STUDI PENGARUH PERLAKUAN PANAS PADA
HASIL PENGELASAN BAJA ST37 DITINJAU DARI
KEKUATAN TARIK BAHAN
SKRIPSI
Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
IMBARKO
NIM. 050401073
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karunia dan rahmatNya yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Tugas Sarjana ini.
Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk dapat lulus menjadi Sarjana Teknik di Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. Adapun Skripsi yang dipilih, diambil dari mata kuliah Teknik Pengelasan, yaitu “ Studi Pengaruh Perlakuan Panas Pada Hasil Pengelasan Baja ST37
Ditinjau Dari Kekuatan Tarik Bahan ”.
Dalam penulisan Skripsi ini, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan pembahasan dan penyajian, baik dengan disiplin ilmu yang diperoleh dari perkuliahan, menggunakan literatur serta bimbingan dan arahan dari Dosen Pembimbing.
Pada kesempatan ini, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua Orang Tua penulis, Ayahanda tercinta dan Ibunda tercinta yang terus membimbing dan mengarahkan penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Armansyah Ginting, M.Eng selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya membimbing penulis dalam
menyelesaikan Skripsi ini.
3. Bapak Dr.-Ing. Ikhwansyah Isranuri dan Bapak Tulus Burhanuddin Sitorus, ST. MT serta Bapak Ir. Tugiman, MT selaku Ketua dan Sekretaris serta Koordinator Skripsi Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik USU.
4. Bapak/Ibu Staff Pengajar dan Pegawai di Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik USU.
5. Kakak dan teman-teman tersayang, terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan baik berupa moril dan materil selama kuliah hingga menyelesaikan Skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan di masa mendatang.
Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini berguna bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menyertai kita.
Medan, Mei 2010 Penulis,
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas yaitu pengerasan dan pelunakan pada hasil pengelasan baja ST37 ditinjau dari kekuatan tarik bahan. Proses pengerasan dan pelunakan dilakukan pada suhu 850 0C dan untuk proses pengerasan digunakan media pendingin Oli Mesran SAE 40.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan menggunakan Baja ST37 produksi PT. KRAKATAU STEEL sebagai bahan spesimen uji tarik. Spesimen uji tarik disiapkan sesuai standard ASTM E8. Baja ST37 yang digunakan adalah dalam golongan low carbon steel dengan komposisi kimia C = 0,12 %, Si = 0,10 %, Mn = 0,50 %, S = 0,05 %, P = 0,04 %, Al = 0,02 %, Cu = 0,10, dan yang sisanya Fe. Logam sesuai geometri spesimen ASTM E8 dipotong dan dilas dengan arus 80 A menggunakan las SMAW DC elektroda E6013 diameter 2,6 mm dengan tipe sambungan yang digunakan adalah butt joint.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai kekuatan tarik pada metal dasar adalah sebesar 46,05 kg/mm2. Nilai kekuatan tarik paling rendah adalah 33,13 kg/mm2 terjadi pada perlakuan pelunakan yang berarti mengalami penurunan sebesar 28,06 % dari kelompok metal dasar. Sedangkan kekuatan tarik yang paling tinggi terjadi pada perlakuan pengerasan dengan media pendingin Oli Mesran SAE 40 sebesar 49,53 kg/mm2 yang berarti mengalami peningkatan kekuatan tarik sebesar 7,56 % dari metal dasar. Untuk nilai pertambahan panjang paling tinggi adalah 40,10 % terjadi pada metal dasar. Nilai pertambahan panjang paling rendah adalah 15,43 % terjadi pada perlakuan pengerasan yang berarti mengalami penurunan sebesar 61.52 % dari kelompok metal dasar. Bentuk penampang patahan yang terjadi dalam pengujian tarik baja ST37 pada spesimen original, spesimen las original, dan spesimen las diikuti dengan perlakuan pelunakan merupakan patahan ulet. Sedangkan bentuk penampang yang terjadi pada spesimen las diikuti dengan perlakuan pengerasan merupakan patahan getas.
Pada penelitian ini ada ditemui perbedaan nilai pengukuran pada setiap kelompok las tanpa perlakuan panas, kelompok las dengan perlakuan panas untuk pengerasan dan kelompok las dengan perlakuan panas untuk pelunakan. Perbedaan tersebut terjadi dipengaruhi akibat beberapa hal antara lain : geometri spesimen, distribusi panas daerah HAZ yang tidak merata, hasil las yang tidak merata, dan tegangan sisa pada hasil las.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ...iii
DAFTAR ISI ... .iv
DAFTAR TABEL ... .... vii
DAFTAR GAMBAR ... ... viii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah/Batasan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Sistematika Penulisan ... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Pengelasan ... 6
2.2 Las Busur Listrik ... 6
2.3 Arus Pengelasan ... 8
2.4 Elektroda ... 9
2.5 Pengelasan Baja Karbon ... 10
2.6 Daerah Pengaruh Panas (HAZ) ... 11
2.7 Tipe Sambungan ... 13
2.8 Perlakuan Panas... 14
2.9 Pengujian Tarik ... 18
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 21
3.1 Populasi Dan Sampel ... 21
3.2 Variabel Penelitian ... 21
3.2.1 Variabel Bebas ... 22
3.3.2 Variabel Terikat ... 22
3.3.3 Variabel Control ... 22
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 22
3.3.2 Proses Pengumpulan Data ... 23
3.3.3 Dimensi Benda Uji ... 24
3.3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 24
3.3.5 Proses Pengujian Tarik ... 31
3.3.6 Diagram Alir Penelitian ... 33
BAB 4. DATA HASIL PENELITIAN ... 34
4.1 Pengujian Tarik Spesimen Original ... 34
4.1.1 Bentuk Patahan Yang Terjadi Pada Metal DaSar ... 36
4.2 Pengujian Tarik Spesimen Las Original ... 37
4.2.1 Perpatahan Pada Spesimen Las Original ... 41
4.2.2 Daerah Pengaruh Panas (HAZ) Pada Spesimen Las Original ... 42
4.3 Pengujian Tarik Spesimen Las Diikuti Dengan Perlakuan Hardening .... 45
4.3.1 Bentuk Patahan Yang Terjadi Pada Spesimen Las Diikuti Dengan Perlakuan Hardening ... 49
4.3.2 Daerah Pengaruh Panas (HAZ) Pada Spesimen Las Diikuti Dengan Perlakuan Hardening ... 50
4.4 Pengujian Tarik Spesimen Las Diikuti Dengan Perlakuan Full Annealing ... 50
4.4.1 Bentuk Patahan Yang Terjadi Pada Spesimen Las Diikuti Dengan Perlakuan Full Annealing ... 55
4.4.2 Daerah Pengaruh Panas (HAZ) Pada Spesimen Las Diikuti Dengan Perlakuan Full Annealing ... 56
BAB 5. DISKUSI ... 57
5.1 Kekuatan Maksimum (Ultimate Strength) Tiap Spesimen ... 57
5.2 Kekuatan Luluh (Yield Strength) Tiap Spesimen ... 58
5.3 Pertambahan Panjang (Elongation) Tiap Spesimen ... 60
5.4 Batas Proporsional (Proportional Limit) Tiap Spesimen ... 61
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
5.1 Kesimpulan ... .64 5.2 Saran ... .65
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Hubungan Diameter Elektroda Dengan Arus Pengelasan ... ... 8
Tabel 3.1 Daftar Keterangan Dimensi Gambar ... 24
Tabel 3.2 Hubungan Antara Material Dasar Dan Tipe Elektroda Yang Dipakai ... 27
Tabel 3.3 Spesifikasi Elektroda Terbungkus Dari Baja Lunak ... 27
Tabel 4.1 Komposisi Kimia Baja ST37 ... 34
Tabel 4.2 Mechanical Properties Baja ST37 ... 35
Tabel 4.3 Data Hasil Pengujian Tarik Untuk Metal Dasar (Tanpa Las) ... 35
Tabel 4.4 Data Hasil Pengujian Tarik Untuk Material Dilas Tanpa Heat Treatment. ... 40
Tabel 4.5 Data Hasil Pengujian Tarik Untuk Material Dilas Diikuti Dengan Perlakuan Hardening ... 46
Tabel 4.6 Data Hasil Pengujian Tarik Untuk Material Dilas Diikuti Dengan Perlakuan Full Annealing ... 52
Tabel 5.1 Perbandingan Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Setiap Kondisi Perlakuan Kelompok Benda Uji ... 57
Tabel 5.2 Data Hasil Pengujian Tarik Ultimate Strength Tiap Spesimen ... 57
Tabel 5.3 Data Hasil Pengujian Tarik Yield Strength Tiap Spesimen ... 58
Tabel 5.4 Data Hasil Pengujian Tarik Elongation Tiap Spesimen ... 60
Tabel 5.5 Data Hasil Pengujian Tarik Prop. Limit Tiap Spesimen ... 61
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Las Busur Dengan Elektroda Terbungkus ... ... 7
Gambar 2.2 Elektroda Las ... 9
Gambar 2.3 Daerah Las ... 11
