• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Permukiman Daerah Aliran Sungai Studi Kasus: Krueng Langsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Permukiman Daerah Aliran Sungai Studi Kasus: Krueng Langsa"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PERMUKIMAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

STUDI KASUS: KRUENG LANGSA

TESIS

OLEH

BAIHAKI AHYAT

087020006/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KAJIAN PERMUKIMAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

STUDI KASUS:

KRUENG LANGSA

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Teknik

Dalam Program Studi Magister Teknik Arsitektur

Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

OLEH

BAIHAKI AHYAT

087020006/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PERNYATAAN

KAJIAN PERMUKIMAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

STUDI KASUS:

KRUENG LANGSA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini

dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2012

(4)

Judul Tesis

:

Kajian Permukiman Daerah Aliran Sungai

Studi Kasus: Krueng Langsa

Nama Mahasiswa

:

Baihaki Ahyat

Nomor Pokok

:

087020006/AR

Program Studi

:

Teknik Arsitektur

Bidang Kekhususan :

Manajemen Pembangunan Kota

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Julaihi Wahid B.Arch,M.Arch,PhD) (Ir. Samsul Bahri, MT

Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi

Dekan

(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) (Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME

)

(5)

Telah diuji pada

Tanggal: 18 Februari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, PhD

Anggota

: 1. Ir. Samsul Bahri, MT

2. Ir. Novrial, M.Eng

(6)

Laju pertumbuhan penduduk baik karena urbanisasi ataupun perkembangan

alamiah, telah meningkatkan kebutuhan akan sarana hunian. Daerah Aliran Sungai

adalah salah satu lokasi alternatif yang sering dijadikan tempat hunian. Pada

perkembangan selanjutnya, akan muncul berbagai karakteristik sesuai dengan daerah

dimana hunian tersebut berkembang. Penelitian akan mengkaji berbagai karakteristik

permukiman yang ada di sepanjang Daerah Aliran Sungai. Kawasan Studi yang

dipilih adalah Gampong Jawa dan Gampong Teungoh yang berada di daerah aliran

Krueng Langsa Kabupaten Langsa Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Metode

penelitian yang dilakukan adalah deskriptif evaluatif, melalui observasi, kuisioner,

dan wawancara.

ABSTRAK

Berdasarkan hasil analisis, ternyata masyarakatnya masih menganut sistem

pemerintahan Adat yang masih tetap berpedoman pada naskah Kanun Syara’

Kesultanan Aceh serta memegang adat Aceh yang tercantum dalam Hadih Maja

sebagai pedoman dalam pergaulan masyarakat. Tata nilai dan kepercayaan yang

berkembang pada masyarakat adalah adat Aceh Besar dan Islam. Masyarakat pada

umumnya menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral, memperhitungkan

hubungan kekerabatan baik pada pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Sebagian

besar penduduk, bertempat tinggal di rumah

peunulang

, yaitu rumah warisan mertua

mereka, yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk laki-laki menikah

dengan wanita sesama warga.

(7)

ABSTRACT

The rate of population growth either because of urbanization or natural

development, has increased the need for shelter facility. The watershed is one of the

locations which are often made to be an alternative place of shelter. In further

development, various characteristics will appear in according with the areas where

the settlement develops. This study will assess various characteristics of the existing

settlements along the watershed. The study areas chosen were Gampong Jawa and

Gampong Teungoh located in the watershed area of Krueng Langsa, Langsa District,

Nanggroe Aceh Darussalam Province. The research method done where the

descriptive evaluative method through observations, questionnaire distribution, and

interviews.

(8)

KATA PENGANTAR

Penyusun mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat

dan karuniaNya atas terselesaikannya laporan penelitian ini serta tidak lupa pula

penulis haturkan kepada junjungan kami Nabi Besar Muhammad SAW. Penulis dapat

menyelesaikan penelitian ini dengan judul ”Kajian Permukiman Pada Daerah Aliran

Sungai” dengan studi kasus Krueng Langsa. Penelitian ini disusun untuk memenuhi

persyaratan Mata Kuliah PPs – 699 Tesis pada Program Magister Teknik Arsitektur,

Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara,

Bapak Prof. Dr. dr.

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Ir.

MSME, Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Ibu Dr. Ir. Dwira Nirfalini

Aulia, MSc, Sekretaris Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Ibu Beny

Octofryana Yousca Marpaung, ST, MT, PhD, Koordinator Manajemen Pembangunan

Kota, Bapak Achmad Delianur Nasution, ST, MT, IAI.

(9)

materi perkuliahan dan masukan-masukan yang sangat berarti dalam menyelesaikan

penelitian ini. Ibu Novi Yanthi staff administrasi Program Magister Teknik Arsitektur

Universitas Sumatera Utara atas administrasi yang baik selama ini.

Tesis ini kupersembahkan kepada Kedua orangtua yang sangat kukasihi, Bapak

Ahmad Cut Ali (Alm.) dan Ibu Nurhayati, Keluarga besar Mertuaku: Suharjo Ahmad,

Isteriku tercinta Yopie Ferayanti, SE dan anak-anakku Geubrina Batrisyia dan Hanny

Fathia Asyura. Abang-abangku Sarkawi Ahyat, SE, M. Ikhsan Ahyat, SSTP, MAP,

dan Benny Sudrajat, ST, Adik-adikku Munawir Ahyat, SE, M. Ridha Ahyat, Amd,

Rian Arizona.

Penulis juga berterimakasih kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kepala

Bidang Bina Marga, Staf dan teman-temanku di bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan

Umum Kecamatan Aceh Tamiang, Kepala Biro Pusat Statistik beserta Staf

Kecamatan Aceh Tamiang, serta Rekan-rekan Magister Manajemen Pembangunan

Kota angkatan 2008: Lucy, Arfan, Asmadi, Bernas, Raimundus, Jayadin, Hendra,

Muara, Yani, Sahid, Erwin, Amsuardiman, Armelia atas kebersamaan dan kerjasama

yang sudah terjalin selama ini. Juga kepada para pendukung aktifitas kampus:

Fotocopy jurusan Arsitektur (Pak Jojo), Kantin S1 Arsitektur (Bang Adi), Hotspot A

Mild dan Kantin Pasca Sarjana USU.

(10)

Akhir kata, semoga makalah ini dapat diterima dan memberi manfaat bagi semua

pihak yang membutuhkannya. Atas perhatian dan kesempatannya diucapkan banyak

terima kasih.

Medan, Februari 2012

Penyusun,

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: Baihaki Ahyat

Alamat

: Jalan Islamic Center Lorong PMI No. 5 Langsa

Agama

: Islam

Tempat/Tanggal Lahir

: Langsa, 10 Mei 1978

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Anak ke

: 3 dari 8

Warga Negara

: Indonesia

Nama Ayah

: Ahmad Cut Ali (Alm.)

Nama Ibu

: Nurhayati

Nama Istri

: Yopie Ferayanti, SE.

Nama Anak

: Geubrina Batrisyia

Hanny Fathia Asyura

Pendidikan Formal

: SD Negeri 6 Langsa

(tamat tahun 1990)

SMP Negeri 5 Langsa

(tamat tahun 1993)

SMA Negeri 3 Langsa

(tamat tahun 1996)

DIII Politeknik Negeri Medan

(tamat tahun 1999)

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

... i

ABSTRACT

... ii

KATA PENGANTAR

... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

... vi

DAFTAR ISI

... vii

DAFTAR GAMBAR

... xii

DAFTAR TABEL

... xiii

1.1 Latar Belakang ... 1

BAB I

PENDAHULUAN

... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Skematik Pemikiran ... 5

2.1 Rumah sebagai Wujud Fisik Kebudayaan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

... 6

2.2 Pengertian Perumahan dan Permukiman ... 7

(13)

2.2.2 Pengertian permukiman ... 10

2.3 Interaksi Permukiman dan Lingkungan ... 11

2.4 Tipomorfologi Permukiman ... 13

2.5 Permukiman sebagai Wadah Lingkungan Binaan ... 14

2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 15

2.7 Karakteristik Permukiman Daerah Aliran Sungai ... 16

2.8 Elemen-elemen Pembentuk Pola Ruang Kota Pinggiran Sungai ... 18

2.9 Perkembangan Permukiman Daerah Aliran Sungai ... 19

2.10 Macam-macam Pola Permukiman ... 20

2.11 Struktur Ruang ... 21

3.1 Lokasi Penelitian ... 26

BAB III METODA ANALISIS

... 26

3.2 Pembatasan Wilayah Kajian ... 26

3.3 Metode Penelitian ... 34

3.3.1 Populasi, sampel dan teknik sampling ... 34

3.3.2 Metoda analisis data ... 36

3.3.3 Analisa tata guna lahan ... 37

3.3.4 Analisa ruang budaya ... 38

3.3.5. Analisa pola tata ruang rumah ... 38

(14)

