PENGARUH
TINGKAT
PENDIDIKAN
TERHADAP
PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DIDALAM
PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2005 DI
KABUPATEN KARO
(STUDI KASUS: MASYARAKAT DESA BATUKARANG, KECAMATAN PAYUNG, KABUPATEN KARO)
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GUNA MEMPERTOLEH GELAR
SARJANA ILMU POLITIK
OLEH
KURNIA PUTRA BANGUN
040906056
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
MEDAN
Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung 2005 di Kabupaten Karo (Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Batukarang Kecamatan Payung)
Kurnia Putra Bangun 040906056
Pembimbing : Dra. Evi Novida Ginting, MSP Pembaca:Warjio,SS.MA
Departemen Ilmu Politik
ABSTRAKSI
Yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah tahun 2005 di Kabupaten Karo ?.Yang menjadi populasi hak suara 2880 jiwa (pemilihan umum 2005) yang menjadi sampel 97 orang,yang tersebar kesemua lingkungan yang ada dikelurahan desa Batukarang.Tehnik analisa data bentuk tabulasi tabel frekwensi dengan penjelasan yang bersifat deskriptif.
Adapun hasil penelitian ini adalah :
Tingkat pendidikan yang paling banyak tamat SLTA/sederajad (40,20%) sebanyak (92,78%) menyatakan pernah menjalani pendidikan formal karena pendidikan formal itu penting. Pendidikan formal mempunyai hubungan dengan pendidikan nonformal (77,32%). Masyarakat cukup tertarik dengan pendidikan non formal (55,67%).Pendidikan politik masih sangat minim diterima oleh masyarakat Batukarang(11,34%).Masyarakat menyadari bahwa pendidikan politik dapat meningkatkan pengetahuan (62,89%).
Pendidikan dapat mempengaruhi partisipasi politik saat pilkada 2005 hanya (52,89%).Partisipasi Politik masyarakat ikut dalam pemilihan kepala daerah 2005 sebanyak (80,41%). Berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah supaya berkeinginan mengalami perubahan (67,01%). Berpartisipasi mengikuti pemilihan kepala daerah sebagai warga Negara yang baik (67,01%). Berpartisipasi menentukan kriteria calon kepala daerah yang memihak rakyat (24,74%) sedang memihak partai (62,89%).
Berpartisipasi dalam bentuk kampanye (62,89%), ikut menjadi anggota partai (13,40%), ikut menyebarkan selebaran partai (60,82%), ikut kampanye calon kepala daerah 2005 (77,32%) dan sebagai massa (100%).Berpartisipasi memilih kandidat calon dipengaruhi oleh visi dan misi hanya (24,74%) selebihnya hanya coblos saja.
Iklan sangat berperan dalam menentukan pilihan (79,38%). Informasi perkembangan politik local dan nasional mengenai pemilihan kepala daerah melalui Koran, radio dan spanduk (81,44%).
Informasi perkembangan politik tentang pemilihan kepala daerah dari teman, saudara, orangtua (81,44%). Informasi dari perkembangan politik dari TV dan radio sangat minim (5,16%) atau tidak ada (60,82%).Informasi berita politik dari koran, tabloid dan majalah sangat sering (25,77%) dan sering (61,86%). Masyarakat masih
Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung 2005 di Kabupaten Karo (Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Batukarang Kecamatan Payung)
Kurnia Putra Bangun 040906056
Pembimbing : Dra. Evi Novida Ginting, MSP Pembaca:Warjio,SS.MA
Departemen Ilmu Politik
ABSTRAKSI
Yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah tahun 2005 di Kabupaten Karo ?.Yang menjadi populasi hak suara 2880 jiwa (pemilihan umum 2005) yang menjadi sampel 97 orang,yang tersebar kesemua lingkungan yang ada dikelurahan desa Batukarang.Tehnik analisa data bentuk tabulasi tabel frekwensi dengan penjelasan yang bersifat deskriptif.
Adapun hasil penelitian ini adalah :
Tingkat pendidikan yang paling banyak tamat SLTA/sederajad (40,20%) sebanyak (92,78%) menyatakan pernah menjalani pendidikan formal karena pendidikan formal itu penting. Pendidikan formal mempunyai hubungan dengan pendidikan nonformal (77,32%). Masyarakat cukup tertarik dengan pendidikan non formal (55,67%).Pendidikan politik masih sangat minim diterima oleh masyarakat Batukarang(11,34%).Masyarakat menyadari bahwa pendidikan politik dapat meningkatkan pengetahuan (62,89%).
Pendidikan dapat mempengaruhi partisipasi politik saat pilkada 2005 hanya (52,89%).Partisipasi Politik masyarakat ikut dalam pemilihan kepala daerah 2005 sebanyak (80,41%). Berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah supaya berkeinginan mengalami perubahan (67,01%). Berpartisipasi mengikuti pemilihan kepala daerah sebagai warga Negara yang baik (67,01%). Berpartisipasi menentukan kriteria calon kepala daerah yang memihak rakyat (24,74%) sedang memihak partai (62,89%).
Berpartisipasi dalam bentuk kampanye (62,89%), ikut menjadi anggota partai (13,40%), ikut menyebarkan selebaran partai (60,82%), ikut kampanye calon kepala daerah 2005 (77,32%) dan sebagai massa (100%).Berpartisipasi memilih kandidat calon dipengaruhi oleh visi dan misi hanya (24,74%) selebihnya hanya coblos saja.
Iklan sangat berperan dalam menentukan pilihan (79,38%). Informasi perkembangan politik local dan nasional mengenai pemilihan kepala daerah melalui Koran, radio dan spanduk (81,44%).
Informasi perkembangan politik tentang pemilihan kepala daerah dari teman, saudara, orangtua (81,44%). Informasi dari perkembangan politik dari TV dan radio sangat minim (5,16%) atau tidak ada (60,82%).Informasi berita politik dari koran, tabloid dan majalah sangat sering (25,77%) dan sering (61,86%). Masyarakat masih
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Pembangunan politik sebagai suatu bagian dari pembangunan secara menyeluruh,
mempunyai beberapa karakteristik. Salah satu karakteristik dari pembangunan politik
adalah tumbuhnya peningkatan partisipasi warga negara dalam beraneka ragam
bentuknya, mulai dari yang resmi atau mengikuti jalur yang ditetapkan oleh pemerintah
(konvensional) sampai bentuk yang tidak resmi (in konvensionil).