Gambar 2.4 Siklus Termal Las ... 12
Gambar 2.5 Jenis Sambungan yang Biasa Digunakan dalam Proses Pengelasan .... 13
Gambar 2.6 Diagram Keseimbangan Fe-Fe3C ... 16
Gambar 2.7 Kurva Pendinginan Pada Diagram TTT ... 17
Gambar 2.8 Kurva Tegangan-Regangan ... 20
Gambar 3.1 Spesimen Uji Tarik ... 24
Gambar 3.2 Mesin Gerinda Potong ... 25
Gambar 3.3 Baja ST37 Yang Akan Dilas ... 25
Gambar 3.4 Mesin Las ... 26
Gambar 3.5 Elekroda ... 26
Gambar 3.6 Mesin Gerinda Tangan ... 28
Gambar 3.7 Mesin Milling ... 28
Gambar 3.8 Tungku Pemanas ... 29
Gambar 3.9 Tang penjepit ... 29
Gambar 3.10 Wadah Pendingin Oli ... 30
Gambar 3.11 Spesimen yang telah didinginkan dalam furnace ... 30
Gambar 3.12 Spesimen Uji Tarik ... 31
Gambar 3.13 Alat Uji Tarik ... 31
Gambar 3.14 Spesimen Setelah Mengalami Uji Tarik ... 32
Gambar 3.15 Proses Uji Tarik Dipantau Pada Monitor ... 32
Gambar 3.16 Diagram Alir Penelitian ... 33
Gambar 4.1 Diagram Data Hasil Pengujian Tarik Untuk Metal Dasar ... 36
Gambar 4.2 Bentuk Penampang Patahan Pada Metal Dasar ... 36
Gambar 4.3 Tahapan Terjadinya Perpatahan Ulet Pada Sampel Uji Tarik Pada Metal Dasar ... 37
Gambar 4.5 Diagram Yield Strength Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Baja Dilas Tanpa Heat Treatment ... 40 Gambar 4.6 Diagram Elongation Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Baja Dilas
Tanpa Heat Treatment ... 41 Gambar 4.7 Diagram Prop. Limit Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Baja Dilas
Tanpa Heat Treatment ... 41 Gambar 4.8 Bentuk Penampang Patahan Pada Baja Dilas Tanpa Heat Treatment .. 42
Gambar 4.9 Tahapan Terjadinya Perpatahan Ulet Pada Sampel Uji Tarik Pada Baja Dilas Tanpa Heat Treatment ... 42 Gambar 4.10 Diagram Ultimate Strength Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Baja
Dilas Diikuti Dengan Perlakuan Hardening ... 47 Gambar 4.11 Diagram Yield Strength Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Baja Dilas
Diikuti Dengan Perlakuan Hardening ... 47 Gambar 4.12 Diagram Elongation Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Baja Dilas
Diikuti Dengan Perlakuan Hardening ... 48 Gambar 4.13 Diagram Prop. Limit Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Baja Dilas
Diikuti Dengan Perlakuanl Hardening ... 48 Gambar 4.14 Bentuk Penampang Patahan Pada Baja Dilas Diikuti Dengan
Perlakuan Hardening ... 49 Gambar 4.15 Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik pada baja
dilas diikuti dengan perlakuan hardening ... 49 Gambar 4.16 Diagram Ultimate Strength Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Baja
Dilas Diikuti Dengan Perlakuan Full Annealing ... 53
Gambar 4.17 Diagram Yield Strength Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Baja Dilas Diikuti Dengan Perlakuan Full Annealing ... 53 Gambar 4.18 Diagram Elongation Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Baja Dilas
Diikuti Dengan Perlakuan Full Annealing ... 54
Gambar 4.19 Diagram Prop. Limit Dari Hasil Pengujian Tarik Pada Baja Dilas Diikuti Dengan Perlakuan Full Annealing ... 54 Gambar 4.20 Bentuk Penampang Patahan Pada Baja Dilas Diikuti Dengan
Gambar 4.21 Tahapan Terjadinya Perpatahan Ulet Pada Sampel Uji Tarik Pada Baja Dilas Diikuti Dengan Perlakuan Full Annealing ... 55 Gambar 5.1 Diagram Data Hasil Pengujian Tarik Ultimate Strength Tiap
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas yaitu pengerasan dan pelunakan pada hasil pengelasan baja ST37 ditinjau dari kekuatan tarik bahan. Proses pengerasan dan pelunakan dilakukan pada suhu 850 0C dan untuk proses pengerasan digunakan media pendingin Oli Mesran SAE 40.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan menggunakan Baja ST37 produksi PT. KRAKATAU STEEL sebagai bahan spesimen uji tarik. Spesimen uji tarik disiapkan sesuai standard ASTM E8. Baja ST37 yang digunakan adalah dalam golongan low carbon steel dengan komposisi kimia C = 0,12 %, Si = 0,10 %, Mn = 0,50 %, S = 0,05 %, P = 0,04 %, Al = 0,02 %, Cu = 0,10, dan yang sisanya Fe. Logam sesuai geometri spesimen ASTM E8 dipotong dan dilas dengan arus 80 A menggunakan las SMAW DC elektroda E6013 diameter 2,6 mm dengan tipe sambungan yang digunakan adalah butt joint.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai kekuatan tarik pada metal dasar adalah sebesar 46,05 kg/mm2. Nilai kekuatan tarik paling rendah adalah 33,13 kg/mm2 terjadi pada perlakuan pelunakan yang berarti mengalami penurunan sebesar 28,06 % dari kelompok metal dasar. Sedangkan kekuatan tarik yang paling tinggi terjadi pada perlakuan pengerasan dengan media pendingin Oli Mesran SAE 40 sebesar 49,53 kg/mm2 yang berarti mengalami peningkatan kekuatan tarik sebesar 7,56 % dari metal dasar. Untuk nilai pertambahan panjang paling tinggi adalah 40,10 % terjadi pada metal dasar. Nilai pertambahan panjang paling rendah adalah 15,43 % terjadi pada perlakuan pengerasan yang berarti mengalami penurunan sebesar 61.52 % dari kelompok metal dasar. Bentuk penampang patahan yang terjadi dalam pengujian tarik baja ST37 pada spesimen original, spesimen las original, dan spesimen las diikuti dengan perlakuan pelunakan merupakan patahan ulet. Sedangkan bentuk penampang yang terjadi pada spesimen las diikuti dengan perlakuan pengerasan merupakan patahan getas.
Pada penelitian ini ada ditemui perbedaan nilai pengukuran pada setiap kelompok las tanpa perlakuan panas, kelompok las dengan perlakuan panas untuk pengerasan dan kelompok las dengan perlakuan panas untuk pelunakan. Perbedaan tersebut terjadi dipengaruhi akibat beberapa hal antara lain : geometri spesimen, distribusi panas daerah HAZ yang tidak merata, hasil las yang tidak merata, dan tegangan sisa pada hasil las.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan teknologi dibidang konstruksi, pengelasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan dan peningkatan industri, karena mempunyai peranan yang sangat penting dalam rekayasa dan
reparasi produk logam. Hampir pada setiap pembangunan suatu konstruksi dengan logam melibatkan pekerjaan pengelasan.
Pengelasan bukan tujuan utama dari konstruksi. Pengelasan merupakan sarana untuk mencapai tujuan perencanaan konstruksi yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, rancangan las dan cara pengelasan harus memperhatikan kesesuaian antara sifat fisis dan mekanis dari logam las dengan kegunaan konstruksi serta keadaan di sekitarnya.
Proses pengelasan merupakan proses penyambungan logam yang paling banyak digunakan pada saat ini. Pengelasan mempunyai banyak keuntungan antara lain : praktis, hasilnya dapat diandalkan, effisien, dan ekonomis. Shielded Metal Arc Welding (SMAW) atau Las elektroda terbungkus merupakan proses pengelasan yang paling banyak digunakan (Wiryosumarto dan Okumura; 2004).
Dalam proses pengelasan, bagian yang dilas menerima panas pengelasan setempat. Hal yang perlu diperhatikan pada hasil pengelasan adalah tegangan sisa, karena pada pengelasan terjadi tegangan termal akibat perbedaan suhu antara logam induk dan daerah las. Tegangan sisa pada hasil pengelasan terjadi karena
selama siklus termal las berlangsung di sekitar sambungan las dengan logam induk yang suhunya relatif berubah sehingga distribusi suhu tidak merata (Wiryosumarto dan Okumura; 2004).
Proses perlakuan panas dalam dunia industri merupakan proses yang
Heat Treatment ( perlakuan panas ) adalah salah satu proses untuk mengubah struktur logam dengan jalan memanaskan spesimen pada elektrik furnace ( tungku ) pada temperature yang ditentukan selama periode waktu
tertentu kemudian didinginkan pada media pendingin seperti udara, air, air garam, oli dan solar yang masing-masing mempunyai kerapatan pendinginan yang berbeda-beda. Perlakuan panas adalah proses kombinasi antara proses pemanasan atau pendinginan dari suatu logam atau paduannya dalam keadaan padat untuk
mendapatkan sifat-sifat tertentu. Proses perlakuan panas bertujuan untuk memperoleh logam yang keras, lunak, ulet, meningkatkan mampu mesin, menghilangkan tegangan sisa.