BAB IV TINJAUAN LOKASI

... 40

4.1 Profil Wilayah ... 40

4.2 Geografis ... 40

4.3 Orientasi Wilayah ... 42

4.4 Kependudukan ... 43

4.4.1 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ... 43

4.4.2 Sebaran dan Kepadatan Penduduk ... 43

4.4.3 Etnik dan Budaya ... 45

4.5 Perekonomian ... 46

4.6 Sarana dan Prasarana Permukiman ... 47

4.6.1 Komponen air bersih ... 47

4.6.2 Komponen persampahan ... 47

4.6.3 Komponen sanitasi/limbah cair ... 48

4.6.4 Komponen drainase ... 48

4.6.5 Komponen jalan ... 48

4.6.6 Pemerintahan ... 48

4.7 Konsep Bermukim Masyarakat Aceh ... 50

BAB V ANALISIS PERMUKIMAN PADA ALIRAN KRUENG

5.1 Karakteristik Sosial Budaya ... 52

LANGSA

... 52

5.2 Sistem Kemasyarakatan ... 53

(15)

5.4 Kehidupan Ekonomi ... 57

5.5 Kehidupan Budaya dan Religi ... 59

5.6 Tata Guna Lahan ... 61

5.6.1 Perairan ... 61

5.6.2 Hutan ... 62

5.6.3 Pertanian ... 63

5.6.4 Infrastruktur ... 64

5.6.5 Tanah kosong ... 64

5.7 Peletakan Elemen ... 65

5.7.1 Pembagian ruang ... 69

5.7.2 Ruang budaya ... 69

5.7.3 Berdasarkan ritual ... 71

5.8 Pola Tata Ruang Tempat Tinggal ... 74

5.8.1 Struktur tata ruang tempat tinggal ... 75

5.8.2 Pola tata bangunan ... 78

5.9 Pola dan Struktur Ruang Permukiman ... 79

5.9.1 Pola dan struktur ruang permukiman

Gampong

Jawa

... 79

5.9.2 Pola dan struktur ruang permukiman

Gampong

Teungoh

... 80

5.9.3 Karakteristik permukiman ... 82

5.9.4 Kondisi permukiman ... 83

5.9.5 Penyediaan air bersih ... 83

5.9.6 Sistem pembuangan air limbah ... 84

(16)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

... 86

6.1 Kesimpulan ... 86

6.1.1 Karakteristik

Gampong Teungoh dan Gampong

Jawa

... 86

6.1.2 Perkembangan kawasan permukiman

Gampong

(17)

DAFTAR GAMBAR

1.1

Skematik pemikiran ... 5

Nomor

Judul

Halaman

2.1

Hubungan tiga wujud fisik kebudayaan pada rumah ... 8

2.2

Interaksi permukiman dan lingkungan ... 13

2.3

Pola permukiman sub kelompok komunitas ... 20

2.4

Pola permukiman

face to face

... 21

2.5

Pola permukiman linier ... 21

2.6

Pola permukiman

clustered

... 22

2.7

Pola permukiman kombinasi ... 23

2.8

Pola permukiman mengelompok ... 24

2.9

Pola permukiman menyebar ... 24

2.10 Pola permukiman memanjang ... 25

3.1

Lokasi penelitian dalam wilayah Kabupaten Langsa ... 27

3.2

Peta

Gampong Jawa

... 28

3.3

Citra satelit

Gampong Jawa

... 29

3.4

Peta

Gampong Teungoh

... 30

(18)

3.6

Pembatasan wilayah studi di

Gampong Jawa

... 32

3.7

Pembatasan wilayah studi di

Gampong Teungoh

... 33

4.1

Peta wilayah Kota Langsa ... 43

5.1

Kelembagaan di

Gampong Teungoh dan Gampong Jawa

... 53

5.2

Kelompok hunian kekerabatan ... 56

5.3

Orientasi bangunan di

Gampong Jawa

... 58

5.4

Orientasi bangunan di

Gampong Teungoh

... 58

5.5

Tata guna lahan

Gampong Jawa

... 67

5.6

Tata guna lahan

Kampung Teungoh

... 68

5.7

Hirarki ruang

Gampong Teungoh

... 70

5.8

Hirarki ruang

Gampong Jawa

... 70

5.9

Pergerakan penduduk

Gampong Teungoh dan Gampong Jawa

dalam

home range

... 71

5.10 Pembagian ruang

Rumoh Aceh

... 77

5.11 Struktur ruang linier sebagai awal struktur ruang permukiman ... 80

5.12 Pola dan struktur ruang permukiman

Gampong Jawa

saat ini ... 80

5.13 Struktur ruang linier dan

clustered

sebagai awal struktur ruang

permukiman ... 81

(19)

DAFTAR TABEL

4.1 Luas wilayah Kota Langsa ... 41

Nomor Judul Halaman 4.2 Desa pada masing-masing kecamatan di Kota Langsa ... 41

4.3 Jumlah penduduk Kota Langsa akhir tahun 2009 ... 44

4.4 Sebaran dan kepadatan penduduk ... 45

4.5 Frekwensi pengenalan Hadih Maja ... 45

4.6 Frekwensi penerapan adat Aceh ... 46

5.1 Frekuensi lama huni ... 54

5.2 Status rumah ... 55

5.3 Frekuensi pekerjaan ... 59

5.4 Frekuensi penganut berbagai agama resmi ... 60

5.5 Frekuensi penerapan Adat Aceh ... 60

(20)

Laju pertumbuhan penduduk baik karena urbanisasi ataupun perkembangan

alamiah, telah meningkatkan kebutuhan akan sarana hunian. Daerah Aliran Sungai

adalah salah satu lokasi alternatif yang sering dijadikan tempat hunian. Pada

perkembangan selanjutnya, akan muncul berbagai karakteristik sesuai dengan daerah

dimana hunian tersebut berkembang. Penelitian akan mengkaji berbagai karakteristik

permukiman yang ada di sepanjang Daerah Aliran Sungai. Kawasan Studi yang

dipilih adalah Gampong Jawa dan Gampong Teungoh yang berada di daerah aliran

Krueng Langsa Kabupaten Langsa Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Metode

penelitian yang dilakukan adalah deskriptif evaluatif, melalui observasi, kuisioner,

dan wawancara.

ABSTRAK

Berdasarkan hasil analisis, ternyata masyarakatnya masih menganut sistem

pemerintahan Adat yang masih tetap berpedoman pada naskah Kanun Syara’

Kesultanan Aceh serta memegang adat Aceh yang tercantum dalam Hadih Maja

sebagai pedoman dalam pergaulan masyarakat. Tata nilai dan kepercayaan yang

berkembang pada masyarakat adalah adat Aceh Besar dan Islam. Masyarakat pada

umumnya menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral, memperhitungkan

hubungan kekerabatan baik pada pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Sebagian

besar penduduk, bertempat tinggal di rumah

peunulang

, yaitu rumah warisan mertua

mereka, yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk laki-laki menikah

dengan wanita sesama warga.

(21)

ABSTRACT

The rate of population growth either because of urbanization or natural

development, has increased the need for shelter facility. The watershed is one of the

locations which are often made to be an alternative place of shelter. In further

development, various characteristics will appear in according with the areas where

the settlement develops. This study will assess various characteristics of the existing

settlements along the watershed. The study areas chosen were Gampong Jawa and

Gampong Teungoh located in the watershed area of Krueng Langsa, Langsa District,

Nanggroe Aceh Darussalam Province. The research method done where the

descriptive evaluative method through observations, questionnaire distribution, and

interviews.

(22)

BAB I

1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN

Lingkungan permukiman merupakan bagian dari lingkungan binaan merupakan bagian

pula dari lingkungan hidup. Menyadari adanya hubungan timbal balik antara permukiman di

satu pihak dan kependudukan serta lingkungan hidup dilain pihak maka sangatlah penting

agar berbagai langkah kebijaksanaan di bidang permukiman, kependudukan dan lingkungan

hidup berjalan dalam hubungan yang serasi dan saling tunjang (Wiradisuria dalam

Budihardjo, 1992).

Konsep tata ruang dalam lingkungan permukiman, berkaitan erat dengan manusia

dengan seperangkat pikiran dan perilakunya, yang bertindak sebagai subjek yang

memanfaatkan ruang-ruang yang ada dalam hubungan kepentingan kehidupannya. Dalam hal

ini, gagasan pola aktivitas suatu masyarakat yang merupakan inti dari sebuah kebudayaan,

menjadi faktor utama dalam proses terjadinya bentuk rumah dan lingkungan suatu hunian

(Rapoport, 1969:46).

