• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Interaksi Keluarga Yang Berbeda Agama Terhadap Keluarga Asalnya (Studi Kasus: Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab. Siak, Riau).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pola Interaksi Keluarga Yang Berbeda Agama Terhadap Keluarga Asalnya (Studi Kasus: Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab. Siak, Riau)."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

POLA INTERAKSI KELUARGA YANG BERBEDA AGAMA

TERHADAP KELUARGA ASALNYA

(Studi kasus : Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab. Siak, Riau)

SKRIPSI Oleh: VERAWATI

050901057

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(2)

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

NAMA : VERAWATI

NIM : 050901057

DEPARTEMEN : SOSIOLOGI

JUDUL : POLA INTERAKSI KELUARGA YANG

BEREBEDA AGAMA TERHADAP KELUARGA

ASALNYA.

(Studi Kasus : Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab. Siak, Riau)

DOSEN PEMBIMBING               SEKRETARIS DEPARTEMEN 

Dra. ROSMIANI, MA Dra. ROSMIANI, MA

Nip. 196002261990032002 Nip. 196002261990032002

DEKAN

(3)

Pola Interaksi Keluarga Yang Berbeda Agama Terhadap Keluarga Asalnya (Studi Kasus: Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab.

Siak, Riau)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana interaksi keluarga yang berbeda agama itu terhadap keluarga asalnya. Untuk mengetahui bagaimana pola hubungan sistem kekerabatan susku-suku yang ada di Kelurahan Minas Jaya.

Dalam memperoleh data tersebut penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat studi kasus (Case Study). Dimana penulis melakukan observasi langsung. Melakukan wawancara dan dokumentasi serta didukung dengan studi kepustakaan.

(4)

Halaman

KATA PENGANTAR ………... i

ABSTRAK ……….. iv

DAFTAR ISI ………... v

DAFTAR TABEL ………. vii

DAFTAR BAGAN ……….... Viii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 9

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 9

1.4. Manfaat Penelitian ……… 10

1.5. Defenisi Konsep ………. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Interaksi Sosial ……….. 13

2.2. Perspektif Teori Struktural Fungsional ………. 17

2.3. Adaptasi Sosial ………. 20

2.4. Sosialisasi Dalam Keluarga ………. 22

2.5. Teori Pilihan Rasional ………. 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ……… 27

3.2. Lokasi Penelitian ………. 27

(5)

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……….. 29

3.5. Interpretasi Data ……….. 30

3.6. Jadwal Penelitian ……….. 31

3.7. Keterbatasan Penelitian ……… 32

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ……….. 33

4.2. Profil Informan ………. 41

4.3. Pandangan Keluarga Batak Toba Mengenai Agama ……… 51

4.4. Pandangan Keluarga Mengenai Sistem Kekerabatan …….. 53

4.5. Interpretasi Data ……… 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………. 78

5.2. Saran ……… 79 DAFTAR PUSTAKA

PEDOMAN WAWANCARA

DAFTAR INFORMAN

(6)

Pola Interaksi Keluarga Yang Berbeda Agama Terhadap Keluarga Asalnya (Studi Kasus: Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab.

Siak, Riau)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana interaksi keluarga yang berbeda agama itu terhadap keluarga asalnya. Untuk mengetahui bagaimana pola hubungan sistem kekerabatan susku-suku yang ada di Kelurahan Minas Jaya.

Dalam memperoleh data tersebut penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat studi kasus (Case Study). Dimana penulis melakukan observasi langsung. Melakukan wawancara dan dokumentasi serta didukung dengan studi kepustakaan.

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Setiap manusia dilahirkan seorang diri, tetapi manusia adalah makhluk sosial yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup bermasyarakat dalam kelangsungan hidupnya. Manusia yang berbeda jenis kelamin juga saling membutuhkan untuk dijadikan teman hidupnya, karena setiap manusia memiliki kebutuhan atau dorongan naluri akan makanan dan seks. Kebutuhan seks dapat terpenuhi apabila seseorang telah memperoleh atau mendapatkan haknya sebagai suami istri.

Hak sebagai suami istri dapat diperoleh manusia yang berbeda jenis kelamin dengan sebuah perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu dari jenjang kehidupan disepanjang hidupnya. Karena perkawinan adalah saat peralihan yang terpenting dari semua manusia diseluruh dunia dan hal itu dimulai dari tingkat remaja ketingkat berkeluarga.

(8)

Menurut Suyono (1985:315) perkawinan adalah suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa saling mengadakan ikatan hukum adat atau agama dengan maksud bahwa mereka saling memelihara hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu relatif lama. Laki-laki dan perempuan yang telah diikat dalam perkawinan biasanya mempunyai tujuan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami istri saling membantu dan melengkapi. Perkawinan merupakan masa yang penting dalam perjalanan hidup manusia, oleh karena itu harus benar-benar dipikirkan dengan siapa akan melangsungkan perkawinan, bagaimana adat istiadat yang dianut dan bagaimana perkawinan itu akan dilaksanakan.

Dalam perkawinan pasangan suami istri mengikat dirinya pada persetujuan umum yang diakui, untuk setia mentaati peraturan dan ketentuan-ketentuan didalam masyarakat, mereka secara timbal balik, terhadap anak-anaknya, sanak keluarganya dan terhadap orang lain dalam masyarakat. Dari perkawinan laki-laki dan perempuan inilah terbentuk suatu lembaga baru yaitu lembaga keluarga.

Pengertian keluarga menurut Burgess dan Locke (Khairuddin, 1997:6) adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; merupakan susunan rumah tangga sendiri; berinteraksi dan komunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan; dan merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama.

(9)

Adapun keluarga luas (Extended Family) adalah keluarga yang terdiri atas beberapa keluarga batih. keluarga sebagai unit terkecil, memerlukan organisasi tersendiri dan karena itu perlu adanya peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga. Keluarga terdiri dari beberapa orang, secara otomatis akan terjadi interaksi antara anggotanya. Interaksi dalam keluarga juga akan menentukan dan berpengaruh terhadap keharmonisan atau sebaliknya tak bahagia.

Manusia telah mempunyai naluri untuk bergaul dengan sesamanya semenjak dia dilahirkan didunia. Hubungan dengan sesamanya merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia, oleh karena dengan pemenuhan kebutuhan tersebut dia akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tanpa berhubungan dengan manusia lain manusia tidak akan dapat bertahan untuk hidup. Hubungan timbal balik di antara manusia disebut juga sebagai interaksi sosial. Interaksi sosial adalah dasar dari proses sosial, pengertian mana menunjukkan pada hubungan sosial yang dinamis.

Didalam bukunya Phychologi social, Gerungan, mengutip H. Bonner mengemukakan interaksi sosial ialah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya (Ishomuddin,2005:163).

(10)

Saat ini sudah mengalami perkembangan zaman, masuknya unsur-unsur kebudayaan baru dan hasil interaksi dengan berbagai suku bangsa mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama pada masyarakat Batak Toba, bentuk-bentuk perkawinan tidak lagi murni hanya didasarkan pada ketentuan adat. Karena sudah mendapat pengaruh dari luar seperti unsur agama dan pengaruh kebudayaan lain, sistem kekerabatan sudah mulai longgar.

Sejak dahulu masyarakat Batak Toba sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan. Adat yang sebagaian dari kebudayaan itu dianggap sebagai aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia, sehingga bisa menciptakan keteraturan, ketentraman, dan keharmonisan. Nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat Batak Toba dapat dilihat dan dapat dirasakan dalam bentuk salah satu aspek sistem kemasyarakatan dan sistem kekerabatannya. Nilai-nilai budaya ini dapat merupakan aturan-aturan yang menjadi pegangan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Batak Toba yang menyangkut hubungan antara anak dan ayah, anak dengan ibu, saudara dengan saudara, kemenakan dengan paman, hubungan ipar dengan besan, antara menantu dengan mertua, hubungan antara individu dengan individu dan lain-lain. Oleh karena itu perkawinan pada masyarakat Batak Toba tidak boleh melanggar sistem kemasyarakatan atau kekerabatannya.

