• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur Kesalahan Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Unsur Kesalahan Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

Abidin, A. Zainal., Asas Hukum dan Beberapa Pengupasan Tentang Delik-Delik Khusus, Jakarta: Prapartja dan Taufik 1962.

Atmasasmita, Romli., Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta: Yayasan LBH, 1989.

Cremona, Marise., Criminal Law, diterjemahkan oleh Setityono, London: Macmillan Press Ltd, 1989.

Ekaputra, Muhammad., dan Abulkhair., Sistem Pidana di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, Medan: USU Press, 2010. Hamndan, M., Tindak Pidana Pencemaran Linkungan Hidup, Bandung: Mandar

Maju, 2000.

Hamzah, Andi., Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Hanafi., Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana dan Relevensinya Bagi Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: FH UI, 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia., Cetakan Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Kanter, EY., dan SR. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002.

Marpaung, Leden., Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Cetakan I, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1991.

Moeljatno., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1983.

______Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru Buku I dan II, 1991/1992

Muladi., dan Dwija Prijatna., Pertanggungjawaban Korporasi Adalah Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991.

Salim, Emil., Lingkungan Hidup Dalam Pembangunan, Jakarta: Mutiara, 1983. Saleh, Roeslan., Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan

I, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

______Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983.

Sianturi, S.R., Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983.

(2)

Smith, J. C., & Brian Hogan., Criminal Law, Fourth Edition, diterjemahkan oleh Barda Nawawi Arief, London: Butterworths, 1978.

Soekanto, Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

Subekti., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1982.

Suhaimi, T., Pertanggungjawaban Pidana Direksi, Bandung: BooksTerrace & Library, 2010.

Suliastini, Rina., Perbandingan UU No 23 Tahun 1997 dan UU No 32 Tahun 2009 Mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009. Sunarso, Siswanto., Hukum Pidana lingkungan Hidup Dan Strategi Penyelesaian

Sengketa, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Sunggono, Bambang., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Sutiyono., Kejahatan Korporasi, Analisis Victimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang: Bayumedia, 2009. Syahrin, Alvi., Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Medan: Sofmedia,

2009.

B. Makalah, Jurnal, dan Artikel

Amrullah, M. Arief., “Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR)”, Diselenggarakan oleh PUSHAM-UII Yogyakarta bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norway, Hotel Jogyakarta Plaza, Yogyakarta, tanggal 6 s/d 8 Mei 2008.

Dimayti, Khudzaifah., “Pola Pemikiran Hukum Responsif”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 1, Maret 2007.

Hardjasoemantri, Koesnadi, “Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia,” Makalah disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003, hal. 2003.

Harkristuti, Harkrisnowo., “Beberapa Masalah Mendasar Dalam Hukum Lingkungan”, Makalah pada seminar nasional perlindungan lingkungan hidup dalam perspektif yuridis kriminologi, Yayasan Masumoto Jepang, Jakarta, tanggal 16 Oktober 1996.

(3)

Nasution, Sofyan., ”Upaya Mendorong Birokrasi Pemerintah Berlandaskan Prinsip-Prinsip Good Governance”, Disampaikan pada Seminar tentang Diseminasi Policy Paper, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara. Syafrinaldi., ”Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Pembunuhan

(Perbandingan Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)”, Jurnal Hukum Islam, Vol. VI No. 4. Desember 2006.

C. Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPPLH 2009.

D. Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Lapindo_Brantas_Inc, diakses terakhir tanggal 23 Oktober 2010.

http://raspati.blogspot.com/2008/03/tinjauan-yuridis-penerapan-asas-lex.html, diakses tanggal 1 November 2010.

(4)

BAB III

UNSUR KESALAHAN DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009

A. Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Sanksi merupakan hukuman terhadap kelakuan. Menurut Muhammad Ekaputra dan Abul Khair, sanksi dipersamakan dengan hukum. Hukuman atau sanksi tersebut adalah penambahan penderitaan dengan sengaja, menjadi pembeda trepenting antara hukum pidana dengan hukum lainnya.41

Dalam Pasal 98 UUPPLH 2009, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), terhadap setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.4.000.000.000,00 Tujuan pemberian sanksi atau hukuman adalah untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku khususnya pelaku tindak pidana di dalam lingkungan hidup.

Sehubungan dengan hal di atas, sanksi-sanksi atau hukuman di dalam UUPPLH 2009 ditentukan terhadap bentuk-bentuk tindak pidana sebagaimana yang bentuk-bentuk tidak pidana yang telah dijelaskan di atas.

41

(5)

(empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Dalam Pasal 99 UUPPLH 2009, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) terhadap setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp.6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Apabila perbuatan dimaksud mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp.9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

(6)

dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.

Dalam Pasal 101 UUPPLH 2009, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) terhadap setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau tanpa izin lingkungan.

Ketentuan pada Pasal 102 UUPPLH 2009, adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) apabila setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin.

Ketentuan pada Pasal 103 UUPPLH 2009, ditentukan bahwa pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) apabila setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaannya.

(7)

Dalam Pasal 105 UUPPLH 2009 disebutkan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah) apabila setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ditetapkan pula ketentuan dalam Pasal 106, pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) terhadap tindakan setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dipidana dalam Pasal 107 apabila setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Dipidana dalam Pasal 108 terhadap setiap orang yang melakukan pembakaran dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(8)

dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Kemudian dalam Pasal 110 ditetapkan ketentuan pidana bagi setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Kemudian dalam Pasal 111 UUPPLH 2009, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) terhadap Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. Apabila Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(9)

Sanksi dalam Pasal 113 UUPPLH 2009 ditentukan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) terhadap setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam ketentuan Pasal 114 ditentukan pula sanksi terhadap setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kemudian dalam Pasal 115, pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) terhadap setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil.

(10)

pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana, maka ancaman pidana yang dijatuhkan kepadanya berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

B. Kejahatan Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup 1. Korporasi Merupakan Subyek Hukum

Menurut hukum perdata, ada dua subyek hukum yang dikenal yaitu orang (persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Kedua subyek hukum ini sebagai pengemban hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, terhadap keduanya diwajibkan hukum untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Hal ini sehubungan dengan suatu asas dalam hukum perdata menyebutkan bahwa semua kekayaan seseorang menjadi tanggungan untuk segala kewajibannya, juga yang dinamakan kematian perdata, yaitu suatu hukuman yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat memiliki sesuatu hak lagi.42

Selain orang, subyek hukum yang kedua adalah badan hukum (rechtspersoon). Badan hukum ini juga memiliki hak dan kewajiban sebagaimana layaknya manusia bernyawa. Badan hukum meliputi organisasi atau perkumpulan yang memiliki kekayaan sendiri ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraannya manusia. Jadi badan hukum itu adalah orang yang diciptakan oleh hukum. Biasanya orang memiliki tempat tinggal (domicili), begitu pula suatu

42

(11)

badan hukum juga memiliki tempat tinggal.43

Badan hukum juga disebut dengan korporasi. Korporasi berasal dari kata corporatio atau corporation artinya secara luas adalah suatu kesatuan menurut hukum atau suatu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang suatu negara untuk menjalankan suatu usaha atau aktifitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk sesuatu jangka waktu terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut di muka persidangan pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakan fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara. Pada umumnya suatu korporasi dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah pemerintah atau partikelir.

