penulisan ilmiah.
Apabila kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam
skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Januari 2013
Yang Membuat Pernyataan,
KATA PENGANTAR
Segala pujian syukur dan hormat hanya bagi Tuhan Yesus Kristus yang
senantiasa melimpahkan berkat dalam kehidupan penulis bahkan memberikan
kekuatan dan tuntunan dalam setiap proses pengerjaan skripsi ini sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu.
Adapun judul dari skripsi ini adalah “Pengaruh LDR (Loan to Deposit
Ratio), NPL (Non Performing Loan), ROE (Return On Equity), IML (Interest
Margin on Loan) dan BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan
Operasional) Terhadap Kecukupan Modal pada Perusahaan Perbankan yang
Terdaftar Di BEI” yang disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Departemen
Akuntansi Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus, penulis ingin mengucapkan terima kasih untuk kedua orang
tua penulis tercinta, Ayahanda Jonner Batubara, S.T dan Ibunda Dame Lumban
Tobing serta ketiga saudara penulis, Tio Debitta Batubara, Ely Nova Batubara dan
Daniel Saito Batubara. Terima kasih yang tulus atas setiap doa, semangat,
kepercayaan dan cinta kasih yang telah diberikan yang selalu akan ada untuk
penulis.
Penulis banyak memperoleh bimbingan, pemikiran, motivasi, serta bantuan
baik doa dan dana dari berbagai pihak dalam menjalani studi di Fakultas Ekonomi
bahkan dalam masa-masa pengerjaan skripsi ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini
1. Bapak Drs. H, Arifin Lubis, MM, Ak selaku Plt. Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Syafruddin Ginting Sugihen, MAFIS, Ak selaku Ketua
Departemen Akuntansi dan Bapak Drs. Hotmal Jafar, MM, Ak selaku
Sekretaris Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera
Utara.
3. Bapak Drs. Firman Syarif, M.Si, Ak selaku Ketua Program Studi S1
Akuntansi dan Ibu Dra. Mutia Ismail, MM, Ak selaku Sekretaris Program
Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Iskandar Muda, SE, M.Si, Ak selaku Dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan evaluasi dan saran
dalam pengerjaan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Syahelmi, M.Si, Ak selaku Dosen Pembaca Penilai yang telah
memberikan saran dan masukan kepada penulis.
6. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Ekonomi terutama
Departemen Akuntansi yang telah berbagi ilmu pengetahuan dan membantu
penulis selama penulis menjalani masa perkuliahan.
Penulis juga berterima kasih kepada teman-teman penulis di Akuntansi 09,
JFTLG, Yammiz, Enam Sekawan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan
satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa baik dalam pengungkapan, penyajian dan
pemilihan kata-kata maupun pembahasan materi skripsi ini masih jauh dari
saran, kritik dan segala bentuk pengarahan dari semua pihak untuk perbaikan
skripsi ini.
Akhir kata, kiranya skripsi ini menjadi bahan acuan yang bermanfaat bagi
pembaca dan peneliti lainnya.
Medan, Januari 2013
Irestu Joliana
ABSTRAK
PENGARUH LDR (LOAN TO DEPOSIT RATIO), NPL (NON PERFORMING LOAN), ROE (RETURN ON EQUITY), IML (INTEREST MARGIN ON LOAN) DAN
BOPO (BIAYA OPERASIONAL TERHADAP PENDAPATAN OPERASIONAL) TERHADAP KECUKUPAN MODAL PADA PERUSAHAAN PERBANKAN
YANG TERDAFTAR DI BEI
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara parsial dan simultan pengaruh LDR (Loan to Deposit Ratio), NPL (Non Performing Loan), ROE (Return On Equity), IML (Interest Margin on Loan) dan BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) terhadap CAR (Capital Adequacy Ratio) pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI.
Populasi penelitian ini adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama 7 (tujuh) tahun periode 2005 – 2011. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dimana terdapat 20 (dua puluh) perusahaan yang memenuhi kriteria pemilihan sampel. Teknik analisis yang digunakan adalah Regresi Linear Berganda dan uji hipotesis menggunakan F-test dan t-test dengan Level of Significance 5%. Proses pengolahan datanya menggunakan program Eviews 7.1.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan LDR, NPL, ROE, IML, BOPO berpengaruh secara signifikan terhadap CAR. Secara parsial, hasil penelitian menunjukkan bahwa LDR, NPL, BOPO tidak berpengaruh secara signifikan terhadap CAR. Sedangkan ROE dan IML berpengaruh positif dan signifikan terhadap CAR. Kemampuan prediksi dari kelima variabel independen tersebut terhadap CAR adalah sebesar 57,51% sedangkan sisanya sebesar 42,49% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model regresi.
ABSTRACT
THE INFLUENCE OF LDR (LOAN TO DEPOSIT RATIO), NPL (NON PERFORMING LOAN), ROE (RETURN ON EQUITY), IML (INTEREST MARGIN ON LOAN) AND BOPO (BIAYA OPERASIONAL TERHADAP PENDAPATAN OPERASIONAL) TOWARDS CAPITAL ADEQUACY AT
BANKING COMPANY LISTED IN INDONESIA STOCK EXCHANGE
The purpose of this research is to determine either partially or simultanneously the influence of LDR (Loan to Deposit Ratio), NPL (Non Performing Loan), ROE (Return On Equity), IML (Interest Margin on Loan) and BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) to Capital Adequacy Ratio (CAR) at go public banking company listed in Indonesia Stock Exchange.
The population of this research is banking companies listed in Indonesia Stock Exchange for 7 (seven) years at 2007-2009 period. The Sample that used in this research is selected by purposive sampling method which obtained 20 (twenty) companies that fulfill all of criterias. The analysis technique used is Multiple Linear Regression and hypothesis test use F-test and also t-test as partial on level of significant 5%. Data processing is using Eviews 7.1.
The results of this research indicates that simultantly LDR, NPL, ROE, IML, BOPO have significant influence to CAR. Partially, the research’s result indicates that LDR, NPL, BOPO influence unsignificant to CAR. While ROE dan IML influence positively and significant to CAR. Prediction capability from these five variables toward CAR is 57,51,% where the balance 42,49% is affected to other factors which was not to be entered to regression model.