(11)

(Koentjaraningrat,1979:102) perkawinan masyarakat Batak Toba merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi juga mengikat dalam suatu hubungan tertentu, kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si perempuan.

Proses perkawinan orang Batak tidak lepas dari agama. Acara-acara permulaan biasanya dilakukan dengan cara agama, maka penting untuk kedua belah pihak supaya menyelesaikan masalah perbedaan agama terlebih dahulu. Dalam kasus Batak Toba yang mayoritas beragama Kristen, laki-laki diberkati dengan cara Kristen, hal itu berarti, jika agama kedua belah pihak berbeda, maka perbedaan agama antara kedua calon mempelai, biasanya mereka diselesaikan dengan cara salah satunya pindah agama, sedangkan penyelesaian adat-istiadat diatur berdasarkan kesepakatan keluarga kedua belas pihak.

(12)

Beraneka ragam alasan yang menyebabkan orang akhirnya memutuskan untuk berpindah agama. Tetapi satu hal yang pasti adalah bahwa mereka telah menemukan kebenaran yang mereka cari, bermula dari ketidakpuasan atas keyakinan sebelumnya. Meski ada pula orang yang berpindah agama hanya untuk legalitas saja untuk syarat pernikahan atau bahkan justru ada pula orang untuk mencari kelemahan dan menghancurkan dari dalam. Hal yang tidak mudah ketika seseorang akhirnya memutuskan untuk memeluk agama yang berbeda dengan keluarga asalnya. Tentu ada berbagai pertimbangan dan kehati-hatian dalam menentukan pilihan tersebut. Keberagamaan memang urusan individu, namun implikasi dan konsekuensinya tentu berkaitan dengan urusan sosial. Sehingga dititik awal, keberanian mereka untuk mengubah keyakinan merupakan keputusan yang benar-benar patut dihargai. Berani mengetahui, berani belajar, berani yakin, dan berani berubah merupakan hal-hal yang patut mendapatkan perhatian khusus.

Perbedaan agama dalam keluarga memang bukan merupakan hal yang baru lagi di masyarakat Indonesia yang multi kultural. Perbedaan agama di dalam keluarga selalu saja menuai kontraversi dan polemik dikalangan masyarakat umum. Munculnya pro dan kontra dari kedua pihak keluarga pasangan secara mengejutkan bisa diatasi tanpa halangan yang berarti, begitu juga dengan dilingkungan sekitar tempat tinggal pasangan.

(13)

berintrospeksi dan bertanya kepada diri kita masing-masing, apakah diri kita memang sudah benar-benar memeluk agama kita sepenuhnya dengan keyakinan kita? (http://www.percikaniman.com/mapi/index.php?option=content&task=view&id=131&Ite mid=64).

(14)

kurang lebih setahun lamanya tidak ada komunikasi dengan keluarga besar beliau. Pada suatu hari mendapat telpon dari orang tuanya yang mengabarkan bahwa keadaan ibunya semakin parah dan beliau meminta mereka semua pulang ke Balige. Beliau pun beserta suami dan anaknya yang pertama yang masih berusia delapan bulan pulang Ke Balige. Kesan waktu pertama kali pulang ke balige, merasa bahwa sudah tidak ada masalah lagi antara beliau dengan keluarga besar di Balige, beliau merasa bahwa beliau sudah diterima oleh keluarga besar beliau. Tapi ternyata kesan beliau itu salah besar, hal itu baru beliau rasakan beberapa tahun kemudian ketika mereka sekeluarga didera kesulitan ekonomi (http://groups.yahoo.com/group/mualafindonesia/message/398).

Dalam penelitian ini ada beberapa alasan yang membuat peneliti merasa tertarik untuk mengangkat pola interaksi keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya, yaitu dengan adanya perbedaan keyakinan dalam keluarga asalnya menimbulkan permasalahan didalam keluarga, seperti terjadinya suatu pengucilan, komunikasi yang kurang lancar, serta hubungan antara orang tua dan anak dan juga lingkungan kurang harmonis.

(15)

penyimpangan terhadap adat istiadat Batak seperti melakukan perpindahan agama, dikarenakan dianggap membahayakan garis keturunannya akan berkurang. Hal ini yang membuat peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian, agar mengetahui apakah beda agama berlaku didalam suatu keluarga terutama pada masyarakat Batak Toba. Selanjutnya adanya anggapan dari masyarakat lingkungan sekitar bahwa beda agama membawa dampak positif bagi keluarga, pendapat ini perlu dikaji melalui penelitian Sosiologi.

1.2Perumusan Masalah

Sesuai dengan pemaparan latar belakang yang diuraikan diatas, adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya?

1.3Tujuan Penelitian

(16)

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah: 1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melatih dan menambah wawasan ilmiah bagi mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa sosiologi serta dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan teori mengenai pola interaksi keluarga yang berbeda agama dengan keluarga asalnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bagi si peneliti dalam memenuhi penelitian ini dan dapat menjadi bahan rujukan/referensi bagi penelitian yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini.

1.5Defenisi Konsep

(17)

Adapun beberapa konsep penting dalam penelitian ini adalah: 1. Pola

Pola adalah standarisasi, pengulangan, organisasi atau arah dari perilaku. Pengertiannya dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk hubungan dan gambaran perilaku yang dilakukan oleh keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya.

2. Interaksi sosial

Interaksi Sosial adalah hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok, maupun antara individu dengan kelompok. Dalam hal ini peneliti melihat bagaimana hubungan interaksi sosial keluarga yang berbeda agama terhadap keluarga asalnya dan juga interaksi sosial keluarga yang berbeda agama terhadap lingkungan sekitar melalui sikap dan pola tingkah laku didalam kehidupan sehari-hari.

3. Keluarga

(18)

4. Keluarga Asal

Maksud dari keluarga asal dalam penelitian ini adalah keluarga yang ditinggal oleh keluarga yang berbeda agama itu sendiri.

5. Berbeda agama

Berbeda agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keluarga yang berpindah agama yang dulunya menganut agama yang sama dengan keluarga intinya tetapi karena alasan tertentu ia berpindah agama atan beda agama dari keluarga intinya.

6. Suku Batak Toba

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Interaksi Sosial

Pengertian tentang interaksi sosial sangat berguna di dalam memperhatikan dan mempelajari berbagai masalah masyarakat. Seperti di Indonesia dapat dibahas mengenai bentuk-bentuk interaksi sosial yang berlangsung antara pelbagai suku-bangsa, antara golongan-golongan yang disebut mayoritas dan minoritas, dan antara golongan terpelajar dengan golongan agama dan seterusnya.

Interaksi sosial berasal dari bahasa latin: Con atau Cum yang berarti bersama-sama, dan tango berarti menyentuh, jadi pengertian secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Interaksi sosial adalah proses dimana orang-orang yang berkomunikasi saling mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan (Zainal,1997:98).

Teori ini melihat kehidupan sosial sebagai suatu proses dari interaksi. Interaksi dilihat sebagai sesuatu yang penting untuk dipertahankan dan dipelihara, dan merubah perilaku, makna, dan bahasa. Dengan kata lain perkataan melalui interaksi dengan cepat dan mudah seseorang dapat mengetahui tentang sesuatu yang diinginkannya (Danandjaja, 2001:12).

(20)

hakekat interaksi terletak dalam mengarahkan kelakuan kepada orang lain. Yang harus ada orientasi timbal balik antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Menurut Bonner dalam Gunawan (2000:31), interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua orang atau lebih, sehingga kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, dan sebaliknya. Menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack dalam Soekanto (2000:67), interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Dalam kehidupan bersama setiap individu dengan individu lainnya harus mengadakan komunikasi yang merupakan alat utama bagi sesama individu untuk saling kenal dan bekerja sama serta mengadakan kontak fisik dan non fisik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam bukunya Sosiologi suatu pengantar, Soekanto (2000:67), mengutip defenisi Gillin dan Gillin, yaitu interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok, maupun antara individu dengan kelompok.

