POLA SEBARAN TITIK LONGSOR DAN KETERKAITANNYA DENGAN FAKTOR-FAKTOR BIOGEOFISIK LAHAN
(Studi Kasus : Kabupaten Garut Jawa Barat)
AULIA BAHADHORI MUKTI A14070072
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
AULIA BAHADHORI MUKTI. Pola Sebaran Titik Longsor dan Keterkaitannya dengan Faktor-Faktor Biogeofisik Lahan (Studi Kasus Kabupaten Garut Jawa Barat). Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan BOEDI TJAHJONO
Bencana longsor merupakan fenomena alam yang sering terjadi di Indonesia. Longsor adalah proses perpindahan material pembentuk lereng, berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran yang bergerak menuju ke lereng bawah akibat adanya gaya gravitasi. Di Jawa, Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten yang sering mengalami bencana longsor, oleh karena itu dipilih sebagai daerah penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) memetakan titik longsor di Kabupaten Garut, (2) menganalisis penyebab longsor di Kabupaten Garut, (3) memetakan daerah bahaya longsor di Kabupaten Garut, dan (4) memetakan daerah resiko longsor di Kabupaten Garut. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah kerja lapangan untuk menemukan dan memetakan titik-titik longsor di lapangan, kemudian hasilnya dibandingkan dengan persebaran spasial dari masing-masing parameter penentu longsor (lereng, elevasi, formasi geologi, jenis tanah, curah hujan, penggunaan lahan), dan melalui analisis spasial tumpang tindih sistem informasi geografis (SIG) dilakukan analisis untuk mengetahui penyebab longsor yang utama di daerah penelitian. Analisis bahaya dan resiko longsor dilakukan dengan metode skoring dengan formula penjumlahan dari masing-masing skor parameter untuk mengetahui kelas bahaya dan resiko. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah ditemukan sebanyak 43 titik longsor yang tersebar di daerah penelitian, terutama banyak terdapat di wilayah Selatan Kabupaten Garut yang mempunyai topografi berbukit dan bergunung. Dalam hal ini kemiringan lereng dan curah hujan merupakan parameter yang paling utama sebagai penyebab terjadinya longsor di daerah penelitian. Berkaitan dengan hal itu, maka wilayah yang mempunyai tingkat bahaya longsor tinggi banyak tersebar di wilayah Selatan Kabupaten Garut. Persentase kelas bahaya longsor yang diperoleh adalah 0,1 % dari luas total daerah penelitian mempunyai kelas bahaya sangat tinggi, 33,5 % kelas bahaya tinggi, 42,1 % kelas bahaya sedang, 19 % kelas bahaya rendah, dan 5,3 % kelas bahaya sangat rendah. Adapun untuk penilaian resiko longsor didasarkan pada besarnya tingkat bahaya dan nilai properti yang terancam. Hasil dari analisis resiko yang didapatkan 1,8 % dari luas total daerah penelitian mempunyai tingkat resiko tinggi, 66,5 % kelas resiko sedang, 31,2 % kelas resiko rendah, dan 0,5 % kelas resiko sangat rendah. Besarnya tingkat resiko yang sedang ini disebabkan oleh rendahnya nilai properti di wilayah penelitian, atau dengan kata lain longsor banyak terjadi di daerah perdesaan di wilayah Selatan Kabupaten Garut..
SUMMARY
AULIA BAHADHORI MUKTI. Dissemination pattern of landslide spot and the relevance with Biogeophysical Factors of Land (Case Study in Garut Regency, West Java, Indonesia) Supervised by KOMARSA GANDASASMITA and BOEDI TJAHJONO.
Landslides disasters is a natural phenomenon that often occurs in Indonesia, one of the forms of this disaster is landslide. Landslide is the slope-forming materials movement such as rocks, debris material, soil, or a mixture of materials that are moving to the Slope down where the landslides often occurs because of gravitation. In Java, Garut is one of district that often gets landslide, therefore it was chosen as the study area. The purpose of this study were (1) Mapped the spot of landslide in Garut District, (2) analyze the causes of landslides in Garut district, (3) Mapped the possible landslide hazard area in Garut, and (4) landslide risk area in Garut District. The used method to get the goal of this research was ground check point and mapped the spot of landslide, and then the results were compared with the spatial dissemination from each parameter of determining landslide (slope, elevation, geological formations, soil type, rainfall, land use), and from the analysis of the overslap spatial of geographic information systems (GIS) was analyzed to determine the main of Landslide causes in the research area. Landslide hazard and risk analysis carried out by the method of scoring with sum formula from each parameter score to determine the class of hazards and risks. The results of this research were found 43 points of scattered landslides in the research area, especially in the South of Garut district with the hilly and mountainous topography. In this case the slope and rainfall were the most important parameter as the cause of the landslides in the reseacrh area. Related to this point, the high hazard level area was widely spread in Southern Garut. Percentage of landslide hazard classes obtained was 0.1% of the total research area that has a very high hazard class, 33.5% of high hazard class, middle hazard class were 42.1%, 19% of lower hazard class, and 5.3% of very low hazard class. Landslide risk assessment was based on the level of hazard and the threatened property values, and the results of the risk analysis performed 1.8% of the total research area has a high risk class, 66.5% moderate risk class, 31.2 % lower risk class, and 0.5% is very low risk class. The level of this risk was caused by the lower of the property values in the research area, or in other words, many landslides occurred in the rural areas in the South of Garut .
POLA SEBARAN TITIK LONGSOR DAN KETERKAITANNYA DENGAN FAKTOR-FAKTOR BIOGEOFISIK LAHAN
(Studi Kasus : Kabupaten Garut Jawa Barat)
AULIA BAHADHORI MUKTI A14070072
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : Pola Sebaran Titik Longsor dan Keterkaitannya
dengan Faktor-Faktor BioGeofisik Lahan (Studi Kasus Kabupaten Garut Jawa Barat) Nama : Aulia Bahadhori Mukti
NRP : A14070072
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.Ir. Komarsa Gandasasmita, M. Sc NIP. 19550111 197603 1 001
Dr. Boedi Tjahjono NIP . 19600103 198903 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 4 Juni 1988. Penulis merupakan putra pertama dari pasangan Bapak Totok Pudjianto dan Ibu Tatik Ernawati. Penulis memulai pendidikan formal pertama di Taman Kanak-Kanak (TK) Islamiyah Madiun yang diselesaikan pada tahun 1995. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Ibtidayah Islamiyah Madiun dan lulus pada
tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Madiun dan berhasil menyelesaikan pendidikan pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 2 Madiun. Pada tahun 2007, penulis berhasil diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis terlibat dalam kepengurusan Paguyuban Sadulur Madiun (PASMAD) periode 2008/2009 sebagai Wakil Ketua dan merangkap Staf Divisi Budaya, Olahraga, dan Seni dalam kepengurusan IMAJATIM (Ikatan Mahasiswa Jatim). Kemudian pada periode 2009/2010 menjabat sebagai Ketua Divisi Budaya Olahraga dan Seni dalam kepengurusan Mahasiswa Madiun. Selama dua periode 2008-2010 terlibat Kepengurusan Biro Lingkungan Hidup AZIMUTH (HMIT) menjabat sebagai Ketua Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM). Selain itu, penulis pun aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra 2010/2011 dan 2011/2012, asisten praktikum mata kuliah Geomorfologi dan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-NYA. Serta sholawat dan salam tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Sebagai inspirasi dalam setiap perbuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian ini berjudul
“Pola Sebaran Titik Longsor dan Keterkaitannya dengan Faktor-Faktor Biogeofisik Lahan (Studi Kasus Kabupaten Garut Jawa Barat)”
Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah kekayaan ilmu pengetahuan pembacanya dan sebagai salah satu media membuka isi alam untuk melihat kebesaran tuhan lebih dalam.
Penulis menyadari bahwa dalam meyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr.Ir. Komarsa Gandasamita, M.Sc selaku Pembimbing Akademik dan juga Pembimbing Skripsi Utama yang telah memberikan perhatian, bimbingan, saran, dan dukungannya kepada penulis.
2. Dr. Boedi Tjahjono Selaku pembimbing II yang memberikan motivasi dan masukan bagi penulis dalam kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini.