DAFTAR ISI
PERNYATAAN... .... i
KATA PENGANTAR...ii
ABSTRAK ... v
ABSTRACT...vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR... .. x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 10
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 10
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka ... 12
2.1.1 Bank ... 12
2.1.2 Permodalan Bank... 14
2.1.3 Signalling Theory... 20
2.1.4 Loan to Deposit Ratio (LDR)... 22
2.1.5 Non Performing Loan (NPL)... 25
2.1.6 Return On Equity (ROE)... 27
2.1.7 Interest Margin on Loan (IML)... 29
2.1.8 Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)... 31
2.1.9 Capital Adequacy Ratio (CAR)... 33
2.1.10 Tinjauan Penelitian Terdahulu... 37
2.2 Kerangka Konseptual... 40
2.3 Hipotesis... 41
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 42
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 42
3.3 Batasan Operasional ... 43
3.5 Skala Pengukuran Variabel...47
3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ... 48
3.7 Jenis Data ... 50
3.8 Metode Pengumpulan Data ... 50
3.9 Teknik Analisis ... 51
3.9.1 Pengujian dan Pemilihan Model ... 52
3.9.2 Pengujian Asumsi... 56
3.9.3 Pengujian Hipotesis ... 58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian...61
4.1.1 Deskripsi Data Penelitian... 61
4.1.2 Statistik Deskriptif...61
4.1.3 Pengujian dan Pemilihan Model...64
4.1.3.1 Pooled Least Square vs Fixed Effect (Chow Test)... 64
4.1.3.2 Fixed Effect vs Random Effect (Haussman Test)...68
4.1.4 Pengujian Asumsi...70
4.1.4.1 Uji Heteroskedastisitas...71
4.1.4.2 Uji Autokorelasi...72
4.1.4.3 Uji Multikolinearitas...73
4.1.5 Pengujian Hipotesis...73
4.1.5.1 Uji Koefisien Determinasi (R2)...73
4.1.5.2 Uji Signifikansi Simultan (F-test)...74
4.1.5.3 Uji signifikansi Parsial (T-test)...74
4.2 Analisis Hasil Penelitian... 77
4.2.1 Pengaruh LDR terhadap Kecukupan Modal (CAR)... 78
4.2.2 Pengaruh NPL terhadap Kecukupan Modal (CAR)... 80
4.2.3 Pengaruh ROE terhadap Kecukupan Modal (CAR)...81
4.2.4 Pengaruh IML terhadap Kecukupan Modal (CAR)... 82
4.2.5 Pengaruh BOPO terhadap Kecukupan Modal (CAR)...83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 85
5.2 Keterbatasan Penelitian... 86
5.3 Saran... 86
DAFTAR PUSTAKA...87
DAFTAR TABEL
No. Judul Tabel Halaman
Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 39
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian... 43
Tabel 3.2 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian ... 47
Tabel 3.3 Daftar Perusahaan yang menjadi Sampel Penelitian ... 49
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian... 61
Tabel 4.2 Hasil Regresi dengan menggunakan Model Pooled Least Square..65
Tabel 4.3 Hasil Regresi dengan menggunakan Model Fixed Effect... 66
Tabel 4.4 Komponen Perhitungan Chow Test... 67
Tabel 4.5 Hasil Regresi dengan Menggunakan Model Random Effect... 68
Tabel 4.6 Hasil Regresi dengan Haussman Test... 70
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Gambar Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Lampiran Halaman
Lampiran i Daftar Populasi dan Proses Seleksi Sampel ... 90
Lampiran ii Daftar Perusahaan yang menjadi Sampel Penelitian ... 91
Lampiran iii Daftar Variabel Penelitian (CAR, LDR, NPL, ROE, IML, BOPO Tahun 2005-2011) ... 92
Lampiran iv Tabel Stacked Data ... 96
Lampiran v Hasil Regresi Model Pooled Least Square ... 99
Lampiran vi Hasil Regresi Model Fixed Effect ... 100
Lampiran vii Hasil Regresi Model Random Effect ... 101
Lampiran viii Hasil Regresi Haussman Test ... 103
ABSTRAK
PENGARUH LDR (LOAN TO DEPOSIT RATIO), NPL (NON PERFORMING LOAN), ROE (RETURN ON EQUITY), IML (INTEREST MARGIN ON LOAN) DAN
BOPO (BIAYA OPERASIONAL TERHADAP PENDAPATAN OPERASIONAL) TERHADAP KECUKUPAN MODAL PADA PERUSAHAAN PERBANKAN
YANG TERDAFTAR DI BEI
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara parsial dan simultan pengaruh LDR (Loan to Deposit Ratio), NPL (Non Performing Loan), ROE (Return On Equity), IML (Interest Margin on Loan) dan BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) terhadap CAR (Capital Adequacy Ratio) pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI.
Populasi penelitian ini adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama 7 (tujuh) tahun periode 2005 – 2011. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dimana terdapat 20 (dua puluh) perusahaan yang memenuhi kriteria pemilihan sampel. Teknik analisis yang digunakan adalah Regresi Linear Berganda dan uji hipotesis menggunakan F-test dan t-test dengan Level of Significance 5%. Proses pengolahan datanya menggunakan program Eviews 7.1.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan LDR, NPL, ROE, IML, BOPO berpengaruh secara signifikan terhadap CAR. Secara parsial, hasil penelitian menunjukkan bahwa LDR, NPL, BOPO tidak berpengaruh secara signifikan terhadap CAR. Sedangkan ROE dan IML berpengaruh positif dan signifikan terhadap CAR. Kemampuan prediksi dari kelima variabel independen tersebut terhadap CAR adalah sebesar 57,51% sedangkan sisanya sebesar 42,49% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model regresi.
ABSTRACT
THE INFLUENCE OF LDR (LOAN TO DEPOSIT RATIO), NPL (NON PERFORMING LOAN), ROE (RETURN ON EQUITY), IML (INTEREST MARGIN ON LOAN) AND BOPO (BIAYA OPERASIONAL TERHADAP PENDAPATAN OPERASIONAL) TOWARDS CAPITAL ADEQUACY AT
BANKING COMPANY LISTED IN INDONESIA STOCK EXCHANGE
The purpose of this research is to determine either partially or simultanneously the influence of LDR (Loan to Deposit Ratio), NPL (Non Performing Loan), ROE (Return On Equity), IML (Interest Margin on Loan) and BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) to Capital Adequacy Ratio (CAR) at go public banking company listed in Indonesia Stock Exchange.
The population of this research is banking companies listed in Indonesia Stock Exchange for 7 (seven) years at 2007-2009 period. The Sample that used in this research is selected by purposive sampling method which obtained 20 (twenty) companies that fulfill all of criterias. The analysis technique used is Multiple Linear Regression and hypothesis test use F-test and also t-test as partial on level of significant 5%. Data processing is using Eviews 7.1.
The results of this research indicates that simultantly LDR, NPL, ROE, IML, BOPO have significant influence to CAR. Partially, the research’s result indicates that LDR, NPL, BOPO influence unsignificant to CAR. While ROE dan IML influence positively and significant to CAR. Prediction capability from these five variables toward CAR is 57,51,% where the balance 42,49% is affected to other factors which was not to be entered to regression model.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lembaga perbankan pada dasarnya memiliki peranan yang sangat penting
dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional. Dalam hal ini, bank
memiliki fungsi intermediasi atau sebagai perantara keuangan (financial
intermediary) dengan menghimpun dana dari pihak yang kelebihan dana (surplus
unit) dan menyalurkannya kembali kepada pihak yang membutuhkan dana (deficit
unit). Bank melaksanakan peranannya ini dalam setiap kegiatan operasinya secara
efektif dan efisien ke arah peningkatan taraf hidup rakyat yang kemudian akan
berdampak pada pertumbuhan perekonomian nasional serta peningkatan stabilitas
nasional.
Industri perbankan merupakan sektor penting yang menopang banyak sektor
industri lainnya. Apabila sektor perbankan dalam keadaan bermasalah, maka
sektor-sektor industri yang ditopang oleh perbankan tersebut tentunya akan
terkena imbasnya dan otomatis perekonomian negara juga akan terganggu.
Terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 dan krisis keuangan
global pada tahun 2008 memberi dampak kehancuran usaha perbankan dan
memporak-porandakan hampir seluruh sektor perekonomian Indonesia.
Pada masa resesi tahun 1997, tercatat bahwa nilai rupiah terus merosot dan
semakin memburuknya arus kas perbankan menyebabkan banyak bank
mengalami kesulitan likuiditas dan kehilangan kepercayaan masyarakat yang
yang diberikan kebebasan untuk menentukan atau menciptakan produk perbankan
telah menyebabkan bank kurang berhati-hati dan menyimpang dari aturan yang
berlaku bagi perbankan. Bank-bank tersebut saling berlomba untuk menarik dana
masyarakat dengan menawarkan tingkat bunga deposito dan tabungan yang lebih
tinggi dari yang lain dan kemudian menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit
kepada masyarakat dengan tujuan mencapai keuntungan maksimal tanpa
memperhatikan ketentuan kebijakan dan risikonya.
Krisis keuangan global pada tahun 2008 memberi dampak yang juga serupa
bagi perbankan di Indonesia. Bermula dari bank di Amerika Serikat yang
memberi kredit terutama kredit di bidang real estate dan property yang tidak
terlalu memperhitungkan kemampuan masyarakat untuk membayar pinjamannya
kembali. Akibatnya terjadi kredit macet yang sangat tinggi dan pertumbuhan laba
yang sangat kecil bahkan minus. Pengaruhnya terhadap perekonomian di
Indonesia dapat terlihat dengan melambatnya kinerja perbankan, penurunan
pertumbuhan kredit meskipun masih tergolong tinggi sebesar 30%. Bahkan pada
tahun 2009, potensi risiko kredit masih terjadi dengan adanya perlambatan
pertumbuhan kredit dan muncul kesulitan likuiditas perbankan, suku bunga BI
rate turun diikuti penurunan bunga kredit.
