• Tidak ada hasil yang ditemukan

menghasilkan sesuatu itu (Aulia dalam sebuah perjalanan, Garut 2012)

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah

Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6°56'49'' - 7°45'00'' Lintang Selatan dan 107°25'8'' - 108°7'30'' Bujur Timur. Secara keruangan wilayah Kabupaten Garut memiliki batas wilayah sebagai berikut:

 Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang;

 Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya;

 Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia;

 Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.

Secara administratif wilayah Kabupaten Garut dibagi menjadi 42 kecamatan, 21 kelurahan dan 403 desa. Pembagian wilayah administrasi Kabupaten Garut tergambar seperti Gambar 9 di bawah ini.

4.2 Topografi wilayah

Kabupaten Garut memiliki ketinggian tempat yang bervariasi mulai dari 0 meter (pantai) sampai dengan 2.561 mdpl yaitu di salah satu puncak gunung. Untuk 0-1500 mdpl mempunyai presentase luas 92% dari luas keseluruhan wilayah. Ketinggian antara 1500-2561 mdpl mempunyai presentase sekitar 8 % Untuk lebih lengkapnya sebaran ketinggian dapat dilihat pada Gambar 10 berikut.

Secara umum karakteristik topografi Kabupaten Garut cukup beragam, dimana daerah Utara merupakan sebuah dataran yang dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan berupa bentang lahan vulkanik (gunungapi), sedangkan di bagian Selatan sebagian besar berupa perbukitan dan pegunungan yang dihasilkan oleh proses pengangkatan tektonik.

Gambar 10. Sebaran Luas Berdasarkan Ketinggian

Kelas kemiringan lereng di wilayah Kabupaten Garut sebagian besar didominasi oleh kelas lereng 25-45% seluas 120.650 ha atau sekitar 39%. Kelas lereng 15-25% seluas 76.364 ha atau sekitar 25%, kemudian paling sedikit pada kelas lereng >45% seluas 1.5 ha atau sekitar 0.1% tersebar di beberapa tempat tertentu dan umumnya berupa daerah bergunung. Persentase kelas lereng secara lebih lengkap disajikan pada Gambar 11.

28% 39% 25% 7% 1% 0,1% 0-500m 500-1000m 1000-1500m 1500-2000m 2000-2500m 2500-3000m

Gambar 11. Sebaran Luas Berdasarkan Kelas Lereng 4.3 Keadaan Tanah

Hampir separuh lebih wilayah Kabupaten Garut di dominasi oleh jenis Tanah podsolik, regosol, dan andosol dengan luas hampir 225.020 ha atau 73% dari total wilayah penelitian yang tersebar secara dominan di wilayah selatan dan di beberapa tempat di lereng pegunungan dan bukit. Untuk 25% yang lain berupa jenis tanah alluvial, renzina, litosol dan latosol yang tersebar merata di wilayah dataran rendah bagian tengah memanjang kearah utara Kabupaten Garut. Secara umum berbagai jenis tanah wilayah Kabupaten Garut terdiri dari jenis tanah yang berasal dari hasil sedimentasi aktivitas Gunung Papandayan, Gunung Guntur dan Gunung Cikuray dengan bahan induk tuff, volkan, dan pasir kuarsa.

Tanah yang berasal dari hasil sedimentasi proses erosi dari bagian hulu menjadi jenis tanah alluvial seperti yang terdapat di daerah dataran rendah di wilayah Garut sebelah utara bagian tengah. Kemudian pengaruh dari bahan induk kapur proses pelarutan air yang mempengaruhinya terbentuk komplek jenis tanah renzina dan litosol di pesisir selatan sebelah timur wilayah Kabupaten Garut. Gambar 12. Berikut memperlihatkan sebaran jenis tanah di Kabupaten Garut.