3. Dr. Dwi Putro Tejo Baskoro selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi.
4. Tatik Ernawati; Ibu tersayang , Totok Pudjianto; Ayah tersayang, Dinur Winda Pintoko Mukti dan Qohar Abdul Jabar Mukti, Adik-adiku tersayang
yang senantiasa selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, dukungan moral dan spiritual yang sangat sangat berlimpah kepada penulis.
6. Kepada Parubahan Harahap, Titis APD, Wida Nindita, Sugih Mahera, Angle
P, Nengsih yang telah membantu penulis dalam pengecekan lapang lokasi penelitian dan penulisan skripsi
7. Saudara-Saudara Pondok Koplak (Baskoro Sukoco, Pandu Aditama, M Dimas, Rendra Eka, Parubahan Harahap, Farid Ridwan, Herdian Priambodo, Alfarizi, Juniska Muria, Manziel Azka, Luqmanul Abidin, Rahmat Alfianto, Khoirul Muna, M. Suefi) Sebuah cerita yang tidak pernah berakhir.
8. Saudara-saudara Pondok Slenge’an (Bose, Mas Umang, Pak Eko, Cumek, Kemplo, Kenthok, Endone, Sotel, Gempil, dan Farid) terima kasih atas dukungan spiritual dan moral.
9. Senior Tanah (Pandi sekeluarga 32, Danu Wijaya 37, Heru Maulana 38 , Dipo Bariguna 40, Dwik Adhi 41, Alwan R 41,Bogi R 41, Aby G 41,). Terima kasih atas sumbangan pikirannya, pengalamannya, dukungan, canda tawa, tolong menolong dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Teman-teman AZIMUTH SOIL 14,15,16,17, dan 18 yang telah menjadi bagian dari keluarga di kampus IPB.
11.Keluarga besar SOIL IPB 44 serta SOIL 41, 42, 43, 45, 46, 47, dan 48
12.Saeful, Yudi, Anjar, Faqih, Imam, Anto, Kojek, Mustofa Fahutan 44, Hamzan Soil Unram, Tino dan Samsul Soil UB, Hanif, Iham, Hadi, Yoan, Anyang, Ayas, Roma. Terima kasih atas peran, inspirasi, dan keakrabannya
13.Semua pihak yang turut membantu kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, Septembar 2012
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 3
1.3 Manfaat Penelitian ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Pengertian dan Batasan Longsor ... 4
2.2 Jenis Longsor ... 4
2.3 Faktor Penyebab Tanah Longsor ... 6
2.3.1 Topografi ... 6
2.3.2 Keadaan Geologi ... 8
2.3.3 Karakteristik Tanah ... 9
2.3.4 Curah Hujan ... 10
2.3.5 Penggunaan Lahan dan Vegetasi ... 10
2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 11
2.5 Interpretasi Citra ... 12
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 14
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14
3.2 Jenis dan Sumber Data ... 15
3.3 Peralatan Penelitian ... 15
3.4 Metode Penelitian ... 15
3.4.1 Tahap Persiapan... 16
3.4.2 Observasi Lapang ... 18
3.4.3 Tahap Pengolahan Data ... 19
IV. KONDISI UMUM WILAYAH ... 27
4.2 Topografi wilayah ... 28
4.3 Keadaan Tanah ... 29
4.4 Formasi Geologi ... 30
4.5 Iklim dan Curah Hujan ... 31
4.6 Penggunaan Lahan ... 32
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34
5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut ... 34
5.2. Analisis Penyebab Longsor di Kabupaten Garut ... 38
5.2.1. Hubungan Kemiringan Lereng dengan Longsor ... 38
5.2.2 Hubungan Elevasi dengan Longsor... 43
5.2.3 Hubungan Formasi Geologi dengan Longsor ... 48
5.2.4 Hubungan Jenis Tanah dengan Longsor ... 54
5.2.5. Hubungan Curah Hujan dengan Longsor ... 59
5.2.6 Hubungan Penggunaan Lahan dengan Longsor... 63
5.3 Analisis Bahaya Longsor ... 69
5.9 Analisis Resiko Longsor ... 73
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79
6.1 Kesimpulan ... 79
6.2 Saran ... 80
DAFTAR TABEL
No.
Teks
Halaman
1. Jenis dan Sumber Data Primer………. 15
2. Jenis dan Sumber Data Sekunder……… 15
3. Parameter Longsor Berdasarkan Faktor Biofisik……… 21
4. Klasifikasi Kelas Bahaya Longsor……….. 23
5. Nilai Properti Kabupaten Garut……….. 24
6. Klasifikasi Kelas Properti……… 24
7. Klasifikasi Kelas Resiko Longsor………... 25
8. Sebaran titik longsor menurut batas administrasi……… 35
9. Total Titik dan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng……. 38
10. Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng ……….. 41
11. Total Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng………... 42
12. Total Titik dan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng…... 43
13. Titik Longsor Pada Berbagai Kelas Elevasi……….. 46
14. Hubungan Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Elevasi Berdasarkan Kelas Lereng……… 47 15. Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Elevasi ……….. 47
16. Sebaran Titik dan Kejadian Longsor pada Formasi Geologi……… 48
17. Titik Longsor pada Berbagai Formasi Geologi………. 51
18. Hubungan Sebaran Titik Longsor Pada Berbagai Formasi Geologi Berdasarkan Kelas Lereng……… 52 19. Kejadian Longsor pada Berbagai Formasi Geologi……….. 53
20. Sebaran Titik dan Kejadian longsor pada Jenis Tanah……….. 54
21. Titik Longsor pada Berbagai Jenis Tanah………. 56
24. Sebaran Titik dan Kejadian longsor pada Curah Hujan……… 59
25. Titik Longsor pada Berbagai Curah Hujan ………... 61
26. Hubungan Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Curah Hujan Berdasarkan Kelas Lereng……… 62 27. Frekuensi Longsor pada Berbagai Curah Hujan ……….. 63
28. Sebaran Titik dan Kejadian longsor pada Penggunaan Lahan…….. 64
29. Titik Longsor pada Penggunaaan Lahan Tahun 2012………... 66
30. Hubungan Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan Berdasarkan Kelas Lereng………. 67 31. Kejadian Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan………... 67
Lampiran 1. Hasil Pengamatan Lapang……….. 90
2. Sebaran Luasan Formasi Geologi Lembar Garut……… 92
3. Sebaran Luasan Jenis Tanah Kabupaten Garut………... 93
4. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2008-2012………... 94
5. Analisis Wilayah Rawan Bahaya Longsor ………. 95
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
Halaman
1. Longsoran Translasi………... 5
2. Longsoran Rotasi………... 5
3. Pergerakan Blok………. 5
4. Runtuhan Batu………... 5
5. Rayapan Tanah……….. 6
6. Aliran Bahan Rombakan………... 6
7. Lokasi Penelitian……… 14
8. Diagram Alir Tahap Persiapan………. 26
9. Peta Batas Administrasi………. 27
10. Sebaran Luas Berdasarkan Ketinggian……… 28
11. Sebaran Luas Berdasarkan Kelas Lereng……… 29
12. Sebaran Jenis Tanah Kabupaten Garut……… 30
13. Sebaran Formasi Geologi Kabupaten Garut……… 31
14. Sebaran Luas Curah Hujan Kabupaten Garut RePPProT………... 32
15. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2012……….. 33
16. Sebaran Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Garut Tahun 2012… 33 17. Peta Sebaran Titik Longsor………. 36
18. Peta Sebaran Titik Longsor Berdasarkan Administrasi………….. 37
19. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Lereng……….. 40
20. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng… 41 21. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng… 42 22. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Elevasi………. 45
23. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Elevasi... 46
26. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Formasi
Geologi……….. 51
27. Hubungan Kerapatan Frekuensi Longsor pada Berbagai Formasi
Geologi………. 53
28. Peta Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Jenis Tanah………… 55 29. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Jenis Tanah… 56 30. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Berbagai Jenis
Tanah………
58
31. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Curah Hujan……… 61 32. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Curah Hujan… 62 33. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Berbagai Curah
Hujan………. 64
34. Peta Sebaran Titik Longsor pada Penggunaan Lahan Tahun 2012... 66
35. Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan……. 67 36. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Penggunaan Lahan... 69
37. Grafik Sebaran Luas Kelas Bahaya Tanah Longsor………. 72
38. Peta Bahaya Longsor………. 73
39. Grafik Sebaran Luas Nilai Properti di Kabupaten Garut………... 75 40. Peta Properti Kabupaten Garut……….. 76 41. Grafik Sebaran Luas Kelas Resiko Tanah Longsor……….. 77 42. Peta Resiko Longsor Kabupaten Garut………. 78
Lampiran
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Dari bagian Utara hingga ke Selatan memanjang dari Pulau Sumatera ke Jawa sampai ke bagian timur Indonesia yaitu Nusa Tenggara, terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) dan juga dataran rendah.