Manusia mengenal permukiman diperkirakan sejak masa mesolitik. Mereka

bermukim secara mengelompok di tempat-tempat yang keadaan alamnya dapat memenuhi

kehidupan, misalnya di gua-gua yang dekat dengan sumber makanan atau tempat-tempat

terbuka di pinggir sungai, danau, atau pantai (Soejono, 1992: 155 - 156). Pada masa neolitik,

yaitu ketika sudah dikenal bercocok tanam, mulai ada tanda-tanda hidup menetap di suatu

(23)

Kegiatan-kegiatan dalam kehidupan perkampungan yang terutama ditujukan untuk

mencukupi kebutuhan bersama, mulai diatur dan dibagi antar anggota masyarakat (Soejono,

1992: 167-168). Pada masa ini pun juga merupakan awal dikenalnya suatu sistem organisasi

sosial. Permukiman yang semula hanya sederhana lama-kelamaan berkembang hingga pada

keadaan yang mapan (menjadi suatu kota). Perkembangan permukiman hingga menjadi suatu

kota seiring dengan perkembangan peradaban manusia pendukungnya.

Laju pertumbuhan penduduk baik karena urbanisasi ataupun perkembangan alamiah

di daerah perkotaan, telah meningkatkan kebutuhan akan sarana dan prasarana khususnya

kebutuhan akan tempat hunian. Tepian kali adalah salah satu lokasi alternatif yang sering

dijadikan tempat hunian oleh masyarakat berpenghasilan rendah, dengan alasan dekat dengan

sumber ekonomi serta tingginya harga lahan di pusat kota.

Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang, memiliki masalah perkotaan

yang sangat kompleks. Sebagai salah satu ciri negara berkembang adalah sangat pesatnya

perkembangan penduduk perkotaan terutama kota-kota besar dari negara tersebut, sebagai

akibat dari tingginya angka pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Kaum urban dari

kalangan miskin, biasanya menyasar pinggiran kota atau di sepanjang daerah aliran sungai

yang belum memiliki fasilitas ruang kota, agar lebih murah.

Selanjutnya kantong-kantong permukiman, terutama di sepanjang daerah aliran

sungai ini menjadi lebih berkembang karena adanya pola jaringan komunitas yang mantap.

Akibatnya adalah munculnya permukiman kelompok sosial kota terpinggirkan, yang tidak

terencana, tidak memiliki fasilitas infrastruktur, yang semakin lama semakin berkembang

(24)

semrawut dan kumuh. Lingkungan permukiman yang tidak terencana dengan baik dan

semrawut ini tentu memerlukan penanganan agar tidak merusak wajah kota.

1.2 Rumusan Masalah

Dari belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan bahwa akibat

perkembangan sebuah kota, akan menimbulkan permukiman-permukiman baru, terutama di

daerah pinggiran kota atau di sepanjang daerah aliran sungai. Perkembangan ini selanjutnya

akan dikaji lebih mendalam agar selanjutnya dapat diketahui gambaran karakteristik kawasan

permukiman tersebut. Berbagai karakteristik kawasan permukiman ini akan berbeda akibat

pengaruhi peran budaya dan perilaku penghuni.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui karakteristik permukiman yang berkembang di sepanjang daerah

aliran sungai.

2. Untuk mengetahui sejauh mana peran budaya mempengaruhi karakteristik

permukiman tersebut.

3. Untuk menentukan arah pengembangan kawasan yang tepat untuk menyelesaikan

permasalahan permukiman pada daerah aliran sungai yang menjadi objek penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian

(25)

1. Untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan kota dan permukiman, serta

karakteristik permukiman yang ada pada daerah aliran sungai, serta hal-hal yang

mempengaruhinya.

2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menangani permasalahan

permukiman kota, terutama permukiman di sepanjang daerah aliran sungai.

3. Sebagai bahan masukan bagi para stake holder yang terlibat dalam pengelolaan permukiman terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah di sepanjang

(26)

1.5 Skematik Pemikiran

Dalam menyelesaikan kajian ini, diperlukan skematik pemikiran seperti dalam gambar 1.1.

Gambar 1.1 Skematik pemikiran

Perkembangan Kota Langsa

Kekurangan Perumahan Permukiman

Tingginya Harga Lahan Perkotaan Dekat dengan

Sumber Ekonomi

Permukiman di Sepanjang Daerah Aliran Sungai

Karakteristik Permukiman Daerah Aliran Sungai

Survei Lapangan

Pengolahan Data

Kajian Permukiman Pada

Daerah Aliran Sungai

Karakteristik Permukiman Daerah Aliran Sungai di

(27)

BAB II

2.1 Rumah sebagai Wujud Fisik Kebudayaan

TINJAUAN PUSTAKA

Budaya menurut Amos Rapoport didefinisikan sebagai cara hidup yang khas,

serangkaian simbol dan kerangka pikir, dan cara beradaptasi dengan lingkungan

alamnya. Budaya menurut para antropolog berarti kemanusiaan, sedangkan menurut

Rapoport perubahan permukiman dipengaruhi oleh kekuatan sosial budaya termasuk

agama, pola hubungan kekeluargaan kelompok sosial, cara hidup dan beradaptasi dan

hubungan antar individu.

Sistem Permukiman oleh Doxiadis, 1971, Permukiman adalah paduan antara

unsur alam, manusia dengan masyarakatnya, dan unsur buatan berupa naungan dan

networking

Menurut Irwin Altman, 1980. Rumah merupakan hasil dari iklim, SDA

dan lingkungan sosial. Menurut Amos Rapoport, 1969, rumah adalah suatu bentuk

fenomena budaya dan pengaturannya sangat dipengaruhi oleh budaya lingkungannya.

Kualitas lingkungan melibatkan variabel lokasi, fisik, psikologi dan sosial budaya

Kebudayaan mempunyai 3 wujud, antara lain:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,

norma-norma, peraturan, adat istiadat, dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia

(28)

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (kebudayaan fisik),

merupakan total dari hasil fisik dan aktifitas, perbuatan, dan karya manusia dalam

masyarakat. (Koentjaraningrat, 1985, h. 1)

Rumah adalah salah satu dari tiga wujud kebudayaan, yaitu kebudayaan fisik yang

merupakan hasil dari dua wujud kebudayaan, yaitu ide-ide dan aktifitas manusia. Ditinjau

dari fungsi rumah sebagai pusat kegiatan berbudaya, ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak

terpisah dan mempunyai hubungan erat yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya

(transactional interpendency). Rumah akan melahirkan ide-ide, nilai-nilai, dan adat istiadat

akan mengatur dan memberi arah kepada perbuatan (perilaku) dan karya manusia.

Ide dan perbuatan akan menghasilkan suatu hasil karya (rumah). Sebaliknya rumah akan

membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang berpengaruh terhadap pola-pola perbuatan,

bahkan juga akan mempengaruhi cara berpikir penghuninya. Cara berpikir (ide-ide) akan

selalu berkembang yang mengakibatkan perkembangan kebuadayaan fisik tersebut.

Sebaliknya akibat pengaruh perkembangan hasil karya fisik juga akan mempengaruhi cara

berpikir manusia (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Hubungan tiga wujud fisik kebudayaan pada rumah

Ide-ide

(29)

2.2 Pengertian Perumahan dan Permukiman

Menurut UU Nomor 4 tahun 1994, perumahan dan pemukiman merupakan salah satu

kebutuhan manusia yang mempunyai peran strategis dalam pembentukan watak dan

kepribadian suatu bangsa. Dalam perkembangannya istilah perumahan dan pemukiman tidak

terpisahkan satu dengan lainnya dan tidak dapat dilihat hanya sekedar sarana untuk

memenuhi salah satu kebutuhan dasar hidup manusia, tetapi harus dilihat sebagai proses

bermukimnya manusia dalam menciptakan suatu ruang kehidupan untuk memasyarakatkan

dirinya dan menampakkan jati dirinya sebagai manusia berbudaya.

Menurut UU No. 4 tahun1994 ada beberapa unsur pokok yang terkait erat dalam

pengertian perumahan dan pemukiman, yaitu:

1. Tempat hunian yang bersifat perlindungan dan sosialisasi manusia sebagai individu

dalam lingkungan kecil.

2. Tempat hunian yang berfungsi lebih luas, memperlihatkan suatu unsur dengan unsur

lainnya.

3. Adanya jaringan pelayanan yang memungkinkan manusia sebagai individu

masyarakat menjalankan penghidupan dan kehidupannya.

4. Unsur pembatas yang terkait dengan tingkah laku manusia dalam penghidupan dan

kehidupannya.

2.2.1 Pengertian perumahan

Perumahan di definisikan sebagai kelompok hunian yang berfungsi sebagai tempat

(30)

merupakan tempat diselenggarakannya aktivitas dalam lingkungan pembatas sehingga suatu

perumahan akan mengandung hal-hal berikut:

1. Terdiri dari sekelompok rumah-rumah dengan fungsi dan batasan tertentu.

2. Dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang memungkinkan berlangsungnya

kehidupan bermasyarakat antar keluarga dan pergerakan orang, barang maupun jasa

antar rumah didalam lingkungan maupun dari dalam keluar atau dari luar kedalam

lingkungan perumahan tersebut.

