BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Batubara
Batubara merupakan suatu jenis mineral yang tersusun atas karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan senyawa-senyawa mineral (Kent, 1993). Batubara digunakan sebagai sumber energi alternatif untuk menghasilkan listrik. Pada pembakaran batubara, terutama pada batubara yang mengandung kadar sulfur yang tinggi, menghasilkan polutan udara, seperti sulfur dioksida, yang dapat menyebabkan terjadinya hujan asam. Karbon dioksida yang terbentuk pada saat pembakaran berdampak negatif pada lingkungan (Achmad, 2004)
Batubara adalah suatu material yang tersusun dari bahan organik dan anorganik dengan kandungan organik pada batuan dapat mencapai 50% dan bahkan lebih dari 75%. Bahan organik ini disebut maseral yang berasal dari sisa tumbuhan dan telah mengalami berbagai tingkat dekomposisi serta perubahan sifat fisik dan kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh lapisan diatasnya, sedangkan bahan anorganiknya disebut mineral atau mineral matter. Kehadiran mineral dalam jumlah tertentu akan mempengaruhi kualitas batubara terutama parameter abu, sulfur dan nilai panas sehingga dapat membatasi penggunaan batubara (Finkelman, 1993).
2.1.2. Sejarah Pertambangan Batubara di Indonesia
Pertambangan batubara di Indonesia dimulai pada tahun 1849 di Pengaran, Kalimantan Timur N.V. Oost Borneo Maatschappij suatu perusahaan swasta memulai kegiatan pada tahun 1888 di pelarang, kira-kira 10 Km sebelah tenggara Samarinda. Menjelang Perang Dunia I ada beberapa perusahaan kecil yang bekerja di Kalimantan Timur.
Di Sumatera kegiatan pertama untuk melakukan penambangan batubara secara besar-besaran dimulai tahun 1880 di lapangan sungai durian di Sumatera Barat. Usaha ini gagal karena kesulitan pengangkutan. Setelah penyelidikan seksama pada tahun 1868-1873, yaitu setelah diketemukannya lapangan batubara 1868 dibukalah pada tahun 1892 Tambang Batubara Ombiling. Di Sumatera Selatan, penyelidikan antara tahun 1915-1918 menghasilkan pembukaan Tambang Batubara Bukit Asam pada tahun 1919. Tambang Batubara Ombilin dan Bukit Asam segera menjadi dua penghasil batubara terpenting di Indonesia. (Sukandarrumidi, 1995)
2.1.3. Peranan Batubara di Indonesia
Masyarakat pemakai sumberdaya energi di Indonesia terutama yang menggunakan energi untuk keperluan pembakaran dalam jumlah besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan industri semen menyadari bahwa penggunaan batubara mempunyai beberapa kelebihan :
a. Penekanan biaya operasi yang disebabkan oleh harga batubara (persatuan energi) yang lebih murah dari pada jenis energi yang lain.
Apabila dibandingkan gambaran komposisi energi (ketergantungan) antara batubara, gas bumi, minyak bumi, dan tenaga air dibeberapa negara adalah sebagai berikut.
Komposisi energi di beberapa negara dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini. Tabel 2.1. Komposisi energi di beberapa negara
Negara Batubara Gas bumi Minyak bumi Tenaga air
Batubara terbentuk dengan cara yang sangat komplek dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) dibawah pengaruh fisika, kimia ataupun keadaan geologi. Terdapat serangkaian faktor yang diperlukan dalam pembentukan batubara yaitu :
a. Posisi geotektonik
Posisi geotektonik adalah suatu tempat yang keberadaanya dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik lempeng.
b. Topografi (morfologi)
Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk.
c. Iklim
Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai. d. Penurunan
Proses geologi menentukan perkembangannya evolusi kehidupan berbagai macam tumbuhan. Dalam masa perkembangan geologi secara tidak langsung membahas sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik.
f. Tumbuhan
Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari flora terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi tertentu.
g. Dekomposisi
Dekomposisi flora yang merupakan bagian dari transformasi biokimia dari organik merupakan titik awal untuk seluruh alterasi.
h. Sejarah Sesudah Pengendapan
Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara singkat terjadi proses geokimia dan metamorfosa organik setelah pengendapan gambut.
i. Struktur Cekungan Batubara
Terbentuknya batubara pada cekungan batubara pada umumnya mengalami deformasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan lapisan bagtubara dengan bentuk0bentuk tertentu. Disamping itu adanya erosi yang intensif menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak menerus.
j. Metamorfosa Organik
2.1.5 Reaksi Pembentukan Batubara
Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari
cellulosa. Proses pembentukan batubara atau coallification yang dibantu oleh faktor fisika, kimia alam akan mengubah cellulosa menjadi lignit, subbitumine, bitumine dan antrasit. Reaksi pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai berikut.
REAKSI:
5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 6CO2 + CO + 8H20
Cellulosa lignit gas metana air
Keterangan :
Cellulosa (zat organik) yang merupakan zat pembentuk batubara. Unsur C dalam lignit lebih sedikit dibanding bitumine. Semakin banyak unsur C lignit semakin baik mutunya. Unsur H dalam lignit lebih banyak dibandingkan pada bitumine. Semakin banyak unsur H lignit makin kurang baik mutunya. Senyawa CH4 (gas
metan) dalam lignit lebih sedikit dibanding dalam bitumine, semakin banyak CH4
lignit semakin baik kualitasnya (Sukandarrumidi, 1995).
Pembentukan batubara secara umum dapat dibagi dalam dua tahap yaitu: tahap peatification dan atau penggambutan (akibat proses biokimia) dan tahap
2.1.6. Sifat Umum Batubara
Batubara merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan terdapat di alam dalam tingkat/grade yang berbeda mulai dari lignit, subbitumine, antrasit.
Sifat batubara jenis Antrasit:
- Warna hitam sangat mengkilat, kompak
- Nilai kalor sangat tingggi, kandungan karbon sangat tinggi - Kandungan air sangat sedikit
- Kandungan abu sangat sedikit - Kandungan sulfur sangat sedikit
Sifat batubara jenis Bitumine/subbitumine
- Warna hitam mengkilat, kurang kompak
- Nilai kalor sangat tinggi, kandungan karbon relatif tinggi - Kandungan air sedikit
- Kandungan abu sedikit - Kandungan sulfur sedikit
Sifat batubara jenis Lignit (brown coal)
- Warna hitam, sangat rapuh
- Nilai kalor sangat rendah, kandungan karbon sangat sedikit - Kandungan air tinggi
- Kandungan abu banyak - Kandungan sulfur banyak
2.1.7. Komposisi Kimia Batubara
Analisa fasa dengan metode XRD dilakukan pada keempat batubara dari berbagai sumber untuk mendapatkan data komposisi mineral. Data pengukuran XRD dan hasil analisa kualitatif disajikan dalam tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2. Komposisi Kimia Batubara
32 La2O3 0,002(001) lebih berpotensi menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih mempunyai nilai kalor sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar (Munir, 2008).
Dari proses pembakaran batubara pada unit pembangkit uap (boiler) akan terbentuk dua jenis abu yaitu abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). Komposisi abu batubara yang dihasilkan terdiri dari 10-20 % abu dasar, sedangkan sisanya sekitar 80-90% berupa abu terbang. Abu terbang ditangkap dengan electric precipitator sebelum dibuang ke udara melalui cerobong (Edy, 2007).
2.2.1. Abu Terbang (fly ash)
Abu terbang hasil pembakaran batubara umumnya dilepaskan ke atmosfir tanpa adanya pengendalian, sehingga dapat menimbulkan pencemaran udara. Oleh karena itu diperlukan adanya perhatian terhadap lingkungan dan pengendalian pencemaran terhadap abu terbang sebelum dilepaskan ke alam. Di Amerika, abu terbang umumnya disimpan sementara pada pembangkit listrik tenaga batubar, dan akhirnya dibuang di landfill (tempat pembuangan). Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Oleh karena itu dilakukan berbagai penelitian untuk meningkatkan nilai ekonomisnya, sehingga dapat mengurangi dampak buruknya bagi lingkungan (Munir, 2008).
2.2.2. Jeni-Jenis Abu Terbang
Menurut American Society for testing and Materials (ASTM) C618, pembagian abu terbang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu abu terbang kelas C dan abu terbang kelas F. Abu terbang kelas F didapatkan dari pembakaran batubara antrasit dan bituminous, sedangkan abu terbang kelas C didapatkan dari pembakaran batubara lignit dan sub-bituminous (ASTM, 1997).
Pembakaran dari batubara antrasit dan bituminous yang lebih kuat dan dan lebih tua akan menghasilkan abu terbang kelas F. Abu terbang jenis ini mengandung kurang dari 10% kapur (CaO). Abu terbang kelas F membutuhkan agen penyemen (cemment agent), seperti misalnya semen Portland, dan dengan adanya air untuk bereaksi dan menghasilkan senyawa semen (Djiwantoro, 2001).
Menurut SNI S-15-1990-F tentang spesifikasi abu terbang sebagai bahan tambahan untuk campuran beton, abu batubara (fly ash) digolongkan menjadi 3 jenis yaitu :
- Kelas C : Abu terbang (fly ash) yang dihasilkan dari pembakaran batubara jenis lignite dan subbitumious.
- Kelas N : Pozzolan alam, seperti tanah diatome, shale tufa, abu gunung berapi atau pumic
2.2.3. Komposisi Abu Terbang
Komposisi kimia dari batubara dan abu terbang hasil pembakaran batubara dapat dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini.
Tabel 2.3. Hasil Analisis Unsur Trace Dengan X-Ray Fluoresence Portable
22 Perak Ag 0,157
23 Paladium Pd 0,070
24 Niobium Nb 0,031
25 Bismut Bi -
(Mistryanto, 2015).
Ukuran dan bentuk karakteristik dari partikel abu terbang sangat bergantung pada tempat asal dan kesamaan dari batu bara, derajat penghancuran sebelum dibakar, pembakaran yang merata dan sistem padat, berlunbang atau bola. Pembakaran batubara dapat menghasilkan abu terbang dengan berbagai macam warna, hal ini sangat bergantung pada suhu di dalam tungku pada saat pembakaran. Proses pembakran ini memiliki peranan penting terhadap mutu abu terbang yang dihasilkan. Abu terbang akan berwarna kehitam-hitaman apabila suhu pada saat kurang dari 1000C (pembakran tidak sempurana) dan akan berwarna abu-abu apabila pembakaran tersebut dilakukan pada suhu 10000C (pembakran sempurna). Perbedaan inin adanya kandungan karbon yang belum terbakar (Tripathi, 2003).
2.2.4. Pengolahan Limbah B-3
Menurut PP 18 tahun 1999, PP 85 tahun 1999 abu terbang (fly ash) digolongkan sebagai limbah B-3 (bahan berbahaya dan beracun) dengan kode limbah D 223 dengan bahan pencemar utama adalah logam berat, yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B-3) adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya atau beracun karena sifat, dan konsentrasinya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan, merusak dan dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya (PP 85 tahun 1999).
Juga tidak boleh melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi zat racun dan bahaya limbah B-3, karena pada hakekatnya pengenceran tidak mengurangi beban pencemaran yang ada dan tetap sama dengan sebelum dilakukan pengenceran. Dengan kata lain pengenceran tidak akan menghilangkan sifat berbahaya dan beracunnya limbah B-3 tersebut bahkan memperbanyak volume, hal ini berlawanan dengan prinsip reduce.
Pemanfaatan limbah B-3 adalah kegiatan penggunaa kembali (reuse),
daur ulang (recyle), perolehan kembali (recover ) yang bertujuan untuk mengubah limbah B-3 menjadi produk yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi lingkungan (PerMen LH No.2/2008). Disamping itu dengan pemanfaatan limbah B-3 sekaligus dapat mengurangi jumlah limbah B-3, penghematan sumber daya alam dan meminimisasi potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Reuse adalah penggunaan kembali limbah B-3 dengan tujuan yang sama tanpa melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi dan/atau secara termal. Recycle adalah mendaur ulang komponen-komponen yang bermanfaat melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi, dan/atau secara termal yang menghasilkan produk yang sama atau produk yang berbeda. Recovery adalah perolehan kembali komponen-komponen yang bermanfaat secara fisika,kimia, biologi atau secara termal. Skala prioritas pemanfaatan limbah B-3 dimulai dari pemanfaatan secara reuse, kemudian dengancara recycle, dan terakhir dengan cara
recovery. Kegiatan pemanfaatan limbah B-3 tersebut dilakukan dengan mengutamakan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta perlindungan lingkungan hidup dengan menerapkan prinsip kehati-hatian.
Menurut Marinda Putri, 2006, abu batubara memiliki berbagai kegunaan seperti bahan baku keramik, gelas, dan refraktori bahan penggosok (polisher),
filter aspal, plastik dan kertas serta pengganti dan bajan baku semen.
Radionuklida adalah sebuah atom dengan inti yang tidak stabil yang ditandai dengan kelebihan energi sehingga akan memancarkan radiasi, baik radiasi alpa, beta, dan gamma. Radionuklida dibagi menjadi dua bagian, yaitu radionuklida alam dan radionuklida buatan.
2.3.1. Radionuklida Alam
Radionuklida alam ada sejak terbentuknya alam semesta, dan terdiri dari Uranium, Thorium, Kalium, dan unsur lainnya yang banyak terdapat dalam tanah dan juga batuan. Mineral Uranium terdapat dalam kerak bumi pada semua jenis batuan terutana batuan granit dengan kadar 3-4 gram per 1 ton batuan. Pada umumnya Uranium dalam batuan terdistribusi secara merata dan dapat dijumpai dalam mineral uranit maupun oksida komplek euksinit betafit. Uranit merupakan mineral yang kandungan utamanya adalah Uranium (80%) sedangkan euksinit betafit kandungan uraniumnya 20%. Uranium memiliki beberapa isotop dengan kelimpahan yang berbeda yaitu 99,275% (238U), 0,72% (235U) dan 0,005 (234U) (Barnes, 1983).
2.3.2. Radionuklida Buatan
Radionuklida buatan dihasilkan dari pemanfaatan energi nuklir, seperti radionuklida dari pembangkit listrik tenaga nuklir. Industri yang berkaitan dengan pembangkit listrik tenaga nuklir terdiri dari penambangan Uranium, yang kemudian diolah menjadi bahan bakar, fabrikasi bahan bakar, pembangkit listrik dalam reaktor. Dari setiap tahapan daur bahan bakar tersebut akan dihasilkan bahan radionukida dengan jenis dan jumlah yang berbeda-beda.
2.4. Analisis Radionuklida
dilakukan analisa kuantitatif untuk menentukan besar konsentrasi/kadar unsur radionuklida dalam sampel dalam satuan ppm.
2.4.1. Analisa Kualitatif
Analisa kualitatif dilakukan dengan identifikasi unsur yang terkandung dalam bahan acuan standart untuk menentukan banyaknya dan jenis unsur yang terkandung dalam sampel. Analisa kualitatif ini dilakukan dengan cara membandingkan puncak spektrum gamma yang muncul pada layar komputer, atau dengan kata lain dengan menentukan tenaga dari puncak-puncak kemudian mencocokkan dengan tabel energi (Rina, dkk 2002)
2.4.2. Analisa Kuantitatif
Analisa kuantitatif dilakukan dengan cara komparatif (perbandingan) antara spektrum sampel dan standar dari unsur yang dianalisis dilakukan secara nisbi. Data cacah sampel yang diuji dibandingkan dengan sampel standar yang sudah diketahui kadarnya.
Untuk menghitung kadar dalam sampel digunakan metode relatif atau komparatif, untuk itu diperlukan cuplikan standar yang mengandung unsur yang akan ditentukan, yang jumlah dan komposisi telah diketahui dengan pasti. Sampel standar tersebut disiapkan dengan perlakuan yang sama seperti sampel yang akan diselidiki dan diiradiasi bersama-sama, sehingga mengalami paparan neutron yang sama besarnya. Dengan membandingkan laju cacah sampel dan standar dapat dihitung kadar unsur didalam sampel sepert rumus pada persamaan 1.
W =
x Wstandar ...(1) dengan:
(Cps)sampel = laju cacah sampel
(Cps)standar = laju cacah standar (Sardjono, 2008).
Dalam penelitian ini, analisa kuantitatif dilakukan dengan cara uji mutu internal untuk menentukan kandungan unsur dalam Standard Refference Material (SRM) NIST 278 Hard Rock dan NIST 274 Montana Soil. Hasil yang diperoleh akan dibandingkan terhadap nilai sertifikat dari SRM yang bersangkutan dan dihitung nilai Z score untuk mengetahui validitas data yang dihasilkan.
Ralat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ralat terhadap luasan daerah energi yang berpengaruh terhadap kuantitas unsur yang akan dianalisis. Skala terkecil dari Spektrometer Gamma adalah 0,01 Cps. Deviasi kuantitas dapat dicari dengan menggunakan persamaan 2 berikut :
Swci =√
(
)
...(2) Dimana :
Swci = ketidakpastian kadar sampel ke-i Wstd = Kadar standar
Cps0std = Cacah awal standar
tci = Waktu tunda cuplikan ke-i
T = Waktu paruh
Scpstci = Ketidakpastian cacah cuplikan ke-i saat tci
Cps0ci = Cacah cuplikan awal ke-i
tstd = Waktu tunda standar
2.5. Neutron
Sebelum ditemukannya neutron, inti atom dianggap tersusun atas proton dan elektron. Pada tahun 1932, Chadwich mengidentifikasi radiasi yang belum diketahui sebagai partikel netral dengan massa yang hampir sama dengan proton dan Chadwich dikenal sebagai penenmu proton. Reaksi yang terjadi antara neutron dengan materi merupakan reaksi inti yang secara umum digambarkan dengan persamaan :
a + X Y + b dimana :
a = partikel penumbuk X = Inti target
Y = Inti hasil
b = Partikel hasil (Kurniawan, 2003)
2.5.1. Interaksi Neutron dengan Materi
Neutron adalah partikel yang tidak memiliki muatan. Neutron mempunyai massa sebesar 1,008665 sma sama dengan 1838,5 kali massa elektron atau 1,004 kali massa proton. Sifat neuton yang tidak memiliki muatan menjadikan partikel ini tidak dipengaruhi oleh gaya coulomb dalam interaksinya dengan materi, sehingga neutron dengan energi sangat rendah sekalipun dapat mendekati bahkan menembus inti dan dapat menghasilkan reaksi inti.
Ada beberapa jenis reaksi yang dapat terjadi antara neutron dengan materi :
Dalam peristiwa ini neutron mendekati inti atom dan arah geraknya segera dibelokkan oleh medan inti atau neutron benar-benar memasuki inti atom, namun sebelum terjadi reaksi neutron-inti, neutron tersebut lepas lagi dari nt at , e ngga nt at dan neutr n t da engala peruba an bentu . a buran n dapat berupa a buran ela t apab la eadaan nt tatap epert e ula, d nan pada energ neutr n renda dar , e a ap e . u la entu linear dan jumlah energi neutron datang dan inti target sebelum dan sesudah tumbukan sama besar. Jika keadaan inti berubah menjadi tereksitasi, dominan pada energi neutron di atas 10 MeV, maka hamburan yang terjadi adalah hamburan tak elastis. Sebagian energi neutron datang digunakan untuk mengeksitasi inti target sehingga jumlah momentum linear dan jumlah energi neutron datang dan energi inti target sebelum maupun sesudah tumbukan tidak sama besar.
b. Tangkapan Neutron
Neutron yang telah masuk kedalam inti tetap tinggal di dalam inti. Dalam hal ini neutron mengalami interaksi yang dikenal sebagai tangkapan neutron. Interaksi jen n dapat enga bat an terpancarnya rad a e under berupa , pr t n, deutr n, α atau part el yang la n.
zXA + 0n1z CA+1* zYA+1+
dimana :
zXA = Inti target
0n1 = Neutron penembak zCA+1* = inti gabung
zYA+1 = inti hasil
Reaksi ini merupakan dasar dari analisis unsur kelumit dengan menggunakan metode analisa aktivasi neutron.
Neutron yang ditembakkan pada inti ringan akan mengakibatkan pemancaran part el epert (n,p), (n,α), (n,βn). Rea n d ebut rea pe ancaran part el.
d. Reakasi Fisi
Beberapa inti berat akan terbelah menjadi dua inti yang lebih ringan saat menangkap neutron. Reaksi ini dinamakan reaksi fisi.
Reaksi fisi :
0n1+ 92U235 92U236 56Ba141 + 36Kr92 + 30n1
Fisi merupakan hasil interaksi inti dengan gaya coulomb dalam inti berat. Energi ikat inti total naik sesuai dengan nomor massa A, sedangkan energi tolakan coulomb proton naik lebih cepat sesuai nomor atom Z (Kurniawan, 2003).
2.6. Prinsip Dasar Metode AAN
dibawah ini.
Gambar 2.1. Prinsip dasar Analisa Aktivasi Neutron (AAN) (Rina, 2002). Metode AAN memiliki tingkat sensitivitas, akurasi dan presisi yang baik, dan mampu untuk menganalisis multi unsur kelumit (40 – 50 unsur) dalam satu kali pengukuran. Metode ini dapat digunakan untuk menganalisis sampel dari berbagai bidang seperti sampel lingkungan, biologis, kesehatan, geologi dan sebagainya (Wardani, dkk 2000).
2.7. Spektrometer Gamma
Spektrometer Gamma merupakan alat analisis yang digunakan untuk identifikasi radionuklida pemancaran sinar gamma. Analisis dilakukan dengan cara mengamati spektrum karakteristik yang ditimbulkan oleh interaksi radiasi dengan material detektor. Pada Spektrometer Gamma ini detektor yang digunakan adalah detektor HPGe. Detektor HPGe ini dapat berfungsi dengan baik dan dapat bekerja optimal sebagaimana yang diharapkan jika detektor senantiasa didinginkan sampai temperatur -1960C dengan menggunakan nitrogen cair pada sekeliling detektor tersebut , untuk mengatasi arus bocor balik dimana arus bocor balik tersebut akan menghasil noice dan merusak daya detektor (EG & GORTEC) (Noviarty, dkk 2009).
Spektrometri Gamma dapat didefenisikan sebagai suatu cara pengukuran dan identifikasi zat-zat radioaktif dengan jalan mengamati spektrum karakteristik yang ditimbulkan oleh interaksi foton gamma yang dipancarkan oleh zat-zat radioaktif tersebut dengan materi detektor. Dewasa ini detektor Spektrometer – yang laz dipakai adalah :
1. Detektor sintilasi NaI(Ti)
Rangkaian alat alat pencacah spektrometer gamma dapat digambarkan pada gambar 2.2 dibawah ini.
Gambar 2.2. Rangkaian alat pencacah Spektrometer Gamma (Susetyo, 1988).
2.7.1. Detektor HPGe
Detektor HPGe merupakan salah satu alat yang banyak dipergunakan untuk pencacahan radionuklida secara relatif, sehingga detektor ini perlu dikalibrasi sebelum digunakan. Selama ini untuk kalibrasi efesiensi detektor HPGe sering dilakukan dengan memakai sumber standar 152Eu ebaga u ber tandar “ ult
ga a”, atau e a a u ber tandar ca puran C -60, Cs-137, Cs-134 dll
(Pujadi, dkk . 1999)
2.7.2. Penguat awal (Pre amplifier)
pada keluaran detektor. Selain itu, penguata awal juga memegang peran penting untuk mengurangi derau (noise).
2.7.3. Penguat (Amplifier)
Pulsa keluaran detektor telah diubah dari pulsa muatan ke pulsa tegangan oleh penguat awal. Selanjutnya pulsa tersebut dikirim sebagai masukan dari penguat. Penguat yang dipakai adalah jenis penguat yang peka tegangan atau penguat linear. Pulsa dipertinggi sampai mencapai amplitudo yang dapat dianalisis dengan alat penganalisis tinggi pulsa. Penguat berfungsi untuk mempertinggi pulsa selain itu berfungsi untuk memberi bentuk pulsa.
2.7.4. Penganalisis Saluran Ganda (MCA)
Penganalisis saluran ganda boleh dianggap gabungan dari banyak penganalisis saluran tunggal dan dapat membuat spektrum- ecara e al gu . Fung uta a MCA adalah mengolah dan membuat kurva grafik spektrum tinggi pulsa yang masuk sehingga diperoleh hubungan antara tinggi pulsa yag ditunjukkan oleh nomor salur dengan jumlah cacah tiap salur (Kurniawan, 2003).
Penghitungan laju cacah dilakukan setelah sampel dibiarkan selama beberapa waktu sesuai dengan waktu paruhnya dengan menggunakan perangkat Spektrometer Gamma. Sebelum proses pencacahan dilakukan terlebuh dahulu kalibrasi pada perangkat Spektrometer Gamma. Ada dua jenis kalibrasi dalam proses ini, yaitu :
1. Kalibrasi Energi
Analisa kuantitatif secara mutlak dalam Spektrometer Gamma membutuhkan kalibrasi efisiensi. Dalam penelitian ini analisa kuantitatif dilakukan secara nisbi sehingga kalibrasi efisiensi tidak dilakukan.
Dalam penelitian ini pengukuran laju cacah atau pencacahan dilakukan dengan menempatkan sampel dalam detektor HPGe dan tiap cuplikan dicacah sebanyak tiga kali. Pencacahan ini menggunakan Analisa Spektrum Software Genie-2000. (Manual Genie 2000 versi 3.2.1)