Indonesia terletak di daerah beriklim tropis dengan dua musim yaitu kemarau dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam membuat wilayah Indonesia berpotensi terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan (Anonim, 2006).
Bencana longsor merupakan fenomena alam yang dapat terjadi setiap saat yang menyebabkan kerugian material maupun non-material. Longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran yang bergerak ke bawah (Subowo,2003). Peristiwa ini dapat menyebabkan kerugian harta benda, kerugian jiwa bahkan kerusakan sarana dan prasarana yang berdampak negatif pada keadaan ekonomi dan sosial masyarakat.
Upaya pencegahan bahaya longsor dan meminimalkan dampak negatif bahaya longsor merupakan pekerjaan yang tidak ringan dan tentunya memerlukan data dan informasi berdimensi spasial maupun temporal. Menurut Alhasanah
(2006), faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan kegempaan. Selain faktor alamiah, dapat juga disebabkan oleh faktor manusia yang mempengaruhi bentang alam seperti kegiatan pertanian, pemotongan lereng sebagai kegiatan untuk merubah kondisi kemiringan permukaan suatu tempat, maupun penambangan.
informasi data geospasial pada setiap objek di permukaan bumi secara cepat.
Pemanfaatan data penginderaan jauh memiliki banyak kelebihan, di antaranya dapat membantu pelajaran pemetaan daerah yang luas dalam waktu yang relatif singkat. Menurut Barus dan Wiradisastra (1996), SIG sangat bermanfaat karena dapat digunakan untuk memanipulasi data spasial dan mengkaitkan dengan informasi atribut serta mengintegrasikan dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis. Integrasi penginderaan jauh dengan SIG dapat menghasilkan atau menurunkan informasi baru berdasarkan sekumpulan informasi tematik. Aplikasi SIG telah banyak dilakukan pada berbagai bidang ilmu termasuk untuk penelitian longsor yang banyak terjadi di Indonesia seperti yang telah dilakukan Wuryanta (2003) dengan memanfaatkan Citra Landsat ETM+, Jaya (2005) menggunakan citra SPOT multiwaktu, serta Sulistiarto dan Cahyono (2007) menggunakan citra Landsat dan Aster.
Sejak dekade 1990 hingga kini lebih dari separuh kejadian longsor di Indonesia terjadi di Provinsi Jawa Barat (Surono, 2005), terutama di bagian selatan, dan salah satunya adalah di Kabupaten Garut. Sebagai ilustrasi sejak tahun 1990 hingga tahun 2000, di Provinsi Jawa Barat telah terjadi 483 kali
longsor yang telah menelan korban jiwa sebanyak 249 orang dan 108 orang luka-luka, 529 buah rumah hancur, 3753 buah rumah rusak, dan 2300 buah rumah terancam. Secara statistika rata-rata setiap tahunnya bencana longsor yang terjadi di Jawa Barat berlangsung di 31 hingga 64 lokasi, dengan korban jiwa berkisar 2 sampai 35 orang dan 78 buah rumah rusak (Alhasanah, 2006).
Desa Cintanegara, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, sekitar pukul 13.00
WIB. Dalam kejadian yang terakhir ini tidak ada korban jiwa, namun menyebabkan sembilan jiwa kehilangan tempat tinggal (Pikiran Rakyat , 2012).
Melihat banyaknya kejadian longsor yang berlangsung di Kabupaten Garut tersebut, maka pemerintah daerah setempat perlu segera melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan agar tidak terjadi lagi korban jiwa dan kerugian masyarakat yang semakin meningkat. Penelitian-penelitian yang terkait dengan bahaya dan risiko longsor serta mitigasi bencana longsor perlu mendapat prioritas untuk dilakukan di Kabupaten ini.
1.2 Tujuan Penelitian
Terkait dengan permasalahan tersebut di atas, penelitian ini bermaksud melakukan pemetaan bahaya dan resiko longsor di Kabupaten Garut dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan teknologi sistem informasi geografis, dimana tahapan yang akan dicapai dalam penelitian ini meliputi beberapa butir seperti tersebut di bawah ini:
a. Memetakan titik longsor di Kabupaten Garut
b. Menganalisis penyebab longsor di Kabupaten Garut c. Memetakan daerah bahaya longsor di Kabupaten Garut d. Memetakan daerah resiko longsor di Kabupaten Garut
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut dan pemangku kepentingan lain (stakeholders) yang memerlukan informasi kebencanaan alam, terutama bencana
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Batasan Longsor
Longsor adalah gerakan tanah atau batuan ke bawah lereng karena pengaruh gravitasi tanpa bantuan langsung dari media lain seperti air , angin atau es (Selby,1993 ; Gerrard, 1981). Secara teoritis tanah longsor juga dikenal sebagai gerakan massa (mass movements) yang secara umum diartikan sebagai suatu gerakan tanah dan atau batuan secara besar-besaran menuruni lereng, baik dalam tempo cepat atau lambat dari tempat asalnya oleh pengaruh gaya berat (gravitasi). Besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut ditentukan terutama oleh besarnya sudut kemiringan lereng (slope), dimana semakin besar kemiringan lereng, akan semakin besar kemungkinan terjadi gerakan massa, begitu juga sebaliknya (Alhasanah, 2006). Longsor sebenarnya merupakan fenomena alam, yang mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan ketidakstabilan lereng.
Daerah di permukaan bumi yang mengalami proses longsor ataupun erosi lanjut dapat dinamakan sebagai permukaan bumi yang terdenudasi (Priyono et al 2006).
2.2 Jenis Longsor
Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah yang mempunyai
Gambar 1. Longsoran Translasi, adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
Gambar 2. Longsoran Rotasi, adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.
Gambar 3. Pergerakan Blok, adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
Gambar 5. Rayapan Tanah, adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini
hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, dan rumah miring ke bawah.
Gambar 6. Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak (Subowo, 2003).
2.3 Faktor Penyebab Tanah Longsor
Menurut Alhasanah (2006), faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan kegempaan. Selain faktor alamiah longsor dapat disebabkan oleh
faktor manusia yang mempengaruhi bentang alam seperti kegiatan pertanian, pemotongan lereng, maupun penambangan. Berikut ini akan diulas lebih lanjut beberapa faktor penyebab longsor tersebut.
2.3.1 Topografi
pegunungan pada umumnya lebih tinggi daripada daerah dataran rendah di
sekitarnya. Tingginya curah hujan dapat meningkatkan tekanan pori tanah sehingga dapat mengurangi kestabilan lereng, hal ini disebabkan infiltrasi air akan mengurangi kekuatan geser lereng dan menjadi penyebab terjadinya longsor (Gerrard,1981). Dalam hal ini elevasi disamping digunakan sebagai acuan untuk melihat sebaran intensitas curah hujan yang erat kaitannya dengan longsor, dapat juga digunakan untuk memprediksi daerah berpotensi longsor karena pada elevasi tinggi secara umum mempunyai banyak lereng curam, meskipun pada beberapa tempat di dataran tinggi terdapat lereng landai (Gerrard,1981). Pada daerah elevasi tinggi umumnya mempunyai drainase tanah yang lebih baik, sehingga curah hujan lebih mudah untuk masuk air ke dalam tanah dan hasilnya proses-proses pelapukan serta pencucian berjalan lebih cepat. Pelapukan batuan ini selanjutnya menghasilkan proses tanah longsor (Thornbury,1969).
Faktor penting yang lain dari topografi adalah lereng. Lereng merupakan salah satu kenampakan penting di dalam bentang alam, karena lereng dalam waktu yang panjang mengalami revolusi, dimana material permukaan pada lereng dapat bergerak turun oleh gaya gravitasi (Pramumijoyo dan Karnawati, 2001).
Tanah longsor terjadi pada lereng bagian atas yang tidak stabil atau lereng dasar yang lemah, yang terkait dengan sudut kecuraman lereng yang besar (Selby,1993). Menurut Tondobala (2011) dan Sadisun (2006) kemiringan lereng merupakan salah satu parameter pemicu terjadinya gerakan tanah, hal ini dikarenakan semakin terjal suatu lereng maka material yang ada di atas permukaan tersebut
akan semakin mudah untuk jatuh/tergelincir ke bawah oleh adanya gaya gravitasi. Kemiringan lereng lebih dari 20° (atau sekitar 40%) memiliki potensi untuk bergerak atau longsor, meskipun lereng atau lahan yang miring tidak selalu mempunyai potensi untuk longsor karena tergantung juga oleh formasi geologi yang menyusun lereng tersebut (Suranto,2006).
Lebih lanjut Karnawati (2001) mengatakan bahwa lereng yang tersusun
oleh perlapisan batuan yang miring searah kemiringan lereng sering terjadi luncuran batuan atau luncuran bahan rombakan dengan kecepatan tinggi. Luncuran tersebut terjadi di sepanjang bidang-bidang perlapisan batuan yang merupakan bidang yang lemah sehingga sangat rentan terhadap pergerakan. Meresapnya air hujan melalui bidang-bidang retakan batuan pada lereng di daerah tersebut merupakan pemicu terjadinya gerakan. Air yang mengisi retakan-retakan batuan bersifat menekan dan semakin melemahkan kekuatan batuan untuk tetap stabil, sehingga blok-blok batuan bergerak meluncur ke bawah lereng.
Longsor terjadi apabila ada gangguan keseimbangan lereng, dimana gaya pendorong menjadi lebih besar daripada gaya penahan. Gaya pendorong dapat disebabkan oleh faktor-faktor luar, seperti pengaruh air (air hujan, kolam ikan, bak mandi atau selang pipa air yang bocor), kemiringan lereng yang besar, atau adanya pengupasan lereng oleh manusia (perubahan tata guna lahan), dan pendirian bangunan pada puncak bukit, karena gaya penahan akan sangat tergantung pada jenis tanahnya (Parlindungan et al, 2008). Sejalan dengan hal tersebut kenaikan beban di puncak lereng akan mengurangi keamanan lereng,
sedangkan pengurangan beban di daerah kaki lereng berdampak menurunkan faktor keamanan. Semakin besar pengurangan beban di kaki lereng, maka semakin besar pula penurunan faktor keamanan lerengnya, sehingga hasilnya lereng menjadi semakin labil atau rawan longsor (Zakaria, 2011).
2.3.2 Keadaan Geologi
Faktor Geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah struktur geologi, jenis batuan, umur geologi, dan gempa (Tejakusuma, 2007).
Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah kontak batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan, dan patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air meresap.
telah lalu, dan zona patahan ( Hardiyatmo, 2006). Menurut Barus (1999), bahan
sedimen tersier dari kombinasi pasir dan liat memberikan intensitas longsoran paling tinggi, diikuti oleh bahan piroklastik lepas. Hal itu disebabkan batuan tersebut umumnya kurang kuat dan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan sehingga rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal (Hardiyatmo, 2006). Surono (2012) berpendapat bahwa batuan dasar clay stone atau batuan lempung bersifat keras apabila kering tapi begitu terkena air cepat menjadi licin sehingga memudahkan tanah yang ada atasnya untuk bergerak,
Umur geologi menurut Sampurno (1976) dalam Suranto (2008), juga dapat menentukan proses longsor karena daerah gerakan tanah sering terjadi pada daerah longsoran karena adanya perbedaan permeabilitas dan konsistensi antara tanah penutup dengan batuan dasarnya; umumnya terdapat pada batas antara batuan tufa gunung api “muda” dengan batuan sedimen “tersier”, atau pada daerah yang mempunyai endapan sedimen tersier yang kurang konsisten, dan terlipat kuat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa umur geologi berpengaruh terhadap bahaya longsor, karena proses pelapukan batuan yang sudah lama dan sangat intensif terutama di negara-negara yang memiliki iklim tropis basah seperti Indonesia.
2.3.3 Karakteristik Tanah
Faktor tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap longsor yang berbeda-beda. Kepekaan tanah terhadap longsor menggambarkan mudah atau tidaknya tanah bergerak atau longsor, sehingga kepekaan tanah terhadap longsor adalah fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisik atau kimia tanah. Adapun sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan longsor adalah (a) tekstur, (b) struktur, (c) bahan organik, (d) kedalaman, (e), dan sifat lapisan (Arifin et al 2006).
Hasil penelitian Barus (1999) menunjukan bahwa tingkat perkembangan tanah juga berpengaruh nyata terhadap longsoran. Tanah yang sudah berkembang atau sedang berkembang seperti typic hapludults dan typic hapludalfs memberikan longsoran yang tinggi, sedangkan pada tanah yang muda sedikit dijumpai terjadinya longsoran.
peluncuran (Arsyad, 1989). Hal tersebut diperlihatkan juga oleh Subowo (2003)
bahwa jenis tanah dengan tektur lempung atau liat dengan ketebalan lebih dari 2,5m dan mempunyai sudut lereng lebih dari 22º maka berpotensi untuk longsor terutama bila terjadi hujan karena tanah menjadi lembek.
2.3.4 Curah Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada musim hujan karena terjadi peningkatan intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan-retakan dan merekahnya tanah di permukaan. Ketika hujan maka air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, biasanya intensitas hujan yang tinggi sering terjadi sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral (Subowo, 2003).
Daerah beriklim basah, seperti Indonesia, faktor iklim yang mempengaruhi longsor adalah hujan. Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran
permukaan dan besarnya longsoran (Barus, 1999). Disamping itu akibat hujan dengan intensitas yang tinggi dan hujan deras dalam waktu yang lama terjadi peningkatan kadar air tanah, akibatnya menurunkan ketahanan material tanah/batuan dan peningkatan intensitas hujan menyebabkan terbentuknya bidang gelincir sebagai pemicu tanah longsor (Suryaatmojo dan Seodjoko, 2008).
2.3.5 Penggunaan Lahan dan Vegetasi
disamping oleh penambahan beban yang besar pada lereng akibat pertumbuhan
vegetasi atau disebabkan oleh gerakan angin yang mengenai vegetasi, dan kerja akar tanaman yang membantu membesarkan rekahan tanah (Tejakusuma, 2007).
Pramumijoyo dan Karnawati (2001) menyatakan bahwa pembukaan hutan, penanaman jenis pohon yang tahunan dengan jarak tanam terlalu rapat, pemotongan tebing/lereng untuk jalan dan pemukiman merupakan pola aktivitas manusia yang dijumpai di daerah terjadinya longsor. Penanaman pohon dengan jenis tanaman tahunan, misalnya pohon durian, manggis dan bambu, serta penanaman dengan jarak tanam terlalu rapat mengakibatkan penambahan beban terhadap massa tanah. Hal ini berarti akan menyebabkan tanah menjadi rentan untuk longsor.
Lebih lanjut diuraikan oleh Yunarto (2010) bahwa jenis penggunaan lahan pemukiman yang mempunyai kepekaan tinggi terhadap longsor pada lahan berlereng bagian atas. Hal tersebut dikarenakan mempunyai gaya beban yang berat, tidak adanya pengelolaan (vegetasi) yang efektif, serta mempunyai tingkat porositas air ke dalam tanah rendah. Pola penggunaan lahan kebun campuran yang berada di lereng bagian atas dengan lereng curam dengan kondisi tanah yang
gembur menyebabkan air mudah meresap ke dalam tanah, bobot tanah bertambah sehingga tanah menjadi labil dan mudah bergerak mengakibatkan terjadinya longsor.
2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah teknologi informasi spasial atau geografi yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan, dan manipulasi data. Komponen utama SIG dapat dibagi ke dalam tiga komponen menurut Barus dan Wiradisastra (2000) yaitu: (1) komponen keras, meliputi peralatan pemasukan data, peralatan untuk menyimpan dan pengolahan, dan peralatan mencetak hasil, (2) komponen perangkat lunak, meliputi persiapan dan pemasukan data, manajemen, penyimpanan, dan pemanggilan data, manipulasi data dan analisis, dan pembuatan produk SIG, dan (3) komponen organisasi.
bentuk digital. Data ini lebih mudah dalam menyimpan informasi dibanding
dalam bentuk peta, cetak, tabel atau bentuk konvensional lainnya. Dengan dipakainya sistem komputer, maka bila diperlukan data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per unit yang lebih rendah dari pada dengan cara manual. Demikian pula dalam hal kemampuan memanipulasi data spasial dan mengkaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis.