3. Lingkungan yang terdiri dari dua lingkungan utama:

a. Lingkungan yang dihuni secara pribadi maupun bersama (toko/warung).

b. Lingkungan tidak dihuni baik digunakan pribadi (pekarangan/halaman) maupun

bersama (taman).

4. Prasarana dan sarana perumahan terdiri dari:

a. Prasarana lingkungan berupa kelengkapan dasar fisik

b. Sarana lingkungan merupakan fasilitas penunjang yang meliputi aspek sosial

dan ekonomi

c. Utilitas umum berupa sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan.

5. Prasarana dan sarana lingkungan perumahan tersebut dibatasi jenis dan

jangkauannya dan kelengkapan dasar pelayanan umum bersifat lingkungan yang

mempunyai karakteristik sebagai berikut:

(31)

b. Memungkinkan terpeliharanya fungsi utama perumahan sebagai lingkungan

hunian

c. Tidak mengganggu aktifitas yang bersifat lintas kawasan.

6. Dibatasi jumlah penghuni, jenis pelayanan umum dan jangkauan kegiatan serta

pergerakannya sehingga:

a. Terjalin hubungan social ekonomi yang optimal antar warga

b. Tercapai efektivitas dan efesiensi penyediaan pelayanan administrasi pemerintah

dan pelayanan umum lainnya

c. Terpelihara dari berbagai kegiatan yang dapat mengganggu fungsi utama

sebagai hunian.

2.2.2 Pengertian pemukiman

Didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung baik

berupa kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai tempat tinggal

atau lingkungan hunian maupun tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan

penghidupan. Jadi dari pemahaman tersebut diatas suatu pemukiman akan terdiri dari

beberapa hal berikut:

1. Fungsi utama kawasan tersebut adalah hunian/tempat tinggal

2. Satuan lingkungan pemukiman yang diartikan sebagai kawasan perumahan akan

mempunyai ciri sebagai berikut:

a. Mempunyai luas wilayah dan jumlah penduduk tertentu

(32)

c. Adanya penataan ruang yang terencana dan teratur sehingga pelayanan dan

pengelolaan kawasan optimal.

3. Dilengkapi dengan jaringan prasarana, sarana dan fasilitas lingkungan sehingga:

a. Kehidupan dan penghidupan manusia baik secara individu/kelompok dapat

berlangsung secara optimal

b. Terjadinya pergerakan baik pergerakan manusia, barang maupun jasa didalam

kawasan maupun antar kawasan

c. Fungsi pemukiman dapat berdayaguna dan berhasil guna.

2.3 Interaksi Permukiman dan Lingkungan

Sejarah dan proses perkembangan pemukiman diawali dari kebutuhan dan cara hidup

manusia yang di awali dengan adanya kebutuhan dasar manusia (basic needs) yang harus

dipenuhi. Aspek lainnya adalah letak geografisnya dan kondisi lingkungan sekitar. Menurut

Amos Rapoport membangun sebuah rumah adalah fenomena budaya, bentuk dan organisasi

ruangnya sangat dipengaruhi oleh pola hidup dan perilaku penghuninya (house, form &

culture)

Sejak awal rumah bukan hanya sekedar sebagai tempat perlindungan saja (shelter) tetapi

banyak digunakan untuk menampung berbagai kegiatan manusia tersebut terutama dalam

kaitan kepercayaan (ritual) yang dilakukan ketika membangun rumah tersebut hingga

mendiaminya/menempatinya misalnya: upacara untuk memilih lokasi, membangun pondasi,

menaikkan tiang, memasang atap, memasuki rumah dan sebagainya.

Dalam hal ini rumah mempunyai fungsi sebagai tempat berlangsungnya kegiatan sosial,

(33)

waktu, perkembangan budaya dan perubahan lingkungan sekitar bangunan. Proses

perkembangannya dapat berubah, perubahan kualitas maupun kuantitas bangunan rumah

tinggal. Perubahan kualitas misalnya rumah yang tadinya pengap dan gelap di dalam

bangunannya berubah menjadi terang dan nyaman dengan menambahkan bukaan atau jendela

pada dindingnya sedangkan perubahan kuantitas misalnya rumah yang tadinya mempunyai

dua kamar tidur, sesuai dengan perkembangan jumlah penghuninya, ruangan di tambah

menjadi 3-4 kamar tidur, serta ruang lainnya.

Secara skematis intraksi antara unsur manusia dan lingkungan terhadap rumah tinggal

[image:33.612.153.449.364.648.2]

dapat di gambarkan dalam gambar 2.2.

Gambar 2.2 Interaksi Permukiman dan Lingkungan

Pandangan Hidup

Lingkungan Hidup Rumah tinggal

Interaksi sosial Kebutuhan

fisik Tingkah laku Etnik teknologi Fungsi ruang Kebudayaan adat Bentuk material proses ornamen

keterbatasan simbolisme

(34)

2.4 Tipomorfologi Permukiman

Untuk memahami suatu tempat (place) yang dibentuk sebagai wadah dari kebutuhan

manusia baik berupa rumah atau lingkungan permukiman, bisa dilakukan dengan membagi

tiga komponen struktural yang ada pada tempat tersebut, yaitu tipologi, morfologi dan

topologi (Scultz, 1988). Topologi merupakan tatanan spasial dan pengorganisasian spasial

yang abstrak dan matematis. Morfologi merupakan artikulasi formal untuk membentuk

karakter arsitektur, dan dapat dibaca melalui pola, hierarki dan hubungan ruang. Tipologi

merupakan konsep dan konsistensi yang dapat memudahkan dalam mengenal bagian-bagian

arsitektur.

Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometrik, sehingga dapat

memberi makna pada ungkapan ruangnya dikaitkan dengan nilai ruang tertentu. Nilai ruang

berkaitan erat dengan organisasi, hubungan dan bentuk ruang. Hierarki ruang disebabkan

karena adanya nilai perbedaan bentuk ruang yang menunjukkan adanya derajat kepentingan

baik secara fungsional, formal maupun simbolik. Sistem tata nilai tercipta karena ukuran,

bentuk yang unik dan lokasi. Tipologi lebih menekankan pada konsep dan konsistensi yang

dapat memudahkan masyarakat mengenal bagian-bagian arsitektur, yang mana hal ini dapat

didukung dari pemahaman skala dan identitas.

2.5 Permukiman Sebagai Wadah Lingkungan Binaan

Terbentuknya suatu lingkungan binaan dalam hal ini adalah permukiman, merupakan

proses pewadahan fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta adanya

(35)

lingkungan akan saling berpengaruh dengan lingkungan fisik yang terbentuk oleh kondisi

lokasi, kelompok masyarakat dengan sosial budayanya (Rapoport, 1969).

Hubungan antar aspek budaya (culture) dan lingkungan binaan (environment) dalam

kaitannya dengan perubahan berjalan secara komprehensif dari berbagai aspek kehidupan

sosial budaya masyarakat. Faktor pembentuk lingkungan dapat dibedakan menjadi dua

golongan (Rapoport, 1969) yakni faktor primer (sosio culture factors) dan faktor sekunder

(modifying factors). Lingkungan binaan dapat terbentuk secara organik atau tanpa

perencanaan yang juga terbentuk melalui perencanaan. Pertumbuhan organik pada

lingkungan permukiman tradisional terjadi dalam proses yang panjang dan berlangsung

secara berkesinambungan. Lingkungan binaan merupakan refleksi dari kekuatan sosial

budaya seperti kepercayaan, hubungan keluarga, organisasi sosial, serta interaksi sosial antara

individu.

2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan

wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima,

mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak

sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS

sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet”.

(36)

production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s interests”.

Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana

unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di

dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang

menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara

umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum

dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar

distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

2.7 Karakteristik Permukiman Daerah Aliran Sungai

Permasalahan spasial dan arsitektural pada lingkungan permukiman pada umumnya

terkait pada aspek historis-kultural. Dalam permasalahan itu Pangarsa (dalam Soni, 2001)

mengemukakan bahwa arsitektural dalam arti luas adalah wujud budaya material yang

terletak di dalam kompleks perilaku dan ide-ide suatu masyarakat. Makna unsur-unsur fisik

kota terpancang pada sejarahnya dan dalam latar belakang kebudayaannya (Kostof dalam

Soni, 2001).

Kebudayaan merupakan unsur non fisik yang mempengaruhi wajah suatu kota.

Kebudayaan merupakan hasil pemahaman manusia terhadap dirinya dengan unsur-unsur lain

di luar dirinya. Amos Rapoport (1969) menyatakan bahwa lingkungan alam merupakan salah

(37)

Meskipun demikian faktor yang lebih kuat dalam menentukan bentuk dan tampilan

arsitektur adalah faktor sosial dan kebudayaan. Arsitektur dan ruang kota tidak hanya

merupakan cerminan dari fungsi tetapi juga merupakan perwujudan dari sistem budaya.

Melalui pemahaman mengenai kebudayaan, struktur kemasyarakatan pada sekelompok

masyarakat atau etnis tertentu maka akan dapat dilihat dan dipahami lingkungan binaan yang

dibangun oleh kelompok tersebut (Kostof dalam Soni, 2001). Sehingga dengan kata lain

untuk memahami dan membaca lingkungan pemukiman baik itu yang berskala kecil hingga

skala kota perlu pula untuk memahami budaya yang melatarbelakangi terciptanya lingkungan

binaan tersebut.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa untuk mengetahui pola permukiman pada

suatu kawasan kota pinggiran sungai tidak terlepas dari elemen-elemen perancangan kota

yang diperoleh melalui pendekatan teori perancangan kota dengan melihat kota sebagai

produk dari pengambilan keputusan banyak pihak dalam kurun waktu tertentu. Perancangan

kota sebagai suatu perangkat kendali lahir karena kebutuhan perlunya suatu mekanisme yang

dapat mempermudah penerapan kebijaksanaan perancangan kota terutama menyangkut

produk perencanaan kota tersebut (Trancik, 1986).

Dari sejarah perkembangan kehidupan bermukim manusia dan bertempat tinggal, terlihat

bahwa manusia selalu mencari kemudahan-kemudahan dalam rangka kelangsungan hidup

mereka pada tiap-tiap tahapan kehidupan bermukim dan bertempat tinggal tersebut.

Kemudahan-kemudahan tersebut juga terwujud dalam kehidupan non fisik mereka.

Aturan-aturan, hukum-hukum dan norma-norma serta produk kebudayaan lainnya merupakan produk

yang diciptakan dalam rangka memudahkan dan menjaga kelangsungan hidup dan kehidupan

(38)

Lingkungan permukiman merupakan kumpulan berbagai artefak yang terjadi karena

penggabungan antara tapak (site), peristiwa (event) dan tanda (sign). Jalan, ruang terbuka,

type bangunan, dan elemen fisik lain pada tapak secara keseluruhan merupakan tanda adanya

peristiwa tertentu. Hal ini menunjukkan suatu kelanggengan (permanence) yang sangat

kompleks sehingga menjadi ciri suatu lingkungan permukiman (Rossi, 1984).

2.8 Elemen-elemen Pembentuk Pola Ruang Kota Pinggiran Sungai

Karakteristik pola ruang pinggiran sungai diperlukan untuk memberikan pemahaman

tentang identitas suatu kota yang terletak di pinggiran sungai, sesuai dengan potensi yang

ada. Dalam hal ini menurut Eko Budihardjo (1991) bahwa karakter tersebut merupakan

perwujudan lingkungan baik yang berbentuk fisik maupun non fisik. Hal yang sama juga

dikemukakan oleh Schultz (1980) bahwa karakter tersebut bisa diperoleh dari kondisi fisik

lingkungan dan hal-hal lain yang tidak terukur seperti budaya, dan kehidupan sosial. Budaya

dan pola sosial merupakan suatu sistem yang sudah stabil dan terpola di dalam place, yang dibangun sepanjang sejarah masyarakatnya.

2.9 Perkembangan Permukiman Daerah Aliran Sungai

Bentuk kota atau kawasan merupakan hasil proses budaya manusia dalam menciptakan

ruang kehidupannya, sesuai kondisi site, geografis, dan terus berkembang menurut proses

sejarah yang mengikutinya. Menurut Kostof (1991), peran dan perkembangan masyarakat

sangat berpengaruh dalam suatu proses pembentukan kota. Sehingga terbentuknya pola kota

akan terus berkembang sebagai proses yang dinamis dan berkesinambungan tanpa suatu awal

dan akhir yang jelas. Kota lahir dan berkembang secara spontan, diatur menurut pendapat

masyarakat secara umum yang dipengaruhi oleh adat istiadat, kepercayaan, agama, sesuai

(39)

dan mempunyai sosial yang kuat. Berkembangnya masyarakat baik kuantitas maupun

kualitas menuntut terbentuknya suatu kota yang lebih teratur, agar lebih mudah dan terarah

pengorganisasiannya melalui pola grid. Sehingga bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa kedua

faktor alam dan faktor aspirasi masyarakat tersebut saling dikombinasikan untuk

menghasilkan suatu pola yang harmonis antara kehidupan manusia dan lingkungan alamnya.

Suatu kota yang berkembang terutama suatu kawasan permukiman berkembang karena

adanya tuntutan untuk membentuk suatu kawasan yang terencana (planed city) yang dapat

mengatur kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Namun tetap tidak terlepas dari

budaya masyarakat itu sendiri. Salah satu konsep itu terlihat pada bentuk permukiman pada

kawasan pinggiran sungai dimana tipe dan pola permukiman pada kawasan itu sendiri

merupakan bagian dari pola penggunaan tanah yang akan menggambarkan struktur serta

faktor yang mempengaruhinya. Secara garis besar, konsep atau ciri-ciri perumahan dan

permukiman pada kawasan di pinggiran sungai di Indonesia dapat berupa berbagai pola-pola

yaitu linier, clustered, dan lain sebagainya.

2.10 Macam-Macam Pola Permukiman

Permukiman mempunyai berbagai pola yang umum terjadi akibat berbagai faktor yang

mempengaruhi, antara lain:

1. Sub Kelompok Komunitas

Pola permukiman tipe ini berbentuk cluster, terdiri dari beberapa unit atau kelompok unit hunian, memusat pada ruang-ruang penting, seperti penjemuran,

(40)

Gambar 2.3 Pola Permukiman Sub Kelompok Komunitas

2. Face to face

Pola permukiman tipe ini berbentuk linier, antara unit-unit hunian sepanjang

permukiman dan secara linier terdapat perletakan pusat aktivitas yaitu tambatan

[image:40.612.222.442.110.306.2]

perahu atau dermaga, ruang penjemuran, pasar dan sebagainya (gambar 2.4).

(41)

2.11 Struktur Ruang

1. Linier

Pola permukiman bentuk ini adalah suatu pola sederhana dengan peletakan unit-unit

permukiman (rumah, fasum, fasos dan sebagainya) secara terus menerus pada tepi

sungai dan jalan. Pada pola ini kepadatan tinggi, dan kecenderungan ekspansi

permukiman dan mixeduse function penggunaan lahan beragam (gambar 2.5).

Gambar 2.5 Pola Permukiman Linier

2. Clustered

Pada pola ini berkembang dengan adanya kebutuhan lahan dan penyebaran unit-unit

permukiman telah mulai timbul. Kecenderungan pola ini mengarah pada

pengelompokkan unit permukiman terhadap suatu yang dianggap memiliki nilai

”penting” atau pengikat kelompok seperti ruang terbuka komunal dalam melakukan

(42)

Gambar 2.6 Pola Permukiman Clustered

3. Kombinasi

Pola ini merupakan kombinasi antara kedua pola di atas yang menunjukkan bahwa

selain ada pertumbuhan juga menggambarkan adanya ekspansi ruang untuk

kepentingan lain (pengembangan usaha dan sebagainya). Pola ini menunjukkan

adanya gradasi dari intensitas lahan dan hirarki ruang mikro secara umum (gambar

2.7).

(43)

Di bawah ini dapat dilihat pola dan tata letak pola permukiman dengan gambar-gambar

sebagai berikut:

1. Pola Mengelompok.

Contoh pola mengelompok ini adalah daerah di tepi pantai atau danau, jarak antara

perumahan dan tepi pantai ditanami pohon agar kelestarian lingkungan terjaga.

Pada daerah muara, perumahan mengelompok di muara sungai, sedangkan kegiatan

MCK terjadi di sepanjang sungai. Adapun arah pengembangannya adalah untuk

menghindari pengembangan perumahan ke arah pinggir sungai. Terdapat pohon

pelindung untuk menjaga kelestarian sungai, MCK di tarik ke arah darat (gambar

2.8).

(44)

2. Pola Menyebar.

Pada pola ini perumahan menyebar jauh dari fasilitas, adapun arah

pengembangannya adalah dikelompokkan agar jangkauan fasilitas terpenuhi.

Sedangkan pengembangan perumahan cenderung diarahkan ke darat (gambar 2.9).

3. Pola Memanjang.

Pola ini menimbulkan gangguan keseimbangan alam. Adapun arah

pengembangannya dikelompokkan agar fasilitas umum murah dan terjangkau.

Terdapat jarak antara perumahan dengan sungai (gambar 2.10).