5% 12.5% 18% 25% 39% 0.5% 0-3% 3-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45%

Gambar 12. Sebaran Jenis Tanah Kabupaten Garut 4.4 Formasi Geologi

Kabupaten Garut secara umum didominasi oleh formasi geologi dari anggota tuff dan breksi seluas 86.900 ha atau sebesar 28% dari total luasan wilayah, tersebar di sebelah selatan wilayah Kabupaten Garut. Formasi gunungapi muda dengan total cakupan luas 60.900 ha atau sebesar 20 % tersebar di bagian tengah wilayah Kabupaten Garut. Selanjutnya formasi endapan piroklastik seluas 46.400 ha atau sebesar 15% tersebar di pesisir selatan kearah barat. Dengan demikian separuh wilayah didominasi oleh tiga formasi tersebut. Sementara wilayah yang lain tersebar dengan berbagai macam formasi, yaitu Breksi hasil batuan gunungapi tua, endapan remah lepas gunungapi muda tak terurai, formasi bentang, Gunungapi Guntur-Pangkalan, dan aluvial merupakan formasi geologi yang tersebar di wilayah tertentu dengan luasan cukup sempit dibandingkan dengan tiga formasi di atas. Berikut ilustrasi sebaran formasi geologi Kabupaten Garut Gambar 13.

Gambar 13. Sebaran Formasi Geologi Kabupaten Garut 4.5 Iklim dan Curah Hujan

Kabupaten Garut beriklim tropis basah (humid tropical climate), dimana iklim dan cuaca dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu: pola sirkulasi angin musiman (monsoonal circulation pattem), topografi regional (bergunung) dan curah hujan, dimana curah hujan rata-rata setiap tahun berkisar antara 2.589 mm dengan bulan basah 9 bulan berturut-turut dan bulan kering berkisar 3 bulan berturut-turut (Anonim, 2010).

Berdasarkan peta curah hujan hasil olahan dari Peta Sistem Lahan (RePPProT,1987) terlihat bahwa curah hujan tahunan di wilayah Kabupaten Garut berada di atas 1500 mm/tahun Gambar 14. Dari total wilayah Kabupaten Garut hampir 34% atau seluas 105.300 ha mempunyai curah hujan 2500-3000 mm/tahun, sedangkan wilayah dengan curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/tahun mempunyai luasan 26.700 ha atau 9%. Secara umum persebaran Curah Hujan semakin ke arah selatan semakin meningkat

( Sumber : RePPProT, 1987 )

Gambar 14. Sebaran Luas Curah Hujan Kabupaten Garut RePPProT 4.6 Penggunaan Lahan

Wilayah Kabupaten Garut terdiri atas bentuk lahan yang bervariasi mulai dari dataran pantai sampai pegunungan, sehingga mempunyai penggunaan lahan yang bervariasi seperti hasil yang didapatkan dari interpretasi citra Landsat (2008) dan hasil validasi di lapangan (2012). Penggunaan lahan paling dominan yaitu: kebun campuran seluas 78.900 ha dengan persentase sekitar 26%, selebihnya adalah dipergunakan untuk ladang sekitar 22%, hutan 16%, persawahan dengan persentase 16%, dan perkebunan sekitar 8 %. Gambaran spasial penggunaan lahan disajikan Gambar 15 dan luasannya pada Gambar 16 berikut.

12% 22% 34% 23% 9% 1500-2000 2000-2500 2500-3000 3000-3500 3500-4000

Gambar 15. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2012

( Sumber : Hasil Interpretasi Citra Landsat 2008 yang Sudah di Validasi Tahun 2012 )

Gambar 16. Sebaran Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Garut Tahun 2012

16% 26% 22% Lahan Terbuka 1% 6% Perairan 0.1% 8% 16% 5% Hutan Kebun Campuran Ladang Lahan Terbuka Pemukiman Perairan Perkebunan Sawah Semak Belukar

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut

Pemetaan titik-titk longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Titik-titik longsor yang dituju didasarkan pada informasi longsor dari Bappeda Kabupaten Garut, informasi penduduk lokal, dan peta bahaya longsor tentatif sebelum dilakukan observasi lapangan, terutama pada area yang mempunyai kemiringan lereng sedang hingga tinggi. Dalam penelitian ini peta jalan sangat diperlukan untuk mengetahui rute guna menuju titik-titik longsor yang akan diteliti.

Dari hasil pengamatan lapangan didapatkan sebanyak 43 titik longsor yang meliputi titik-titik longsor baru (belum lama terjadi) maupun yang sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya Gambar Lampiran 1 dan Tabel Lampiran 2. Persebaran titik-titik longsor tersebut dapat dilihat pada Gambar 17 yang disajikan dengan latar belakang Citra GDEM (resolusi 30 meter), dimana terlihat bahwa mulai dari G. Cikurai ke Utara hanya terdapat 10 titik longsor, selebihnya 33 titik longsor terdapat di wilayah Selatan Kabupaten Garut (dari Gunung Cikurai ke Selatan).

Banyaknya titik-titik longsor di wilayah Selatan tersebut dibandingkan dengan di wilayah Utara Kabupaten Garut disebabkan oleh kondisi morfologi di wilayah Utara didominasi oleh daerah landai sampai datar (sekitar 30% dari luas total daerah penelitian) sedangkan di wilayah Selatan sekitar 45% dari luas total daerah penelitian berupa daerah perbukitan. Titik-titik longsor yang ditemukan di Kabupaten Garut bagian Utara tersebut tersebar pada daerah perbukitan dan pegunungan vulkanik, baik di sisi Timur maupaun sisi Barat wilayah ini. Untuk persebaran titik-titik longsor di wilayah selatan tampak mempunyai pola memanjang berurutan, ke arah Selatan maupun ke arah Barat (Gambar17), dan ditemukan pada morfologi perbukitan dan pegunungan. Pola memanjang ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh pola jalan yang dipakai untuk mencari titik-titik longsor, karena longsor banyak ditemukan tidak jauh dari tepi jalan. Dengan demikian sesungguhynya masih dimungkinkan terdapat titik-titik longsor lain yang belum dapat ditemukan dikarenakan tidak adanya aksesibiltas untuk mencapai titik-titik tersebut dan sulit medan di wilayah Kabupaten Garut Bagian

Selatan. Jika persebaran titik-titik longsor tersebut ini dilihat berdasarkan batas administrasi (kecamatan), maka Kecamatan Cisewu mempunyai titik longsor terbanyak. yaitu sebanyak 10 titik longsor, sedangkan Kecamatan Banjarwangi, Kadungora, Leles, Sucinaraja, Karangpawitan, dan Cisurupan mempunyai titik longsor terendah sebesar 1 titik longsor (Gambar 17 dan Tabel 8). Dengan demikian kecamatan Cisewu perlu mendapat perhatian tersendiri dari Pemerintah Daerah Kabupaten Garut terkait dengan program pengurangan korban bencana alam atau mitigasi bencana longsor.

Tabel 8. Sebaran titik longsor menurut batas administrasi

No Kecamatan Titik Longsor

1 Banjarwangi 1 2 Kadungora 1 3 Leles 1 4 Sucinaraja 1 5 Karangpawitan 1 6 Cisurupan 1 7 Pakenjeng 2 8 Bungbulang 2 9 Cigedug 2 10 Cihurip 2 11 Caringin 3 12 Malangbong 4 13 Pamulihan 6 14 Cisompet 6 15 Cisewu 10

Gambar 17. Peta Sebaran Titik Longsor

Gambar 18. Peta Sebaran Titik Longsor Berdasarkan Administrasi

5.2. Analisis Penyebab Longsor di Kabupaten Garut

Analisis penyebab longsor di daerah penelitian dilakukan dengan melihat keterkaitan antara persebaran titik longsor terhadap parameter yang digunakan untuk menilai penyebab longsor, yaitu Kemiringan Lereng, Elevasi, Formasi Geologi, Jenis Tanah, Curah Hujan, dan Penggunaan Lahan. Dalam analisis ini ada tiga aspek yang digunakan untuk mengetahui penyebab longsor, yaitu jumlah titik longsor yang terdapat pada setiap area dari masing-masing parameter, kerapatan titik longsor pada setiap area dari masing-masing parameter, dan kerapatan frekuensi longsor. Seperti yang telah diuraikan pada bab metodologi sebelumnya bahwa dalam penelitian ini perhitungan kerapatan didasarkan pada satuan luas 100 km² (dari setiap area dari masing-masing parameter), sedangkan frekuensi longsor dibatasi untuk kurun waktu sekitar 12 tahun, yaitu antara tahun 2000 sampai tahun 2012.

5.2.1. Hubungan Kemiringan Lereng dengan Longsor a. Persebaran Titik Longsor dan Kemiringan Lereng

Berdasarkan analisis tumpang tindih (overlay) antara titik longsor dengan kemiringan lereng didapatkan hasil bahwa kejadian longsor banyak terjadi pada lereng-lereng dengan kemiringan 25-45%, 15-25%, dan 8-15%, sedangkan pada kemiringan lereng >45% sangat sedikit ditemukan titik longsor. Hal ini disebabakan oleh dua hal, yaitu adanya kendala aksesibiltas pada lereng >45% sehingga tidak ditemukan titik longsor, atau karena adanya penutup lahan berupa hutan yang mendominasi kelas lereng ini, sehingga tidak ada kejadian longsor karena penutup lahan ini berhasil mengurangi terjadinya longsor.

Persebaran titik-titik longsor pada setiap kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan persebaran spasialnya disajikan pada Gambar 19. Tabel 9. Total Titik dan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng

Kelas Lereng Jumlah Titik Longsor

Ulangan Kejadian Longsor 0-3% 0 0 3-8% 0 0 8-15% 9 16 15-25% 14 29 25-45% 19 53 >45% 1 4

Berdasarkan fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kemiringan lereng mempunyai pengaruh yang besar sebagai penyebab terjadinya longsor, sehingga pada wilayah dimana mempunyai kelas kemiringan lereng 25-45% maka titik longsor dan ulangan kejadian longsor banyak ditemukan. Pada kemiringan 0-3% dan 3-8% tidak ditemukan titik longsor disebabkan oleh topografi yang datar atau landai, sedangkan pada kemiringan lereng >45% terdapat 1 titik longsor yang teramati dan terdapat 4 total kejadian longsor.

Gambar 19. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Lereng

b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Kemiringan Lereng

Berdasarkan analisis yang dilakukan antara jumlah titik longsor terhadap luasan masing-masing kelas lereng didapatkan beberapa kelas kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 10, adapun secara grafis kerapatan titik longsor tersebut dapat dilihat pada Gambar 20.

Tabel 10. Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Kelas

Lereng Luas(ha) Luas(%)

Jumlah Titik Longsor Kerapatan (titik/100km²) 0-8% 55.160 18 0 0,0 8-45% 251.554 81,5 42 1,7 >45% 1.533 0,5 1 6,5

Gambar 20. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Berdasarkan Tabel 10 dan Gambar 20 tersebut terlihat bahwa besarnya nilai kerapatan mengikuti besarnya kelas lereng, yaitu untuk kelas lereng >45% mempunyai kerapatan 6,5, untuk kelas 8-45% sebesar 1,7 dan untuk kelas 0-8% tidak ada titik longsor. Besarnya angka kerapatan titik longsor pada lereng >45% lebih banyak disebabkan oleh kecilnya luas kelas kemiringan tersebut di lokasi penelitian, sehingga nilai kerapatan ini dapat menjadi lebih besar lagi jika ditemukan titik-titik longsor yang lain pada wilayah kelas lereng >45%. Hal ini menggambarkan suatu peluang kejadian longsor yang cukup besar pada kelas kemiringan lereng ini.

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 0-8% 8-45% >45% Ti ti k /10 0k m ² Kelas Lereng

Density

c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Kemiringan Lereng

Berdasarkan hasil observasi lapangan didapatkan informasi bahwa pada setiap titik longsor (atau di sekitarnya) dapat terjadi lebih dari satu kali kejadian yang dalam penelitian ini disebut kejadian ulang. Dengan demikian frekuensi kejadian longsor dapat dihitung dalam suatu kurun waktu (dalam penelitian ini kurun waktu = 12 tahun). Frekuensi ini digunakan untuk melihat suatu peluang terhadap kejadian ulang longsor di waktu yang akan datang. Gambaran besarnya nilai frekuensi pada setiap titik longsor disajikan pada Tabel 11 dan gambaran grafisnya pada Gambar 21.

Berdasarkan hasil analisis frekuensi longsor terhadap kemiringan lereng ini diperoleh hasil bahwa pola kejadian yang terjadi mirip dengan hasil analisis pada kerapatan titik longsor, dimana besarnya nilai kerapatan frekuensi longsor mengikuti besarnya kemiringan lereng, sehingga dapat disimpulkan di sini bahwa semakin besar kemiringan lereng akan mempunyai peluang yang besar terhadap terjadinya proses longsor dan terulangnya kejadian tersebut.

