1Mahasiswa dan2Staff Pengajar Program Studi Fisika FMIPA UNLAM
28
ABU TERBANG ( FLY ASH ) DAN ABU DASAR ( BOTTOM ASH ) SISA PEMBAKARAN BATUBARA PLTU ASAM-ASAM
Wardatul Husna1, Sudarningsih2, dan Totok Wianto2
Abstrak: Pembakaran batubara yang dimanfaatkan sebagai energi panas pada PLTU akan menghasilkan abu yang terpisah, yaitu abu terbang dan abu dasar sekitar 5-10%. Abu ini merupakan kumpulan dari bahan pembentuk batubara yang tidak terbakar (non-combustible materials) atau yang dioksidasi oleh oksigen. Pada penelitian ini, dilakukan identifikasi mineral magnetik pada abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) dari sisa pembakaran batubara PLTU Asam-Asam. Sampel abu terbang dan abu dasar yang sudah dipreparasi kemudian diuji dengan menggunakan difraksi sinar x (XRD) untuk mengetahui persentase dan komposisi mineral dari masing-masing abu terbang dan abu dasar. Selain itu juga dilakukan pengukuran suseptibilitas magnetik menggunakanBartington Magnetic Suseptibility Meter MS2B. Hasil penelitian menunjukkan penyusun utama dari abu terbang adalah silika (SiO2) sebesar 67 % dan kandungan mineral magnetiknya sebesar 9
% yaitu mineral dengan rumus kimia Fe2Mo3NaO12, sedangkan sisanya adalah mineral yang lain. Nilai suseptibilitas magnetik yang terukur pada abu terbang berkisar antara 2815,9 x 10-8 - 2985 x 10-8 m3/kg. Sedangkan pada abu dasar terkandung mineral magnetik lebih besar dibandingkan dengan abu terbang, yaitu mineral magnetite (Fe3O4) sebesar 13 %, penyusun utamanya juga silika (SiO2) dengan persentase sebesar 65 % dan nilai suseptibilitasnya yang terukur berkisar antara 6268,1 x 10-8 sampai dengan 6613,6 x 10-8 m3/kg. Dari nilai suseptibilitas yang terukur, dapat diketahui bahwa mineral magnetik yang terkandung pada abu terbang dan abu dasar bersifat paramagnetik hingga ferromagnetik meskipun persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan mineral yang bersifat diamagnetik.
Tingginya nilai suseptibilitas magnetik dipengaruhi oleh persentase mineral magnetik yang terkandung pada sampel.
Kata Kunci :Batubara, abu terbang, abu dasar, suseptibilitas, mineral magnetik.
PENDAHULUAN
Kalimantan Selatan merupakan daerah yang terkenal kaya akan sumberdaya alam khususnya tambang, seperti batubara dan bijih besi. Potensi sumberdaya alam batubara di Kalimantan Selatan cukup besar dan tersebar hampir di seluruh kabupaten.
Kalimantan Selatan merupakan
penyumbang batubara terbesar, yaitu mencapai sepertiga dari kebutuhan batubara secara keseluruhan (http://www.bi.go.id). Batubara adalah bahan organik yang dapat terbakar, berasal dari sisa-sisa fosil tumbuhan yang mengendap dan telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia karena pengaruh suhu, waktu, dan
tekanan. Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara disebut pembatubaraan (coalification) (Raharjo, 2006).
Dewasa ini banyak industri yang beralih menggunakan batubara sebagai bahan bakar dalam menghasilkan uap.
Hal ini disebabkan karena pemakaian batubara dianggap lebih efisien dibandingkan dengan pemakaian minyak bumi yang harganya terus meningkat sedangkan cadangannya semakin berkurang. Selain tersebar merata di seluruh dunia, batubara merupakan bahan yang siap dieksploitasi secara ekonomis karena terdapat dalam jumlah yang banyak, sehingga menjadi bahan bakar yang paling lama dapat menyokong kebutuhan energi dunia.
Batubara memiliki sifat yang heterogen. Apabila dibakar, senyawa anorganik yang ada diubah menjadi bentuk senyawa oksida yang berukuran butir halus berbentuk abu. Abu ini merupakan kumpulan dari bahan pembentuk batubara yang tidak terbakar (non-combustible materials) atau yang dioksidasi oleh oksigen.
Pembakaran batubara yang dimanfaatkan sebagai energi panas pada PLTU akan menghasilkan abu yang terpisah. Abu batubara tersebut terdiri atas abu terbang dan abu dasar
(bottom ash) sekitar 5-10%. Persentase masing-masing abu yang dihasilkan adalah abu terbang sebesar 80-90%
dan abu dasar sebesar 10-20%
(Sukandarrumidi, 2006).
Keberadaan mineral magnetik menjadi bagian yang sangat penting untuk dikaji secara detail mengingat sifat magnetik secara umum sangat dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu konsentrasi, distribusi, bentuk dan ukuran bulir mineral magnetik.
Kurniawan (2012) telah melakukan studi magnetik untuk menentukan komposisi, bentuk bulir dan suseptibilitas magnetik abu berat sisa pembakaran batubara yang menunjukkan bahwa pada bottom ash terdapat unsur besi (Fe) sekitar 70%
dengan bentuk mineral magnetik beragam. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini mengidentifikasi mineral magnetik abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) sisa pembakaran batubara PLTU Asam- Asam.
Abu Terbang (Fly Ash)
Abu batubara sebagai limbah tidak seperti gas hasil pembakaran, karena merupakan bahan padat yang tidak mudah larut dan tidak mudah menguap sehingga akan lebih merepotkan dalam penanganannya.
Apabila jumlahnya banyak dan tidak ditangani dengan baik, maka abu batubara tersebut dapat mengotori lingkungan terutama yang disebabkan oleh abu yang beterbangan di udara dan dapat terhisap oleh manusia dan hewan juga dapat mempengaruhi kondisi air dan tanah di sekitarnya sehingga dapat mematikan tanaman.
Akibat buruk terutama ditimbulkan oleh unsur-unsur Pb, Cr dan Cd yang biasanya terkonsentrasi pada fraksi butiran yang sangat halus (0,5 – 10 µm). Butiran tersebut mudah melayang dan terhisap oleh manusia dan hewan, sehingga terakumulasi dalam tubuh manusia dengan konsentrasi tertentu dapat memberikan akibat buruk bagi kesehatan (Putraet al, 1996).
Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silika (SiO2), alumina (Al2O3), besi oksida (Fe2O3), kalsium (CaO) dan sisanya adalah magnesium, potasium, sodium, titanium dan belerang dalam jumlah yang sedikit. Selain senyawa-senyawa tersebut yang diperkirakan terdapat pada abu terbang dalam kisaran 95- 99%, abu terbang juga tersusun atas Na, P, K, sebesar 0,5-3,5% dan sisanya disusun oleh fase gelas amorf, fase kristalin, serta unsur-unsur mikro (trace elements).
Ukuran abu terbang sangat halus, yaitu 0,01-100 µm (65-90% berukuran
<10 µm), luas permukaan tinggi dan tekstur ringan (silt loam), bobot isi (bulk density) rendah (1,00-1,33 gr/cm).
Partikel abu terbang umumnya berbentuk bola, sebagian berongga (cenospheres) dan lainnya terisi oleh partikel amorf dan kristal-kristal yang lebih kecil (plerospheres). Fraksi cenospheres merupakan bagian terbanyak dalam abu terbang khususnya pada fraksi sangat halus (Basu et al., 2009 dalam Hayati, 2010).
Abu Dasar (Bottom Ash)
Bottom ash mempunyai ukuran partikel lebih besar dan lebih berat dari dari fly ash, sehingga bottom ash akan jatuh pada dasar tungku pembakaran (boiler) dan terkumpul pada penampung debu (ash hopper) lalu dikeluarkan. Bottom ash mempunyai karakteristik fisik berwarna abu-abu gelap, berbentuk butiran, berporos, mempunyai ukuran butiran antara pasir hingga kerikil. Komposisi kimia dari bottom ash yaitu silika, alumina dan besi dengan sedikit kalsium, magnesium, sulfat, dan komponen yang lain.
Bottom ash mempunyai butiran partikel sangat berpori pada permukaannya. Bottom ash merupakan
material dengan gradasi yang baik, dengan variasi ukuran partikel yang berbeda-beda. Ukuranbottom ash lebih mendekati ukuran pasir, biasanya 50 - 90% lolos pada saringan 4.75 mm (No.
4), 10 - 60% lolos pada saringan 0.6 mm (No. 40), 0 - 10% lolos pada saringan 0.075 mm (No. 200), dan ukuran paling besar berkisar antara 19 mm (3/4 in) sampai 38.1 mm (1-1/2 in).
Bottom ash yang diidentifikasi menggunakan difraksi sinar x (XRD) menunjukkan mineral yang terkandung didalamnya adalah kuarsa (SiO2), kalsit (CaCO3), anhidrit (CaSO4), plagioklas feldspar, magnetite (Fe3O4), dan/atau hematite (Fe2O3) (Meima & Comans, 1997).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September - Desember 2012 di Laboratorium FMIPA Unlam Banjarbaru dan pengambilan sampel abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) bertempat di PLTU Asam-Asam.
Pengambilan sampel
Sampel yang diambil merupakan abu baru yang belum dipindahkan ke tempat penimbunan abu sisa pembakaran batubara, kemudian sampel dimasukkan ke dalam plastik.
Jumlah total sampel yang diambil
sebanyak ± 2 kg yang terdiri dari 1 kg abu terbang dan 1 kg abu dasar.
Preparasi sampel untuk pengukuran suseptibilitas magnetik
Sampel abu yang akan diukur suseptibilitasnya dikemas dalam sample holder (wadah) yang terbuat dari plastik berbentuk silinder berukuran tinggi 2,2 cm dan diameter 2,54 cm.
Sebelumnya masing-masing sampel telah disaring agar ukuran sampel homogen. Sampel kemudian ditimbang dengan massa sekitar 7,5 gram. Massa sampel dihitung setelah dikurangi dengan massasample holderkosong.
Preparasi untuk pengukuran XRD Sampel abu disaring dengan saringan agar ukuran sampelnya homogen, sampel diletakkan pada sample holder (wadah) yang kemudian siap diuji.
Pengukuran suseptibilitas magnetik Sampel yang sudah dimasukkan ke dalam wadah berukuran tinggi 2,2 cm dan diameter 2,54 cm kemudian diukur suseptibilitas magnetiknya menggunakan Bartington Magnetic Susceptibility Meter MS2 yang terhubung dengan sensor MS2B menggunakan kabel co-axial. Sampel ditempatkan di dalam sensor MS2B
yang diletakkan sejajar dengan sumbu coil sensor. Pada Bartington Magnetic Susceptibility Meter MS2 kita dapat menentukan jenis pengukuran yang dikehendaki yaitu berupa suseptibilitas volume atau suseptibilitas massa. Pada pengukuran yang telah dilakukan, suseptibilitas yang dihasilkan sudah berbasis massa.
Pengukuran Difraksi Sinar x
Sampel berupa serbuk ditempatkan pada suatu plat kaca dalam difraktometer. Tabung sinar x akan mengeluarkan sinar x yang difokuskan sehingga mengenai sampel, detektor akan bergerak sepanjang lintasannya untuk merekam pola difraksi sinar x. Pola difraksi yang
dihasilkan adalah berupa deretan puncak-puncak difraksi. Proses interpretasi dilakukan dengan komputer, yaitu menganalisis spektrum dan data hasil XRD dengan cara membandingkan dengan data standar PDF (Powder Diffraction File).
Penentuan Jenis Mineral Magnetik Penentuan jenis mineral magnetik dilakukan dengan membandingkan nilai suseptibilitas magnetik yang didapat pada pengukuran dengan nilai suseptibilitas mineral magnetik pada literatur (Tabel 1). Kemudian untuk mengetahui lebih detail komposisi mineral magnetik dilihat dari data hasil pengukuran difraksi sinar x.
Tabel 1. Nilai suseptibilitas magnetik mineral ferromagnetik (Hunt dkk, 1995).
Mineral Magnetik Suseptibilitas Magnetik (10-8m3/kg)
Magnetite (Fe3O4) 20.000 – 110.000
Hematite (α-Fe2O3) 10 – 760
Maghemite (γ-Fe2O3) 40.000 – 50.000
Ilmenite (FeTiO3) 46 – 80.000
Pyrite (FeS2) 1 – 100
Pyrrhotite (Fe7S8) 69.000
Pyrrhotites (Fe1-xS) 10 – 30.000
Titanomagnetite (Fe3-xTixO4, x = 0,60) 2.500 – 12.000
Geothite (α-FeOOH) 26 - 280
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2 dan Tabel 3 adalah hasil pengukuran suseptibilitas magnetik tiga sampel abu terbang dan abu dasar.
Tabel 2 menunjukkan nilai suseptibilitas
magnetik dalam satuan massa dari abu terbang yaitu berkisar antara 2815,9 x 10-8 sampai dengan 2985 x 10-8 m3/kg.
Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali perulangan untuk tiap sampel, kemudian
hasil dari 5 kali pengukuran tersebut dihitung nilai suseptibilitas rata-ratanya.
Masing-masing sampel FA1, FA2, dan FA3 memiliki nilai suseptibilitas rata-rata 2964,7 x 10-8 m3/kg, 2982 x 10-8 m3/kg dan 2822 x 10-8 m3/kg. Berdasarkan Hunt dkk (1955), rentang nilai suseptibilitas magnetik yang terukur dari
sampel abu terbang diperkirakan termasuk ke dalam rentang nilai suseptibilitas magnetik mineral ilmenite (46 – 80.000 x 10-8 m3/kg), phyrrhotites (10 – 30.000 x 10-8 m3/kg), dan titanomagnetite (2.500–12.000 x 10-8 m3/kg).
Tabel 2. Data hasil pengukuran suseptibilitas massa pada abu terbang Pengukuran ke Suseptibilitas Massa (χ) (x 10-8m3/kg)
FA1 FA2 FA3
1 2964,8 2983,7 2815,9
2 2969,8 2979,9 2826,4
3 2971,7 2985 2823,2
4 2955,3 2983 2825,1
5 2962 2981,6 2821,3
Rata-rata 2964,7 2982,6 2822,4
Jenis Mineral Ilmenite Phyrrhotites Titanomagnetite
Tabel 3. Data hasil pengukuran suseptibilitas massa pada abu dasar Pengukuran ke Suseptibilitas Massa (χ) (x 10-8m3/kg)
BA1 BA2 BA3
1 6270,5 6542,6 6613,6
2 6270,5 6540,5 6607,7
3 6268,1 6548,8 6612,3
4 6278,1 6555,7 6608,1
5 6274,1 6553,6 6610,6
Rata-rata 6271,3 6548,2 6610,5
Jenis Mineral Ilmenite Phyrrhotites Titanomagnetite
Tabel 4. Data hasil pengukuran Difraksi sinar x (XRD) No Nama sampel Rumus Kimia Persentase (%)
1 Fly ash SiO2 67
Fe2Mo3NaO12 9
2 Bottom ash SiO2 65
Fe3O4 13
Hasil pengukuran difraksi sinar x ditunjukkan pada Tabel 4 dan menunjukkan bahwa mineral yang mendominasi atau mineral penyusun utama abu terbang adalah silika atau kuarsa (SiO2) yaitu sebanyak 67 %, mineral magnetik yang terkandung di dalamnya terdapat sebanyak 9 %, yaitu mineral dengan rumus kimia Fe2Mo3NaO12, dan sisanya adalah mineral-mineral lain dengan persentase yang sangat kecil. Persentase mineral magnetik yang terukur mempengaruhi nilai suseptibilitas magnetik pada abu terbang secara keseluruhan, makin besar persentase kandungan mineral magnetiknya makin besar pula nilai suseptibilitas yang terukur pada sampel. Karena mineral yang terukur pada abu terbang dengan XRD persentasenya kecil, nilai suseptibilitas yang terukur pun juga kecil sehingga nilai tersebut masuk ke dalam kisaran suseptibilitas magnetik mineral yang lain, yang pada penelitian ini adalah ilmenite, phyrrhotites, dan titanomagnetite.
Hasil pengukuran difraksi sinar x tersebut diketahui bahwa kandungan utama dari abu terbang adalah silika (SiO2) yang persentasenya 67%.
Menurut Dunlop & Ozdemir (1997) nilai suseptibilitas magnetik dari silika atau
kuarsa tersebut adalah -0,62 x 10-8 m3/kg dan termasuk dalam mineral yang bersifat diamagnetik. Hal tersebut jika dibandingkan dengan suseptibilitas magnetik hasil pengukuran pada sampel abu terbang yang nilainya cukup tinggi, maka dapat disimpulkan bahwa kemungkinan pada sampel abu terbang mineral magnetiknya termasuk ke dalam mineral yang bersifat paramagnetik hingga ferromagnetik walaupun persentasenya lebih sedikit dibandingkan dengan mineral lain yang bersifat diamagnetik.
Pengukuran suseptibilitas magnetik juga dilakukan pada sampel abu dasar untuk mengetahui nilai suseptibilitas magnetiknya (Tabel 3).
Dari tabel hasil pengukuran suseptibilitas magnetik tersebut, nilai suseptibilitas magnetik dari abu dasar berkisar antara 6268,1 sampai dengan 6613,6 x 10-8 m3/kg. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Kurniawan (2012), yaitu berkisar antara 1850 x 10-8 m3/kg – 6250 x 10-8 m3/kg. Sama dengan pengukuran yang dilakukan pada abu terbang, pengukuran suseptibilitas pada abu dasar ini juga dilakukan pada 3 sampel dengan perulangan 5 kali pengukuran untuk masing-masing sampelnya. Nilai suseptibilitas magnetik
hasil perulangan pengukuran kemudian dihitung nilai rata-ratanya. Nilai suseptibilitas rata-rata dari sampel abu dasar berturut-turut dari BA1, BA2, dan BA3 adalah 6271,3 x 10-8m3/kg, 6548,2 x 10-8m3/kg, dan 6610,5 x 10-8m3/kg.
Berdasarkan Hunt dkk (1995), kisaran nilai suseptibilitas magnetik yang terukur tersebut diduga termasuk ke dalam nilai suseptibilitas magnetik mineral ilmenite (46 – 80.000 x 10-8 m3/kg), phyrrhotites (10 – 30.000 x 10-8 m3/kg), dan titanomagnetite (2.500 – 12.000 x 10-8 m3/kg) seperti yang diduga pada abu terbang. Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan difraksi sinar x (XRD) yang ditunjukkan pada Tabel 4, mineral penyusun utama abu dasar adalah silika dengan persentase sebesar 65 %, magnetite dengan persentase 13 %, dan sisanya adalah mineral-mineral lain dengan jumlah yang sangat sedikit.
Hasil XRD menunjukkan bahwa pada sebagian kecil mineral magnetik yang terkandung pada abu dasar adalah magnetite.
Persentase mineral magnetik yang terukur juga mempengaruhi nilai suseptibilitas magnetik pada abu dasar secara keseluruhan, makin besar persentase kandungan mineral magnetiknya makin besar pula nilai suseptibilitas yang terukur pada
sampel. Nilai suseptibilitas magnetik yang terukur pada abu dasar lebih kecil dibandingkan dengan kisaran nilai suseptibilitas magnetik dari mineral magnetite berdasarkan pada Hunt dkk (1995), hal ini karena persentase kandungan mineral magnetite yang terukur dari XRD juga kecil. Karena persentase mineral yang kecil itulah yang menyebabkan nilai suseptibilitas yang terukur pada abu dasar masuk ke dalam kisaran suseptibilitas magnetik mineral yang lain, yang pada penelitian ini adalah ilmenite, phyrrhotites, dan titanomagnetite. Dari hasil pengukuran difraksi sinar x pada abu dasar juga diketahui bahwa kandungan utamanya adalah silika (SiO2) yang persentasenya 65%. Seperti pada abu terbang, mineral magnetik yang terkandung pada abu dasar kemungkinan juga bersifat paramagnetik hingga ferromagnetik yang persentasenya juga kecil jika dibandingkan dengan persentase dari mineral silika yang bersifat diamganetik.
Kurniawan (2012) menyatakan bahwa pada abu dasar terdapat kandungan Fe sebesar 70 %, hal ini karena abu dasar dihasilkan dari batubara jenis bituminous. Sedangkan pada penelitian ini didapatkan kandungan mineral magnetik sebesar 13 %, karena batubara yang digunakan
pada PLTU Asam-Asam adalah batubara jenis lignit. Batubara jenis lignit ini merupakan batubara dengan tingkatan yang paling rendah.
Perbedaan jenis batubara yang digunakan sebagai bahan bakar, mempengaruhi abu sisa pembakaran yang dihasilkannya.
Nilai suseptibilitas magnetik yang terukur pada abu dasar lebih besar jika dibandingkan dengan nilai suseptibilitas magnetik yang terukur pada abu terbang. Hal tersebut karena abu dasar terletak di bawah sehingga logam- logam berat setelah pembakaran lebih banyak terkumpul di abu dasar sebagaimana yang ditunjukkan pada hasil XRD yang menunjukkan bahwa kandungan dari abu dasar terdapat logam-logam berat seperti Fe, Ti, Cr, Mn, Pb, dan lain-lain. Sedangkan pada abu terbang karena ukurannya lebih kecil dan beratnya lebih ringan, sehingga logam-logam berat, misalnya Fe, Pb, Mg, dan lain-lain yang ikut terbawa bersama abu terbang lebih sedikit.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Suseptibilitas magnetik yang terukur pada abu terbang rata- ratanya antara 2822 x 10-8 m3/kg -
2964,7 x 10-8 m3/kg, sedangkan suseptibilitas magnetik yang terukur pada abu dasar rata-ratanya antara 6271,3 x 10-8 m3/kg - 6610,5 x 10-8 m3/kg. Berdasarkan nilai-nilai suseptibilitas tersebut diduga mineral yang terkandung pada abu terbang dan abu dasar adalah ilmenite (FeTiO3), phyrrhotites (Fe1-xS), dan titanomagnetite (Fe3-xTixO4, x = 0,60).
2. Kandungan mineral magnetik pada abu terbang yang diuji menggunakan difraksi sinar x adalah Fe2Mo3NaO12 sebesar 9 %, sedangkan pada abu dasar kandungan mineral magnetiknya adalah magnetite (Fe3O4) sebesar 13 %.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. 2007. Kajian Ekonomi Regional Kalimantan Selatan Triwulan II.
http://www.bi.go.id
Diakses pada tanggal 30 Desember 2012.
Dunlop, D. J. & O. Ozdemir. 1997.Rock Magnetism. Cambridge University Press, Cambridge.
Hayati R. 2010. Karakterisasi abu terbang (Fly ash) dan eksplorasi vegetasi fitoremediator di area Landfill abu terbang untuk pengelolaan ramah lingkungan.
Bogor Agricultural University.
Hunt, C. P., B. Moskowitz, & S. K.
Banerjee. 1995. Magnetic properties of rocks and minerals, in T. J. Ahrens, ed., Rock Physics
& Phase Relation: A Handbook of Physical Constants. American Geophysical Union, Washington.
Kurniawan, H. C. 2012. Studi Komposisi, Bentuk Bulir dan Suseptibilitas Mineral Magnetik Abu Berat Sisa Pembakaran Batu Bara. Skripsi. Universitas Negeri Malang.
Meima, J. A. & R. N. J Comans. 1997.
Geochemical Modeling of Weathering Reactions in Municipal Solid Waste Incinerator Bottom ash. Environmental Science & Technology. 31 (5):
1269 – 1276.
Putra, D.F., Supriyanto, Bregas S., D.
Marsono, & Zahrul M. 1996.
Pengolahan Limbah Batubara Atau Abu Terbang (Fly ash) Untuk Pembuatan Genteng Pres Ringan.
Buletin Penalaran Mahasiswa UGM. 2 (2): 40-48.
Raharjo. 2006. Mengenal Batubara.
Artikel Iptek-Bidang Energi Dan Sumber Daya Alam.
Sukandarrumidi. 2006. Batubara dan pemanfaatannya: pengantar teknologi batubara menuju lingkungan bersih. Gadjah Mada University Press.