(45)
[image:45.612.185.462.111.309.2]

Gambar 2.10 Pola Permukiman Memanjang

Pola permukiman di lingkungan perairan darat yang terpenting di Indonesia berada di

tepi dan atau di atas perairan sungai. Sebagian permukiman ini sekaligus berada dalam

lingkungan rawa dan perairan laut. Kondisi lingkungan perairan demikian mendorong

pemukimnya membangun rumah panggung, bukan untuk menghindari pasang laut,

(46)

BAB III

3.1 Lokasi Penelitian

METODA ANALISIS

Terdapat beberapa desa atau kelompok permukiman di kawasan daerah aliran

sungai (DAS)

Krueng

Langsa itu antara lain,

Gampong

Seulawah Bawah,

Gampong

Sidorejo, Desa Paya Bujok,

Gampong

Teungoh, Desa Kelurahan,

Gampong

Jawa

Belakang dan

Gampong

Jawa Baro, Desa Sidodadi, Desa Meurandeh, Desa Asam

Betek, serta Desa Seulalah. Untuk itu permukiman yang dijadikan menjadi objek

penelitian yang dianggap mampu mewakili seluruh permukiman di sepanjang daerah

aliran Krueng Langsa yang ada di kota Langsa adalah

Gampong Teungoh

dan

Gampong Jawa

seperti pada gambar 3.1, 3.2, 3.3, 3.4, dan 3.5.

3.2 Pembatasan Wilayah Kajian

Pembatasan wilayah kajian pada penelitian ini perlu dilakukan:

1.

Karena kedua wilayah studi sangat luas, dan tidak seluruhnya wilayah studi

yang dilalui oleh Krueng Langsa, maka wilayah studi juga akan dibatasi

sesuai dengan kriteria-kriteria ketelitian wilayah studi.

(47)
[image:47.842.99.751.113.474.2]
(48)
[image:48.842.106.743.121.484.2]
(49)

GAMPONG JAWA

[image:49.842.126.730.114.477.2]

KRUENG LANGSA

(50)
[image:50.842.105.742.125.484.2]
(51)
[image:51.842.142.706.133.481.2]

GAMPONG TEUNGOH

(52)
[image:52.842.101.751.111.426.2]

KAWASAN STUDI

(53)
[image:53.842.108.747.113.481.2]

KAWASAN STUDI

(54)

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode deskriptif evaluatif,

melalui observasi, kuisioner, dan wawancara.

3.3.1 Populasi, sample dan teknik sampling

Menurut Nasution (2003), populasi adalah kumpulan dari individu dengan kualitas

serta ciri-ciri yang telah ditetapkan. Populasi adalah ukuran-ukuran tentang sesuatu yang

ingin kita buat inferensi. Sebuah populasi dengan individu tertentu dinamakan populasi finit, sedangkan jika jumlah individu dalam kelompok tidak mempunyai jumlah yang tetap,

ataupun jumlahnya tidak terhingga disebut populasi infinit.

Untuk penelitian ini, jenis populasinya adalah populasi finit dimana jumlah individu pada kedua gampong yang akan diteliti mempunyai jumlah yang pasti. Samplemenurut Nazir adalah kumpulan dari unit sampling yang ditarik biasanya dari sebuah frame. Sebuah frame

adalah list atau urutan unit sampling yang tersedia. Pengertiannya hampir sama dengan yang diungkapkan oleh Rozaini, sampel adalah kumpulan bagian dari populasi yang menjadi objek

penelitian (sampel sendiri secara harfiah berarti contoh). Sedangkan elemen atau unsur adalah

setiap satuan populasi, Penelitian yang dilakukan hanya pada bagian unit populasi (wakil

populasi) atau biasa disebut dengan Sampel dinamakan Survei Sampel (sample survey) atau

Sample Enumeration Survey. Sedangkan penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen atau unsur dinamakan Sensus atau Complete Enumeration.

Teknik Sampling merupakan bagian dari penelitian yang berarti suatu cara/prosedur

(55)

ini diharapkan dapat menaksir parameter tertentu dari populasi. Agar hasil penelitian yang

dilakukan terhadap sampel masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan

sampel harus dilakukan secara seksama.

Singarimbun dan Effendi (1995) menyatakan ada empat faktor yang harus

dipertimbangkan dalam menentukan besarnya sampel dalam penelitian, yaitu:

1. Derajat keseragaman (degree of homogenity) dari populasi.

2. Presisi (ketelitian) yang dikehendaki oleh peneliti, makin tinggi tingkat presisi yang

dikehendaki, makin besar sampel yang diambil.

3. Rencana analisis.

4. Tenaga, biaya dan waktu.

Dalam penelitian ini, penentuan sampel menggunakan teknik

purposive sampling

artinya ditentukan dengan mempertimbangkan tujuan penelitian berdasarkan

kriteria-kriteria yang ditentukan terlebih dahulu. Agar sampel yang diambil dalam penelitian

ini dapat mewakili populasi maka dapat ditentukan jumlah sampel yang dihitung

dengan menggunakan rumus Slovin (dalam Umar, 1999). Dari 457 rumah tangga

yang ada pada kedua wilayah studi, maka jumlah sampel yang harus diambil adalah:

�= N

1+Nα2... (3.1)

Dimana:

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

(56)

pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir.

Dalam penelitian ini diketahui N sebesar 457, α ditetapkan sebesar 10%. Jadi jumlah

minimal sampel yang diambil oleh peneliti adalah sebesar:

N

n =

1 + Ne2

457

... (3.2)

n =

1 + (457 x 0,12

457

) ... (3.3)

n =

5,57 ... (3.4)

Jumlah Sampel = 82,04 = 82 sampel

Untuk mencapai kriteria penelitian dan menjaga data-data yang tidak valid, jumlah

tersebut perlu ditambah sehingga jumlah sampel yang diambil berjumlah 100 sampel.

Pengambilan sampel yang telah dihitung dengan rumus Slovin, menggunakan teknik

pengambilan proporsional untuk mendapatkan sampel yang merata pada kedua wilayah studi.

3.3.2 Metode analisis data

Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa

tahapan, antara lain:

(57)

a.

Tinjauan sejarah dan perkembangan

gampong

dan budaya bermukim

masyarakat Aceh, yang meliputi sejarah munculnya

gampong

dan

perkembangannya dari masa kerajaan, kolonial, kemerdekaan dan

reformasi.

b.

Analisis sosial budaya (Koentjaraningrat, 1982)

1)

sistem kelembagaan;

2)

sistem kemasyarakatan/kekerabatan;

3)

kehidupan ekonomi; dan

4)

kehidupan budaya dan religi

c.

Hasil interpretasi sejarah dan pengaruhnya terhadap karakteristik sosial

budaya masyarakat

Gampong Teungoh

dan

Gampong Jawa

, dijadikan dasar

untuk mendukung kajian untuk analisis karakteristik pola tata ruang

permukiman tradisional.

2.

Tahap kedua: Mengidentifikasi pola tata ruang permukiman

Gampong Teungoh

dan

Gampong Jawa

dan menganalisis kesesuaiannya dengan konsep pola tata

ruang tradisional Aceh.

3.3.3 Analisa tata guna lahan

(58)

Aceh. Pada tahap ini dilakukan kajian terhadap perkembangan elemen-elemen

pembentuk kawasan pedesaan (Oswald & Baccini, 2000), dengan menggunakan

analisis

before-after

.

Before

mewakili masa awal terbentuknya

Gampong Teungoh

dan

Gampong

Jawa

, masa perkembangan infrastruktur permukiman, dan

after

mewakili kondisi eksisting saat ini (2000-2010). Selanjutnya, untuk melihat

keterkaitan antar elemen-elemen pembentuk kawasan pedesaan, dilakukan analisis

dengan teknik

super impose

. Kajian elemen pembentuk kawasan pedesaan meliputi

perairan, hutan, permukiman, pertanian, infrastruktur, dan tanah kosong

3.3.4 Analisa ruang budaya

Analisis ruang budaya dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan hirarki

ruang dan sifat penggunaan ruang yang ada di

Gampong Teungoh

dan

Gampong

Jawa

. Pendekatan yang dilakukan adalah secara eksploratif, dengan melihat fungsi

dan kepentingan ruang permukiman dari hasil analisis kehidupan budaya dan religi

dan kegiatan masyarakat sehari-hari.

3.3.5 Analisa pola tata ruang rumah

Pada tahap ini, analisis dilakukan dengan mengidentifikasi tiga variabel, yaitu

di antaranya:

(59)

3.4 Pengumpulan Data dan Teknik Analisa Data

Jenis penelitian ini adalah analisa deskriptif dengan menggunakan metode survei

terhadap rumah di gampong-gampong yang diteliti, antara lain meliputi:

1. Data Primer (observasi lapangan), antara lain meliputi:

a. Data Umum yang meliputi tahun perkembangan, jumlah unit hunian, luas,

kepadatan bangunan, kondisi bangunan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum.

b. Kuesioner kepada sejumlah responden yang dianggap dapat mewakili seluruh

penghuni pada masing-masing gampong. Sample yang dipilih berupa sample dengan pola acak bertujuan. Jumlah sampel yang dianggap dapat mewakili

seluruh penghuni yang diteliti adalah 100 sampel.