Tabel 11. Total Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Kelas

Lereng Luas(ha) Luas(%)

Total Frekuensi Longsor Kerapatan (kejadian/100km²) 0-8% 55.160 18 0 0,0 8-25% 251.554 81,5 98 3,9 >45% 1.533 0,5 4 26,1

Gambar 21. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 0-8% 8-45% >45% K e jad ian /100k m ² Kelas Lereng

Density

5.2.2 Hubungan Elevasi dengan Longsor a. Persebaran titik longsor dengan elevasi

Dalam penelitian ini elevasi topografi dibedakan menjadi 5 kelas dengan interval 500 meter. Besarnya interval ini dipilih mengingat bahwa morfologi di daerah penelitian lebih didominasi oleh relief perbukitan dan pegunungan, sehingga diharapkan dengan interval ini dapat dilihat lebih baik pengaruh elevasi terhadap longsor.

Selama melakukan observasi lapangan, elevasi titik longsor diukur atau ditentukan dengan menggunakan alat GPS (Garmin 60Csx), sedangkan hasilnya berupa jumlah titik longsor pada setiap kelas elevasi disajikan pada Tabel 12 dan untuk persebaran spasial disajikan pada Gambar 22.

Tabel 12. Total Titik dan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Elevasi Titik Lokasi Longsor Total Kejadian Longsor

0-500m 6 13

500-1000m 29 69

1000-1500m 7 16

1500-2000m 0 0

>2000m 1 4

Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa persebaran titik longsor terbesar terdapat pada elevasi 500-1000 meter, sedangkan jumlah titik longsor yang besar berikutnya pada elevasi 1000-1500 meter dan 0-500 meter. Untuk elevasi 1500-2000 tidak ditemukan titik longsor, sedangkan pada elevasi >1500-2000 m terdapat 1 titik longsor. Berdasarkan Gambar 22 dan Gambar 12 terlihat bahwa persebaran elevasi 1500-2000 meter berada di lereng tengah gunungapi yang pada umumnya mempunyai penutupan lahan hutan, sehingga sangat wajar jika kejadian longsor jarang terjadi atau tidak ditemukan dalam penelitian ini. Untuk elevasi >2000 m ditemukan 1 titik longsor yang berada pada lereng atas atau puncak Gunungapi Papandayan dengan penutup lahan berupa lahan terbuka. Kondisi yang demikian sering menyebabkan terjadinya longsor.

Tinggi kejadian longsor pada elevasi 500-1000 meter ini apabila dilihat dari lokasinya mempunyai kemiringan lereng yang secara dominan berada pada kelas 25-45%, seperti yang terlihat pada Tabel 12, dimana pada tabel ini diperlihatkan hubungan antara persebaran kelas kemiringan lereng terhadap elevasi dan banyaknya titik longsor yang terjadi.

Gambar 22. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Elevasi

b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Elevasi

Berdasarkan hasil pemetaan persebaran titik longsor terhadap elevasi dan masing-masing luasan kelas elevasi didapatkan suatu nilai kerapatan nilai longsor seperti yang tersaji pada Tabel 13 dan gambaran secara grafis hubungan tersebut pada Gambar 23.

Tabel 13. Titik Longsor Pada Berbagai Kelas Elevasi Elevasi Luas(ha) Luas(%) Jumlah Titik

Longsor Kerapatan (titik/100km²) 0-500m 84.810 27,5 6 0,7 500-2000m 218.687 71 36 1,6 >2000m 4.751 1,5 1 2,1

Gambar 23. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Elevasi Berdasarkan Tabel 13 dan Gambar 23 di atas terlihat bahwa kerapatan titik longsor mempunyai nilai yang semakin besar seiring dengan meningkatnya kelas elevasi. Hal ini menunjukan bahwa semakin bertambahnya elevasi akan mempunyai peluang semakin besarnya kejadian longsor. Fenomena ini cukup wajar dikarenakan semakin bertambahnya elevasi maka peluang keberadaan kelas kemiringan lereng, terutama dari miring hingga terjal, semakin besar dan begitu pula umumnya terhadap peluang meningkatnya curah hujan. Pada Tabel 14 disajikan hubungan antara elevasi, kelas kemiringan lereng, dan jumlah titik

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 0-500m 500-2000m >2000m Ti ti k /100k m ² Elevasi

Density

longsor, dimana pada tabel tersebut diterlihat bahwa kejadian longsor banyak terjadi pada lereng 15-45% dan pada elevasi dari 500-2000 meter.

Tabel 15. Hubungan Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Elevasi Berdasarkan Kelas Lereng

Elevasi Kelas Lereng Titik Lokasi Longsor Persentase (%)

0-500m 0-8% 0 0 8-15% 4 60 15-25% 1 20 25-45% 1 20 >45% 0 0 500-2000m 0-8% 0 0 8-15% 6 10 15-25% 12 40 25-45% 18 50 >45% 0 0 >2000m 0-8% 0 0 8-15% 0 0 15-25% 0 0 25-45% 0 0 >45% 1 100

c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Ketinggian

Hubungan antara frekuensi longsor terhadap elevasi dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan hasil seperti yang tersaji pada Tabel 15. Dari tabel tersebut terlihat bahwa besarnya kerapatan frekuensi longsor berbading lurus dengan meningkatnya kelas elevasi. Kondisi ini secara grafis disajikan pada Gambar 24, dan terlihat bahwa peluang terulangnya longsor pada lokasi yang sama semakin meningkat seiring dengan meningkatnya elevasi. Hal ini dimungkinkan karena kondisi biogeofisik di sekitar titik longsor (kemiringan, curah hujan, penutup lahan) relatif sama.

Tabel 15. Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Elevasi

Elevasi Luas(ha) Luas(%) Total Frekuensi Longsor Kerapatan (kejadian/100k m²) 0-500 mdpl 84.810 27,5 13 1,5 500-2000 mdpl 218.687 71 85 3,9 >2000 mdpl 4.751 1,5 4 8,4

Gambar 24. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Elevasi

5.2.3 Hubungan Formasi Geologi dengan Longsor a.Persebaran titik longsor dengan formasi geologi

Berdasarkan Peta Geologi skala 1:100.000 Lembar Garut dan Lembar Pameumpeuk, daerah penelitian tersusun dari 5 Formasi Geologi utama dimana nama dari masing-masing formasi tersaji pada Tabel 16. Formasi geologi digunakan sebagai parameter longsor dikarenakan formasi geologi mencerminkan jenis-jenis litologi yang menyusun atau yang membentuk tanah-tanah di daerah penelitian, disamping itu proses longsor tidak hanya membawa material permukaan (tanah) akan tetapi juga termasuk batuan induk yang ada di bawahnya. Dengan demikian aspek formasi geologi (karakterisitik litologi) sangat menentukan mudah tidaknya terhadap proses terjadinya longsor.

Berdasarkan hasil observasi lapangan (Tabel 16) didapatkan bahwa titik longsor terbanyak terdapat pada fomasi geologi “Anggota Tufa dan Breksi” (23

titik) yang selanjutnya banyak pula terjadi pada fomasi geologi “Batuan Gunungapi Muda”, demikian pula dengan ulangan terjadinya longsor. Secara lengkap sebaran formasi geologi menurut tipe batuan diperlihatkan pada Tabel Lampiran 3 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 0-500m 500-2000m >2000m K e jad ian /100 k m ² Elevasi

Density

Tabel 16. Sebaran Titik dan Kejadian Longsor pada Formasi Geologi

Formasi Geologi Titik Longsor Ulangan Kejadian Longsor Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak

Terurai 1 1

Endapan Piroklastik 4 9

Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua 4 6

Batuan Gunungapi Muda 11 29

Anggota Tufa dan Breksi 23 57

Melihat angka-angka pada tabel tersebut, tampak bahwa lapisan tufa yang tersusun dari material abu vulkanik bersifat kedap terhadap air dan menjadi licin pada saat hujan, sehingga lapisan ini dapat bertindak sebagai bidang luncur terhadap batuan breksi dan tanah yang terbentuk di atasnya. Dengan demikian cukup wajar jika pada formasi geologi ini banyak terjadi proses longsor. Selain itu perlu diketahui pula bahwa berdasarkan peta geologi yang digunakan, Formasi

“Anggota Tufa dan Breksi” ini terbentuk pada zaman Tersier. Hal ini menyiratkan bahwa proses pelapukan pada formasi ini telah berjalan cukup lama, atau dengan kata lain material hasil pelapukan yang siap dilongsorkan sudah mempunyai ketebalan yang mencukupi. Pemikiran ini senada dengan pernyataan Barus (1999), yang menyatakan bahwa hubungan litologi dengan longsor terlihat jelas di daerah dimana longsor terbanyak berasal dari material sedimen berumur Tersier. Peta sebaran titik longsor untuk daerah penelitian pada berbagai formasi geologi dan kelas lereng disajikan pada Gambar 25.