Subyek hukum dalam meliputi orang dan badan hukum.

44

Mulanya orang menolak untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam perkara pidana. Alasannya, korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga korporasi dianggap tidak mungkin melakukan kesalahan, dan pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi. Namun, mengingat Korporasi disebut juga legal personality artinya korporasi dapat memiliki harta kekayaan sebagaimana halnya manusia dapat menuntut dan dapat dituntut dalam kasus perdata. Dalam perkembangannya korporasi sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat mempertanggugjawabkan dalam hukum pidana sudah merupakan realita.

43

Ibid., hal. 21.

44

(12)

dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi, maka timbul pemikiran untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam perkara pidana. Korporasi dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh anggotanya dalam kaitannya dengan ruang lingkup pekerjaannya. Tentu saja pidana yang dijatuhkan kepada korporasi biasanya berupa pidana denda.45

Menurut Utrech dan M. Soleh Djindang, korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu objek hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, namun mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.46

Sementara menurut Muladi dan Dwija Prijatna, korporasi dipandang sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan hak hukum untuk tujuan tertentu. Sedangkan Subekti dan Tjitrosudiro menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum. Pramadya Puspa, mengartikan korporasi atau badan hukum adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum, yang dimaksudkan sebagai suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (personal), sebagai pengemban atau pemilik hak dan kewajiban, memiliki hak menggugat atau digugat di muka persidangan pengadilan.47

Berbagai pengertian mengenai korporasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa korporasi mempunyai arti yang luas. Pengertian korporasi juga lebuh luas

45

Sue Tirtus Reid, Criminal Law, Third Edition, hal. 51.

46

Chaidir Ali, Op. cit., hal. 64.

47

(13)

dari pengertian badan hukum, hal ini terlihat dari berbagai ketentuan perundang-undangan di luar KUH Pidana yang memakai istilah badan usaha, sekelompok orang dan lain sebagainya sebagai subjek hukum pidana.

Mengenai bentuk-bentuk korporasi, tidak terlepas dari persoalan dunia bisnis. Kata bisnis berasal dari Bahasa Inggris “business” yang berarti kegiatan usaha. Secara luas kata bisnis sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus yang berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas untuk diperjualbelikan, dipertukarkan atau disewagunakan dengan mendapat keuntungan.48

Subjek hukum dalam tindak pidana lingkungan hidup adalah orang, badan hukum, dan korporasi. Akan tetapi secara umum korporasi dipandang sama dengan badan hukum. Sebagaimana yang dikatakan Setiyono, adalah ”Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidna dan kriminologi untuk menyebut apa yang di bidang hukum lain, khususnya di bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Berdasarkan pengertian bisnis di atas, maka ruang lingkup usaha korporasi itu cukup luas, bisa meliputi bidang industri, bidang perdagangan, bidang jasa dan bidang lainnya. Dalam melaksanakan bisnis ini maka bisa dilakukan oleh perseorangan dan juga dilakukan dalam suatu organisasi atau perkumpulan untuk bisnis-bisnis yang besar, yang dinamakan korporasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.

48

(14)

rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris disebut dengan legal person atau legal body.”49

Alasan pemikiran untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum di samping subjek hukum manusia alamiah adalah karena ingin kerja sama untuk memperoleh keuntungan dan membagi risiko jika sewaktu-waktu timbul kerugian. Alasan lainnya adalah agar memudahkan menunjuk siapa subjek hukum yang harus bertanggung jawab di antara sedemikian banyak orang-orang yang terhimpun dalam badan tersebut, yang secara yuridis mengonstruksikannya cukup dengan menunjuk ”badan” itu sebagai subyek hukum yang harus bertanggung jawab.50

2. Jenis-Jenis Kejahatan Korporasi

Kejahatan korporasi memiliki berbagai jenis. Jenis-jenis kejahatan korporasi itu adalah:

1. Kejahatan koporasi di bidang ekonomi. Misalnya kejahatan dalam pemberian informasi yang tidak benar dapat terjadi dalam setiap kegiatan korporasi. Modus operandi dari bentuk-bentuk pemberian keterangan yang tidak benar tersebut adalah:51

a. Transfer pricing. Biasanya terjadi dalam hubungan korporasi dalam suatu kelompok yaitu antara satu korporasi dengan korporasi lainnya yang memiliki hubungan istimewa.

b. Under invoicing. Biasanya terjadi pada transaksi inpor dan ekspor. Kasus ini bisa terjadi tanpa adanya hubungan istimewa.

c. Over invoicing. Biasanya terjadi dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa. Praktik memanipulasi harga untuk mendapatkan

49

Sutiyono., Kejahatan Korporasi, Analisis Victimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2009), hal. 2.

50

Ibid., hal. 5.

51

(15)

keuntungan pribadi bagi pihak-pihak pelaksana transaksi atau yang berwenang melakukannya.

d. Window dressing. Merupakan tindak pidana mengelabui masyarakat yang pada umumnya berupa kegiatan untuk menciptakan citra yang baik di mata masyarakat dengan cara menyajikan informasi yang tidak benar, misalnya dengan menyajikan angka-angka yang kurang atau dibuat dengan sedemikian rupa seolah-olah korporasi itu memiliki kemampuan yang baik dan tangguh.

2. Kejahatan korporasi di bidang sosial budaya. Kejahatan korporasi yang menyangkut sosial budaya antara lain tindakan-tindakan yang merugikan pemegang hak cipta, kejahatan terhadap buruh, dan tindakan yang merusak pendidikan atau mental generasi muda seperti penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.52

3. Kejahatan korporasi yang menyangkut masyarakat luas. Kejahatan-kejahatan korporasi yang disebutkan di atas, sehubungan dengan penelitian ini, difokuskan kepada kejahatan korporasi yang ketiga yaitu menyangkut masyarakat luas. Antara lain dapat terjadi terhadap lingkungan hidup, konsumen, pemegang saham, dan lain-lain. Kejahatan terhadap lingkungan hidup seperti pencemaran dan perusakan kondisi air dan udara dari suatu wilayah. Kejahatan terhadap konsumen, seperti produk-produk yang berbahaya bagi kesahatan masyarakat bisa terjadi melalui iklan yang menyesatkan. Sedangkan kejahatan terhadap pemegang saham seperti pemberian keterangan yang tidak benar dalam pasar modal, praktik-praktik penipuan, dan perbuatan curang.53

52

Ibid., hal. 75-81.

53

(16)

Pencemaran lingkungan hidup yang berupa pencemaran air, udara, debu, suara pada umumnya merupakan akibat dari aktivitas korporasi. Hal ini merupakan masalah di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonseia yang mulai pesat dengan insdutrialisasi.54

C. Kesalahan Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

Tidak ada rumusan mengenai kesalahan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan keterangannya pun tidak dapat ditemukan.55 Akan tetapi secara umum dalam hukum pidana, termasuk kesalahan (schuld) adalah kesengajaan (dolus) dan kelalaian atau kealpaan (culpa). Kesengajaan (dolus) adalah suatu tindakan yang dilakuakn dengan kesadaran dan dalam keadaan normal, tahu akibat yang ditimbulkannya itu bisa mengakibatkan suatu tindak pidana. Sedangkan kelalaian atau kealpaan (culpa) adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan kesadaran , normal pikirannya, dan tidak mengetahui akibat yang ditimbulkan tindakannya karena tidak berhati-hati, bahwasanya dapat menimbulkan tindak pidana.56

Kesengjaan merupakan bagian dari schuld. Kesengjaan pelaku memiliki hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan terlarang dibandingkan dengan culpa karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila dilakukan dengan sengaja, dibandingkan dengan apabila dilakukan dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika

54

http://www.mpbi.org/content/tesis-ivan-v-ageung-kejahatan-korporasi-dalam-kasus-luapan-lumpur-lapindo-brantas-inc, diakses tanggal 25 Oktober 2010.

55

Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, Op. cit., hal. 171.

56

(17)

dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, tindakan itu merupakan suatu kejahatan.

Menurut penjelasan (memorie van teolichting) yang dimaksdu dengan kesengajaan adalah ”menghendaki dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya”. Artinya seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, ahrus menghendaki dan menginsyafi suatu tindakan tersebut dan atau akibatnya. Karena itu, jika seseorang dipaksa atau ditodong, dan orang yang ditodong itu melakukan suatu tindakan pula, maka tidak dapat dikatakan tindakan seseorang terhadap yang memaksa itu merupakan suatu yang disengaja. Demikian pula oarang gila yang lari-lari dengan telanjang di muka umum, atau seorang anak yang mempertunjukkan gambar-gambar porno, tidak dapat dikatakan bahwa tindakannya itu dikehendakai dan diinsyafinya walaupun merusak kesusilaan.57

Mengenai sifat dari kesengjaan, ada dua jenis sifat kesengjaan tersebut, pertama, dolus masul, yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana, tidak saja pelaku itu menghendaki tindakannya itu, tetapi pelaku juga menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana. Kedua, kesengjaan yang tidak memiliki sifat tertentu, cukup apabila apabila pelaku menhendaki tindakannya itu. Artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya (bathin) dengan tindakannya, tidak disyaratkan apakah pelaku itu menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.58

57

Ibid., hal. 167.

58

Ibid., hal. 171.

(18)

Mengenai kealpaan (culpa), sikap batin dari orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan-larangan tersebut, akan tetapi pelaku tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang terlarang, melainkan karena kelalaian atau ketidakwaspadaannya ketika berbuat tindakan tersebut.59

Dalam KUH Pidana tidak diberikan definisi mengenai kelalaian, hanya dalam Memorie van Toelichting (MvT) dinyatakan bahwa kelalaian (culpa) adalah terletak antara sengaja dan kebetulan.

Jadi, bukanlah semata-mata menentang larangan tersebut justru tetap melakukan larangan itu tanpa hati-hati. Pelaku memang benar-benar alpa (lalai, teledor) dalam melakukan perbuatan tersebut.

Ditinjau misalnya Pasal 359 KUH Pidana berbunyi ”Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang, diancam dengan pidana penjara maksimum lima tahun atau kurungan maksimum satu tahun”. Jadi, kata-kata karena kealpaannya yang dipergunakan pada pasal ini sekaligus berfungsi sebagai unsur kesalahannya yang berbentuk culpa dan unsur tindakannya yang dapat terdiri dari aneka ragam cara yang menyebabkan mati atau luka seseorang.

60

Apabila dirujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”Kealpaan” bermakna sama dengan “Kelalaian” atau ”Kelengahan”.61

59

Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana., hal. 198.

60

Andi Hamzah., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal.125.

61

Kamus Besar Bahasa Indonesia., Op. cit., hal. 24.

(19)

dicegahnya.62 Setidaknya menurut Andi Hamzah, ada 2 (dua) unsur harus dipenuhi sehingga suatu perbuatan tersebut dapat dikatakan kelalaian (culpa) yaitu pertama, terdakwa dapat melihat ke depan yang akan terjadi dan yang kedua, unsur kekuranghati-hatian.63

Sehubungan dengan pemaparan mengenai kesalahan-kesalahan menurut hukum pidana di atas, merupakan asas hukum pidana yang dikenal secara umum terhadap tindak pidana yang bersifat umum. Akan tetapi tidak selamanya kesalahan merupakan unsur dapat dipertanggungjawabkannya suatu perbuatan pidana. Sebagaimana asas hukum pidana disebutkan bahwa geen straf zonder schuld artinya tiada pidana tanpa kesalahan.64

62

S.R. Sianturi., Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983), hal. 511.

63

Andi Hamzah., Asas-Asas Hukum Pidana, hal. 125.

64

Ibid., hal. 120.

(20)

D. Unsur Kesalahan Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dampak yang terasa dari pembangunan, baik secara fisik maupun non fisik, di samping memberikan dampak positif berupa kesejahteraan, namun disisi yang lain juga menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya kerusakan atau tercemarnya lingkungan hidup. Gagasan hukum pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berwawasan lingkungan hidup menjadi kata kunci (key word) dalam pengelolaan lingkungan hidup yang mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dalam proses pembangunan masyarakat luas. Oleh karena itu, apabila terjadi penurunan fungsi lingkungan hidup akibat perusakan dan/atau pencemaran lingkugan hidup, maka serangkain kegiatan penegakan hukum (law enforcement) harus dilakukan, dengan tujuan tidak hanya sekedar menjatuhkan sanksi kepada perusak atau pencemar lingkungan, akan tetapi tujuan yang paling utama adalah untuk memulihkan kemampuan lingkungan hidup tersebut dan berupaya meningkatkan kuaitasnya.

Upaya pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka penanganan sengketa lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan. Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian dari siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kebijakan (policy planning) tentang lingkungan. Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan (compliance and enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.65

65

(21)

Penegakkan hukum lingkungan administratif, dimulai dengan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup melalui pejabat yang ditunjuk, atau oleh Kepala Daerah melaui pejabat daerah yang ditunjuk Kepala Daerah terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

Penyelesaian secara perdata baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 85 dan Pasal 86 UUPPLH 2009 atas gugatan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup oleh masyarakat secara perorangan atau melalui gugatan perwakilan (class action), dan Non Government Organization (NGO) serta instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup untuk mewakili kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup atas ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup. Terdapat hal mendasar dalam penyelesaian secara perdata menurut UUPPLH 2009 yang terdapat dalam dua kategori perbuatan melanggar hukum yaitu pencemaran lingkungan hidup dan perusakan lingkungan hidup yang dapat menjadi alasan hukum untuk menuntut ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu (memulihkan fungsi lingkungan hidup) kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

(22)

a) Sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan tidak efektif;

b) Tingkat kesalahan pelaku relatif berat; c) Menimbulkan keresahan masyarakat.

Hal ini berarti bahwa sarana hukum lain harus dioptimalkan terlebih dahulu, sebelum diambil tindakan secara pidana atau diterapkannya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 UUPPLH 2009, merupakan ketentuan yang menggariskan species-species tindak pidana lingkungan hidup tersebut.

Apapun sarana hukum yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa lingkungan, yang penting ada dua hal yang perlu untuk dibuktikan. Pertama, adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dalam arti hukum. Kedua, adanya hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dengan penderitaan masyarakat dan/ atau rusaknya kualitas lingkungan hidup.

(23)

lingkungan hidup, sehingga dapat ditentukan berapa biaya yang harus ditanggung oleh penanggung jawab usaha/kegiatan untuk mengganti kerugian masyarakat dan untuk memulihkan lingkungan hidup.

Pasal 87 disebutkan mengenai ganti kerugian dan pemulihan lingkungan dalam UUPPLH 2009 yaitu:

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.

(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.

(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Dalam Pasal 87 UUPPLH 2009 menunjuk kepada sistem pertanggungjawaban tertentu, untuk itu kandungan Pasal 87 ini dapat dikaitkan dengan Pasal 1365 BW sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan melanggar hukum (onrechtsmatige daad). Pasal 1365 BW ini menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault) sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Tanpa adanya kesalahan, maka tidak akan timbul dasar untuk menuntut kerugian.

(24)

dibuktikan adanya hubungan sebab akibat (causality) antara perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dengan kerugian dari si penderita.

Untuk membuktikan bentuk-bentuk tindak pidana dalam Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 serta Pasal 87 (ganti kerugian) dalam UUPPLH 2009, dibutuhkan penjelasan yang bersifat ilmiah, teknis dan khusus untuk membuktikan hubungan kausal tersebut. Sehingga penerapan sistem pertanggungjawaban yang bersifat biasa tidaklah mencerminkan rasa keadilan. Kelemahan Pasal 87 tersebut, sebenarnya dapat diatasi dengan menerapkan ketentuan Pasal 88 UUPPLH 2009 yang mengatur tentang tanggung jawab mutlak (strict liability) atas kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, menggunakan B3 dan/ atau menghasilkan limbah B3.

Berdasarkan Pasal 88 UUPPLH 2009 tersebut, terdapat tiga kriteria bagi jenis kegiatan/usaha yang tunduk pada prinsip tanggung jawab mutlak, yaitu jenis kegiatan yang wajib AMDAL, yang menggunakan B3 dan yang menghasilkan limbah B3.

(25)

melanggar hukum pada umumnya didasarkan pada Pasal 1365 BW. Sebagai lawan dari asas tanggung jawab dengan kesalahan atau liability based on fault. Hal ini berarti pihak tergugatlah yang harus membuktikan adanya hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dengan kerugian yang diderita oleh penggugat dan lingkungan hidup tersebut.66

66

(26)

BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009

A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Sebagaimana telah diuraikan bahwa korporasi dapat memiliki harta kekayaan sebagaimana halnya manusia. Persoalan yang timbul adalah, apakah korporasi dapat juga dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Sekarang ini, korporasi atau badan-badan usaha dalam dunia bisnis dapat diminta pertanggungjawaban pidananya secara luas atas tindakan kriminal yang dilakukan oleh agen-agen korporasi yang bertindak atas nama korporasi tersebut.

Pandangan yang semula bahwa korporasi tidak dapat dinyatakan bersalah atas suatu kejahatan, korporasi tidak mempunyai pikiran (akal) sehingga dianggap tidak mampu mempunyai niat jahat sebagai syarat dari semua kejahatan, korporasi tidak mempunyai badan (fisik) sehingga tidak bisa dipenjarakan. Pandangan-pandangan tersebut telah berubah seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan korporasi di dunia bisnis modern, telah diakui secara universal bahwa suatu korporasi dapat diminta pertanggungjawaban pidana untuk perbuatan wakil-wakilnya, baik perbuatan aktif, maupun pasif yang bertindak atas namanya.

Mengenai kedudukannya sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana suatu korporasi, maka ada tiga (3) sistem pertanggungjawaban pidananya, yaitu:

(27)

tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan, sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam suatu lingkungan korporasi maka tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus korporasi itu. Pada sistem ini, pengurus-pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggung jawab. Sebagaimana Pasal 59 KUH Pidana memuat alasan penghapusan pidana yaitu pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran. Kesulitan yang timbul dalam Pasal 59 KUH Pidana ini adalah berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana yang menimbulkan kewajiban bagi seorang pemilik atau pengusaha dari korporasi.67

2. Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab. Sistim pertanggungjawaban korporasi yang kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan hukum (korporasi), akan tetapi tanggungjawab itu menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi) tersebut. Secara pelahan-lahan tanggungjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Dalam situasi pertanggungjawaban ini korporasi dapat menjadi pembuat tindak pidana, akan

67

(28)

tetapi yang bertanggungjawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu.68

3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan pertanggungjawaban permulaan adanya tanggungjawab yang langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang dapat dipakai sebagai dasar pembenar atau alasan-alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut;69

a. Dalam tindak pidana ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat sedemikian besarnya sehingga tidak mungkin akan seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja;

b. Dengan hanya memidana pengurus saja, tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi, dengan memidana, korporasi dapat mentaati peraturan yang bersangkutan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hanafi, yang menyatakan bahwa terdapat dua cara untuk dapat memidana korporasi, yaitu:70

a. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas strict liability atas kejahatan yang dilakukan pegawainya;

b. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas identifikasi. Berdasarkan asas identifikasi ini pengadilan mengakui bahwa tindakan anggota tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan urusan korporasi, maka dianggap sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri.

68

Ibid.

69

Muladi., “Kebijakan Pidana dalam Upaya Menanggulangi Pencemaran/Perusakan Lingkungan Hidup”, Makalah pada Seminar Nasional Pengenalan Lingkungan Hidup dan Kebijakan Penyidik secara Integratif Hotel Emeral Garden Medan, tanggal 7-8 Januari 1997, hal. 67-68.

70

(29)

Teori identifikasi ini merupakan salah satu teori yang menjustifikasi salah satu pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Teori ini menyebutkan bahwa tindakan dan kehendak dari korporasi itu senidiri. Jadi, korporasi juga dapat diminta pertanggungjawaban pidananya berdasarkan konsep strict liability dan vicarious liability.71

Korporasi juga dapat diminta pertanggungjawaban pidananya berdasarkan konsep vicarious liability.

Uraian di atas menggambarkan bahwa dasar pemikiran untuk diadakannya undang-undang mengenai strict liability adalah bahwa kepentingan publik begitu besar untuk menjamin suatu standar perlindungan yang mutlak sehingga terdakwa tidak mempunyai alasan pemaaf untuk tidak mematuhi hukum. Oleh karena banyaknya kasus yang muncul di bawah pengaturan undang-undang, maka diperlukan pemeriksaan peradilan yang cepat dan sederhana tanpa dihalangi oleh pemeriksaan dari niat subjektif setiap terdakwa.

72

71

Harkrisnowo Harkristuti., “Beberapa Masalah Mendasar Dalam Hukum Lingkungan”, Makalah pada seminar nasional perlindungan lingkungan hidup dalam perspektif yuridis kriminologi, Yayasan Masumoto Jepang, Jakarta, tanggal 16 Oktober 1996, hal. 11.

72

Ibid, hal. 12.

(30)

Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di atas, berbeda dengan pendapat Sutan Remy Sjahdeini, yang menyebutkan ada empat kemungkinan sistem pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, yaitu:73

1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana;

2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana;

3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana; dan

4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yag harus memikul pertanggungjawaban pidana.

Dalam KUH Pidana menganut sistem pertanggungjawaban yang pertama. KUH Pidana menganut pendirian bahwa oleh karena korporasi tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dan tidak dapat memiliki kalbu yang salah (guilty mind), tetapi yang melakukan perbuatan tersebut adalah pengurus korporasi yang di dalam melakukan perbuatan itu dilandasi oleh sikap kalbu tertentu baik yang berupa kealpaan atau kesengajaan, maka pengurus dari korporasi itulah yang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukannya sekalipun perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama korporasi yang dipimpinnya. Dengan kata lain KUH Pidana tidak menganut pendirian bahwa korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Pendirian KUH Pidana yang menganut sistem yang pertama sejalan atau konsekuensi dari pendirian KUH Pidana itu bahwa manusia yang merupakan subjek tindak pidana. Tidak demikian halnya dengan berbagai undang-undang pidana di luar KUH Pidana. Menurut berbagai undang-undang pidana di luar KUH Pidana, selain manusia, korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana,

73

(31)

sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, atau dengan kata lain, korporasi dapat dipidana.

B. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Prinsip Pertanggungjawaban Mutlak

Salah satu pemecahan praktis terhadap masalah pembebanan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja di lingkungan suatu organisasi atau perusahaan atau suatu korporasi, maka kepada korporasi dimana tempat seseorang itu bekerja dibebankan pertanggungjawaban doktrin atau asas atau prinsip strict liability.

Menurut doktrin strict liability pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup dengan tidak perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Oleh karena menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tidak dipermasalahkan, maka strict liability disebut juga pertanggungjawaban mutlak (absolute liability). Jadi, istilah dalam bahasa Indonesia digunakan pertanggungjawaban mutlak.74

Peranggungjawaban strict liability ini berbeda dengan asas hukum pidana yang dikenal selama ini yaitu actus non facit reum, nisi mens sit rea, atau geen straf zonder schuld yang memiliki arti tiada pidana tanpa kesalahan yang dikenal sebagai doktrin pidana dengan kesalahan (mens rea). Dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggunjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya

74

(32)

sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.

Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) di Belanda dikenal dengan nama leer van het materielle feit atau feit materielle. Pada mulanya ajaran ini hanya diberlakukan pada pelanggaran saja. Tetapi sejak peristiwa arrest susu tahun 1916 oleh Mahakamah Agung Negeri Belanda, penerapannya ditiadakan dengan kata lain tidak dibenarkan untuk dianut lagi.75

Dalam penjelasan Pasal 35 ayat (2) RUU KUH Pidana tersebut digariskan ketentuan bahwa, ketentuan dalam ayat ini juga merupakan suatu perkecualian seperti hal ayat (2). Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh

undang-Sejalan dengan pendirian Muladi dan Priyatno, ajaran pertanggungjawaban mutlak yang tidak mempersoalkan ada atau tidaknya unsur kesalahan pada pelakunya seyogiayanya dianut dan diberlakukan di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) KUH Pidana 2004 telah diterima asas pertanggungjawaban mutlak ini. Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 35 ayat (2) RUU KUH Pidana, ditentukan bahwa “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalaha”.

75

(33)

undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindak pidananyatelah dapat dipidana bahwa karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melaksanakan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas strict liability.

Dengan demikian, RUU KUH Pidana berpendirian bahwa apabila terhadap suatu tindak pidanapelakunya akan dipertanggungjawabkan tanpa keharusan melakukan pembuktian terhadap adanya kesalahan (mens rea) pada pihak pelaku ketika pelaku (actus reus), baik perilaku yang berupa “melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang” (commission) maupun “tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan undang-undang” (ommission), dilakukan oleh pelakunya, haruslah hal itu dengan tegas ditentukan dalam udang-undang itu sendiri. Apabila tidak ditentukan secara tegas di dalam udang-undang itu bahwa “seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”. Perlu diingat bahwa “kesalahan” bukan merupakan unsur tindak pidana tetapi merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.76

76

Sutan Remy Sjahdeini., Op. cit., hal. 82.

(34)

Untuk lebih didalami mengenai pertanggungjawaban mutlak ini, berikut dipetik beberapa pendapat para pakar yang memberikan batasan strict liability tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Marise Cremona, bahwa strict liability adalah suatu ungkapan yang menunjukkan kepada suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan kesalahan terhadap satu atau lebih unsur dari actus reus.77 Sementara, Smith dan Brian Hogan, mendifinisikan bahwa strict liability adalah kejahatan yang tidak mensyaratkan kesengajaan, kesombongan atau bahkan kealpaan sebagai satu atau lebih unsur dari actus reus.78

Ditegaskan bahwa dalam perbuatan pidana yang bersifat strick liability, hanya dibutuhkan dugaan (foresight) atau pengetahuan (knowledge) dari para pelaku (terdakwa), sehingga hal itu sudah dianggap cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea sehingga:

Berdasarkan definisi strict liability di atas, dapat disimpulkan bahwa strict liability tetap dipertahankan dengan pengertian mencakup pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dimana pembuat sudah dapat dipidana apabila pembuat itu telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana di rumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.

79

1. Dengan demikian disebut no mens rea, tidak perlu ada unsur sengaja (intention) dan kelalaian (negligent);

77

Marise Cremona., Criminal Law, diterjemahkan oleh Setityono, (London: Macmillan Press Ltd, 1989), hal. 123.

78

J. C. Smith., & Brian Hogan., Criminal Law, Fourth Edition, diterjemahkan oleh Barda Nawawi Arief, (London: Butterworths, 1978), hal. 79.

79

(35)

2. Unsur pokok dalam strick liability crime adalah perbuatan (actus reus); dan

3. Dengan demikian yang harus dibuktikan hanya actus reus, bukan mens rea.

Asas strick liability ini pada awalnya berkembang dalam praktek peradilan di Inggris. Sebagian hakim berpendapat asas mens rea tidak dapat dipertahankan lagi asas mens rea untuk setiap kasus pidana. Adalah tidak mungkin apabila kita tetap berpegang teguh pada asas mens rea untuk setiap kasus pidana dalam ketentuan undang-undang moderen sekarang ini. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk menerapkan strick liability terhadap kasus-kasus tertentu.

Asas strick liability dalam hukum pidana pertanggungjawaban pidananya menjadi lenyap, jika ada salah satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Melahirkan pula aneka tingkatan keadaan-keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga dalam perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk pengenaan pidananya cukup dengan strick liability. Adanya kejahatan yang dalam terjadinya itu keadaan mental terdakwa adalah tidak mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan pidana.

(36)

oleh perbuatannya, tanpa memeriksa keadaan mentalnya sebagai keadaan yang dapat meniadakan pengenaan pidana.

Sering dipersoalkan, apakah strick liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal itu ada dua pendapat. Pendapat itu dikemukakan oleh Smith dan Brian Hogan, yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief. Ada dua alasan yang dikemukakan yaitu:80

1. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara strick liability apabila tidak ada mens rea yang perlu dibuktikan sebagai satu-satunya unsur untuk actus reus yang bersangkutan. Unsur utama atau unsur satu-satunya itu biasanya merupakan salah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti bahwa mens rea itu tidak disyaratkan sebagai unsur pokok yang tetap ada untuk tindak pidana itu. Misalnya, A dituduh melakukan tindak pidana “menjual daging yang tidak layak untuk dimakan karena membahayakan kesehatan atau jiwa orang lain”. Tindak pidana ini menurut hukum Inggris termasuk tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara strick liability. Dalam hal itu tidak perlu dibuktikan bahwa A mengetahui daging itu tidak layak untuk dikonsumsi, tetapi tetap harus dibuktikan, bahwa sekurang-kurangnya A memang menghendaki (sengaja) untuk menjual daging itu. Jadi, jelas dalam hal itu strick liability tidak bersifat absolut.

2. Dalam kasus-kasus strick liability memang tidak dapat diajukan alasan pembelaan untuk “kenyataan khusus” (particular fact) yang dinyatakan

80

(37)

terlarang menurut undang-undang. Misalnya, dengan mengajukan “reasonable mistake”. Kita tetap dapat mengajukan alasan pembelaan untuk keadaan-keadaan lainnya. Contoh lain, misalnya dalam kasus “mengendarai kendaraan yang membahayakan” (melampaui batas maksimum), dapat diajukan alasan pembelaan bahwa dalam mengendarai kendaraan itu ia berada dalam keadaan automatism. Misal lain, A mabuk-mabukan dirumahnya sendiri. Akan tetapi dalam keadaan tidak sadar (pingsan), A diangkat oleh kawan-kawannya dan diletakkan di jalan raya. Dalam hal itu memang ada strick liability, yaitu berada di jalan raya dalam keadaan mabuk, tetapi A dapat mengajukan pembelaan berdasarkan adanya compulsion. Jadi, dalam hal itu pun strick liability bukanlah absolute liability.

Pendapat itu juga dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, pendapat pertama mengatakan strick liability merupakan absolute liability. Alasannya adalah bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi, seseorang yang sudah melakukan perbuatan pidana menurut rumusan undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana. Pendapat kedua menyatakan strick liability bukan absolute liability. Alasannya bahwa orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana.81

81

(38)

C. Pertanggungjawaban Mutlak Dalam Tindak Pidana Lingkungan Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini, punya hubungan yang sangat erat dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah bagian mutlak dan tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Manusia yang dengan segala aktifitasnya mencari makan, minum serta kebutuhan lainnya, adalah terdapatnya lingkungan hidup sebagai tempat pertama dan terpenting bagi pemenuhan berbagai kebutuhan pertama. Lingkungan dimana manusia tinggal saling mempunyai pengaruh dan berhubungan secara timbal balik yang membentuk suatu sistem yang biasa disebut ekosistem.

Sebagai mahkluk yang dominan, manusia banyak menentukan corak kehidupan ekosistem. Manusia menjelajah ke seluruh bagian ekosistem bumi jagad raya. Manusia itu dapat membuat ekosistem di banyak tempat di bumi, seperti gedung-gedung, kawasan industri, pemukiman, kota, desa, pertanian dan sebagainya.

Masalah lingkungan ini diamati Emil Salim, dengan mengaitkannya kepada 2 (dua) hal yang dapat menggoncangkan keseimbangan lingkungan hidup, pertama adalah perkembangan teknologi yang berhasil diwujudkan oleh akal dan otak manusia. Revolusi industri adalah awal dari keberlanjutan penemuan teknologi berupa mesin uap, dan hingga akhirnya manusia dapat mendaratkan kakinya di bulan hingga masa kini. Kedua adalah ledakan penduduk.82

Selama pertambahan penduduk berada dalam batas kewajaran, maka pertambahan ini tidak mengganggu terlalu banyak keseimbangan lingkungan,

82

(39)

tetapi seperti yang kita tahu saat ini, perkembangan teknologi pula yang menjadikan ledakan penduduk. Pertambahan ini tentu saja akan menambah unsur kehidupan yang lain, seperti misalnya permintaan akan air minum,bahan makanan, lahan tempat tinggal, bahan bakar serta pada akhirnya adalah penciptaan limbah rumah tangga dalam jumlah yang sangat besar pula.83

Sehubungan dengan kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders). Diperparah lagi oleh pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas

Berangkat dari definisi lingkungan hidup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009), yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup perlu ditempatkan pada suatu sistem penagaturan yang ketat, sebab masalah lingkungan hidup ini merupakan masalah bersama dimana korban yang diakibatkan dari pada suatu tindak pidana lingkungan hidup meliputi banyak pihak-pihak menyangkut kepentingan umum.

83

(40)

lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut.

Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yaitu suatu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.84

Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009. Dalam Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009 disebutkan bahwa, “Setiap orang adalah Oleh karena pentingnya lingkungan hidup untuk dilindungi dan diolah sesuai dengan kepentingan di masa akan datang, maka pada tanggal 3 Oktober 2009, diundangkan undang-undang yang baru yang mengatur masalah lingkungan hidup tersebut yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009).

Dalam perspektif UUPPLH 2009, banyak hal yang diatur, dimana bahwa pengaturan tersebut ditetapkan sebagai suatu alternatif terhadap pengaturan lingkungan hidup yang mendahulukan kepentingan umum. Sebab banyak ketentuan yang ditentukan dalam UUPPLH 2009 yang merupakan hal yang baru. Misalnya penentuan suatu badan gukum, organisasi, atau suatu koroporasi yang dijadikan sebagai pelaku dalam suatu tindak pidana yang berkenaan dengan lingkungan hidup.

84

(41)

orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Ketentuan ini memberikan batasan kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup mencakup sangat luas sekali sebab meliputi setiap orang,, badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Jadi, dapat dipahami bahwa Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009 mengisyaratkan bukan saja orang akan tetapi suatu organisasi (kumpulan orang) pun dapat dikenakan sanksi pidana lingkungan hidup termasuk di dalamnya korporasi, perusahaan, organisasi-organisasi baik organisasi pemerintahan maupun swasta.

Penentuan ajaran bahwa korporasi dapat dijadikan pelaku atas suatu tindak pidana lingkungan hidup terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) UUPPLH 2009, disebutkan bahwa, “Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha; dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut”.

(42)

sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana tersebut”.85

Lebih jelasnya istilah “korporasi” disebutkan dalam UUPPLH 2009 ditemukan pada penjelasan umum tepatnya pada angka 6 disebutkan bahwa penegakan hukum pidana dalam undang-undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap

Penjatuhan sanksi terhadap suatu korporasi dapat dipidana disebutkan dengan jelas dalam ketentuan Pasal 118 UUPPLH 2009 yaitu bahwa ”Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional”.

Pasal 118 UUPPLH 2009 ditegaskan tentang teknis sistem pertanggungjawaban pidana korporasi apabila dijatuhkan kepada badan usaha tertentu maka sanksi pidana bagi korporasi tersebut diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili korporasi dimaksud. Oleh sebab itu, jelaslah bahwa korporasi (badan usaha) yang beroperasi dan menyebabkan gangguan sistem lingkungan sehingga lingkungan hidup menjadi tercemar menyebabkan masyarakat di sekitar terinfeksi pencemaran tersebut, maka terhadap korporasi itu dapat dipidana melalui pengurus-pengurusnya.

85

(43)

memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.86

Dasar pokok untuk menentukan penerapan pertanggungjawaban mutlak dalam perkara pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi, pada Apabila ditelusuri lebih jauh, pasal-pasal dalam UUPPLH 2009 tersebut bahkan pada penjelasan umumnya, hanya ditemukan satu saja istilah “korporasi” dipergunakan dalam UUPPLH 2009. Akan tetapi lebih banyak disebutkan istilah badan usaha, atau badan hukum, atau bukan badan hukum. Dari istilah badan usaha, badan hukum dan bukan badan hukum dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan itu adalah korporasi.

Mengenai pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dan sesuai dengan perkembangan subjek hukum saat ini, maka terhadap pelaku atau korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban berdasarkan asas atau doktrin strict liability atau dalam istilah bahasa Indonesia disebut dengan pertanggungjawaban mutlak.

86

(44)

prinsipnya tidak bersifat generalisasi. Jadi, tidak terhadap semua tindak pidana boleh diterapkan. Akan tetapi, lebih bercorak khusus, kekhususan itu adalah:87

1. Ketentuan undang-undang itu sendiri yang menentukan atau paling tidak undang-undang sendiri cenderung menentut penerapan strick liability; 2. Kebanyakkan orang berpendapat bahwa penerapan hanya ditentukan

terhadap tindak pidana yang bersifat larangan khusus atau tertentu;

3. Penerapan strict liability dikhususkan kepada tindak pidana yang luar biasa (extra ordiary crime) sehingga penangannya pun harus luar biasa (extra) pula.

Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan strick liability, dapat dikemukakan beberapa patokan, antara lain:88

1. Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, tetapi sangat terbatas dan tertentu terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan sosial;

2. Perbuatan itu benar-benar melawan hukum (unlawful) yang sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang wajibkan hukum dan kepatuhan; 3. Perbuatan tersebut dilarang dengan keras oleh undang-undang karena

dikatagorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial mengandung bahaya kepada kesehatan, keselamatan dan moral publik; dan 4. Perbuatan atau aktifitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara

tidak melakukan pencegahan yang wajar.

Patokan tersebut di atas dapat lebih disingkat standarisasinya sebagaiman yang ditulis oleh Sutan Remy Sjahdeini, sebagai berikut:89

1. Perbuatan bersifat terbatas dan tertentu;

2. Perbuatan merupakan tindakan yang dilarang tegas oleh undang-undang; 3. Perbuatan yang dilakukan nyata-nyata melanggar hukum;

4. Perbuatan yang dilakukan sangat potensial mendatangkan bahaya terhadap kesehatan, keselamatan atau moral masyarakat.

Dalam UUPPLH 2009, dasar penentuan strict liability sebagai dasar dalam pertanggungjawaban pidana secara mutlak, terdapat dalam Pasal 88 UUPPLH. Dimana adalam Pasal 88 UUPPLH 2009 ditentukan bahwa ”Setiap orang yang

87

Muladi., dan Dwija Prijatna., Pertanggungjawaban Korporasi Adalah Hukum Pidana”, Op. cit., hal. 67.

88

M. Arief Amrullah., Op. cit. hal. 23-27.

89

(45)

tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.

Ketentuan Pasal 88 UUPPLH 2009, di dalam penjelasannya dipertegas dengan maksud dikatakan bertanggung jawab itu. Bahwa yang dimaksud dengan bertanggung jawab di sini adalah peratnggungjawaban mutlak atau lebih dikenal dengan asas strict liability. Peratnggungjawaban demikian dalam pasal ini adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis derogat lex generalis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Sampai batas waktu tertentu maksudnya adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.90

Berdasarkan ketentuan Pasal 88 UUPPLH 2009 di atas, jelaslah bahwa dalam lingkungan hidup dibebankan peratnggungjawaban dengan asas baru ini yaitu strict liability. Dimana Pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan, adalah tanggung jawab (liability) terhadap perusak/pelaku kerusakan atas lingkungan hidup itu sudah semestinya dibebankan, apa dan siapapun subjek

90

(46)

hukumnya, baik jumlah dalam skala kecil maupun besar, baik rakyat, pemerintah maupun perusahaan, dan lain-lain.

Kebakaran hutan merupakan salah satu contoh kasus pencemaran lingkungan hidup, yang mengakibatkan terjadinya kerugian baik pada manusia maupun pada lingkungan hidup itu sendiri dengan adanya asap tebal yang berbahaya bagi kesehatan fisik seseorang sehingga harus mengeluarkan biaya untuk memulihkan kondisi fisik alam tersebut. Contoh kedua adalah luapan lumpur lapindo dari kegagalan operasional PT. Lapindo Brantas Tbk di Sidoarjo yang telah banyak memakan korban pencemaran lingkungan baik manusia, hewan, tanam-tanaman, tumbuh-tumbuhan, udara, air dan lain-lain.

Apabila badan hukum atau badan usaha atau suatu korporasi tersebut dinyatakan melakukan tindak pidana, maka permasalahan selanjutnya bagaimana pertanggungjawaban suatu perusahaan berbadan hukum tersebut dan bagaimana menentukan kesalahan baik para pengurus atau badan hukum itu sendiri. Dalam hal ini, jelas bahwa terhadap PT. Lapindo Brantas Tbk tersebut tidak mesti dibuktikan kesalahannya atas perbuatan yang dilakukannya sehingga terjadinya pencemaran lingkungan. Oleh karena penerapan asas strict liability terhadap perusahaan (PT. Lapindo Brantas Tbk) tersebut, maka perusahaan itu sudah jelas bersalah dan dapat dituntut baik secara pidana maupun secara perdata melalui ganti kerugian.

(47)
(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang disesuaikan dengan perumusan masalah dalam penelitian ini, maka kesimpulannya adalah sebagai berikut:

1. Dalam pengaturan tindak pidana menurut UUPPLH 2009, diatur hal-hal yang secara khusus (lex spesialis) dan tidak diatur di dalam KUH Pidana secara umum, pengaturan lex spesialis tersebut dimaksudkan karena masalah lingkungan hidup menyangkut kepentingan umum sehingga diatur hal-hal yang dikecualikan. Selain itu, masalah tindak pidana dalam lingkungan hidup saat ini merupakan kejahatan luar biasa, sehingga penangannya pun harus dilakukan luar biasa pula, yakni dengan mencantumkan hal-hal yang tidak diatur di dalam KUH Pidana.

2. Pengaturan kesalahan di dalam UUPPLH 2009 adalah ditiadakannya unsur kesalahan sebagaimana dianut dalam KUH Pidana. Unsur kesengajaan dan unsur kelalaian yang diakibatkan dalam Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 tidak dianut dalam UUPPLH 2009.

(49)

dimana setiap orang, atau korporasi (badan usaha dan bukan badan usaha) bertanggung jawab absolut (mutlak) atas segala kerugian-kerugian yang timbul dari tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban mutlak ini disebut dengan strict liability yaitu suatu pertanggungjawaban yang tidak didasarkan kepada kesalahan pelaku. Akan tetapi berdasarkan fakta-fakta yang ada, setelah diadakan tim ahli di bidang lingkungan, dan dinyatakan telah terjadi kerusakan terhadap lingkungan, maka berdasarkan inilah pelaku tersebut dapat dijatuhkan sanksi pidana dan perdata. Jadi, pembuktian atas kesalahan,tidak perlu dilakukan oleh pelaku.

B. Saran

Terhadap pembahasan ketiga-tiga masalah di atas, maka saran dalam penelitian ini adalah:

(50)

2. Diharapkan kepada Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait agar tetap mensosialisasikan UUPPLH 2009 ini khususnya mengenai eksistensi ”kesalahan” tidak mesti harus dipenuhi di dalam tindak pidana lingkungan hidup sebab masih banyak orang-orang dan korporasi yang belum sepenuhnya memahami hal tersebut. Buktinya masih banyak kasus-kasus pengelolaan limbah yang seakan-akan korporasi tidak mau peduli dengan pengolahan limbah tersebut.

(51)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009

A. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sebagai Lex Specialis

Dalam literatur ilmu hukum pidana, ada berbagai istilah bagi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang lingkungan hidup. Diantaranya tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana di bidang lingkungan hidup, kejahatan di bidang lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009), tidak terdapat rumusan yang mutlak tentang tindak pidana lingkungan hidup tersebut.23

Aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate lex generali dilihat menurut teori sistem hukum dari Hart, termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan aparatur

Terhadap persoalan ini, menjadi relevan dimunculkan pertanyaan kapan suatu pelanggaran dalam UUPPLH 2009 dapat dijerat dengan ketentuan undang-undang? Dan dalam hal-hal apa saja tindak pidana lingkungan hidup dapat dijerat dengan ketentuan UUPPLH 2009

23

(52)

negara dalam mengadakan suatu represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.24

Akibat dari persoalan di atas, seperti yang dikatakan oleh Hart dan Peters, yang dikutip oleh Davit Downes, “The paradigm now constituted a problem rather than a solution: not waiving but drowning. The public prosecutorial executive had re-organized and re-orianted the criminal justice process from a case to a policy basis. The executive has become the prime mover in the criminal justice sphere”. Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan-kejanggalan, atau bahkan menyiratkan ketidakadilan karena menggunakan unsur paksaan. Jika demikian maka putusan yang dihasilkan Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas lex specialis derogat lex generali merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan atauran main (game rules) dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu”. Sementara, yang “ini” atau “itu” tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus.

24

Referensi

Dokumen terkait

berjalan dimulai dari m(1,1) yang nilainya 1 dan akan masuk ke k(1,1) jika nilai tersebut dapat memenuhi kriteria yang telah ditentukan sistem dan berlanjut penelusuran untuk

Pada tahapan ini praktikan mempraktikan kompetensi yang dipunyai untuk mengetahui kemampuan praktikan dalam mengadakan pembelajaran di lapangan. Setiap praktikan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi pendidikan karakter berbasis potensi diri di MTs Madinatunnajah kota Cirebon sudah cukup baik hal itu terbukti

Namun di sekolah YBSM Banda Aceh sudah ada guru lulusan dari S1 bimbingan konseling yang berjumlah 1 orang, untuk tugas yang sudah mereka lakukan sejauh ini diantaranya

Dari penjelasan di atas, dapat di simpulkan bahwa ekonomi Islam atau yang lebih dikenal dengan ekonomi syariah merupakan sebuah konsep ekonomi yang

Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sektor-sektor ekonomi apa saja yang paling strategis dan potensial

Besarnya peluang atau kecenderungan perubahan kualitas hidup, perilaku dan pengetahuan bahwa intervensi edukasi palliative care memberikan pengaruh (affect)