(60)

BAB IV

TINJAUAN LOKASI

4.1 Profil Wilayah

Kota Langsa merupakan bekas dari sebagian wilayah

Berada kurang lebih 400 km dari

berstatus Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun

1991 tentang Pembentukan Kota Administratif Langsa. Kota Langsa kemudian

ditetapkan statusnya menjadi

tanggal 21 Juni 2001. Setelah Kota Langsa lepas dari Kabupaten Aceh Timur tahun

2001, struktur perekonomian dibangun atas perdagangan, industri, dan pertanian.

Kota Langsa merupakan kota pesisir dengan penduduk yang sangat heterogen, yang

terdiri dari suku Aceh, Jawa, Melayu, Gayo Batak, dan Karo. Hanya berjarak 246 km dari

Kota Medan, menyebabkan Langsa memiliki banyak kemiripan dengan Medan. Langsa

merupakan kota kecil dengan keramaian yang terpusat di dua titik yaitu Jalan Teuku Umar

sebagai pusat pertokoan dan pasar tradisional dan Jalan Ahmad Yani, jalan protokol dua jalur

yang membelah kota ini.

4.2 Geografis

Secara Geografis, Kota Langsa terletak pada 040 - 24’ 35,68’ - 040 33’ 47, 03" LU dan

970 53’ 14,59" – 980 04’ 42,16" BT. Kota Langsa terdiri dari 5 kecamatan yaitu Kecamatan

(61)

wilayah terbesar yaitu Kecamatan Langsa Timur dan kecamatan terkecil yaitu Kecamatan

[image:61.612.109.503.427.706.2]

Langsa Kota seperti tertera pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Luas Wilayah Kota Langsa

No Kecamatan Luas Wilayah (km²) Luas Wilayah (Ha) Persentase

1 Langsa Timur 75.04 7,504 28.60

2 Langsa Lama 42.39 4,239 16.15

3 Langsa Barat 59.95 5,995 22.85

4 Langsa Barö 77.50 7,750 29.53

5 Langsa Kota 7.53 753 2.87

Total 262.41 26,241 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Langsa

Dari lima kecamatan yang ada masing-masing terdiri dari beberapa gampong, dengan

jumlah keseluruhan gampong sebanyak 51, antara lain seperti terurai pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Desa pada masing-masing Kecamatan di Kota Langsa

No Kecamatan/District Ibu Kota Kecamatan Nama-nama Gampong

1 Langsa Timur Seunebuk Antara 1 Simpang Wie

2 Buket Pulo

3 Matang Panyang

4 Matang Setui

5 Buket Rata

6 Alue Pineung

7 Alue Merbau

8 Buket Meutuah

9 Matang Cengai

10 Cinta Raja

11 Sukarejo

12 Sungai Lueng

13 Seubebuk Antara

14 Buket Medang Ara

3 Langsa Kota Gampong Teungoh 1 Blang Seunibong

2 Gampong Blang

3 Alue Beurawe

4 Gampong Teungoh

5 Tualang Teungoh

6 Gampong Meutia

(62)

Tabel 4.2 (Lanjutan)

No Kecamatan/District Ibu Kota Kecamatan Nama-nama Gampong

8 Gampong Jawa

9 Paya Bujok Blang Paseh

10 Peukan Langsa

3 Langsa Barat Matang Seulimeng 1 Seuriget

2 Paya Bujok Teungoh

3 Paya Bujok Beuramo

4 Simpang Lhee

5 Lhok Banie

6 Matang Seulimeng

7 Sungai Pauh

8 Kuala Langsa

9 Telaga Tujuh

4 Langsa Lama Meurandeh 1 Pondok Kemuning

2 Seulalah

3 Pondok Pabrik

4 Sidodadi

5 Sidorejo

6 Gampong Baro

7 Meurandeh

8 Asam Peutik

9 Baroh Langsa Lama

5 Langsa Barö Geudubang Aceh 1 Timbang Langsa

2 Aue Dua

3 Birem Puntong

4 Paya Bujok Seulemak

5 Pondok Kelapa

6 Karang Anyar

7 Paya Bujok Tunong

8 Gedubang Jawa

9 Gedubang Aceh

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Langsa

4.3 Orientasi Wilayah

Secara geografis wilayah Kota Langsa mempunyai batas-batas wilayah (gambar 3.1)

sebagai berikut:

1. Batas Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur dan Selat Malaka

[image:62.612.120.503.168.523.2]
(63)

3. Batas Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tamiang

4. Batas Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur

4.4 Kependudukan

4.4.1 Jumlah dan pertumbuhan penduduk

Jumlah penduduk terbanyak di Kota Langsa terdapat di Kecamatan Langsa Kota, yaitu

sejumlah 43.653 jiwa, sedangkan penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Langsa Barat,

yaitu sebanyak 33.088 jiwa. Jumlah penduduk Kota Langsa keseluruhan sesuai dengan data

terbaru yang di dapat dari Badan Pusat Statistik Kota Langsa adalah 141.138 jiwa (tabel 4.3).

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kota Langsa Akhir tahun 2009

No Kecamatan Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun

Jumlah Penduduk Akhir Tahun Sex Ratio Laki-laki Perempuan Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Langsa Timur 12,407 6,445 6,491 12,936 99.29 2 Langsa Barat 28,985 15,004 14,832 29,836 101.16 3 Langsa Kota 36,971 18,258 18,661 36,919 97.84 4 Langsa Lama 23,422 12,161 12,701 24,862 95.75 5 Langsa Baro 38,630 20,331 20,467 40,798 99.34 Jumlah 140,415 72,199 73,152 145,351 98.70

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Langsa

4.4.2 Sebaran dan kepadatan penduduk

Kecamatan dengan tingkat kepadatan yang paling tinggi yaitu Kecamatan Langsa Kota

dengan kepadatan 4.903 jiwa/km2. Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk yang

terendah yaitu Kecamatan Langsa Timur yaitu dengan jumlah penduduk sebanyak 172

(64)
[image:64.792.98.702.113.488.2]

Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Langsa

(65)

Tabel 4.4 Sebaran dan Kepadatan Penduduk

No Kecamatan Luas Wilayah (km²) Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk/km²

1 Langsa Timur 75.04 12,936 172

2 Langsa Barat 59.95 29,836 498

3 Langsa Kota 7.53 36,919 4,903

4 Langsa Lama 42.39 24,862 587

5 Langsa Baro 77.50 40,798 526

Jumlah 262.41 145,351 526

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Langsa

4.4.3 Etnik dan budaya

Pedoman kemasyarakatan di Nangroe Aceh Darussalam diatur dalam Hadih Maja yang

merupakan hasil kesimpulan dari Musyawarah Besar Kerukunan Rakyat Aceh. Pedoman

etnik dan budaya diatur melalui ritual-ritual yang berkaitan dengan daur hidup (kelahiran dan

pernikahan), kegiatan keagamaan (Maulid Nabi, Nuzulul Quran, dan Isra’ Mi’raj), dan

aktivitas pertanian yang berkaitan dengan mata pencaharian penduduk (Kanduri Blang).

Sesuai dengan hasil kuesioner yang dilakukan, ternyata sebagian besar penduduk (87%)

[image:65.612.118.510.149.265.2]

masih mengetahui bahkan sangat mengetahui tentang Hadih Maja tersebut, selebihnya hanya sekedar pernah mendengar dan tidak pernah mendengar (tabel 4.5).

Tabel 4.5 Frekuensi pengenalan Hadih Maja

Frekuensi Persentasi

Persentasi Valid Persentasi Kumulatif Hadih Maja

Sangat Tidak Mengetahui 5 5 5 5

Tidak Mengetahui 8 8 8 13

Mengetahui 10 10 10 23

Cukup Mengetahui 24 24 24 47

Sangat Mengetahui 53 53 53 100

Total 100 100.0 100.0

(66)

Namun bila ditinjau dari penerapan adat dan tradisi ini masih cukup tinggi, yaitu

seluruh responden masih melakukan melalui ritual-ritual tersebut. Beberapa dari yang tidak

pernah mendengar tentang Hadih Maja tersebut, hanya melakukan sesuai dengan

arahan-arahan tetua di daerah tersebut tanpa mengetahui dimana hal tersebut tercantum (tabel 4.6).

Tabel 4.6 Frekuensi penerapan Adat Aceh

Frekuensi Persentasi

Persentasi Valid Persentasi Kumulatif Adat Aceh

Sangat Tidak 0 0 0 0

Tidak Menerapkan 0 0 0 0

Menerapkan 17 17 17 17

Cukup Menerapkan 25 25 25 42

Sangat Menerapkan 58 58 28 100

Total 100 100.0 100.0

4.5 Perekonomian

Sumber: Hasil olahan data survey memakai SPSS versi 18

Kegiatan perekonomian yang utama di kota ini adalah dari sektor perdagangan senilai

28,87%. Kemudian terbesar kedua adalah dari sektor industri pengolahan, senilai 23,45%.

Industri pengolahan yang terdapat pada Kota Langsa ini adalah industri pengolahan kayu,

dimana bahan baku industri perkayuan didatangkan dari lokasi penebangan hutan seperti

Kabupaten Aceh Timur, Aceh Singkil, Aceh Utara, Aceh tengah, Aceh Tenggara dan Pidie.

Potensi ekonomi di Kota Langsa masih belum tertangani dengan baik. Sementara

Pemerintah Kota Langsa masih memprioritaskan diri pada peningkatan kualitas SDM, baik

masyarakat maupun aparatur pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari realisasi belanja

pembangunan tahun 2002. Pendidikan (25%), aparatur pemerintahan (22%), dan perumahan

(10%) menjadi sektor dengan alokasi dana paling besar. Sedangkan perdagangan sebagai

(67)

4.6 Sarana dan Prasarana Permukiman

4.6.1 Komponen air bersih

Data yang didapatkan di kota ini relatif kurang sehingga tidak dapat dianalisis lebih

lanjut, dan tidak dapat diketahui pula kondisi sektor air bersih di kota ini. Namun dari jumlah

penduduk yang diketahui, bisa dihitung perkiraan kebutuhan air Kota Langsa untuk

klasifikasi kota sedang. Dengan jumlah penduduk sebanyak 141.138 jiwa, maka dibutuhkan

air (kebutuhan ideal untuk klasifikasi kota sedang sebesar 100 lt/org/hr) sebesar 14.113.800

lt/org/hr. Namun karena tidak diketahui kapasitas produksinya, maka tidak dapat diketahui

seberapa besar produksi air dari kota ini, sehingga tidak dapat diketahui pula seberapa besar

kekurangan atau mungki n kelebihan produksi air yang sudah ada.

4.6.2 Komponen persampahan

Sesuai dengan standar kota sedang, yaitu tingkat timbulan sampah sebanyak 3

liter/orang/hari, Kota Langsa dengan jumlah penduduk 141.138 jiwa, menghasilkan 423,41

m3/hr timbulan sampah. Jumlah ini didapatkan dari jumlah penduduk dikalikan 3/1000

(m3/hr). Namun data yang didapatkan kurang lengkap sehingga tidak dapat diketahui sudah

seberapa jauh pelayanan yang sudah dicapai oleh pemerintah Kota Langsa.

4.6.3 Komponen sanitasi/limbah cair

Untuk produksi limbah, setiap manusia diasumsikan memproduksi limbah cair

sejumlah 0,2 lt/org/hr. Angka ini merupakan kebutuhan ideal dari setiap penduduk pada kelas

kota sedang. Sehingga didapatkan asumsi produksi limbah di Kota Langsa ini sejumlah

28.228 lt/hr dari hasil perhitungan kebutuhan ideal produksi limbah setiap manusia dikalikan

(68)

4.6.4 Komponen drainase

Pengelolaan drainasedi kota ini dikelola oleh Sub Dinas Cipta Karya Kota Langsa.

Karena data yang didapatkan kurang lengkap maka tidak diketahui pula bagaimana kondisi

jalan yang ada di kota ini.

4.6.5 Komponen jalan

Pengelolaan jalan di kota ini dikelola oleh Sub Dinas Bina Marga Kota Langsa. Karena

data yang didapatkan kurang lengkap maka tidak diketahui pula bagaimana kondisi jalan

yang ada di kota ini.

4.6.6 Pemerintahan

Beberapa istilah kaitannya dengan sistem pemerintahan di Langsa antara lain:

1. Gampông atau disebut kampung dalam bahasa Melayu, merupakan sebuah sistem pemerintahan setingkat desa sekarang yang bediri secara otonom. Sebuah gampông

dipimpin oleh kepala desa yang disebut Keuchik atau Geuchik dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Peut.

2. Mukim merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat kecamatan yang dahulu diberlakukan pada saat Kesultanan Aceh. Sebuah mukim terdiri dari beberapa buah desa yang disebut gampông. Di tiap-tiap mukim didirikan sebuah masjid yang dipergunakan untuk shalat Jumat. Yang memimpin mesjid disebut Teungku Imum Raja (Mesjid). Mukim dipimpin oleh Imum Mukim dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Lapan.

(69)

terdiri dari mukim-mukim layaknya sekarang sebuah kabupaten terdiri dari

kecamatan-kecamatan. Sebuah sagoë dipimpin oleh hulubalang yang bergelar

Teuku atau disebut Ampon.

4. Nanggroë yang dalam bahasa Melayu disebut Negeri, merupakan suatu sistem pemerintahan yang setingkat dengan provinsi pada masa sekarang ini. Sebuah

Nanggroë merupakan kumpulan dari sagoe-sagoe, layaknya propinsi yang terdiri dari kabupaten-kabupaten. Sistem pemerintahan ini pada masa yang lampau hanya

terdapat di wilayah kabupaten Aceh Besar sekarang. Oleh karenanya Aceh Besar

sering disebut pula dengan nama Acèh Lhèë Sagoë atau Aceh Tiga Sagi. Ada 3

sagoë di Aceh Besar (Acèh Rayek), yaitu Sagoë XXII, Sagoë XXV, dan Sagoë

XXVI.

4.7 Konsep Bermukim Masyarakat Aceh

Masyarakat Aceh telah sejak lama mempunyai konsep-konsep dasar mengenai

pengaturan tata ruang rumah dan lingkungannya yang sarat akan nilai budaya lokal.

Namun, rangkaian kejadian yang terjadi di Aceh secara menyeluruh menyebabkan

berkurangnya keberadaan permukiman tradisional, sehingga warisan budaya bangsa

Aceh dikhawatirkan tidak dapat bertahan.

(70)

memperhatikan faktor kultur budaya setempat. Instansi yang terkait dengan program

pembangunan permukiman, perlu memahami konsep bermukim masyarakat Aceh.

Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah

Gampong

Teungoh

dan

Gampong Jawa

di Kecamatan Langsa Kota, Kabupaten Langsa.

Sebagian besar rumah penduduk nya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang

terbuat dari kayu. Rumah-rumah ini, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan

gempa. Observasi Hurgronje (1985) membuktikan bahwa hunian masyarakat Aceh

telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa dan banjir. Orang Aceh,

khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, sejak tahun 1600

telah sadar bahwa letak kota mereka secara geografis tidak terlalu baik (Lombard,

2006). Dengan alasan ini pula, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

seperti Muslim Aid, mencoba membangun kembali rumah untuk korban tsunami,

dengan bentuk mengadopsi

rumoh Aceh

.

(71)

Penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya dengan

proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan

pengalaman sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang

sesuai dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat

mengakomodasi, menghormati dan memelihara keberadaan

gampong

, sekaligus

sebagai wujud pelestarian tata ruang tradisional sebagai identitas budaya bangsa.

Oleh karena itu, tujuan dari studi ini juga adalah untuk mengidentifikasi karakteristik

sosial budaya masyarakat Gampong Teungoh dan Gampong Jawa di Kecamatan Langsa Kota Kabupaten Langsa. Kemudian mengidentifikasi pola tata ruang permukiman, dan

menganalisis pola tata ruang permukiman tradisional yang terbentuk akibat pengaruh sistem

sosial budaya masyarakatnya, serta pola penanganan yang tepat untuk kedua gampong

Gambar

Gambar 2.2 Interaksi Permukiman dan Lingkungan
Gambar 2.4 Pola Permukiman Face to Face
Gambar 2.10 Pola Permukiman Memanjang
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian dalam Wilayah Kabupaten Langsa Sumber: Pemerintahan Kota Langsa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam  beberapa  dekade  terakhir,  pembangunan  telah  membawa  masyarakat  Indonesia  umumnya  pada  kesejahteraan  yang  lebih  tingg i.  Tetapi  pada 

Untuk mengatasi kekurangan air pada sub DAS yang merupakan formasi geologi kapur yaitu: (1) Perlu dikembangkan sumber-sumber air dengan sistem perencanaan yang baik mencakup

Merupakan sumber data yang mendukung sumber data primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti penulis, antara lain

Hutan memilki peranan penting dalam konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS). Kajian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran potensi hutan dan merumuskan strategi

terlihat bahwa daerah kecamatan Ungaran Timur dan kecamatan Banyumanik dengan curah hujan yang tinggi dengan penutupan lahan yang sebagian besar pemukiman memiliki

Dampak terhadap pemanasan global adalah terjadinya perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kondisi ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Degradasi Sub DAS Garang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung (termasuk jenis penting) di areal hutan tanaman pinus yang dipengaruhi oleh faktor- faktor lanskap (bentuk

Lokasi C memiliki nilai TLA yang paling luas dan diduga berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung yang dapat dijumpai pada lokasi tersebut.. Hasil penelitian Indriyanti (2001)