Gambar 25. Peta Sebaran Titik Longsor pada Formasi Geologi

b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Formasi Geologi

Berdasarkan hasil analisis kerapatan titik longsor terhadap formasi geologi didapatkan beberapa nilai kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 17. Adapun gambaran grafis dari kerapatan titik longsor tersebut disajikan pada Gambar 26.

Tabel 17. Titik Longsor pada Berbagai Formasi Geologi

Formasi Geologi Luas(ha) Luas(%) Titik Longsor Kerapatan (titik/100km²) Endapan Remah Lepas

Gunung Muda Tak Terurai 1766 0.57 1 0.6

Endapan Piroklastik 46498 15.08 4 0.9

Batuan Gunungapi Muda 60899 19.76 11 1.7

Breksi Hasil Batuan

Gunungapi Tua 23277 7.55 4 1.8

Anggota Tufa dan Breksi 86946 28.21 23 2.6

Gambar 26. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Formasi Geologi Data tersebut di atas menunjukan bahwa nilai kerapatan titik longsor atau peluang terjadinya longsor di daerah penelitian terutama berada pada Formasi Anggota Tufa dan Breksi, kemudian pada Formasi Breksi Hasil Gunungapi Tua, dan pada Formasi Batuan Gunungapi Muda. Hal ini menyiratkan bahwa peluang terjadinya longsor di daerah penelitian banyak ditentukan oleh tipe batuan atau litologi yang mempunyai komposisi adanya bahan piroklastik halus (tufa) yang

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai Endapan Piroklastik Batuan Gunungapi Muda Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua Anggota Tufa dan Breksi ti ti k /1 0 0 k m ² Formasi Geologi

Density

dapat bertindak sebagai bidang luncur dan juga umur geologi (batuan) yang menggambarkan cukup lamanya proses pelapukan telah berlangsung pada batuan. Peluang ini untuk daerah peneltian diperbesar lagi oleh besarnya kemiringan lereng. Hal ini terlihat pada Tabel 18 dimana pada kemiringan lereng 15 hingga 45% terdapat sebanyak 20 titik longsor.

Tabel 18. Hubungan Sebaran Titik Longsor Pada Berbagai Formasi Geologi Berdasarkan Kelas Lereng

Formasi Geologi Kelas Lereng

Titik Longsor Persentase (%) Endapan Remah Lepas Gunung

Muda Tak Terurai 0-8% 0 0

8-15% 0 0 15-25% 1 100 25-45% 0 0 >45% 0 0 Endapan Piroklastik 0-8% 0 0 8-15% 1 25 15-25% 0 0 25-45% 3 75 >45% 0 0

Breksi Hasil Batuan Gunungapi

Tua 0-8% 0 0

8-15% 1 75

15-25% 3 25

25-45% 0 0

>45% 0 0

Batuan Gunungapi Muda 0-8% 0 0

8-15% 2 15

15-25% 5 45

25-45% 3 35

>45% 1 5

Anggota Tufa dan Breksi 0-8% 0 0

8-15% 3 10

15-25% 9 40

25-45% 11 50

c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Formasi Geologi

Menurut hasil analisis yang telah dilakukan, frekuensi longsor terhadap formasi geologi di daerah penelitian seperti tersaji pada Tabel 19, sedangkan gambaran grafis dari hubungan tersebut dipaparkan pada Gambar 27.

Tabel 19. Kejadian Longsor pada Berbagai Formasi Geologi

Formasi Geologi Luas

(ha) Luas (%) Kejadian Longsor Kerapatan (kejadian/100km²) Endapan Remah Lepas Gunung

Muda Tak Terurai 1766 0.57 1 0.6

Endapan Piroklastik 46498 15.08 9 1.9

Breksi Hasil Batuan Gunungapi

Tua 23277 7.55 6 2.6

Batuan Gunungapi Muda 60899 19.76 29 4.8

Anggota Tufa dan Breksi 86946 28.21 57 6.6

Gambar 27. Hubungan Kerapatan Frekuensi Longsor pada Berbagai Formasi