Menurut Soekanto (2000:71) suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu:

1. Kontak Langsung 2. Komunikasi

(21)

melalui pembicaraan, gerak dan isyarat. Sedangkan kontak tidak langsung adalah lewat tulisan atau bentuk-bentuk komunikasi jarak jauh seperti telepon, chatting, dan sebagainya. Setelah terjadi kontak langsung muncul komunikasi. Terjadinya kontak belum berarti telah ada komunikasi, oleh karena komunikasi itu timbul apabila seorang individu memberikan tafsiran pada perilaku orang lain. Dalam tafsiran itu lalu seseorang mewujudkan perilaku dimana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain.

Adapun ciri-ciri dari interaksi sosial adalah:

1. Jumlah pelakunya lebih dari seorang, biasanya dua atau lebih.

2. Adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol-simbol.

3. Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini, dan akan datang, yang menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung.

4. Adanya suatu tujuan tertentu.

2.1.1. Konflik atau pertikaian

(22)

Pada umumnya pertentangan merupakan proses dissisiatif (persaingan yang tajam), akan tetapi adakalanya pertentangan tersebut mempunyai fungsi di dalam masyarakat yang menimbulkan akibat yang positif. Pertentangan mempunyai beberapa bentuk antara lain:

a. Pertentangan pribadi, yaitu dimulai sejak berkenalan, sudah saling tidak menyukai dan apabila dikembangkan maka akan timbul rasa saling membenci dan masing-masing pihak berusaha memusnahkan pihak lawannya.

b. Pertentangan sosial, yaitu pertentangan yang bersumber dari ciri-ciri badanlah dan juga karena perbedaan kepentingan kebudayaan.

c. Pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu yang disebabkan karena perbedaan kepentingan, seperti buruh dengan majikan.

Simmel dalam Ihromi (1999:177) mengatakan bahwa hubungan suami istri dalam perkawinan dapat dikatakan sebagai hubungan dua orang, yang secara kualitatif memiliki perbedaan dengan kelompok yang beranggotakan lebih dari dua orang. Sebab hidup matinya kelompok ini hanya tergantung pada kedua orang tersebut. Bila kedua belah pihak berkeinginan untuk mempertahankan kebutuhan keluarganya dengan sendirinya kesewenang-wenangan dari salah satu pihak tidak akan terjadi, tetapi sebaliknya jika salah satu pihak melakukan kesewenang-wenangan akan mudah membubarkan kelompok atau keluarga ini.

(23)

disharmonisasi keluarga karena jika didalam keluarga antara orang tua dan anak bermasalah maka seluruh interaksi didalam keluarga akan berpengaruh sehingga kebahagiaan didalam keluarga akan mengalami hambatan.

Dalam keluarga yang efektif, kepentingan utama terletak pada kesatuan. Apabila terdapat kesatuan maka keluarga tersebut akan terorganisasi. Tetapi apabila tidak adanya kesatuan maka keluarga telah mengalami disorganisasi. Runtuhnya kesatuan dapat disebabkan perselisihan dalam keluarga, yang membuat hubungan sulit untuk serasi (harmonis) walaupun hubungan yang formal dari keluarga mungkin tidak pernah terjadi (Khairuddin,1997:111).

2.2. Perspektif Teori Struktural Fungsional

Perspektif teori strukturakl fungsional dipandang sebagai perspektif teori yang sangat dominan dalam perkembangan sosiologi dewasa ini. Seringkali, perspektif ini disamakan dalam teori sistem, teori ekuilibrium. Konsep yang penting dalam perspketif ini adalah struktur dan fungsi, yang menunjuk pada dua atau lebih bagian atau komponen yang berbeda dan terpisah tetapi berhubungan satu sama lain.

(24)

negatif bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_struktural_fungsional).

Struktur sosial terdiri dari berbagai komponen dari masyarakat, seperti kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, masyarakat setempat/lokal dan sebagainya. Kunci untuk memahami konsep struktur adalah konsep status (posisi yang ditentukan secara sosial, yang diperoleh baik karena kelahiran (ascribed status maupun karena usaha (achieved status) seseorang dalam masyarakat). Jaringan dari status sosial dalam masyarakat merupakan sistem sosial, misalnya jaringan status ayah-ibu-anak menghasilkan keluarga sebagai sistem sosial, jaringan pelajar-guru-kepala sekolah-pegawai tata usaha menghasilkan sekolah sebagai sistem sosial, dan sebagainya. Setiap status memiliki aspek dinamis yang disebut dengan peran (role) tertentu, misalnya seorang yang berstatus ayah memiliki peran yang berbeda dengan seseorang yang berstatus anak.

Setiap sistem sosial pada dasarnya memiliki dua fungsi utama, yaitu : (1) apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu dan (2) konsekuensi-konsekuensi yang berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu (fungsi lanjutan).

(25)

kekerasan dan perlakuan kasar atau penyiksaan pada anak dan juga keluarga yang berbeda agama di dalam keluarga intinya.

Para penganut perspektif struktural fungsional ini berusaha untuk mengetahui bagian-bagian atau komponen-komponen dari suatu sistem dan berusaha memahami bagaimana bagian-bagian ini saling berhubungan satu sama lain suatu susunan dari bagian-bagian tersebut dengan melihat fungsi manifes maupun fungsi latennya. Kemudian mereka melakukan analisis mengenai manakah yang memberi sumbangan bagi terciptanya kelestarian sistem dan manakah yang justru menyebabkan kerusakan pada sistem. Dalam hal ini dapat saja suatu komponen menjadi fungsional dalam suatu sistem, tetapi menjadi tidak fungsional bagi sistem yang lain. Misalnya ketaatan pada suatu agama merupakan sesuatu yang fungsional dalam pembinaan umat beragama, tetapi tidak fungsional bagi pengembangan persatuan berbagai etnik yang beragam agamanya.

Analisis Robert Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan sebagai rangkaian nilai normatif teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikan sebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan mempengaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat disfungsi ketat antara norma-norma dan tujuan budaya (cultural) yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut.

(26)

melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kritis tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa Teori Structural Fungsionalisme ini harus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya.

Struktur yang selalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Jika ada keteraturan maka harus siap dengan ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status didalamnya tapi kaitan dalam peran. Anomi atau disfungsi cenderung dipahami ketika peran dalam struktur berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai faktor. Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih besar.

Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk kedalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih, menunjukkan kelakuan non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_struktural_fungsional)

2.3. Adaptasi Sosial

(27)

mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan pribadi (Gerungan,1991:55). Menurut Suparlan, adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan.

Dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, individu tidak dapat begitu saja untuk melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya, karena individu tersebut mempunyai lingkungan diluar dirinya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Dan lingkungan ini mempunyai aturan dan norma-norma yang membatasi tingkah laku individu tersebut.

Penyesuaian diri terhadap lingkungan fisik sering disebut dengan istilah adaptasi, dan penyesuaian diri dengan lingkungan sosial disebut dengan adjustment. Adaptasi lebih bersifat fisik, dimana orang berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, karena hal ini lebih banyak berhubungan dengan diri orang tersebut. tingkah lakunya tidak saja harus menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan lingkungan sosialnya (adjustment).

Soerjono Soekanto (Soekanto,2000:10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yaitu:

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.

(28)

Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan. Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut, Aminuddin menjelaskan bahwa penyesuaian dilakukan dngan tujuan-tujuan tertentu (Aminuddin,2000:38), antara lain:

1. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. 2. Menyalurkan ketegangan sosial.

3. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial. 4. Bertahan hidup.

2.4. Sosialisasi Dalam Keluarga

Proses awal ataupun proses dasar pembentukan anak terutama dalam lingkungannya yang terdekat yakni dari keluarga. Proses pembentukan ini didapat karena belajar dari lingkungan. Dalam hal ini tentu si anak berinteraksi dengan orang lain.

Proses belajar ini diistilahkan dengan proses sosialisasi yaitu proses yang membantu individu dengan melalui proses belajar dan penyesuaian diri, bagaimana cara hidup dan cara berpikir dari kelompok tersebut. Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola, nilai dan tingkah laku, dan standar tingkah laku dalam masyarakat dimana dia hidup (Khairuddin,1997:63). Sosialisasi adalah suatu proses, dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat menjadi anggota.

(29)

sosialisasi ialah peran-peran. Oleh sebab itu teori sosialisasi adalah merupakan teori mengenai peran (Sunarto,2004:23). Karena kemampuan seseorang untuk mempunyai diri untuk berperan sebagai anggota masyarakat tergantung pada sosialisasi. Oleh karena itu seseorang yang tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain. Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia.

Keluarga adalah kelompok pertama yang mengenalkan nilai-nilai kebudayaan kepada si anak dan disinilah dialami antar aksi dan disiplin pertama yang dikenakan kepadanya dalam kehidupan sosial. Dalam kehidupan masyarakat dimana pun juga, keluarga merupakan unit terkenal yang peranannya sangat besar. Peranan yang sangat besar itu disebabkan oleh karena keluarga (yakni keluarga batih) mempunyai fungsi yang sangat penting didalam kelangsungan kehidupan masyarakat. Fungsi yang sangat penting itu terdapat pada peran dalam melakukan sosialisasi, yang bertujuan untuk mendidik warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dianut, untuk pertama kalinya diperoleh dalam keluarga.

(30)

2.5. Teori pilihan Rasional

Teori pilahan rasional umumnya berada dipinggiran aliran utama sosiologi tahun 1989 dengan tokoh yang cukup berpengaruh adalah Coleman, ia mendirikan jurnal Rationality and Society yang bertujuan menyebarkan pemikiran yang berasal dari perspektif pilihan rasional. Teori pilihan rasional (Coleman menyebutkan ”Paradikma tindakan rasional”) adalah satu-satu yang menghasilkan integrasi berbagai paradikma sosiologi. Coleman dengan yakin menyebutkan bahwa pendekatannya beroprasi dari dasar metodelogi individualisme dan dengan menggunakan teori pilihan rasional sebagai landasan tingkat mikro untuk menjelaskan fenomena tingkat makro.

Teori pilihan rasional oleh James S, Coleman adalah tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktor pun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor.

(31)

ekonomi dimana memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka (Ritzer,2004:394).

Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Coleman mengakui bahwa dalam kehidupan nyata orang tak selalu berprilaku rasional, namun ia merasa bahwa hal ini hampir tak berpengaruh terhadap teorinya. Pemusatan perhatian pada tindakan rasional individu dilanjutkannya dengan memusatkan perhatian pada masalah hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individu menimbulkan prilaku sistem sosial. Meski seimbang, namun setidaknya ada tiga kelemahan pendekatan Colemans. Pertama ia memberikan prioritas perhatian yang berlebihan terhadap masalah hubungan mikro dan makro dan dengan demikian memberikan sedikit perhatian terhadap hubungan lain. Kedua ia mengabaikan masalah hubungan makro-makro. Ketiga hubungan sebab akibatnya hanya menunjuk pada satu arah, dengan kata lain ia mengabaikan hubungan dealiktika dikalangan dan di antara fenomena mikro dan makro (Ritzer,2004:394-395).

(32)

dampaknya diketahui, keputusannya sudah rasional). Keyakinan akan dikatakan bila sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Untuk membuktikan bahwa sebuah tindakan adalah rasional, kita harus menunjukkan sebuah deret dimana tindakan tersebut dipandang sebagai terberi (given) tapi segala sesuatu yang lain harus dibenarkan atau dicarikan alasannya (yaitu penjelasan mengapa individu mengambil tindakan tertentu, mengapa individu memiliki keyakinan tertentu).

(http://henkysosiologi.blogspot.com/2009/06/teori-pilihan-rasional-james-s-coleman.html).

(33)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif yang bersifat studi kasus. Bogdan dan Taylor mendefenisikan bahwa metode penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati (Moleong, 2005: 4). Penelitian studi kasus (Case Study) adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam. mendetail dan komprehensif (secara menyeluruh), latar belakang, status terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti individu, kelompok, lembaga, atau komunitas (Azwar, 2004: 8).

Ditinjau dari wilayahnya, maka penelitian studi kasus hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit (Arikunto, 2002: 120). Cara penelitian ini adalah memusatkan perhatian pada peristiwa-peristiwa, gejala-gejala, fenomena-fenomena tertentu yang terjadi dalam masyarakat, kelompok-kelompok sosial maupun individu. Pendekatan terhadap suatu kasus tertentu secara umum tujuannya adalah untuk mempelajari secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif (secara menyeluruh), latar belakang, status terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti individu, kelompok, lembaga, atau komunitas (Azwar, 2004: 8).

3.2.Lokasi Penelitian

(34)

perbedaan agama didalam keluarga di Minas Jaya dianggap sudah tidak asing lagi dalam sosial di masyarakat. Selain itu juga lokasi penelitian mudah dijangkau oleh peneliti dan masyarakat yang berada di daerah tersebut dapat membantu dalam proses pengumpulan data dalam penelitian.

3.3. Unit Analisis dan Informan Penelitian

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah keluarga yang berbeda agama yang berada di daerah lokasidi Kelurahan Minas Jaya, Kec. Minas, Kab. Siak, Riau. Pemilihan informan ditentukan dengan cara menggunakan metode snowball sampling. Tehnik ini digunakan jika peneliti tidak memiliki informasi tentang anggota populasi. Peneliti hanya memiliki satu nama populasi. Dari nama ini peneliti akan memperoleh nama-nama lainnya. Tehnik ini biasanya digunakan jika kita meneliti kasus yang sensitif atau rahasia (Prasetyo,2005:135).

Adapun karakteristik informan dalam penelitian ini adalah: a. Informan Kunci

Informan kunci dalam penelitian ini adalah keluarga yang berbeda agama didalam keluarga asalnya.

b. Informan Biasa

(35)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu:

a. Observasi Langsung

Observasi langsung merupakan pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada objek penelitian. Observasi ini bertujuan untuk memperoleh data yang dapat mendukung dari hasil wawancara mendalam. Aspek yang diobservasi, antara lain : interaksi kehidupan sosial keluarga yang berbeda agama dengan keluarga asalnya. b. Wawancara Mendalam

(36)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Metode dokumentasi yang diterapkan ialah dengan cara mengumpulkan berbagai bahan, data, literatur dan tulisan yang berhubungan dengan interaksi keluarga yang berbeda agama dengan keluarga asalnya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumenter yaitu pengamatan terhadap gejala-gejala objek yang diteliti dengan mengumpulkan dokumen, bahan referensi, majalah, jurnal dan internet yang berkaitan dengan segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian.

3.5.Interpretasi Data

Bogdan dan Biklen menjelaskan bahwa interpretasi data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2005: 248).

Selain itu interpretasi data juga merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang diperoleh dari lapangan (Moleong, 2005: 151).

(37)

seluruh data terkumpul, maka dilakukan interpretasi data yang mengacu pada tinjauan pustaka, sedangkan hasil observasi diuraikan dan dinarasikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi data secara keseluruhan. Dari berbagai data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya akan dapat diperoleh kesimpulan dari penelitian ini.

3.6. Jadwal Penelitian

Tabel 3.1

Jadwal Kegiatan Penelitian

Kegiatan Bulan I Bulan II Bulan III

Pra Penelitian:

- Penyusunan Proposal - Perbaikan Proposal Persiapan:

gurusan Izin

- Persiapan Instrumen Penelitian Penelitian:

- Observasi - Wawancara Pasca Penelitian:

(38)

3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian terutama disebabkan karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian ilmiah. Salah satu kendala yang dihadapi adalah terbatasnya waktu yang dimiliki informan untuk melakukan wawancara, hal ini disebabkan padatnya aktifitas informan. Hal ini tersebut dapat dimengerti karena umumnya informan atau keluarga pada masyarakat Batak Toba khususnya pada masyarakat Batak Toba yang berada di Kelurahan Minas Jaya, Kecamatan Minas mempunyai aktifitas kerja yang padat, seperti bekerja dan berdagang, oleh sebab itu waktu yang informan luangkan kepada peneliti relatif singkat. Ini yang membuat peneliti harus pintar dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan wawancara dengan informan.

(39)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Sejarah Singkat

Pada awalnya penduduk asli di Minas Jaya merupakan Suku Sakai. Kehidupan Suku Sakai diawal perkembangannya masih sangat primitif dan tradisional, ini tampak dalam kurangnya pemahaman mereka akan pengetahuan dan nilai-nilai modernisasi yang lambat laun mengalami pergeseran dalam bidang kemasyarakatannya oleh penduduk suku lainnya seperti Suku Minang, Suku Batak, dan Suku Jawa. Akibatnya suku-suku yang menempati daerah-daerah Minas tersebut adalah suku-suku-suku-suku dari perantauan. Karena banyaknya suku-suku timbullah suatu perbedaan pendapat dan karekteristik diantara setiap masyarakatnya sehingga mendatangkan perselisihan dalam memperebutkan suatu lahan tanah, oleh sebab itu Minas terbagi menjadi dua bagian yaitu Minas Timur dan Minas Barat. Minas Timur terbagi tiga Kecamatan yaitu: Minas Jaya, Lubuk Dalam, dan Kota Gasip.

(40)

dengan daerah lainnya yang berada diwilayah Riau. Hal ini disebabkan karena Minas Jaya dahulunya memiliki sumur bersejarah yang bernama 6D 55 yang kaya akan ladang minyaknya seperti minyak mentah dan minyak kelapa sawit. Pada Tahun 1970-1980 prestasi ladang minyak Minas Jaya memberi sumbangan besar dengan rata-rata yang diproduksi, ditafsirkan sekitar 1.000.000 - 4.000.000 bopd (barrel oil per day) bagi produksi minyak mentah di Indonesia. Kepala Wilayah Minas Jaya dipimpin oleh seorang Camat, kemudian dibantu oleh Kepala Kelurahan selanjutnya diteruskan oleh RW dan terakhit oleh RT (Sumber: Kantor kelurahan Minas Jaya, 2009).

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah

4.1.2.1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis

Kondisi iklim di Minas Jaya Kecamatan Minas adalah panas karena terletak di ketinggian 20 meter diatas permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 230C - 260C.

4.1.2.2. Batas Wilayah dan Jarak Wilayah

Batas wilayah Minas Jaya adalah 96 km2, beserta batas-batas wilayah Minas Jaya adalah:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Minas Barat

(41)

Jarak dari pusat pemerintahan (orbitasi) Minas Jaya:

1. Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan : 4 km 2. Jarak dari pusat pemerintahan Kota Administratif : - km 3. Jarak ibu kota Kabupaten/Kota Madya Dati II : 120 km 4. Jarak ibu kota Propinsi Dati I : 30 km

5. Jarak ibu kota Negara : - km

4.1.3. Komposisi Penduduk

4.1.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku

Persentasi jumlah penduduk di Minas jaya yang paling besar masyarakatnya adalah suku Minang yaitu sebesar 50%, diikuti jumlah persentase yang terbesar kedua adalah suku Batak yaitu sebesar 45% dan yang paling sedikit jumlah persentase sukunya adalah suku Jawa yaitu sebesar 5%. Hal ini disebabkan karena suku Jawa masih pendatang baru. (Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009)

4.1.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

Tabel 4.1

Persentase penduduk berdasarkan agama

No Agama Jumlah/Orang Persentase (%)

1. Islam 9911 90

2. Kristen Protestan 993 9

3. Katolik 105 1

4. Budha 5 -

Jumlah 11.014 100

(42)

Berdasarkan jumlah persentase penduduk dan penyebaran agama di Minas Jaya, mayoritas agama yang dianut adalah agama Islam. Sementara agama yang terbanyak kedua adalah Kristen Protestan yang hampir rata-rata adalah suku Batak, sedangkan Katolik kebanyakan dianut oleh kaum turis (bule). Sedangkan agama minoritas di Minas Jaya adalah agama Budha, karena jumlah penduduknya sedikit.

4.1.3.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Tabel 4.2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jenis Pendidikan Jumlah/Siswa

Umum Khusus

1. Kelompok Bermain √ 52

2. Taman Kanak-kanak √ 280

3. Sekolah Dasar √ 567

4. Pondok Pesantren √ 54

5. S.M.P √ 448

6. Madrasah √ 231

7. S.M.A √ 756

Jumlah 2388 Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009

(43)

4.1.3.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Usia

Tabel 4.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Usia

No Usia/Tahun Jenis Usia Jumlah/Orang

Pendidikan Tenaga Kerja

1. 04 - 06 √ - 332

2. 07 - 12 √ - 567

3. 13 - 15 √ - 1204

4. 20 - 26 - √ 2456

5. 27 - 40 - √ 544

Jumlah 5103 Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009

(44)

4.1.3.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Tabel 4.4

Persentase Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

1. Karyawan 3751 58

2. Wiraswasta 2315 36

3. Petani 175 3

4. Pertukangan 81 1

5. Buruh Tani 52 1

6. Pensiunan 63 1

7. Pemulung 26 -

Jumlah 6463 100

Sumber : Kantor Keluruhan Minas Jaya, 2009

(45)

4.1.4. Sarana dan Prasarana

4.1.4.1. Sarana Kesehatan

Tabel 4.5

Jumlah Sarana Berdasarkan Tempat Kesehatan

No Sarana kesehatan Jumlah

1. Puskesmas 1

2. Klinik 2

Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009

Sarana kesehatan yang terdapat pada Minas Jaya terdiri dari dua fasilitas yaitu puskesmas dan klinik. Mayoritas masyarakat di Minas Jaya lebih banyak berobat ke klinik, hal ini disebabkan karena fasilitas peralatan dan perawatan dalam bidang obat-obatan lebih terjamin dibandingkan dengan perawatan yang didapat pada puskesmas. Oleh sebab itu pemerintah daerah menyediakan dua buah sarana klinik.

4.1.4.2 Sarana Ibadah

Tabel 4.6

Jumlah Sarana Berdasarkan Tempat Ibadah

No Sarana Tempat Ibadah Jumlah

1. Masjid 4

2. Musholah 23

3. Gereja 5

(46)

Didaerah Minas Jaya, memang terdapat masyarakatnya penganut agama Budha, tetapi mereka melakukan ibadah di rumah mereka masing-masing seperti acara besar agama Budha yaitu Waisak ini dilakukan dengan cara berdoa bersama keluarga didalam rumah mereka masing-masing

4.1.4.3. Sarana Pendidikan

Tabel 4.7

Jumlah Sarana Berdasarkan Tempat Pendidikan

No Sarana Pendidikan Jumlah

1. Kelompok Bermain 2

2. Taman Kanak-kanak 3

3. Sekolah Dasar 2

4. Sekolah Menengah Pertama 3

5. Sekolah Menengah Atas 2

6. Pondok Pesantren 2

7. Madrasah 3

Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009

(47)

4.1.4.4. Sarana Angkutan

Tabel 4.8

Jumlah Sarana Berdasarkan Jenis Angkutan

No Jenis Angkutan Jumlah

1. Angkutan Umum 1

2. Bus Sekolah 1

3. Ojek/Becak 1

Sumber : Kantor Kelurahan Minas Jaya, 2009

Jenis angkutan yang ada di Minas Jaya yang paling sering digunakan masyarakatnya adalah sarana angkutan umum baik dari kalangan atas maupun bawah. Sedangkan sarana bus sekolah digunakan untuk anak sekolah yang jarak sekolah jauh dari rumah mereka. Ini dikarenakan angkutan umum lebih sering berhenti utnuk menaikkan dan menurunkan penumpang sehingga membuat anak menjadi terlambat sampai ke sekolah. Oleh sebab itu pemerintah daerah menyediakan sarana bus sebagai sarana alat transportasi untuk anak sekolah.

4.2. PROFIL INFORMAN

(48)

4.2.1. Profil Informan Keluarga Yang Berbeda Agama dari Keluarga Asalnya

4.2.1.1. B. Sihombing

Bapak B. Sihombing adalah seorang pria yang berusia 45 tahun, yang memiliki 6 orang anak. Beliau bekerja sebagai anggota Satgas Pancasila. Dahulunya bapak B. Sihombing menganut agama Kristen Protestan bersama dengan istri pertamanya, karena hubungan keduanya sudah tidak akur dan tidak memiliki kecocokan maka bapak B. Sihombing memutuskan untuk bercerai. Pada tahun 1997, B. Sihombing menikah lagi dengan seorang wanita yang menganut agama Islam. Hal tersebut yang membuat beliau berpindah agama menjadi penganut agama Islam, dengan kata lain beliau mengikut agama sang istri. Meskipun bapak B. Sihombing sudah berbeda agama dari keluarga kandungnya, beliau masih mau menjenguk atau berinteraksi kepada keluarganya dan keluarga besarnya, walaupun pada awalnya ia tidak diterima terutama mantan istri pertamanya dan anak-anaknya.

4.2.1.2. F. br Pasaribu

(49)

dan anak pertama ibu tersebut mengucilkan bahkan menjauhinya seperti tidak mengundang beliau ke acara besar marga Pasaribu yang berkebetulan ibu F. br Pasaribu adalah bersuku Batak.

4.2.1.3. R. br Tambunan

R. br Tambunan adalah seorang wanita yang berusia 49 tahun. Wanita ini menikah pada tahun 1986 dengan pria duda. Mereka menikah dengan berbeda agama, sang suami penganut agama Kristen Protestan sementara ibu R. br Tambunan memeluk agama Islam. Walaupun keduanya memiliki perbedaan keyakinan, sepasang suami istri tersebut memiliki hubungan yang harmonis. Setelah dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1988, ibu R. br Tambunan mau dan ikhlas berpindah agama mengikut agama suaminya yaitu memeluk agama Kristen Protestan, ini mengakibatkan ibu R. br Tambunan mendapat tekanan dan pengucilan dari keluarga kandungnya serta para tetangga tempat tinggal keluarga asalnya dilingkungan sekitar. Meskipun demikian beliau tidak putus asa, ia selalu berdoa. Pada saat suatu musibah datang dengan meninggalnya ayah mertua ibu R. br Tambunan, hampir semua tetangga tempat tinggal suaminya datang untuk melihat dan mendukung ibu tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa adanya mujizat pada dirinya, karena tetangganya sudah mau menerimanya sebagai anggota masyarakat dilingkungan sekitarnya.

4.2.1.4. D. br Pasaribu

(50)

melakukan pernikahan dengan seorang pria yang berbeda agama darinya. Dengan kata lain beliau menganut agama Kristen Protestan karena mengikut suami. Pihak dari keluarga ibu D. br Pasaribu ini tidak menerima keputusannya, oleh sebab itu wanita ini mendapat pengucilan dari keluarganya seperti tidak ada lagi komunikasi yang baik diantara mereka tetapi ketika anak kedua dari pasangan ibu D. br Pasaribu ini lahir lambat laun keluarganya bisa menerima beliau menjadi bagian dari keluarga mereka. Ibu D. br Pasaribu juga mendapat keadilan dari lingkungan sekitar. Mereka sangat memahami perpindahan agama yang dilakukan beliau adalah wajar karena pernikahan menurut agama adat Batak, sang istri harus mengikut suami begitu juga sang suami harus bertanggung jawab mengayomi istri menjadi ibu rumah tangga yang baik.

4.2.1.5. Erlinda

(51)

berbeda suku dan agama dari mereka sebelum berpindah agama menjadi agama Kristen Protestan.

4.2.1.6. S. br Simanjuntak

Ibu S. br Simanjuntak adalah seorang wanita yang berusia 34 tahun, beliau memiliki 4 orang anak, ibu ini berbeda agama dari keluarga asalnya disaat beliau baru menikah dengan seorang pria yang berbeda keyakinan dengannya. Ibu rumah tangga ini menikah pada tahun 1993. Pada saat pertama sekali ibu ini berbeda agama dengan keluarga asalnya, tekanan dan pengucilan tidak terjadi tetapi yang ada adalah dukungan dan rasa kekeluargaan yang ia terima, bahkan ibu rumah tangga ini menjadi menantu kesayangan dikeluarga besar si suami.

4.2.2. Profil Informan Keluarga Asalnya

4.2.2.1. M. Sihombing

(52)

pasangannya, mereka tidak diundang oleh keluarga besannya, dengan kata lain tidak menggunakan sistem perkawinan adat Batak dari keluarga asalnya.

4.2.2.2. R. br Pasaribu

Wanita yang berusia 42 tahun ini adalah seorang ibu rumah tangga dan mempunyai 6 orang anak. Beliau sangat menentang keras dengan keputusan saudaranya F. br Pasaribu yaitu berpindah agama menjadi agama Islam karena menurut beliau berpindah agama sama saja dengan menduakan Tuhan, hal itu diakuinya karena ia adalah seorang pengurus Gereja. Beliau rela menjauhinya dan sama sekali tidak peduli dengan keadaannya, bahkan pada saat acara besar keluarga, ibu F. br Pasaribu tidak diundang. Dengan kata lain lebih mementingkan keegoisan diri sendiri, buktinya masih terjadi sampai saat ini.

4.2.2.3. Norma

(53)

saudaranya menjadi bagian dari keluarga Tambunan, meskipun demikian mereka belum bisa menerima suami saudaranya itu dan keluarga besannya menjadi keluarganya.

4.2.2.4. H. Pasaribu

Bapak H. Pasaribu adalah seorang pria berusia 40 tahun, yang memiliki 3 orang anak. Pria yang biasa di sapa bapak Pasaribu ini bekerja sebagai pegawai swasta untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dulunya memang bapak Pasaribu tidak setuju dan menentang keras jika saudaranya yaitu D. br Pasaribu menikah dengan seorang yang berbeda agama dari mereka yaitu agama Kristen Protestan. Dikarenakan akan membuat perbedaan dalam acara-acara di keluarga besar seperti hari raya Idul Fitri, yang dulunya merayakan bersama serta saling berbagi THR (tunjangan hari raya). Namun hal itu tidak membuat beliau memusuhinya hanya saja komunikasi yang kurang lancar buktinya setelah kelahiran anak kedua saudaranya itu, bapak Pasaribu beserta keluarga besarnya mau memaafkan bahkan mereka sering mengunjungi kediaman saudaranya itu.

4.2.2.5. Susiyanthi

(54)

perpindahan agama dan menjadi penganut agama Kristen Protestan. Dan sekarang saudaranya telah menjadi pembawa injil di Gerejanya.

4.2.2.6. Mitra

Ibu Mitra adalah seseorang wanita berusia 26 tahun yang memiliki 1 orang anak. Beliau merupakan keluarga dari ibu S. br Simanjuntak. Dalam hal ini, ibu tersebut tidak banyak komentar tentang masalah perpindahan agama seperti halnya yang dilakukan oleh saudaranya yaitu yang dulunya penganut agama Islam kemudian menjadi penganut agama Kristen Protestan. Bagi beliau hal itu wajar karena dalam adat istiadat batak si istri wajib mengikut suaminya. Jadi apa yang dilakukan oleh saudaranya dengan berpindah agama menjadi agama Kristen mengikut agama suaminya adalah tidak masalah artinya keluarga ibu Mitra mendukung sepenuhnya jika agama yang di anut saudaranya itu bisa membuatnya menjadi orang yang lebih taat kepada Tuhan-Nya.

4.2.3. Profil Informan Dilingkungan Sekitar

4.2.3.1. R. Sihombing

(55)

Kalaupun begitu mengapa ia yang berpindah agama bukan istrinya, sementara adat suku Batak Toba itu menyatakan bahwa si istri yang harus mengikut suaminya.

4.2.3.2. D. Panjaitan

Bapak D. Panjaitan adalah seorang penganut agama Kristen protestan. Beliau merupakan tetangga dari ibu F. br Pasaribu. Bapak ini berpendapat bahwa ibu F. br Pasaribu wajar untuk melakukan pindah agama menjadi penganut agama Islam, karena ibu F. br Pasaribu adalah seorang suku Batak tentulah ia harus mengikut suaminya artinya dalam adat Batak, si istri wajib mengikut suaminya, walaupun dilingkungan sekitar beliau mayoritasnya agama Kristen Protestan tetapi hal itu tidak menjadi masalah bagi mereka, selagi ibu F. br Pasaribu dan suaminya tetap taat pada Tuhan-Nya.

4.2.3.3. P. Panggabean

(56)

4.2.3.4. S. br. Siagian

S. Siagian adalah seorang wanita berusia 35 tahun, yang berprofesi sebagai guru SD disalah satu sekolah negeri. Ibu S. Siagian mengungkapkan bahwa ia beserta masyarakat dilingkungan sekitarnya mendukung apa yang dilakukan tetangganya yaitu Ibu D. Pasaribu yang mau berpindah agama menjadi penganut agama Kristen Protestan mengikuti agama suaminya. Dengan kata lain pendapat beliau sama halnya dengan pendapat bapak D. Panjaitan yaitu sama-sama mendukung dan mengayomi keluarga yang berpindah agama dari keluarga kandungnya asalkan agama yang dianutnya membuat mereka lebih dekat lagi kepada Tuhannya.

4.2.3.5. S. br Sitorus

Ibu S. Sitorus adalah seorang wanita yang berumur 41 tahun. Setelah suaminya meninggal dunia, beliau harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sebagai buruh tani. Ibu yang memilliki empat orang anak ini tidak mengomentari ibu Erlinda tetangganya tersebut karena bagi beliau dengan melakukan pindah agama seperti yang dilakukan Ibu Erlinda menjadi pemeluk Kristen Protestan merupakan hak pribadi beliau, dan ia menyatakan dalam pernyataannya” kenapa harus dipermasalahkan seseorang yang berpindah agama”.

4.2.3.6. L. Sianturi

(57)

memberikan pernyataan keberatan terhadap sikap yang dilakukan oleh Ibu S. br. Simanjuntak tentang perbedaan agama dengan keluarga kandungnya.

4.3. Pandangan Keluarga Batak Toba Mengenai Agama

Agama merupakan suatu institusi penting yang mengatur kehidupan manusia. Pengertian agama menurut Durkheim (Sunarto,2004:69-71) ialah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, bahkan kepercayaan dan praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman kedalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat. Dalam sosiologi agama juga dikenal dengan fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest adalah fungsi yang berkaitan dengan segi doktrin, ritual dan aturan prilaku agama. Para ahli sosiologi mengemukakan bahwa disamping mempunyai fungsi agama juga dapat mempunyai disfungsi. Pertentangan yang membahayakan keutuhan masyarakat tidak jarang bersumber pada faktor agama.

(58)

nilai-nilai dan aturan-aturan pada beberapa unit sosial yang lebih besar, seperti bangsa atau kelas sosial, bila berbagai kelompok keagamaan yang secara bersama-sama menyatakan setia kepada nilai-nilai yang sama.

Dalam suku masyarakat Batak Toba sebelum menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Debata Mulajadi Na Bolon. Debata Mulajadi Na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kekuasaan dan kemuliaan di atas langit (di banua atas) dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu yaitu Silaon Nabolon. Sebagai penguasa dunia makhluk halus ia disebut bernama Pane Na Bolon. Di samping sebagai pencipta, Debata Mulajadi Na Bolon juga mengatur kejadian gejala-gejala alam, seperti hujan dan kehamilan, sedangkan Pane Na Bolon mengatur setiap penjuru mata angin. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:

1. Tondi

Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang didalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka harus diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

2. Sahala

(59)

3. Begu

Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.

4.4. Pandangan Keluarga Mengenai Sistem Kekerabatan

4.4.1. Sistem Kekerabatan Pada Suku Batak Toba

(60)

ayah, satu kakek, satu nenek moyang, sehingga kedudukan laki-laki lebih penting (Posman,2000:17).

Bagan 1.1. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba (Patrilineal)

Keterangan bagan patrilineal: = Laki-laki

= Perempuan = Garis keturunan = Perkawinan = Saudara = Ego

(61)

semarga atau sesuku. Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosilogis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada (Suyono,1985:240). Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Ada tiga jenis hubungan didalam keluarga menurut Robert R. Bell (T. O. Ihromi,1999:91), yaitu:

1. Keluarga Dekat (Conventional Kin) merupakan kerabat dekat terdiri dari atas individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan perkawinan, seperti suami, istri, orang tua-anak, dan antar saudara (siblings). 2. Keluarga Jauh (Dis Creationary Kin) merupakan kerabat yang terdiri atas

individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih lemah daripada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak menyadari akan adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan yang terjadi diantara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas paman-bibi, keponakan dan sepupu. 3. Orang Yang Dianggap Kerabat (Fictive Kin) merupakan seseorang yang

(62)

Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: “Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul”. Merupakan suatu filosopi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat. Marga melekat erat dalam hidup mati orang Batak. Segera setelah ia lahir, nama marganya akan menyertai nama pertamanya dan marga itu pulalah yang akan menjadi identitasnya sepanjang hidup. Maka, memalukan jika seorang Batak tidak dapat menyebutkan marganya, walaupun orang tersebut sudah lahir dan besar di perantauan atau bahkan di luar negeri. Orang seperti ini akan diejek dengan halak na lilu artinya orang yang tersesat, karena tidak mengetahui asal-usulnya.

(63)

“tungku yang tiga” atau Dalihan na Tolu. Dalihan na tolu pada dasarnya berarti tungku (tataring) yang terbuat dari tiga buah batu yang disusun. Tiga buah batu itu diperlukan untuk menopang periuk atau wajan agar tidak terguling.

Dalam masyarakat Batak Toba dasar dari struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru.

Hula-hula adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak. Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hula-hula (Somba marhula-hula).

Dongan Tubu disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan “seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu”. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, “manat mardongan tubu”.

(64)

kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifak kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hula-hula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual. Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku “raja”. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hula-hula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Dengan demikian tiga pihak memelihara hubungan mereka dengan saling memberi dalam berbagai bentuknya. Ungkapan adat mengatakan “saling berbalas adalah hukum, saling berbagi adalah kekuatan” dalam Bahasa Batak Toba disebut dengan sisoli-soli do uhum siadapari gogo. Prinsip resiprositas ini bertujuan untuk kesejahteraan bersama dan keadilan bersama (Daniel Harahap, 2007).

4.4.2. Sistem Kekerabatan Pada Suku Minangkabau

Sebagian besar suku Minangkabau menganut agama Islam. Mereka percaya kepada Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh agama Islam. Namun masih banyak masyarakat yang percaya kepada roh, benda, orang yang dianggap memiliki kekuasaan gaib sehingga seringkali diminta pertolongan. Masyarakat juga masih percaya kepada hantu-hantu yang mendatangkan bencana dan penyakit. Untuk menolak hantu-hantu tersebut masyarakat meminta pertolongan seorang dukun (Posman,2000:21).

(65)

Ibu

menurut garis keturunan ibunya. Sistem perkawinan mereka bersifat eksogam sama seperti suku Batak. Pada masyarakat berdasarkan klan matrilineal ini suami kurang berperan bahkan sepertinya tidak memiliki kekuasaan dalam keluarganya. Tanggung jawab keluarga dipegang oleh saudara istrinya yang laki-laki disebut dengan mamak. Anggota dari sebuah keluarga pada masyarakat Minangkabau dapat kita lihat pada bagan dibawah ini.

Bagan 1.2 Sistem kekerabatan Masyarakat Minangkabau (Matrilineal)

Keterangan:

= Perempuan = Laki-laki

Dengan memperhitungkan dua generasi diatas ego laki-laki dan satu generasi dibawahnya, maka anggota sistem kekerabatan itu adalah :

1 = Ibunya ibu

2 = Saudara perempuan dan laki-laki ibunya ibu

(66)

3 = Saudara laki-laki dan perempuan ibu

4 = Anak laki-laki dan perempuan saudara perempuan ibu ibunya Ego 5 = Saudara laki-laki dan perempuan Ego

6 = Anak laki-laki dan perempuan saudara perempuan ibu 7 = Anak laki-laki dan perempuan saudara perempuan Ego

8 = Anak laki-laki dan perempuan anak perempuan saudara perempuan ibunya ibu. Seorang ayah dalam keluarga Minangkabau termasuk keluarga lain dari keluarga istri dan anaknya. Demikian juga halnya dengan seorang anak dari seorang laki-laki akan termasuk keluarga lain dari ayahnya. Karena itu keluarga batih menjadi kabur dalam sistem kekeluargaan Minangkabau. Keluarga batih tidak merupakan kesatuan yang mutlak, meskipun tidak dapat dibantah bahwa keluarga batih memegang peranan penting dalam pendidikan dan masa depan anak-anak mereka, jadi tidak hanya berfungsi untuk pembangunan keturunan.

Kesatuan keluarga terkecil yang dibentuk atas dasar prinsip diatas disebut paruik (perut). Pada sebagian masyarakat Minangkabau, ada kesatuan yang disebut kampuang yang memisahkan paruik dengan suku sebagai kesatuan kekerabatan yang lebih besar lagi. Dari tiga macam kekerabatan hanya paruik yang betul-betul dapat dikatakan sebagai kesatuan yang benar-benar bersifat geneologis.

(67)

Suku dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal. Pada masyarakat Minangkabau jodoh harus dipilih diluar suku. Pada masa dulu, adat mengharuskan seorang laki-laki kawin dengan anak perempuan mamaknya. Tetapi pada zaman sekarang, pola-pola itu sudah mulai hilang. Bahkan karena pengaruh dunia modern perkawinan endogami local tidak lagi dipertahankan.

4.4.3. Sistem Kekerabatan Pada Suku Jawa

Suku bangsa ini adalah suku terbesar di Indonesia, mereka menduduki wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian kecil Jawa Barat. Mereka memiliki satu bahasa yaitu bahasa Jawa yang hanya terdapat perbedaan dialek saja. Sebagian besar orang Jawa menganut agama Islam yang berpusat di Jawa Tengah. Orang yang bertugas menyebarkan agama Islam di Jawa dikenal dengan sebutan wali songo (Sembilan wali). Selain agama Islam, suku bangsa Jawa juga ada yang memeluk agama Kristen, Hindu, Buddha dan aliran kepercayaan.

Dalam sistem kekerabatan orang Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral disebut juga kekerabatan parental (parent = orang tua). Kekerabatan ini menarik garis keturunan diperhitungkan dari dua belah pihak, ayah dan ibu sehingga ego mempunyai dua orang kakek dan dua orang nenek baik dari ayah maupun dari ibu (Posman,2000:74).

(68)

mereka sendiri. Dengan prinsip bilateral atau parental ini maka ego mengenal hubungannya dengan sanak saudara dari pihak ibunya maupun pihak ayah, dari satu nenek moyang sampai generasi ketiga, yang disebut sanak sedulur (kindred).

Dalam kehidupan sehari-hari, istilah-istilah kekerabatan untuk menyebut seseorang didalam kelompok kerabatnya adalah sebagai berikut:

1. Ego menyebut orang tua laki-laki dengan Bapak atau Rama. 2. Ego menyebut orang tua perempuan dengan Simbok atau Biyung.

3. Ego menyebut kakak laki-laki dengan kamas, mas, kakang mas, kakang, kang. 4. Ego menyebut kakak perempuan dengan Mbakyu, Mbak, Yu.

5. Ego menyebut adik laki-laki dengan Adhi, Dhimas, Dik, Le.

6. Ego menyebut adik perempuan dengan Adhi, Dhi Ajeng, Nduk, Dhenok. 7. Ego menyebut kakak laki-laki dari ayah atau ibu dengan Pakdhe, Siwa, Uwa. 8. Ego menyebut kakak perempuan dari ayah atau ibu dengan Budhe, Mbok De,

Siwa.

9. Ego menyebut adik laki-laki dari ayah atau ibu dengan Paman, Paklik, Pak Cilik. 10.Ego menyebut adik perempuan dari ayah atau ibu dengan Bibi, Buklik, Ibu Cilik,

Mbok Cilik.

11.Ego menyebut orang tua ayah atau ibu baik laki-laki maupun perempuan dengan Eyang, Mbah Simbah, Kakek, Pak Tuwa. Sebaliknya Ego akan disebut dengan Putu.

12.Ego menyebut orang tua laki-laki / perempuan dua tingkat diatas ayah dan ibu Ego dengan Mbah Buyut. Sebaliknya Ego akan disebut dengan Putu Buyut, Buyut. 13.Ego menyebut orang tua laki-laki / perempuan tiga tingkat diatas ayah dan ibu

Ego dengan Mbah Canggah, Simbah Canggah, Eyang Canggah. Sebaliknya Ego akan disebut Putu Canggah, Canggah.

(69)

tersebut diatas, karena orang yang lebih tua dianggap merupakan pembimbing, pelindung, atau penasihat kaum muda. Melanggar semua perintah atau nasihat kaum tua dapat menimbulkan sengsara yang disebut dengan kuwalat.

Bagan 1.3. Sistem Kekerabatan Masyarakat Suku Jawa (Bilateral)

Keterangan bagan Bilateral : = Laki-laki

= Perempuan = Garis keturunan = Perkawinan = Saudara = Ego

4.5. INTERPRETASI DATA

4.5.1. Interaksi Pada Keluarga Beda Agama

(70)

Pola interaksi didalam keluarga adalah bersifat intim, artinya hubungan antara keluarga yang berbeda agama dengan keluarga asalnya. Akan tetapi pada keluarga yang berbeda agama dengan keluarga asalnya. Pola interaksi sosial antara orang tua dan anak tidak akan dapat terbina dan menciptakan hubungan yang baik didalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu ketidaksetujuan orang tua terhadap perbedaan agama yang dilakukan oleh anaknya, perasaan benci, komunikasi yang renggang sehingga keadaan ini sering menimbulkan masalah seperti pengucilan dan pertentangan (konflik).

Pada umumnya interaksi antara keluarga yang berbeda agama dengan keluarga asalnya tidak begitu baik atau harmonis. Berikut penuturan keluarga yang berbeda agama yaitu B. Sihombing:

“Saat saya menikah dengan istri saya yang kedua, saya berpindah keyakinan mengikut agama istri saya. Awal pernikahan kami sangat ditentang oleh keluarga besar saya terutama orang tua dan mantan istri saya serta anak-anak. Saya dan istri saya mendapat perlakuan yang kurang enak dari keluarga saya, seperti pengucilan dan terjadi konflik. Dilingkungan orang tua saya tinggalpun saya juga mendapat hal sama, mereka sangat kecewa dengan kuputusan yang saya ambil. Dalam adat istiadat kami masih juga belum mau di ajak tetapi lambat laun saudara saya mau menerima keputusan saya meskipun orang tua masih sangat menentang”.

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Agar terhindar dari hal tersebut maka perlu diadakanya penentuan lokasi permukiman yang sesuai dengan karakteristik lahan yang diakibatkan karena alih fungsi lahan

Dengan menggunakan model tersebut diperoleh variabel yang signifikan terhadap TPAK perempuan Jawa Timur adalah TPAK laki-laki, persentase penduduk miskin, PDRB perkapita, UMK,

Meskipun pemupukan NPK nyata mempengaruhi bobot kering polong dibanding kontrol, namun penambahan pupuk hayati pada dosis N yang lebih rendah (1/4–1/2 N), meningkatkan hasil

Demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis kerja (Ha) 1 diterima dan (Ha) 2 ditolak, atau dengan kata lain Ha (1) : Ada Hubungan Menonton Tayangan FTV Sinema Wajah

[r]

Dari hasil uji polinominal orthogonal (Ilustrasi 1) dapat dilihat bahwa semakin besar dosis vitamin E yang diberikan motilitas sper- matozoa semakin tinggi, dengan persamaan

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat ( 2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan

Dengan adanya pembelian barang yang tinggi sehingga harus adanya pengendalian internal yang baik di dalam Hotel Shangri-La Surabaya khususnya dalam siklus