Perlakuan panas yang dilakukan kadang sering diasosiasikan sebagai cara untuk menaikkan kekerasan material, sebenarnya dapat digunakan untuk mengubah sifat tertentu yang berguna atau dengan tujuan tertentu untuk kepentingan manufakturnya, seperti : menaikkan sifat machining, menaikkan sifat mudah dibentuk, mengembalikan elastisitas setelah operasi cold work. Bahkan perlakuan panas bukan hanya sebagai penolong sifat manufaktur, tetapi juga dapat meningkatkan performa material dengan meningkatnya kekuatan atau karakteristik tertentu dari material yang telah diproses laku panas tadi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil kekerasan dalam perlakuan panas antara lain : Komposisi kimia, Langkah Perlakuan Panas, Cairan Pendinginan, Temperatur Pemanasan, dan lain-lain. Proses hardening cukup banyak dipakai di Industri logam atau bengkel-bengkel logam lainnya. Alat-alat permesinan atau komponen mesin banyak yang harus dikeraskan supaya tahan terhadap tekanan
dan gesekan dari logam lain, misalnya roda gigi, poros-poros dan lain-lain yang banyak dipakai pada benda bergerak. Dalam kegiatan produksi, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu produksi adalah merupakan masalah yang sangat sering dipertimbangkan dalam Industri dan selalu dicari upaya-upaya untuk
mengoptimalkannya. Pengoptimalan ini dilakukan mengingat bahwa waktu (lamanya) menyelesaikan suatu produk adalah berpengaruh besar terhadap biaya produksi.
satu upaya untuk memperbaiki sifat dan kualitas komponen seperti full annealing, normalizing, hardening atau tempering.
Proses pengerasan atau hardening adalah suatu proses perlakuan panas
yang dilakukan untuk menghasilkan suatu benda kerja yang keras, proses ini dilakukan pada temperatur tinggi yaitu pada temperatur austenisasi yang digunakan untuk melarutkan sementit dalam austenit yang kemudian di quench.
Pada tahap ini akan menghasilkan terperangkapnya karbon yang akan
menyebabkan bergesernya atom-atom sehingga terbentuk struktur body center tetragonal atau struktur yang tidak setimbang yang disebut martensit yang bersifat keras dan getas.
Pada proses pelunakkan atau full annealing merupakan proses perlakuan panas untuk menghasilkan perlite yang kasar (coarse pearlite) tetapi lunak dengan pemanasan sampai austenitisasi dan didinginkan secara perlahan-lahan dalam tungku pemanas (furnace), yang bertujuan untuk memperbaiki ukuran butir serta dalam beberapa hal juga memperbaiki machinibility.
1.2 Perumusan Masalah/Batasan Masalah
Bertolak dari latar belakang maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah kekuatan tarik yang di miliki baja ST37 setelah di las dengan menggunakan las listrik dan setelah diberikan perlakuan panas ?
2. Berapa besar pengaruh pengelasan dengan menggunakan las listrik dan setelah diberikan perlakuan panas terhadap kekuatan tarik pada daerah HAZ logam induk?
Agar dalam penyusunan skripsi ini lebih mengarah ke tujuan penelitian dengan membatasi pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bahan yang digunakan adalah baja ST37 dengan tebal 3 mm.
2. Pengelasan yang dilakukan adalah pengelasan listrik dengan elektroda terbungkus E 6013 diameter 2,6 mm.
3. Arus listrik yang digunakan dalam proses pengelasan listrik yaitu 80 Ampere. 4. Sambungan yang di gunakan adalah tipe sambungan tumpul (butt joint) dua
5. Suhu yang di gunakan pada perlakuan panas adalah 850 oC. 6. Media pendingin pada perlakuan panasadalah Oli Mesran SAE 40.
1.3Tujuan Penelitian
Dari permasalahan yang dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas pada hasil pengelasan baja ST37 ditinjau dari kekuatan tarik bahan.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah:
a. Bagi dunia pendidikan merupakan suatu pengalaman yang sangat menguntungkan sebagai pengembangan ilmu di bidang pengelasan
b. Sebagai informasi yang penting dalam rangka usaha peningkatan kualitas hasil pengelasan
c. Sebagai literatur pada penelitian sejenisnya dalam rangka pengembangan teknologi khususnya di bidang pengelasan.
1.5Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini akan dibagi dalam beberapa bab. Secara garis besar, isi yang dimuat dalam skripsi ini adalah seperti yang tercakup dalam sistematika penulisan berikut:
BAB 1: PENDAHULUAN
Pada bab ini dijelaskan latar belakang, rumusan masalah/batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistemetika penulisan.
BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini berisikan tinjauan umum tentang pengelasan, parameter
BAB 3: METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas tentang metode yang dijalankan untuk mendapatkan hasil pengujian.
BAB 4: DATA HASIL PENELITIAN
Pada Bab ini akan memaparkan hasil data yang didapat dari hasil pengujian yang telah dilakukan.
BAB 5: DISKUSI
Pada Bab ini akan membahas hasil pengujian yang didapat setelah proses sebelumnya dicapai.
BAB 6: KESIMPULAN DAN SARAN
Pada Bab ini berisikan kesimpulan yang diperoleh dari analisa hasil pengujian yang telah dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelasan
Las dalam bidang konstruksi sangat luas penggunaannya meliputi konstruksi jembatan, perkapalan, industri karoseri dll. Disamping untuk konstruksi las juga dapat untuk mengelas cacat logam pada hasil pengecoran logam, mempertebal yang aus (Wiryosumarto dan Okumura; 2004).
Secara sederhana dapat diartikan bahwa pengelasan merupakan proses penyambungan dua buah logam sampai titik rekristalisasi logam baik menggunakan bahan tambah maupun tidak dan menggunakan energi panas sebagai pencair bahan yang dilas.
Pengertian pengelasan menurut Widharto (2003) adalah salah satu cara untuk menyambung benda padat dengan jalan mencairkannya melalui pemanasan. Berdasarkan definisi dari Deutche Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Wiryosumarto dan Okumura (2004) menyebutkan bahwa
pengelasan adalah penyambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas.
Penyambungan dua buah logam menjadi satu dilakukan dengan jalan pemanasan atau pelumeran, dimana kedua ujung logam yang akan disambung di
buat lumer atau dilelehkan dengan busur nyala atau panas yang didapat dari busur nyala listrik (gas pembakar) sehingga kedua ujung atau bidang logam merupakan bidang masa yang kuat dan tidak mudah dipisahkan (Arifin,1997). Paling tidak saat ini terdapat sekitar 40 jenis pengelasan. Dari seluruh jenis pengelasan tersebut hanya dua jenis yang paling populer di Indonesia yaitu pengelasan dengan menggunakan busur nyala listrik (Shielded metal arc welding/ SMAW) dan las karbit (Oxy acetylene welding/OAW).
2.2Las Busur Listrik
Las busur listrik adalah proses penyambungan logam dengan pemanfaatan
merupakan salah satu jenis las listrik dimana sumber pemanasan atau pelumeran
bahan yang disambung atau di las berasal dari busur nyala listrik. Las busur listrik
dengan metode elektroda terbungkus adalah cara pengelasan yamg banyak di gunakan
pada masa ini, cara pengelasan ini menggunakan elektroda logam yang di bungkus
dengan fluks. Las busur listrik terbentuk antara logam induk dan ujung elektroda,
karena panas dari busur, maka logam induk dan ujung elektroda tersebut mencair dan
kemudian membeku bersama.
Sumber : Wiryosumarto dan Okumura (2004) Gambar 2.1 Las busur dengan elektroda terbungkus
Shielded Metal Arc Welding (SMAW) juga sering disebut sebagai stick welding. Hal ini dikarenakan elektrodenya yang berbentuk stick. Proses pengelasan ini adalah proses pengelasan yang relative paling banyak dan luas penggunaannya.
Electric arc adalah arus elektron yang kontinu mengalir melalui media yang pendek antara dua elektrode (+ dan -) yang diketahui dengan terjadinya energi panas dan radiasi udara atau gas antara elektrode akan diionisir oleh
elektron yang dipancarkan oleh katoda.
Dua faktor yang mempegaruhi pancaran elektron : 1. Temperatur
2. Kekuatan medan listrik
Untuk menimbulkan arc, kedua elektrode dihubungkan singkat dengan cara disentuhkan lebih dahulu (arcstarting) dan pada bagian yang bersentuhan ini akan terjadi pemanasan (temperatur naik), hal ini mendorong terjadinya busur.
Beberapa keuntungan SMAW :
1. Peralatan yang digunakan tidak rumit, tidak mahal, dan mudah dipindahkan 2. Elektrodenya telah terdapat flux
3. Sensitivitasnya terhadap gangguan pengelasan berupa angin cukup baik
4. Dapat dipakai untuk berbagai posisi pengelasan
2.3Arus Pengelasan
Arus pengelasan adalah besarnya aliran atau arus listrik yang keluar dari mesin las. Besar kecilnya arus pengelasan dapat diatur dengan alat yang ada pada mesin las. Arus las harus disesuaikan dengan jenis bahan dan diameter elektroda yang di gunakan dalam pengelasan.
Penggunaan arus yang terlalu kecil akan mengakibatkan penembusan atau penetrasi las yang rendah, sedangkan arus yang terlalu besar akan mengakibatkan terbentuknya manik las yang terlalu lebar dan deformasi dalam pengelasan.
Tabel 2.1 Hubungan Diameter Elektroda dengan Arus Pengelasan
Diameter Elektroda (mm) Arus (Ampere)
2,5 60-90
2,6 60-90
3,2 80-130
4,0 150-190
5,0 180-250
2.4 Elektroda
Pengelasan dengan menggunakan las busur listrik memerlukan kawat las (Elektroda) yang terdiri dari suatu inti terbuat dari suatu logam di lapisi oleh
lapisan yang terbuat dari campuran zat kimia, selain berfungsi sebagai pembangkit, elektroda juga sebagai bahan tambah.
Sumber : Bintoro (2005)
Gambar 2.2 Elektroda las
Elektroda terdiri dari dua jenis bagian yaitu bagian yang bersalut (fluks) dan tidak bersalut yang merupakan pangkal untuk menjepitkan tang las. Fungsi fluks atau lapisan elektroda dalam las adalah untuk melindungi logam cair dari
lingkungan udara menghasilkan gas pelindung, menstabilkan busur, sumber unsur paduan.
Pada dasarnya bila di tinjau dari logam yang di las, kawat elektroda dibedakan menjadi elektroda untuk baja lunak, baja karbon tinggi, baja paduan,
besi tuang, dan logam non ferro. Bahan elektroda harus mempunyai kesamaan sifat dengan logam (Suharto; 1991). Pemilihan elektroda pada pengelasan baja karbon sedang dan baja karbon tinggi harus benar-benar diperhatikan apabila kekuatan las diharuskan sama dengan kekuatan material.
Penggolongan elektroda diatur berdasarkan standar sistem AWS (American Welding Society) dan ASTM (American Society Testing Material). Elektroda jenis
DC. Elektroda dengan kode E6013 untuk setiap huruf dan setiap angka mempunyai arti masing-masing yaitu:
E = Elektroda untuk las busur listrik.
60 = Menyatakan nilai tegangan tarik minimum hasil pengelasan dikalikan dengan 1000 Psi (60.000 Ib/in2) atau 42 kg/mm2.
1 = Menyatakan posisi pengelasan, 1 berarti dapat digunakan untuk pengelasan semua posisi.
3 = Jenis selaput elektroda Rutil-Kalium dan pengelasan dengan arus AC atau DC.
2.5 Pengelasan Baja Karbon
Baja adalah merupakan suatu campuran dari besi (Fe) dan karbon (C), dimana unsur karbon (C) menjadi dasar. Disamping unsur Fe Dan C, baja juga mengandung unsur campuran lain seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), dan mangan (Mn) yang jumlahnya dibatasi.
Baja karbon sedang dan baja karbon tinggi mengandung banyak karbon dan unsur lain dapat memperkeras baja, karena itu daerah pengaruh panas atau HAZ pada baja ini mudah menjadi keras bila dibandingkan baja karbon rendah.
Sifatnya yang mudah menjadi keras ditambah dengan adanya hydrogen difusi menyebabkan baja ini sangat peka terhadap retak las. Disamping itu pengelasan dengan menggunakan elektroda yang sama kuat dengan logam lasnya dengan pemanasan mula dan suhu pemanasan tergantung dari kadar karbon.
Baja karbon adalah baja yang mengandung karbon antara 0,1% - 1,7%.
Berdasarkan tingkatan banyaknya kadar karbon, baja digolongkan menjadi tiga tingkatan :
a. Baja karbon rendah
Yaitu baja yang mengandung karbon kurang dari 0,30%. Baja karbon rendah
b. Baja karbon sedang
Baja ini mengandung karbon antara 0,30% – 0,60 %. Didalam perdagangan biasanya dipakai sebagai alat-alat perkakas, baut, poros engkol, roda gigi,
ragum, pegas dan lain-lain. c. Baja karbon tinggi
Baja karbon tinggi ialah baja yang mengandung kerbon antara 0,6% – 1,5%. Baja ini biasanya digunakan untuk keperluan alat-alat konstruksi yang
berhubungan dengan panas yang tinggi atau dalam penggunaannya akan menerima atau mengalami panas, misalnya landasan, palu, gergaji, pahat, kikir, bor, bantalan peluru, dan sebagainya (Amanto,1999).
2.6 Daerah Pengaruh Panas (HAZ)
Logam akan mengalami pengaruh pemanasan akibat pengelasan dan mengalami perubahan struktur mikro disekitar daerah lasan. Bentuk struktur mikro bergantung pada temperatur tertinggi yang dicapai pada pengelasan, kecepatan pengelasan dan laju pendinginan daerah lasan. Daerah logam yang mengalami perubahan struktur mikro akibat mengalami pemanasan karena pengelasan disebut daerah pengaruh panas (DPP), atau Heat Affected Zone. Daerah hasil pengelasan yang akan kita temui bila kita melakukan pengelasan, yaitu :
Sumber : Ahmad dan Hasman (1994) Gambar 2.3 Daerah Las
1. Logam Las (Weld Metal) adalah daerah dimana terjadi pencairan logam dan dengan cepat kemudian membeku.
3. H A Z ( Heat Affected Zone ) merupakan daerah yang dipengaruhi panas dan juga logam dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat,
sehingga terjadi perubahan struktur akibat pemanasan tersebut disebabkan daerah yang mengalami pemanasan yang cukup tinggi .
4. Logam Induk (Parent Metal) merupakan logam dasar dimana panas dan suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan struktur dan
sifat.
Daerah HAZ merupakan daerah paling kritis dari sambungan las, karena selain berubah strukturnya juga terjadi perubahan sifat pada daerah ini. Secara umum struktur dan sifat daerah panas efektif dipengaruhi dari lamanya pendinginan dan komposisi dari logam induk itu sendiri.
Siklus termal las adalah proses pemanasan dan pendinginan yang terjadi pada daerah lasan. Proses las terjadi proses pemanasan dan juga pendinginan maka dapat dikatakan proses las juga proses heat treatment hanya saja terjadinya lokal, tidak seperti proses heat treatment pada umumnya. Untuk melihat fenomena proses tersebut dapat dilihat pada grafik siklus termal las.
2.7 Tipe Sambungan
Hasil penyambungan logam melalui pengelasan hendaknya mengahasilkan sambungan yang berkualitas dari segi kekuatan dan lapisan las dari bahan atau
logam yang dilas, di mana untuk menghasilkan sambungan las yang berkualitas hendaknya kedua ujung/bidang atau bagian logam yang akan dilas perlu di berikan suatu bentuk kampuh las tertentu (Arifin;1977).
Tujuan utama dari pengelasan adalah untuk mendukung beban, sebagian
beban mekanis dan sebagian untuk mencapi hasil pengelasan dengan kekuatan yang bisa di jamin, maka perlu di kembangkan sebagai bentuk groove (Alip;1989). Untuk memperoleh kekuatan hasil pengelasan yang dapat di jamin kualitasnya, pengelasan sebaiknya menggunakan berbagai bentuk kampuh yang sudah dikembangkan.
Terdapat lima jenis sambungan yang biasa digunakan untuk menyatukan dua bagian benda logam, seperti dapat dilihat dalam gambar 2.3.
Sumber : Teknik Kerja Mesin Dan Las
Gambar 2.5 Jenis sambungan yang biasa digunakan dalam proses pengelasan
a. Sambungan tumpu (butt joint).
kedua bagian benda yang akan disambung diletakkan pada bidang datar yang sama dan disambung pada kedua ujungnya.
b. Sambungan sudut (corner joint).
c. Sambungan tumpang (lap joint).
bagian benda yang akan disambung saling menumpang (overlapping) satu sama lainnya.
d. Sambungan T (tee joint)
satu bagian diletakkan tegak lurus pada bagian yang lain dan membentuk huruf T yang terbalik;
e. Sambungan tekuk (edge joint).
sisi-sisi yang ditekuk dari ke dua bagian yang akan disambung sejajar, dan sambungan dibuat pada kedua ujung bagian tekukan yang sejajar tersebut.
2.8 Perlakuan Panas
Perlakuan panas adalah proses pemanasan dan pendinginan pada logam yang dikontrol untuk merekayasa sifat mekanik dan sifat fisiknya tanpa perlu merubah bentuk produknya. Proses manufaktur seperti pengelasan atau proses pembentukan dimana terjadi proses pemanasan dan pendinginan juga mengacu pada proses perlakuan panas.
Menurut Love (1986), prinsip pengerjaan panas (heat treatment) yang berhubungan dengan perlakuan pada logam yaitu:
a. Hardening ( pengerasan )
Proses hardening atau pengerasan baja adalah suatu proses pemanasan logam dengan cara dipanaskan kemudian didinginkan secara cepat. Tujuannya adalah untuk mendapatkan struktur martensit, semakin banyak unsur karbon, maka struktur martensit yang terbentuk juga akan semakin banyak. Karena
martensit terbentuk dari fase austenit yang didinginkan secara cepat.
Proses hardening atau pengerasan baja adalah suatu proses pemanasan logam sehingga mencapai batas austenit yang homogen. Untuk mendapatkan kehomogenan ini maka austenit perlu waktu pemanasan yang cukup. Selanjutnya
secara cepat baja tersebut dicelupkan ke dalam media pendingin, tergantung pada kecepatan pendingin yang kita inginkan untuk mencapai kekerasan logam
b. Full Annealing (pelunakan)
struktur perlit dengan menggunakan media pendingin udara atau pendinginan dalam furnace. Proses anneling bertujuan untuk mengurangi tegangan sisa, meningkatkan ketermesinan dan menghaluskan bentuk butiran logam.
c. Normalising
Normalising adalah suatu proses pemanasan logam di atas suhu kritis atas kemudian didinginkan secara perlahan-lahan dan dibiarkan dingin di udara terbuka. Prinsip dari proses normalising adalah untuk melunakkan logam. Namun
pada baja karbon tinggi atau baja paduan tertentu dengan proses ini belum tentu memperoleh baja yang lunak. Mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung dari kadar karbon.
d. Tempering
Proses tempering adalah pemanasan logam sampai temperatur di bawah temperature kritis bawah, kemudian didiamkan dalam tungku dan suhunya dipertahankan sampai merata selama 15 menit. Selanjutnya diikuti dengan pendinginan di udara. Jika kekerasan turun, maka kekuatan tarik turun pula. Dalam hal ini keuletan dan ketangguhan logam akan meningkat. Meskipun proses ini akan menghasilkan logam yang lebih lemah. Proses ini berbeda dengan anneling karena dengan proses ini belum tentu memperoleh baja yang lunak, mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung oleh kadar karbon.
Menurut Haqi (2006), hardening dilakukan untuk memperoleh sifat tahan aus yang tinggi dan kekuatan yang lebih baik. Kekerasan yang dapat dicapai tergantung pada kadar karbon dalam baja dan kekerasan yang terjadi akan tergantung pada temperatur pemanasan (temperatur autenitising), holding time
dan laju pendinginan yang dilakukan serta seberapa tebal bagian penampang yang menjadi keras banyak tergantung pada hardenabiliti.
Langkah-langkah proses hardening adalah sebagai berikut : a. Melakukan Pemanasan (Heating)
Sumber : Vlack dan Djaprie (1989) Gambar 2.6 Diagram Keseimbangan Fe-Fe3C
b. Penahanan Suhu (Holding)
Holding time dilakukan untuk mendapatkan kekerasan maksimum dari suatu bahan pada proses hardening dengan menahan pada temperatur pengerasan untuk memperoleh pemanasan yang homogen sehingga struktur austenitnya homogen atau terjadi kelarutan karbida ke dalam austenit dan diffusi karbon dan unsur paduannya. Pedoman untuk menentukan holding time dari berbagai jenis baja:
a. Baja Konstruksi dari Baja Karbon dan Baja Paduan Rendah Yang mengandung karbida yang mudah larut, diperlukan holding time yang singkat, 5 - 15 menit setelah mencapai temperatur pemanasannya dianggap sudah memadai.
b. Baja Konstruksi dari Baja Paduan Menengah Dianjurkan menggunakan holding time 15 -25 menit, tidak tergantung ukuran benda kerja (Haqi, 2006).
c. Pendinginan.
martensite terbentuk dari fase Austenite yang didinginkan secara cepat, sehingga kekerasannya meningkat.
Media pendingin yang digunakan dalam penelitian ini adalah Oli Mesran
SAE 40. Oli Mesran SAE 40 merupakan pelumas produksi PT Pertamina dengan viskositas 40 pada temperatur 100 0C. Penggunaan Oli Mesran SAE 40 sebagai media pendingin akan menyebabkan timbulnya selaput karbon pada spesimen tergantung dari besarnya viskositas dan kadar karbon spesimen. Atas dasar tujuan
untuk memperbaiki sifat baja tersebut, maka peneliti memilih perlakuan hardening dengan menggunakan media pendingin Oli Mesran SAE 40. Perubahan sifat pada baja dapat diketahui dengan cara melakukan pengujian tarik. Mengingat banyaknya jenis baja karbon dan media pendingin maka dalam penelitian ini akan dibatasi pada baja karbon rendah, yaitu baja dengan kadar karbon antara 0,12 %C dan media pendingin Oli Mesran SAE 40, alasan dipilihnya media pendingin Oli Mesran SAE 40 adalah karena Oli Mesran SAE 40 bila digunakan dilingkungan suhu panas akan bersikap sebagai pelumas atau peka terhadap temperature. Penggunaan Oli Mesran SAE 40 ini sebagai media pendingin akan menyebabkan timbulnya selaput karbon pada spesimen tergantung pada besarnya viskositas. Atas dasar tujuan untuk memperbaiki sifat baja tersebut.
Sumber : Beumer (1994)
Dari diagaram pendinginan diatas dapat dilihat bahwa dengan pendinginan cepat (kurva 6) akan menghasilkan struktur martensite karena garis pendinginan lebih cepat daripada (kurva 7) yang merupakan laju pendinginan kritis (critical
cooling rate) yang nantinya akan tetap terbentuk fase austenite (unstable). Sedangkan pada kurva 6 lebih cepat daripada kurva 7, sehingga terbentuk struktur martensite, tetapi bersifat rapuh karena tegangan dalam yang besar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan proses hardening pada baja karbon
akan meningkatkan kekerasanya. Dengan meningkatnya kekerasan, maka efeknya terhadap kekuatan adalah sebagai berikut :
1. Kekuatan impact (impact strength) akan turun karena dengan meningkatnya kekerasan, maka tegangan dalamnya akan meningkat.
2. Kekuatan tarik (tensile sterngth) akan meningkat. Hal ini disebabkan karena pada pengujian tarik beban yang bekerja adalah secara aksial yang berlawanan dengan arah dari tegangan dalam, sehingga dengan naiknya kekerasan akan meningkatkan kekuatan tarik dari suatu material.
2.9 Pengujian tarik
Pengujian tarik bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat mekanik dan perubahan-perubahannya dari suatu logam terhadap gaya tarik yang diberikan. Pengujian ini paling sering di lakukan karena merupakan dasar pengujian-pengujian dan studi mengenai kekuatan bahan. Hasil yang diperoleh dari proses pengujian tarik adalah kurva tegangan, regangan, parameter kekuatan, dan perpanjangan.
Regangan yang dipergunakan pada kurva diperoleh dengan cara membagi perpanjangan panjang ukur dengan panjang awal. Persamaannya yaitu :
)
Pada pengujian tarik, gaya tarik yang diberikan secara perlahan-lahan dimulai dari nol dan berhenti pada tegangan maksimum (Maximum Stress) dari logam yang bersangkutan. Maksimum Stress merupakan batas kemampuan maksimum material mengalami gaya tarik dari luar hingga mengalami fracture (patah), sedangkan Yield Stress merupakan batas kemampuan maksimum material
untuk mengalami pertambahan panjang (melar) sebelum material tersebut mengalami fracture mengikuti hukum Hooke.
)
Dimana: σu= Tegangan Maksimum (N/mm2) Fu = Gaya Maksimum (N)
A = Luas awal penampang (mm2)
Sumber : Dieter (1987) Gambar 2.8 Kurva tegangan-regangan
Bentuk dan besaran pada kurva tegangan-regangan suatu logam tergantung pada komposisi, perlakuan panas, deformasi plastis yang pernah dialami, laju regangan, suhu dan keadaan tegangan yang menentukan selama pengujian. Parameter-parameter yang digunakan untuk menggambarkan kurva tegangan-regangan logam yaitu:
a. Kekuatan tarik
Kekuatan tarik adalah beban maksimum dibagi luas penampang lintang awal benda uji. Kekuatan ini berguna untuk keperluan spesifikasi dan kontrol kualitas bahan.
b. Kekuatan luluh
Kekuatan luluh adalah tegangan yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah kecil deformasi plastis yang ditetapkan. Kekuatan luluh yang
diperoleh dengan metode offset biasanya dipergunakan untuk perancangan dan keperluan spesifikasi.
) 4 . 2 ...( ... ... ... ... ... A
Fy y= σ
Dimana: σy = Tegangan Luluh (N/mm2) Fy = Gaya Luluh (N)
A = Luas awal penampang (mm2) c. Perpanjangan.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu cara yang dipergunakan dalam kegiatan
penelitian sehingga pelaksanaan dan hasil penelitian dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan metode eksperimen. Metode eksperimen merupakan salah satu metode penelitian yang mengadakan kegiatan percobaan untuk melihat suatu
hasil dan hasil ini akan menegaskan kedudukan hubungan (sebab-akibat) antara variabel-variabel yang diteliti (Arikunto; 1996).
3.1 Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto;1996). Populasi dalam penelitian ini adalah semua hasil penelitian yaitu baja ST37 yang tidak dan yang mengalami perlakuan. Sampel adalah sebagian data atau wakil dari populasi yang akan diteliti (Arikunto;1996). Sampel dalam penelitian ini adalah pengaruh perlakuan panas pada hasil pengelasan baja ST37 terhadap sifat mekanis.
Penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental yang dilakukan di laboratorium teknik dengan penekanan pada karakteristik mekanik (kekuatan tarik) bahan. Kategori rancangan percobaan yang dipilih adalah Pre-Eksperimental Designs bertipe Static Group Comparations, jadi ada kelompok
percobaan/eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen terdiri dari spesimen yang telah di las serta mengalami perlakuan panas yaitu spesimen di las tanpa perlakuan panas, spesimen di las diberikan perlakuan hardening dan
spesimen di las diberikan perlakuan full annealing, masing-masing kelompok berjumlah 3 spesimen. Eksperimen untuk kelompok control metal dasar dilakukan sebagai pembanding berjumlah 1 spesimen.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini ada tiga yaitu variabel bebas, variable terikat, dan variabel kontrol.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perlakuan hardening dan full annealing pada suhu 850 0C.
3.2.2 Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kekuatan tarik dari hasil pengelasan baja ST37.
3.2.3 Variabel control
Variabel kontrol yang dimaksud disini adalah semua faktor yang dapat mempengaruhi hasil pengelasan.dan hasil pemanasan Adapun variabel kontrol tersebut antara lain:
a.Prosedur pengelasan yaitu cara-cara pengelasan yang baik dan benar sehingga diharapkan mendapat hasil pengelasan yang berkualitas.
b.Bahan yang digunakan untuk penelitian yaitu baja ST37.
c.Elektroda yang digunakan untuk penelitian yaitu elektroda jenis E 6013 dengan diameter 2,6 mm
d.Media pendingin yang digunakan untuk penelitian yaitu Oli Mesran SAE 40.
3.3 Metode Pengumpulan Data.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, observasi dan eksperimen langsung yaitu metode pengumpulan data penelitian yang dengan sengaja dan secara sistematis mengadakan perlakuan atau tindakan pengamatan terhadap suatu variabel.
3.3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan eksperimen dilakukan mulai bulan maret sampai dengan bulan april 2010, tempat yang digunakan adalah sebagai berikut:
a.Pemotongan spesimen untuk pengelasan dilakukan di Lab Mesin Perkakas Dan Las Departemen Teknik Mesin Politeknik Negeri Medan.
c.Pembentukan spesimen sesuai dengan standar ASTM E8 dilaksanakan di Lab Mesin Perkakas Dan Las Departemen Teknik Mesin Politeknik Negeri Medan. d.Proses perlakuan panas dilakukan di Lab ilmu logam Departemen Teknik Mesin
Universitas Sumatera Utara.
e.Pengujian tarik dilakukan di Lab Pengujian Logam Departemen Teknik Mesin Politeknik Negeri Medan.
3.3.2 Proses Pengumpulan Data
a. Peralatan Penelitian
Peralatan penelitian berupa sarana peralatan yang digunakan dalam pembuatan spesimen maupun pengambilan data. Alat-alat yang digunakan antara lain :
1. Alat uji tarik : Mesin uji tarik
2. Alat perlakuan panas : Furnace, tang penjepit, wadah berisi oli
3. Alat spesimen : Mesin gerinda potong, mesin las, mesin gerinda tangan, mesin milling, jangka sorong
b. Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan baja karbon rendah sebagai bahan penelitian. Adapun bahan yang digunakan untuk penelitian yaitu :
1.Baja yang digunakan ST37 dengan tebal 3 mm
2.Elektroda las yang digunakan E 6013 dengan diameter 2,6 mm 3.Arus yang digunakan adalah 80 A dengan posisi pengelasan datar
4.Sambungan yang digunakan adalah tipe sambungan tumpul (butt joint) dua sisi
dengan jarak antar plat 2,6 mm.
5.Media pendingin yang digunakan pada perlakuan hardening adalah Oli Mesran SAE 40.
6.Suhu yang digunakan pada perlakuan panas adalah 850 0C dipertahankan
3.3.3 Dimensi Benda Uji
Berikut adalah gambar dimensi uji tarik yang menggunakan standar ASTM E 8.
Gambar 3.1 Spesimen uji tarik
Tabel 3.1 Daftar keterangan dimensi gambar
3.3.4 Pelaksanaan Penelitian
Pembuatan spesimen dalam eksperimen ini melalui beberapa tahap pengerjaan hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam penelitian, yaitu :
1. Proses pemotongan
Tipe : TNW
ART No : Model 200 K Item No : ME 1 7
Tegangan : 380/50 V U/min : 2860 P.K : 1.10 AV 220 – Amp 2.33
YV 380 – Amp 1.35
Gambar 3.2 Mesin Gerinda Potong
2. Proses penyambungan
Baja karbon rendah baja ST37 mudah dilakukan proses penyambungan dengan jarak antar plat 2,6 mm dengan pengelasan las listrik.
Gambar 3.3 Baja ST37 yang akan dilas 3. Proses pengelasan
Langkah-langkah yang di lakukan dalam proses pengelasan adalah: a.Memasang kabel pada mesin las DC sesuai dengan pemasangannya.
Tipe : LEGS 225
No : 3433613
Tegangan : 380/220 V
Cos φ 0.54 bei 225 A
Cos φ bei 150 A
DB 100% ED 150 A 26 V
HSB 60 % ED 200 A 28 V
HSB 35 % ED 225 A 29 V
Gambar 3.4 Mesin las
c.salah satu penjepitnya di jepitkan pada kabel yang di gunkan untuk menjepit elektroda.
Gambar 3.5 Elektroda
Tabel 3.2 Hubungan Antara Material Dasar dan Tipe Elektroda yang dipakai.
d.Setelah semua diatur kemudian Mesin las dihidupkan dan lakukan pengelasan dengan posisi mendatar.
4. Pembuatan bentuk spesimen menurut standar ASTM E8
Langkah-langkah yang di lakukan dalam pembuatan spesimen adalah: a. Meratakan alur hasil pengelasan dengan menggunakan mesin gerinda tangan.
Syle No : S1M-DY01-100B
Wheel specification : 100x16x4
Tegangan : 110/220/240 V
Frekuensi : 50/60 Hz
Daya Input : 550 W
Kecepatan : 11000 r/min
Berat : 2 kg
Ukuran gerinda : 290x120x100
Gambar 3.6 Mesin gerinda tangan
b.Membuat spesimen uji tarik sesuai dengan standar ASTM E8 pada mesin miiling.
Tipe : UF6N Tahun : 1978
Machine NR : 16618 Frekuensi : 50 Hz
5. Pelaksanaan Proses Perlakuan Panas
ADVANTEC Model : KL – 286
Source AC : 220 V Frekuensi : 50/60 Hz Power : 2,0 Kva Serial No. : 102065
TOYO SEISAKUSHO CO.LTD Buatan : Japan
Tahun : 1993
Gambar 3.8 Tungku Pemanas
Tungku pemanas digunakan untuk memanaskan spesimen uji sampai temperatur yang telah di tentukan.
1. Langkah- langkah proses perlakuan hardening adalah sebagai berikut:
a.Menyisihkan 4 spesimen uji tarik, 1 metal dasar dan 3 dilas tanpa perlakuan. b.Memasukkan 3 spesimen uji tarik pada tungku pemanas sampai suhu 850 0C
pada penahanan 10 menit.
c.Setelah itu, 3 spesimen yang ada dalam tungku pemanas diambil dengan menggunakan tang penjepit untuk didinginkan ke dalam wadah pendingin.
d.3 spesimen didinginkan di dalam Oli Mesran SAE 40 untuk perlakuan hardening.
Gambar 3.10 Wadah pendingin Oli e. Setelah dingin dilakukan pengujian tarik.
2. Langkah- langkah proses perlakuan full annealing adalah sebagai berikut:
Proses pada perlakuan full annealing ini hampir sama dengan proses perlakuan hardening yang telah dijelaskan diatas, hanya saja perbedaannya pada proses pendinginan.
a.Menyisihkan 4 spesimen uji tarik, 1 metal dasar dan 3 dilas tanpa perlakuan. b.Memasukkan 3 spesimen uji tarik pada tungku pemanas sampai suhu 8500 C
pada penahanan 10 menit.
c.Setelah itu, 3 spesimen lagi didinginkan secara perlahan-lahan di dalam furnace (dengan mematikan power di furnace).
3.3.5 Proses Pengujian Tarik
Spesimen uji ditarik dengan mesin uji tarik Universal Testing Machine (UTM), jenis Tarno Test UPH 100 kN di Lab Pengujian Logam Departemen
Teknik Mesin, Politeknik Negeri Medan.
Gambar 3.12 Spesimen uji tarik
Prosedur dan pembacaan hasil pada pengujian tarik adalah sebagai berikut: a.Benda uji dijepit pada ragum uji tarik, sebelumnya telah di ketahui
penampangnya, panjang awal dan ketebalan.
Universal Testing Machine(UTM)
Tipe : Tarno Test UPH 100 kN
b.Kemudian benda uji diberi beban dengan menggunakan tenaga hidrolik hingga
benda putus pada beban maksimal yang dapat di tahan benda tersebut.
Gambar 3.14 Spesimen Setelah Mengalami Uji Tarik
c.Gaya atau beban yang maksimal di tandai dengan putusnya benda uji, dapat di lihat pada layar monitor komputer dan di catat sebagai data.
Gambar 3.15 Proses Uji Tarik Dipantau Pada Monitor.
3.3.6. Diagram Alir Penelitian
Uraian langkah-langkah penelitian diatas dapat dijabarkan ke dalam diagram alir penelitian sebagai berikut :
BAB IV
DATA HASIL PENELITIAN
Setelah pengamatan, pengukuran serta pengujian dilaksanakan terhadap
masing-masing benda uji, baik pada metal dasar, benda uji welding tanpa proses Heat Treatmen, maupun benda uji dengan las yang telah mengalami proses
hardening maupun full annealing, didapatkan data-data seperti yang akan
ditampilakan pada bab ini. Hasil penelitian tentang “studi perbandingan sifat
mekanis terhadap pengaruh perlakuan panas pada hasil pengelasan plat baja ST37” diperoleh data-data yang berupa angka dalam tabel dan gambar grafik dari hasil pengujian tarik.
4.1 Pengujian Tarik Spesimen Original
Unsur-unsur yang terkandung dalam baja akan mempengaruhi sifat-sifat mekanis dan fisis dari baja yang bersangkutan. Jenis-jenis baja umumnya ditentukan berdasarkan kandungan unsur karbon yang terkandung dalam material baja tersebut. Tabel berikut ini menunjukkan data komposisi kimia unsur-unsur yang ada dalam material spesimen. Berdasarkan kandungan karbon dalam material dapat disimpulkan bahwa material yang digunakan tergolong low carbon steel dengan kadar karbon 0,12 %. Berikut tabel di bawah ini kandungan unsur
kimia baja ST37 dalam material.
Tabel 4.1 Komposisi kimia Baja ST37
Sumber : Penyedia bahan Baja ST37
Sifat baja karbon sangat tergantung pada kadar karbon oleh karena itu baja karbon di kelompokan berdasarkan kadar karbonnya. Baja dengan kadar karbon kurang dari 0,3% disebut baja karbon rendah, baja dengan kadar karbon
Tabel 4.2 Mechanical Properties Baja ST37
Sumber :
Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis dari material baja ST37 sebagai material uji dalam penelitian ini. Hasil pengujian tarik pada umumnya adalah parameter kekuatan tarik (ultimate strength) maupun luluh (yield strength), parameter kaliatan/keuletan yang ditunjukan dengan adanya prosen perpanjangan (elongation) maupun bentuk penampang patahannya.
Data hasil pengujian tarik pada metal dasar baja ST37 : Prop. Limit force : 11912.99 (N)
Yield Force : 11963.59 (N) Maximum Force : 17267.25 (N)
Proporsional Stress : 317.68 (N/mm2) = 31.77 (kg/mm2) Yield Stress : 319.03 (N/mm2) = 31.90 (kg/mm2) Maximum Stress : 460.46 (N/mm2) = 46.05 (kg/mm2) Elongation : 40.10 (%)
Gambar 4.1 Diagram data hasil pengujian tarik untuk metal dasar
Berdasarkan pada hasil pengujian kekuatan tarik yang digambarkan dalam Diagram 4.1 di atas menunjukkan kekuatan tarik material baja ST37 sebesar 46.05 kg/mm2 sedangkan kekuatan luluhnya sebesar 31.90 kg/mm2. Hal ini menunjukkan bahwa data hasil pengujian tarik untuk metal dasar baja ST37 masih dalam batas Mechanical properties of Steel Gradesbaja ST37.
4.1.1 Bentuk Patahan Yang Terjadi Pada Metal Dasar
Perpatahan adalah pemisahan atau pemecahan suatu benda padat menjadi dua bagian atau lebih diakibatkan adanya tegangan. Proses perpatahan terdiri atas dua tahap yaitu timbulnya retak dan tahap penjalaran retak.
Berdasarkan bentuk penampang patahan pada metal dasar pada hasil pengujian kekuatan tarik pada Gambar 4.2 di atas menunjukkan bahwa patahan yang terjadi pada baja ST37 merupakan patahan ulet. Hal ini dapat dijelaskan
dalam gambar di bawah ini tentang skematis terjadinya perpatahan ulet pada metal dasar yang diberikan gaya tarik :
Sumber : Wiryosumarto dan Okumura (2004)
Gambar 4.3 Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik pada metal dasar
Keterangan : (a) Penyempitan awal
(b) Pembentukan rongga-rongga kecil (cavity)
(c) Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu Retakan (d) Perambatan retak
(e) Perpatahan geser akhir pada sudut 45°.
4.2 Pengujian Tarik Spesimen Las Original
Perubahan metalurgi yang paling penting dalam pengelasan adalah struktur mikro yang akan menentukan sifat-sifat mekanis sambungan las. Pada umumnya struktur mikro yang terjadi tergantung pada komposisi kimia dari
logam pengisi, logam induk atau metal dasar ataupun proses pengerjaan material sebelumnya,teknik pengelasan yang diterapkan, dan proses perlakuan panas yang diberikan pada hasil pengelasan.
Pada proses pengelasan diawali dengan adanya las busur listrik yang
terbentuk antara logam induk dan ujung elektroda, karena panas dari busur, maka logam induk dan ujung elektroda tersebut sampai mencapai titik cairnya, sehingga membentuk manik cairan las (weld pool). Selanjutnya setelah lebur dan terjadi ikatan, kemudian diikuti dengan tahap pembekuan (solidfication). Sumber panas dalam proses pengelasan merupakan titik yang selalu bergerak, maka setiap titik dari logam induk yang ada disekitar lasan akan mengalami proses pemanasan dan pendinginan yang berbeda.
Tahap selanjutnya adalah proses pendinginan dan pembekuan logam yang terjadi walaupun ada juga sebagian panas diserap oleh udara luar secara konveksi maupun konduksi. Oleh karena penyerapan energi panas oleh logam induknya sendiri yang umumnya dengan laju yang cukup cepat, maka kadang-kadang keadaan ini disebut Quench rate. Quench rate dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut : a. Jenis material
b. Bentuk sambungan c. Ketebalan material
d. Pre-heating (jika ada)
Data hasil pengujian tarik pada baja di las tanpa heat treatment : 1. Data hasil pengujian tarik untuk benda uji 1 :
Prop. Limit force : 11872.50 [N]
Yield Force : 12247.00 [N] Maximum Force : 17287.50 [N]
Elongation : 21.52 [%]
2. Data hasil pengujian tarik untuk benda uji 2 : Prop. Limit force : 11781.41 [N]
Yield Force : 11953.47 [N] Maximum Force : 17479.80 [N]
Proporsional Stress : 314.17 [N/mm2] = 31.42 [kg/mm2] Yield Stress : 318.76 [N/mm2] = 31.88 [kg/mm2]
Maximum Stress : 466.13 [N/mm2] = 46.61 [kg/mm2] Elongation : 23.48 [%]
3. Data hasil pengujian tarik untuk benda uji 3 : Prop. Limit force : 11993.96 [N]
Yield Force : 12307.73 [N] Maximum Force : 17854.30 [N]
Proporsional Stress : 319.84 [N/mm2] = 31.98 [kg/mm2] Yield Stress : 328.21 [N/mm2] = 32.82 [kg/mm2] Maximum Stress : 476.11 [N/mm2] = 47.61 [kg/mm2] Elongation : 26.66 [%]
Spesimen
Gambar 4.4 Diagram ultimate strength dari hasil pengujian tarik pada baja dilas tanpa heat treatment
Spesimen
Gambar 4.6 Diagram elongation dari hasil pengujian tarik pada baja dilas tanpa heat treatment
Spesimen
Gambar 4.7 Diagram prop. limit dari hasil pengujian tarik pada baja dilas tanpa heat treatment
4.2.1 Perpatahan Pada Spesimen Las Original
Gambar 4.8 Bentuk penampang patahan pada baja dilas tanpa heat treatment Berdasarkan bentuk penampang patahan pada baja dilas tanpa heat treatment pada hasil pengujian kekuatan tarik pada Gambar 4.8 di atas
menunjukkan bahwa patahan yang terjadi pada baja ST37 merupakan patahan ulet. Hal ini dapat dijelaskan dalam gambar di bawah ini tentang skematis terjadinya perpatahan ulet pada baja dilas tanpa heat treatment yang diberikan gaya tarik :
Sumber : Wiryosumarto dan Okumura (2004)
Gambar 4.9 Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik pada baja dilas tanpa heat treatment
Keterangan : (a) Penyempitan awal
(b) Pembentukan rongga-rongga kecil (cavity)
(c) Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu Retakan (d) Perambatan retak
(e) Perpatahan geser akhir pada sudut 45°.
4.2.2 Daerah Pengaruh Panas (HAZ) Pada Spesimen Las Original
pemanasan sampai mencapai suhu maksimum kemudian diikuti dengan pendinginan. Siklus thermal tersebut mempengaruhi struktur mikro logam las dan HAZ, di mana logam las akan mengalami serangkaian transformasi fasa selama
proses pendinginan, yaitu dari logam las cair berubah menjadi Ferrit δ kemudian γ (Austenit) dan akhirnya menjadi α (Ferrit). Pada umumnya waktu (cooling time) antara temperatur 800 0C – 500 0C dipakai sebagai acuan pada pengelasan baja karbon, karena pada interval suhu tersebut terjadi transformasi fasa dari Austenit
(γ) menjadi Ferrite + Sementit yang tergantung pada kecepatan pendinginannya. Selama pendinginan dari logam cair sampai menuju suhu kamar, logam las mengalami serangkaian perubahan fasa. Baja karbon rendah akan mengalami perubahan fasa cair menjadi Ferrite δ ketika pembekuan berlangsung kemudian berubah menjadi Austenite γ dan akhirnya menjadi Ferrite α . Struktur mikro yang akan terbentuk ditentukan pada saat pendinginan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi struktur mikro, seperti komposisi akhir logam las, filler serta kondisi udara sekitar pengelasan.
Proses pendinginan pada las berlangsung secara kontinu, yaitu proses penurunan suhu berlangsung tanpa adanya penurunan suhu secara mendadak. Menurut Abson dan Pargeter (1986), struktur mikro yang mungkin terbentuk dari pengelasan adalah:
1. Proeutectoid Ferrrite, terdiri dari grain boundary Ferrite dan intragranular polygonal Ferrite pada suhu 1000-650 0C.
2. Widmanstatten Ferrrite atau Ferrite with aligned second phase pada suhu 750-650 0C.
3. Accicular Ferrite, tumbuh di dalam butir Austenite pada suhu 650 0C. 4. Bainite, terbentuk pada suhu 400-500 0C.
5. Martensite, terjadi jika pendinginan berlangsung sangat cepat.
Daerah pengaruh panas (HAZ) merupakan daerah paling rentan terjadi
a. Logam Las ( Weld Metal)
Daerah logam lasan, umumnya memiliki sifat yang lebih baik daripada logam induk, karena logam lasan merupakan campuran unsur yang berasal dari
logam pengisi dan logam induk. Logam pengisi biasanya memiliki unsur pemadu yang menghasilkan sifat yang lebih baik daripada logam induk. Terjadi proses pembekuan dari logam las (weld metal) yang berasal dari logam induk dengan ujung elektroda yang mencair karena panas dari busur listrik. Fenomena
pembekuan akan memunculkan struktur yang kasar akibat adanya laju pendinginan yang relative cepat. Adanya pengkasaran ukuran butir di daerah logam las akan menurunkan sifat mekanik. Penurunan sifat mekanik yang terjadi jangan sampai melampaui sifat mekanik logam induk. Karena itu berdasarkan hal tersebut dan mengingat menurut standar bagian logam las tidak diperkenankan untuk gagal, maka untuk mengatasi penurunan tersebut dipilih kualitas mekanik logam las minimal 15% lebih tinggi dari sifat logam induk.
b. Fusion Line
Daerah batas lebur (fusion line) adalah daerah yang mana terjadi batas antara padat dan cair. Terjadi pencampuran antara logam las dan logam induk. Pada prinsipnya di daerah ini terjadi proses pemaduan. Secara umum hasil dari suatu proses pemaduan dapat menghasilkan larutan padat, senyawa atau campuran antara larutan padat dan senyawa yang akan memberikan perbedaan terhadap sifat mekanik yang dimilikinya.
c. Daerah Yang dipengaruhi Panas (HAZ)
Daerah terpengaruh panas (HAZ = Heat Affected Zone), adalah daerah
lasan yang tidak mencair tetapi sudah mengalami pengaruh perubahan mikrostruktur akibat pemanasan dan pendinginan selama proses pengelasan.Akan terjadi kombinasi antara pembentukan butir-butir yang kasar sebagai akibat terekpos pada suhu tinggi dengan timbulnya transformasi fasa, dari fasa padat ke
4.3 Pengujian Tarik Spesimen Las Diikuti Dengan Perlakuan Hardening
Hardening atau proses pengerasan terhadap logam atau paduan yang dilakukan untuk memperoleh sifat tahan aus yang tinggi, kekuatan, fatique limit
atau strength yang lebih baik. Proses ini dilakukan dengan memanaskan hingga kedaerah satu fasa kemudian didinginkan sangat cepat. Kekerasan yang dapat dicapai tergantung pada kadar karbon dalam baja dan kekerasan yang terjadi akan tergantung pada temperatur pemanasan (temperatur autenitising), holding time
dan laju pendinginan yang dilakukan serta seberapa tebal bagian penampang yang menjadi keras banyak tergantung pada hardenability.
Proses hardening merupakan proses yang kritikal untuk menghasilkan distribusi fasa presipitat yang seragam. Jika proses pendinginannya berlangsung terlalu lambat, presipitat akan terbentuk di batas butir, yang akan menyebabkan sifat mekaniknya keras dan getas. Pembentukan presipitat di batas butir berpotensi menyebabkan terjadinya intergranular embrittlement (perambatan retak melalui batas butir).
Proses hardening yang melibatkan pendinginan cepat (rapid cooling) fasa padat α yang kaya akan elemen paduan (Si, Mg, Cu) hingga mencapai temperatur kamar. Pendinginan cepat ini akan mempertahankan larutan padat dengan cara mencegah difusi atom-atom paduan keluar dari matriksnya, menghasilkan larutan padat lewat jenuh (supersaturated solid solution – SSS). Proses ini dikenal sebagai proses solid solution hardening.
Data hasil pengujian tarik pada baja di las diikuti dengan perlakuan hardening :
1. Data hasil pengujian tarik untuk benda uji 1 : Prop. Limit force : 14068.86 [N]
Yield Force : 14245.99 [N] Maximum Force : 16700.45 [N]
Proporsional Stress : 375.17 [N/mm2] = 37.52 [kg/mm2] Yield Stress : 379.89 [N/mm2] = 37.99 [kg/mm2] Maximum Stress : 445.35 [N/mm2] = 44.54 [kg/mm2] Elongation : 9.12 [%]
Prop. Limit force : 10956.51 [N] Yield Force : 11791.53 [N] Maximum Force : 18724.75 [N]
Proporsional Stress : 292.17 [N/mm2] = 29.22 [kg/mm2] Yield Stress : 314.44 [N/mm2] = 31.44 [kg/mm2] Maximum Stress : 499.33 [N/mm2] = 49.93 [kg/mm2] Elongation : 16.36 [%]
3. Data hasil pengujian tarik untuk benda uji 3 : Prop. Limit force : 12398.82 [N]
Yield Force : 13319.87 [N] Maximum Force : 20293.58 [N]
Proporsional Stress : 330.64 [N/mm2] = 33.06 [kg/mm2] Yield Stress : 355.20 [N/mm2] = 35.52 [kg/mm2] Maximum Stress : 541.16 [N/mm2] = 54.12 [kg/mm2] Elongation : 20.80 [%]
Gambar 4.10 Diagram ultimate strength dari hasil pengujian tarik pada baja dilas diikuti dengan perlakuan hardening
Gambar 4.12 Diagram elongation dari hasil pengujian tarik pada baja dilas diikuti dengan perlakuan hardening
4.3.1 Bentuk Patahan Yang Terjadi Pada Spesimen Las Diikuti Dengan
Perlakuan Hardening.
Perpatahan adalah pemisahan atau pemecahan suatu benda padat menjadi
dua bagian atau lebih diakibatkan adanya tegangan.proses perpatahan terdiri atas dua tahap yaitu timbulnya retak dan tahap penjalaran retak.
Gambar 4.14 Bentuk penampang patahan pada baja dilas diikuti dengan perlakuan hardening
Berdasarkan bentuk penampang patahan pada baja dilas diikuti dengan perlakuan hardening pada hasil pengujian kekuatan tarik pada Gambar 4.14 di atas menunjukkan bahwa patahan yang terjadi pada baja ST37 merupakan patahan ulet. Hal ini dapat dijelaskan dalam gambar di bawah ini tentang skematis terjadinya perpatahan ulet pada baja dilas diikuti dengan perlakuan hardening yang diberikan gaya tarik :
Sumber : Wiryosumarto dan Okumura (2004)
Keterangan : (a) Penyempitan awal
(b) Pembentukan rongga-rongga kecil (cavity)
(c) Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu Retakan
(d) Perambatan retak
(e) Perpatahan geser akhir pada sudut 45°.
4.3.2 Daerah Pengaruh Panas (HAZ) Pada Spesimen Las Diikuti Dengan
Perlakuan Hardening.
Proses pendinginan hasil pengelasan yang diikuti dengan perlakuan hardening umumnya berlangsung secara cepat. Daerah pengaruh panas (HAZ)
merupakan daerah paling getas pada sambungan las. Struktur mikro HAZ berbeda dengan struktur mikro pada logam induk, dan logam las. Hal ini menyebabkan perbedaan sifat mekanik (Wiryosumarto, 2004).
Logam las merupakan bagian yang mencair pada saat pengelasan, dimana
bagian ini mendapatkan temperature yang sangat tinggi. Strukturnya banyak dipengaruhi oleh komposisi kawat las dan laju pendinginannya. Kecepatan pendinginan sangat cepat transformasi terjadi tanpa adanya proses difusi karbon dan menghasilkan Martensite atau Bainit. Untuk mendapatkan struktur mikro hasil pengelasan yang baik maka unsur-unsur paduan, waktu pendinginan dan ukuran butiran Austenite harus tepat. Dalam hal ini, perlakuan hardening timbulnya tranformasi Austenit-Martensit atau Bainit pada baja karbon yang bersifat keras tetapi getas.
Pada daerah HAZ logam induk masih terpengaruh oleh panas dari busur listrik, dan semakin dekat dengan las akan mendapat masukan panas yang tinggi, dan semakin jauh akan berkurang. Hal ini kecepatan pendinginan tidak merata, sehingga terpengaruh pada struktur mikro yang terjadi.
4.4 Pengujian Tarik Spesimen Las Diikuti Dengan Perlakuan Full Annealing
Proses perlakuan full annealing dilakukan untuk menghasilkan perlite yang kasar (coarse pearlite), tetapi lunak dengan pemanasan sampai temperature austenitisasi dan didinginkan dalam dapur serta dalam beberapa hal juga