Kelemahan yang teridentifikasi dari masa krisis yang telah terjadi tersebut
antara lain rendahnya kemampuan manajemen risiko, masalah Good Corporate
Governance (GCG) dan tentunya masalah permodalan bank. Menurut Ali
(2004:67), “Untuk menghindari terjadinya pengalaman pahit ini maka modal yang
mendorong untuk dilakukannya restrukturisasi perbankan. Upaya yang dilakukan
pemerintah dalam rangka pemulihan kondisi perbankan antara lain dengan
melakukan program rekapitalisasi perbankan. Bank Indonesia menetapkan
ketentuan tentang kesehatan bank dan mewajibkan bank untuk melakukan
kegiatan usaha yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Salah satu aspek
mendasar dalam pelaksanaan program ini adalah kecukupan modal bank melalui
aturan tentang rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio-CAR).
Memasuki era globalisasi, persaingan antar perusahaan semakin ketat tidak
terkecuali dengan perusahaan perbankan. Dalam hal ini, perusahaan perbankan
dituntut untuk dapat bertahan dalam berbagai kondisi, lebih dinamis dan
kompeten, termasuk peningkatan kemampuan pelayanan untuk meraih perhatian
dan kepercayaan masyarakat yang diperlukan guna mencapai tujuan utama
perusahaan yakni memperoleh keuntungan maksimal. Selain itu, seperti
perusahaan lainnya, perbankan juga memiliki tujuan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup perusahaan (going concern).
Dengan memiliki permodalan yang kuat maka bank dapat melakukan
perluasan usaha demi pencapaian tujuannya tersebut. Bank dapat menjadi bank
jangkar (anchor bank) yang melakukan merger dan konsolidasi terhadap
bank-bank dengan daya saing rendah, khususnya dari sisi permodalan, yang kemudian
akan berpotensi meningkatkan efisiensi, mengurangi risiko, meningkatkan
kekayaan pemilik bank, dan menambah kekuatan pasar.
Bank jangkar merupakan bank yang tidak hanya menampung bank-bank
maupun regional. Bank Indonesia menetapkan kriteria dalam Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) untuk menentukan apakah suatu bank dapat menjadi
bank jangkar. Salah satunya adalah memiliki permodalan yang kuat dan
kemampuan menyerap risiko yang tercermin dari CAR (Capital Adequacy Ratio)
minimal 12% dan rasio modal inti (tier I) minimal 6%. Selain itu, bank tersebut
harus memiliki rasio LDR (Loan to Deposit Ratio) minimal 50% dan rasio NPL
(Non Performing Loan) bersih dibawah 5%, dan persyaratan lainnya.
Modal merupakan faktor penting bagi perbankan dalam menjalankan dan
mengembangkan usahanya serta melaksanakan peranannya sebagai perantara
keuangan. Menurut Abdullah (2005:56), “Besar kecilnya permodalan bank akan
mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan keuangan
bank yang bersangkutan”. Penggunaaan modal perbankan ditujukan untuk
memenuhi segala kebutuhan guna menunjang kegiatan operasi. Kegiatan operasi
itu sendiri dapat dikatakan berjalan dengan baik jika bank tersebut memiliki
kecukupan modal yang baik pula agar bank tersebut tetap dalam posisi aman.
Penilaian aspek permodalan didasarkan pada kewajiban penyediaan modal
minimum oleh bank. Ali (2004:280) menyatakan, “Secara praktikal, besaran
modal bank ditentukan oleh procentage minimum terhadap jumlah nilai aktiva
bank tersebut, sesuai dengan risiko yang melekat pada masing-masing unsurnya”.
Dalam hal ini, penilaian risiko yang dihadapi bank dinyatakan dalam ukuran
ATMR (aktiva tertimbang menurut risiko). Karena unsur modal menggambarkan
modal dihitung atas dasar suatu rasio. Penilaian tersebut didasarkan pada CAR
(Capital Adequacy Ratio) yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Menurut Dendawijaya (2005:121), “Capital Adequacy Ratio adalah rasio
kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk
menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit
yang diberikan”. CAR merupakan salah satu cara pengawasan terhadap
permodalan di dunia perbankan dan menjadi salah satu indikator kesehatan bank.
Bank Indonesia telah menaikkan bobot CAR dari yang semula 4% menjadi 8% di
tahun 1999 yang menandakan bahwa modal memang penting dalam kelangsungan
hidup suatu bank.
Ketentuan penyediaan modal minimum dalam peraturan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia mewajibkan setiap bank umum menyediakan modal
minimum sebesar 8% dari total Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).
Menurut Siregar (2010:2), semakin kecil ATMR yang dikenakan pada satu atau
kelompok debitur maka jumlah modal minimum yang harus disediakan bank akan
semakin kecil. Dengan jumlah modal yang ada, penurunan ATMR akan
memberikan indikasi keleluasaan bagi bank untuk melakukan ekspansi
pembiayaan (financing) kepada debitur. Jadi, apabila ATMR bank semakin besar
maka bank juga harus meningkatkan modalnya sehingga persentase CAR-nya
tidak akan menurun.
Kesehatan permodalan bank juga dipengaruhi oleh tingkat likuiditas bank.
Sebesar apapun aset yang dimilik suatu bank jika kondisi likuiditasnya terancam,
Likuiditas yang baik menandakan bank tidak mengalami kekurangan dana pada
saat deposan menarik dananya. Dengan kata lain, bank tidak mengalami
kekurangan modal dalam memenuhi segala pembayaran yang diperlukan untuk
kelancaran proses produksinya. Namun, apabila bank terlalu tinggi menjaga
likuiditasnya, maka bank tidak bisa mengoptimalkan permodalan. Dalam hal ini,
ada kecenderungan bahwa bank lebih memilih untuk menyalurkan dananya ke
alternatif yang berisiko rendah seperti obligasi pemerintah sehingga bobot ATMR
menurun. Akibatnya CAR menjadi tinggi namun kurang sensitif terhadap
penyaluran kredit.
Salah satu rasio yang dapat mengukur tingkat likuiditas adalah Loan to
Deposit Ratio (LDR) yang merupakan ukuran kemampuan bank dalam memenuhi
kewajiban jangka pendeknya pada saat ditagih oleh deposan. Penelitian yang
dilakukan oleh Siregar (2010) menyatakan bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR)
secara parsial berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap kecukupan modal
(CAR). Sedangkan penelitian Situmorang (2011) menyatakan Loan to Deposit
Ratio (LDR) secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kecukupan modal (CAR) dan Wulandari (2010) menyatakan secara parsial Loan
to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh positif dan signifikan terhadap CAR
Rasio lainnya yang sering digunakan di dunia perbankan adalah rasio Non
Performing Loan (NPL) yang menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam
mengelola kredit bermasalah oleh bank. Peningkatan penyaluran kredit disertai
dengan risiko kredit bermasalah (NPL) yang akan diterima. Pada awal tahun
Loan) setelah pada akhir tahun sebelumnya kalangan perbankan ditekan persoalan
likuiditas. Tahun 2008 perbankan mengalami peningkatan atau pertumbuhan
penyaluran kredit hingga mencapai 37% yang jauh melampaui target sebesar 24%
(Infobanknews, 2009). Dengan kondisi seperti itu, risiko kredit bermasalah
kemudian akan mengalami peningkatan. Peningkatan Non Performing Loan
ditengah belum pulihnya likuiditas akan berujung dengan penggerusan
permodalan bank. Penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2010) menyatakan
bahwa Non Performing Loan (NPL) secara parsial berpengaruh positif dan tidak
signifikan terhadap kecukupan modal (CAR).
Profitabilitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permodalan
suatu perbankan. Profitabilitas adalah kemampuan bank untuk menghasilkan
profit. Apabila bank memperoleh laba usaha maka akan menambah kecukupan
modalnya. Sedangkan apabila bank tersebut rugi, akan ada kemungkinan
modalnya terkikis sedikit demi sedikit. Dengan kata lain, profitabilitas searah
dengan kecukupan modal (CAR) yakni apabila profitabilitas meningkat maka
permodalannya juga meningkat. Profitabilitas dapat dikatakan sebagai indikator
atas kemampuan bank untuk mempertahankan kecukupan modal.
Bank harus memiliki modal yang cukup untuk memenuhi penyediaan modal
minimum yaitu Capital Adequacy Ratio (CAR) yang ditetapkan Bank Indonesia
sehingga bank harus mampu menghasilkan laba atau profit yang nantinya akan
menambah permodalan bank. Sejalan dengan tujuan perusahaan untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kesehatan bank yang
bersangkutan sehingga bersedia menanamkan dananya pada bank tersebut.
