HUBUNGAN RHINITIS ALERGI DENGAN TERJADINYA ASMA
BRONKHIAL DI RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2009
Oleh:
SIVARAJ RAJENDRAN
070100307
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN RHINITIS ALERGI DENGAN TERJADINYA ASMA
BRONKHIAL DI RSUP HAJI ADAM MALIK TAHUN 2009
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh:
SIVARAJ RAJENDRAN
NIM: 070100307
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit yang umum menyerang sekitar 10 hingga 25
% dari populasi didunia dan prevalansinya semakin meningkat. Insiden asma bronkhial
meningkat diseluruh dunia sehubungan dengan kemajuan industri dan meningkatnya polusi.
Rhinitis alergi maupun asma tidak merupakan penyakit yang parah tetapi secara nyata dapat
mengakibatkan penurunan produktivitas, kualitas hidup dan dapat menghambat tumbuh
kembang pada anak serta mengakibatkan risiko terhadap kelainan organis. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara rhinitis alergi dengan terjadinya asma bronkhial
di RSUP. Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2009.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik deskriptif dengan pendekatan cross
sectional. Data diambil dari rekam medik RSUP. Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari
2009 hingga 31 Desember 2009. Data yang diambil adalah pasien rhinitis. Data yang
dikumpulkan diolah dan ditabulasi serta dilakukan uji statistik chi-square dengan
menggunakan SPSS .14.0 for windows.
Hasil penelitian didapatkan bahwa penderita rhinitis di RSUP. Haji Adam Malik,
Medan periode 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2009 sebanyak 68 pasien. Penderita
rhinitis alergi yang menderita asma bronkhial sebanyak 16 pasien (23,5%), sedangkan
penderita rhinitis alergi tanpa disertai asma bronkial sebanyak 10 pasien (14,7%). Penderita
rhinitis non alergi yang disertai asma bronkhial sebanyak 11 pasien (16,2%), penderita
rhinitis non alergi tanpa disertai asma bronkhial sebanyak 31 pasien (45,6%). Hasil uji
statistik dengan chi-square di dapatkan nilai P < 0,05 yaitu sebesar 0,004 dan nilai rasio
prevalens >1 yaitu sebesar 2,35. Sehingga penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara rhinitis alergi terhadap asma bronkhial.
Hasil analisis membuktikan bahwa rhinitis alergi merupakan faktor risiko terjadinya
asma bronkhial.
ABSTRACT
Allergic rhinitis is a common disease worldwide affecting at least 10 to 25 % of the
population and its prevalence is increasing. Worldwide incidence of bronchial asthma is
increasing with the development of industries and high rate of pollutions. Although allergic
rhinitis is not usually a severe disease, it alters the social life of patients and affects school
performance and work productivity. The objective of this study is to find the correlation
between allergic rhinitis and bronchial asthma in Haji Adam Malik General Hospital with
the period of 1st January 2009 until 31st December 2009.
The methodology of this thesis is descriptive analytic with cross sectional study.
Allergic and non allergic rhinitis patient information was obtained medical records held at
Haji Adam Malik General Hospital, Medan. Data will be analysed with chi-square test using
SPSS .14.0 for windows.
From 1st January 2009 until 31st December 2009, there were 68 rhinitis patients in
Haji Adam Malik General Hospital, Medan. 16 (23,5%) of them are allergic rhinitis patients
with bronchial asthma and 10 (14,7%) of them are allergic rhinitis patients without bronchial
asthma. Non allergic rhinitis patients with bronchial asthma are 11 (16,2%) of them and
allergic rhinitis patients without bronchial asthma are 31 (45,6%) of them. The p value from
chi-square test is 0,004 (P<0,05) and the ratio of prevalence is 2,35 (RP>1).
The result shows that there is correlation between allergic rhinitis and bronchial
asthma and allergic rhinitis is a risk factor for bronchial asthma.
DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan ……… i
ABSTRAK……… ii
ABSTRACT………. iii
DAFTAR ISI………. iv
DAFTAR TABEL………. vi
DAFTAR GAMBAR……… vii
BAB 1 PENDAHULUAN ……….. 1
1.1. Latar Belakang ………... 1
1.2. Rumusan Masalah ………. 4
1.3. Tujuan Penelitian ……….. 4
1.4. Manfaat Penelitian ………. 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……….. 6
2.1. Mekanisme yang Mendasari Hubungan Antara Asma dan Rhinitis Alergi… 6 2.1.1 Hubungan Anatomis dan Patofisiologi……… 6
2.1.2. Hubungan Imunopatologis……….. 9
2.1.3. Hubungan Vertikal dan Horizontal dalam Rhinitis Alergi dan Asma… 11 2.1.4. Refleks-Refleks Neural..………... 12
2.2. Implikasi Rhinitis Alergi terhadap Asma……….... 12
2.2.1. Rhinitis Alergi Sebagai Komorbid Asma……….. 12
2.2.2. Rhinitis Alergika Sebagai Faktor Risiko dan Faktor Pemberat Asma… 12 2.2.3 Pengaruh Rhinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma………….... 13
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ……….. 16
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ……….. 16
3.2. Variabel dan Definisi Operasional ………. 17
3.3. Hipotesa ………. 17
BAB 4 METODE PENELITIAN……… 18
4.1. Rancangan Penelitian ………. 18
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 18
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ………. 18
4.4. Teknik Pengumpulan Data ………. 18
4.5. Pengolahan dan Analisis Data ……… 18
BAB 5 HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN……… 20
5.1. Hasil Penelitian……….. 20
5.1.1. Deskripsi Lokasi penelitian………. 20
5.1.2. Proporsi Penderita Rhintis Alergi……… 20
5.1.3. Proporsi Penderita Rhinitis Non Alergi………... 22
5.1.4. Proporsi Penderita Rhinitis Terhadap Asma Bronkhial……… 24
5.1.5. Hubungan Rhinitis Alergi dengan Terjadinya Asma Bronkhial…. 25 5.2. Pembahasan 5.2.1. Rerata Umur dan Jenis Kelamin……….. 26
5.2.2. Hubungan Rhinitis Alergi dengan Terjadinya Asma Bronkhial…. 27 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………. 28
6.1. Kesimplan………. 28
6.2. Saran………. 28
ABSTRAK
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit yang umum menyerang sekitar 10 hingga 25
% dari populasi didunia dan prevalansinya semakin meningkat. Insiden asma bronkhial
meningkat diseluruh dunia sehubungan dengan kemajuan industri dan meningkatnya polusi.
Rhinitis alergi maupun asma tidak merupakan penyakit yang parah tetapi secara nyata dapat
mengakibatkan penurunan produktivitas, kualitas hidup dan dapat menghambat tumbuh
kembang pada anak serta mengakibatkan risiko terhadap kelainan organis. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara rhinitis alergi dengan terjadinya asma bronkhial
di RSUP. Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2009.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik deskriptif dengan pendekatan cross
sectional. Data diambil dari rekam medik RSUP. Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari
2009 hingga 31 Desember 2009. Data yang diambil adalah pasien rhinitis. Data yang
dikumpulkan diolah dan ditabulasi serta dilakukan uji statistik chi-square dengan
menggunakan SPSS .14.0 for windows.
