• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur-unsur yang dibebaskan dari proses pencucian abu terbang (fly ash) dari PLTU Suralaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Unsur-unsur yang dibebaskan dari proses pencucian abu terbang (fly ash) dari PLTU Suralaya"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

UNSUR-UNSUR YANG DIBEBASKAN

DARI PROSES PENCUCIAN ABU TERBANG (FLY ASH)

DARI PLTU SURALAYA

AMALIA HARDIYANTI

A14062872

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

AMALIA HARDIYANTI. Unsur-unsur yang dibebaskan dari proses pencucian abu terbang (fly ash) dari PLTU Suralaya. Dibawah bimbingan SUDARSONO

dan ISKANDAR.

Pembakaran batubara akan menghasilkan limbah padat berupa abu terbang. Jumlah abu terbang yang dihasilkan telah menimbulkan masalah yang cukup serius hampir di semua negara yang menggunakan bahan bakar batubara untuk pembangkit tenaga listrik. Namun di lain pihak abu terbang mengandung unsur hara yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam bidang pertanian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat kimia abu terbang dan unsur-unsur yang dilepaskan oleh abu terbang pada saat terjadinya proses pencucian dari abu terbang segar dan abu terbang yang telah berada di landfiil selama 6 bulan dan 5 tahun. Penelitian ini difokuskan pada analisis pH, EC (daya hantar listrik), unsur hara makro (K, Na, Mg, Ca), unsur hara mikro (Fe, Mn, Zn, Cu), dan logam-logam (Cr, Ni).

Hasil analisis menunjukkan bahwa abu terbang yang digunakan dalam penelitian ini bersifat basa (pH abu terbang segar 11,1, pH abu terbang berumur 6 bulan 9,4, dan pH abu terbang berumur 5 tahun 8,4). Nilai DHL abu terbang segar 3,12dSm-1 lebih tinggi dibanding abu terbang di landfiil (0,76 dSm-1 dan 0,39 dSm-1). Kandungan unsur-unsur dalam abu terbang segar juga lebih tinggi dibanding abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin lama abu terbang berada di landfiil, kandungan unsur-unsur dalam abu terbang, semakin menurun.

(3)

SUMMARY

AMALIA HARDIYANTI. Elements released from leaching test of fly ash from Suralaya power plant. Under supervision of SUDARSONO and ISKANDAR.

Coal combustion produce solid waste known as fly ash. A number of fly ash cause serious problem almost in every coal power plant. However fly ash consist of potential nutrient that could be used in agriculture.

This research studied the chemical characteristics of fly ash and the nutrients released under leaching during 3 months. Three kind of fly ash are used fresh, 6 months deposited fly ash out-door, and 5 years out-door deported fly ash. The analyses conducted were pH, EC (Electrical Conductivity), macro elements (K, Na, Ca, Mg), micro elements (Fe, Mn, Zn, Cu), and metals (Cr, Ni).

The result showed that the three fly ash samples in this research were alkali. The pH value of fresh fly ash is 11,1. The six months fly ash was 9,4 in pH value and five years fly ash was 8.4 in pH value. Electrical conductivity of fresh fly ash was 3,12 dSm-1. It was higher than electrical conductivity of landfiil’s fly ash. Electrical conductivity of six months fly ash and five years fly ash were0,76dSm-1 and 0,39 dSm-1. According to this research, fresh fly ash also contained more elements than landfiil’s fly ash.

(4)

UNSUR-UNSUR YANG DIBEBASKAN

DARI PROSES PENCUCIAN ABU TERBANG (FLY ASH)

DARI PLTU SURALAYA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

AMALIA HARDIYANTI

A14062872

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Unsur-unsur yang Dibebaskan dari Proses Pencucian

Abu Terbang (Fly Ash) dari PLTU Suralaya

Nama Mahasiswa : Amalia Hardiyanti

NIM : A14062872

Menyetujui, Dosen Pembimbing I

Prof. Dr Ir Sudarsono, MSc NIP. 19510729 197703 1 001

Dosen Pembimbing II

Dr Ir Iskandar NIP. 19611001 198703 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Dr Ir Syaiful Anwar, MSc NIP. 19621113 198703 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Juli 1988 di Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Amat Rosyidin dan Ibu Effi Subiyakti.

Pendidikan formal penulis dari SD hingga SMA diselesaikan di Pekalongan. Penulis menamatkan sekolah dasar di SDN Keputran IV Pekalongan pada tahun 2000, kemudian meneruskan ke tingkat SLTP Negeri 1 Pekalongan dan tamat pada tahun 2003. Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan sekolah dari SMA Negeri 1 Pekalongan. Pada tahun 2006. Penulis diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI).

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai kepanitian antara lain, Open House Angkatan 44 (2007), Masa Perkenalan Departemen (2008), Seminar Nasional “Soil and Mining”, Olimpiade Mahasiswa IPB 2008, Soilidarity 2008, dan Gebyar Nusantara IPB 2008.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Unsur-unsur yang Dibebaskan dari Proses Pencucian Abu Terbang (Fly Ash) dari PLTU Suralaya”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga kesulitan yang penulis hadapi dapat teratasi. Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr Ir Sudarsono dan Dr Ir Iskandar selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi ini dari awal sampai akhir.

2. Dr Ir Darmawan selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan tambahan ilmu dalam penelitian ini.

3. Seluruh staf pengajar Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan dan Ibu Tini atas bantuannya, terutama saat penelitian dan penulisan skripsi.

4. Babah dan Mamah, serta adik-adikku (Tsani, Milla, dan Mala) yang telah mengiringi ananda dengan do’a dan kasih sayang.

5. Sahabat-sahabatku MSL 43, teman-teman Pondok Nuansa Sakinah, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas semangat, dukungan, kerjasama, dan kebersamaannya.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dalam rangka pembelajaran bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Februari 2011

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 2

1.3. Tujuan ... 2

II.TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang ... 3

2.2. Perubahan Sifat Tanah Akibat Aplikasi Abu Terbang ... 4

2.3. Pemanfaatan dan Potensi Abu Terbang ... 5

III.METODE PENELITIAN ... 8

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 8

3.2. Alat dan Bahan ... 8

3.3. Metode Perkolasi ... 8

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 10

4.1. Analisis Sifat Kimia Abu Terbang ... 10

4.2. Analisis Sifat Kimia Perkolat ... 16

4.3. Persentase Unsur-unsur yang Tercuci pada Abu Terbang (Fly Ash) ... 20

V.KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

5.1. Kesimpulan ... 23

5.2. Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 24

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Analisis kimia total abu terbang sebelum dan setelah melalui proses perkolasi

selama 3 bulan ... 10

2. Perbandingan kandungan abu terbang dengan pupuk kalium klorida, kalium sulfat, kieserit, kapur tohor, fero sulfat, dan mangan oksida ... 15

3. Jumlah unsur-unsur yang tercuci dari satu gram abu terbang ... 22

Lampiran 1. Karakteristik kimia perkolat setelah melalui proses pencucian 3 bulan ... 27

2. Jumlah perkolat yang dihasilkan (dalam ml) ... 27

3. Persentase kandungan unsur-unsur dalam abu terbang ... 28

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Metode perkolasi ... 9

2. Pengaruh lama perkolasi terhadap pH perkolat beberapa abu terbang (segar, berumur 6 bulan, dan berumur 5 tahun) ... 16

3. Pengaruh lama perkolasi terhadap DHL perkolat beberapa abu terbang (segar, berumur 6 bulan, dan berumur 5 tahun) ... 17

4. Pengaruh lama perkolasi terhadap kadar kalium perkolat beberapa abu terbang (segar, berumur 6 bulan, dan berumur 5 tahun) ... 18

5. Pengaruh lama perkolasi terhadap kadar kalsium perkolat beberapa abu terbang (segar, berumur 6 bulan, dan berumur 5 tahun) ... 18

6. Pengaruh lama perkolasi terhadap kadar natrium perkolat beberapa abu terbang (segar, berumur 6 bulan, dan berumur 5 tahun) ... 19

7. Pengaruh lama perkolasi terhadap kadar magnesium perkolat beberapa abu terbang (segar, berumur 6 bulan, dan berumur 5 tahun) ... 19

Lampiran 1. Tempat pengambilan sample abu terbang berumur 5 tahun. ... 29

2. Tempat pengambilan sample abu terbang berumur 6 bulan ... 29

3. Landfiil abu terbang PLTU Suralaya ... 29

4. Proses perkolasi ... 29

5. Glasswool ... 29

6. Abu terbang segar, berumur 6 bulan, dan berumur 5 tahun ... 29

(11)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan akan energi semakin meningkat dalam berbagai bidang industri, sehingga membutuhkan alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satunya, pusat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Sisa dari pembakaran batubara adalah berupa abu terbang (fly ash) yang terdapat dalam jumlah cukup besar, sehingga memerlukan pengelolaan agar tidak menimbulkan masalah lingkungan, seperti pencemaran udara dan perairan, serta penurunan kualitas ekosistem.

Salah satu penanganan lingkungan yang dapat diterapkan adalah memanfaatkan limbah tersebut untuk keperluan bahan bangunan seperti batako dan paving blok serta pembenah lahan pertanian. Namun, hasil pemanfaatan tersebut belum dapat dimasyarakatkan, karena berdasarkan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, abu terbang dikategorikan sebagai limbah B3 karena terdapat kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindian secara alami dan mencemari lingkungan.

Teknik pembuangan abu terbang yang dihasilkan oleh PLTU umumnya dengan cara menimbunnya di suatu luasan lahan (landfiil), ini dapat dilihat pada Gambar Lampiran 3. Padahal apabila dilakukan pengolahan tertentu, abu terbang tersebut dapat menjadi suatu bahan yang bermanfaat untuk memperbaiki sifat kimia tanah. Menurut Iskandar et al. (2008), salah satu bentuk pemanfaatan abu terbang adalah sebagai bahan amelioran, dimana bahan ini dikenal baik sebagai bahan yang dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.

Abu terbang dapat digunakan untuk menetralkan tanah masam dan meningkatkan kandungan hara tanah. Berdasarkan penelitian Ramadina (2003), penambahan abu terbang mampu memperbaiki sifat-sifat kimia tanah gambut yang ditunjukkan oleh meningkatnya pH, P-tersedia, dan basa-basa.

(12)

pemanfaatannya aman terhadap lingkungan, maka perlu dilihat karakteristik abu terbang yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya.

Namun, abu terbang selain mengandung unsur-unsur hara yang bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman, juga mengandung berbagai logam berat. Oleh sebab itu kandungan logam-logam berat yang dilepaskan oleh abu terbang perlu diteliti agar dapat diketahui pemanfaatan abu terbang untuk tanah-tanah pertanian.

1.2. Kerangka Pemikiran

Terbatasnya bahan bakar minyak yang diikuti adanya tuntutan penyediaan energi listrik yang stabil dan kontinu dalam hubungannya dengan kegiatan industri, telah mendorong tumbuhnya pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara. Hal ini disebabkan cadangan bahan bakar batubara masih berlimpah. Namun di sisi lain pembakaran batubara akan menghasilkan limbah padat, diantaranya abu terbang. Persentase abu terbang yang dihasilkan berbeda-beda tergantung bahan induk batubara. Jumlah abu terbang yang dihasilkan telah menimbulkan masalah yang cukup serius hampir di semua negara yang menggunakan bahan bakar batubara untuk pembangkit tenaga listrik. Namun di lain pihak abu terbang mengandung unsur hara yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam bidang pertanian, sehingga perlu diketahui kandungan yang dilepaskan oleh abu terbang segar dan abu terbang dari landfiil.

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat kimia abu terbang dan unsur-unsur yang dilepaskan oleh abu terbang pada saat terjadinya proses pencucian dari abu terbang segar dan abu terbang yang telah berada di landfiil

(13)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang

Abu terbang adalah bagian dari sisa pembakaran batubara berupa bubuk halus dan ringan yang diambil dari tungku pembakaran yang mempergunakan bahan bakar batubara pada pusat pembangkit listrik tenaga uap. Mutunya sangat berbeda satu dengan yang lainnya, bergantung dari sumber batubara yang dipergunakan, efisiensi, suhu pembakaran (bergantung pada macam tungku yang dipakai untuk pembakaran batubara), serta cara pengendapan abu dari gas pembakaran (Supriyono dan Sutopo, 1994).

Menurut Hayati (2010) secara kimia abu terbang merupakan material oksida anorganik yang mengandung silika dan alumina aktif karena sudah melalui proses pembakaran pada suhu tinggi. Abu terbang bersifat aktif, yaitu dapat bereaksi dengan komponen lain untuk membentuk material baru yang tahan terhadap suhu tinggi.

Secara kimia abu terbang terdiri dari SiO2 (58,90%), Al2O3 (28,34%), Fe2O3

(4,30%), TiO2 (1,00%), K2O (0,43%), Na2O (1,22%), CaO (2,30%), MgO

(0,81%), SO3 (0,96%), dan karbon (1,74%). Ukuran butiran abu terbang lebih

halus dari 120 mesh. Bahan ini bersifat aktif dengan adanya air dapat bersenyawa dengan hidroksida Ca(OH)2 pada suhu kamar dan membentuk senyawa yang

mempunyai sifat seperti semen yaitu mengeras dalam waktu tertentu (Supriyono dan Sutopo, 1994).

Komposisi kimia abu terbang bergantung pada kualitas batubara yang digunakan dan kondisi operasi di TPS (Thermal Power Station). Rata-rata 95-99% abu terbang terdiri dari oksida Si, Al, Fe, dan Ca serta sekitar 0,5-3,5% terdiri dari Na, P, K, dan S. Oleh karena itu abu terbang dapat digunakan sebagai bahan pembenah untuk pertanian (Aktar, 2008).

(14)

Menurut Supriyono dan Sutopo (1994), warna abu terbang batubara dipengaruhi oleh waktu pembakaran yang menggunakan bahan bakar batubara. Apabila warna abu terbang batubara makin muda berarti hasil pembakaran makin sempurna dan mutunya makin baik. Umumnya abu terbang batubara berwarna abu-abu dan biasanya bervariasi sampai hitam.

2.2. Perubahan Sifat Tanah Akibat Aplikasi Abu Terbang

Aplikasi abu terbang ke tanah dapat menyebabkan perubahan beberapa sifat tanah, seperti bobot isi, pH tanah, ketersediaan unsur hara, dan sifat biologi.

2.2.1. Bobot Isi

Ukuran partikel abu terbang mirip dengan liat dan akan mempengaruhi bobot isi tanah. Beberapa percobaan yang dilakukan untuk mengukur sifat fisik dari jenis tanah berlempung dicampur dengan perbandingan abu terbang 50% menunjukkan bahwa campuran tanah dengan abu terbang cenderung memiliki bobot isi yang rendah dibanding tanah tanpa campuran abu terbang (Basu et al.,

2009). Selanjutnya menurut Aktar (2008), penambahan abu terbang pada tanah pertanian cenderung menurunkan bobot isi, sehingga tanah tersebut menjadi mudah meneruskan air dan ditembus akar tanaman.

2.2.2. pH Tanah (Kemasaman tanah)

Pada umumnya abu terbang yang dihasilkan bersifat alkalin, yang dapat digunakan untuk meningkatkan pH tanah (Aktar, 2008). Abu terbang yang diproduksi di India adalah basa, maka dengan aplikasi untuk tanah pertanian dapat meningkatkan pH tanah dan dengan demikian dapat menetralkan sifat masam pada tanah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan abu terbang sebagai agen pengapuran pada tanah asam dapat meningkatkan hasil panen. Penggunaan berlebihan abu terbang untuk mengubah pH dapat meningkatkan salinitas tanah (Basu et al., 2009).

2.2.3. Ketersediaan Unsur Hara

(15)

Pada unsur Fe, Mn, Zn, dan Cu meningkat pada jenis tanah dengan bahan induk granit, kapur, dan batu pasir (Inthasan et al., 2002).

2.2.4. Sifat Biologi

Informasi mengenai pengaruh pemberian abu terbang pada sifat biologi tanah sangat langka. Hasil percobaan laboratorium mengungkapkan beberapa aplikasi abu terbang khususnya untuk tanah berpasir sangat menghambat respirasi mikroba, aktivitas enzim dan proses nitrifikasi. Efek samping yang sebagian disebabkan oleh tingkat garam terlarut yang berlebihan. Namun, konsentrasi garam larut mengalami penurunan karena pelapukan abu terbang selama proses pencucian, sehingga mengurangi efek yang merugikan dari waktu ke waktu (Basu

et al., 2009).

2.3. Pemanfaatan dan Potensi Abu Terbang

Beberapa laporan tersedia berhubungan dengan penggunaan abu terbang sebagai peubah tanah untuk pertumbuhan tanaman. Penggunaan yang aman abu terbang yang dikombinasi pada tanah pertanian menjadi usaha yang sangat menjanjikan untuk lingkungan, yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dan memperkaya unsur hara tanah, sangat membantu dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen tanaman. Abu terbang batubara sebesar 5% dapat menghasilkan perkecambahan biji lebih tinggi dan akar selada (Lactuca sativa) lebih panjang. Respon terhadap aplikasi abu terbang dapat bervariasi secara luas dari yang bermanfaat sampai yang beracun tergantung pada berbagai konsentrasi elemen yang ada di dalamnya. Aplikasi abu terbang pada konsentrasi yang lebih rendah dari 0,5-1,0% tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap perkecambahan dan pertumbuhan bibit (Basu et al., 2009).

Abu terbang dapat digunakan untuk tujuan pengapuran karena mengandung CaO dan MgO. Kemampuan pengapuran atau daya netralisasi abu terbang mempunyai variasi yang besar tergantung pada sumber abu dan proses pelapukan. Daya netralisasi abu terbang berkorelasi negatif dengan kandungan Fe dan Si serta berkorelasi positif dengan Ca dan Mg (Haynes, 2009).

(16)

dalam tanah. Pemberian abu batubara pada tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L.) memberikan respon yang cukup baik untuk diameter batang, tinggi tanaman, dan bobot kering tajuk terutama pada abu dasar dengan dosis <2% dan abu terbang dengan dosis <1%. Berdasarkan penelitian Rosmanah et al. (2004), abu terbang dapat meningkatkan kandungan Ca, Mg, dan KTK tanah sedangkan abu dasar dapat meningkatkan pH dan kandungan kalsium.

Selanjutnya Ramadina (2003) melaporkan bahwa penambahan abu terbang dengan dosis 5, 10, 15, dan 30 ton/ha pada tanah gambut dapat meningkatkan pH dan basa-basa secara nyata. Kadar unsur-unsur dalam filtrat pada percobaan dengan metode batch dan perkolat pada percobaan leaching test tidak melebihi ambang batas kriteria mutu air untuk mengairi pertanaman (kelas II) yang terdapat pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Universitas Pertanian Punjab mengamati bahwa aplikasi abu terbang 10 ton/ha dapat meningkatkan hasil gandum dari 21,5 kw/ha menjadi 24,1 kw/ha; kapas 1245 kg/ha menjadi 1443 kg/ha. Mereka juga menemukan bahwa penambahan abu terbang 0-80 ton/ha meningkatkan hasil padi dari 61,82 kw/ha menjadi 63.58 kw/ha (Aktar, 2008).

Fakultas Pertanian Raichur mengamati bahwa hasil kacang tanah meningkat dari 24.1 kw/ha menjadi 31.9 kw/ha dengan aplikasi abu terbang sebesar 20 ton/ha. Pada sistem tumpangsari padi dan kacang tanah, aplikasi abu terbang 10 ton/ha meningkatkan hasil padi rata-rata 14% dan polong kacang tanah 26% dibanding dengan kontrol. Aplikasi abu terbang 10 ton/ha dikombinasi dengan sumber organik dan anorganik pada satu musim dengan tumpangsari padi dan kacang tanah meningkatkan hasil keduanya secara nyata dibanding dengan hanya menggunakan pupuk kimia (Aktar, 2008).

(17)
(18)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Analisis kimia abu terbang dilakukan di Laboratorium Genesis dan Klasifikasi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Balai Penelitian Tanah, Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret sampai Agustus 2010.

3.2. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan adalah abu terbang yang sudah tertimbun selama enam bulan dan lima tahun pada landfiil, serta abu terbang segar yang diambil dari Electrostatic Presipitator (ESP) dari PLTU Suralaya.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Pengambilan Contoh Abu Terbang

Pengambilan contoh abu terbang dilakukan pada 3 sumber, yaitu langsung dari Electrostatic Precipitator (ESP), abu terbang berumur 6 bulan dari landfiil

seluas 4 ha (Gambar Lampiran 2), dan dari abu terbang berumur 5 tahun yang telah tertimbun tanah (Gambar Lampiran 1). Contoh abu terbang dari landfiil

berumur enam bulan diambil pada kedalaman 20 cm, diambil secara acak sebanyak 1 kg abu terbang, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label. Abu terbang berumur 5 tahun diambil dari timbunan tanah dengan kedalaman 30 cm dan ketebalan abu terbang di bawah tanah 8 cm, diambil secara acak sebanyak 1 kg abu terbang, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label, yang selanjutnya ditentukan sifat kimia dan kadar unsurnya.

3.3.2. Metode Perkolasi

(19)

Conductivity = daya hantar listrik) dan jumlah unsur K, Na, Ca, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn, Cr, dan Ni.

3.3.3. Analisis Kimia Abu Terbang

Analisis sifat kimia abu terbang meliputi: pH (H2O 1:2), Electrical

Conductivity (EC), dan analisis unsur kimia abu terbang meliputi Ca, K, Na, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn, Cr, dan Ni (dengan destruksi HClO4 dan HNO3 1:2). Analisis

beberapa unsur abu terbang digunakan untuk mengetahui kandungan unsur yang diperlukan tumbuhan untuk pertumbuhannya dan untuk mengetahui kandungan logam berat yang terdapat dalam abu terbang sehingga dapat diperkirakan kemungkinan pengembangan pemanfaatannya.

Ca, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn, Cr, dan Ni diukur dengan menggunakan AAS sedangkan K dan Na diukur menggunakan alat Flamephotometer dengan deret standar masing-masing sebagai pembanding (Anshori dan Purnariyanto, 2008).

Gambar 1. Metode perkolasi 7,60 cm

20,30 cm

Abu terbang

Filter berupa glasswool (Gambar Lampiran 5)

Sekat berupa kertas saring

Selang

(20)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Sifat Kimia Abu Terbang

Abu terbang yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari ESP (Electrostatic Precipitator) yang merupakan abu terbang segar dan abu terbang dari landfiil berumur 6 bulan dan 5 tahun yang sudah tertimbun oleh tanah. Pada ketiga abu terbang ini memiliki perbedaan warna, yang dapat dilihat pada Gambar Lampiran 6.

(21)

tanah pertanian masam dapat meningkatkan pH tanah (Aktar, 2008). Selanjutnya berdasarkan penelitian Rosmanah et al. (2004) diketahui bahwa abu batubara dapat digunakan sebagai bahan baku penetral pH pada air asam tambang batubara. Hasil analisis awal menunjukkan bahwa pH abu terbang segar lebih tinggi dibanding pH abu terbang dari landfiil, yang terdiri dari abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun. Hal ini diduga abu terbang segar belum mengalami proses pencucian di landfiil. Nilai pH abu terbang pada dasarnya ditentukan oleh komposisi bahan induk batubara. Bahan induk batubara dengan kandungan sulfur tinggi akan menghasilkan abu terbang dengan pH yang bersifat masam, sedangkan batubara dengan kandungan sulfur rendah akan menghasilkan abu terbang dengan pH bersifat alkalis (Haynes, 2009). Berdasarkan hal tersebut, PLTU Suralaya menggunakan batubara dengan kandungan sulfur yang rendah, sehingga menghasilkan abu terbang dengan pH bersifat alkalis.

Daya hantar listrik merupakan salah satu parameter yang dipakai untuk mengukur akumulasi garam (Anwar dan Sudadi, 2007). Nilai DHL pada analisis awal abu terbang segar sebesar 3,12 dSm-1 lebih tinggi dibanding nilai DHL abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun, yang berturut-turut bernilai 0,76 dSm-1 dan 0,39 dSm-1 (Tabel 1). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pathan et al. (2003), yang menunjukkan bahwa abu terbang segar memiliki nilai DHL sebesar 1,3 dSm-1 lebih tinggi bila dibanding dengan nilai DHL abu terbang yang telah mengalami proses pencucian (abu terbang berumur 3 tahun, nilai DHL=0,51 dSm-1 dan abu terbang berumur 3 bulan memiliki DHL sebesar 0,59 dSm-1).

(22)

Nilai pH dan DHL dalam abu terbang merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam perannya sebagai pembenah tanah atau bahan amelioran, karena pH berpengaruh terhadap mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman dan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik serta penyediaan unsur hara bagi tanaman (Hardjowigeno, 2007). Selanjutnya Haynes (2009) juga menyatakan bahwa pH berpengaruh terhadap mobilitas dan kelarutan logam essensial dan non essensial di dalam tanah.

Abu terbang diketahui memiliki jumlah kation-kation basa seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), dan natrium (Na) yang tinggi. Kalsium merupakan kation yang terdapat dalam abu terbang dalam jumlah yang tinggi. Hasil analisis awal kimia total menunjukkan bahwa kadar kalsium abu terbang segar, abu terbang berumur 6 bulan, dan 5 tahun tersebut secara berurutan 1780 ppm Ca, 808 ppm Ca, dan 559 ppm Ca. Sedangkan kadar magnesium pada abu terbang segar, abu terbang berumur 6 bulan, dan 5 tahun secara berurutan adalah 82 ppm Mg, 48 ppm Mg, dan 34 ppm Mg. Tinggi rendahnya kadar kalsium dan magnesium yang dikandung menentukan tipe abu terbang itu sendiri. Dikenal dua jenis abu terbang, yaitu abu terbang kelas C dan kelas F. Abu terbang kelas C memiliki kandungan kapur yang tinggi (CaO dan MgO >15%), sedangkan kelas F memiliki kandungan kapur yang lebih rendah dibandingkan kelas C (CaO dan MgO <10%) (Haynes, 2009). Berdasarkan pada analisis diketahui bahwa kandungan CaO dalam abu terbang ini sebesar 0,25 % dan kandungan MgO sebesar 0,014 %, sehingga dapat dikatakan bahwa abu terbang yang digunakan dalam penelitian ini termasuk abu terbang kelas F.

Unsur natrium merupakan kation basa yang kandungannya paling tinggi pada analisis awal abu terbang. Kadar natrium pada analisis awal kimia total dari abu terbang segar, abu terbang berumur 6 bulan, dan 5 tahun secara berurutan adalah 1808 ppm Na, 1572 ppm Na, dan 751 ppm Na, sedangkan kadar kalium secara berurutan adalah 150 ppm K, 100 ppm K, dan 50 ppm K. Kadar kalium dan natrium pada abu terbang segar paling tinggi dibanding abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun.

Berdasarkan data yang diperoleh, semakin lama abu terbang diletakkan di

(23)

Hal ini diduga bahwa abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun telah mengalami proses pencucian. Selain itu, dalam abu terbang terdapat oksida-oksida, seperti Na2O, K2O, CaO, dan MgO. Pada abu terbang di landfill, oksida-oksida tersebut

akan bereaksi dengan CO2 di atmosfer, sehingga membentuk natrium karbonat,

kalium karbonat, kalsium karbonat, dan magnesium karbonat. Senyawa-senyawa tersebut lebih stabil dibanding oksida-oksidanya, terutama magnesium karbonat (MgCO3) dan kalsium karbonat (CaCO3). Hal ini yang menyebabkan kandungan

basa-basa (K, Na, Ca, dan Mg) pada abu terbang berumur 5 tahun di landfill

masih ada, dapat dilihat pada Tabel 1.

Unsur mikro merupakan unsur hara yang terdapat di tanah dan dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah sedikit. Unsur besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn), dan tembaga (Cu) merupakan contoh unsur-unsur mikro essensial. Kadar unsur mikro tertinggi yang dikandung abu terbang adalah Fe. Kadar Fe pada abu terbang dari ESP, abu terbang 6 bulan, dan abu terbang 5 tahun secara berurutan adalah 648 ppm Fe, 528 ppm Fe, dan 453 ppm Fe.

Mangan (Mn) merupakan unsur logam yang cukup tinggi kedua setelah Fe berdasarkan hasil analisis. Kadar mangan pada abu terbang dari ESP, abu terbang 6 bulan, dan abu terbang 5 tahun secara berurutan adalah 223 ppm Mn, 198 ppm Mn, dan 158 ppm Mn. Menurut Swaine (1955 dalam Labanauskas, 1975), kadar mangan dalam tanah berkisar antara 200-3000 ppm, dan rata-rata sekitar 600 ppm dalam tanah. Hal ini dapat dikatakan bahwa kadar mangan dalam abu terbang ini tergolong rendah.

Tembaga (Cu) dan seng (Zn) pada abu terbang terdapat dalam jumlah sedikit. Kadar Cu pada abu terbang dari ESP, 6 bulan, dan 5 tahun secara berurutan adalah 12 ppm Cu, 6 ppm Cu, dan 4 ppm Cu, sedangkan nilai Zn secara berurutan adalah 30 ppm Zn, 24 ppm Zn, dan 22 ppm Zn. Berdasarkan hasil analisis abu terbang ini kandungan Cu paling rendah diantara unsur mikro yang lainnya. Menurut Swaine (1955 dalam Labanauskas, 1975), kadar tembaga dalam tanah berkisar antara 2-100 ppm.

(24)

Abu terbang mengandung unsur logam berat antara lain kromium (Cr), timbal (Pb), nikel (Ni), dan kadmium (Cd). Oleh sebab itu abu terbang dikategorikan sebagai limbah beracun dan berbahaya bagi tanah, apabila kadar unsur-unsur tersebut di atas batas ambang yang dapat ditolerir oleh tanah. Berdasarkan Iskandar et al. (2008), kadar logam berat nikel (Ni) dan kromium (Cr) merupakan kandungan tertinggi pada abu terbang dibanding logam berat yang lainnya, sehingga pada analisis logam berat yang dihitung hanya nilai Cr dan Ni. Hasil analisis kadar total logam abu terbang ditampilkan pada Tabel 1. Kadar kromium pada abu terbang segar, abu terbang 6 bulan, dan abu terbang 5 tahun secara berurutan adalah 14 ppm Cr, 13 ppm Cr, dan 2 ppm Cr, sedangkan kadar nikel secara berurutan adalah 40 ppm Ni, 38 ppm Ni, dan 31 ppm Ni. Dari analisis terlihat bahwa abu terbang mengandung beberapa unsur yang dibutuhkan tanaman dan logam-logam yang bersifat toksik seperti Cr dan Ni apabila dalam konsentrasi yang tinggi. Secara keseluruhan konsentrasi total logam pada abu terbang segar lebih tinggi dibanding abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun. Kadar nikel dan kromium pada abu terbang ini tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Swaine (1955 dalam Pratt, 1975) yang menyatakan bahwa kadar kromium dalam tanah berkisar antara 5-1000 ppm Cr. Oleh karena itu kadar kromium pada abu terbang dalam penelitian ini yang hanya 14 ppm tidak bersifat toksik terhadap tanah.

Swaine (1955 dalam Vanselow, 1975) menyatakan bahwa kadar nikel dalam tanah berkisar antara 5-500 ppm Ni, dan rata-rata sekitar 100 ppm Ni dalam tanah. Kadar Ni dalam abu terbang ini sebesar 40 ppm, ini jauh di bawah batas ambang yang dapat ditolerir dalam tanah, sehingga abu terbang ini tidak termasuk dalam limbah yang toksik terhadap tanah.

(25)

Nilai DHL setelah mengalami proses perkolasi adalah abu terbang segar 0,31 dSm-1 lebih tinggi dibanding nilai DHL abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun, yang berturut-turut bernilai 0,23 dSm-1 dan 0,12 dSm-1 (Tabel 1). Nilai DHL menurun setelah mengalami proses perkolasi. Hal ini berpengaruh terhadap konsentrasi unsur makro dan mikro yang rata-rata menurun pula.

Kadar Ca, K, Na, dan Mg pada analisis abu terbang setelah mengalami proses perkolasi menurun dibanding analisis awal abu terbang. Hal ini diduga adanya proses pencucian yang mengakibatkan menurunkan konsentrasi unsur makro dalam abu terbang. Selisih antara analisis awal pada kadar unsur Fe, Mn, Zn, Cu, Cr, dan Ni dengan analisis setelah mengalami proses perkolasi hanya kecil. Hal ini dapat diduga bahwa pada saat proses perkolasi unsur-unsur tersebut tercuci dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga tidak dapat terukur oleh alat. Pada analisis pendahuluan abu terbang kadar unsur Fe, Mn, Zn, Cu, Cr, dan Ni lebih kecil dibanding unsur makronya (K, Na, Mg, Ca), ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Abu terbang mengandung unsur-unsur yang diperlukan tanaman, seperti K, Mg, Ca, Fe, dan Mn, sehingga abu terbang dapat dibandingkan dengan pupuk yang ada di pasaran. Tabel 2 merupakan perbandingan kandungan abu terbang dengan pupuk kalium klorida, kalium sulfat, kieserit, kapur tohor, fero sulfat, dan mangan oksida.

Tabel 2. Perbandingan kandungan abu terbang dengan pupuk kalium klorida, kalium sulfat, kieserit, kapur tohor, fero sulfat, dan mangan oksida

Parameter Setara dengan Pupuk (dalam gram)

(26)

Hasil perhitungan Tabel 2 berdasarkan pada Tabel Lampiran 3 dan Tabel Lampiran 4, yang menunjukkan bahwa 1 kg abu terbang segar setara dengan 2,54 gram kapur tohor dan 1 kg abu terbang segar setara dengan 3,24-3,41 gram pupuk fero sulfat, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa abu terbang masih potensial untuk dikembangkan dalam bidang pertaian, tetapi kandungan logam berat harus menjadi perhatian.

4.2. Analisis Sifat Kimia Perkolat

4.2.1. Kemasaman Larutan (pH) dan Daya Hantar Listrik (DHL)

Hasil pengukuran pH perkolat melalui metode perkolasi bulan pertama, kedua, dan bulan ketiga disajikan pada Gambar 2. Hasil pencucian dengan ekstraktan aquadest menunjukkan bahwa pH perkolat setiap bulannya rata-rata menurun baik untuk abu terbang dari ESP, abu terbang berumur 6 bulan, dan abu terbang berumur 5 tahun. Terlihat bahwa pH perkolat berkisar antara 7,3 hingga 7,8 yang berarti lebih tinggi dari pH awal aquadest sebesar 6,38. Peningkatan pH perkolat mengindikasi adanya perubahan konsentrasi ion-ion basa yang semakin meningkat. Dengan semakin lamanya waktu perkolasi, pH perkolat terlihat sedikit menurun untuk ketiga abu terbang tersebut. Gambar 2 memperlihatkan bahwa pH perkolat yang berasal dari abu terbang segar rata-rata lebih tinggi dibanding abu terbang terlapuk (berumur 6 bulan dan 5 tahun). Hal ini nampaknya terkait dengan kandungan basa-basa total yang terdiri dari K, Na, Ca, dan Mg dalam abu terbang segar yang lebih tinggi dibanding dengan abu terbang di landfiil (Tabel 1).

(27)

Hasil pengukuran daya hantar listrik perkolat pada bulan pertama, kedua, dan ketiga disajikan pada Gambar 3. Hasil pencucian dengan ekstraktan aquadest

menunjukkan bahwa DHL perkolat setiap bulannya rata-rata menurun baik untuk abu terbang dari ESP, abu terbang berumur 6 bulan, dan abu terbang berumur 5 tahun. Terlihat bahwa DHL perkolat berkisar antara 0,23 dSm-1 hingga 0,35 dSm-1 yang berarti lebih tinggi dari DHL awal aquadest sebesar 1,9 µScm-1. Perubahan DHL perkolat mengindikasikan adanya perubahan konsentrasi unsur makro.

Gambar 3. Pengaruh lama perkolasi terhadap DHL perkolat beberapa abu terbang (segar, berumur 6 bulan, dan berumur 5 tahun)

4.2.2. Kelarutan Unsur-unsur Hara Makro

Unsur-unsur hara makro yang dianalisis adalah K, Na, Ca, dan Mg, disajikan pada Tabel Lampiran 1. Hasil analisis kelarutan unsur-unsur hara makro dalam perkolat setelah melalui proses perkolasi, disajikan pada Gambar 4 sampai Gambar 7. Secara umum terlihat bahwa jumlah unsur-unsur yang tercuci pada bulan pertama lebih tinggi dibanding bulan kedua dan ketiga.

(28)

Gambar 4. Pengaruh lama perkolasi terhadap kadar kalium perkolat beberapa abu terbang (segar, berumur 6 bulan, dan berumur 5 tahun)

Unsur kalsium merupakan unsur yang terlarut paling tinggi dalam percobaan ini, kadar kalsium pada perkolat antara 22 ppm Ca hingga 502 ppm Ca, dapat dilihat pada Gambar 5. Hal ini diduga selain tergantung kepada jumlah unsur tersebut secara keseluruhan tetapi juga tergantung kepada jenis garam yang terbentuk dalam abu terbang. Unsur kalsium pada percobaan ini merupakan unsur yang tercuci dalam jumlah banyak dibanding dengan kation basa lain. Hal ini diduga karena kadar unsur kalsium pada ketiga jenis abu terbang saat analisis awal tergolong tinggi.

(29)

Natrium merupakan unsur yang terlarut dalam jumlah yang relatif besar setelah kalsium. Kadar natrium perkolat antara 48 ppm Na hingga 247 ppm Na, dapat dilihat pada Gambar 6. Magnesium merupakan unsur yang tercuci dalam perkolat paling kecil, kadarnya antara 2 ppm Mg hingga 18 ppm Mg. Hal ini dikarenakan pada analisis pendahuluan unsur magnesium memiliki kadar yang paling sedikit pada abu terbang dibanding kation basa yang lain, dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 6. Pengaruh lama perkolasi terhadap kadar natrium perkolat beberapa abu terbang (segar, berumur 6 bulan, dan berumur 5 tahun)

Kadar K, Na, Ca, dan Mg dalam perkolat pada abu terbang segar lebih tinggi dibanding abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun. Pada perkolasi bulan pertama juga lebih tinggi dibanding bulan kedua dan ketiga. Hal ini disebabkan pada bulan ketiga unsur yang tercuci semakin sedikit, karena unsur-unsur tersebut sudah banyak tercuci pada bulan pertama.

(30)

4.2.3. Kelarutan Unsur-unsur Hara Mikro (Fe, Mn, Zn, Cu), dan Cr serta Ni

Dari hasil analisis perkolat baik pada abu terbang segar, berumur 6 bulan, dan 5 tahun unsur-unsur Fe, Mn, Zn, dan Cu tidak terukur, seperti dapat dilihat pada Tabel Lampiran 1. Hal ini disebabkan kemungkinan terlalu kecilnya unsur-unsur hara mikro yang tercuci pada saat proses perkolasi, sehingga karena keterbatasan pembacaan alat tidak terukur nilainya pada AAS. Begitu pun unsur logam seperti Cr dan Ni, tidak terukur dalam perkolat.

4.3. Persentase Unsur-unsur yang Tercuci pada Abu Terbang

Tabel 3 menunjukkan perbandingan unsur-unsur yang tercuci antara analisis awal dan akhir serta persentase kandungan unsur dalam seluruh perkolat terhadap kandungan unsur terhadap abu terbang selama 3 bulan. Berdasarkan analisis kimia abu terbang dan perkolat, unsur makro yang terdiri dari K, Na, Ca, dan Mg mengalami pencucian, sedangkan untuk unsur mikro (Fe, Mn, Zn, dan Cu), Cr, dan Ni tidak terukur dalam perkolat.

Pada unsur kalium terlihat adanya perbedaan persentase unsur yang tercuci antara analisis awal dan akhir serta persentase kandungan unsur dalam seluruh perkolat terhadap kandungan unsur terhadap abu terbang selama 3 bulan sangat signifikan. Tetapi pada unsur natrium, kalsium, dan magnesium perbedaannya tidak signifikan. Pada unsur kalium, total unsur yang tercuci dari abu terbang ESP, 6 bulan, dan 5 tahun yang secara berturut-turut adalah 70,12%, 96,89%, dan 93,08%. Nilai ini sangat berbeda pada persentase selisih antara analisis awal dan akhir, abu terbang ESP, 6 bulan, dan 5 tahun yang secara berturut-turut adalah 16,65%, 25,04%, dan 74,98%.

Pada unsur natrium persentase kandungan unsur dalam seluruh perkolat terhadap kandungan unsur dalam abu terbang ESP, 6 bulan, dan 5 tahun yang secara berturut-turut adalah 32,46%, 33,53%, dan 33,23%. Nilai ini hampir sama pada persentase selisih antara analisis awal dan akhir, abu terbang ESP, 6 bulan, dan 5 tahun yang secara berturut-turut adalah 33,68%, 33,23%, dan 36,42%. Analisis ini dapat dilihat pada Tabel 3.

(31)

secara berturut-turut adalah 57,63%, 51,27%, dan 27,51%. Nilai ini hampir sama pada persentase selisih antara analisis awal dan akhir, abu terbang ESP, 6 bulan, dan 5 tahun yang secara berturut-turut adalah 57,36%, 52,23%, dan 25,94%. Sedangkan pada unsur magnesium persentase kandungan unsur dalam seluruh perkolat terhadap kandungan unsur dalam abu terbang ESP, 6 bulan, dan 5 tahun yang secara berturut-turut adalah 51,59%, 71,88%, dan 60,59%. Nilai ini hampir sama pada persentase selisih antara analisis awal dan akhir. Kadar magnesium pada abu terbang ESP, 6 bulan, dan 5 tahun yang secara berturut-turut adalah 65,85%, 68,75%, dan 64,71%. Pada unsur kalsium dan magnesium perbedaan persentase antara analisis awal dan akhir serta persentase kandungan unsur dalam seluruh perkolat terhadap kandungan unsur dalam abu terbang selama 3 bulan.

Pada unsur Fe, Cu, Zn, Mn, Cr, dan Ni dalam total perkolat selama 3 bulan tidak terukur, hal ini diduga karena kecilnya unsur yang tercuci. Hal ini sesuai dengan persentase yang dihasilkan antara selisih analisis awal dan akhir, yang menghasilkan persentase yang kecil, dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika tahun 2008, curah hujan daerah Suralaya sebesar 2000 mm/tahun sampai 2500 mm/tahun, dapat dilihat pada Gambar Lampiran 7. Hal ini dapat dikatakan bahwa curah hujan daerah Suralaya sebesar 5,56 mm/hari sampai 6,94 mm/hari. Dalam penelitian ini, proses perkolasi menggunakan aquadest 100 ml setiap harinya, setara dengan 22 mm/hari. Dari perhitungan ini diduga bahwa kemungkinan unsur tercuci dalam

(32)

Tabel 3. Jumlah unsur-unsur yang tercuci dari satu gram abu terbang

Parameter

Umur

Analisis Unsur Tercuci 1) Proses Perkolasi Total Perkolasi

Abu Bulan

Keterangan: tr = tidak terukur; 1)Dihitung berdasar selisih antara analisis awal dan analisis akhir; 2) Persentase terhadap kandungan unsur dalam abu terbang

2

(33)

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1. Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pada analisis awal abu terbang segar memiliki pH, daya hantar listrik, unsur mikro, dan makro lebih tinggi dibanding abu terbang terlapuk, yang terdiri dari abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun.

2. Pada percobaan dengan metode perkolasi, perkolat mengandung unsur-unsur makro (K, Na, Ca, dan Mg) dalam jumlah bervariasi, sedangkan unsur-unsur mikro (Fe, Mn, Zn, Cu, Cr, dan Ni) tidak terukur. Semakin lama proses perkolasi, unsur dalam perkolat semakin menurun.

3. Diketahui bahwa 1 kg abu terbang segar setara dengan 2,54 g kapur tohor dan mengandung unsur hara makro dan mikro, sehingga abu terbang masih potensial untuk dimanfaatkan dalam bidang pertanian.

5. 2. Saran

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Aktar, MD. 2008. Fly ash in agriculture: A Perspective. Tersedia di http://www.holistic-thoughts.com [2 Juli 2010].

Anshori AY, dan Purnariyanto. 2008. Petunjuk Teknis Analisis Logam Berat Tanah, Air, dan Tanaman. Badan Penelitian Lingkungan Pertanian. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati.

Anwar S, dan Sudadi U. 2007. Kimia Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.

Basu M, Pande M, Bhadoria PBS, and Mahapatra SC. 2009. Potential fly ash utilization in agriculture (reviews). Progress in Natural Science.

Gupta AK, and Sinha S. 2008. Decontamination and/or revegetation of fly ash dykes through naturally growing plants. Journal of Hazard Materials

153:1078-1087.

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressido. Jakarta.

Hayati, R. 2010. Karakteristik Abu Terbang (Fly Ash) dan Eksplorasi Vegetasi Fitoremediator di Area Landfiil Abu Terbang untuk Pengelolaan Ramah Lingkungan [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.

Haynes, RJ. 2009. Reclamation and revegetation of fly ash disposal sites-challeges needs (reviews). Journal Environmental Management 90:43-53. Inthasan JN, Hirunburanan L, and K Stahr. 2002. Effect of fly ash on soil

properties, nutrients status and environment in Northern Thailand. Soil Science International Congress. Bangkok.

Iskandar, Suwardi, dan EFR Ramadina. 2008. Pemanfaatan bahan amelioran abu terbang pada lingkungan tanah gambut: (I) pelepasan hara mikro. Jurnal Tanah Indonesia, 1(1): 1-6.

Labanauskas, CK. 1975. Manganese p:264. In: Chapman, HD (ed). Diagnostic Criteria For Plants and Soils. Eurasia Publishing House. New Delhi.

Labanauskas CK, and W Reuther. 1975. Copper p:165. In: Chapman, HD (ed).

(35)

Leiwakabessy FM, dan Sutandi A. 2004. Pupuk dan Pemupukan. IPB Press. Bogor.

Lestari ID, Setiadi D, dan Abidin Z. 2004. Respon pertumbuhan tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria L.) terhadap pemberian abu batubara. Jurnal Analisis Lingkungan 1(2):72-80.

Pathan SM, Aylmore LAG, and Colmer TD. 2003. Properties of fly ash materials in relation to use as soil amendments. Journal Environmental Qual. 32: 687-693.

Pratt, PF. 1975. Chromium p:136. In: Chapman, HD (ed). Diagnostic Criteria For Plants and Soils. Eurasia Publishing House. New Delhi.

Ramadina, EFR. 2003. Potensi Abu Terbang (Fly Ash) sebagai Bahan Amelioran pada Lahan Gambut dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan. [Skripsi] Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Rosmanah L, Setiadi D, dan Abidin Z. 2004. Respon pertumbuhan tanaman

jagung (Zea Mays L.) terhadap pemberian abu batubara. Jurnal Analisis Lingkungan 1(2).

Supriyono HS, dan Sutopo R. 1994. Pengkajian pemanfaatan abu terbang batubara PLTU Suralaya untuk bahan bangunan. Buletin Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM) Vol. 16, No. 10. Bandung. Tisdale SL, WL Nelson, and JD Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers.

Macmilan Publishing Company. New York.

(36)
(37)

Tabel Lampiran 1. Karakteristik kimia perkolat setelah melalui proses pencucian 3 bulan

Tabel Lampiran 2. Jumlah perkolat yang dihasilkan (dalam ml)

Abu terbang segar Abu terbang 6 bulan Abu terbang 5 tahun

Bulan pertama 2524 2549 2647

Bulan kedua 2552 2479 2582

Bulan ketiga 2534 2568 2628

(38)

Tabel Lampiran 3. Persentase kandungan unsur-unsur dalam abu terbang

Unsur Segar 6 bulan 5 tahun

K 0,0150 0,0100 0,0050

Mg 0,0082 0,0048 0,0034

Ca 0,1780 0,0808 0,0559

Fe 0,0648 0,0528 0,0453

Mn 0,0223 0,0198 0,0158

Tabel lampiran 4. Macam-macam pupuk dan persentase kandungan unsur utamanya

Pupuk Rumus kimia Kandungan utama

Kalium Chlorida*) KCl 49,79-51,44 % K

Kalium Sulfat*) K2SO4 22,41-23,31 % K

Kieserit**) MgSO4 17,40 % Mg

Kapur Tohor**) CaO 70,00 % Ca

Fero Sulfat*) FeSO4 19,00-20,00 % Fe

Mangan Oksida*) MnO 41,00-68,00 % Mn

Keterangan: *)

Sumber: Tiesdale et al., 1985

(39)

Gambar Lampiran 1. Tempat pengambilan

sample abu terbang berumur 5 tahun.

Gambar Lampiran 2. Tempat pengambilan

sample abu terbang berumur 6 bulan

Gambar Lampiran 3. Landfiil abu terbang

PLTU Suralaya Gambar Lampiran 4. Proses Perkolasi

Gambar Lampiran 5. Glasswool Gambar Lampiran 6. Abu terbang

ESP, berumur 6 bulan, dan berumur 5 tahun

(40)
(41)

UNSUR-UNSUR YANG DIBEBASKAN

DARI PROSES PENCUCIAN ABU TERBANG (FLY ASH)

DARI PLTU SURALAYA

AMALIA HARDIYANTI

A14062872

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(42)

RINGKASAN

AMALIA HARDIYANTI. Unsur-unsur yang dibebaskan dari proses pencucian abu terbang (fly ash) dari PLTU Suralaya. Dibawah bimbingan SUDARSONO

dan ISKANDAR.

Pembakaran batubara akan menghasilkan limbah padat berupa abu terbang. Jumlah abu terbang yang dihasilkan telah menimbulkan masalah yang cukup serius hampir di semua negara yang menggunakan bahan bakar batubara untuk pembangkit tenaga listrik. Namun di lain pihak abu terbang mengandung unsur hara yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam bidang pertanian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat kimia abu terbang dan unsur-unsur yang dilepaskan oleh abu terbang pada saat terjadinya proses pencucian dari abu terbang segar dan abu terbang yang telah berada di landfiil selama 6 bulan dan 5 tahun. Penelitian ini difokuskan pada analisis pH, EC (daya hantar listrik), unsur hara makro (K, Na, Mg, Ca), unsur hara mikro (Fe, Mn, Zn, Cu), dan logam-logam (Cr, Ni).

Hasil analisis menunjukkan bahwa abu terbang yang digunakan dalam penelitian ini bersifat basa (pH abu terbang segar 11,1, pH abu terbang berumur 6 bulan 9,4, dan pH abu terbang berumur 5 tahun 8,4). Nilai DHL abu terbang segar 3,12dSm-1 lebih tinggi dibanding abu terbang di landfiil (0,76 dSm-1 dan 0,39 dSm-1). Kandungan unsur-unsur dalam abu terbang segar juga lebih tinggi dibanding abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin lama abu terbang berada di landfiil, kandungan unsur-unsur dalam abu terbang, semakin menurun.

(43)

SUMMARY

AMALIA HARDIYANTI. Elements released from leaching test of fly ash from Suralaya power plant. Under supervision of SUDARSONO and ISKANDAR.

Coal combustion produce solid waste known as fly ash. A number of fly ash cause serious problem almost in every coal power plant. However fly ash consist of potential nutrient that could be used in agriculture.

This research studied the chemical characteristics of fly ash and the nutrients released under leaching during 3 months. Three kind of fly ash are used fresh, 6 months deposited fly ash out-door, and 5 years out-door deported fly ash. The analyses conducted were pH, EC (Electrical Conductivity), macro elements (K, Na, Ca, Mg), micro elements (Fe, Mn, Zn, Cu), and metals (Cr, Ni).

The result showed that the three fly ash samples in this research were alkali. The pH value of fresh fly ash is 11,1. The six months fly ash was 9,4 in pH value and five years fly ash was 8.4 in pH value. Electrical conductivity of fresh fly ash was 3,12 dSm-1. It was higher than electrical conductivity of landfiil’s fly ash. Electrical conductivity of six months fly ash and five years fly ash were0,76dSm-1 and 0,39 dSm-1. According to this research, fresh fly ash also contained more elements than landfiil’s fly ash.

(44)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan akan energi semakin meningkat dalam berbagai bidang industri, sehingga membutuhkan alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satunya, pusat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Sisa dari pembakaran batubara adalah berupa abu terbang (fly ash) yang terdapat dalam jumlah cukup besar, sehingga memerlukan pengelolaan agar tidak menimbulkan masalah lingkungan, seperti pencemaran udara dan perairan, serta penurunan kualitas ekosistem.

Salah satu penanganan lingkungan yang dapat diterapkan adalah memanfaatkan limbah tersebut untuk keperluan bahan bangunan seperti batako dan paving blok serta pembenah lahan pertanian. Namun, hasil pemanfaatan tersebut belum dapat dimasyarakatkan, karena berdasarkan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, abu terbang dikategorikan sebagai limbah B3 karena terdapat kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindian secara alami dan mencemari lingkungan.

Teknik pembuangan abu terbang yang dihasilkan oleh PLTU umumnya dengan cara menimbunnya di suatu luasan lahan (landfiil), ini dapat dilihat pada Gambar Lampiran 3. Padahal apabila dilakukan pengolahan tertentu, abu terbang tersebut dapat menjadi suatu bahan yang bermanfaat untuk memperbaiki sifat kimia tanah. Menurut Iskandar et al. (2008), salah satu bentuk pemanfaatan abu terbang adalah sebagai bahan amelioran, dimana bahan ini dikenal baik sebagai bahan yang dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.

Abu terbang dapat digunakan untuk menetralkan tanah masam dan meningkatkan kandungan hara tanah. Berdasarkan penelitian Ramadina (2003), penambahan abu terbang mampu memperbaiki sifat-sifat kimia tanah gambut yang ditunjukkan oleh meningkatnya pH, P-tersedia, dan basa-basa.

(45)

pemanfaatannya aman terhadap lingkungan, maka perlu dilihat karakteristik abu terbang yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya.

Namun, abu terbang selain mengandung unsur-unsur hara yang bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman, juga mengandung berbagai logam berat. Oleh sebab itu kandungan logam-logam berat yang dilepaskan oleh abu terbang perlu diteliti agar dapat diketahui pemanfaatan abu terbang untuk tanah-tanah pertanian.

1.2. Kerangka Pemikiran

Terbatasnya bahan bakar minyak yang diikuti adanya tuntutan penyediaan energi listrik yang stabil dan kontinu dalam hubungannya dengan kegiatan industri, telah mendorong tumbuhnya pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara. Hal ini disebabkan cadangan bahan bakar batubara masih berlimpah. Namun di sisi lain pembakaran batubara akan menghasilkan limbah padat, diantaranya abu terbang. Persentase abu terbang yang dihasilkan berbeda-beda tergantung bahan induk batubara. Jumlah abu terbang yang dihasilkan telah menimbulkan masalah yang cukup serius hampir di semua negara yang menggunakan bahan bakar batubara untuk pembangkit tenaga listrik. Namun di lain pihak abu terbang mengandung unsur hara yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam bidang pertanian, sehingga perlu diketahui kandungan yang dilepaskan oleh abu terbang segar dan abu terbang dari landfiil.

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat kimia abu terbang dan unsur-unsur yang dilepaskan oleh abu terbang pada saat terjadinya proses pencucian dari abu terbang segar dan abu terbang yang telah berada di landfiil

(46)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang

Abu terbang adalah bagian dari sisa pembakaran batubara berupa bubuk halus dan ringan yang diambil dari tungku pembakaran yang mempergunakan bahan bakar batubara pada pusat pembangkit listrik tenaga uap. Mutunya sangat berbeda satu dengan yang lainnya, bergantung dari sumber batubara yang dipergunakan, efisiensi, suhu pembakaran (bergantung pada macam tungku yang dipakai untuk pembakaran batubara), serta cara pengendapan abu dari gas pembakaran (Supriyono dan Sutopo, 1994).

Menurut Hayati (2010) secara kimia abu terbang merupakan material oksida anorganik yang mengandung silika dan alumina aktif karena sudah melalui proses pembakaran pada suhu tinggi. Abu terbang bersifat aktif, yaitu dapat bereaksi dengan komponen lain untuk membentuk material baru yang tahan terhadap suhu tinggi.

Secara kimia abu terbang terdiri dari SiO2 (58,90%), Al2O3 (28,34%), Fe2O3

(4,30%), TiO2 (1,00%), K2O (0,43%), Na2O (1,22%), CaO (2,30%), MgO

(0,81%), SO3 (0,96%), dan karbon (1,74%). Ukuran butiran abu terbang lebih

halus dari 120 mesh. Bahan ini bersifat aktif dengan adanya air dapat bersenyawa dengan hidroksida Ca(OH)2 pada suhu kamar dan membentuk senyawa yang

mempunyai sifat seperti semen yaitu mengeras dalam waktu tertentu (Supriyono dan Sutopo, 1994).

Komposisi kimia abu terbang bergantung pada kualitas batubara yang digunakan dan kondisi operasi di TPS (Thermal Power Station). Rata-rata 95-99% abu terbang terdiri dari oksida Si, Al, Fe, dan Ca serta sekitar 0,5-3,5% terdiri dari Na, P, K, dan S. Oleh karena itu abu terbang dapat digunakan sebagai bahan pembenah untuk pertanian (Aktar, 2008).

(47)

Menurut Supriyono dan Sutopo (1994), warna abu terbang batubara dipengaruhi oleh waktu pembakaran yang menggunakan bahan bakar batubara. Apabila warna abu terbang batubara makin muda berarti hasil pembakaran makin sempurna dan mutunya makin baik. Umumnya abu terbang batubara berwarna abu-abu dan biasanya bervariasi sampai hitam.

2.2. Perubahan Sifat Tanah Akibat Aplikasi Abu Terbang

Aplikasi abu terbang ke tanah dapat menyebabkan perubahan beberapa sifat tanah, seperti bobot isi, pH tanah, ketersediaan unsur hara, dan sifat biologi.

2.2.1. Bobot Isi

Ukuran partikel abu terbang mirip dengan liat dan akan mempengaruhi bobot isi tanah. Beberapa percobaan yang dilakukan untuk mengukur sifat fisik dari jenis tanah berlempung dicampur dengan perbandingan abu terbang 50% menunjukkan bahwa campuran tanah dengan abu terbang cenderung memiliki bobot isi yang rendah dibanding tanah tanpa campuran abu terbang (Basu et al.,

2009). Selanjutnya menurut Aktar (2008), penambahan abu terbang pada tanah pertanian cenderung menurunkan bobot isi, sehingga tanah tersebut menjadi mudah meneruskan air dan ditembus akar tanaman.

2.2.2. pH Tanah (Kemasaman tanah)

Pada umumnya abu terbang yang dihasilkan bersifat alkalin, yang dapat digunakan untuk meningkatkan pH tanah (Aktar, 2008). Abu terbang yang diproduksi di India adalah basa, maka dengan aplikasi untuk tanah pertanian dapat meningkatkan pH tanah dan dengan demikian dapat menetralkan sifat masam pada tanah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan abu terbang sebagai agen pengapuran pada tanah asam dapat meningkatkan hasil panen. Penggunaan berlebihan abu terbang untuk mengubah pH dapat meningkatkan salinitas tanah (Basu et al., 2009).

2.2.3. Ketersediaan Unsur Hara

(48)

Pada unsur Fe, Mn, Zn, dan Cu meningkat pada jenis tanah dengan bahan induk granit, kapur, dan batu pasir (Inthasan et al., 2002).

2.2.4. Sifat Biologi

Informasi mengenai pengaruh pemberian abu terbang pada sifat biologi tanah sangat langka. Hasil percobaan laboratorium mengungkapkan beberapa aplikasi abu terbang khususnya untuk tanah berpasir sangat menghambat respirasi mikroba, aktivitas enzim dan proses nitrifikasi. Efek samping yang sebagian disebabkan oleh tingkat garam terlarut yang berlebihan. Namun, konsentrasi garam larut mengalami penurunan karena pelapukan abu terbang selama proses pencucian, sehingga mengurangi efek yang merugikan dari waktu ke waktu (Basu

et al., 2009).

2.3. Pemanfaatan dan Potensi Abu Terbang

Beberapa laporan tersedia berhubungan dengan penggunaan abu terbang sebagai peubah tanah untuk pertumbuhan tanaman. Penggunaan yang aman abu terbang yang dikombinasi pada tanah pertanian menjadi usaha yang sangat menjanjikan untuk lingkungan, yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dan memperkaya unsur hara tanah, sangat membantu dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen tanaman. Abu terbang batubara sebesar 5% dapat menghasilkan perkecambahan biji lebih tinggi dan akar selada (Lactuca sativa) lebih panjang. Respon terhadap aplikasi abu terbang dapat bervariasi secara luas dari yang bermanfaat sampai yang beracun tergantung pada berbagai konsentrasi elemen yang ada di dalamnya. Aplikasi abu terbang pada konsentrasi yang lebih rendah dari 0,5-1,0% tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap perkecambahan dan pertumbuhan bibit (Basu et al., 2009).

Abu terbang dapat digunakan untuk tujuan pengapuran karena mengandung CaO dan MgO. Kemampuan pengapuran atau daya netralisasi abu terbang mempunyai variasi yang besar tergantung pada sumber abu dan proses pelapukan. Daya netralisasi abu terbang berkorelasi negatif dengan kandungan Fe dan Si serta berkorelasi positif dengan Ca dan Mg (Haynes, 2009).

(49)

dalam tanah. Pemberian abu batubara pada tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L.) memberikan respon yang cukup baik untuk diameter batang, tinggi tanaman, dan bobot kering tajuk terutama pada abu dasar dengan dosis <2% dan abu terbang dengan dosis <1%. Berdasarkan penelitian Rosmanah et al. (2004), abu terbang dapat meningkatkan kandungan Ca, Mg, dan KTK tanah sedangkan abu dasar dapat meningkatkan pH dan kandungan kalsium.

Selanjutnya Ramadina (2003) melaporkan bahwa penambahan abu terbang dengan dosis 5, 10, 15, dan 30 ton/ha pada tanah gambut dapat meningkatkan pH dan basa-basa secara nyata. Kadar unsur-unsur dalam filtrat pada percobaan dengan metode batch dan perkolat pada percobaan leaching test tidak melebihi ambang batas kriteria mutu air untuk mengairi pertanaman (kelas II) yang terdapat pada PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Universitas Pertanian Punjab mengamati bahwa aplikasi abu terbang 10 ton/ha dapat meningkatkan hasil gandum dari 21,5 kw/ha menjadi 24,1 kw/ha; kapas 1245 kg/ha menjadi 1443 kg/ha. Mereka juga menemukan bahwa penambahan abu terbang 0-80 ton/ha meningkatkan hasil padi dari 61,82 kw/ha menjadi 63.58 kw/ha (Aktar, 2008).

Fakultas Pertanian Raichur mengamati bahwa hasil kacang tanah meningkat dari 24.1 kw/ha menjadi 31.9 kw/ha dengan aplikasi abu terbang sebesar 20 ton/ha. Pada sistem tumpangsari padi dan kacang tanah, aplikasi abu terbang 10 ton/ha meningkatkan hasil padi rata-rata 14% dan polong kacang tanah 26% dibanding dengan kontrol. Aplikasi abu terbang 10 ton/ha dikombinasi dengan sumber organik dan anorganik pada satu musim dengan tumpangsari padi dan kacang tanah meningkatkan hasil keduanya secara nyata dibanding dengan hanya menggunakan pupuk kimia (Aktar, 2008).

(50)
(51)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Analisis kimia abu terbang dilakukan di Laboratorium Genesis dan Klasifikasi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Balai Penelitian Tanah, Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret sampai Agustus 2010.

3.2. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan adalah abu terbang yang sudah tertimbun selama enam bulan dan lima tahun pada landfiil, serta abu terbang segar yang diambil dari Electrostatic Presipitator (ESP) dari PLTU Suralaya.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Pengambilan Contoh Abu Terbang

Pengambilan contoh abu terbang dilakukan pada 3 sumber, yaitu langsung dari Electrostatic Precipitator (ESP), abu terbang berumur 6 bulan dari landfiil

seluas 4 ha (Gambar Lampiran 2), dan dari abu terbang berumur 5 tahun yang telah tertimbun tanah (Gambar Lampiran 1). Contoh abu terbang dari landfiil

berumur enam bulan diambil pada kedalaman 20 cm, diambil secara acak sebanyak 1 kg abu terbang, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label. Abu terbang berumur 5 tahun diambil dari timbunan tanah dengan kedalaman 30 cm dan ketebalan abu terbang di bawah tanah 8 cm, diambil secara acak sebanyak 1 kg abu terbang, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label, yang selanjutnya ditentukan sifat kimia dan kadar unsurnya.

3.3.2. Metode Perkolasi

(52)

Conductivity = daya hantar listrik) dan jumlah unsur K, Na, Ca, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn, Cr, dan Ni.

3.3.3. Analisis Kimia Abu Terbang

Analisis sifat kimia abu terbang meliputi: pH (H2O 1:2), Electrical

Conductivity (EC), dan analisis unsur kimia abu terbang meliputi Ca, K, Na, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn, Cr, dan Ni (dengan destruksi HClO4 dan HNO3 1:2). Analisis

beberapa unsur abu terbang digunakan untuk mengetahui kandungan unsur yang diperlukan tumbuhan untuk pertumbuhannya dan untuk mengetahui kandungan logam berat yang terdapat dalam abu terbang sehingga dapat diperkirakan kemungkinan pengembangan pemanfaatannya.

Ca, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn, Cr, dan Ni diukur dengan menggunakan AAS sedangkan K dan Na diukur menggunakan alat Flamephotometer dengan deret standar masing-masing sebagai pembanding (Anshori dan Purnariyanto, 2008).

Gambar 1. Metode perkolasi 7,60 cm

20,30 cm

Abu terbang

Filter berupa glasswool (Gambar Lampiran 5)

Sekat berupa kertas saring

Selang

(53)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Sifat Kimia Abu Terbang

Abu terbang yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari ESP (Electrostatic Precipitator) yang merupakan abu terbang segar dan abu terbang dari landfiil berumur 6 bulan dan 5 tahun yang sudah tertimbun oleh tanah. Pada ketiga abu terbang ini memiliki perbedaan warna, yang dapat dilihat pada Gambar Lampiran 6.

(54)

tanah pertanian masam dapat meningkatkan pH tanah (Aktar, 2008). Selanjutnya berdasarkan penelitian Rosmanah et al. (2004) diketahui bahwa abu batubara dapat digunakan sebagai bahan baku penetral pH pada air asam tambang batubara. Hasil analisis awal menunjukkan bahwa pH abu terbang segar lebih tinggi dibanding pH abu terbang dari landfiil, yang terdiri dari abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun. Hal ini diduga abu terbang segar belum mengalami proses pencucian di landfiil. Nilai pH abu terbang pada dasarnya ditentukan oleh komposisi bahan induk batubara. Bahan induk batubara dengan kandungan sulfur tinggi akan menghasilkan abu terbang dengan pH yang bersifat masam, sedangkan batubara dengan kandungan sulfur rendah akan menghasilkan abu terbang dengan pH bersifat alkalis (Haynes, 2009). Berdasarkan hal tersebut, PLTU Suralaya menggunakan batubara dengan kandungan sulfur yang rendah, sehingga menghasilkan abu terbang dengan pH bersifat alkalis.

Daya hantar listrik merupakan salah satu parameter yang dipakai untuk mengukur akumulasi garam (Anwar dan Sudadi, 2007). Nilai DHL pada analisis awal abu terbang segar sebesar 3,12 dSm-1 lebih tinggi dibanding nilai DHL abu terbang berumur 6 bulan dan 5 tahun, yang berturut-turut bernilai 0,76 dSm-1 dan 0,39 dSm-1 (Tabel 1). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pathan et al. (2003), yang menunjukkan bahwa abu terbang segar memiliki nilai DHL sebesar 1,3 dSm-1 lebih tinggi bila dibanding dengan nilai DHL abu terbang yang telah mengalami proses pencucian (abu terbang berumur 3 tahun, nilai DHL=0,51 dSm-1 dan abu terbang berumur 3 bulan memiliki DHL sebesar 0,59 dSm-1).

Gambar

Tabel 3. Jumlah unsur-unsur yang tercuci dari satu gram abu terbang
Tabel Lampiran 1. Karakteristik kimia perkolat setelah melalui proses pencucian 3 bulan
Tabel Lampiran 3. Persentase kandungan unsur-unsur dalam abu terbang
Gambar Lampiran 2. Tempat pengambilan sample  abu terbang berumur 6 bulan
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Non-Aktif(tidak berlaku).. 69 Hanny

Maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Jabatan Notaris harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang berwenang

Dengan pemanfaatan controller SDN, administrator jaringan dapat mengubah sifat dan prilaku jaringan secara riil time dan mendeploy aplikasi baru dan layanan

Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil bumi salah satunya adalah pertambangan, dalam dunia pertambangan pastinya dibutuhkan bahan peledak dan bahan kimia

Peneliti menemukan ada usia 2 tahun dan 10 tahun yang menderita Batu Saluran Kemih di RS Martha Friska.Berdasarkan kondisi tersebut penulis tertarik untuk melakukan

Dari hasil penelitian yang dilakukan di KKLD Desa Berakit terhadap kelimpahan Pelecypoda pada area sampling berakit dalam 99 plot yang secara acak, di mana seluruh

erupakan keratitis yang disebabkan ole$ infeksi $erpes simplek dan $erpes 6oster. Keratitis $erpetika yang disebabkan ole$ $erpes simplek dibagi dalam  bentuk yaitu epitelial

Schoorl.Dimana dalam men dalam menganalisa ganalisa gula gula nabati y nabati yang ang termasuk termasuk sukrosa sukrosa yang yang merupakan rasa manis dasar