Return on Equity (ROE) merupakan salah satu rasio yang dapat mengukur
profitabilitas suatu bank. Rasio ini menyatakan kemampuan bank dalam
memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran dividen. Karena
kenaikan dalam rasio ini berarti terjadi kenaikan laba bersih dari bank yang
bersangkutan. Rasio lain yang digunakan untuk mengukur profitabilitas adalah
Interest Margin on Loan (IML). Rasio ini menyangkut tentang kemampuan
perkreditan untuk menghasilkan pendapatan bagi bank tersebut. Penelitian yang
dilakukan oleh Situmorang (2011) menyatakan bahwa secara parsial ROE dan
IML berpengaruh positif dan signifikan terhadap kecukupan modal (CAR).
Sejalan dengan penelitian oleh Sinaga (2008) menyatakan bahwa secara parsial
ROE dan IML berpengaruh signifikan terhadap kecukupan modal (CAR).
Sedangkan penelitian oleh Pane (2007) menyatakan secara parsial IML dan ROE
berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap kecukupan modal (CAR).
Kegiatan bank sebagai perantara, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana,
penting untuk diukur tingkat efisiensinya. Biaya operasional yang besar namun
hanya memperoleh pendapatan operasional yang sedikit menandakan bahwa
kegiatan operasional bank tersebut belum efisien. Biaya operasional yang besar
ini juga akan berdampak pada pengurangan laba dan kemudian mempengaruhi
permodalan bank. Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional
melakukan kegiatan operasinya dengan membandingkan biaya operasional
dengan pendapatan operasional bank.
Semakin kecil angka rasio BOPO maka semakin efisien bank tersebut
mengendalikan biaya operasionalnya. Dengan adanya efisiensi biaya maka
keuntungan yang diperoleh bank akan semakin besar pula. Perkembangan
perolehan laba operasional dari tahun 2008 yang meningkat hingga 60% pada
tahun 2010 tidak terlepas dari meningkatnya efisiensi perbankan. Penelitian yang
dilakukan oleh Siregar (2010) menyatakan bahwa secara parsial, BOPO
berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap kecukupan modal (CAR).
Bertolak dari permasalahan, hasil penelitian yang tidak konsisten dan
keinginan untuk mencari pengetahuan yang lebih baik, maka peneliti terdorong
untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap kecukupan modal perbankan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya meliputi jenis variabel,
periode tahun penelitian, dan perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan memilih judul
“Pengaruh LDR (Loan to Deposit Ratio), NPL (Non Performing Loan), ROE (Return On Equity), IML (Interest Margin on Loan) dan BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) Terhadap Kecukupan
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian yang telah dikemukakan di atas
maka peneliti dapat melakukan perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu
sebagai berikut :
1. Apakah LDR (Loan to Deposit Ratio), NPL (Non Performing Loan), ROE
(Return On Equity), IML (Interest Margin on Loan) dan BOPO (Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional) secara simultan mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap kecukupan modal pada perusahaan
perbankan yang terdaftar di BEI?
2. Faktor mana sajakah yang secara parsial mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap kecukupan modal pada perusahaan perbankan yang
terdaftar di BEI?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apakah LDR (Loan to Deposit Ratio), NPL (Non
Performing Loan), ROE (Return On Equity), IML (Interest Margin on
Loan) dan BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional)
secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kecukupan
2. Untuk mengetahui faktor mana sajakah yang secara parsial mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap kecukupan modal pada perusahaan
perbankan yang terdaftar di BEI.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti
Sebagai suatu kesempatan bagi peneliti menerapkan teori yang telah
didapatkan dalam perkuliahan dan menambah pengetahuan mengenai
pengaruh Apakah LDR (Loan to Deposit Ratio), NPL (Non Performing
Loan), ROE(Return On Equity), IML(Interest Margin on Loan) dan BOPO
(Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) terhadap kecukupan
modal pada perusahaan perbankan.
2. Bagi Manajemen Perbankan
Peneliti berharap agar hasil penelitian ini dapat menjadi referensi atau bahan
pertimbangan bagi penentuan kebijakan perbankan dan dalam pengambilan
keputusan khusunya mengenai kecukupan modal perbankan.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan referensi dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Bank
Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan adalah
“Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau
bentuk-bentuk lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak”.
Bank dalam kegiatan sehari-hari dikenal sebagai lembaga keuangan yang
kegiatannya adalah menerima simpanan giro, tabungan dan deposito sekaligus
sebagai tempat untuk meminjam uang oleh masyarakat yang membutuhkan.
Berdasarkan PSAK Nomor 31 dalam Standar Akuntansi Keuangan
(2008:1), “Bank adalah lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan
(financial intermediary) antara pihak yang memiliki dana dan pihak yang
memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu
lintas pembayaran”.
Ada tiga kegiatan operasional yang secara umum dilakukan oleh bank
(Kasmir, 2008:9), yaitu :
1. Menghimpun dana (funding) dari masyarakat dalam bentuk simpanan (giro,
tabungan, deposito), dalam hal ini bank sebagai tempat menyimpan uang
2. Menyalurkan dana (lending) ke masyarakat dalam bentuk kredit dan
investasi, dalam hal ini bank menyediakan dana bagi masyarakat yang
membutuhkannya.
3. Memberi jasa-jasa bank lainnya (services) seperti transfer, clearing, inkaso,
letter of credit, safe deposit box, bank garansi, dan lain-lain yang merupakan
jasa pendukung dari kegiatan pokok bank.
Menurut Ali (2004:87), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kegiatan operasional suatu bank, antara lain :
1. Faktor-faktor eksternal, yang meliputi:
a. Unsur kepercayaan masyarakat terhadap sebuah bank, dapat berpengaruh terhadap kemampuan bank dalam menghimpun dana-dana masyarakat atau dari kelembagaan (institusi).
b. Ekspektasi masyarakat menyangkut perkiraan pendapatan yang akan diterima oleh masyarakat penyandang dana dari bank.
c. Unsur keamanan baik keamanan dari kemungkinan terjadinya gejolak sosialkemasyarakatan maupun faktor keamanan yang diciptakan oleh adanya jaminan pengembalian dana.
2. Faktor-faktor internal, yang meliputi:
a. Ketepatan waktu dan ketelitian dalam pengembalian dana nasabah oleh bank.
b. Pelayanan yang lebih cepat dan nyaman serta mengandung unsur-unsur kemudahan dalam pelayanan oleh petugas atau oleh fasilitas yang disediakan bank.
c. Penerapan prudential banking practices oleh manajemen bank.
Dalam melakukan kegiatannya, bank memiliki tujuan yakni mencapai
tingkat profitabilitas yang tinggi. Untuk itu, bank berusaha melakukan kegiatan
operasionalnya dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan tersebut. Bagi
bank yang memiliki kelebihan dalam hal-hal tersebut di atas berpeluang besar
dalam memperoleh laba dibandingkan dengan bank yang tidak memiliki
2.1.2 Permodalan Bank
Adanya perbedaan komposisi laporan keuangan bank dengan laporan
keuangan perusahaan lain menjadikan permodalan bank menjadi hal yang tidak
biasa. Siamat (2005:287) menyatakan, “Penggunaan modal bank dimaksudkan
untuk memenuhi segala kebutuhan guna menunjang kegiatan operasi bank”.
Apabila modal bank tidak dapat memenuhi maksud-maksud tersebut, maka
modal bank dapat dianggap tidak mencukupi. Permodalan perbankan
merupakan salah satu aspek penting dalam melihat kesehatan perbankan
nasional.
Menurut Abdullah (2005:56), “Modal bank bukan saja sebagai salah satu
sumber penting dalam memenuhi kebutuhan dana bank, tetapi juga posisi
modal bank akan mempengaruhi keputusan-keputusan manajemen dalam hal
pencapaian tingkat laba, disatu pihak dan kemungkinan timbulnya risiko
dipihak lain”. Artinya, apabila modal yang dimiliki oleh bank terlalu besar
maka akan dapat mempengaruhi perolehan labanya, sedangkan jika modal
yang dimiliki terlalu kecil, akan membatasi kemampuan ekspansi bank dan
mempengaruhi penilaian para deposan, debitur dan pemegang saham bank.
Pengertian modal secara umum adalah sejumlah dana yang ditanamkan
dalam suatu perusahaan oleh para pemiliknya untuk pembentukan suatu badan
usaha dan menghendaki agar uang yang ditanamkannya memberikan hasil.
Jumlah modal dianggap tidak mencukupi jika modal bank yang tersedia tidak
dapat memenuhi seluruh kebutuhan operasi bank tersebut. Sebagaimana
berbagai hal. Hanya saja dalam berbagai hal (seperti modal pelengkap), modal
yang dimiliki oleh bank sedikit berbeda dengan yang dimiliki perusahaan
lainnya.
Modal bank terdiri atas modal inti atau primary capital dan modal
pelengkap atau secondary capital. Menurut Dendawijaya (2005:39), komposisi
modal bank dapat dijelaskan dengan perincian sebagai berikut :
1. Modal inti a. Modal disetor
yaitu modal yang telah disetor secara efektif oleh pemiliknya. b. Agio saham
yaitu selisih setoran yang diterima oleh bank sebagai akibat harga saham yang melebihi nilai nominalnya.
c. Cadangan umum
yaitu cadangan yang diperoleh dari penyisihan laba yang ditahan atau laba bersih setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan RUPS atau rapat anggota sesuai anggara dasar masing-masing. d. Cadangan tujuan
yaitu bagian laba setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan RUPS atau rapat anggota.
e. Laba ditahan
yaitu saldo laba bersih setelah pajak yang diumumkan dalam rapat pemegang saham dan diputuskan untuk tidak dibagikan. f. Laba tahun lalu
yaitu seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah diperhitungkan pajak, dan belum diperhitungkan penggunaannya oleh rapat anggota.
g. Laba tahun berjalan
yaitu laba yang telah diperoleh pada tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran hutang pajak.
h. Bagian kekayaan bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan.
Bagian kekayaan bersih tersebut adalah modal inti anak perusahaan setelah dikompensasikan nilai penyertaan bank pada anak perusahaan tersebut.
2. Modal Pelengkap
a. Cadangan revaluasi aktiva tetap
b. Penyisihan penghapusan aktiva produktif
yaitu cadangan yang dibentuk dengan cara membebani laba rugi tahun berjalan untuk menampung kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat tidak diterimanya kembali sebagian atau seluruh aktiva produktif.
c. Modal pinjaman
yaitu modal yang didukung oleh instrument atau warkat yang memiliki sifat seperti modal.
d. Pinjaman subordinasi
yaitu pinjaman yang harus memenuhi syarat, seperti ada perjanjian tertulis antara bank dan pemberi pinjaman mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, minimal berjangka 5 tahun dan pelunasan sebelum jatuh tempo harus dengan persetujuan Bank Indonesia.
Komponen modal bank yang telah dijelaskan di atas meliputi modal inti,
yakni modal yang telah disetor oleh pemiliknya dan komposisi modal inti
lainnya, ditambah modal pelengkap seperti cadangan umum dan cadangan
lainnya serta ditambah lagi sisa laba/rugi tahun-tahun lalu maupun tahun yang
berjalan. Kebutuhan permodalan bank dapatlah terpenuhi dari berbagai sumber
di samping dari setoran pemilik modal itu sendiri dapat juga dari cadangan
yang dibentuk oleh bank ataupun dari laba yang ditahan bahkan dari modal
pihak ketiga atau yang biasa dikenal sebagai modal asing.
Modal bank memiliki fungsi yang sangat penting dan tidak dapat
diabaikan. Adapun fungsi permodalan bank secara umum, yaitu :
1. Fungsi perlindungan
Modal bank tidak hanya berfungsi sebagai pembayaran pada penabung
dalam hal likuidasi tetapi juga sebagai pendukung solvabilitas dengan
memberikan penyangga dalam bentuk kelebihan aset sehingga bank yang
2. Fungsi operasi
Fungsi operasional modal bank meliputi penyediaan dana untuk pembelian
tanah, gedung, mesin, perlengkapan dan sebagai penyangga untuk menyerap
kerugian operasi yang terjadi.
3. Fungsi pengaturan
Permodalan bank harus memenuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas
moneter bertujuan untuk membatasi risiko yang mungkin timbul dari
aktivitas bank. Peraturan yang berkaitan dengan modal bank mencakup
peraturan yang berkaitan dengan persyaratan minimum yang diperlukan
untuk memperoleh izin, mendirikan operasi cabang dan membatasi
pinjaman bank, investasi dan pengambilalihan.
Menurut Abdullah (2005:67), “Besar-kecilnya permodalan bank akan
mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan
keuangan bank yang bersangkutan”. Besar kecilnya kecukupan modal bank
tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut :
a. Tingkat kualitas manajemen bank
Dengan memiliki manajemen yang berkualitas tinggi maka bank akan
memiliki kinerja yang baik pula khususnya dalam aspek permodalannya.
b. Tingkat likuiditas yang dimilikinya
Penyediaan likuiditas yang dimiliki bank dapat diambil dari perrmodalan
bank untuk menutup kewajiban-kewajibannya sehingga akan mempengaruhi
c. Tingkat kualitas dari aset
Bank yang mempunyai earning asset yang memadai maka kebutuhan
modalnya akan dapat ditutupi dari laba usaha bank tersebut.
d. Struktur deposito
Kerugian akibat biaya deposito yang terlalu tinggi akan diserap oleh modal
yang mengikibatkan mengecilnya modal bank.
e. Tingkat kualitas dari sistem dan prosedurnya
Efisiensi dari sistem dan prosedur yang dimiliki bank akan memungkinkan
bank memperoleh laba yang akan memperkuat modal.
f. Tingkat kualitas dan karakter para pemilik saham
g. Kapasitas untuk memenuhi kebutuhan keuangan jangka pendek maupun
jangka panjang,
h. Riwayat pemupukan modal dan peraturan pembagian laba yang
diperolehnya.
Bank Indonesia menjelaskan melalui Peraturan Bank Indonesia nomor
10/15/PBI/2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank dengan
pokok-pokok pengaturan antara lain meliputi :
I. Kewajiban penyediaan modal minimum
1. Bank wajib menyediakan modal minimum 8% dari Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).
2. Bank Indonesia mewajibkan bank menyediakan modal minimum lebih besar dari 8%.
3. Modal bagi bank yang berkantor pusat di Indonesia terdiri dari modal inti (tier 1), modal pelengkap (tier 2) dan modal pelengkap tambahan (tier 3).
II. Modal inti (tier 1)
2. Modal inti terdiri dari modal disetor, cadangan tambahan modal (disclosed reserve) dan modal inovatif (innovative capital instrument).
3. Modal inovatif merupakan instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, contohnya perpetual non cummulative subordinated debt dan instrumen hybrid lainnya yang bersifat perpetual dan non cumulative. Modal inovatif harus ≤ 10% dari modal inti.
4. Modal inti diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa goodwill, aset tidak berwujud lainnya dan faktor pengurang modal inti lainnya.
III. Modal pelengkap (tier 2)
1. Modal pelengkap ≤ 100% dari modal inti, dan lower modal pelengkap ≤ 50% dari modal inti.
2. Modal pelengkap terdiri dari modal pelengkap level atas (upper tier 2) dan modal pelengkap level bawah (lower tier 2).
3. Upper tier 2 mencakup instrumen modal dalam bentuk saham atau instrumen modal lainnya yang memenuhi persyaratan tertentu, bagian dari modal inovatif yang tidak dapat diperhitungkan dalam modal inti, revaluasi aset tetap, cadangan umum aset produktif, dan pendapatan komprehensif lainnya.
4. Lower tier 2 mencakup saham preferen yang dapat ditarik kembali setelah jangka waktu tertentu (redeemable preference shares) dan/atau pinjaman atau obligasi subordinasi yang memenuhi persyaratan tertentu.
IV. Modal pelengkap tambahan (tier 3)
1. Modal pelengkap tambahan dapat digunakan jika memenuhi kriteria berikut ini:
a) hanya digunakan untuk memperhitungkan Risiko Pasar;
b) tidak melebihi 250% (dua ratus lima puluh persen) dari bagian modal inti yang dialokasikan untuk memperhitungkan Risiko Pasar;
c) jumlah modal pelengkap dan modal pelengkap tambahan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti.
2. Modal pelengkap tambahan (tier 3) meliputi:
a) Pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi jangka pendek; b) Modal pelengkap yang tidak dialokasikan untuk menutup beban
modal untuk Risiko Kredit dan/atau beban modal untuk Risiko Operasional;
c) bagian dari modal pelengkap level bawah (lower tier 2) yang melebihi batasan modal pelengkap level bawah (lower tier 2). V. Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
1. Bagi semua bank mencakup ATMR untuk Risiko Kredit dan ATMR untuk Risiko Operasional.
Seperti yang dijelaskan melalui Peraturan Bank Indonesia di atas,
perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada aktiva tertimbang menurut
risiko (ATMR). Menurut Abdullah (2005:60), “Yang dimaksud dengan aktiva
dalam perhitungan ini mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca
maupun aktiva yang bersifat administratif sebagaimana tercermin pada
kewajiban yang masih bersifat kontingen dan atau komitmen yang disediakan
oleh bank bagi pihak ketiga”. Masing-masing aktiva diberi bobot risiko sesuai
dengan kadar risiko yang terkandung pada aktiva itu sendiri atau dapat
didasarkan pada golongan nasabah, penjamin atau sifat barang jaminan.
2.1.3 Signalling Theory
Signaling theory merupakan teori yang didasarkan pada asumsi bahwa
manajer dan pemegang saham tidak mempunyai akses informasi yang sama
dalam suatu perusahaan. Adanya informasi yang tidak simetris (asymetric
information) ini terjadi dikarenakan manajer selaku pihak internal (intern)
perusahaan memiliki informasi yang lebih baik mengenai kondisi perusahaan
dibandingkan dengan pemegang saham selaku pihak eksternal perusahaan.
Manajer dapat memiliki informasi yang lebih baik karena terlibat langsung
dalam kegiatan pengelolaan perusahaan sedangkan pemegang saham
memperoleh informasi dari mereka. Hal ini menyebabkan pemegang saham
tidak dapat mempercayai begitu saja informasi yang diberikan pihak
Menurut Jama’an (2008:4), “Signaling theory mengemukakan tentang
bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada
pengguna laporan keuangan”. Artinya, sinyal yang diberikan berupa informasi
mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk menyatakan bahwa
perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lainnya. Teori ini
menekankan pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh pihak perusahaan
terhadap keputusan investasi pihak luar atau masyarakat. Informasi yang
dipublikasikan oleh pihak manajemen akan memberikan sinyal bagi investor
dalam pengambilan keputusan investasi. Setelah informasi diumumkan dan
diterima oleh para pelaku pasar atau masyarakat, maka pelaku pasar akan
terlebih dahulu menganalisis informasi tersebut apakah sebagai sinyal yang
positif atau sinyal yang negatif.
Brigham dan Houston (2001:36) menyatakan, “Sinyal merupakan suatu
tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan yang memberikan petunjuk
bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan”.
Teori sinyal menjelaskan bahwa pemberian sinyal dilakukan oleh manajer
sehingga mengurangi terjadinya asimetri informasi. Dengan adanya masalah
informasi yang asimetris seperti dijelaskan sebelumnya, para manajer
perusahaan yang mengetahui dan meyakini bahwa kondisi dan prospek
perusahaan baik dan ingin agar harga saham meningkat, akan berusaha
memberikan sinyal yang positif kepada pihak luar tentang keunggulan
Salah satu cara untuk menyampaikan sinyal positif kepada pihak luar
adalah dengan menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal
baru yang diperlukan dengan cara lain yaitu dengan penggunaan hutang.
Pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan umumnya ditangkap sebagai
suatu sinyal negatif bahwa manajemen memandang prospek peusahaan tersebut
suram. Hal ini didasari pertimbangan bahwa manajer hanya akan menerbitkan
hutang baru yang lebih banyak apabila mereka yakin perusahaan kelak dapat
memenuhi kewajibannya. Apabila suatu perusahaan menawarkan penjualan
saham baru, lebih sering dari biasanya, maka harga sahamnya akan menurun
karena menerbitkan saham baru berarti memberikan sinyal yang negatif yang
kemudian dapat menekan harga saham.
Dengan kemampuan manajemen perusahaan, dalam hal ini perusahaan
perbankan, untuk menyampaikan sinyal positif kepada investor sebagai pihak
luar, maka kemungkinan besar investor akan tertarik untuk melakukan
perdagangan saham dan pasar akan reaksi yang tercermin melalui perubahan
dalam volume perdagangan saham. Dengan banyaknya investor yang ingin
menanamkan dananya dalam perusahaan tentunya akan memberi pengaruh
positif terhadap permodalan perusahaan perbankan tersebut.
2.1.4 Loan to Deposit Ratio (LDR)
Rasio likuiditas yang lazim digunakan dalam dunia perbankan adalah
Loan to Deposit Ratio (LDR). Loan to Deposit Ratio merupakan perbandingan
bank. Menurut Dendawijaya (2005:116), “Loan to Deposit Ratio tersebut
menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali
penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang
diberikan sebagai sumber likuiditasnya”. Atau dengan kata lain, LDR merujuk
pada kondisi likuiditas bank yang dilihat dari seberapa jauh pemberian kredit
kepada nasabah dapat mengimbangi kewajiban bank untuk segera memenuhi
permintaan deposan untuk menarik dananya yang sebelumnya sudah digunakan
oleh bank untuk menyalurkan pemberian kredit
LDR merupakan rasio keuangan perusahaan perbankan yang digunakan
untuk menilai likuiditas bank. Menurut Kasmir (2004:268), “Rasio likuiditas
merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam
memenuhi kewajiban jangka pendeknya pada saat ditagih”. Dengan kata lain,
bank dapat membayar kembali pencairan dana deposannya pada saat ditagih
serta dapat mencukupi permintaan kredit yang telah diajukan.
Menurut Siamat (2005:288), “Beberapa bank yang modalnya di bawah
rata-rata mengalami kesulitan antara lain karena manajemen bank yang lemah,
terutama karena pengelolaan likuiditas yang kurang tepat”. Penyaluran kredit
merupakan kegiatan utama bank. Oleh karena itu, sumber pendapatan utama
bank berasal dari kegiatan ini. Semakin besarnya penyaluran dana dalam
bentuk kredit dibandingkan dengan deposit atau simpanan masyarakat pada
suatu bank membawa konsekuensi semakin besarnya risiko yang harus
Secara sistematis Loan to Deposit Ratio (LDR) dapat dirumuskan sebagai
berikut (sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31
Mei 2004) :
LDR = Kredit
Dana Pihak Ketiga × 100%
Kredit merupakan total kredit yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak
termasuk antar bank). Dana pihak ketiga mencangkup giro, tabungan dan
deposito (tidak termasuk antar bank).
Semakin tinggi rasio LDR, semakin rendah kemampuan likuiditas bank
sehingga risiko dalam berinvestasi menjadi tinggi karena perusahaan
perbankan tidak memiliki kemampuan untuk membayar kembali kewajiban
atas dana nasabah atau pihak ketiga. Semakin rendah LDR menunjukkan
kurangnya efektivitas bank dalam menyalurkan kredit. Oleh karena itu, rasio
LDR bank harus berada pada standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Sehingga laba yang diperoleh oleh bank akan meningkat dengan asumsi bank
tersebut mampu menyalurkan kreditnya dengan efektif. Meningkatnya LDR
berarti meningkat pula pendapatan bunga yang diperoleh oleh bank.
Selanjutnya peningkatan pendapatan bunga berarti profitabilitas meningkat
yang mengindikasikan pertumbuhan laba yang semakin besar yang kemudian
akan mempengaruhi permodalan bank.
Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari LDR
suatu bank adalah sekitar 85%. Namun batas toleransi berkisar antara
adalah maksimum 110%. Bank Indonesia dalam menetapkan kriteria peringkat
komponen likuiditas sebagai berikut :
1. Untuk Loan to Deposit Ratio yang berada diantara 50% - 75% atau
50%<Rasio≤75% artinya likuiditas bank tersebut sangat likuid.
2. Untuk Loan to Deposit Ratio yang berada diantara 75% - 85% atau
75%<Rasio≤85% artinya likuiditas bank tersebut likuid.
3. Untuk Loan to Deposit Ratio yang berada diantara 85% - 100% atau
85%<Rasio≤100% atau rasio ≤ 50% artinya likuiditas bank tersebut cukup likuid.
4. Untuk Loan to Deposit Ratio yang berada diantara 100% - 120% atau
100%< Rasio ≤120% artinya likuiditas bank tersebut kurang likuid.
5. Untuk Loan to Deposit Ratio yang lebih besar dari 120% atau Rasio ≥120% artinya likuiditas bank tersebut tidak likuid.
2.1.5 Non Performing Loan (NPL)
Rasio lainnya yang sering digunakan dalam dunia perbankan adalah Non
Performing Loan (NPL). Non Performing Loan merupakan perbandingan
antara jumlah kredit bermasalah yang muncul dengan seluruh jumlah kredit
yang diberikan bank. Menurut Abdullah (2005:128), “Rasio ini dipergunakan
untuk mengukur kemampuan bank dalam mengukur risiko kegagalan
pengembalian kredit oleh debitur”. Risiko kredit berkaitan dengan
kemungkinan kegagalan klien membayar kewajibannya atau risiko dimana
Tingkat risiko kredit dapat diproksikan dengan NPL karena NPL dapat
digunakan untuk mengukur sejauh mana kredit bermasalah yang timbul dapat
dipenuhi dengan aktiva produktif yang dimiliki oleh suatu bank. Oleh karena
itu, semakin besar NPL maka semakin besar risiko kredit yang ditanggung oleh
pihak bank dan begitu pula sebaliknya.
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut (sesuai dengan Surat Edaran
Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004) :
NPL = Kredit Bermasalah
Total Kredit × 100%
Kredit bermasalah dapat diartikan sebagai suatu kredit dengan katagori
kolektibilitas yang rendah dimana pembayaran kembali hutang pokok kredit
beserta bunganya tidak sesuai dengan ketentuan atau persyaratan yang telah
ditentukan sebelumnya sehingga memiliki risiko atau potensi untuk merugi.
NPL mencerminkan risiko kredit. Semakin kecil NPL semakin kecil pula
resiko kredit yang ditanggung pihak bank. Kecilnya risiko kredit yang
ditanggung pihak bank akan meningkatkan laba bank begitu pula sebaliknya.
Menurut Bank Indonesia, kredit bermasalah meliputi kredit kurang lancar,
kredit diragukan dan kredit macet.
Menurut Dendawijaya (2005:82), implikasi bagi pihak bank sebagai
akibat dari timbulnya kredit bermasalah tersebut dapat berupa berikut ini :
1. Hilangnya kesempatan memperoleh income (pendapatan)dari kredit yang diberikannya, sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi rentabilitas bank.
3. Bank harus memperbesar penyisihan untuk cadangan aktiva produktif yang diklasifikasikan berdasarkan ketentuan yang ada. Hal ini pada akhirnya akan mengurangi besarnya modal bank dan akan sangat berpengaruh terhadap CAR (capital adequacy ratio).
4. Return on asset (ROA) mengalami penurunan.
5. Sebagai akibat dari komplikasi butir 2,3, dan 4 tersebut di atas adalah menurunkan nilai tingkat kesehatan bank berdasarkan perhitungan menurut metode CAMEL.
Keberadaan Non Performing Loan (NPL) menjadi penting karena dalam
jumlah besar akan sangat mempengaruhi bank yang bersangkutan. Rasio ini
menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit
bermasalah yang diberikan oleh bank. Semakin tinggi rasio ini maka semakin
besar jumlah kredit bermasalah yang menyebabkan kualitas kredit bank
menjadi buruk. Hal ini dapat mengimplikasikan kondisi bank yang tidak sehat
dan kemungkinan pencapaian laba yang semakin rendah serta akan
memengaruhi pertumbuhan modal bank tersebut. Menurut Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, setiap bank harus menjaga rasio
NPL dibawah 5%. Semakin tinggi nilai NPL (diatas 5%) maka bank tersebut
tidak sehat.
2.1.6 Return On Equity (ROE)
Menurut Kasmir (2004:280), “Return On Equity merupakan rasio untuk
mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola capital yang ada
untuk mendapatkan net income”. Rasio ini merupakan rasio keuangan yang
digunakan untuk mengukur profitabilitas dari ekuitas yang dapat dijadikan
Return On Equity sering diamati oleh para pemegang saham dan investor
yang ingin menanamkan dananya pada suatu perusahaan. Para investor di pasar
modal mempunyai beberapa motif dalam membeli saham bank yang telah go
public, antara lain:
a. Mendapatkan dividen berdasarkan keputusan RUPS.
b. Mengejar capital gain.
c. Menguasai perusahaan dengan pencapaian mayoritas saham.
Dendawijaya (2005:119) menyatakan, “Kenaikan dalam rasio ini berarti
kenaikan laba bersih dari bank yang bersangkutan. Kenaikan tersebut akan
menyebabkan kenaikan harga saham bank”. Untuk itu, Return On Equity
menjadi indikator yang sangat penting bagi para pemegang saham dan calon
investor untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba bersih
yang dikaitkan dengan pembayaran dividen. Rasio ini dapat dirumuskan
sebagai berikut (sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP
tanggal 31 Mei 2004) :
ROE = Laba Setelah Pajak
Rata−Rata Modal Inti × 100%
Return on equity (ROE) merupakan kemampuan perusahaan dalam
memberikan pengembalian atas investasi para pemegang saham. Rasio yang
meningkat menunjukkan bahwa kinerja manajemen meningkat. Angka ROE
yang semakin tinggi memberikan indikasi bagi para pemegang saham bahwa
tingkat pengembalian investasi pada sektor perbankan tinggi. Hal ini akan
meningkatkan modal perusahaan dalam bentuk modal saham. Oleh karena itu,
semakin tinggi nilai ROE akan semakin baik.
ROE menjadi penting karena selain mengukur keuntungan yang akan
dinikmati oleh pemilik saham dan investor yang tertarik untuk berinvestasi
yang akhirnya akan meningkatkan permodalan bank tersebut, rasio ini juga
menunjukkan efisiensi perusahaan dalam menggunakan modal sendiri untuk
menghasilkan laba bersih perusahaan. Adanya kenaikan laba bersih perusahaan
yang bersangkutan tentunya akan meningkatkan permodalan bank karena
dividen yang dibagikan atau diinvestasikan kembali sebagai retained earning
juga akan semakin besar. Sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia
No.6/23./DPNP tanggal 31 Mei 2004, batas bawah rasio ROE berkisar antara
5% sampai 12,5% dan semakin tinggi rasio ini maka kondisi bank tersebut
semakin baik.
2.1.7 Interest Margin on Loan (IML)
Interest Margin on Loan (IML) menyatakan persentase laba diukur dari
kemampuan perkreditan yang dimiliki oleh suatu bank dibandingkan dengan
selisih bunga yang didapat. Menurut Muljono (2002:132), “Rasio ini
digunakan untuk mengukur kemampuan perkreditan yang dimiliki oleh suatu
bank untuk menghasilkan pendapatannya”. Rasio ini membandingkan antara
interest margin, yaitu selisih antara pendapatan bunga dengan beban bunga,
terhadap total kredit yang diberikan bank. Semakin tinggi rasio ini
Interest Margin on Loan (IML) menyatakan persentase laba diukur dari
kemampuan perkreditan yang dimiliki oleh suatu bank dibandingkan dengan
selisih bunga yang didapat. Rasio ini dapat diukur dengan rumus (Kasmir,
2004:283) :
IML = Pendapatan Bunga− Beban Bunga
Total Kredit × 100%
Interest Margin on Loan (IML) merupakan salah satu rasio profitabilitas.
Profitabilitas suatu bank menunjukkan kemampuan suatu bank dalam
menghasilkan laba atau keuantungan, baik berasal dari kegiatan operasional
bank yang bersangkutan maupun dari hasil non-operasionalnya. Analisis atas
rasio profitabilitas ini juga berguna untuk mengetahui hubungan timbal balik
antara pos-pos yang ada pada neraca bank yang bersangkutan guna
mendapatkan berbagai indikasi yang berguna untuk mengukur efisiensi dan
profitabilitas bank yang bersangkutan.
Rasio ini dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan manajemen
suatu bank mengelola dananya untuk menghasilkan interest margin dan dalam
mengendalikan besarnya interest expense. Rasio ini menjadi penting karena
pendapatan bunga dari penyaluran kredit yang dilakukan bank dapat dikatakan
sebagai pendapatan utama bagi bank. Pendapatan bunga merupakan sebagian
besar dari pendapatan operasional bank karena mayoritas aset bank adalah
berupa kredit. Semakin banyak bank menyalurkan kredit kepada masyarakat
maka semakin besar pendapatan bunga yang akan diterima nantinya dengan
menambah laba yang diterima. Dengan bertambahnya laba maka akan
mempengaruhi permodalan bank.
Semakin kecil rasio IML maka semakin rendah kemampuan bank dalam
menghasilkan pendapatan bunga dan kemungkinan besar tidak mampu dalam
menutupi biaya bunga dari pinjaman. Hal ini akan mengurangi laba yang
kemudian dapat berdampak pada pengurangan modal bank tersebut.
2.1.8 Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
merupakan perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional.
Rasio ini sering disebut dengan rasio biaya operasional. Menurut Dendawijaya
(2005:120), “Rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat
efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya”.
Dengan kata lain, BOPO merupakan rasio yang mengukur efisiensi dan
efektivitas operasional suatu bank.
Rasio ini mengukur efektivitas bank dalam menjalankan usaha pokoknya
terutama kredit berdasarkan jumlah dana yang berhasil dikumpulkan. Semakin
kecil BOPO menunjukkan semakin efektif bank dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Disamping itu, BOPO juga menunjukkan upaya bank dalam
meminimalkan risiko operasional yakni risiko ketidakpastian atas kegiatan
usaha yang dilakukan. Risiko operasional berasal dari kerugian operasional bila
bank, dan kemungkinannya kegagalan atas jasa-jasa dan produk-produk yang
ditawarkan.
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut (sesuai dengan Surat Edaran
Bank Indonesia No.6/23./DPNP tanggal 31 Mei 2004) :
BOPO = Total Beban Operasional
Total pendapatan Operasional × 100%
Menurut Dendawijaya (2005:120), “Kegiatan utama bank pada
prinsipnya adalah bertindak sebagai perantara, yaitu menghimpun dan
menyalurkan dana (misalnya dana masyarakat), maka biaya dan pendapatan
operasional bank didominasi oleh biaya bunga dan hasil bunga”. Lebih rinci,
berikut ini dijelaskan mengenai komponen pendapatan dan biaya operasional
bank (Dendawijaya, 2005:111), antara lain :
1. Pendapatan Operasional
Pendapatan operasional terdiri atas semua pendapatan yang merupakan
hasil langsung dari kegiatan usaha bank yang benar-benar telah diterima,
antara lain hasil bunga, provisi dan komisi, pendapatan valuta asing
lainnya, pendapatan lainnya.
2. Beban Operasional
Beban operasional terdiri atas semua biaya yang berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha bank, antara lain biaya bunga, biaya valuta asing
lainnya, biaya tenaga kerja, penyusutan, biaya lainnya.
Semakin tinggi rasio BOPO maka kemungkinan bank dalam kondisi
bank menjadi tidak efisien. Hal ini menyebabkan perubahan laba operasional
yang semakin kecil. Sebaliknya, semakin rendah rasio BOPO maka semakin
efisien bank dalam melakukan pengendalian biaya operasionalnya. Dengan
adanya efisiensi biaya ini maka keuntungan yang diperoleh bank semakin
besar. Sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23./DPNP tanggal 31
Mei 2004, rasio BOPO cukup baik berkisar antara 94% sampai 96% dan
semakin rendah rasio ini maka semakin baik kesehatan bank tersebut.
2.1.9 Capital Adequacy Ratio (CAR)
Menurut Dendawijaya (2005:121), “Capital Adequacy Ratio adalah rasio
kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk
menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit
yang diberikan”. Rasio ini memperlihatkan sejauh mana aktiva bank yang
mengandung risiko seperti kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada
bank lain, dibiayai dari dana modal sendiri bank seperti dana masyarakat,
pinjaman (utang), dan lain-lain.
Dengan kata lain, CAR merupakan rasio permodalan yang menunjukkan
kemampuan bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan
usaha dan menampung risiko kerugian dana yang diakibatkan oleh kegiatan
operasi bank. Kecukupan modal merupakan faktor yang penting bagi bank
dalam rangka pengembangan usaha dan menampung risiko kerugian. Modal
bank, tetapi juga posisi modal akan mempengaruhi keputusan-keputusan
manajemen dalam pencapaian laba dan kemungkinan timbulnya risiko.
Capital Adequacy Ratio (CAR) termasuk salah satu rasio yang mengukur
solvabilitas. Menurut Kasmir (2004:275), ”Rasio solvabilitas merupakan
ukuran kemampuan bank mencari sumber dana untuk membiayai
kegiatannya”. Atau bisa juga dikatakan rasio ini sebagai alat ukur untuk
melihat tingkat efisiensi pihak manajemen bank tersebut dalam menjalankan
aktivitasnya.
Perhitungan CAR diperoleh dari perbandingan modal sendiri dengan
aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) yang dihitung bank. Perbandingan
ini dianggap dapat memberi indikasi sampai seberapa jauh suatu bank dapat
mengalami berbagai bentuk kerugian, tetapi masih mempunyai modal yang
cukup untuk menjamin keamanan dana bank.
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut (sesuai SE No.6/23/DPNP
Tanggal 31 Mei 2004) :
CAR = Modal Bank
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko × 100%
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) adalah nilai total masing-masing
aktiva bank setelah dikalikan dengan masing-masing bobot risiko aktiva.
Aktiva yang paling tidak berisiko diberi bobot 0% dan aktiva yang paling
berisiko diberi bobot 100%. Dengan demikian, ATMR menunjukkan nilai
CAR memberikan indikasi apakah permodalan yang ada telah memadai
atau tidak dan sebagai dasar untuk menilai prospek kelanjutan usaha bank
bersangkutan. CAR menyatakan jumlah modal minimal yang harus dimiliki
oleh suatu bank sehingga kepentingan para investor dapat terlindungi dari
ancaman terjadinya insolvensi kegiatan usaha perbankan. Menurut Widjanarto
(2003:165), posisi CARsuatu bank sangat tergantung pada hal-hal berikut ini :
1. Jenis aktiva serta besarnya risiko yang melekat padanya,
2. Kualitas aktiva atau tingkat kolektibilitasnya,
3. Total aktiva suatu bank,
4. Kemampuan bank untuk meningkatkan pendapatan dan laba.
Sesuai dengan Surat Edaran BI Nomor: 26/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993,
besarnya CAR yang harus dicapai oleh suatu bank minimal 8% sejak akhir
tahun 1995. Hal ini didasarkan kepada ketentuan yang ditetapkan oleh BIS
(Bank for International Settlement). Dan sejak akhir tahun 1997 CAR yang
harus dicapai minimal 9%. Tetapi karena kondisi perbankan nasional sejak
akhir 1997 terpuruk yang ditandai dengan banyaknya bank yang dilikuidasi,
maka sejak Oktober tahun 1998 besarnya CAR diklasifikasikan dalam 3
kelompok. Klasifikasi bank sejak 1998 sampai 2007 dikelompokkan sebagai
berikut :
1. Bank sehat dengan klasifikasi A, jika memiliki CAR lebih dari 8%.
2. Bank take over (BTO) atau dalam penyehatan oleh BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional) dengan klasifikasi B, jika bank tersebut
3. Bank Beku Operasi (BBO) dengan klasifikasi C, jika memiliki CAR
kurang dari –25%. Bank dengan klasifikasi C inilah yang di likuidasi.
Permasalahan modal umumnya adalah berapa modal yang harus
disediakan oleh pemilik sehingga keamanan pihak ketiga dapat terjaga. Capital
Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kecukupan modal yang berfungsi
menampung risiko kerugian yang kemungkinan dihadapi oleh bank. Dengan
CAR yang tinggi berarti bank tersebut semakin solvable, dimana bank
memiliki modal yang cukup guna menjalankan usahanya sehingga akan
meningkatkan keuntungan karena semakin tinggi CAR maka semakin baik
kinerja dan kemampuan bank tersebut untuk menanggung resiko dari setiap
kredit atau aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi maka bank
tersebut mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi
yang cukup besar bagi profitabilitas dan permodalan.
Semakin tinggi nilai CAR menunjukkan semakin sehat bank tersebut.
Semakin besar persentase CAR suatu bank menunjukkan semakin besar