Hasil penelitian didapatkan bahwa penderita rhinitis di RSUP. Haji Adam Malik,
Medan periode 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2009 sebanyak 68 pasien. Penderita
rhinitis alergi yang menderita asma bronkhial sebanyak 16 pasien (23,5%), sedangkan
penderita rhinitis alergi tanpa disertai asma bronkial sebanyak 10 pasien (14,7%). Penderita
rhinitis non alergi yang disertai asma bronkhial sebanyak 11 pasien (16,2%), penderita
rhinitis non alergi tanpa disertai asma bronkhial sebanyak 31 pasien (45,6%). Hasil uji
statistik dengan chi-square di dapatkan nilai P < 0,05 yaitu sebesar 0,004 dan nilai rasio
prevalens >1 yaitu sebesar 2,35. Sehingga penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara rhinitis alergi terhadap asma bronkhial.
Hasil analisis membuktikan bahwa rhinitis alergi merupakan faktor risiko terjadinya
asma bronkhial.
ABSTRACT
Allergic rhinitis is a common disease worldwide affecting at least 10 to 25 % of the
population and its prevalence is increasing. Worldwide incidence of bronchial asthma is
increasing with the development of industries and high rate of pollutions. Although allergic
rhinitis is not usually a severe disease, it alters the social life of patients and affects school
performance and work productivity. The objective of this study is to find the correlation
between allergic rhinitis and bronchial asthma in Haji Adam Malik General Hospital with
the period of 1st January 2009 until 31st December 2009.
The methodology of this thesis is descriptive analytic with cross sectional study.
Allergic and non allergic rhinitis patient information was obtained medical records held at
Haji Adam Malik General Hospital, Medan. Data will be analysed with chi-square test using
SPSS .14.0 for windows.
From 1st January 2009 until 31st December 2009, there were 68 rhinitis patients in
Haji Adam Malik General Hospital, Medan. 16 (23,5%) of them are allergic rhinitis patients
with bronchial asthma and 10 (14,7%) of them are allergic rhinitis patients without bronchial
asthma. Non allergic rhinitis patients with bronchial asthma are 11 (16,2%) of them and
allergic rhinitis patients without bronchial asthma are 31 (45,6%) of them. The p value from
chi-square test is 0,004 (P<0,05) and the ratio of prevalence is 2,35 (RP>1).
The result shows that there is correlation between allergic rhinitis and bronchial
asthma and allergic rhinitis is a risk factor for bronchial asthma.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin,
keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE. (ARIA, 2001).
Rhinitis alergi terjadi karena sistem kekebalan tubuh kita bereaksi berlebihan terhadap
partikel-partikel yang ada di udara yang kita hirup. Sistem kekebalan tubuh kita menyerang
partikel-partikel itu, menyebabkan gejala-gejala seperti bersin-bersin dan hidung meler.
Partikel-partikel itu disebut alergen yang artinya partikel-partikel itu dapat menyebabkan
suatu reaksi alergi. (PERSI, 2007)
Rhinitis alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi penyakit
rhinitis alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah penduduk dan di
Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang sering dijumpai. Meskipun
dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai menderita pada saat
berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan kemungkinan yang sama.
Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic kuat. Bila salah satu dari orang tua
menderita alergi, akan memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila
kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya
(PERSI,2007).
Bagaimana pun juga, rhinitis alergi harus dipikirkan sebagai keadaan yang cukup
serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita akibat beratnya gejala yang
dialami dan juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Penderita akan mengalami
keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari, sering meninggalkan sekolah atau pekerjaannya, dan
menghabiskan biaya yang besar bila menjadi kronis. RA juga dipengaruhi lingkungan dari
faktor allergen. Penyakit ini masih sering disepelekan, untuk itu perlu diberikan beberapa
informasi agar penderita tidak terlalu meremehkan dan dapat mengetahui berbagai upaya
untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi (PERSI, 2007).
Asma adalah satu diantara beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara
total. Kesembuhan dari satu serangan asma tidak menjamin dalam waktu dekat akan terbebas
dari ancaman serangan berikutnya. Apalagi bila karena pekerjaan dan lingkungannya serta
penyebab serangan. Biaya pengobatan simptomatik pada waktu serangan mungkin bisa
diatasi oleh penderita atau keluarganya, tetapi pengobatan profilaksis yang memerlukan
waktu lebih lama, sering menjadi problem tersendiri (Medlinux, 2008).
Prevalensi Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan
penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia seperti
Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma meningkat
insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang
maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk
asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di
sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian
(Muchid dkk,2007).
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal
ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema
sebagai penyebab kematian ke4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi
asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan
obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan
kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan
prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya
mempunyai gejala klasik (Muchid dkk, 2007).
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian memperlihatkan hubungan antara penyakit
saluran nafas atas, rhinitis, penyakit saluran nafas bawah, dan sakit asma. Pada kenyataannya,
sakit asma dan rhinitis merupakan bagian dari penyakit saluran nafas. Dengan menggunakan
data epidemiologi dan penelitian secara patofisiologi, hubungan antara kondisi inflamasi ini
menjadi jelas. Penelitian memperlihatkan jumlah penderita asma yang juga menderita rhinitis
alergi lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penderita asma (Farmacia,
2008).
Melalui pendekatan secara epidemiologi dengan memperhatikan latar belakang pasien
di antaranya faktor genetic, maka bisa terlihat bahwa alergi rinitis dan asma terhubung secara
anatomi, fisiologis, imunopatologi, serta terhubung dari sisi reaksi terhadap intervensi terapi.
Secara anatomi saluran nafas atas dan saluran nafas bawah dihubungkan dengan ciliated
Penelitian terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada
hidung pasien rhinitis alergi, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di
paru-paru. Hal ini bisa terjadi meski tidak ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas
bronkial. Kaitan ini amat penting diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan
rhinitis diberikan pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan
asma diberikan pengujian penyakit saluran nafas atas (Farmacia, 2008).
Secara fisiologis, asma dan rhinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks
nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat
hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung
dalam mengkondisikan udara (menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang
masuk) menjadi hilang. Proses imunopatologi pada rinitis dan asthma juga serupa. Hal ini
melibatkan tidak hanya hipersensitivas yang segera terhadap alergi, tetapi juga inflamasi
alergi yang menetap (Farmacia, 2008).
Dari suatu survei epidemiologi yang melibatkan 6563 penduduk, diagnosis rinitis
alergik atau asma yang baru, didapatkan 2 sampai 4 kali lebih tinggi pada penduduk yang
mempunyai salah satu dari kedua penyakit tadi dibanding penduduk yang riwayatnya tidak
mempunyai kedua penyakit tadi. Sedangkan penelitian terhadap 690 mahasiswa yang tidak
menderita asma, diikuti selama 23 tahun. Mereka yang pada tahun 1961 mempunyai gejala
hidung, menderita asma 3 kali lebih sering (10,5%) dibanding tanpa rinitis (3,6%)
(Judarwanto, 2009).
Penelitian epidemiologi lainnya menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terdapat
bersama-sama. Gejala-gejala hidung dilaporkan pada 28 – 78% penderita asma dibandingkan
yang hanya 20% pada masyarakat luas. Demikian pula rinitis alergik dapat dijumpai pada 19
– 38% penderita asma, jauh lebih tinggi dibandingkan hanya 3-5% di masyarakat
(Judarwanto, 2009).
Dari latar belakang, saya belum pernah baca penelitian tersebut yang di buat di RSUP
Haji Adam Malik, Medan. Oleh itu peneliti berminat untuk membuat penelitian ini untuk
melihat apakah ada korelasi diantara rhinitis alergi dan asma bronkhial serta dampak rhinitis
1.2. Perumusan Masalah
Apakah rhinitis alergi merupakan faktor resiko terjadinya asma bronkhial.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara rhinitis alergi dengan terjadinya asma bronkhial.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Untuk memperlihat jumlah penderita rhinitis alergi yang juga menderita asma bronkhial
di RSUP Haji Adam Malik, periode 1 Januari 2009 hingga 31 disember 2009.
2. Untuk memperlihat jumlah penderita rhinitis non alergi yang juga menderita asma
bronkhial di RSUP Haji Adam Malik, periode 1 Januari 2009 hingga 31 disember 2009.
3. Untuk memperlihat jumlah penderita rhinitis alergi tanpa menderita asma bronkhial di
RSUP Haji Adam Malik, periode 1 Januari 2009 hingga 31 disember 2009.
4. Untuk memperlihat jumlah penderita rhinitis non alergi tanpa menderita asma bronkhial
di RSUP Haji Adam Malik, periode 1 Januari 2009 hingga 31 disember 2009.
5. Untuk memperlihat hubungan antara rhinitis alergi dengan asma bronkhial dalam
penanganannya.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini dapat memperjelas resiko penyakit rhinitis alergi untuk terjadinya asma
bronkhial dan dapat menjadi salah satu landasan atau pedoman untuk melakukan
penelitian lebih lanjut.
2. Untuk meningkatkan ilmu pengetahuan terutama dalam hal studi literatur, baik
bagi penulis maupun pembaca dan masyarakat luas.
3. Untuk memberi sumbangsih bagi kemajuan ilmu kedokteran, terutama dalam diagnosa
dan penanganan asma dengan memperhitungkan pengaruh adanya komorbiditas berupa
rhinitis alergi.
4. Jika rhinitis alergi terbukti sebagai faktor resiko asma bronkhial, hal ini dapat
memperbaiki strategi penanganan penyakit alergi khususnya rhinitis alergi dan asma.
Bahwa sebenarnya penyakit alergi adalah sebuah penyakit sistemik yang membutuhkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA ASMA DAN
RHINITIS ALERGI
2.1.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis
Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian, sebagai
penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya
berbeda, tetapi fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung
berfungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara sebagai organ penciuman dan
konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan. Fungsi menghangatkan,
melembabkan dan menyaring udara ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian
bawah terhadap pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor karena polusi. Bila
hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian bawah akan terkena
dampaknya.
Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang tepinya dibatasi oleh
tulang-tulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan
jaringan mukosa. Hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh
darah yang membentuk sinusoid-sinusoid.
Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar rongga hidung sehingga
mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai
cincin kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh otot polos. Makin ke
distal kartilago ini makin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan
mempengaruhi diameter saluran napas. Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena
vasodilatasi,edema jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rhinitis peranan
vasodilatasi sangat menonjol. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik,
obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma.
Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik
terhadap agonis beta 2. Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak
mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat bernapas melalui mulut. Sebaliknya
obstruksi total bronkus akan menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari
jantung kanan ke kiri. Rongga hidung mempunyai pengaruh sekitar 50% pada
resistensi saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli. Bernapas melalui
jantung kanan ke kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masa- lah,
terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena akan mengeringkan sekret dan
menyebabkan spasme bronkus di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal
tersebut, produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala
penyakit paru.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan bronkus. Perbedaan yang
menonjol adalah hidung mengandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obstruksi
hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada asma. Disamping itu sekret hidung
mudah dikeluarkan sedangkan pada asma dapat menyumbat. Perbedaan lainnya adalah
otot-otot polos dijumpai pada bronkus, tidak pada saluran hidung.
Rhinitis dan asma memiliki struktur yang sama tapi berbeda dalam hal anatomi.
Gejalanya adalah blockade atau sumbatan hidug, gejala bersin dan gejala gatal. Pada saluran
nafas bawah, bronkhus dapat memunculkan reaksi kembang kempis sehingga di hidung tidak
bisa terjadi kontriksi, hanya blocking karena kontraksi pada saluran nafas bawah.
Secara anatomi saluran nafas atas dan saluran nafas bawah dihubungkan dengan
ciliated columnar epithelium berisi mukus yang disekresikan oleh sel goblet. Penelitian
terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien alergi
rinitis, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paru-paru. Hal ini bias
terjadi meski tidak ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial. Kaitan
ini amat penting diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rinitis diberikan
pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma diberikan
pengujian penyakit saluran nafas atas.
Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis
ternyata gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah mengalami aero
modeling. Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai
penghangat dan juga humidifier udara yang kita hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada
hubungannya dengan fungsi homostatik di saluran nafas bawah.
Pada rinitis alergi, belum nampak gejala asma. Namun, bila dilakukan pemeriksaan
pada pasien rinitis alergi ternyata menunjukkan adanya peningkatan dari reaktivitas bronkus.
Ada beberapa penelitian pada pasien rinitis alergi di luar musim pollen. Penelitian ini
membuktikan dengan pemaparan metapolin, terjadi penurunan fungsi atau gangguan nafas
bawah walaupun di luar musim polen. Jadi asma sering mengalami persistensi di musim
bunga pada pasien-pasien yang mengalami alergi intermitten yang disebabkan oleh polen.
ternyata menginduksi respon alergi pada hidung. Dan didapatkan bukti adanya reaktifitas
bronkus, yang akhirnya membuktikan bahwa walaupun gejala-gejala pada hidung tidak
menyebabkan gangguan fungsi paru bawah tetapi menyebabkan reaktifitas bronkus pada
asma.
Hidung merupakan protektor bagi saluran nafas bawah. Hilangnya fungsi hidung akan
menyebabkan udara yang kita hirup akan lanagsung masuk melalui mulut. Hal ini membuat
fungsi pemanasan dan pelembaban udara oleh hidung, dan fungsi penyaring akan hilang.
Pajanan saluran nafas bawah terhadap bahan-bahan iritan yang kita hirup tanpa melewati
hidung menjadi salah satu mekanisme terjadinya asma.
Secara fisiologis, asma dan rhinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks
nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat
hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung
dalam mengkondisikan udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring
udara yang masuk menjadi hilang.
Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan
salah satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi
setelah terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium
hipereaktivitas dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau
kegiatan jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat
beratnya asma.
Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa
disertai asma secara klinis sering menunjukkan hipereaktivitas bronkus. Prevalensinya
berbeda-beda tergantung metode dan definisi reaktivitas yang dipakai. Diperkirakan 11%
sampai 32% penderita rhinitis menunjukkan hipereaktivitas bronkus dalam derajat lebih
ringan dibanding penderita asma dengan inhalasi zat-zat seperti histamin, metakolin atau
karbakol. Di antara penderita rhinitis alergi musiman tanpa asma terjadi kenaikan reaktivitas
bronkus selama musim tepung sari (pollen). Madonni dkk melaporkan kenaikan insiden
hipereaktivitas bronkus pada penderita rhinitis alergi musiman sebelum dan selama musim
tepung sari dari 11% menjadi 48%. Juga dilaporkan bahwa penderita rhinitis alergi perennial
mempunyai derajat reaktivitas yang lebih tinggi dibanding rhinitis alergi musiman. Meskipun
ada peneliti yang menyatakan reaktivitas bronkus dalam derajat asma pada penderita rhinitis
merupakan faktor resiko untuk asma (PC20 metakolin < 8 mg/ml), penelitian lain
menemukan bahwa hipereaktivitas bronkus pada penderita rhinitis tidak bermanfaat dalam
2.1.2. Hubungan Imunopatologis
Proses imunopatologi pada rhinitis dan asma juga hampir serupa. Hal ini melibatkan
tidak hanya hipersensitivas yang segera terhadap alergi, tetapi juga inflamasi alergi yang
menetap. Perangsangan saluran nafas atas, pada hidung akan diteruskan melalui refleks vagus
yang diteruskan melalui serabutsi. Refleks vagus ini akan mempengaruhi pembuluh darah
atas dan bawah, dan mempengaruhi kembali sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator
inflamasi.
Mediator yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan eosinofil ini kemudian
merangsang asetikolin untuk mempengaruhi serabut-serabut pembuluh atas dan bawah yang
menimbulkan gejala-gejala. Masuknya alergen yang menghasilkan dominasi sel mast oleh
glandula-glandula mengakibatkan terjadinya perangsangan serabut saraf-saraf sensoris. Hal
ini akan menyebabkan gejala-gejala dengan pengeluaran mediator-mediator seperti histamin,
kinin, kemudian mediator yang terbentuk akan menyebabkan sumbatan pada hidung.
Selanjutnya histamin ini akan merangsang serabut saraf sensoris, yang menyebabkan gejala
gatal di hidung dan kulit sekitarnya. Histamin juga merangsang refleks bersin.
Mediator-mediator ini juga merangsang ekskresi kelenjar.
Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala
inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini
menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran
nafas bawah. Beberapa inflamasi yang terjadi pada saluran nafas bawah terjadi juga pada
saluran nafas atas karena struktur fisiologisnya mirip. Ini terjadi pada keadaan normal yaitu
bronkusnya normal berkontak dengan alergen di saluran nafas atas, juga akan mempengaruhi
saluran nafas bawah bila tersensitisasi. Terjadilah suatu fase awal asma yang berlanjut. Dari
mediator-mediator fase awal atau fase lambat akan terbentuk fase intermediet. Bila lebih dari
8 jam akan menjadi fase lambat dengan gejala lebih hebat dibandingkan fase pertama..
Asma sering disebabkan oleh alergen dalam ruang atau dalam rumah. Berbeda dengan
rhinitis disebabkan oleh alergen dari luar. Beberapa peneliti mengobservasi pasien yang
mengalami sensitisasi dengan binatang dalam rumah. Ditemukan adanya peningkatan
reaktivitas bronkus dan didapatkan sputum yang mengandung banyak eusinofila
dibandingkan pasien alergi yang dicetuskan oleh polen atau alergen dalam rumah.
Banyak pasien tidak secara jelas menderita asma pada waktu yang sama, ini juga
merupakan bukti bahwa ada hubungan antara rinitis dan asma. Dan ini terjadi bisa sebelum
dari pasien asma. Asma yang hebat perlu dikatakan sebagi asma hebat untuk menentukan
pemilihan pengobatan. Untuk asma biasa diberikan obat-obat biasa, Untuk asma hebat
diberikan obat yang lebih kuat. Mengenai tata laksana, hal pertama yang harus dilakukan
secara umum untuk pasien penyakit alergi adalah menghindari pencetus dan membersihkan
lingkungan.
Asma bronkial dan rhinitis alergi, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai
penyakit atopi keduanya sering dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa
terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya kejadian rinitis lebih sering
dijumpai dibanding asma; tetapi bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan
lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan gejala rinitisnya. Hal ini
sebenarnya kurang menguntungkan, karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki
asmanya (Judarwanto, 2009).
2.1.3. Hubungan Vertikal dan Horizontal dalam Rhinitis Alergi dan Asma
Teori yang diajukan oleh dokter Alkis Togias menyebutkan adanya hubungan vertikal
dan horizontal antara rhinitis alergi dan asma. Hubungan horizontal yang terjadi adalah
semakin berat gejala rhinitis yang muncul, semakin besar kemungkinan menderita asma.
Sedangkan hubungan vertikal yang dimaksud adalah hal-hal yang terjadi di saluran
pernafasan atas akan berpengaruh negatif terhadap saluran pernafasan bawah. Hubungan
vertikal tersebut ditegaskan dengan adanya beberapa studi yang menyebutkan bahwa peran
mukosa nasalis dalam memfilter, menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk ke
saluran pernafasan bawah menjadi terganggu akibat rhinitis alergi. Selain itu, kongesti nasal
yang terjadi pada rhinitis alergi sering membuat penderitanya terpaksa bernafas melalui
mulut. Bahkan, sekret nasal yang mengandung mediator-mediator inflamatorik dapat secara
langsung memasuki saluran pernafasan bawah dan menimbulkan reaksi inflamasi. Inhalasi
allergen juga dapat menimbulkan perubahan-perubahan inflamatorik pada saluran pernafasan
atas dan bawah secara bersamaan (Braunstahl G-J,2003); (O’Hollaren MT, 2005).
2.1.4. Refleks-Refleks Neural
Diperkirakan bahwa ada keterlibatan sistem saraf dalam hubungan antara rhinitis
alergi dan asma. Refleks-refleks yang berperan dalam keterlibatan itu adalah refleks
nasal. Bronkokonstriksi yang kemudian timbul melalui jalur saraf parasimpatis disebut
refleks nasobronchial, sedangkan peningkatan respon bronkus melalui sistem saraf pusat
disebut refleks bronchial (O’Hollaren MT, 2005).
2.2. IMPLIKASI RHINITIS ALERGI TERHADAP ASMA
2.2.1. Rhinitis Alergi Sebagai Komorbid Asma
Rhinitis alergi merupakan kondisi komorbid yang umum ditemukan pada pasien
dengan asma. Prevalensi rhinitis alergi pada pasien asma mencapai 80%. Bahkan, ada pula
studi yang menyatakan bahwa 50-100% pasien asma juga menderita rhinitis alergi. Hubungan
yang demikian juga berlaku sebaliknya. Pada pasien rhinitis alergi, prevalensi asma dapat
mencapai 40%, bahkan 58% pada studi lain (Slavin RG, 2008); (Pawankar R, 2004).
2.2.2. Rhinitis Alergika Sebagai Faktor Risiko dan Faktor Pemberat Asma
Telah dinyatakan pula bahwa penyakit pada saluran pernafasan atas merupakan faktor
risiko untuk asma. Hal tersebut berdasarkan pada fakta bahwa orang yang menderita rhinitis
alergi memiliki risiko tiga kali lipat untuk menderita asma dari pada mereka yang tidak
menderita rhinitis alergi. Bahkan bagi anak yang didiagnosa menderita rhinitis alergika dalam
tahun pertama kehidupannya, kemungkinan menderita asma dua kali lebih besar daripada
anak yang didiagnosa menderita rhinitis alergi dalam tahun-tahun belakangan. Hal lain yang
mendukung pernyataan diatas adalah diagnosa rhinitis alergika yang sering mendahului asma,
rhinitis alergi dapat memperberat derajat eksaserbasi asma akut dan memperburuk prognosis
untuk penderita asma. (Slavin RG, 2008) (Jeffrey PK,2006) (Thomas M, 2006) (Pawankar R,
2004)
2.2.3 Pengaruh Rhinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma
Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa penanganan terhadap rhinitis alergi
komorbid memberi pengaruh positif terhadap asma. Inflamasi merupakan mekanisme kunci
dalam pathogenesis rhinitis alergika dan asma, karena itu penggunaan anti-inflamasi dan
obat-obat sistemik lain dalam penatalaksanaan rhinitis alergi dan asma mulai ramai
diperbincangkan dan diteliti. Selain anti-inflamasi, imunoterapi pun mulai banyak diteliti
dalam penatalaksanaan rhinitis dan asma. Beberapa obat yang mulai banyak diteliti adalah
kortikosteroid intranasal, LTRA (Leukotriene Receptor Antagonist), PDE-4
(Phosphodiesteras e-4) inhibitor, dan anti Ig-E. Obat-obat tersebut dikatakan memiliki efek
sistemik yang berperan dalam menurunkan bronchial hyperresponsiveness dan gejala asma.
cromoglycates agaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap saluran pernafasan bagian bawah.
Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan gejala asma dan rhinitis, respon terhadap
allergen seperti metakolin dan memperbaiki toleransi terhadap latihan. Kortikosteroid
intranasal dapat menurunkan kadar sitokin seperti IL-4 dan IL-5, juga memiliki efek sistemik
dan telah dinyatakan aman. Namun, kortikosteroid inhalasi atau intrabronkial dapat memicu
efek samping. Antileukotrin dapat menurunkan kadar eosinophil pada darah dan sputum,
menurunkan perekrutan eosinophil dari tulang sumsum, dan meningkatkan produksi nitric
oxide pada daerah-daerah yang mengalami inflamasi. Montelukast® merupakan salah satu
contoh antileukotrin yang terbukti bermanfaat dalam penanganan rhinitis alergi dan asma.
Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru-paru pada penderita rhinitis, juga menurunkan
gejala rhinitis harian pada penderita rhinitis alergi dan asma. (Jeffrey PK,2006)
2.3. PENATALAKSANAAN ASMA DENGAN RHINITIS ALERGI DI INDONESIA
Menurut (ARIA, 2001) disebutkan bahwa dalam membuat diagnosa asma atau rhinitis
alergi, baik saluran pernafasan bagian atas maupun bawah harus dievaluasi. Terapi kombinasi
diperlukan apabila terdapat kondisi komorbid. Terapi tersebut berupa penghindaran allergen,
penanganan farmakologis, imunoterapi spesifik, edukasi terhadap pasien dan terapi
pembedahan untuk pasien tertentu. Beberapa farmakoterapi seperti glukokortikoid dan
antileukotrin (terutama yang diadministrasikan per oral) efektif untuk menangani rhinitis
maupun asma. Farmakoterapi seperti antihistamin H1 lebih efektif untuk rhinitis
dibandingkan dengan asma. Ada pula farmakoterapi yang hanya bermanfaat untuk mengatasi
gejala asma saja atau rhinitis saja, namun yang dicantumkan dalam ARIA hanya untuk
rhinitis alergi.
Untuk imunoterapi spesifik, disarankan agar diberikan pada pasien dengan usia di atas
5 tahun. Imunoterapi atau vaksinasi ini diberikan apabila farmakoterapi tidak memberikan
respon terapi yang baik atau apabila pasien menolak minum obat. Vaksinasi dapat dilakukan
melalui rute subkutan oleh tenaga medis berpengalaman, maupun oral apabila pasien
menolak atau mengalami efek samping yang buruk dengan rute subkutan. Dosis allergen
mayor pada vaksinasi subkutan berkisar antara 5-2 0 µg, sedangkan preparat oral memiliki
dosis 50-100 kali lebih besar daripada preparat subkutan. Dari studi literatur yang dilakukan
penulis, diketahui bahwa dalam pedoman penatalaksanaan asma yang berlaku di Indonesia
belum mempertimbangkan pengaruh rhinitis alergi terhadap asma. Asma dan rhinitis alergi di
Indonesia masih diperlakukan secara berbeda. Padahal banyak hal yang telah diketahui
tersebut dapat dimasukkan dalam penatalaksanaan asma di Indonesia. Sebagaimana telah
disebutkan dalam latar belakang, standar penatalaksanaan asma di Indonesia berpatokan pada
GINA. Untuk penatalaksanaan asma jangka panjang, yang terpenting adalah edukasi kepada
pasien, termasuk kapan harus mencari pertolongan, bagaimana mengenali gejala serangan
asma secara dini, obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya,
mengenali dan menghindari faktor pencetus, serta follow up yang teratur dan tak lupa
menjaga kebugaran. Obat pelega digunakan pada saat terjadi serangan, sedangkan, obat
pengontrol digunakan secara rutin dalam jangka panjang untuk pencegahan serangan asma.
Standar penatalaksanaan asma menurut KEPMENKES RI Nomor
1023/MENKES/SK/XI/2008 ARIA (Allergic Rhinitis Impact on Asthma). Menekankan pada
pengendalian penyakit asma, dan penjelasan lengkap mengenai asma. Menekankan pada
rhinitis alergika dengan komorbiditasnya dan tatalaksana kombinasi untuk keadaan
komorbid. Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya dicantumkan farmakoterapi untuk asma.
Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya dicantumkan farmakoterapi untuk rhinitis alergika,
sedangkan farmakoterapi asma disesuaikan dengan GINA. Bersifat lokal, hanya sebagai
panduan bagi tenaga medis dan pusat-pusat kesehatan di Indonesia. Bersifat global,
dilengkapi dengan panduan adaptif untuk negara berkembang dengan biaya minimum. Sangat
spesifik, lengkap dengan algoritma penatalaksanaan dan pokok-pokok kegiatan
penanggulangan asma di pusat-pusat pelayanan kesehatan hingga di rumah. Lebih umum,
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASONAL
3.1 Kerangka Konsep
Pada penelitian ini kerangka konsep tentang dampak rhinitis alergi terhadap asma
bronkhial.
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 3. Kerangka konsep hunbungan rhinitis alergi dengan asma bronkhial
3.2 Variabel dan Definisi Operasional
Variabel yang akan diteliti mencakup semua pasien rhinitis alergi yang juga
menderita penyakit asma bronkhial yang dirawat inap dan berobat jalan di sub bagian THT di
RSUP Haji Adam Malik, Medan periode 1 Januari 2009 hingga 31 disember 2009 yang
diperoleh dari catatan rekam medis.
Rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun terekam tentang identitas,
anamnesa, penentuan fisik, laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan medik
yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan maupun
yang mendapatkan pelayanan gawat darurat.
Pasien rhinitis alergi adalah pasien yang dinyatakan menderita rhinitis alergi
berdasarkan hasil diagnosis dokter dan tercatat dalam rekam medis.
Angka prevalensi adalah jumlah keseluruhan orang yang sakit yang menggambarkan
kondisi tertentu yang menimpa sekelompok penduduk tertentu pada titik waktu tertentu
(Point Prevalence), atau pada periode waktu tertentu (Period Prevalence), tanpa melihat
kapan penyakit itu mulai dibagi dengan jumlah penduduk yang mempunyai resiko tertimpa
penyakit pada titik waktu tertentu atau periode waktu tertentu (Guntur, 2007).
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin,
keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE (WHO ARIA tahun 2001).
Rhinitis alergi terjadi karena sistem kekebalan tubuh kita bereaksi berlebihan terhadap
partikel-partikel yang ada di udara yang kita hirup. Sistem kekebalan tubuh kita menyerang
partikel-partikel itu, menyebabkan gejala-gejala seperti bersin-bersin dan hidung meler.
Partikel-partikel itu disebut alergen yang artinya partikel-partikel itu dapat menyebabkan
suatu reaksi alergi. (PERSI, 2007)
Penyakit asma bronkial di masyarakat sering disebut sebagai bengek, asma, mengi,
ampek, sasak angok, dan berbagai istilah lokal lainnya. Asma merupakan suatu penyakit
gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya
periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang menyebabkan penyempitan jalan nafas (Medicafarma,2008).
3.3 Hipotesa
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik secara cross sectional.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengambil data rekam medis di RSUP Haji Adam
Malik, Medan di sub-bagian THT. Rekam medis yang diambil dan dikumpulkan dari 1
Januari 2009 sehingga 31 Disember 2009.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh penderita rhinitis yang dirawat inap dan rawat jalan
di RSU Haji Adam Malik, Medan dari 1 Januari 2009 sehingga 31 Disember 2009. Sampel
yang digunakan adalah total sampling dimana keseluruhan dari populasi penelitian adalah
merupakan sampel karena perlu didapatkan jumlah secara keseluruhan penderita rhinitis
alergi yang menderita asma bronkhial.
4.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk penelitian ini, data diambil dari rekam medis penderita rhinitis di sub-bagian
THT, RSUP Haji Adam Malik, Medan dari 1 Januari 2009 sehingga 31 Disember 2009.
4.5 Pengolahan dan Analisis Data
Data rekam medis yang didapat dari penderita rhinitis alergi dan non alergi yang
menderita asma bronkhial dan juga yang tidak menderita asma bronkhial di RSUP Haji Adam
Malik, Medan akan dikumpul dan dikelompokkan. Data akan dimasukkan ke dalam
komputer dan pada proses pemasukan data, akan dilakukan penyemakan data oleh tenaga
entry data. Analisa dilakukan dengan menggunakan SPSS Windows.
Analisis statistik yang digunakan untuk menilai hubungan antara kedua variabel
adalah uji chi square (x2).
Asma Bronkhial Jumlah
(+) (-)
Rhinitis Alergi (+) A B A+B
(-) C D C+D
Tabel 4.1.
Rasio Prevalens :
RP = A/A+B : C/(C+D)
Menghitung rasio prevalens:
= 1 tidak berefek ( netral)
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit milik
pemerintah. Rumah sakit ini dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah
Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini terletak di lahan yang luas di pinggiran Kota
Medan Indonesia. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan Rumah
Sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes No. 547/Menkes/SK/VII/1998 dan juga Rumah Sakit
Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991.
5.1.2. Proporsi Penderita Rhinitis Alergi
Berikut ini dapat diketahui distribusi penderita rhinitis alergi berdasarkan jenis
kelamin dan umur pada thaun 2009 di RSUP. Haji Adam Malik, Medan.
Tabel 5.1. Distribusi Penderita Rhinitis Alergi berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2009
Pada table 5.1 dapat dilihat bahwa jumlah penderita rhinitis alergi di RSUP. Haji
Adam Malik Medan tahun 2009 yang jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 18 orang dari
total jumlah 26 pasien yang didiagnosa rhinitis alergi. Sedangkan penderita dengan jenis
kelamin perempuan adalah sebanyak 8 orang. Proporsi dari kedua jenis kelamin adalah
masing-masing 69,2% untuk laki-laki dan 30,2% untuk perempuan.
Jenis kelamin Jumlah Penderita Rhinitis Alergi Proposi (%)
Laki-laki 18 69,2
Perempuan 8 30,8
Tabel 5.2 Distribusi Penderita Rhinitis Alergi berdasarkan Umur di RSUP. Haji Adam
Malik Medan Tahun 2009
Pada tabel 5.2 menunjukkan distribusi penderita rhinitis alergi berdasarkan umur
penderita di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2009 dengan kelompok umur yang banyak
menderita rhinitis alergi adalah dewasa (32-47 tahun) dengan jumlah 11 orang (42%).
Insidensi yang paling sedikit berlaku pada orang tua (64-79 tahun) dengan jumlah seorang
dan proporsi sebanyak 4% manakala insidensi tidak berlaku pada orang yang lebih tua yaitu
80 tahun keatas. Penderita dengan usia pertengahan yaitu diantara 48 hingga 63 tahun
dengan sejumlah 6 orang dengan proporsi sebanyak 23%. Seterusnya adalah usia dewasa
muda yaitu di antara 16 hingga 31 tahun yaitu sejumlah 5 orang dengan proporsi sebanyak
19%. Pada usia anak-anak yaitu diantara 0 hingga 15 tahun adalah sebanyak 3 orang dengan
proporsi sebanyak 12%.
No Usia Jumlah %
1 Anak-anak (0-15tahun) 3 12
2 Dewasa Muda (16-31 tahun) 5 19
3 Dewasa (32-47tahun) 11 42
4 Pertengahan (48-63tahun) 6 23
5 Tua (64-79 tahun) 1 4
6 Lebih tua (≥80tahun) 0 0
5.1.3. Proporsi Penderita Rhinitis Non Alergi
Berikut ini dapat diketahui distribusi penderita rhinitis non alergi berdasarkan jenis
kelamin dan umur pada tahun 2009 di RSUP. Haji Adam Malik, Medan.
Tabel 5.3 Distribusi Penderita Rhinitis Non Alergi berdasarkan Jenis Kelamin di
RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2009
Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa jumlah penderita rhinitis non alergi di RSUP. H.
Adam Malik Medan tahun 2009 yang jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 27 orang dari
total jumlah 42 pasien yang didiagnosa rhinitis non alergi. Sedangkan penderita dengan jenis
kelamin perempuan adalah sebanyak 15 orang. Proporsi dari kedua jenis kelamin adalah
masing-masing 64,3% untuk laki-laki dan 35,7% untuk perempuan.
Tabel 5.4 Distribusi Penderita Rhinitis Non Alergi berdasarkan Umur di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2009
Pada tabel 5.4 menunjukkan distribusi penderita rhinitis non alergi berdasarkan umur
penderita di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2009 dengan kelompok umur yang
banyak menderita rhinitis non alergi adalah dewasa muda (16-31 tahun) dengan jumlah 17
orang (40,5%). Insidensi yang paling sedikit berlaku pada orang tua (64-79 tahun) dan yang Jenis kelamin Jumlah Penderita Rhinitis Non Alergi Proposi (%)
Laki-laki 27 64,3
Perempuan 15 35,7
Jumlah 42 100,0
No Usia Jumlah %
1 Anak-anak (0-15tahun) 8 19
2 Dewasa Muda (16-31 tahun) 17 40,5
3 Dewasa (32-47tahun) 9 21,4
4 Pertengahan (48-63tahun) 6 14,3
5 Tua (64-79 tahun) 1 2,4
6 Lebih tua (≥80tahun) 1 2,4
lebih tua yaitu 80 thaun keatas dengan jumlah seorang dan proporsi sebanyak 2,4%. Penderita
dengan usia dewasa yaitu diantara 32 hingga 47 tahun dengan sejumlah 9 orang dengan
proporsi sebanyak 21,4%. Seterusnya adalah usia anak-anak yaitu diantara 0 hingga 15 tahun
adalah sebanyak 8 orang dengan porposi sebanyak 19%. Pada pertengahan usia yaitu di
antara 48 hingga 63 tahun adalah sejumlah 6 orang dengan proporsi sebanyak 14,3%.
5.1.4. Proporsi Penderita Rhinitis Terhadap Asma Bronkhial
Berikut ini dapat diketahui distribusi penderita rhinitis terhadap asma bronkhial pada
tahun 2009 di RSUP. Haji Adam Malik, Medan.
Tabel 5.5. Distribusi Penderita Rhinitis Alergi Terhadap Asma Bronkhial di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2009
Pada table 5.5 dapat dilihat bahwa jumlah penderita rhinitis alergi di RSUP. Haji
Adam Malik Medan tahun 2009 yang juga menderita asma bronkhial adalah sebanyak 16
orang dari total jumlah 26 pasien yang didiagnosa rhinitis alergi. Sedangkan penderita rhinitis
alergi tanpa asma bronkhial adalah sebanyak 10 orang. Proporsi pada penderita rhinitis alergi
dengan asma bronkhial adalah 61,5% manakala bagi yang tanpa asma bronkhial adalah
38,5%.
Tabel 5.6. Distribusi Penderita Rhinitis Non Alergi Terhadap Asma Bronkhial di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2009
Asma Bronkhial Jumlah Penderita Rhinitis Alergi Proposi (%)
Ada 16 61,5
Tidak Ada 10 38,5
Jumlah 26 100,0
Asma Bronkhial Jumlah Penderita Rhinitis Non Alergi Proposi (%)
Ada 11 26,2
Tidak Ada 31 73,8
Pada table 5.6 dapat dilihat bahwa jumlah penderita rhinitis non alergi di RSUP. Haji
Adam Malik Medan tahun 2009 yang juga menderita asma bronkhial adalah sebanyak 11
orang dari total jumlah 42 pasien yang didiagnosa rhinitis non alergi. Sedangkan penderita
rhinitis non alergi tanpa asma bronkhial adalah sebanyak 31 orang. Proporsi pada penderita
rhinitis non alergi dengan asma bronkhial adalah 26,2% manakala bagi yang tanpa asma
bronkhial adalah 73,8%.
5.1.5. Hubungan Rhinitis Alergi Dengan Terjadinya Asma Bronkhial
Berikut ini dapat diketahui hubungan rhinitis alergi dengan terjadinya asma bronkhial
di RSUP. Haji Adam Malik, Medan pada thaun 2009 daripada hasil analisis statistik.
Tabel 5.7 Chi-Square Rhinitis Alergi dengan Asma Bronkhial
Asma Bronkhial Jumlah
(+) (-)
Rhinitis Alergi (+) 16 (23,5%) 10 (14,7%) 26 (38,2%)
(-) 11 (16,2%) 31 (45,6%) 42 (61,8%)
Total 27 (39,7%) 41 (60,3%) 68 (100%)
Pada table 5.7 tampak penderita rhinitis alergi yang menderita asma bronkhial
sebanyak 16 pasien (23,5%), sedangkan penderita rhinitis alergi tanpa disertai asma bronkial
sebanyak 10 pasien (14,7%). Penderita rhinitis non alergi yang disertai asma bronkhial
sebanyak 11 pasien (16,2%), penderita rhinitis non alergi tanpa disertai asma bronkhial
sebanyak 31 pasien (45,6%). Dengan menggunakan SPSS Windows, uji statistik dengan
“Chi-Square” menunjukan perbedaan bermakan (P < 0,05) yaitu nilai p value adalah 0,004. Hal ini
berarti terdapat hubungan antara rhinitis alergi dengan terjadinya asma bronkhial. Dari hasil
penelitian diatas juga menunjukkan rasio prevalens 2,35. Hasil analisis membuktikan bahwa
5.2. Pembahasan
Penelitian ini dilakukan secara studi belah lintang yang bertujuan untuk menjelaskan bahwa
rhinitis alergi merupakan salah satu faktor yang resiko lebih besar untuk terjadinya asma
bronkhial. Hasil uji statistik di dapatkan sebagai berikut:
5.2.1. Rerata Umur dan Jenis Kelamin
Rerata umur pada penderita rhinitis adalah 35 tahun (golongan dewasa) dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1. Secara statistik menunjukan perbedaan yang tidak
bermakna (P>0,05) yaitu nilai p adalah 0,675. Walaupun tidak dijumpai penelitian mengenai
hubungan rhinitis dengan umur dan jenis kelamin, hasil penelitian ini tidak jauh berbeda
dengan kepustakaan oleh Braunstahl G-J, Hellings PW, 2003 yang menyatakan 45 %
penderita rhinitis di dunia merupakan golongan dewasa. Ia juga menyatakan faktor linkungan
merupakan salah satu faktor yang menyebabakanprevalansi rhinitis alergi meningkat. Salah
satu penyebab alerginya adalah polusi udara. Kemungkinan hal ini yang menyebabkan jenis
kelamin laki-laki lebih beresiko daripada perempuan karena faktor pekerjaan serta gaya hidup
laki-laki yang lebih terpapar pada polusi udara terutama di medan.
5.2.2. Hubungan Rhinits Alergi dengan Terjadinya Asma Bronkhial
Penderita rhinitis alergi yang menderita asma bronkhial sebanyak 16 pasien (23,5%),
sedangkan penderita rhinitis alergi tanpa disertai asma bronkial sebanyak 10 pasien (14,7%).
Penderita rhinitis non alergi yang disertai asma bronkhial sebanyak 11 pasien (16,2%),
penderita rhinitis non alergi tanpa disertai asma bronkhial sebanyak 31 pasien (45,6%).
Dengan analisis statistik chi-square menunjukkan perbedaan bermakna (P<0,05) dan rasio
prevalensnya (RP>1). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu yang
dilakukan
di
RSU RA. Kartini Jepara oleh Ana Lissa Indasah. Oleh sebab itu dapatdisimpulkan bahwa kejadian asma bronkhial lebih sering terjadi pada pasien alergi dibanding
non alergi. Hal ini dimungkinkan karena beberapa literatur menyebutkan bahwa terjadinya
komplikasi pada rhinitis alergi lebih besar akibat reaksi alergi yang intermitten, teru menerus
dan menetap sepanjang tahun.Setelah melakukan penelitian ini, dapat dikatakan bahwa
terdapat hubungan anatara rhinitis alegi dengan terjadinya asma bronkhial dan rhinitis alergi
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya asma bronkhial. Hubungan antara rhinitis alergi
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Secara statistic dengan uji “Chi-Square” menunjukan perbedaan bermakna. Hal ini
berarti terdapat hubungan antara rhinitis alergi denagan terjadinya asma bronkhial. Rasio
prevalens menunjukan hubungan yang cukup kuat sebagai faktor resiko. Dengan demikian
rhinitis alergi secara individual atau independen bermakna sebagai faktor resiko terjadinya
asma bronkhial.
6.2. Saran
1. Pada penderita asma bronkhial harus diteliti kemungkinan adanya faktor resiko
seperti rhinitis alergi.
DAFTAR PUSTAKA
Braunstahl G-J, Hellings PW, 2003. Rhinitis Allergic and Asthma. Available
from:
April 2010).
Dr. Nuty W. Nizar, Sp.THT, 20 Maret 2007. Rhinitis Alergi, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia(PERSI). Available from:
April 2010).
Jeffrey PK, Haahtela T, 2006. Allergic Rhinitis and Asthma: Inflammation in a
One-Airway Condition. BMC Pulm Med 2006, 6 (Suppl I): S5.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1023/MENKES/SK/XI/2 008.2008, Available from:
Management of Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma, 2001. Available
from: http://www.whiar.org/docs/ARIA_PG.pdf. (Accessed 9 April 2010).
Medlinux, 18 Juli 2008. Penatalaksanaan Asma Bronkial, Medicine and Linux.
Available from:
asma-bronkial.html. (Accessed 9 April 2010).
Mohamad Guntur, 2007. Definisi – definisi Epidemiologi. Available from:
mohamadguntur.files.wordpress.com/2007/...istilah-epidemiologi.doc.
Muchid dkk, September 2007. Pharmaceutical care untuk penyakit asma,
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Depkes RI. Available from:
(Accessed 9 April 2010).
O’Hollaren MT, 2005. The Upper and Lower Airway 1 Airway or 2?. Available
from: http://cme.medscape.com/viewarticle/520119_print. (Accessed 11 April
2010).
Pawankar R, 2004. Allergic Rhinitis and Asthma. The Link, The New ARIA
Classification and Global Approaches to Treatment. Curr Opin Allergy Clin
Immunol 2004, 4 (1).
Slavin RG, 2008. The Upper and Lower Airways: The Epidemiological and
Pathophy siological Connection. Allergy Asthma Proc 2008, (29): 553-556.
Thomas M, 2006. Allergic Rhinitis: Evidence for Impact on Asthma. BMC Pulm
Med 2006, 6 (Suppl I): S4.
Widodo Judarwanto, 1 September 2009. Keterkaitan Penyakit Alergi Rinitis dan
Asma pada Anak. Available from:
No. Rekam Medis Rhinitis Alergi Asma Bronkhial Jenis Kelamin Umur
03.52.48 tidak ada tidak ada laki-laki 68
20.87.17 tidak ada tidak ada perempuan 60
05.89.64 tidak ada tidak ada perempuan 15
29.94.04 tidak ada ada perempuan 37
29.36.45 tidak ada tidak ada laki-laki 28
37.87.54 tidak ada tidak ada perempuan 30
39.32.47 tidak ada tidak ada laki-laki 82
09.34.18 tidak ada ada laki-laki 22
09.87.14 tidak ada tidak ada laki-laki 31
01.18.37 tidak ada tidak ada perempuan 13
43.51.13 tidak ada tidak ada laki-laki 26
43.80.98 tidak ada tidak ada perempuan 42
20.63.18 tidak ada ada laki-laki 25
03.37.14 tidak ada tidak ada laki-laki 29
34.86.35 tidak ada tidak ada perempuan 45
07.32.27 tidak ada tidak ada laki-laki 27
36.54.82 tidak ada tidak ada laki-laki 29
36.96.58 tidak ada tidak ada perempuan 31
43.16.24 tidak ada tidak ada perempuan 26
43.28.17 tidak ada tidak ada laki-laki 27
45.64.18 tidak ada tidak ada laki-laki 12
45.96.05 tidak ada tidak ada perempuan 29
Hasil Output SPSS Windows
Crosstabs Rhinitis Alergi dengan Asma Bronkhial
Case Processing Summary
rhinitis alergi * asma bronkhial Crosstabulation
Frekuensi Jenis Kelamin Pasien
jenis kelamin pasien * rhinitis alergi Crosstabulation
Chi-Square Tests
b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.79
Frekuensi Umur Pasien
umur pasien
Frequency Percent Valid Percent
47 1 1.5 1.5 77.9
48 1 1.5 1.5 79.4
49 1 1.5 1.5 80.9
50 1 1.5 1.5 82.4
52 3 4.4 4.4 86.8
54 1 1.5 1.5 88.2
57 1 1.5 1.5 89.7
58 1 1.5 1.5 91.2
60 1 1.5 1.5 92.6
62 2 2.9 2.9 95.6
68 1 1.5 1.5 97.1
69 1 1.5 1.5 98.5
82 1 1.5 1.5 100.0