Disamping hal tersebut, pemanfaatan SIG bertujuan untuk memecahkan persoalan yang dibutuhkan dalam pengelolalan data yang berferensi geografi. Pada akhirnya SIG dipergunakan untuk membantu pemakai untuk mencapai tujuannya yaitu pengambilan keputusan (Barus dan Wiradisastra, 2000).
Aplikasi sistem informasi geografis banyak dilakukan dalam berbagai bidang, salah satunya adalah Wuryanta (2003) yang memanfaatkan SIG untuk mengindetifikasi wilayah berpotensi longsor dengan Citra Landsat ETM+. Penulis lain seperti Jaya (2005) menggunakan SIG untuk mendeteksi lahan longsor menggunakan citra SPOT multiwaktu. Dari Penelitian tersebut didapatkan bahwa SIG sangat membatu dalam kajian penanganan longsor lebih efisien dan bisa memprediksi terjadinya longsor untuk masa mendatang.
2.5 Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti penting objek terkait (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986). Dalam pengenalan objek
yang tergambar pada citra diperlukan tiga rangkaian kegiatan yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengamatan atas ada atau tidaknya suatu objek pada citra. Identifikasi adalah upaya untuk mencirikan objek yang dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup yaitu menggunakan unsur interpretasi citra pada tahap analisis dikumpulkan keterangan lebih lanjut untuk membuat kesimpulan (Lint dan Simonett,1975 dalam Sutanto, 1986).
komputer ini lebih mudah dan dapat mendeteksi obyek melalui pengaturan
komposisi band citra. Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), Citra Landsat merupakan salah satu jenis citra multispektral yang banyak digunakan untuk berbagi studi. Citra ini mempunyai 7 saluran yang terdiri dari spektrum tampak pada saluran 1, 2, dan 3, spektrum inframerah dekat pada saluran 4, 5, dan 7 serta spektrum inframerah termal pada saluran 6. Terdapat banyak aplikasi dari data Landsat TM seperti pemetaan penutupan lahan, pemetaan penggunaan lahan, pemetaan tanah, pemetaan geologi, pemetaan suhu permukaan laut, dan lain-lain. Untuk pemetaan penutupan dan penggunaan lahan data Landsat TM lebih dipilih daripada data SPOT multispektral karena terdapat band infra merah dekat yaitu band 4, 5, dan 7. Landsat TM adalah satu-satunya satelit non-meteorologi yang mempunyai band inframerah termal. Data termal diperlukan untuk studi proses-proses energi pada permukaan bumi seperti variabilitas suhu tanaman dalam areal yang beririgasi.
Menurut Sutanto (1987) Landsat banyak digunakan untuk identifikasi jenis tanaman. Identifikasi mencapai 95% keakuratan untuk daerah yang luas dan seragam dan hingga 75 % atau 85% bagi daerah yang rumit. Interpretasi digital
dapat dilakukan dengan cepat, efisien dan sistematis, sehingga hasil interpretasi mendekati kebenaran, nilai spektral pixel dapat dibedakan dengan tepat 0-255. Analisis dengan cara sistematik dan statistik dapat memperagakan hasil manipulasi data dengan cepat dan menghasilkan gambar dengan cepat pula. Frekuensi perekaman ulang memungkinkan penyediaan Citra Landsat di dalam
berbagai musim.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6°56'49''-7°45'00'' Lintang Selatan dan 107°25'8''-108°7'30'' Bujur Timur. Secara Administrasi Kabupaten Garut mempunyai 42 kecamatan, 21 kelurahan dan 403 desa.
Dalam penelitian ini persiapan dan pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departeman Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengolahan data sebelum kerja lapangan dilaksanakan mulai bulan Juni 2011 sampai bulan Februari 2012, sedangkan kerja lapang dan wawancara dilaksanakan pada akhir Februari 2012. Untuk pengolahan data akhir dilaksanakan setelah kerja lapang sampai bulan Mei 2012.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Untuk menunjang penelitian ini diperlukan beberapa jenis data primer dan sekunder seperti tersaji pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data Primer
No Jenis Data Primer Sumber Data
1 ASTER GDEM www.gdem.aster.ersdac.or.jp
2 Citra Landsat path/row:
121/65,122/65 di akuisisi tahun 2008 USGS.glovis.gov
3 Data Hasil Pengamatan Penggunaan Lahan Tahun 2012 dan Kejadian Longsor
Wawancara dan pengamatan langsung di lokasi
Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Sekunder
No Jenis Data Sekunder Sumber Data
1 Peta Geologi Lembar Garut dan
4 Peta Dasar Rupa Bumi Indonesia (RBI) Skala 1 : 25.000
Bakorsurtanal tahun 2000
5 Data Titik Longsoran Tahun 2000-2011 Kabupaten Garut
www.Garutkab.go.id
3.3 Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan untuk penelitian lapangan antara lain adalah Abney Level, GPS Garmin 60Csx, dan Camera Digital. Sementara itu perangkat lunak yang digunakan adalah Erdas Imagine 9.1, ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, Global Mapper 9, Microsoft Office Word, dan Microsoft Office Excell.
3.4 Metode Penelitian
3.4.1 Tahap Persiapan
Tahapan ini meliputi pekerjaan pengumpulan data dan pengolahan data awal. Pengumpulan data diawali dengan pencarian literatur yang terkait dengan tema penelitian. Hal ini diperlukan untuk mengetahui beberapa metode dan perkembangan akhir dari metode-metode yang digunakan terkait dengan tema longsor. Setelah menentukan rencana daerah penelitian dan topik penelitian, maka dilakukan pembuatan proposal penelitian. Selanjutnya setelah proposal disetujui maka dilakukan pengumpulan data yang terkait dengan daerah penelitian dan topik penelitian.
a. Tahap Pengumpulan Data
Pada dasarnya pengumpulan data dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu pengumpulan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi : peta jenis tanah, peta geologi, peta curah hujan, peta administrasi, peta topografi, dan data kejadian longsor yang didapat dari Pemerintah Kabupaten Garut. Untuk data primer yang dikumpulkan meliputi : Citra Landsat (tahun 2008), data ASTER GDEM, dan data hasil observasi lapang. Citra Landsat digunakan untuk interpretasi penutupan/penggunaan lahan, Citra ASTER GDEM
untuk membuat peta kemiringan lereng dan elevasi, sedangkan observasi lapangan untuk menentukan titik-titik longsor di lapangan dan wawancara dengan penduduk agar dapat diketahui lebih jauh tentang longsor di daerah penelitian (lokasi, frekuensi).
b. Tahap Pengolahan Data Awal
Proses pengolahan data awal meliputi (a) interpretasi citra secara visual untuk pemetaan penggunaan lahan dan (b) pembuatan peta kemiringan lereng serta elevasi daerah penelitian. Beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum melakukan interpretasi citra untuk penggunaan lahan adalah:
(1) penggabungan band (layer stacking), (2) pembuatan mosaik citra,
(3) pemotongan citra (cropping), (4) koreksi geometrik, dan
Berikut diuraikan secara singkat beberapa langkah tersebut di atas dengan
menggunakan software ERDAS Imagine v 8.6 :
1. Penggabungan band (layer stacking)
Proses penggabungan kanal (band) Citra Landsat dilakukan terhadap
semua kanal yang ada, kecuali band 6 (inframerah termal) karena kanal ini tidak digunakan untuk identifikasi penggunaan lahan. Adapun kombinasi kanal yang akan digunakan dalam penelitian adalah kanal 542 (true color composit). Kombinasi kanal ini dipilih karena kombinasi tersebut menurut Lillesand dan Kiefer (1997) dapat membedakan antara vegetasi, jalan, tanah kosong, dan badan air secara jelas, sehingga kombinasi kanal ini dianggap sebagai kombinasi yang baik untuk melakukan interpretasi penggunaan lahan.
2. Penggabungan citra (mosaic)
Proses menggabungkan citra adalah menggabungkan 2 scene atau lebih dari citra yang berurutan (lokasi dan akusisi) ke dalam 1 (satu) file untuk memperoleh citra yang utuh (bersambung). Hal ini disebabkan daerah penelitian terliput dalam 2 scene citra Landsat yang berurutan.