Sebagai negara yang sedang giat melancarkan pembangunan, maka kita lihat
masa sekarang ini pemerintah indonesia berusaha mengadakan dan melaksanakan
pembangunan disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara guna mengejar
ketertinggalan dari negara-negara maju. Salah satu aspek yang termasuk didalamnya
adalah “Pembangunan Politik” yang mempunyai beberapa segi. Salah satu segi
diantaranya adalah melibatkan pertisipasi politik.1
Partisipasi politik merupakan suatu masalah yang dianggap penting pada
akhir-akhir ini, banyak dipelajari orang terutama dalam kaitannya dengan perkembangan
negara-negara berkembang. Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting
demokrasi. Secara konseptual, pertisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau
sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan
memilih pimpinan negara secara langsung atau secara tidak langsung mempengaruhi
kebijakan pemerintah (Public Policy). Kegiatan tersebut mencakup tindakan seperti
1 Lucian W Pye, Pengertian Pembangunan Politik, dikutip oleh Juwono Sudarsono, Pembangunan Politik
memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota
suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan
(countacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan lain sebagainya.2
Selain bentuk partisipasi politik yang aktif ada juga partisipasi yang bersifat pasif
atau apatis. Bentuk apatis politik yaitu apti, anomie, sinisme, dan alienasi. Secara umum
keempatnya didefenisikan sebagai suatu kegiatan yang tidak memiliki perhatian sama
sekali terhadap orang lain disekitar lingkungannya.3
Partisipasi politik dapat juga terwujud dengan berbagai bentuk, studi-studi tentang
partisipasi dapat menggunakan skema klasifikasi yang agak berbeda-beda, namun
kebanyakan riset belakangan ini membedakan jenis-jenis prilaku yaitu: kegiatan
pemilihan yang mencakup pemungutan suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan
untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon
atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Berpartisipasi
dalam pemungutan suara adalah jauh lebih luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk
partisipasi politik lainnya dan oleh sebab itu faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian
itu sering kali membedakannya dari jenis-jenis partisipasi lainnya.
Penelitian tentang partisipasi politik, salah satunya dilakukan oleh Lipset
berdasarkan oleh pemilihan umum di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa barat
seperti Jerman, Swedia, Norwegia, dan Finlandia, bahwasanya:
“ Di negara-negara itu orang kota lebih banyak memberikan suara dari pada orang desa, mereka yang berumur antara 35 dan 55 lebih banyak daripada yang usianya dibawah 35 tahun ataupun yang usianya diatas 55 tahun; pria lebih banyak dari
2 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal 1-2 3 Michael Rusf dan Philip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 2003,
pada yang belum kawin. Serta pendapatan, pendidikan dan status merupakan faktor penting dalam proses partisipasi, atau dengan kata lain orang yang berpendapatan tinggi, berpendidikan baik, dan yang berstatus social tinggi, cenderung banyak berpartisipasi deripada orang yang berpendapatan serta pendidikannya rendah.”4
Hasil penelitian ini kemudian diperkuat lagi untuk keadaan Amerika Serikat
dalam suatu studi dari Sidney Verba dan Norman H.Nie, yang dianalisis kembali oleh
Karl Deutsch dalam Politik and Government dan mengambil kesimpulan bahwa:
“ Di Amerika sepertiga dari kelompok warga Negara yang paling tinggi status serta pendapatannya, mengadakan partisipasi enam kali lebih banyak daripada sepertiga kelompok warga Negara yang paling rendah dan memperoleh dua kali lebih banyak tanggapan positip dari pemerintah.”5
Selain itu tingkat partisipasi orang itu berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor diantaranya umur, jenis kelamin, status ekonomi dan sosial, pendidikan
dan pekerjaan. Di negara-negara berkembang sebagaimana halnya Indonesia, partisipasi
politik merupakan suatu masalah yang sulit dan rumit untuk diukur sacara jelas dilihat
dan diukur melalui hal pemilihan atau pemungutan suara. Moeljarto Tjokrowinoto
menyatakan dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan status social ekonomi serta
iklim kebutuhan yang semakin nyata, masyarakat menuntut keabsahan pada jenjang yang
berbeda yaitu Political Legitimacy; ukuran kelayakan dicari kualitas Political
Ferformance dari lembaga-lembaga politik.6
4 Miriam, Op.cit, hal 9
5Ibid, hal 9
6 Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema Dan Tantangan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hal
Hasil penelitian Hetti SN Simanjutak yang dibimbing Tony Situmorang menyatakan
bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi partisipasi politik seseorang atau
sekelompok masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan yang masih rendah kurang
menaruh perhatian pada partisipasi politik.7
Pendidikan merupakan suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum
seseorang termasuk didalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan
memutuskan terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan mencapai tujuan.
Oleh karena itu pendidikan tinggi bisa memberikan informasi tentang politik dan
persoalan-persoalan politik, bisa mengembangkan kecakapan menganalisa dan
menciptakan minat dan kemampuan berpolitik.
Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Lipset, penulis ingin melakukan
penelitian bahwa pendidikan itu mempengaruhi partisipasi politik. Di banyak negara
pendidikan tinggi sangat mempengaruhi partisipasi politik, mungkin karena pendidikan
tinggi, bisa memberikan informasi tentang politik, bisa mengembangkan kecakapan
menganalisa dan menciptakan minat dan kemampuan dalam berpolitik, juga lembaga
pendidikan dan kurikulumnya sengaja berusaha mempengaruhi proses sosialisasi politik
kaum muda. Hal itu terjadi disemua negara, baik negara komunis, otoriter maupun
demokkratis.
Orang terpelajar lebih sadar akan pengaruh pemerintah terhadap kehidupan
mereka, lebih memperhatikan kehidupan politik, memperoleh lebih banyak informasi
tentang proses-proses politik dan lebih kompeten dalam tingkah laku politiknya.8
7 Hetti SN Simanjuntak, Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Politik Pada Pemilihan
Presiden dan Wakil, Presiden 2004, Skripsi Fisip USU Departemen Ilmu Politik 2007, hal 62
Bertitik tolak dari konteks kalimat diatas dibarengi dengan kemajuan-kemajuan
dalam bidang pendidikan, pembangunan ekonomi, stabilitas politik, ideologi dan
keamanan maka meningkat pula pola pikir dan taraf hidup masyarakat disertai
meningkatnya tuntutan kebutuhan masyarakat secara kwalitas dan kwantitas. Masyarakat
juga semakin kritis dalam setiap langkah, pemikiran, ucapan, dan tindakan serta
memberikan partisipasinya secara intens. Hal ini sangat ditanggapi secara wajar, karena
kenyataan ini justru semakin tingginya kesadaran berbangsa dan bernegara dalam
masyarakat.
Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat
diimbangi kondisi prasarana dan sarana mendukung dan fakta meningkatnya secara pesat
media komonikasi, merupakan peluang yang menguntungkan dalam membina partisipasi
politik masyarakat. Apalagi perencanaan pembangunan sekarang ini memiliki pandangan
yang baru dan aktual, karena terlihat fisi yang baru. Fisi itu mengangkat bahwa tujuan
pembangunan seyogiyanya mengandung bobot pembinaan partisipasi politik. Sehingga
aktifitas pembangunan diwarnai dengan istilah politik seperti pembangunan politik,
sosialisasi politik, partisipasi politik, sistem politik, public policy dan pendidikan politik.
Masyarakat desa Batukarang mempunyai latar belakang semangat tinggi untuk
berpendidikan mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai jenjang pendidikan Tinggi.Desa
Batu karang mempunyai tanah yang subur ,sumber nafkah daerah ini adalah
pertanian,produksi hasil pertanian yang paling terkenal adalah tembakau dan cabe merah.
Bila ditinjau dari sejarahnya masyarakat desa Batukarang sejak tahun 1852 sampai 1942
Kiras Bangun (Garamata) sudah ikut berpartisipasi politik dalam memperjuangkan
melawan Belanda.9 Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis sebagai generasi
penerus bangsa ini ingin mengetahui bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan
terhadap partisipasi politik masyarakat desa Batukarang didalam pemilihan Kepala
Daerah tahun 2005 di Kabupaten Karo.
Dalam penelitian yang akan diadakan, penulis membahas partisipasi politik dari
segi tingkat pendidikan. Tingkat partisipasi politik sangat memiliki hubungan erat dangan
pendidikan, artinya semakin tinggi pendidikan seseorang itu dapat mempengaruhi
tingginya tingkat partisipasi masyarakat dibidang politik. Partisipasi berhubungan dengan
kepentingan-kepentingan masyarakat sehingga apa yang dilakukan rakyat dalam
partisipasi politiknya menunjukkan drajat kepentingan mereka.
2. PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah
“ Bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan terhadap partsipasi politik masyarakat
dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo, dengan
mengambil studi pada masyarakat desa Batukarang, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo
3. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini memerlukan pembatasan ruang lingkup agar pembahasannya dapat
lebih terfokus, maka penelitian ini mempunyai ruang lingkup:
9 Payung Bangun dkk, Kiras Bangun – Pahlawan Nasional Dari Tanah Karo,Jakarta: Kesaint Blanc, 2008
a. Pada pembahasan pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik dalam
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo.
b. Penulis melakukan penelitian ini pada Masyarakat Desa Batukarang, Kecamatan
Payung, Kabupaten Karo.
4. TUJUAN PENELITIAN
Setiap penelitian senantiasa diupayakan kearah terwujudnya tujuan yang
diinginkan. Adapun yang menjadi tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik masyarakat dalam
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo, dengan
mengambil studi pada masyarakat desa Batukarang, Kecamatan Payung, Kabupaten
Karo.
5. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan yang bermanfaat kepada
semua pihak secara umum yaitu:
1. Bagi penulis dapat mengasah dan meningkatkan serta mengembangkan
kemampuan berpikir penulis melalui penulisan ilmiah.
2. Memberikan bahan masukan dan bahan pertimbangan pada pihak yang
berkepentingan berkaitan dengan tingkat pendidikan dalam partisipasi politik.
3. Dan diharapkan dapat menambah referensi karya ilmiah dibidang ilmu sosial dan
6. KERANGKA TEORI 6.1. Partisipasi Politik
Dalam analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang
penting, dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan
negara-negara yang sedang berkembang.
Apakah yang dinanamakan partisipasi politik itu? Sebagai defenisi umum dapat
dikatakan bahwa partisipasi partai politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang
untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih
pimpinan negara, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan
pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara
dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau
kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contatcting) dengan pejabat pemerintah
atau anggota parlemen, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini disajikan
pendapat beberapa sarjana.10
Herbet Mc Closky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences.
“Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.” (The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society in the selection of rules and, directly or indirectly, in the formation of public policy).
Norman H.Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science.
“Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga Negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejebat Negara
dan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka”. (By political participation we refer to those legal activities by private citizens which are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and or the action they take).
Yang diteropong terutama adalah “tindakan-tindakan yang bertujuan untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah”, sekalipun fokus utamanya lebih luas
tetapi abstrak, yaitu usaha-usaha untuk mempengaruhi “alokasi nilai secara otoritatif
untuk masyarakat” (the authoritative allocation of values for a society).
Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation
in Developing Countries
“Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.” (By political participation we mean activity by private citizens designed to influence goverment decision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective).
Di pihak lain, Budiardjo secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai
kegiatan sesorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan
politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public policy).11
Partisipasi politik dapat dilihat dari beberapa sisi sebagai suatu kegiatan
dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif.12
Partsisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai
suatu kebijakan umum, mengajukan alternative kebijakan umum yang berbeda dengan
kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan
kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinan
pemerintahan. Di pihak lain partisipasi pasif, anatara lain berupa kegiatan mentaati
peraturan/perintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan
pemerintah.13
Sementara Milbart dab Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa
katagori.14 Katagori pertama adalah apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses
politik . Kedua adalah spektator, yaitu orang-orang yang setidak-tidaknya pernah ikut
dalam pemilihan umum. Ketiga gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat
dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan
kontak tatap muka, aktifis partai dan pekerja kampanyenya, serta aktifis masyarakat.
Keempat pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak
konvensional.
Rosenberg menyebutkan tiga alasan adanya partisipasi politik. Alasan pertama
bahwa individu memandang bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap
beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat
merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena
kedekatannya dengan partai politk tertentu.15
13 Sidujoni Sastroatmodjo, Prilaku Politik, Semarang, IKIP Semarang Press, 1995, hal.74. 14 Surbakti, op.cit, hal 43.
Alasan kedua, individu menganggap aktivitas politik merupakan kegiatan yang
sia-sia belaka. Individu-individu beranggapan bahwa ia tidak akan mungkin dapat
mengubah keadaan dan melakukan kontrol politik.
Alasan ketiga, berupa ketidakadaan pesaing politik. Hal itu didasarkan atas
pemikiran bahwa buah pemikiran poltik itu tidak menarik baginya dan menganggap
bahwa politik hanyalah memberikan kepuasan sedikit dan tidak langsung, sedang hasil
langsung yang diterimanya sangat sedikit. Dengan kata lain bahwa partisipasi politik
baginya bukanlah hal yang layak untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.
Sanit membagi partisipasi di Indonesia dapat menjadi tiga tujuan. Pertama,
memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem
politik yang dibentuknya. Partisipasi politik ini sering terwujud dalam bentuk pengiriman
wakil-wakil/utusan pendukung kepusat pemerintah, pembuatan pernyataan yang isinya
memberikan dukungan terhadap pemerintah dan pemilihan calon yang diusulkan oleh
organisasi politik yang telah dibina dan dilembagakan oleh penguasa tersebut. Kedua,
partisipasi yang dimaksud sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan
pemerintah. Ketiga, partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud
menjatuhkannya sehingga diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan
dan dalam sistem politik.16
16 Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat, Telaah Tentang Keterkaitan ORMAS, Partisipasi Politik dan
6.2.1 Cara-cara Berpartisipasi
Kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi politik mempunyai
bermacam-macam bentuk dan intensitas. Biasanya diadakan perbedaan jenis partisipasi
menurut frekuensi dan intensitasnya. Menurut pengamatan, orang yang mengikuti
kegiatan secara tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan yang
biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri, seperti memberikan suara pada pemilihan
umum, besar sekali jumlahnya.
Sebaliknya, kecil sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan
diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktifis politik ini mencakup antara lain menjadi
pimpinan dari partai atau kelompok kepentingan.
Berbagai jenis partisipasi tergambar dalam piramida yang basisnya lebar, tetapi
menyempit ke atas sejalan dengan meningkatnya intensitas politik. Diantara basis dan
puncak terdapat berbagai kegiatan yang berbeda-beda intensitasnya; berbeda menurut
intensitas kegiatan maupun mengenai bobot komitmen dari orang yang bersangkutan.
Termasuk didalamnya memberi suara dalam pemilihan umum, mendiskusikan masalah
politik, menghadiri rapat umum yang bersifat poltik, dan menjadi anggota kelompok
kepentingan. Yang lebih intensif lagi adalah melibatkan diri dari berbagai proyek
pekerjaan sosial, contacting atau lobbying pejabat-pejabat, bekerja aktif sebagai anggota
partai politik dan menjadi juru kampanye; dan yang paling intensif, sebagai pimpinan
6.2.2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dan berbagai waktu
dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam bentuk konvensional dan
non-konvensional, termasuk yang legal maupun ilegal, penuh kekerasan, dan
revolusioner. Pertisipasi politik masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga
tujuan, yaitu: Pertama, memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang
dibentuk beserta sistem politik yang disusunnya. Partisipasi ini diwujudkan dalam bentuk
mengirim utusan pendukung ke pusat pemerintahan, membuat pernyataan sikap
mendukung kebijaksanaan pemerintahan, memeilih calon yang ditawarkan oleh organisai
politik yang dibina ataupun dikembangkan oleh penguasa dan sebagainya.
Kedua, partisipasi politik dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan
kelemahan penguasa dengan harapan supaya penguasa mengubah atau memperbaiki
kelemahan tersebut. Partisipasi ini diwujudkan dalam bentuk petisi, resolusi, mogok,
demonstrasi dan sebagainya. Di dalam ini disalurkan kepentingan para peserta partisipasi
tersebut beserta keinginan masyarakat yang diwakilinya. Ketiga, partisipasi sebagai
tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga terjadi perubahan
pemerintah atau sistem politik. Mogok, pembangkangan politik, huru hara dan
pemberontak bersenjata dapat merupakan usaha untuk mencapai maksud tertentu.
Apabila partisipasi politik yang pertama mendukung kekuatan pemerintah, maka yang
kedua berusaha untuk melemahkan pemerintah. Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi
politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas
Menurut Almond bentuk partisipasi konvensional dan non-konvensional
Tabel 1
Partisipasi Politik Konvensional dan Non Konvensional
Konvensional Non Konvensional
Pemberian suara Pengajuan petisi
Diskusi politik Berdemokrasi
Kegiatan kampanye Konfrontasi
Membentuk dan bergabung dengan partai
politik
Mogok
Komonikasi individual dengan pejabat
politik dan administrasi
Tindakan kekerasan politik terhadap harta
benda (perusakan, pemboman, pembakaran)
Sumber: adaptasi dari Gabriel Almond dalam Mochtar Mas’oed dan Cillin Mc Andrews, Perbandingan Sisitem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001, hal 47
Dari berbagai aktivitas ini kita bisa melihat keberagaman aktivitas dalam partisipasi
politik. Dari hal yang paling sederhana hingga yang kompleks, dari bentuk-bentuk yang
mengedepankan kondisi damai hingga tindakan-tindakan kekerasan. Namun pada
umumnya partisipasi politik hanya mencakup kegiatan yang bersifat positif.
6.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik: Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik yaitu:17
1. Pendidikan sangat mempengaruhi partisipasi politik. Menurut Heidjrachman18
mengatakan pendidikan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan
umum seseorang termasuk didalamnya peningkatan penguasaan teori dan
keterampilan memutuskan terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan
mencapai tujuan. Oleh karena itu, pendidikan tinggi bisa memberikan informasi
17 Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, Gadjah Mada
tentang politik dan persoalan-persoaln politik, bisa mengembangkan kecakapan
menganalisa, dan menciptakan minat dan kemampuan berpolitik.
Makin tinggi pendidikan masyarakat menjadi makin tinggi kesadaran politiknya.
Demikian juga sebaliknya, makin rendah tingkat pendidikannya, makin rendah pula
tingkat kesadaran politiknya.
Menurut Dr. B. Siswanto Sastrohadiwiryo berdasarkan sifatnya, pendidikan dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Pendidikan Umum, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dalam dan diluar
sekolah, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, dengan
tujuan mepersiapkan dan mengusahakan para peserta pendidikan memperoleh
pengetahuan umum.
b. Pendidikan Kejuruan, yaitu pendidikan umum yang direncanakan untuk
mepersiapkan para peserta pendidikan mampu melaksanakan pekerjaan sesuai
dengan bidang kejuruannya.
2. Perbedaan jenis kelamin dan status sosial-ekonomi juga mempengaruhi keaktifan
seseorang dalam berpartisipasi politik. Tingkat partisipasi politik memiliki hubungan
erat dengan pertumbuhan sosial ekonomi. Artinya bahwa kemajuan sosial ekonomi
suatu negara dapat mendorong tingginya tingkat partisipasi rakyat. Partisipasi itu juga
berhubungan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat, sehingga apa yang
dilakukan rakyat dalam partisipasi politiknya menunjukkan drajat kepentingan
mereka. Kedudukan sosial tertentu, misalnya orang yang memiliki jabatan atau
kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, akan memiliki tingkat partisipasi politik
yang cenderung lebih tinggi daripada orang yang hanya memiliki kedudukan sosial
yang rendah. Orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi lebih aktif daripada yang
berstatus rendah.
3. Media massa berfungsi sebagai penyampai informasi tentang perkembangan politik
nasional maupun local. Media massa dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
berbagai kebijakan dan media massa juga mencerminkan jiwa zaman dari suatu
pemberitaan.19 Media massa juga mempengaruhi partisipasi politik masyarakat
dikarenakan para calon kandidat menyampaikan visi-misinya melalui media yang
ada, baik itu media elektronik seperti TV, dan Radio maupun media cetak seperti
Koran.
4. Aktivitas kampanye.
Biasanya kampanye-kempenye politik hanya dapat mencapai pengikut setia partai,
dengan memperkuat komitmen mereka untuk memberikan suara.
6.3. Kontruksi Teoritis Tentang Pemilu 6.3.1. Pengertian
Dalam wacana poltik umumnya, wahana pemilu dikenal sebagai suara untuk
melakukan pergantian dan sekaligus kaderisasi politik. Berbagai perubahan dan
implementasi konsep-konsep baru dalam penataan negara dijanjikan terfasilitasi oleh
pemilu. Dengan demikian pemilu dapat dikatakan sebagai tonggak utama dalam
memandu setiap perubahan supra struktur politik yang ada disebuah negara.
19 Noveri, dkk, Peranan Media Massa Lokal Bagi Pembinaan dan Pembangunan Kebudayaan Daerah
Menurut Tataq Chimad pada prinsipnya pemilu dalam tanah demokrasi lebih
bermakna:20
1. Kegiatan partisipasi politik dalam memajukan kesempurnaan oleh berbagai pihak.
2. Sisitem perwakilan bukan partisipasi langsung dimana terjadi perwakilan
penentuan akhir dalam memilih elit politik yang berhak duduk mewakili
masyarakat.
3. Sirkulasi para elit politik yang berujung pada perbaikan performance eksekutif.
Pemilu sebagai wujud dari demokrasi bertujuan sebagai makanisma untuk
mnyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternative kebijakan umum. Selain itu juga
bertujuan sebagai makanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat
kepada badan perwakilan rakyat sehingga integritas masyarakat tetap terjamin. Selain itu
pemilihan kepala daerah bertujuan untuk menggalang dukungan rakyat terhadap
daerahnya dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.21
6.3.2. Sisitem Pemilihan
Macam-macan sistem pemilihan, yaitu:22
1. Sisitem Distrik (single-member-constituencies)
Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah
yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Calon yang dalam
satu distrik memperoleh suara yang terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang
20 Tataq Chimad, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Yogyakarta, Pustaka Widyatama, 2004. hal. 3. 21 Eman Hermawan, Politik Membela Yang Benar: Teori, Kritik dan Nalar, Yogyakarta; LKIS, 2001. hal.
76
ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak
diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya.
Sistem ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu: Pertama, sistem ini kurang
memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apabila jika
golongan ini terpencar dalam beberapa distrik. Kedua, sistem ini kurang representitatif
dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang
mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan
sama sekali; dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara
yang hilang dapat mencapai sumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh
golongan-golongan yang merasa dirugikan.
Disamping kelemahan-kelemahan tersebut diatas ada banyak segi positifnya, yang
oleh negara-negara yang menganut system ini dianggap lebih menguntungkan dari pada
sistem pemilihan lain: Pertama, karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat
dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat.
Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik.
Padahal sebagai seorang anggota badan perwakilan rakyat seharusnya “belong to the
nation dan speak for the nation”. Kedua, sistem ini kurang memperhatikan adanya
partai-partai kecil dan golongan minoritas apalagi bila golongan-golongan in terpencar dalam
berbagai diatrik.23Ketiga, sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
23 Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia, Dalam Perspektif Struktural Fungsional, Surabaya: SIC, 2002.
2. Sistem Perwakilan Proporsional (multi-member-consituency)
Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau
partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini
ditentukan suatu perimbangan, misalnya 1 : 400.000 yang berarti bahwa sejumlah
pemilih tertentu ( dalam hal ini 400.000 pemilih ) mempunyai satu wakil dalam dewan
perwakilan rakyat.
Dalam sistem ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang
diperoleh oleh suatu partai atau golongan dalam suatu daerah pemilihan dapat
ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam daerah
pemilihan lain, untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh
kursi tambahan.
Dalam sisten perwakilan proporsional dikenal dua sistem yakni hare system dan
list system.24 Dalam hard system, pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan
pertama, kedua dan seterusnya dari wilayah pemilihan yang bersangkutan. Konsekuensi
dari sistem ini adalah berbelit-belit dan butuh kecermatan. Sedangkan dalam list system,
pemilih diminta memilih diantara daftar calon yang berisi nama-nama wakil rakyat yang
akan dipilih dalam pemilu.
Dalam sistem ini ada beberapa kelemahan: Pertama, system ini mempermudah
fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Kedua, wakil yang terpilih merasa
dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang
telah memilihnya, hal ini dikarenakan peranan partai lebih kuat daripada wakil itu sendiri
Ketiga, stabilitas pemerintahan akan sukar terbentuk karena banyaknya partai.25
24 David E Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta: LP3ES. 1998. hal. 214.
Disamping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai kebaikan anatara lain:
Pertama, tidak ada suara yang terbuang karena perhitungan dilakukan/digabungkan
secara nasional. Kedua, sering dianggap lebih demokratis disbanding sistem distrik
karena partai minoritas pasti memiliki wakil dibadan legislative. Ketiga, karena semua
partai politik memperoleh kursi di badan legislatif yang tidak ditentukan secara distrik/
wilayah, maka system ini lebih “belong to thr nation atau speakfor the nation”.26
6.4. Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Dalam UUD 1945 sebelum amandemen pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR” namun
setelah amandemen UUD 1945, pasal 1 ayat (2) ini menjadi “Kedaulatan berada ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undan-Undang Dasar”. Hal ini mengandung makna
bahwa kedaulatan tidak lagi sepenuhnya berada ditangan MPR tetapi dilaksanakan
menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.
Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka presiden/wakil presiden
beserta kepala daerah yang lain baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota akan
dipilih langsung oleh rakyat sehingga pemerintahan yang terbentuk merupakan cerminan
kehendak dan kedaulatan rakyat dan menunjukkan semakin demokratisnya pemerintahan
yang ada.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau sering sekali disebut
Pemilihan Kepala Daerah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dan pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum Daerah ( KPUD ).
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau
Gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan tertentu.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sebuah pemilihan
pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia secara langsung oleh
penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.27
Kepala Dearah dan Wakil Kepala Daerah adalah:
1. Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Provinsi
2. Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten
3. Walikota dan Wakil Walikota untuk Kota
Dapat dikatakan bahwa dengan digantinya UU No.22/1999 dengan UU No.
32/2004 maka proses perbaikan dalam politik lokal tengah berlangsung. Meskipun tidak
dapat dipungkiri bahwa masih ada berbagai hal yang menjadi persoalan yang dapat
menghambat berjalannya proses demokrasi ini.
6.4.1 Aspek-Aspek Dasar Pemilihan Kepala Daerah Yang Demokratis
Adapaun aspek-aspek dasar Pemilihan Kepala Daerah Yang Demokratis itu adalah:28
1. Adanya pengakuan terhadap hak pilih universal, semua earga Negara yang memenuhi syarat tanpa pengecualian yang bersifat politik dan ideologis diberi hak untuk memilih dan dipilih dalam pilkada.
2. Adanya keleluasaan dalam menampung pluralitas aspirasi, dalam arti bahwa masyarakat memiliki alternatif pilihan saluran aspirasi politik yang leluasa.
27Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
http://wikipedia.indonesia.com /ensikopedia/bebas/berbahasa/Indonesia/pemilihan/kepala/daerah/ dan/wakil/kepala/daerah/pdf (Diakses November 2007)
3. Tersedia mekanisme rekruitmen politik bagi calon-calon rakyat. Makanisme yang diharapkan adalah botton up (berdasarkan inisiatif dan aspirasi dari bawah) bukan top down (diturunkan oleh elite partai dan penguasa). Perekrutan calon-calon wakil rakyat oleh parpol diharapkan makin mendekatkan calon legislatif dengan rakyat dan wakilnya. Makin terbuka proses perekrutan dalam tubuh partai, maka makin demokratis hasil pilkada, demikian pula sebaliknya, rakyat mengetahui dengan kualifikasi seperti calon legislatif tersebut ditentukan.
4. Adanya kebebasan bagi pemilih untuk mediskusikan dan menetukan pilihan, kebebasan untuk menetukan preferensi politik bagi para pemilih adalah sebuah faktor penting dalam menakar kualitas sebuah pilkada.
5. Terdapat komite atau panitia pemilihan yang independent. Sebuah pilkada yang sehat membutuhkan sebuah komite yang tidak memihak yaitu komite yang tidak berpretensi untuk merekayasa hasil akhir dari pilkada.
6. Ada keluasan bagi setiap kontentan untuk berkompetisi secara sehat. Peluang kompetisi ini tentu saja masti diberikan mulai dari penggalangan massa, rekruitmen dan penyeleksian calon anggota hingga ketahap kampanye dan tahap-tahap berikutnya.
7. Netralisasi birokrasi pilkada yang demokratis membutuhkan birokrasi yang netral, tidak memihak dan tidak menjadi perpanjangan tangan salah satu kekuatan politik yang ikut bertarung dalam pilkada.
6.4.2. Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi
rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga pemerintahan
guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem
pemilihan umum.
Perbedaan sistem pemilihan umum ini banyak tergantung pada dimensi dan
pandangan yang ditujukan terhadap rakyat. Pertama, apakah rakyat dipandang sebagai
individu yang bebas untuk menentukan pilihannya dan sekaligus dapat mencalonkan
dirinya sebagai calon wakil rakyat. Kedua, apakah rakyat hanya dipandang sebagai
akan duduk dalam lembaga pemerintahan dan ia tidak berhak mencalonkan diri sebagai
wakil rakyat.
Dari perbedaan dimensi dan pandangan diatas, maka sistem pemilihan umum
dapat dibedakan menjadi29 Sistem Pemilihan Mechanis dan Sistem Pemilihan Organis.
Pandangan Mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu yang
sama sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks hubungan
yang bersifat kontraktuil. Berbeda dengan pandangan organis yang menempatkan rakyat
sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam
persekutuan hidup berdasarkan geneologis, fungsi tertentu, lapisan sosial dan
lembaga-lembaga sosial.
Berdasarkan sistem pemilihan mechanis, dapat dilaksanakan dengan dua cara,30
yakni Sistem Perwakilan Distrik/Mayoritas/Single Member Constituencies dan Sistem
Perwakilan Proporsional. Karakter utama dari sistem distrik dimana wilayah negara
dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan yang jumlahnya
sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan di badan perwakilan rakyat yang
dikehendaki. Dalam sistem proporsional tidak ada pembagian wilayah pemilihan, karena
pemilihan bersifat nasional.
Dalam sistem perwakilan proporsional ini dikenal dua sistem yakni hare system
dan list system. Dalam hare system atau single transferable vote pemilih diberi
kesmpatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari distrik pemilihan
yang bersangkutan. Berbeda dengan list system pemilih diminta memilih diantara daftar
29 Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia;Dalam Perspektif Struktural Fungsional, Surabaya, SIC, 1998,
hal. 195.
calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam
pemilihan umum.
Berbeda dengan sistem pemilihan presiden dimana yang digunakan adalah model
second round past the post dengan batas minimal perolehan suara 50 % plus satu untuk
meraih kursi, jika tak ada calon dengan jumlah suara tersebut pada putaran pertama,
digelar putaran kedua terhadap dua calon teratas dengan konsekuensi biaya menjadi
sangat besar ;model penetapan kepala daerah terpilih yaitu dari sistem first past the post
dengan batas minimal perolehan suara 25 %. Sesuai dengan pasal 95 ayat 2 Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2005, bahwa apabila tidak terpenuhi lebih dari 50 % dari jumlah
suara sah, maka pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang
memperoleh suara sah lebih dari 25 % dari seluruh jumlah suara sah, maka pasangan
calon yang memperoleh suara tersebar ditetapkan sebagai Calon Terpilih.31 Dan prinsip
yang dipakai dalam Pemilihan Kepala Daerah adalah prinsip Voluntary Voting, dimana
massa pemilih menggunakan hak pilihnya secara sukarela.
6.4.3. Tata Kelola Pemilihan Kepala Daerah
Tata kelola (governance) Pemilihan Kepala Daerah menyangkut berbagai aspek
yang menentukan keberhasilan Pemilihan Kepala Daerah yaitu aspek kesiapan
masyarakat pemilih, ketrampilan petugas lapangan, pendanaan, dan peraturan pemilihan.
Good Pilkada Governance adalah Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan secara
demokratik, dengan memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk
berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan Kepala Daerah harus bebas dari segala
31 KPU Kab. Karo, Proses Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung di
bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses
pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara.32
Pemilihan Kepala Daerah berupaya menghasilkan kepala daerah yang lebih baik,
lebih berkualitas, dan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi
yang kuat, karena kepala daerah terpilih mendapat mandat langsung dari rakyat.
Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai
dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan dapat
dihindari. Pada gilirannya, pemilihan kepala daerah secara langsung akan menghasilkan
Pemerintah Daerah yang lebih efektif dan efisien, karena legitimasi eksekutif menjadi
cukup kuat, tidak gampang digoyang oleh legislatif.
Good Pemilihan Kepala Daerah governance setidaknya akan menghasilkan enam
manfaat penting.33
1. Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun hasil pemilihan kepala
daerah secara tidak langsung lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagimana
diatur di dalam Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Pemilihan
Kepala Daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala kelemahan dalam
pemilihan Kepala Daerah pada masa lalu. Pemilihan Kepala Daerah bermanfaat untuk
memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan
maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society).
2. Pemilihan Kepala Daerah akan menjadi penyeimbang arogansi lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang selama ini seringkali mengklaim dirinya sebagai
satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang representatif. Dengan Pemilihan
Kepala Daerah akan memposisikan Kepala Daerah juga sebagai pemegang langsung
mandat rakyat, yaitu untuk memerintah (eksekutif).
3. Pemilihan Kepala Daerah akan menghasilkan kepala pemerintahan daerah memiliki
legitimasi dan justifikasi yang kuat di mata rakyat. Kepala Daerah hasil Pemilihan
Kepala Daerah memiliki akuntabilitas publik langsung kepada masyarakat daerah
selaku konstituennya, bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan akan
berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya.
4. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan Kepala Daerah yang lebih
bermutu, karena pemilihan langsung berpeluang mendorong majunya calon dan
menangnya calon Kepala Daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat
daerah, menguatkan derajat legitimasi dan posisi politik Kepala Daerah sebagai
konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat.
5. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan pemerintahan suatu daerah yang
lebih stabil, produktif dan efektif. Tidak gampang digoyah oleh ulah politisi lokal,
terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi pemerintah pusat, tidak
mudah dilanda krisis kepercayaan publik, dan berpeluang melayani masyarakat secara
lebih baik.
6. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi mengurangi praktek politik uang (money
6.5. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dari kegiatan masyarakat yang
merupakan kumpulan dari individu-individu untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Karena melalui pendidikan akan terbina kepribadian dan kemampuan manusia, baik
kemempuan jasmani maupun kemampuan rohani untuk dapat mempertahankan dan
mengembangkan hidup serta kelangsungan hidup masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Taufik Abdullah sebagai masyarakat berikut:
“ Pendidikan adalah usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan manusia baik kemampuan jasmani maupun kemampuan rohani yang dilakukan dalam rumah tangga, sekolah dan dalam masyarakat agar dengan kemampuan dapat mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat “.34
Jadi pelaksana pendidikan itu dapat berlangsung dalam keluarga, perguruan dan
masyarakat luas. Di pandang dari sudut perguruan, maka ada pendidikan formal, non
formal dan informal. Untuk jelasnya dibawah ini diuraikan bentuk-bentukpendidikan
yang menurut S. Sudarmi ada tiga bentuk pendidikan:
1. Pendidikan formal yaitu yang kita kenal dengan pendidikan di sekolah yang diatur
bertingkat dan mengikuti syarat-syarat yang jelas.
2. Pendidikan non formal yaitu pendidikan yang teratur dan sadar dilaksanakan
tetapi perlu mengikuti peraturan ketat dan tetap.
3. Pendidikan informal yaitu pendidikan yang diperoleh sesorang dengan
pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sejak lahir sampai mati,
didalam pergaulan sehari-hari.35
34 Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: PT. Rajawali, 1987, hal. 327.
35 S. Sudarmi, Pendidikan Nonformal Dalam Rangka Pembangunan Sumber Tenaga Manusia Usia Muda,
Pendapat S. Sudarmi di atas, lebih lanjut dapat dijabarkan yaitu: pendidikan
formal yaitu seluruh yang terorganisir, yang bertujuan untuk mengembangkan
pengetahuan, kepribadian seseorang, yang diperoleh dalam lembaga-lembaga pendidikan
seperti SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Pendidikan nonformal juga bertujuan
untuk mengembangkan pengetahuan dan kepribadian seseorang yang diperolah dalam
bentuk kursus-kursus. Sedangkan pendidikan informal lebih dimaksudkan sebagai hasil
yang diperoleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari, yang juga berpengaruh terhadap
pengembangan pengetahuan dan kepribadian seorang anggota masyarakat.
Menurut Sanafiah Faisal pendidikan memberikan sejumlah pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang banyak dari padanya tidak bisa segera dilihat
hasil atau dampaknya, baik seorang anggota masyarakat.36
Pendapat diatas menunjukkan bahwa pendidikan yang diperoleh seseorang akan
menambah pengetahuan dan keterampilannya, mengubah dan nilai-nilai yang dianutnya,
yang pada dasarnya akan terlihat dalam waktu yang agak lama misalnya setelah
seseorang itu memasuki sesuatu organisasi dan dalam hubungan dengan masyarakat.
Dari defenisi diatas dijelaskan bahwa dengan pendidikan akan diperoleh manfaat
yang besar, yaitu pengembangan atau peningkatan kualitas manusia Indonesia yang
cakap dan terampil diberbagai bidang yang diperlukan dalam pembangunan.
Dari beberapa defenisi diatas, dapat kita lihat bahwa pendidikan tersebut dapat
diperoleh tidak hanya melalui jalur formal saja, melainkan juga diperoleh melalui
pendidikan informal. Pendidikan informal ini turut mendukung pendidikan formal yang
telah diperoleh seseorang, ada kalanya seseorang itu tidak mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan sesuai dengan tuntutan lingkungannya, disinilah peranan
pendidikan informal dibutuhkan.
Pendidikan disekolah mempunyai peranan utama dalam aspek intelektual dan
fisik, sedangkan dalam keluarga berperan dalam aspek mental dan karakter. Karena
besarnya pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan manusia, maka
pendidikan intelektual bangsa makin menjadi penting. Harus diusahakan agar sebanyak
mungkin rakyat pernah mengalami pendidikan sekolah. Makin tinggi pendidikan sekolah
dinikmati rakyat makin baik untuk perkembangan bangsa.
7. DEFENISI KONSEP
Konsep adalah unsur penelitian yang terpenting yang merupakan defenisi yang
dipakai para peneliti untuk menggambarkan sacara abstrak suatu fenomena sosial atau
fenomena alam.37 Untuk menghindari kesalahan maupun kekaburan didalam pengertian
konsep yang digunakan, maka perlu ditegaskan batasan-batasan yang dipergunakan
dalam tulisan ini. Adapun defenisi konsep yang dikemukakan disini adalah sebagai
berikut:
1. Pendidikan adalah usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan manusia baik
kemampuan jasmani maupun rohani yang dilakukan dalam rumah tangga, sekolah dan
dalam masyarakat agar dengan kemampuannya dapat mempertahankan dan
mengembangkan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat.
2. Partisipasi Politik adalah kegiatan warga masyarakat melaui mana mereka mnegambil
bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung
dalam proses pembentukan kebijakan umum.
3. Pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik adalah semakin tinggi tingkat
pendidikan, semakin tinggi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala
8. DEFENISI OPERASIONAL
Defenisi operasional adalah penjelasan tentang bagaimana suatu variabel akan
diukur. Defenisi operasional merupakan rincian dan indikator-indikator pengukur suatu
variabel. Dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti adalah apakah terdapat pengaruh
tingkat pendidikan terhadap partsipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala
Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo antara lain:
1. Pendidikan, dengan indikator:
a. Pendidikan formal
b. Pendidikan non formal
c. Pendidikan informal
2. Partisipasi Politik, dengan indikator:
a. Menberikan suara dalam pemilihan kepala daerah
b. Partisipasi dalam kampanye
c. Diskusi pemilihan
d. Menjadi anggota partai politik
3. Pengaruh pendidikan terhadap partisipasi politik, semakin tinggi tingkat
pendidikan suatu daerah, semakin tinggi partisipasi politik masyarakatnya.
9. METODOLOGI PENELITIAN 9.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu sekarang.
Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu
gejala atau fenomena.38 Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.
9.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini difokuskan di Masyarakat Desa Batukarang, Kecamatan Payung,
Kabupaten Karo.
9.3. Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh warga masyarakat Desa Batukarang yang memberikan
suaranya dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung Tahun 2005.
Sampel
38 Bambang Prasetyo dkk, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo
Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu.
Dalam menentukan jumlah sampel untuk questioner, penulis menggunakan rumus Taro
Yamame39, yaitu:
N
n = ─────────
N (d)² + 1
Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah Populasi
d = Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%
Pada lokasi penelitian Masyarakat Desa Batukarang, berdasarkan data Pemilihan
Kepala Daerah 2005, jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya adalah 2880 jiwa.
Jadi sampel yang diambil adalah:
2880
n = ─────────
2880 (0,1)² + 1
2880
n = ─────
29,8
n = 96,64
Jadi setelah melalui penggenapan maka jumlah sampel yang diambil ad 97 orang.
9.3. Teknik Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini digunakan teknik Purposive Sampling yaitu terdapatnya
kriteria-kriteria yang perlu dilakukan ataupun dibuat batasan-batasan berdasarkan
tujuan-tujuan tertentu sehingga sesuai dengan sumber daya yang tersedia namun tetap mencapai
jumlah sampel yang ditetapkan. Di desa Batukarang ada 11 lingkungan, .perlingkungan
ditentukan 9 responden Dibagikan total koesioner sebanyak 99 .Sebanyak 2 koesioner
tidak kembali .Maka yang menjadi sampel sesuai dengan tujuan yaitu 97 diolah menjadi
data dalam tulisan skripsi ini.
9.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis
melakukan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:
a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung dengan objek yang akan diteliti
untuk memperoleh data-data. Studi lapangan yang dilakukan adalah dengan datang
langsung ke lokasi yang dijadikan sebagai objek penelitian dengan cara menyebarkan
angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Responden
b. Data sekunder yaitu dengan cara penulis mengadakan penelitian dengan mencari data
dan informasi melalui buku-buku, literatur dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian
ini.
9.5. Teknik Analisa Data
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan arah tujuan memberikan gambaran
mengenai situasi ataupun kondisi yang terjadi. Data-data yang telah terkumpul, baik data
yang berasal dari kepustakaan maupun penelitian lapangan akan diolah dan dieksplorasi
secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan
masalah yang diteliti.
10. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, ruang
lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori,
defenisi konsep, defenisi operasional, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : Deskripsi Lokasi Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di
Masyarakat Desa Batukarang antara lain letak geografis, demografi
(keadaan sosial ekonomi, tingkat pendidikan, agama dan lain-lain) dan
struktur pemerintahan.
Bab ini memuat data dan analisa data yang akan didapat dari hasil
penelitian yang dilakukan.
BAB IV : Penutup
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan yang akan
BAB II
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
II.1. KEADAAN GEOGRAFIS
Desa Batukarang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Payung
dan terletak di wilayah Kabupaten Karo. Desa Batukarang memiliki topografi dataran
tinggi dengan ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Secara umum Desa Batukarang
beriklim tropis dengan udara sejuk yang dipengaruhi oleh iklim pegunungan dengan
tipe-tipe iklim kering. Rata-rata suhu udara sebesar 19,8°C dengan suhu maksimum 25,8°C
dengan suhu minimum 14,3°C.
Batas-batas Desa Batukarang adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lau Barus
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rimo Kayu
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lau Biang
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Jandi Meriah
Luas areal kawasan Desa Batukarang adalah 14.000 HA.
Panggong Lama 4057
Panggong Mbaru 4057
Pemukiman 847
Kebun/Reba 3503
Lain-Lain 6453
Dengan penggunaan lahan terbesar untuk pertanian. Penggunaan tanah di Desa
kering maupun pertanian lahan basah / sawah. Kesuburan tanahnya menjadikan sebagai
kampong yang ideal dan pertanian menjadi sumber kehidupan pokok dan utama bagi
penduduknya. Pertanian padi adalah yang utama sehubungan dengan makanan pokok
adalah beras. Padi ditanam di lading (lahan kering) dan disawah
Dikenalnya teknologi sawah sangat membantu perbaikan kehidupan rakyat. Air
untuk sawah diperoleh dari dibangunnya bendungan sebuah sungai, Lau Boris yang
berhulu disebuah danau kecil, Lau Kawar, di kaki Gunung Sinabung.
Selain pertanian padi, terutama setelah penduduk kampong masuk kedalam rejim
perekonomian uang, tanaman yang dapat dijual dipasar untuk memperoleh uang (cash
crops) menjadi sumber utama yang kedua. Tomat, kentang, wortel, kol, sayur panjang
dan sayur pendek, buncis, arcis, cabai, wortel adalah beberapa jenis tanaman untuk
memperoleh uang. Didalam hal tanaman yang baru itu sawah menjadi lahan yang ideal,
meskipun lahan kering juga dapat dipergunakan.
Berdasarkan kesesuaian lahan, serta ciri khas Desa masyarakat Batukarang
khususnya, dan Kabupaten Karo umumnya yang dikenal dengan spesifikasi tanaman
tertentu, maka penggunaan lahan pertanian terutama pada tanaman holtikultura berupa
sayur - sayuran dan beberapa jenis buah - buahan. Buah jeruk merupakan buah yang
cukup mandapat perhatian pada kawasan ini, tetapi jika dinilai dari potensi lahan
berdasarkan kekuatan dan arah angin. maka komoditi ini tidak dapat dikembangkan
secara optimal karena bentuk lahan yang terbuka. Beberapa komoditi primadona
Sumatera Utara untuk eksport juga berasal dari kawasan ini, terutama kentang dan kubis.
Selain itu, berdasarkan kesesuaian jenis tanah dengan komoditi, terdapat kecocokan
II.2. KEADAAN DEMOGRAFIS
Masyarakat Desa Batukarang merupakan komunitas masyarakat yang majemuk
yang sebagian besar masyarakatnya adalah suku Karo. Bahasa pengantar sehari-hari
adalah bahasa Karo
Berdasarkan data yang ada pada Desa Batukarang, penduduk desanya berjumlah
4180 jiwa atau 1194 kepala keluarga yang terdiri dari laki-laki 2059 jiwa dan perempuan
2121 jiwa. Dengan kepadatan penduduk.
II.3. KEADAAN SOSIAL DAN EKONOMI 1. Mata Pencaharian
Pada umumnya penduduk Desa Batukarang bermata pencaharian dari pertanian
dengan bercocok tanam tanaman holtikultura berupa sayur-sayuran dan beberapa jenis
buah-buahan karena dari struktur pertanahannya yang basah dan sejuk. Secara lebih rinci
dan jelas komposisi penduduk Desa Batukarang menurut mata pencahariannya adalah
Tabel 3
Komposisi Mata pencaharian
No. Mata Pencaharian Jumlah
1. Petani 3669
2. PNS 209
3. Pegawai Swasta 42
4. Jasa 19
5. Wiraswasta 196
6. Pensiunan 39
7. TNI/POLRI 6
Total 4180
Sumber : Data statistik masyarakat desa Batukarang
2. Agama
Dari segi agama, penduduk desa masyarakat batukarang terbagi ke dalam tiga
agama besar, yaitu Islam, Kristen Protestan, dan Kristen Khatolik. Tetapi dari ketiga
agama tersebut, yang terbesar dianut oleh penduduk desa masyarakat batukarang adalah
agama Kristen Protestan yaitu sebanyak 1981 orang. Berikut komposisi penduduk
Tabel 4
Komposisi Penduduk Menurut Agama
No. AGAMA JUMLAH
1. Kristen Protestan 1981
2. Islam 418
3. Kristen Khatolik 1672
4. Lain-lain 109
TOTAL 4180 Sumber: Data statistik masyarakat desa Batukarang
3. Prasarana Desa
a. Pendidikan
Dari segi pendidikan, masyarakat desa Batukarang hanya terdapat lembaga
pendidikan formal dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan Sekolah Menengah
Atas. Sarana pendidikan yang lebih banyak adalah sarana pendidikan untuk Sekolah
Dasar. Adapun prasarana pendidikan yang ada, sebagai berikut:
1. TK : 1 unit
2. SD Negeri : 4 unit
3. SD Bertingkat : 1 unit
4. SMP Negeri : 1 unit
b. Kesehatan
Masyarakat desa Batukarang dapat dikatakan telah peduli tentang kesehatan.
Dapat dilihat melalui penyediaan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.
Prasarana-prasarana kesehatan yang ada, sebagai berikut:
1. BPU : 1 unit
2. BKIA : 1 unit
3. Polindes : 4 unit
c. Rumah Ibadah
Prasarana rumah ibadah yang tersedia di Desa Batukarang adalah sebagai berikut:
1. Gereja : 8 unit
2. Mesjid : 1 unit
d. Perdagangan dan Jasa
Keadaan sarana perdagangan dan jasa di Desa Batukarang sangat banyak, yakni
sebagai berikut:
1. Kedai Kelontong/ sampah : 60 unit
2. Kedai Kopi : 40 unit
3. Kedai Warung nasi : 10 unit
4. Kedai Kios/ pupuk : 5 unit
5. Wartel : 5 unit
6. Tukang pangkas/ salon : 5 unit
7. Gilingan Padi : 2 unit
Banyaknya jumlah bangunan rumah yang terdapat di Desa Rumah Berastagi
adalah sebagai berikut :
1. Rumah Permanen : 1258 unit
2. Rumah Semi Permanen : 42 unit
II.4. STRUKTUR ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA
Bagan 1 KEPALA DESA
SEKRETARIS DESA
KEPALA URUSAN PMERINTAHAN
KEPALA URUSAN UMUM
BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
Dalam bab ini akan dibahas tentang data yang diperoleh selama penelitian
berlangsung, yang terdiri dari karakteristik responden dan jawaban responden atas angket
yang telah dibagikan terlebih dahulu selama penelitian berlangsung.
Dalam penyajian data ini jawaban yang diperoleh dari responden akan disajikan
dalam bentuk tabel tunggal, yang berisi kategori jawaban, jumlah responden yang
menjawab dan persentase. Adapun hasil penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu :
1.Karakteristik responden
2.Variabel penelitian
Setelah disajikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian, maka akan
dipaparkan analisa dari hasil-hasil penelitian.
3.1. Proses Pengajuan Bakal Calon Kepala Daerah Kabupaten Karo 2005
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
bahwa partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon
harus menggunakan ketentuan memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi
yaitu 15 :100 x 35 = 5,25 yang dibulatkan menjadi 6 kursi, atau sekurang-kurangnya 15%
dari perolehan jumlah suara sah dalam Pemilihan Umum 2004 atau 23.244 suara sah40.
Pendaftaran Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Karo
Tahun 2005dilaksanakan mulai dari 25 s/d 31 Juli 2005 dengan komposisi pasangan
calon yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Karo sebagai berikut:
TABEL 2
DAFTAR PASANGAN CALON BUPATI/WAKIL BUPATI KABUPATEN KARO
6 Kursi Partai Golkar
Drs. DAULAT DANIEL
4040 KPU Kab. Karo, Proses Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung di