• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung 2005 di Kabupaten Karo (Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Batukarang Kecamatan Payung).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung 2005 di Kabupaten Karo (Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Batukarang Kecamatan Payung)."

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH

TINGKAT

PENDIDIKAN

TERHADAP

PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DIDALAM

PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2005 DI

KABUPATEN KARO

(STUDI KASUS: MASYARAKAT DESA BATUKARANG, KECAMATAN PAYUNG, KABUPATEN KARO)

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GUNA MEMPERTOLEH GELAR

SARJANA ILMU POLITIK

OLEH

KURNIA PUTRA BANGUN

040906056

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

MEDAN

(2)
(3)

Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung 2005 di Kabupaten Karo (Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Batukarang Kecamatan Payung)

Kurnia Putra Bangun 040906056

Pembimbing : Dra. Evi Novida Ginting, MSP Pembaca:Warjio,SS.MA

Departemen Ilmu Politik

ABSTRAKSI

Yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah tahun 2005 di Kabupaten Karo ?.Yang menjadi populasi hak suara 2880 jiwa (pemilihan umum 2005) yang menjadi sampel 97 orang,yang tersebar kesemua lingkungan yang ada dikelurahan desa Batukarang.Tehnik analisa data bentuk tabulasi tabel frekwensi dengan penjelasan yang bersifat deskriptif.

Adapun hasil penelitian ini adalah :

Tingkat pendidikan yang paling banyak tamat SLTA/sederajad (40,20%) sebanyak (92,78%) menyatakan pernah menjalani pendidikan formal karena pendidikan formal itu penting. Pendidikan formal mempunyai hubungan dengan pendidikan nonformal (77,32%). Masyarakat cukup tertarik dengan pendidikan non formal (55,67%).Pendidikan politik masih sangat minim diterima oleh masyarakat Batukarang(11,34%).Masyarakat menyadari bahwa pendidikan politik dapat meningkatkan pengetahuan (62,89%).

Pendidikan dapat mempengaruhi partisipasi politik saat pilkada 2005 hanya (52,89%).Partisipasi Politik masyarakat ikut dalam pemilihan kepala daerah 2005 sebanyak (80,41%). Berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah supaya berkeinginan mengalami perubahan (67,01%). Berpartisipasi mengikuti pemilihan kepala daerah sebagai warga Negara yang baik (67,01%). Berpartisipasi menentukan kriteria calon kepala daerah yang memihak rakyat (24,74%) sedang memihak partai (62,89%).

Berpartisipasi dalam bentuk kampanye (62,89%), ikut menjadi anggota partai (13,40%), ikut menyebarkan selebaran partai (60,82%), ikut kampanye calon kepala daerah 2005 (77,32%) dan sebagai massa (100%).Berpartisipasi memilih kandidat calon dipengaruhi oleh visi dan misi hanya (24,74%) selebihnya hanya coblos saja.

Iklan sangat berperan dalam menentukan pilihan (79,38%). Informasi perkembangan politik local dan nasional mengenai pemilihan kepala daerah melalui Koran, radio dan spanduk (81,44%).

Informasi perkembangan politik tentang pemilihan kepala daerah dari teman, saudara, orangtua (81,44%). Informasi dari perkembangan politik dari TV dan radio sangat minim (5,16%) atau tidak ada (60,82%).Informasi berita politik dari koran, tabloid dan majalah sangat sering (25,77%) dan sering (61,86%). Masyarakat masih

(4)
(5)

Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung 2005 di Kabupaten Karo (Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Batukarang Kecamatan Payung)

Kurnia Putra Bangun 040906056

Pembimbing : Dra. Evi Novida Ginting, MSP Pembaca:Warjio,SS.MA

Departemen Ilmu Politik

ABSTRAKSI

Yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah tahun 2005 di Kabupaten Karo ?.Yang menjadi populasi hak suara 2880 jiwa (pemilihan umum 2005) yang menjadi sampel 97 orang,yang tersebar kesemua lingkungan yang ada dikelurahan desa Batukarang.Tehnik analisa data bentuk tabulasi tabel frekwensi dengan penjelasan yang bersifat deskriptif.

Adapun hasil penelitian ini adalah :

Tingkat pendidikan yang paling banyak tamat SLTA/sederajad (40,20%) sebanyak (92,78%) menyatakan pernah menjalani pendidikan formal karena pendidikan formal itu penting. Pendidikan formal mempunyai hubungan dengan pendidikan nonformal (77,32%). Masyarakat cukup tertarik dengan pendidikan non formal (55,67%).Pendidikan politik masih sangat minim diterima oleh masyarakat Batukarang(11,34%).Masyarakat menyadari bahwa pendidikan politik dapat meningkatkan pengetahuan (62,89%).

Pendidikan dapat mempengaruhi partisipasi politik saat pilkada 2005 hanya (52,89%).Partisipasi Politik masyarakat ikut dalam pemilihan kepala daerah 2005 sebanyak (80,41%). Berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah supaya berkeinginan mengalami perubahan (67,01%). Berpartisipasi mengikuti pemilihan kepala daerah sebagai warga Negara yang baik (67,01%). Berpartisipasi menentukan kriteria calon kepala daerah yang memihak rakyat (24,74%) sedang memihak partai (62,89%).

Berpartisipasi dalam bentuk kampanye (62,89%), ikut menjadi anggota partai (13,40%), ikut menyebarkan selebaran partai (60,82%), ikut kampanye calon kepala daerah 2005 (77,32%) dan sebagai massa (100%).Berpartisipasi memilih kandidat calon dipengaruhi oleh visi dan misi hanya (24,74%) selebihnya hanya coblos saja.

Iklan sangat berperan dalam menentukan pilihan (79,38%). Informasi perkembangan politik local dan nasional mengenai pemilihan kepala daerah melalui Koran, radio dan spanduk (81,44%).

Informasi perkembangan politik tentang pemilihan kepala daerah dari teman, saudara, orangtua (81,44%). Informasi dari perkembangan politik dari TV dan radio sangat minim (5,16%) atau tidak ada (60,82%).Informasi berita politik dari koran, tabloid dan majalah sangat sering (25,77%) dan sering (61,86%). Masyarakat masih

(6)
(7)

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Pembangunan politik sebagai suatu bagian dari pembangunan secara menyeluruh,

mempunyai beberapa karakteristik. Salah satu karakteristik dari pembangunan politik

adalah tumbuhnya peningkatan partisipasi warga negara dalam beraneka ragam

bentuknya, mulai dari yang resmi atau mengikuti jalur yang ditetapkan oleh pemerintah

(konvensional) sampai bentuk yang tidak resmi (in konvensionil).

Sebagai negara yang sedang giat melancarkan pembangunan, maka kita lihat

masa sekarang ini pemerintah indonesia berusaha mengadakan dan melaksanakan

pembangunan disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara guna mengejar

ketertinggalan dari negara-negara maju. Salah satu aspek yang termasuk didalamnya

adalah “Pembangunan Politik” yang mempunyai beberapa segi. Salah satu segi

diantaranya adalah melibatkan pertisipasi politik.1

Partisipasi politik merupakan suatu masalah yang dianggap penting pada

akhir-akhir ini, banyak dipelajari orang terutama dalam kaitannya dengan perkembangan

negara-negara berkembang. Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting

demokrasi. Secara konseptual, pertisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau

sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan

memilih pimpinan negara secara langsung atau secara tidak langsung mempengaruhi

kebijakan pemerintah (Public Policy). Kegiatan tersebut mencakup tindakan seperti

1 Lucian W Pye, Pengertian Pembangunan Politik, dikutip oleh Juwono Sudarsono, Pembangunan Politik

(8)

memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota

suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan

(countacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan lain sebagainya.2

Selain bentuk partisipasi politik yang aktif ada juga partisipasi yang bersifat pasif

atau apatis. Bentuk apatis politik yaitu apti, anomie, sinisme, dan alienasi. Secara umum

keempatnya didefenisikan sebagai suatu kegiatan yang tidak memiliki perhatian sama

sekali terhadap orang lain disekitar lingkungannya.3

Partisipasi politik dapat juga terwujud dengan berbagai bentuk, studi-studi tentang

partisipasi dapat menggunakan skema klasifikasi yang agak berbeda-beda, namun

kebanyakan riset belakangan ini membedakan jenis-jenis prilaku yaitu: kegiatan

pemilihan yang mencakup pemungutan suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan

untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon

atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Berpartisipasi

dalam pemungutan suara adalah jauh lebih luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk

partisipasi politik lainnya dan oleh sebab itu faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian

itu sering kali membedakannya dari jenis-jenis partisipasi lainnya.

Penelitian tentang partisipasi politik, salah satunya dilakukan oleh Lipset

berdasarkan oleh pemilihan umum di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa barat

seperti Jerman, Swedia, Norwegia, dan Finlandia, bahwasanya:

“ Di negara-negara itu orang kota lebih banyak memberikan suara dari pada orang desa, mereka yang berumur antara 35 dan 55 lebih banyak daripada yang usianya dibawah 35 tahun ataupun yang usianya diatas 55 tahun; pria lebih banyak dari

2 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal 1-2 3 Michael Rusf dan Philip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 2003,

(9)

pada yang belum kawin. Serta pendapatan, pendidikan dan status merupakan faktor penting dalam proses partisipasi, atau dengan kata lain orang yang berpendapatan tinggi, berpendidikan baik, dan yang berstatus social tinggi, cenderung banyak berpartisipasi deripada orang yang berpendapatan serta pendidikannya rendah.”4

Hasil penelitian ini kemudian diperkuat lagi untuk keadaan Amerika Serikat

dalam suatu studi dari Sidney Verba dan Norman H.Nie, yang dianalisis kembali oleh

Karl Deutsch dalam Politik and Government dan mengambil kesimpulan bahwa:

“ Di Amerika sepertiga dari kelompok warga Negara yang paling tinggi status serta pendapatannya, mengadakan partisipasi enam kali lebih banyak daripada sepertiga kelompok warga Negara yang paling rendah dan memperoleh dua kali lebih banyak tanggapan positip dari pemerintah.”5

Selain itu tingkat partisipasi orang itu berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh

berbagai faktor diantaranya umur, jenis kelamin, status ekonomi dan sosial, pendidikan

dan pekerjaan. Di negara-negara berkembang sebagaimana halnya Indonesia, partisipasi

politik merupakan suatu masalah yang sulit dan rumit untuk diukur sacara jelas dilihat

dan diukur melalui hal pemilihan atau pemungutan suara. Moeljarto Tjokrowinoto

menyatakan dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan status social ekonomi serta

iklim kebutuhan yang semakin nyata, masyarakat menuntut keabsahan pada jenjang yang

berbeda yaitu Political Legitimacy; ukuran kelayakan dicari kualitas Political

Ferformance dari lembaga-lembaga politik.6

4 Miriam, Op.cit, hal 9

5Ibid, hal 9

6 Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema Dan Tantangan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hal

(10)

Hasil penelitian Hetti SN Simanjutak yang dibimbing Tony Situmorang menyatakan

bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi partisipasi politik seseorang atau

sekelompok masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan yang masih rendah kurang

menaruh perhatian pada partisipasi politik.7

Pendidikan merupakan suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum

seseorang termasuk didalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan

memutuskan terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan mencapai tujuan.

Oleh karena itu pendidikan tinggi bisa memberikan informasi tentang politik dan

persoalan-persoalan politik, bisa mengembangkan kecakapan menganalisa dan

menciptakan minat dan kemampuan berpolitik.

Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Lipset, penulis ingin melakukan

penelitian bahwa pendidikan itu mempengaruhi partisipasi politik. Di banyak negara

pendidikan tinggi sangat mempengaruhi partisipasi politik, mungkin karena pendidikan

tinggi, bisa memberikan informasi tentang politik, bisa mengembangkan kecakapan

menganalisa dan menciptakan minat dan kemampuan dalam berpolitik, juga lembaga

pendidikan dan kurikulumnya sengaja berusaha mempengaruhi proses sosialisasi politik

kaum muda. Hal itu terjadi disemua negara, baik negara komunis, otoriter maupun

demokkratis.

Orang terpelajar lebih sadar akan pengaruh pemerintah terhadap kehidupan

mereka, lebih memperhatikan kehidupan politik, memperoleh lebih banyak informasi

tentang proses-proses politik dan lebih kompeten dalam tingkah laku politiknya.8

7 Hetti SN Simanjuntak, Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Politik Pada Pemilihan

Presiden dan Wakil, Presiden 2004, Skripsi Fisip USU Departemen Ilmu Politik 2007, hal 62

(11)

Bertitik tolak dari konteks kalimat diatas dibarengi dengan kemajuan-kemajuan

dalam bidang pendidikan, pembangunan ekonomi, stabilitas politik, ideologi dan

keamanan maka meningkat pula pola pikir dan taraf hidup masyarakat disertai

meningkatnya tuntutan kebutuhan masyarakat secara kwalitas dan kwantitas. Masyarakat

juga semakin kritis dalam setiap langkah, pemikiran, ucapan, dan tindakan serta

memberikan partisipasinya secara intens. Hal ini sangat ditanggapi secara wajar, karena

kenyataan ini justru semakin tingginya kesadaran berbangsa dan bernegara dalam

masyarakat.

Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat

diimbangi kondisi prasarana dan sarana mendukung dan fakta meningkatnya secara pesat

media komonikasi, merupakan peluang yang menguntungkan dalam membina partisipasi

politik masyarakat. Apalagi perencanaan pembangunan sekarang ini memiliki pandangan

yang baru dan aktual, karena terlihat fisi yang baru. Fisi itu mengangkat bahwa tujuan

pembangunan seyogiyanya mengandung bobot pembinaan partisipasi politik. Sehingga

aktifitas pembangunan diwarnai dengan istilah politik seperti pembangunan politik,

sosialisasi politik, partisipasi politik, sistem politik, public policy dan pendidikan politik.

Masyarakat desa Batukarang mempunyai latar belakang semangat tinggi untuk

berpendidikan mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai jenjang pendidikan Tinggi.Desa

Batu karang mempunyai tanah yang subur ,sumber nafkah daerah ini adalah

pertanian,produksi hasil pertanian yang paling terkenal adalah tembakau dan cabe merah.

Bila ditinjau dari sejarahnya masyarakat desa Batukarang sejak tahun 1852 sampai 1942

Kiras Bangun (Garamata) sudah ikut berpartisipasi politik dalam memperjuangkan

(12)

melawan Belanda.9 Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis sebagai generasi

penerus bangsa ini ingin mengetahui bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan

terhadap partisipasi politik masyarakat desa Batukarang didalam pemilihan Kepala

Daerah tahun 2005 di Kabupaten Karo.

Dalam penelitian yang akan diadakan, penulis membahas partisipasi politik dari

segi tingkat pendidikan. Tingkat partisipasi politik sangat memiliki hubungan erat dangan

pendidikan, artinya semakin tinggi pendidikan seseorang itu dapat mempengaruhi

tingginya tingkat partisipasi masyarakat dibidang politik. Partisipasi berhubungan dengan

kepentingan-kepentingan masyarakat sehingga apa yang dilakukan rakyat dalam

partisipasi politiknya menunjukkan drajat kepentingan mereka.

2. PERUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang diatas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah

“ Bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan terhadap partsipasi politik masyarakat

dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo, dengan

mengambil studi pada masyarakat desa Batukarang, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo

3. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini memerlukan pembatasan ruang lingkup agar pembahasannya dapat

lebih terfokus, maka penelitian ini mempunyai ruang lingkup:

9 Payung Bangun dkk, Kiras Bangun – Pahlawan Nasional Dari Tanah Karo,Jakarta: Kesaint Blanc, 2008

(13)

a. Pada pembahasan pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik dalam

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo.

b. Penulis melakukan penelitian ini pada Masyarakat Desa Batukarang, Kecamatan

Payung, Kabupaten Karo.

4. TUJUAN PENELITIAN

Setiap penelitian senantiasa diupayakan kearah terwujudnya tujuan yang

diinginkan. Adapun yang menjadi tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui

bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik masyarakat dalam

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo, dengan

mengambil studi pada masyarakat desa Batukarang, Kecamatan Payung, Kabupaten

Karo.

5. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan yang bermanfaat kepada

semua pihak secara umum yaitu:

1. Bagi penulis dapat mengasah dan meningkatkan serta mengembangkan

kemampuan berpikir penulis melalui penulisan ilmiah.

2. Memberikan bahan masukan dan bahan pertimbangan pada pihak yang

berkepentingan berkaitan dengan tingkat pendidikan dalam partisipasi politik.

3. Dan diharapkan dapat menambah referensi karya ilmiah dibidang ilmu sosial dan

(14)

6. KERANGKA TEORI 6.1. Partisipasi Politik

Dalam analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang

penting, dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan

negara-negara yang sedang berkembang.

Apakah yang dinanamakan partisipasi politik itu? Sebagai defenisi umum dapat

dikatakan bahwa partisipasi partai politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang

untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih

pimpinan negara, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan

pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara

dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau

kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contatcting) dengan pejabat pemerintah

atau anggota parlemen, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini disajikan

pendapat beberapa sarjana.10

Herbet Mc Closky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences.

“Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.” (The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society in the selection of rules and, directly or indirectly, in the formation of public policy).

Norman H.Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science.

“Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga Negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejebat Negara

(15)

dan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka”. (By political participation we refer to those legal activities by private citizens which are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and or the action they take).

Yang diteropong terutama adalah “tindakan-tindakan yang bertujuan untuk

mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah”, sekalipun fokus utamanya lebih luas

tetapi abstrak, yaitu usaha-usaha untuk mempengaruhi “alokasi nilai secara otoritatif

untuk masyarakat” (the authoritative allocation of values for a society).

Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation

in Developing Countries

“Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.” (By political participation we mean activity by private citizens designed to influence goverment decision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective).

Di pihak lain, Budiardjo secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai

kegiatan sesorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan

politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung

mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public policy).11

Partisipasi politik dapat dilihat dari beberapa sisi sebagai suatu kegiatan

dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif.12

(16)

Partsisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai

suatu kebijakan umum, mengajukan alternative kebijakan umum yang berbeda dengan

kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan

kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinan

pemerintahan. Di pihak lain partisipasi pasif, anatara lain berupa kegiatan mentaati

peraturan/perintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan

pemerintah.13

Sementara Milbart dab Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa

katagori.14 Katagori pertama adalah apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses

politik . Kedua adalah spektator, yaitu orang-orang yang setidak-tidaknya pernah ikut

dalam pemilihan umum. Ketiga gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat

dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan

kontak tatap muka, aktifis partai dan pekerja kampanyenya, serta aktifis masyarakat.

Keempat pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak

konvensional.

Rosenberg menyebutkan tiga alasan adanya partisipasi politik. Alasan pertama

bahwa individu memandang bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap

beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat

merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena

kedekatannya dengan partai politk tertentu.15

13 Sidujoni Sastroatmodjo, Prilaku Politik, Semarang, IKIP Semarang Press, 1995, hal.74. 14 Surbakti, op.cit, hal 43.

(17)

Alasan kedua, individu menganggap aktivitas politik merupakan kegiatan yang

sia-sia belaka. Individu-individu beranggapan bahwa ia tidak akan mungkin dapat

mengubah keadaan dan melakukan kontrol politik.

Alasan ketiga, berupa ketidakadaan pesaing politik. Hal itu didasarkan atas

pemikiran bahwa buah pemikiran poltik itu tidak menarik baginya dan menganggap

bahwa politik hanyalah memberikan kepuasan sedikit dan tidak langsung, sedang hasil

langsung yang diterimanya sangat sedikit. Dengan kata lain bahwa partisipasi politik

baginya bukanlah hal yang layak untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.

Sanit membagi partisipasi di Indonesia dapat menjadi tiga tujuan. Pertama,

memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem

politik yang dibentuknya. Partisipasi politik ini sering terwujud dalam bentuk pengiriman

wakil-wakil/utusan pendukung kepusat pemerintah, pembuatan pernyataan yang isinya

memberikan dukungan terhadap pemerintah dan pemilihan calon yang diusulkan oleh

organisasi politik yang telah dibina dan dilembagakan oleh penguasa tersebut. Kedua,

partisipasi yang dimaksud sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan

pemerintah. Ketiga, partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud

menjatuhkannya sehingga diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan

dan dalam sistem politik.16

16 Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat, Telaah Tentang Keterkaitan ORMAS, Partisipasi Politik dan

(18)

6.2.1 Cara-cara Berpartisipasi

Kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi politik mempunyai

bermacam-macam bentuk dan intensitas. Biasanya diadakan perbedaan jenis partisipasi

menurut frekuensi dan intensitasnya. Menurut pengamatan, orang yang mengikuti

kegiatan secara tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan yang

biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri, seperti memberikan suara pada pemilihan

umum, besar sekali jumlahnya.

Sebaliknya, kecil sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan

diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktifis politik ini mencakup antara lain menjadi

pimpinan dari partai atau kelompok kepentingan.

Berbagai jenis partisipasi tergambar dalam piramida yang basisnya lebar, tetapi

menyempit ke atas sejalan dengan meningkatnya intensitas politik. Diantara basis dan

puncak terdapat berbagai kegiatan yang berbeda-beda intensitasnya; berbeda menurut

intensitas kegiatan maupun mengenai bobot komitmen dari orang yang bersangkutan.

Termasuk didalamnya memberi suara dalam pemilihan umum, mendiskusikan masalah

politik, menghadiri rapat umum yang bersifat poltik, dan menjadi anggota kelompok

kepentingan. Yang lebih intensif lagi adalah melibatkan diri dari berbagai proyek

pekerjaan sosial, contacting atau lobbying pejabat-pejabat, bekerja aktif sebagai anggota

partai politik dan menjadi juru kampanye; dan yang paling intensif, sebagai pimpinan

(19)

6.2.2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dan berbagai waktu

dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam bentuk konvensional dan

non-konvensional, termasuk yang legal maupun ilegal, penuh kekerasan, dan

revolusioner. Pertisipasi politik masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga

tujuan, yaitu: Pertama, memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang

dibentuk beserta sistem politik yang disusunnya. Partisipasi ini diwujudkan dalam bentuk

mengirim utusan pendukung ke pusat pemerintahan, membuat pernyataan sikap

mendukung kebijaksanaan pemerintahan, memeilih calon yang ditawarkan oleh organisai

politik yang dibina ataupun dikembangkan oleh penguasa dan sebagainya.

Kedua, partisipasi politik dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan

kelemahan penguasa dengan harapan supaya penguasa mengubah atau memperbaiki

kelemahan tersebut. Partisipasi ini diwujudkan dalam bentuk petisi, resolusi, mogok,

demonstrasi dan sebagainya. Di dalam ini disalurkan kepentingan para peserta partisipasi

tersebut beserta keinginan masyarakat yang diwakilinya. Ketiga, partisipasi sebagai

tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga terjadi perubahan

pemerintah atau sistem politik. Mogok, pembangkangan politik, huru hara dan

pemberontak bersenjata dapat merupakan usaha untuk mencapai maksud tertentu.

Apabila partisipasi politik yang pertama mendukung kekuatan pemerintah, maka yang

kedua berusaha untuk melemahkan pemerintah. Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi

politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas

(20)

Menurut Almond bentuk partisipasi konvensional dan non-konvensional

Tabel 1

Partisipasi Politik Konvensional dan Non Konvensional

Konvensional Non Konvensional

Pemberian suara Pengajuan petisi

Diskusi politik Berdemokrasi

Kegiatan kampanye Konfrontasi

Membentuk dan bergabung dengan partai

politik

Mogok

Komonikasi individual dengan pejabat

politik dan administrasi

Tindakan kekerasan politik terhadap harta

benda (perusakan, pemboman, pembakaran)

Sumber: adaptasi dari Gabriel Almond dalam Mochtar Mas’oed dan Cillin Mc Andrews, Perbandingan Sisitem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001, hal 47

Dari berbagai aktivitas ini kita bisa melihat keberagaman aktivitas dalam partisipasi

politik. Dari hal yang paling sederhana hingga yang kompleks, dari bentuk-bentuk yang

mengedepankan kondisi damai hingga tindakan-tindakan kekerasan. Namun pada

umumnya partisipasi politik hanya mencakup kegiatan yang bersifat positif.

6.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik: Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik yaitu:17

1. Pendidikan sangat mempengaruhi partisipasi politik. Menurut Heidjrachman18

mengatakan pendidikan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan

umum seseorang termasuk didalamnya peningkatan penguasaan teori dan

keterampilan memutuskan terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan

mencapai tujuan. Oleh karena itu, pendidikan tinggi bisa memberikan informasi

17 Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, Gadjah Mada

(21)

tentang politik dan persoalan-persoaln politik, bisa mengembangkan kecakapan

menganalisa, dan menciptakan minat dan kemampuan berpolitik.

Makin tinggi pendidikan masyarakat menjadi makin tinggi kesadaran politiknya.

Demikian juga sebaliknya, makin rendah tingkat pendidikannya, makin rendah pula

tingkat kesadaran politiknya.

Menurut Dr. B. Siswanto Sastrohadiwiryo berdasarkan sifatnya, pendidikan dapat

dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Pendidikan Umum, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dalam dan diluar

sekolah, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, dengan

tujuan mepersiapkan dan mengusahakan para peserta pendidikan memperoleh

pengetahuan umum.

b. Pendidikan Kejuruan, yaitu pendidikan umum yang direncanakan untuk

mepersiapkan para peserta pendidikan mampu melaksanakan pekerjaan sesuai

dengan bidang kejuruannya.

2. Perbedaan jenis kelamin dan status sosial-ekonomi juga mempengaruhi keaktifan

seseorang dalam berpartisipasi politik. Tingkat partisipasi politik memiliki hubungan

erat dengan pertumbuhan sosial ekonomi. Artinya bahwa kemajuan sosial ekonomi

suatu negara dapat mendorong tingginya tingkat partisipasi rakyat. Partisipasi itu juga

berhubungan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat, sehingga apa yang

dilakukan rakyat dalam partisipasi politiknya menunjukkan drajat kepentingan

mereka. Kedudukan sosial tertentu, misalnya orang yang memiliki jabatan atau

kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, akan memiliki tingkat partisipasi politik

yang cenderung lebih tinggi daripada orang yang hanya memiliki kedudukan sosial

(22)

yang rendah. Orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi lebih aktif daripada yang

berstatus rendah.

3. Media massa berfungsi sebagai penyampai informasi tentang perkembangan politik

nasional maupun local. Media massa dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh

berbagai kebijakan dan media massa juga mencerminkan jiwa zaman dari suatu

pemberitaan.19 Media massa juga mempengaruhi partisipasi politik masyarakat

dikarenakan para calon kandidat menyampaikan visi-misinya melalui media yang

ada, baik itu media elektronik seperti TV, dan Radio maupun media cetak seperti

Koran.

4. Aktivitas kampanye.

Biasanya kampanye-kempenye politik hanya dapat mencapai pengikut setia partai,

dengan memperkuat komitmen mereka untuk memberikan suara.

6.3. Kontruksi Teoritis Tentang Pemilu 6.3.1. Pengertian

Dalam wacana poltik umumnya, wahana pemilu dikenal sebagai suara untuk

melakukan pergantian dan sekaligus kaderisasi politik. Berbagai perubahan dan

implementasi konsep-konsep baru dalam penataan negara dijanjikan terfasilitasi oleh

pemilu. Dengan demikian pemilu dapat dikatakan sebagai tonggak utama dalam

memandu setiap perubahan supra struktur politik yang ada disebuah negara.

19 Noveri, dkk, Peranan Media Massa Lokal Bagi Pembinaan dan Pembangunan Kebudayaan Daerah

(23)

Menurut Tataq Chimad pada prinsipnya pemilu dalam tanah demokrasi lebih

bermakna:20

1. Kegiatan partisipasi politik dalam memajukan kesempurnaan oleh berbagai pihak.

2. Sisitem perwakilan bukan partisipasi langsung dimana terjadi perwakilan

penentuan akhir dalam memilih elit politik yang berhak duduk mewakili

masyarakat.

3. Sirkulasi para elit politik yang berujung pada perbaikan performance eksekutif.

Pemilu sebagai wujud dari demokrasi bertujuan sebagai makanisma untuk

mnyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternative kebijakan umum. Selain itu juga

bertujuan sebagai makanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat

kepada badan perwakilan rakyat sehingga integritas masyarakat tetap terjamin. Selain itu

pemilihan kepala daerah bertujuan untuk menggalang dukungan rakyat terhadap

daerahnya dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.21

6.3.2. Sisitem Pemilihan

Macam-macan sistem pemilihan, yaitu:22

1. Sisitem Distrik (single-member-constituencies)

Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah

yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Calon yang dalam

satu distrik memperoleh suara yang terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang

20 Tataq Chimad, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Yogyakarta, Pustaka Widyatama, 2004. hal. 3. 21 Eman Hermawan, Politik Membela Yang Benar: Teori, Kritik dan Nalar, Yogyakarta; LKIS, 2001. hal.

76

(24)

ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak

diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya.

Sistem ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu: Pertama, sistem ini kurang

memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apabila jika

golongan ini terpencar dalam beberapa distrik. Kedua, sistem ini kurang representitatif

dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang

mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan

sama sekali; dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara

yang hilang dapat mencapai sumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh

golongan-golongan yang merasa dirugikan.

Disamping kelemahan-kelemahan tersebut diatas ada banyak segi positifnya, yang

oleh negara-negara yang menganut system ini dianggap lebih menguntungkan dari pada

sistem pemilihan lain: Pertama, karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat

dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat.

Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik.

Padahal sebagai seorang anggota badan perwakilan rakyat seharusnya “belong to the

nation dan speak for the nation”. Kedua, sistem ini kurang memperhatikan adanya

partai-partai kecil dan golongan minoritas apalagi bila golongan-golongan in terpencar dalam

berbagai diatrik.23Ketiga, sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.

23 Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia, Dalam Perspektif Struktural Fungsional, Surabaya: SIC, 2002.

(25)

2. Sistem Perwakilan Proporsional (multi-member-consituency)

Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau

partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini

ditentukan suatu perimbangan, misalnya 1 : 400.000 yang berarti bahwa sejumlah

pemilih tertentu ( dalam hal ini 400.000 pemilih ) mempunyai satu wakil dalam dewan

perwakilan rakyat.

Dalam sistem ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang

diperoleh oleh suatu partai atau golongan dalam suatu daerah pemilihan dapat

ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam daerah

pemilihan lain, untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh

kursi tambahan.

Dalam sisten perwakilan proporsional dikenal dua sistem yakni hare system dan

list system.24 Dalam hard system, pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan

pertama, kedua dan seterusnya dari wilayah pemilihan yang bersangkutan. Konsekuensi

dari sistem ini adalah berbelit-belit dan butuh kecermatan. Sedangkan dalam list system,

pemilih diminta memilih diantara daftar calon yang berisi nama-nama wakil rakyat yang

akan dipilih dalam pemilu.

Dalam sistem ini ada beberapa kelemahan: Pertama, system ini mempermudah

fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Kedua, wakil yang terpilih merasa

dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang

telah memilihnya, hal ini dikarenakan peranan partai lebih kuat daripada wakil itu sendiri

Ketiga, stabilitas pemerintahan akan sukar terbentuk karena banyaknya partai.25

24 David E Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta: LP3ES. 1998. hal. 214.

(26)

Disamping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai kebaikan anatara lain:

Pertama, tidak ada suara yang terbuang karena perhitungan dilakukan/digabungkan

secara nasional. Kedua, sering dianggap lebih demokratis disbanding sistem distrik

karena partai minoritas pasti memiliki wakil dibadan legislative. Ketiga, karena semua

partai politik memperoleh kursi di badan legislatif yang tidak ditentukan secara distrik/

wilayah, maka system ini lebih “belong to thr nation atau speakfor the nation”.26

6.4. Pemilihan Kepala Daerah Langsung

Dalam UUD 1945 sebelum amandemen pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR” namun

setelah amandemen UUD 1945, pasal 1 ayat (2) ini menjadi “Kedaulatan berada ditangan

rakyat dan dilaksanakan menurut Undan-Undang Dasar”. Hal ini mengandung makna

bahwa kedaulatan tidak lagi sepenuhnya berada ditangan MPR tetapi dilaksanakan

menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.

Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka presiden/wakil presiden

beserta kepala daerah yang lain baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota akan

dipilih langsung oleh rakyat sehingga pemerintahan yang terbentuk merupakan cerminan

kehendak dan kedaulatan rakyat dan menunjukkan semakin demokratisnya pemerintahan

yang ada.

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau sering sekali disebut

Pemilihan Kepala Daerah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, dan pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.

Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan

(27)

Rakyat Daerah. Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan oleh Komisi

Pemilihan Umum Daerah ( KPUD ).

Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau

Gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan tertentu.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sebuah pemilihan

pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia secara langsung oleh

penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.27

Kepala Dearah dan Wakil Kepala Daerah adalah:

1. Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Provinsi

2. Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten

3. Walikota dan Wakil Walikota untuk Kota

Dapat dikatakan bahwa dengan digantinya UU No.22/1999 dengan UU No.

32/2004 maka proses perbaikan dalam politik lokal tengah berlangsung. Meskipun tidak

dapat dipungkiri bahwa masih ada berbagai hal yang menjadi persoalan yang dapat

menghambat berjalannya proses demokrasi ini.

6.4.1 Aspek-Aspek Dasar Pemilihan Kepala Daerah Yang Demokratis

Adapaun aspek-aspek dasar Pemilihan Kepala Daerah Yang Demokratis itu adalah:28

1. Adanya pengakuan terhadap hak pilih universal, semua earga Negara yang memenuhi syarat tanpa pengecualian yang bersifat politik dan ideologis diberi hak untuk memilih dan dipilih dalam pilkada.

2. Adanya keleluasaan dalam menampung pluralitas aspirasi, dalam arti bahwa masyarakat memiliki alternatif pilihan saluran aspirasi politik yang leluasa.

27Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,

http://wikipedia.indonesia.com /ensikopedia/bebas/berbahasa/Indonesia/pemilihan/kepala/daerah/ dan/wakil/kepala/daerah/pdf (Diakses November 2007)

(28)

3. Tersedia mekanisme rekruitmen politik bagi calon-calon rakyat. Makanisme yang diharapkan adalah botton up (berdasarkan inisiatif dan aspirasi dari bawah) bukan top down (diturunkan oleh elite partai dan penguasa). Perekrutan calon-calon wakil rakyat oleh parpol diharapkan makin mendekatkan calon legislatif dengan rakyat dan wakilnya. Makin terbuka proses perekrutan dalam tubuh partai, maka makin demokratis hasil pilkada, demikian pula sebaliknya, rakyat mengetahui dengan kualifikasi seperti calon legislatif tersebut ditentukan.

4. Adanya kebebasan bagi pemilih untuk mediskusikan dan menetukan pilihan, kebebasan untuk menetukan preferensi politik bagi para pemilih adalah sebuah faktor penting dalam menakar kualitas sebuah pilkada.

5. Terdapat komite atau panitia pemilihan yang independent. Sebuah pilkada yang sehat membutuhkan sebuah komite yang tidak memihak yaitu komite yang tidak berpretensi untuk merekayasa hasil akhir dari pilkada.

6. Ada keluasan bagi setiap kontentan untuk berkompetisi secara sehat. Peluang kompetisi ini tentu saja masti diberikan mulai dari penggalangan massa, rekruitmen dan penyeleksian calon anggota hingga ketahap kampanye dan tahap-tahap berikutnya.

7. Netralisasi birokrasi pilkada yang demokratis membutuhkan birokrasi yang netral, tidak memihak dan tidak menjadi perpanjangan tangan salah satu kekuatan politik yang ikut bertarung dalam pilkada.

6.4.2. Sistem Pemilihan Kepala Daerah

Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi

rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga pemerintahan

guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem

pemilihan umum.

Perbedaan sistem pemilihan umum ini banyak tergantung pada dimensi dan

pandangan yang ditujukan terhadap rakyat. Pertama, apakah rakyat dipandang sebagai

individu yang bebas untuk menentukan pilihannya dan sekaligus dapat mencalonkan

dirinya sebagai calon wakil rakyat. Kedua, apakah rakyat hanya dipandang sebagai

(29)

akan duduk dalam lembaga pemerintahan dan ia tidak berhak mencalonkan diri sebagai

wakil rakyat.

Dari perbedaan dimensi dan pandangan diatas, maka sistem pemilihan umum

dapat dibedakan menjadi29 Sistem Pemilihan Mechanis dan Sistem Pemilihan Organis.

Pandangan Mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu yang

sama sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks hubungan

yang bersifat kontraktuil. Berbeda dengan pandangan organis yang menempatkan rakyat

sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam

persekutuan hidup berdasarkan geneologis, fungsi tertentu, lapisan sosial dan

lembaga-lembaga sosial.

Berdasarkan sistem pemilihan mechanis, dapat dilaksanakan dengan dua cara,30

yakni Sistem Perwakilan Distrik/Mayoritas/Single Member Constituencies dan Sistem

Perwakilan Proporsional. Karakter utama dari sistem distrik dimana wilayah negara

dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan yang jumlahnya

sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan di badan perwakilan rakyat yang

dikehendaki. Dalam sistem proporsional tidak ada pembagian wilayah pemilihan, karena

pemilihan bersifat nasional.

Dalam sistem perwakilan proporsional ini dikenal dua sistem yakni hare system

dan list system. Dalam hare system atau single transferable vote pemilih diberi

kesmpatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari distrik pemilihan

yang bersangkutan. Berbeda dengan list system pemilih diminta memilih diantara daftar

29 Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia;Dalam Perspektif Struktural Fungsional, Surabaya, SIC, 1998,

hal. 195.

(30)

calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam

pemilihan umum.

Berbeda dengan sistem pemilihan presiden dimana yang digunakan adalah model

second round past the post dengan batas minimal perolehan suara 50 % plus satu untuk

meraih kursi, jika tak ada calon dengan jumlah suara tersebut pada putaran pertama,

digelar putaran kedua terhadap dua calon teratas dengan konsekuensi biaya menjadi

sangat besar ;model penetapan kepala daerah terpilih yaitu dari sistem first past the post

dengan batas minimal perolehan suara 25 %. Sesuai dengan pasal 95 ayat 2 Peraturan

Pemerintah No. 6 Tahun 2005, bahwa apabila tidak terpenuhi lebih dari 50 % dari jumlah

suara sah, maka pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang

memperoleh suara sah lebih dari 25 % dari seluruh jumlah suara sah, maka pasangan

calon yang memperoleh suara tersebar ditetapkan sebagai Calon Terpilih.31 Dan prinsip

yang dipakai dalam Pemilihan Kepala Daerah adalah prinsip Voluntary Voting, dimana

massa pemilih menggunakan hak pilihnya secara sukarela.

6.4.3. Tata Kelola Pemilihan Kepala Daerah

Tata kelola (governance) Pemilihan Kepala Daerah menyangkut berbagai aspek

yang menentukan keberhasilan Pemilihan Kepala Daerah yaitu aspek kesiapan

masyarakat pemilih, ketrampilan petugas lapangan, pendanaan, dan peraturan pemilihan.

Good Pilkada Governance adalah Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan secara

demokratik, dengan memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk

berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan Kepala Daerah harus bebas dari segala

31 KPU Kab. Karo, Proses Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung di

(31)

bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses

pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara.32

Pemilihan Kepala Daerah berupaya menghasilkan kepala daerah yang lebih baik,

lebih berkualitas, dan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi

yang kuat, karena kepala daerah terpilih mendapat mandat langsung dari rakyat.

Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai

dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan dapat

dihindari. Pada gilirannya, pemilihan kepala daerah secara langsung akan menghasilkan

Pemerintah Daerah yang lebih efektif dan efisien, karena legitimasi eksekutif menjadi

cukup kuat, tidak gampang digoyang oleh legislatif.

Good Pemilihan Kepala Daerah governance setidaknya akan menghasilkan enam

manfaat penting.33

1. Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun hasil pemilihan kepala

daerah secara tidak langsung lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagimana

diatur di dalam Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Pemilihan

Kepala Daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala kelemahan dalam

pemilihan Kepala Daerah pada masa lalu. Pemilihan Kepala Daerah bermanfaat untuk

memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan

maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society).

2. Pemilihan Kepala Daerah akan menjadi penyeimbang arogansi lembaga Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang selama ini seringkali mengklaim dirinya sebagai

satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang representatif. Dengan Pemilihan

(32)

Kepala Daerah akan memposisikan Kepala Daerah juga sebagai pemegang langsung

mandat rakyat, yaitu untuk memerintah (eksekutif).

3. Pemilihan Kepala Daerah akan menghasilkan kepala pemerintahan daerah memiliki

legitimasi dan justifikasi yang kuat di mata rakyat. Kepala Daerah hasil Pemilihan

Kepala Daerah memiliki akuntabilitas publik langsung kepada masyarakat daerah

selaku konstituennya, bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan akan

berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya.

4. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan Kepala Daerah yang lebih

bermutu, karena pemilihan langsung berpeluang mendorong majunya calon dan

menangnya calon Kepala Daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat

daerah, menguatkan derajat legitimasi dan posisi politik Kepala Daerah sebagai

konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat.

5. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan pemerintahan suatu daerah yang

lebih stabil, produktif dan efektif. Tidak gampang digoyah oleh ulah politisi lokal,

terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi pemerintah pusat, tidak

mudah dilanda krisis kepercayaan publik, dan berpeluang melayani masyarakat secara

lebih baik.

6. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi mengurangi praktek politik uang (money

(33)

6.5. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dari kegiatan masyarakat yang

merupakan kumpulan dari individu-individu untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Karena melalui pendidikan akan terbina kepribadian dan kemampuan manusia, baik

kemempuan jasmani maupun kemampuan rohani untuk dapat mempertahankan dan

mengembangkan hidup serta kelangsungan hidup masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Taufik Abdullah sebagai masyarakat berikut:

“ Pendidikan adalah usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan manusia baik kemampuan jasmani maupun kemampuan rohani yang dilakukan dalam rumah tangga, sekolah dan dalam masyarakat agar dengan kemampuan dapat mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat “.34

Jadi pelaksana pendidikan itu dapat berlangsung dalam keluarga, perguruan dan

masyarakat luas. Di pandang dari sudut perguruan, maka ada pendidikan formal, non

formal dan informal. Untuk jelasnya dibawah ini diuraikan bentuk-bentukpendidikan

yang menurut S. Sudarmi ada tiga bentuk pendidikan:

1. Pendidikan formal yaitu yang kita kenal dengan pendidikan di sekolah yang diatur

bertingkat dan mengikuti syarat-syarat yang jelas.

2. Pendidikan non formal yaitu pendidikan yang teratur dan sadar dilaksanakan

tetapi perlu mengikuti peraturan ketat dan tetap.

3. Pendidikan informal yaitu pendidikan yang diperoleh sesorang dengan

pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sejak lahir sampai mati,

didalam pergaulan sehari-hari.35

34 Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: PT. Rajawali, 1987, hal. 327.

35 S. Sudarmi, Pendidikan Nonformal Dalam Rangka Pembangunan Sumber Tenaga Manusia Usia Muda,

(34)

Pendapat S. Sudarmi di atas, lebih lanjut dapat dijabarkan yaitu: pendidikan

formal yaitu seluruh yang terorganisir, yang bertujuan untuk mengembangkan

pengetahuan, kepribadian seseorang, yang diperoleh dalam lembaga-lembaga pendidikan

seperti SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Pendidikan nonformal juga bertujuan

untuk mengembangkan pengetahuan dan kepribadian seseorang yang diperolah dalam

bentuk kursus-kursus. Sedangkan pendidikan informal lebih dimaksudkan sebagai hasil

yang diperoleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari, yang juga berpengaruh terhadap

pengembangan pengetahuan dan kepribadian seorang anggota masyarakat.

Menurut Sanafiah Faisal pendidikan memberikan sejumlah pengetahuan,

keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang banyak dari padanya tidak bisa segera dilihat

hasil atau dampaknya, baik seorang anggota masyarakat.36

Pendapat diatas menunjukkan bahwa pendidikan yang diperoleh seseorang akan

menambah pengetahuan dan keterampilannya, mengubah dan nilai-nilai yang dianutnya,

yang pada dasarnya akan terlihat dalam waktu yang agak lama misalnya setelah

seseorang itu memasuki sesuatu organisasi dan dalam hubungan dengan masyarakat.

Dari defenisi diatas dijelaskan bahwa dengan pendidikan akan diperoleh manfaat

yang besar, yaitu pengembangan atau peningkatan kualitas manusia Indonesia yang

cakap dan terampil diberbagai bidang yang diperlukan dalam pembangunan.

Dari beberapa defenisi diatas, dapat kita lihat bahwa pendidikan tersebut dapat

diperoleh tidak hanya melalui jalur formal saja, melainkan juga diperoleh melalui

pendidikan informal. Pendidikan informal ini turut mendukung pendidikan formal yang

telah diperoleh seseorang, ada kalanya seseorang itu tidak mendapatkan pengetahuan dan

(35)

keterampilan yang dibutuhkan sesuai dengan tuntutan lingkungannya, disinilah peranan

pendidikan informal dibutuhkan.

Pendidikan disekolah mempunyai peranan utama dalam aspek intelektual dan

fisik, sedangkan dalam keluarga berperan dalam aspek mental dan karakter. Karena

besarnya pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan manusia, maka

pendidikan intelektual bangsa makin menjadi penting. Harus diusahakan agar sebanyak

mungkin rakyat pernah mengalami pendidikan sekolah. Makin tinggi pendidikan sekolah

dinikmati rakyat makin baik untuk perkembangan bangsa.

(36)

7. DEFENISI KONSEP

Konsep adalah unsur penelitian yang terpenting yang merupakan defenisi yang

dipakai para peneliti untuk menggambarkan sacara abstrak suatu fenomena sosial atau

fenomena alam.37 Untuk menghindari kesalahan maupun kekaburan didalam pengertian

konsep yang digunakan, maka perlu ditegaskan batasan-batasan yang dipergunakan

dalam tulisan ini. Adapun defenisi konsep yang dikemukakan disini adalah sebagai

berikut:

1. Pendidikan adalah usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan manusia baik

kemampuan jasmani maupun rohani yang dilakukan dalam rumah tangga, sekolah dan

dalam masyarakat agar dengan kemampuannya dapat mempertahankan dan

mengembangkan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat.

2. Partisipasi Politik adalah kegiatan warga masyarakat melaui mana mereka mnegambil

bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung

dalam proses pembentukan kebijakan umum.

3. Pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik adalah semakin tinggi tingkat

pendidikan, semakin tinggi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala

(37)

8. DEFENISI OPERASIONAL

Defenisi operasional adalah penjelasan tentang bagaimana suatu variabel akan

diukur. Defenisi operasional merupakan rincian dan indikator-indikator pengukur suatu

variabel. Dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti adalah apakah terdapat pengaruh

tingkat pendidikan terhadap partsipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala

Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo antara lain:

1. Pendidikan, dengan indikator:

a. Pendidikan formal

b. Pendidikan non formal

c. Pendidikan informal

2. Partisipasi Politik, dengan indikator:

a. Menberikan suara dalam pemilihan kepala daerah

b. Partisipasi dalam kampanye

c. Diskusi pemilihan

d. Menjadi anggota partai politik

3. Pengaruh pendidikan terhadap partisipasi politik, semakin tinggi tingkat

pendidikan suatu daerah, semakin tinggi partisipasi politik masyarakatnya.

(38)

9. METODOLOGI PENELITIAN 9.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian

deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu sekarang.

Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu

gejala atau fenomena.38 Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi,

gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta,

sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.

9.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini difokuskan di Masyarakat Desa Batukarang, Kecamatan Payung,

Kabupaten Karo.

9.3. Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh warga masyarakat Desa Batukarang yang memberikan

suaranya dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung Tahun 2005.

Sampel

38 Bambang Prasetyo dkk, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo

(39)

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu.

Dalam menentukan jumlah sampel untuk questioner, penulis menggunakan rumus Taro

Yamame39, yaitu:

N

n = ─────────

N (d)² + 1

Keterangan:

n = Jumlah sampel

N = Jumlah Populasi

d = Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

Pada lokasi penelitian Masyarakat Desa Batukarang, berdasarkan data Pemilihan

Kepala Daerah 2005, jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya adalah 2880 jiwa.

Jadi sampel yang diambil adalah:

2880

n = ─────────

2880 (0,1)² + 1

2880

n = ─────

29,8

n = 96,64

Jadi setelah melalui penggenapan maka jumlah sampel yang diambil ad 97 orang.

(40)

9.3. Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini digunakan teknik Purposive Sampling yaitu terdapatnya

kriteria-kriteria yang perlu dilakukan ataupun dibuat batasan-batasan berdasarkan

tujuan-tujuan tertentu sehingga sesuai dengan sumber daya yang tersedia namun tetap mencapai

jumlah sampel yang ditetapkan. Di desa Batukarang ada 11 lingkungan, .perlingkungan

ditentukan 9 responden Dibagikan total koesioner sebanyak 99 .Sebanyak 2 koesioner

tidak kembali .Maka yang menjadi sampel sesuai dengan tujuan yaitu 97 diolah menjadi

data dalam tulisan skripsi ini.

9.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis

melakukan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:

a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung dengan objek yang akan diteliti

untuk memperoleh data-data. Studi lapangan yang dilakukan adalah dengan datang

langsung ke lokasi yang dijadikan sebagai objek penelitian dengan cara menyebarkan

angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Responden

(41)

b. Data sekunder yaitu dengan cara penulis mengadakan penelitian dengan mencari data

dan informasi melalui buku-buku, literatur dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian

ini.

9.5. Teknik Analisa Data

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan arah tujuan memberikan gambaran

mengenai situasi ataupun kondisi yang terjadi. Data-data yang telah terkumpul, baik data

yang berasal dari kepustakaan maupun penelitian lapangan akan diolah dan dieksplorasi

secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan

masalah yang diteliti.

10. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, ruang

lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori,

defenisi konsep, defenisi operasional, metodologi penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : Deskripsi Lokasi Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di

Masyarakat Desa Batukarang antara lain letak geografis, demografi

(keadaan sosial ekonomi, tingkat pendidikan, agama dan lain-lain) dan

struktur pemerintahan.

(42)

Bab ini memuat data dan analisa data yang akan didapat dari hasil

penelitian yang dilakukan.

BAB IV : Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan yang akan

(43)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

II.1. KEADAAN GEOGRAFIS

Desa Batukarang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Payung

dan terletak di wilayah Kabupaten Karo. Desa Batukarang memiliki topografi dataran

tinggi dengan ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Secara umum Desa Batukarang

beriklim tropis dengan udara sejuk yang dipengaruhi oleh iklim pegunungan dengan

tipe-tipe iklim kering. Rata-rata suhu udara sebesar 19,8°C dengan suhu maksimum 25,8°C

dengan suhu minimum 14,3°C.

Batas-batas Desa Batukarang adalah sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lau Barus

 Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rimo Kayu

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lau Biang

 Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Jandi Meriah

Luas areal kawasan Desa Batukarang adalah 14.000 HA.

Panggong Lama 4057

Panggong Mbaru 4057

Pemukiman 847

Kebun/Reba 3503

Lain-Lain 6453

Dengan penggunaan lahan terbesar untuk pertanian. Penggunaan tanah di Desa

(44)

kering maupun pertanian lahan basah / sawah. Kesuburan tanahnya menjadikan sebagai

kampong yang ideal dan pertanian menjadi sumber kehidupan pokok dan utama bagi

penduduknya. Pertanian padi adalah yang utama sehubungan dengan makanan pokok

adalah beras. Padi ditanam di lading (lahan kering) dan disawah

Dikenalnya teknologi sawah sangat membantu perbaikan kehidupan rakyat. Air

untuk sawah diperoleh dari dibangunnya bendungan sebuah sungai, Lau Boris yang

berhulu disebuah danau kecil, Lau Kawar, di kaki Gunung Sinabung.

Selain pertanian padi, terutama setelah penduduk kampong masuk kedalam rejim

perekonomian uang, tanaman yang dapat dijual dipasar untuk memperoleh uang (cash

crops) menjadi sumber utama yang kedua. Tomat, kentang, wortel, kol, sayur panjang

dan sayur pendek, buncis, arcis, cabai, wortel adalah beberapa jenis tanaman untuk

memperoleh uang. Didalam hal tanaman yang baru itu sawah menjadi lahan yang ideal,

meskipun lahan kering juga dapat dipergunakan.

Berdasarkan kesesuaian lahan, serta ciri khas Desa masyarakat Batukarang

khususnya, dan Kabupaten Karo umumnya yang dikenal dengan spesifikasi tanaman

tertentu, maka penggunaan lahan pertanian terutama pada tanaman holtikultura berupa

sayur - sayuran dan beberapa jenis buah - buahan. Buah jeruk merupakan buah yang

cukup mandapat perhatian pada kawasan ini, tetapi jika dinilai dari potensi lahan

berdasarkan kekuatan dan arah angin. maka komoditi ini tidak dapat dikembangkan

secara optimal karena bentuk lahan yang terbuka. Beberapa komoditi primadona

Sumatera Utara untuk eksport juga berasal dari kawasan ini, terutama kentang dan kubis.

Selain itu, berdasarkan kesesuaian jenis tanah dengan komoditi, terdapat kecocokan

(45)

II.2. KEADAAN DEMOGRAFIS

Masyarakat Desa Batukarang merupakan komunitas masyarakat yang majemuk

yang sebagian besar masyarakatnya adalah suku Karo. Bahasa pengantar sehari-hari

adalah bahasa Karo

Berdasarkan data yang ada pada Desa Batukarang, penduduk desanya berjumlah

4180 jiwa atau 1194 kepala keluarga yang terdiri dari laki-laki 2059 jiwa dan perempuan

2121 jiwa. Dengan kepadatan penduduk.

II.3. KEADAAN SOSIAL DAN EKONOMI 1. Mata Pencaharian

Pada umumnya penduduk Desa Batukarang bermata pencaharian dari pertanian

dengan bercocok tanam tanaman holtikultura berupa sayur-sayuran dan beberapa jenis

buah-buahan karena dari struktur pertanahannya yang basah dan sejuk. Secara lebih rinci

dan jelas komposisi penduduk Desa Batukarang menurut mata pencahariannya adalah

(46)

Tabel 3

Komposisi Mata pencaharian

No. Mata Pencaharian Jumlah

1. Petani 3669

2. PNS 209

3. Pegawai Swasta 42

4. Jasa 19

5. Wiraswasta 196

6. Pensiunan 39

7. TNI/POLRI 6

Total 4180

Sumber : Data statistik masyarakat desa Batukarang

2. Agama

Dari segi agama, penduduk desa masyarakat batukarang terbagi ke dalam tiga

agama besar, yaitu Islam, Kristen Protestan, dan Kristen Khatolik. Tetapi dari ketiga

agama tersebut, yang terbesar dianut oleh penduduk desa masyarakat batukarang adalah

agama Kristen Protestan yaitu sebanyak 1981 orang. Berikut komposisi penduduk

(47)

Tabel 4

Komposisi Penduduk Menurut Agama

No. AGAMA JUMLAH

1. Kristen Protestan 1981

2. Islam 418

3. Kristen Khatolik 1672

4. Lain-lain 109

TOTAL 4180 Sumber: Data statistik masyarakat desa Batukarang

3. Prasarana Desa

a. Pendidikan

Dari segi pendidikan, masyarakat desa Batukarang hanya terdapat lembaga

pendidikan formal dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan Sekolah Menengah

Atas. Sarana pendidikan yang lebih banyak adalah sarana pendidikan untuk Sekolah

Dasar. Adapun prasarana pendidikan yang ada, sebagai berikut:

1. TK : 1 unit

2. SD Negeri : 4 unit

3. SD Bertingkat : 1 unit

4. SMP Negeri : 1 unit

(48)

b. Kesehatan

Masyarakat desa Batukarang dapat dikatakan telah peduli tentang kesehatan.

Dapat dilihat melalui penyediaan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.

Prasarana-prasarana kesehatan yang ada, sebagai berikut:

1. BPU : 1 unit

2. BKIA : 1 unit

3. Polindes : 4 unit

c. Rumah Ibadah

Prasarana rumah ibadah yang tersedia di Desa Batukarang adalah sebagai berikut:

1. Gereja : 8 unit

2. Mesjid : 1 unit

d. Perdagangan dan Jasa

Keadaan sarana perdagangan dan jasa di Desa Batukarang sangat banyak, yakni

sebagai berikut:

1. Kedai Kelontong/ sampah : 60 unit

2. Kedai Kopi : 40 unit

3. Kedai Warung nasi : 10 unit

4. Kedai Kios/ pupuk : 5 unit

5. Wartel : 5 unit

6. Tukang pangkas/ salon : 5 unit

7. Gilingan Padi : 2 unit

(49)

Banyaknya jumlah bangunan rumah yang terdapat di Desa Rumah Berastagi

adalah sebagai berikut :

1. Rumah Permanen : 1258 unit

2. Rumah Semi Permanen : 42 unit

II.4. STRUKTUR ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA

Bagan 1 KEPALA DESA

SEKRETARIS DESA

KEPALA URUSAN PMERINTAHAN

KEPALA URUSAN UMUM

(50)

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Dalam bab ini akan dibahas tentang data yang diperoleh selama penelitian

berlangsung, yang terdiri dari karakteristik responden dan jawaban responden atas angket

yang telah dibagikan terlebih dahulu selama penelitian berlangsung.

Dalam penyajian data ini jawaban yang diperoleh dari responden akan disajikan

dalam bentuk tabel tunggal, yang berisi kategori jawaban, jumlah responden yang

menjawab dan persentase. Adapun hasil penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu :

1.Karakteristik responden

2.Variabel penelitian

Setelah disajikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian, maka akan

dipaparkan analisa dari hasil-hasil penelitian.

3.1. Proses Pengajuan Bakal Calon Kepala Daerah Kabupaten Karo 2005

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,

Pengesahan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,

bahwa partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon

harus menggunakan ketentuan memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi

(51)

yaitu 15 :100 x 35 = 5,25 yang dibulatkan menjadi 6 kursi, atau sekurang-kurangnya 15%

dari perolehan jumlah suara sah dalam Pemilihan Umum 2004 atau 23.244 suara sah40.

Pendaftaran Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Karo

Tahun 2005dilaksanakan mulai dari 25 s/d 31 Juli 2005 dengan komposisi pasangan

calon yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Karo sebagai berikut:

TABEL 2

DAFTAR PASANGAN CALON BUPATI/WAKIL BUPATI KABUPATEN KARO

6 Kursi Partai Golkar

Drs. DAULAT DANIEL

4040 KPU Kab. Karo, Proses Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung di

Gambar

Tabel 3                                   Komposisi Mata pencaharian
Tabel 4                                   Komposisi Penduduk Menurut Agama
TABEL 2 DAFTAR PASANGAN CALON BUPATI/WAKIL BUPATI
Tabel 12
+6

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Margaretha dan Zai 2013 bahwa rasio Loan to Deposit Ratio LDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return on Asset ROA yang

Dalam era perkembangan teknologi maklumat dan komunikasi (ICT), ibu bapa perlu diberi pendedahan tentang penggunaan teknologi ini bagi menghasilkan masyarakat yang celek

[r]

Namun, walaupun sampel aroma jeruk mendapatkan score paling tinggi, pemberian varian aroma yang lain tetap dapat diberikan, melihat dari analisis Mann-whitney terdapat tiga

Siklus II terdiri dari 4 tahap yaitu perencanaan ( planning ), tindakan ( acting ), pengamatan ( observing ), dan refleksi ( reflecting ). Setelah diperoleh data awal

a. Menu aturan umum squash, dalam menu ini materi yang akan disampaikan yaitu aturan umum squash yang terdiri dari aturan cara bermain olahraga squash, standar lapangan yang

1) Hubungan antara pemimpin dengan bawahan (leader-member relations). a) Menunjukkan tingkat kualitas hubungan yang terjadi antara atasan dengan bawahan. b) Sikap

Beton aspal adalah salah satu tipe campuran pada lapisan penutup konstruksi perkerasan jalan yang mempunyai nilai struktural dengan kualitas yang tinggi, terdiri atas