3. Koreksi geometrik
Koreksi geometrik dilakukan untuk menentukan titik-titik koordinat pada citra agar menjadi sama dengan koordinat sesungguhnya di permukaan bumi. Koreksi dilakukan dengan metode GCP (Ground Check Point), yaitu memberikan minimal empat titik acuan pada image yang dikoreksi dengan image acuan sampai titik-titik koordinat pada citra yang pertama mempunyai koordinat yang sama
dengan titik-titik acuan pada yang citra kedua. 4. Pemotongan citra (subset image)
Pemotongan citra dilakukan untuk memperoleh cakupan citra Landsat sesuai dengan batas daerah penelitian, yaitu wilayah administrasi Kabupaten Garut. Pemotongan citra dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine v 8.6.
5. Interpretasi visual
maknanya. Dalam penelitian ini kunci interpretasi yang digunakan mengacu pada
Sutanto (1986), yaitu meliputi warna, bentuk, rona, ukuran, tekstur, bayangan, pola, situs, dan asosiasi.
Adapun untuk pemetaan kemiringan lereng dan elevasi digunakan citra GDEM dengan menggunakan software Global Mapper v. 9.0. Penentuan kelas lereng diawali dengan mengkonversi data kontur digital ke dalam bentuk tiga dimensi (TIN), kemudian hasil dari tahap ini dikonversi ke dalam bentuk grid, dan selanjutnya dapat dilakukan klasifikasi kelas lereng. Dalam penelitian ini kelas lereng dibagi menjadi 6 kelas mengacu pada klasifikasi Van Zuidam (1983) untuk analisis terrain, yaitu: (a) 0-3%, (b) 3-8%, (c) 8-15%, (d) 15-25%, (e) 25-45%, dan (f) >45%. Hasil dari proses ini kemudian dikonversi menjadi bentuk vector (.shp) agar dapat digunakan untuk analisis SIG terkait dengan data spasial yang lain.
3.4.2 Observasi Lapang
Sebelum melakukan observasi lapangan untuk pengumpulan data, hal yang perlu dilakukan adalah membuat peta kerja serta penentuan titik-titik observasi lapangan. Titik-titik ini ditentukan dengan pertimbangan aksesibilitas, lokasi yang mewakili setiap penggunaan lahan, dan sesuai dengan informasi data titik-titik longsor dari Pemda Kabupaten Garut (Bappeda Kabupaten Garut). Tujuan observasi lapangan adalah untuk pengecekan hasil interpretasi,
3.4.3 Tahap Pengolahan Data
Tahap pengolahan data meliputi pemetaan titik-titik longsor, analisis penyebab longsor, pemetaan bahaya longsor, dan pemetaan resiko
a. Pemetaan titik-titik longsor
Pemetaan titik-titik longsor ini dilakukan dengan software ArcGis v 9.3 dengan metode tumpang tindih (overlay), yaitu antara data titik-titik longsor hasil pengecekan lapang dengan peta administrasi wilayah Kabupaten Garut, atau dengan data DEM wilayah Kabupaten Garut. Dari hasil analisis ini diperoleh sebaran titik-titik longsor di daerah penelitian, baik dilihat dari kondisi topografinya (DEM) maupun dari wilayah administrasi (kecamatan), sehingga selanjutnya dapat dipelajari pola persebaran yang terbentuk di seluruh daerah penelitian terkait dengan topografi maupun wilayah administrasinya serta kaitannya dengan parameter-parameter yang lain.
b. Analisis penyebab longsor
Untuk melakukan analisis penyebab longsor, dalam penelitian ini digunakan beberapa parameter biogeofisik, yaitu Kemiringan Lereng, Elevasi, Formasi Geologi, Jenis Tanah, Curah Hujan, dan Penggunaan Lahan. Parameter-parameter ini merupakan beberapa Parameter-parameter penting yang dianggap banyak berpengaruh terhadap kejadian longsor jika mengacu pada penelitian-penelitian
sebelumnya, seperti dari Alhasanah (2006) dan PUSLITANAK (2004). Dalam Alhasanah (2006) parameter longsor yang digunakan meliputi : morfologi permukaan bumi, litologi, geologi, penggunaan lahan, curah hujan, dan kegempaan, sedangkan menurut PUSLITANAK (2004) parameter longsor meliputi : kemiringan lereng, jenis tanah, tekstur tanah, kedalaman tanah, permeabilitas, formasi geologi, curah hujan, dan penggunaan lahan.
longsor dan kerapatan frekuensi longsor yang dihitung berdasarkan jumlah titik
longsor dan frekuensi kejadian terhadap luasan masing-masing kelas pada parameter biogeofisik seperti tersebut di atas. Satuan luasan yang digunakan untuk menghitung nilai kerapatan adalah 100 km². Hal ini dilakukan untuk menghindari banyaknya digit angka di bawah nol.
c. Penetapan kelas bahaya longsor
Bahaya longsor adalah suatu kondisi dimana proses longsor dapat terjadi dalam waktu dekat, bisa dalam hitungan harian, mingguan, bulanan, atau tahunan, sehingga mengindikasikan bahwa proses longsor dapat terjadi sewaktu-waktu dikarenakan oleh sifat biogeofisik yang dimiliki yang dapat mengancam jiwa manusia atau menimbulkan kerugian yang lain.
Penilaian bahaya longsor dalam penelitian ini bersifat parametrik, dimana pada setiap parameter dikelaskan menjadi beberapa kelas yang menggambarkan besarnya kontribusi terhadap proses longsor. Adapun setiap kelas yang telah dibuat, dari kelas sangat rendah hingga kelas sangat tinggi, masing-masing diberi skor dari 1 hingga 5. Dalam penelitian ini bahaya longsor direpresentasikan sebagai penjumlahan skor dari masing-masing parameter pada suatu wilayah
tertentu. Dengan demikian formulasi bahaya longsor dirumuskan sebagai berikut :
Keterangan : KBL = Kelas Bahaya Longsor L = Lereng
E = Elevasi G = Geologi T = Tanah L = Lahan CH = Curah Hujan
Untuk skor dari masing-masing kelas setiap parameter disajikan pada
Tabel 3, dimana skor 1 mencerminkan kontribusi yang sangat kecil terhadap proses longsor sebaliknya untuk skor 5 mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap proses terjadinya longsor. Untuk mengetahui kelas bahaya longsor berdasarkan formulasi di atas, maka diperlukan klasifikasi bahaya longsor yang didasarkan pada kelas interval Kelas interval dirumuskan sebagai berikut :
Dalam Penelitian ini kelas bahaya longsor selanjutnya dibagi menjadi lima, yaitu kelas bahaya sangat rendah, rendah, menengah, tinggi, dan sangat tinggi. Bedasarkan ketentuan-ketentuan ini dan nilai skor yang telah ditentukan dalam Tabel 3, maka besarnya kelas interval adalah :
Interval Kelas Bahaya Longsor = 30-6 = 4,8 atau setara 5 5
Berdasarkan nilai interval tersebut, selanjutnya dapat dibuat klasifikasi bahaya longsor yang didasarkan pada besarnya nilai yang diperoleh dan hasilnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 21. Parameter Longsor Berdasarkan Faktor Biogeofisik
No Variabel Kriteria Skor Keterangan
1 Kelas
1500-2000 1 Sangat Rendah
2000-2500 2 Rendah
2500-3000 3 Menengah
3000-3500 4 Tinggi
3500-4000 5 Sangat Tinggi
3 Jenis Batuan
Batuan Aluvial 1 Sangat Rendah
Batuan Kapur 2 Rendah
Batuan sediment 3 Menengah
Batuan Vulkanik 4 Tinggi
Batuan sediment dan Batuan Vulkanik
5 Sangat Tinggi
4 Jenis Tanah
Aluvial 1 Sangat Rendah
Latosol dan Renzina 2 Rendah
Regosol dan Litosol 3 Menengah
Andosol dan
Regosol 4 Tinggi
Podsolik dan
Regosol 5
Sangat Tinggi
5 Elevasi
< 1000m 1 Sangat Rendah
1000-1500m 2 Rendah
1500-2000m 3 Menengah
2000-2500m 4 Tinggi
> 2500m 5 Sangat Tinggi
6 Penggunaan Lahan
Perairan,Perkebunan
dan Sawah 1 Sangat Rendah
Semak belukar dan
Lahan Terbuka 2 Rendah
Hutan dan
Pemukiman 3 Menengah
Ladang 4 Tinggi
Tabel 4. Klasifikasi Kelas Bahaya Longsor
Kelas Bahaya Interval Keterangan
1 6-10 Sangat rendah
2 11-15 Rendah
3 16-20 Menengah
4 21-25 Tinggi
5 26-30 Sangat Tinggi
e. Penetapan kelas resiko longsor
Resiko longsor adalah suatu konsekuensi yang dapat diterima oleh manusia atau obyek yang lain akibat adanya suatu proses longsor di suatu tempat. Pada umumnya proses longsor ini menghasilkan suatu kerugian baik berupa kerugian jiwa maupun harta benda/properti. Berdasarkan pemahaman ini, maka resiko longsor dapat dicerminkan dari besarnya nilai bahaya longsor dan besarnya nilai jiwa manusia dan properti. Namun demikian dalam penelitian ini untuk nilai jiwa manusia belum diperhitungkan karena keterbatasan data yang ada. Nilai properti selanjutnya dirumuskan sebagai berikut:
Nilai Properti = Skor Penggunaan Lahan + Skor Infrastruktur
Dalam penelitian ini properti dibagi menjadi 2 variabel, yaitu variabel penggunaan lahan dan variabel infrastruktur. Selanjutnya masing-masing variabel dibagi menjadi 5 kelas, dimana masing-masing kelas diberi skor 1 hingga 5 (Tabel 5). Jumlah kelas properti ini disamakan dengan jumlah kelas bahaya longsor agar memudahkan dalam mengklasifikasi resiko longsor. Adapun formula untuk mencari kelas interval sama dengan rumusan untuk mencari kelas interval pada bahaya longsor.
sebesar 1 dan nilai tertinggi sebesar 12. Dengan demikian besarnya kelas interval
properti dapat ditentukan sebagai berikut :
Kelas Interval Properti = 12 - 1 = 2,2 atau setara 2 5
Berdasarkan kelas interval tersebut, maka selanjutnya dapat dilakukan klasifikasi properti seperti disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Properti Kabupaten Garut
No Variabel Kriteria Skor Tingkat
Kebun Campuran 3 Menengah
Sawah 4 Tinggi
Jalan Kabupaten 3 Menengah
Jalan Provinsi 4 Tinggi
Jalan Negara 5 Sangat Tinggi
Tabel 6. Klasifikasi Kelas Properti
Kelas Properti Interval Keterangan
1 1-2 Sangat rendah
2 3-4 Rendah
3 5-6 Menengah
4 7-9 Tinggi
Berdasarkan klasifikasi bahaya longsor (Tabel 4) dan klasifikasi properti
(Tabel 6), maka selanjutnya dapat dinilai besarnya resiko longsor berdasarkan rumusan sebagai berikut :
Resiko Longsor = Bahaya Longsor + Nilai Properti
Adapun klasifikasi resiko dibuat berdasarkan kelas interval yang diperoleh, yaitu sebesar 1.5 seperti perhitungan di bawah ini, dan hasilnya disajikan pada Tabel 7.
Interval Kelas Resiko Longsor = 10 - 2 =1,6 atau setara 1,5 5
Tabel 7. Klasifikasi Kelas Resiko Longsor
Kelas Resiko Interval Keterangan
1 2-3,5 Sangat rendah
2 3,6-5,1 Rendah
3 5,2-6,9 Menengah
4 7-8,5 Tinggi
IV. KONDISI UMUM WILAYAH
4.1 Letak Geografis Wilayah
Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6°56'49'' - 7°45'00'' Lintang Selatan dan 107°25'8'' - 108°7'30'' Bujur Timur. Secara keruangan wilayah Kabupaten Garut memiliki batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Sumedang;
Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya;
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia;
Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Cianjur.
Secara administratif wilayah Kabupaten Garut dibagi menjadi 42 kecamatan, 21 kelurahan dan 403 desa. Pembagian wilayah administrasi Kabupaten Garut tergambar seperti Gambar 9 di bawah ini.
4.2 Topografi wilayah
Kabupaten Garut memiliki ketinggian tempat yang bervariasi mulai dari 0 meter (pantai) sampai dengan 2.561 mdpl yaitu di salah satu puncak gunung. Untuk 0-1500 mdpl mempunyai presentase luas 92% dari luas keseluruhan wilayah. Ketinggian antara 1500-2561 mdpl mempunyai presentase sekitar 8 % Untuk lebih lengkapnya sebaran ketinggian dapat dilihat pada Gambar 10 berikut.
Secara umum karakteristik topografi Kabupaten Garut cukup beragam, dimana daerah Utara merupakan sebuah dataran yang dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan berupa bentang lahan vulkanik (gunungapi), sedangkan di bagian Selatan sebagian besar berupa perbukitan dan pegunungan yang dihasilkan oleh proses pengangkatan tektonik.
Gambar 10. Sebaran Luas Berdasarkan Ketinggian
Kelas kemiringan lereng di wilayah Kabupaten Garut sebagian besar didominasi oleh kelas lereng 25-45% seluas 120.650 ha atau sekitar 39%. Kelas lereng 15-25% seluas 76.364 ha atau sekitar 25%, kemudian paling sedikit pada kelas lereng >45% seluas 1.5 ha atau sekitar 0.1% tersebar di beberapa tempat tertentu dan umumnya berupa daerah bergunung. Persentase kelas lereng secara lebih lengkap disajikan pada Gambar 11.
28%
39% 25%
7% 1% 0,1%
0-500m
500-1000m
1000-1500m
1500-2000m
2000-2500m
Gambar 11. Sebaran Luas Berdasarkan Kelas Lereng
4.3 Keadaan Tanah
Hampir separuh lebih wilayah Kabupaten Garut di dominasi oleh jenis Tanah podsolik, regosol, dan andosol dengan luas hampir 225.020 ha atau 73% dari total wilayah penelitian yang tersebar secara dominan di wilayah selatan dan di beberapa tempat di lereng pegunungan dan bukit. Untuk 25% yang lain berupa jenis tanah alluvial, renzina, litosol dan latosol yang tersebar merata di wilayah
dataran rendah bagian tengah memanjang kearah utara Kabupaten Garut. Secara umum berbagai jenis tanah wilayah Kabupaten Garut terdiri dari jenis tanah yang berasal dari hasil sedimentasi aktivitas Gunung Papandayan, Gunung Guntur dan Gunung Cikuray dengan bahan induk tuff, volkan, dan pasir kuarsa.
Tanah yang berasal dari hasil sedimentasi proses erosi dari bagian hulu menjadi jenis tanah alluvial seperti yang terdapat di daerah dataran rendah di wilayah Garut sebelah utara bagian tengah. Kemudian pengaruh dari bahan induk kapur proses pelarutan air yang mempengaruhinya terbentuk komplek jenis tanah renzina dan litosol di pesisir selatan sebelah timur wilayah Kabupaten Garut. Gambar 12. Berikut memperlihatkan sebaran jenis tanah di Kabupaten Garut.
5%
12.5%
18%
25% 39%
0.5%
Gambar 12. Sebaran Jenis Tanah Kabupaten Garut
4.4 Formasi Geologi
Kabupaten Garut secara umum didominasi oleh formasi geologi dari anggota tuff dan breksi seluas 86.900 ha atau sebesar 28% dari total luasan wilayah, tersebar di sebelah selatan wilayah Kabupaten Garut. Formasi gunungapi muda dengan total cakupan luas 60.900 ha atau sebesar 20 % tersebar di bagian tengah wilayah Kabupaten Garut. Selanjutnya formasi endapan piroklastik seluas 46.400 ha atau sebesar 15% tersebar di pesisir selatan kearah barat. Dengan demikian separuh wilayah didominasi oleh tiga formasi tersebut. Sementara wilayah yang lain tersebar dengan berbagai macam formasi, yaitu Breksi hasil batuan gunungapi tua, endapan remah lepas gunungapi muda tak terurai, formasi bentang, Gunungapi Guntur-Pangkalan, dan aluvial merupakan formasi geologi
Gambar 13. Sebaran Formasi Geologi Kabupaten Garut
4.5 Iklim dan Curah Hujan
Kabupaten Garut beriklim tropis basah (humid tropical climate), dimana iklim dan cuaca dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu: pola sirkulasi angin musiman (monsoonal circulation pattem), topografi regional (bergunung) dan curah hujan, dimana curah hujan rata-rata setiap tahun berkisar antara 2.589 mm dengan bulan basah 9 bulan berturut-turut dan bulan kering berkisar 3 bulan berturut-turut (Anonim, 2010).
Berdasarkan peta curah hujan hasil olahan dari Peta Sistem Lahan (RePPProT,1987) terlihat bahwa curah hujan tahunan di wilayah Kabupaten Garut berada di atas 1500 mm/tahun Gambar 14. Dari total wilayah Kabupaten Garut hampir 34% atau seluas 105.300 ha mempunyai curah hujan 2500-3000
( Sumber : RePPProT, 1987 )
Gambar 14. Sebaran Luas Curah Hujan Kabupaten Garut RePPProT
4.6 Penggunaan Lahan
Wilayah Kabupaten Garut terdiri atas bentuk lahan yang bervariasi mulai dari dataran pantai sampai pegunungan, sehingga mempunyai penggunaan lahan yang bervariasi seperti hasil yang didapatkan dari interpretasi citra Landsat (2008) dan hasil validasi di lapangan (2012). Penggunaan lahan paling dominan yaitu: kebun campuran seluas 78.900 ha dengan persentase sekitar 26%, selebihnya
adalah dipergunakan untuk ladang sekitar 22%, hutan 16%, persawahan dengan persentase 16%, dan perkebunan sekitar 8 %. Gambaran spasial penggunaan lahan disajikan Gambar 15 dan luasannya pada Gambar 16 berikut.
12%
22%
34% 23%
9%
1500-2000
2000-2500
2500-3000
3000-3500
Gambar 15. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2012
( Sumber : Hasil Interpretasi Citra Landsat 2008 yang Sudah di Validasi Tahun 2012 )
Gambar 16. Sebaran Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Garut Tahun 2012
16%
26%
22% Lahan Terbuka
1% 6% Perairan
0.1% 8%
16% 5% Hutan
Kebun Campuran
Ladang
Lahan Terbuka
Pemukiman
Perairan
Perkebunan
Sawah
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut
Pemetaan titik-titk longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Titik-titik longsor yang dituju didasarkan pada informasi longsor dari Bappeda Kabupaten Garut, informasi penduduk lokal, dan peta bahaya longsor tentatif sebelum dilakukan observasi lapangan, terutama pada area yang mempunyai kemiringan lereng sedang hingga tinggi. Dalam penelitian ini peta jalan sangat diperlukan untuk mengetahui rute guna menuju titik-titik longsor yang akan diteliti.
Dari hasil pengamatan lapangan didapatkan sebanyak 43 titik longsor yang meliputi titik-titik longsor baru (belum lama terjadi) maupun yang sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya Gambar Lampiran 1 dan Tabel Lampiran 2. Persebaran titik-titik longsor tersebut dapat dilihat pada Gambar 17 yang disajikan dengan latar belakang Citra GDEM (resolusi 30 meter), dimana terlihat bahwa mulai dari G. Cikurai ke Utara hanya terdapat 10 titik longsor, selebihnya 33 titik longsor terdapat di wilayah Selatan Kabupaten Garut (dari Gunung Cikurai ke
Selatan).
Selatan. Jika persebaran titik-titik longsor tersebut ini dilihat berdasarkan batas
administrasi (kecamatan), maka Kecamatan Cisewu mempunyai titik longsor terbanyak. yaitu sebanyak 10 titik longsor, sedangkan Kecamatan Banjarwangi, Kadungora, Leles, Sucinaraja, Karangpawitan, dan Cisurupan mempunyai titik longsor terendah sebesar 1 titik longsor (Gambar 17 dan Tabel 8). Dengan demikian kecamatan Cisewu perlu mendapat perhatian tersendiri dari Pemerintah Daerah Kabupaten Garut terkait dengan program pengurangan korban bencana alam atau mitigasi bencana longsor.
Tabel 8. Sebaran titik longsor menurut batas administrasi
No Kecamatan Titik Longsor
1 Banjarwangi 1
2 Kadungora 1
3 Leles 1
4 Sucinaraja 1
5 Karangpawitan 1
6 Cisurupan 1
7 Pakenjeng 2
8 Bungbulang 2
9 Cigedug 2
10 Cihurip 2
11 Caringin 3
12 Malangbong 4
13 Pamulihan 6
14 Cisompet 6
Gambar 17. Peta Sebaran Titik Longsor
Gambar 18. Peta Sebaran Titik Longsor Berdasarkan Administrasi
5.2. Analisis Penyebab Longsor di Kabupaten Garut
Analisis penyebab longsor di daerah penelitian dilakukan dengan melihat keterkaitan antara persebaran titik longsor terhadap parameter yang digunakan untuk menilai penyebab longsor, yaitu Kemiringan Lereng, Elevasi, Formasi Geologi, Jenis Tanah, Curah Hujan, dan Penggunaan Lahan. Dalam analisis ini ada tiga aspek yang digunakan untuk mengetahui penyebab longsor, yaitu jumlah titik longsor yang terdapat pada setiap area dari masing-masing parameter, kerapatan titik longsor pada setiap area dari masing-masing parameter, dan kerapatan frekuensi longsor. Seperti yang telah diuraikan pada bab metodologi sebelumnya bahwa dalam penelitian ini perhitungan kerapatan didasarkan pada satuan luas 100 km² (dari setiap area dari masing-masing parameter), sedangkan frekuensi longsor dibatasi untuk kurun waktu sekitar 12 tahun, yaitu antara tahun 2000 sampai tahun 2012.
5.2.1. Hubungan Kemiringan Lereng dengan Longsor a. Persebaran Titik Longsor dan Kemiringan Lereng
Berdasarkan analisis tumpang tindih (overlay) antara titik longsor dengan kemiringan lereng didapatkan hasil bahwa kejadian longsor banyak terjadi pada
lereng-lereng dengan kemiringan 25-45%, 15-25%, dan 8-15%, sedangkan pada kemiringan lereng >45% sangat sedikit ditemukan titik longsor. Hal ini disebabakan oleh dua hal, yaitu adanya kendala aksesibiltas pada lereng >45% sehingga tidak ditemukan titik longsor, atau karena adanya penutup lahan berupa hutan yang mendominasi kelas lereng ini, sehingga tidak ada kejadian longsor
karena penutup lahan ini berhasil mengurangi terjadinya longsor.
Persebaran titik-titik longsor pada setiap kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan persebaran spasialnya disajikan pada Gambar 19. Tabel 9. Total Titik dan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng
Kelas Lereng Jumlah Titik Longsor
Berdasarkan fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kemiringan
Gambar 19. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Lereng
b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Kemiringan Lereng
Berdasarkan analisis yang dilakukan antara jumlah titik longsor terhadap luasan masing-masing kelas lereng didapatkan beberapa kelas kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 10, adapun secara grafis kerapatan titik longsor tersebut dapat dilihat pada Gambar 20.
Tabel 10. Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Kelas
Gambar 20. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng
c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Kemiringan Lereng
Berdasarkan hasil observasi lapangan didapatkan informasi bahwa pada setiap titik longsor (atau di sekitarnya) dapat terjadi lebih dari satu kali kejadian yang dalam penelitian ini disebut kejadian ulang. Dengan demikian frekuensi kejadian longsor dapat dihitung dalam suatu kurun waktu (dalam penelitian ini kurun waktu = 12 tahun). Frekuensi ini digunakan untuk melihat suatu peluang terhadap kejadian ulang longsor di waktu yang akan datang. Gambaran besarnya nilai frekuensi pada setiap titik longsor disajikan pada Tabel 11 dan gambaran grafisnya pada Gambar 21.
Berdasarkan hasil analisis frekuensi longsor terhadap kemiringan lereng ini diperoleh hasil bahwa pola kejadian yang terjadi mirip dengan hasil analisis pada kerapatan titik longsor, dimana besarnya nilai kerapatan frekuensi longsor mengikuti besarnya kemiringan lereng, sehingga dapat disimpulkan di sini bahwa semakin besar kemiringan lereng akan mempunyai peluang yang besar terhadap terjadinya proses longsor dan terulangnya kejadian tersebut.
Tabel 11. Total Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Kelas
Gambar 21. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng