• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi kapang asal serasah tanaman hutan sebagai penghasil asam indol asetat dan toleransinya terhadap kondisi asam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi kapang asal serasah tanaman hutan sebagai penghasil asam indol asetat dan toleransinya terhadap kondisi asam"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI KAPANG ASAL SERASAH TANAMAN HUTAN

SEBAGAI PENGHASIL ASAM INDOL ASETAT DAN

TOLERANSINYA TERHADAP KONDISI ASAM

YOSI KUSTIAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Kapang Asal Serasah Tanaman Hutan sebagai Penghasil Asam Indol Asetat dan Toleransinya terhadap Kondisi Asam adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

YOSI KUSTIAN. The Potential of Forest Litter Molds as Indole-3-Acetic Acid Producers and Their Tolerance to Acid Conditions. Under supervision of GAYUH RAHAYU and NISA RACHMANIA MUBARIK.

Microorganism in soil and forest litter plays an important role in maintaining the health of the soil such as decomposer, nutrient transformation agent, mineral solubilizer, and also as hormones producer. One of the hormones produced by microorganism including molds is indole-3-acetic acid (IAA). Utilization of IAA producer molds that tolerance to acid conditions may increase the production of industrial forest in acid soil and improve the vigour of plantling stock material originated from stem cutting. This study was aimed to assess the potential of forest litter molds of IPBCC (Institut Pertanian Bogor Culture Collection) collection as IAA producers and their tolerance to acid conditions. The ability of fifty-one forest litter molds from Katingan and Tarakan to produce IAA was screened in Czapek Dox medium and was determined by Patten and Glick method using Salkowski reagent. According to Patten and Glick method, the forest litter molds from Katingan produced IAA (1.92±0.26 ppm) were higher than those of Tarakan (1.08 ± 0.14 ppm). The production of IAA by static incubation (2.72±0.89 ppm) was higher than those of shaking incubation (1.92 ± 0.26 ppm). The production of IAA on the forest litter molds from Katingan (63.16%) were not influenced by the storage process. Four out of fifty Katingan’s molds were selected for IAA production, those were Acremonium sp. IPBCC 07.548 (3.52±0.46 ppm), Aspergillus ornatus IPBCC 07.554 (4.50±0.92 ppm), Gliocladium deliquescens IPBCC 07.543 (2.23±0.38 ppm), and Penicillium notatum IPBCC 07.555 (5.06±0.46 ppm). IAA and its biomass productions were influenced by pH of the medium. These forest litter molds were considered to be acid tolerance. The pH optimum for their growth and IAA production were 5.5. These molds showed no antagonistic response to each other. The IAA production from these molds in consortium (7.22±1.33 ppm) were better than its single culture (4.43±1.53 ppm). High performance liquid chromatography assay indicated that there was only one type of IAA with retention time 7.1.

(4)

YOSI KUSTIAN. Potensi Kapang Asal Serasah Tanaman Hutan sebagai Penghasil Asam Indol Asetat dan Toleransinya terhadap Kondisi Asam. Dibimbing oleh GAYUH RAHAYU dan NISA RACHMANIA MUBARIK.

Mikroorganisme tanah dan serasah hutan merupakan komponen yang sangat penting dalam menjaga kesehatan tanah seperti proses dekomposisi, transformasi nutrien, mineralisasi, dan juga sebagai penghasil hormon asam indol asetat (AIA). Salah satu mikroorganisme yang dapat memproduksi AIA ialah kapang. Pemanfaatan kapang yang berpotensi sebagai penghasil AIA dan memiliki toleransi terhadap kondisi asam dapat diterapkan untuk peningkatan produksi hutan tanaman industri yang ditanam di lahan masam mengingat lahan masam di Indonesia cukup luas yaitu sekitar 102,8 juta hektar. Selain itu, pemanfaatan kapang yang berpotensi sebagai penghasil AIA dan toleran terhadap kondisi asam dapat juga diterapkan untuk peningkatan kualitas bibit tanaman hutan.

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji potensi kapang asal serasah tanaman hutan koleksi simpanan IPBCC (Institut Pertanian Bogor Culture Collection) sebagai penghasil asam indol asetat (AIA) dan toleran terhadap kondisi asam. Penelitian ini dilakukan dalam enam tahap yaitu penapisan kapang berdasarkan asal dan cara inkubasi dalam memproduksi AIA, uji pengaruh penyimpanan dari isolat terpilih dalam memproduksi AIA, uji toleransi terhadap pH asam dari isolat terpilih dalam memproduksi AIA, uji antagonistik antar kapang terpilih, uji produksi AIA pada beberapa konsorsium kapang terpilih, dan konfirmasi produksi AIA dengan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC). Produksi AIA dilakukan dengan menggunakan media Czapek Dox cair. AIA diukur dengan menggunakan metode Patten dan Glick yaitu dengan menggunakan pereaksi Salkowski.

Sebanyak 19 kapang asal serasah tanaman hutan dari Katingan dan 32 dari Tarakan mampu menghasilkan AIA dengan kadar yang sangat bervariasi. Secara umum, kapang-kapang asal Katingan memproduksi AIA (1,92±0,26 ppm) lebih tinggi dibandingkan dengan kapang-kapang asal Tarakan (1,08±0,14 ppm).

Produksi AIA dengan cara inkubasi statis (2,72±0,89 ppm) lebih tinggi dibandingkan dengan cara digoyang (1,92±0,26 ppm). Pada inkubasi statis, kapang tumbuh di permukaan medium dan bersporulasi, sedangkan pada inkubasi digoyang tumbuh membentuk butiran (pelet) dan tidak bersporulasi. Miselium yang berbentuk pelet dan tidak bersporulasi diduga berhubungan dengan pembentukan metabolit sekunder. Cara inkubasi digoyang dapat menyebabkan struktur AIA rusak oleh oksigen karena proses dekarboksilasi yang mengakibatkan hilangnya gugus karboksil.

Sebagian besar (63,16%) isolat kapang asal Katingan tidak dipengaruhi oleh proses penyimpanan dalam produksi AIA, sehingga penurunan biosintesis AIA tersebut diduga tidak berhubungan dengan proses penyimpanan. Penurunan produksi AIA oleh sebagian kecil kapang asal Katingan ini diduga disebabkan oleh subkultur berulang.

(5)

kapang terpilih dipengaruhi oleh pH medium. Secara umum, produksi AIA mencapai maksimum pada pH 5,5. Walaupun medium kultur dalam kondisi ekstrem masam (pH 4,5), masam sangat kuat (pH 5,0), dan sangat masam (pH 5,5)

Produksi AIA oleh kapang-kapang terpilih pada berbagai pH awal medium tidak berkorelasi nyata terhadap bobot kering biomasa miselium. Pertumbuhan miselium (bobot kering biomasa) menunjukkan pertumbuhan yang baik pada pH asam. Bobot kering biomasa miselium A. ornatus IPBCC 07.554, G. deliquescens IPBCC 07.543, dan P. notatum IPBCC 07.555 cenderung menurun dengan meningkatnya pH medium kultur. Sebaliknya, bobot kering biomasa miselium Acremonium sp. IPBCC 07.548 cenderung meningkat.

setiap kapang terpilih masih mampu memproduksi AIA. Hal ini menunjukkan bahwa kapang-kapang tersebut toleran terhadap kondisi asam.

Interaksi antagonistik antar isolat kapang terpilih tidak menunjukkan respon antagonis. Nilai persentase hambatan pertumbuhan dari setiap kapang yang diuji sangat rendah yaitu berkisar antara 0,00-0,65%.

Kemampuan produksi AIA pada beberapa konsorsium kapang secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk kultur tunggal. AIA yang diproduksi bervariasi tergantung kepada bentuk konsorsium, yaitu berkisar 3,28±0,07 ppm hingga 10,51±1,25 ppm.

Konfirmasi produksi AIA dengan menggunakan HPLC menunjukkan bahwa AIA dari konsorsium G (IPBCC 07.543 + IPBCC 07.555), konsorsium L (IPBCC 07.543 + IPBCC 07.548 + IPBCC 07.555), konsorsium M (IPBCC 07.543 + IPBCC 07.554 + IPBCC 07.555), dan konsorsium O (IPBCC 07.543 + IPBCC 07.548 + IPBCC 07.554 + IPBCC 07.555) memiliki profil puncak waktu retensi yang sama dengan waktu retensi pada standar AIA komersial yaitu 7,1. Dengan demikian, senyawa indol yang dihasilkan oleh konsorsium terpilih merupakan jenis AIA.

Produksi AIA tertinggi diperoleh oleh konsorsium M yaitu sebesar 38,66 ppm diikuti oleh konsorsium O (23,58 ppm), G (23,13 ppm), dan L (21,57 ppm). Kadar AIA pada konsorsium kapang terpilih yang terdeteksi oleh HPLC lebih tinggi daripada hasil uji dengan menggunakan pereaksi Salkowski. Hal ini disebabkan oleh sensitivitas dan akurasi HPLC jauh lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan pereaksi Salkowski.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

POTENSI KAPANG ASAL SERASAH TANAMAN

HUTAN SEBAGAI PENGHASIL ASAM INDOL

ASETAT DAN TOLERANSINYA TERHADAP

KONDISI ASAM

YOSI KUSTIAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Kondisi Asam

Nama : Yosi Kustian

NRP : G351090041

Mayor : Mikrobiologi

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Gayuh Rahayu

Anggota

Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si.

Diketahui

Ketua Mayor Mikrobiologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Gayuh Rahayu Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(9)
(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul Potensi Kapang Asal Serasah Tanaman Hutan sebagai Penghasil Asam Indol Asetat dan Toleransinya terhadap Kondisi Asam. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikologi Departemen Biologi, FMIPA, IPB, dan berlangsung mulai bulan Juli 2010 hingga April 2011.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Ir. Gayuh Rahayu dan ibu Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si. yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dalam penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada bapak Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko sebagai dosen penguji dalam ujian tesis atas saran dan masukan yang diberikan.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan pula kepada istri tercinta, anak-anak tersayang atas segala pengorbanan, motivasi, dan kasih sayangnya, serta kepada Kementerian Agama RI, kepala Madrasah dan rekan-rekan guru MAN 1 Kota Sukabumi, para teknisi dan rekan-rekan sesama peneliti di Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011

(11)

Nono Suryana dan ibu Surtini. Penulis merupakan putra ketiga dari lima bersaudara.

Tahun 1988 penulis lulus dari SMA Negeri Leles Kabupaten Garut. Pada tahun yang sama, penulis diterima masuk di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia) melalui jalur UMPTN pada program D-3. Penulis memilih program studi Pendidikan Biologi pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Setelah mengikuti perkuliahan selama enam semester, pada bulan Juli 1991 penulis dinyatakan lulus. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan studi pada program S-1 di perguruan tinggi dan fakultas yang sama hingga dinyatakan lulus pada bulan Juli 1995.

Pada periode tahun 1997 sampai 2009, penulis bekerja sebagai guru tetap di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kota Sukabumi. Saat ini penulis mendapat Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Kementerian Agama RI untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana, Mayor Mikrobiologi, Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, pada tanggal 21-26 September 2010 penulis berkesempatan mengikuti Summer Courses Program on Tropical Agricultural

Sustainability di Institut Pertanian Bogor, dan pada tanggal 4-12 Desember 2010

mengikuti Winter Courses on Practical Agricultural Program for Regional

Sustainability di universitas Ibaraki, Jepang. Keikutsertaan penulis pada kedua

program tersebut didukung oleh dana I-MHERE (Indonesia-managing higher

education for relevance and efficiency) Institut Pertanian Bogor.

(12)

Halaman

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Metabolit Sekunder yang Dihasilkan oleh Kapang ... 5

Biosintesis dan Fungsi Asam Indol Asetat... 5

Potensi Cendawan Penghasil AIA ... 7

Tanah Masam ... 9

BAHAN DAN METODE Bahan ... 11

Metode ... 13

Peremajaan Biakan ... 14

Penapisan Kapang yang Berpotensi dalam Produksi AIA ... 14

Toleransi Kapang terhadap pH Asam ... 14

Uji Antagonistik ... 15

Potensi Produksi AIA pada Beberapa Konsorsium Kapang ... 15

Konfirmasi Produksi AIA ... 16

HASIL Penapisan Kapang yang Berpotensi dalam Produksi AIA ... 17

Toleransi Kapang terhadap pH Asam ... 19

Sifat Antagonistik ... 20

Produksi AIA pada Beberapa Konsorsium Kapang ... 21

Konfirmasi Produksi AIA ... 22

PEMBAHASAN Penapisan Kapang yang Berpotensi dalam Produksi AIA ... 25

Toleransi Kapang terhadap pH Asam ... 27

Sifat Antagonistik ... 29

Produksi AIA pada Beberapa Konsorsium Kapang ... 30

Konfirmasi Produksi AIA ... 30

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 33

(13)
(14)

Halaman

1 Kapang asal serasah tanaman hutan dari Katingan ... 11 2 Kapang asal serasah tanaman hutan dari Tarakan ... 12 3 Produksi AIA dari isolat asal Katingan sebelum dan setelah proses

penyimpanan selama tiga bulan pada suhu 10°C ... 18 4 pH awal dan pH akhir dalam produksi AIA pada kapang terpilih ... 20 5 Interaksi penghambatan pertumbuhan antar dua isolat kapang terpilih... 21 6 Konfirmasi produksi AIA dari konsorsium terpilih dengan menggunakan

(15)

1 Skema lintasan pembentukan AIA: lintasan bergantung triptofan dan

lintasan tidak bergantung triptofan... 6 2 Alur Penelitian ... 13 3 Rataan kadar AIA yang dihasilkan oleh isolat kapang asal Katingan dan

Tarakan dengan inkubasi digoyang; Rataan kadar AIA yang dihasilkan oleh isolat kapang asal Katingan dengan inkubasi statis dan digoyang

... 17 4 Koloni kapang pada media PDA dan ciri mikroskopis dari Acremonium

sp. IPBCC 07.548, A. ornatus IPBCC 07.554, G. deliquescens IPBCC

07.543, dan P. notatum IPBCC 07.555 ... 18 5 Kadar AIA dan bobot kering biomasa dari Acremonium sp. IPBCC

07.548, A. ornatus IPBCC 07.554, G. deliquescens IPBCC 07.543, dan

P. notatum IPBCC 07.555 ... 19 6 Produksi AIA dari kultur tunggal dan beberapa konsorsium kapang

... 21 7 Kromatogram HPLC untuk produksi AIA dari konsorsium G,

(16)

Halaman

1 Komposisi media Czapek Dox cair dengan modifikasi sumber N (pepton

1%) ... 39 2 Komposisi pereaksi Salkowski ... 39 3 Produksi AIA pada kapang asal serasah tanaman hutan dari Katingan

dan Tarakan ... 40 4 Kromatogram standar AIA, kontrol, dan perlakuan dengan menggunakan

(17)

PENDAHULUAN

LatarBelakang

Mikroorganisme tanah dan serasah hutan merupakan komponen yang sangat

penting dalam menjaga kesehatan tanah seperti proses dekomposisi, transformasi

nutrien, mineralisasi (Rousk 2009), dan juga sebagai penghasil hormon (Roco &

Perez 2001; Hasan 2002; Patten & Glick 2002). Hormon yang diproduksi oleh

mikroorganisme di antaranya ialah giberelin, auksin, dan sitokinin. Salah satu jenis

hormon auksin yaitu asam indol asetat (AIA). AIA secara fisiologi merupakan

hormon yang aktif berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan

tumbuhan(Taiz&Zeiger 2002; Davies 2004).

Setelah penemuan AIA pada tumbuhan tinggi, aktivitasAIA juga ditemukan

pada beberapa mikroorganisme yang salah satunya ialah cendawan (Bau 1981; Tuomi

et al. 1995; Roco & Perez 2001; Hasan 2002).Cendawan dalam serasah dapat

berperan sebagai pendegradasi, agen pengendali organisme pengganggu, dan sebagai

penghasil hormon. Imaningsih (2010) mengemukakan bahwa cendawan asal serasah

hutan yaitu Aspergillus sp. IPBCC 09.619, Penicilium sp. IPBCC 09.620, Penicilium

sp. IPBCC 09.621, danTrichoderma sp. IPBCC 09.622 selain berpotensi sebagai

dekomposer tetapi juga berpotensi sebagai penghasil AIA.

Cendawanlainnya yang mampu memproduksi hormondi antaranya ialah

Aspergillusflavus, A. niger, Fusariumoxysporum, Penicillium corylophillum,P.

cyclopium, P. funiculosum, Rhizopusstolonifer,Saccharomyces cerevisiae,dan

Trichoderma harzianum (Bau 1981; Tuomi et al. 1995;

Lahan tanah masam di Indonesia sekitar 102,8 juta hektar (Mulyani et al.

2004).Tanah masam merupakan tanah yang masih memiliki potensiuntuk pertanian, perkebunan, maupuntanaman hutan. Kesuburantanah masam tergolong rendah.Hal iniditunjukkan dengan rendahnya unsur hara, kejenuhan basa yang sangat

Roco & Perez 2001; Hasan

2002).Pemanfaatan cendawan sebagai penghasil hormon selain untuk aplikasi di

bidang pertanian di tanah masam (Isminarniet al.2007)dapat pula diterapkan untuk

(18)

rendah,kejenuhan aluminium tinggi(Suharta 2010).Tanah lahan masam mempunyai karakteristik pH yang rendah yaitu pada tanah masam kuat (5,5-4,5) sampai pada

tanah yang ekstrem masam (<4,5), kemampuan tukar kation rendah dan kejenuhan

basa rendah (Shen et al. 2006). Lahan-lahan seperti ini memiliki produktivitas yang

rendah (Suharta 2010).

Selainpemanfaatan cendawan sebagai penghasil hormon untuk peningkatan

produksi hutan tanaman industri (HTI)di lahan masam, cendawan

penghasilhormonini juga dapat digunakan untuk peningkatan kualitasbibit tanaman

hutan. Salah satu faktor yang menunjang dalam pertumbuhan suatu bibit tanaman

ialah akar. Kecepatanpembentukanakar pada awal pertumbuhan suatu tanaman (bibit

muda) baik pada pemanjanganakarprimermaupunproliferasi akar lateraldan adventif

akan menguntungkan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnyakemampuan tanaman

tersebut untukmemperolehairdannutrisidaridalam tanah, sehinggameningkatkan

peluang merekauntukbertahan hidup (Patten & Glick 2002).Pembentukan

akarlateraldanadventifdapat puladisebabkanoleh AIAeksogen baik yang

bersifatalamimaupunsintetik (Alvarez et al. 1989).

Penelitian tentang pemanfaatan cendawan khususnya kapang yang berpotensi

sebagai penghasil AIAyang bersifat alami dan memiliki toleransi terhadap kondisi

asam perlu dilakukan. Walaupun penelitian tentang kapang sebagai penghasil AIA

sudah banyak dilakukan, namun potensi kapangasal serasah tanaman hutansebagai

penghasil AIAdan toleran terhadap kondisi asam terutama biakankapang telah

menjalani proses penyimpanan belum pernah dilaporkan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi kapangasal serasah tanaman

hutan koleksi simpanan IPBCC (Institut Pertanian Bogor Culture Collection) sebagai

(19)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memperoleh galur-galurkapang asal serasah

tanaman hutan yang potensial dalam memproduksi AIAdan toleran terhadap kondisi

asam setelah kultur menjalani penyimpanan. Informasi yang diperoleh dari penelitian

ini diharapkan dapat menjadi landasan pengetahuan dalam manipulasi lingkungan

pertanaman dengan menggunakan mikroorganisme untuk peningkatan produktivitas

HTI di Indonesiapada lahan masam,pemanfaatan potensi mikroorganisme sebagai

penghasil AIAuntuk skala industri, dan cara penyimpanan yang dapat menjamin

terjaganya potensi produksi AIA.

Hipotesis

1. Kapang asal serasah tanaman hutan berpotensi dalam menghasilkan AIA.

2. Penyimpanan berpengaruh terhadap kemampuan kapang untuk memproduksi

AIA.

3. Produksi AIA oleh kapang dipengaruhi oleh pH medium produksi.

4. Kapang dalam konsorsium bersinergi dalam hidupnya.

5. Kapang dalam bentuk konsorsium berpotensi untuk memproduksi AIA dalam

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Metabolit Sekunder yang Dihasilkan oleh Kapang

Beberapa cendawan berfilamen menghasilkan metabolit sekunder (Calvoet al.

2002). Cendawan hanya disaingi oleh Actinomycetes dan tanaman dalam

memproduksi berbagai metabolit sekunder.

Metabolitsekundermerupakanmetabolit yang biasanyamemiliki

strukturkimia yang unik dantidak berperan dalam pertumbuhan somatik, tetapi

berperan untuk bertahan hidup (Demain 1986). Metabolit sekunder yang diproduksi

oleh cendawan sebagian besar dibentuk pada fase stasioner (Griffin 1994; Calvoet al.

2002). Produk metabolit pada fase ini sering berhubungan dengan diferensiasi dan

sporulasi (Kavanagh 2005). Faktorlingkungandangenetik sangat

mempengaruhiproduksimetabolitsekunder ini (Calvoet al. 2002; Fox & Howlett

2008). Beberapa metabolit memiliki aktivitas biologis, sehingga di antara metabolit

ini sering dieksploitasi secara komersial (Kavanagh 2005).

Senyawa metabolit sekunder dapat tergolong sebagai antibiotik, biopestisida,

mikotoksin, pigmen, terpenoid, steroid, flavonoid, alkaloid, fitohormon, dan enzim

(Demain 1986; Calvo et al. 2002). Di antara metabolit sekunder ini, beberapa

memiliki manfaat penting dalam pertanian, perkebunan, dan kehutanan seperti

senyawa antifungi, antibiotik, asam amino, asam organik, serta fitohormon

(Kavanagh 2005). Salah satu fitohormon yang tergolong metabolit sekunder dari

cendawan ialah AIA (Bau 1981; Tuomi et al. 1995; Roco & Perez 2001; Hasan

2002). AIA merupakan salah satu jenis dari auksin (Taiz&Zeiger 2002; Davies 2004).

Biosintesis dan Fungsi Asam Indol Asetat

Asam indol asetat merupakan salah satu hormon auksin yang aktif

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Setelah penemuan

AIA pada tumbuhan tinggi, aktivitas AIA juga ditemukan pada beberapa cendawan

(21)

Gambar 1 Skema lintasan pembentukan AIA: (a) lintasan bergantung triptofan (b) lintasan tidak bergantung triptofan (Taiz&Zeiger 2002; Davies 2004; Woodward &Bartel 2005).

Ada dua jalur pembentukan AIA (Taiz&Zeiger 2002; Davies 2004;

Woodward &Bartel 2005; Saupe et al. 2007) yaitu lintasan bergantung triptofan dan

lintasan tidak bergantung triptofan (Gambar 1). Lintasan bergantung triptofan

(22)

prekursornya. Perubahan konfigurasi triptofan menjadi AIA dapat terjadi melalui

proses: (1) transaminasi yang kemudian diikuti oleh dekarboksilasi; (2)

dekarboksilasi yang kemudian diikuti oleh transaminasi; (3) pembentukan AIA

melalui oxime (C=NOH) dan nitril (CN). Lintasan tidak bergantung triptofan

merupakan lintasan biosintesis AIA yang tidak secara langsung menggunakan asam

amino triptofan sebagai prekursor. Pembentukan AIA menggunakan

senyawa-senyawa antara dalam lintasan pembentukan auksin (Taiz&Zeiger 2002; Davies

2004; Woodward &Bartel 2005; Saupe et al. 2007).

Auksin (AIA) berfungsi dalam proses: (1) perpanjangan sel dan pelenturan

dinding sel; (2) diferensiasi sel, misalnya merangsang diferensiasi pada jaringan

berkas pengangkut (xilem dan floem); (3) merangsang pembentukan gas etilen; (4)

menghambat perpanjanganakar jika diberikan dengan konsentrasi AIA lebih dari 10-6

M; (5) merangsang pertumbuhan akar lateral, dan akar adventif; (6) merangsang

pembungaan pada tanaman nenas dan cucurbitaceae; dan (7) mempengaruhi

dominasi apikal(Taiz&Zeiger 2002; Davies 2004; Woodward &Bartel 2005; Saupe et

al. 2007). AIA yang dihasilkan oleh meristem apikal baik yang di ujung batang

maupun di ujung akar akan menghambat pertumbuhan tunas ketiak dan pembentukan

akar. Penerapan auksin alami dan sintetis meningkatkan pertumbuhan akar lateral dan

akar adventif(Patten & Glick 2002; Bao et al. 2004; Cornejo et al. 2009).

Tanamanumumnyamemilikisatuataulebihakarprimerdengan akarlateral yang

munculdenganpembelahanselperisikeltertentu (Patten & Glick 2002).

PertumbuhanakardirangsangolehAIA pada konsentrasiyang relatifrendah (10-12dan10 -9

M)dan dihambatolehkonsentrasiAIAyang lebih tinggi (Alvarez et al. 1989).

Potensi Cendawan Penghasil AIA

Asam indol asetatmemegang perananpenting dalam pengendalian proses

fisiologis pada tumbuhan. SintesisAIAtidakhanyaterbataspadatanamantinggi saja,

tetapi juga disintesis oleh khamir dancendawan berfilamen.Produksi AIA oleh

cendawan telah diketahui lebih tinggidibandingkan dengan tumbuhan tinggi,

(23)

Produksi AIAolehL. sajor-caju menurun jika medium kultur tidak

mengandung sumber nitrogen (N) eksogen dan diinkubasi dengan paparan

cahaya(Yurekliet al. 2003). Produksi AIA menjadi meningkat jika medium

kulturmengandung sumber N eksogen, pada pH 7,5, dan diinkubasi dalam kondisi

gelap, pada mesin penggoyang, serta pada suhu kamar. Dengan demikian,

konsentrasiAIApada mediumkultur L. sajor-caju sangat bergantungpada cara

inkubasi, suhu, kondisi kultur, pH, dan cahaya(Yurekliet al. 2003).

Cendawan lain sebagai penghasil AIA ialah Saccharomyces

cerevisiae,Aspergillus nigerdanColletotrichumgloeosporioides. AIAdiproduksi oleh

S. cerevisiae dan A. niger pada medium Czapek dengan penambahan triptofan, dalam

kondisi asam (pH 4,0), pada suhu kamar, dan diinkubasi pada mesin penggoyang

selama 10 hari di ruang gelap (Bau 1981). Prusty et al.(2004) menyatakan bahwa

AIAmempengaruhi pengembangan morfogenetik S. cerevisiae.Pada konsentrasi

tinggi, AIAmenghambat pertumbuhan sel-sel S. cerevisiae, sedangkan pada

konsentrasi yang lebih rendah menginduksi pembentukan filamen dan adhesi.

Penambahan triptofan ke dalam medium umumnya dilakukan karena triptofan

merupakan prekursor untuk pembentukan AIA(Taiz & Zeiger 2002; Davies 2004;

Woodward &Bartel 2005; Saupe et al. 2007). Penambahan triptofan eksogen ke

dalam medium kultur

ColletotricumgloeosporioidesdapatmeningkatkanbiosintesisAIA hingga 2,7kali

(Moar et al. 2004). Penelitian Moar et al. (2004) menunjukkan bahwa enzim untuk

sintesis AIA pada tingkatbasal tetap dipertahankanoleh cendawanbahkantanpa adanya

triptofan. Namun demikian, triptofanendogen dari cendawantidakmendukung dalam

produksi AIA. AktivitasenzimatikmeningkatdanAIA dapat diproduksi

ketikatriptofaneksogentelah tersediauntuk cendawan. Hasil inimenunjukkan

bahwaC.gloeosporioides memproduksiAIA di dalam tumbuhan

mampumemanfaatkantriptofan eksogen dari tumbuhan. Dengan demikian, tanaman

yang terinfeksi oleh C.gloeosporioidesmengandungkadarAIA yang lebih tinggi

(24)

Subbarayan et al. (2010) telah melakukan penelitian terhadap Colletotricum

sp. dalam memproduksi AIA. AIA asal Colletotricum sp. berpengaruh terhadap

pembentukan kalus pada kultur jaringan Alternanthera sessilis. AIA yang dihasilkan

sebesar 25 ppm dengan penambahan triptofan pada medium Czapek yang diinkubasi

di ruang gelap dengan suhu 26°C selama 5 hari.

Potensi produksi AIA asal cendawan juga dilaporkan oleh Tuomi et al.(1995).

Tuomi et al. (1995) menyatakan bahwa sebanyak 59% kapang yang diisolasi dari

kecambah gandum diantaranya ialah Fusarium sp., Alternaria infectoria, Aspergillus

flavus, Penicillium chrysogenum, Penicillium corylophilum, Epicoccum nigrum, dan

Hypocrea pulvinata mampu memproduksi AIA.AIA diproduksi oleh kapang-kapang

tersebut pada kultur dengan sumber karbon yang terbatas (glukosa), sumber nitrogen

berupa amonium tartrat, pH 5,8, dan kemudian diinkubasi di atas mesin penggoyang

(190 rpm) selama 9 hari pada suhu 27°C di ruang gelap (Tuomi et al. 1995).

Sebaliknya, menurut Hasan (2002), hanya F. oxysporum yang mampu memproduksi

AIA, sedangkan A. flavus, P. chrysogenum, dan P. corylophilum tidak dapat

memproduksi AIA. F. oxysporum yang dikulturkan di dalam 50 ml medium Czapek

dengan penambahan pepton 1% sebagai sumber N, dan 1% glukosa sebagai sumber

C, dan diinkubasi selama 15 hari pada suhu 28°C dapat menghasilkan AIA(Hasan

2002).

Trichoderma virens mampu menghasilkan senyawa kompleks indolik seperti

AIA, asam indol asetaldehid (AIAld), dan indol etanol (iet). Senyawa-senyawa ini

diduga berperan dalam pertumbuhan tanaman (Cornejo et al. 2009).

Trichodermasp.IPBCC 09.622 asal serasah tanaman hutan meranti dapat

memproduksi AIA hingga 12,42 kali lipat dari kontrol setelah penambahan pepton

1% dan 3 kali lipat dari kontrol setelah penambahan triptofan (Imaningsih 2010).

Tanah Masam

Tanahasam adalah tanah yang memiliki nilai pHkurangdari7,0. Setengah

daritanahsuburdi seluruh dunia, khususnyadi daerah yang

(25)

selalumengandungprotonbebaspadakonsentrasilebih besar dari1mmol m-3.Misalnya

tanahdidaerah hutan tropislembab dantanahdilahan basah, tanahnya sangat

dipengaruhi olehreaksi oksidasi serta aktivitas biota (Sposito 2008).

pH tanah sering disebut sebagai variabel utama dan sangat berpengaruh dalam

proses dan reaksi kimia di dalam tanah. Semua asam mengandung ion hidrogen dan

kekuatan asamnya tergantung kepada derajat ionisasi (pelepasan ion hidrogen) dari

suatu senyawaasam (Sparks2003).Berdasarkan derajat kemasamannya, Sparks (2003)

menggolongkan tanah menjadi beberapa kelompok yaitu kemasaman tanah:(1)

ekstrem masam (pH tanah <4,5); (2) masam sangat kuat (pH tanah antara 4,5-5,0); (3)

sangat masam (pH tanah antara 5,1-5,5); (4) moderat masam (pH tanah antara

5,6-6,0); (5) masam ringan hingga netral(pH tanah antara 6,1-7,3); dan (6) basa ringan

(pH tanah antara 7,4-7,8).

pH tanah yang masam berpengaruh nyata terhadap mikroorganisme dan

kelarutan nutrisi tanaman di dalam tanah (Sparks 2003). pH tanah yang terlalu rendah

menyebabkan tidak tersedianya unsur hara tanaman di dalam tanah, seperti hara P, K,

Ca, Mg dan unsur mikro yang menyebabkan tanaman kekurangan unsur hara

sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman tidak optimal (Ispandi& Munip 2005).

Hujanasammemilikiefekyang signifikantidak

hanyapadapohontetapijugapadakimiatanah.Pengapuranhutanjarang

dilakukandanhujanasamdapatmenyebabkanpencuciankationnutriensepertiCa2+, K+,

Mg2+, di dalam tanah, mengakibatkanpH rendahdanlogamberacunsepertiAl3+danMn2+

Lahan tanah masammasih memiliki potensi untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan,perkebunan, maupun tanaman hutan. Secara alami, tanah ini mempunyai kesuburan yang rendah dan peka terhadaperosi.Wilayah lahan masam denganrelief datar hingga berombak dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan semusim, sedangkanrelief berbukit dapat dikembangkan dengan tanaman tahunanatau perkebunan dan hutan tanaman industri. Teknologi pengelolaanlahan seperti pemupukan untuk memperbaiki kandungan hara tanah, pengapuran untuk

(26)

meningkatkan pH tanahdan menurunkan reaktivitas Al3+, serta tindakan konservasi tanah sangat disarankan(Suharta 2010).

(27)

BAHAN DAN METODE

Bahan

Bahanyang digunakan dalam penelitian ini ialah sebanyak 51biakan kapang

asal serasah tanaman hutan koleksi IPBCC yaitu 19 kapang asal Katingan,

Kalimantan Tengah (Tabel 1) dan 32 kapang asal Tarakan, Kalimantan Timur (Tabel

2), media potato dextrose agar (PDA), media Czapek Dox cair, pereaksi Salkowski,

pepton, kertas saring Whatman No.1.

Tabel 1 Kapang asal serasah tanaman hutan dari Katingan

No. Nama Cendawan No. Aksesi

1 Acremonium sp. IPBCC 07.548

2 Aspergillus ornatus IPBCC 07.554 3 Gliocladium deliquescens IPBCC 07.543

4 Paecylomyces sp. IPBCC 07.550

5 Penicillium herqueii IPBCC 07.557 6 Penicillium janthinellum IPBCC 07.542 7 Penicillium miczynskii IPBCC 07.541 8 Penicillium notatum IPBCC 07.555

9 Penicillium sp. IPBCC 07.536

10 Penicillium sp. IPBCC 07.537

11 Penicillium sp. IPBCC 07.538

12 Penicillium sp. IPBCC 07.539

13 Penicillium velutenum IPBCC 07.535 14 Trichoderma harzianum IPBCC 07.545

15 T. harzianum IPBCC 07.546

16 T. harzianum IPBCC 07.547

(28)

Tabel 2 Kapang asal serasah tanaman hutan dari Tarakan

No. Nama Cendawan No. Aksesi

1 Acremonium sp. IPBCC 08.574

2 Acremonium sp. IPBCC 08.600

3 Acremonium sp. IPBCC 08.601

4 Aspergillus foetidus IPBCC 08.575 5 Aspergillus japanicum IPBCC 08.576

6 A. japonicum IPBCC 08.608

7 A. japonicum IPBCC 08.609

8 Aspergillus niger IPBCC 08.610

9 Aspergillus Ochraceus IPBCC 08.577 10 Aspergillus parasiticus IPBCC 08.611

11 Diplodina sp. IPBCC 08.579

12 Gliocladium roseum IPBCC 08.614

13 Gliocladium sp. IPBCC 08.584

14 Gliocladium sp. IPBCC 08.585

15 Gliocladium sp. IPBCC 08.607

16 Penicillium aurantiocandidum IPBCC 08.587

17 P. aurantiocandidum IPBCC 08.588

18 Penicillium citrinum IPBCC 08.589 19 Penicillium corylophilum IPBCC 08.590

20 P. corylophilum IPBCC 08.591

21 P. corylophilum IPBCC 08.592

22 Penicillium decumbens IPBCC 08.616 23 Penicillium piscarium IPBCC 08.593 24 Penicillium roseopurpureum IPBCC 08.594

25 P. roseopurpureum IPBCC 08.595

26 P. roseopurpureum IPBCC 08.596

27 P. roseopurpureum IPBCC 08.603

28 Penicillium steckii IPBCC 08.597

29 P. steckii IPBCC 08.598

30 Trichoderma harzianum IPBCC 08.605

31 Trichoderma sp. IPBCC 08.599

(29)

Metode

Penelitian ini dilakukan secara bertahap mengikuti alur penelitian pada

Gambar 2. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik dengan

menggunakan rancangan acak lengkap (RAL).

Gambar 2 Alur penelitian. penapisan isolat berdasarkan asal isolat, dan cara inkubasi

dalam produksi AIA

penapisan Isolat terpilih dalam produksi AIA setelah biakan menjalani prosespenyimpanan

uji toleransi kapang terpilih terhadap pH asam

uji produksi AIA pada beberapa konsorsium kapang terpilih

uji antagonistik antar isolat terpilih

konfirmasi produksi AIA

isolat dan cara inkubasi terpilih

isolat terpilih

isolat terpilih

(30)

Peremajaan Biakan

Kultur stok diremajakan pada media PDA selama 7-10 hari dan digunakan

sebagai sumber biakan kerja.

Penapisan Kapang yang Berpotensi dalam Produksi AIA

Potensi kapang dalam produksi AIA diukur sebelum dan setelah kapang

disimpan selama tiga bulan di dalam lemari pendingin pada suhu 10°C.

Sebanyak tiga potong biakan kerja (masing-masing berdiameter 5 mm)

diinokulasikan ke dalam 50 ml media Czapek Dox cair (Lampiran 1) dengan

ditambahkan sumber N berupa pepton 1% (Hasan 2002). Kultur diinkubasi dalam

keadaan statis dan di atas mesin penggoyang pada suhu ruang dengan kondisi

gelapselama 9 hari.

Pada akhir masa inkubasi, kadar AIA ditetapkan berdasarkan metode Patten

dan Glick (2002) yang dimodifikasi. Sebanyak 5 ml filtrat disentrifugasi pada

kecepatan 1.957 x g selama 5 menit. Sebanyak 1 ml supernatan ditambahkan dengan

4 ml pereaksi Salkowski (Lampiran 2). Selanjutnya supernatan dikocok dengan

vorteks dan didiamkan di ruang gelap pada suhu ruang selama 20 menit untuk

pengembangan warna.Perubahan warna menjadi merah muda menandakan adanya

AIA.Absorbansi supernatandibaca dengan menggunakan spektrofotometer

Thermospectronic Genesys20 pada panjang gelombang 530 nm. Konsentrasi AIA

(ppm) yang dihasilkan diperoleh melalui konversi absorbansi dengan menggunakan

kurva standar AIA.

Kapang-kapang dengan potensi produksi AIA tertinggi dipilih untuk

digunakan dalam penelitian selanjutnya. Cara inkubasi yang menghasilkan kadar AIA

tertinggi dipilih sebagai metode inkubasi.

Toleransi Kapang terhadap pH Asam

Sebanyak tiga potong biakan kerja kapang terpilih (masing-masing

berdiameter 5 mm) diinokulasikan ke dalam 50 ml media Czapek Dox cair dengan

(31)

hari dengan cara inkubasi terpilih pada suhu ruang dengan beberapa tingkat pH yang

berbeda (4,5; 5,0; dan 5,5). Tingkat keasaman diatur dengan menggunakan bufer

sitrat (0,1 M, pH 3,0-6,2) sebagai pelarut. Pada akhir masa inkubasi, sebanyak 5 ml

filtrat disentrifugasi pada kecepatan 1.957 x g selama 5 menit. Kadar AIA pada

supernatan ditetapkan dengan metode Patten dan Glick (2002). Pertumbuhanyang

dinyatakan dalam berat kering biomasa dan pH akhir medium juga diamati. Kapang

yang menghasilkan AIA dengan kadar AIA tertinggi dan toleran terhadap kondisi

asam digunakan dalam uji produksi AIA selanjutnya. pH medium yang menunjukkan

produksi AIA maksimum digunakan untuk penelitian selanjutnya.

Uji Antagonistik

Sebelum produksi AIA dalam bentuk konsorsium, kapang terpilih terlebih

dahulu diuji potensi antagonistiknya. Uji antagonistik dilakukan dengan

menggunakan uji konfrontasi langsung dua koloni secara in vitro(Abdel-Sater 2001)

antar isolat kapang terpilih. Interaksi antagonistik antar isolat kapang terpilih

dilakukan dengan menumbuhkan kedua kapang tersebut pada satu media PDA cawan

petri 10 cm secara berdampingan dengan jarak antar koloni 2 cm. Pertumbuhan kedua

kapang diukur setiap hari hingga hari kesembilan. Sifat antagonistik ditetapkan

berdasarkan persentase penghambatan. Persentase penghambatan pertumbuhan

diukur berdasarkan persamaan (r1-r2)/r1 x100%, dengan r1 adalah jari-jari dalam dari

kapang kontrol, dan r2

Sebanyak tiga potong biakan kerja kapangterpilih (masing-masing

berdiameter 5 mm) diinokulasikan ke dalam 50 ml media Czapek Dox cair dengan

ditambahkan sumber N berupa pepton 1% (Hasan 2002). Kultur diinkubasi selama 9 adalah jari-jari dalam dari kapang yang sama pada

perlakuan(Abdel-Sater 2001). Masing-masing perlakuan dan kontrol dilakukan

sebanyak tiga ulangan. Kapang-kapang yang tidak menunjukkan sifat antagonis

dijadikan sebagai sumber inokulum dalam uji produksi AIA dengan bentuk

konsorsium.

(32)

hari dengan cara inkubasi terpilih dan pH optimum pada suhu ruang dengan beberapa

bentuk konsorsiumdua biakan, tiga biakan, dan empat biakan kapang terpilih. Pada

akhir masa inkubasi, sebanyak 5 ml filtrat disentrifugasi pada kecepatan 1.957 x g

selama 5 menit. Kadar AIA pada supernatan ditetapkan dengan metode Patten dan

Glick (2002).

Konfirmasi Produksi AIA

Konsorsium terpilih diproduksi ulang untuk pengujian konfirmasi produksi

AIA dengan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC).

Analisis HPLC dilakukan di Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Balai Penelitian

Lingkungan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor dengan berdasarkan pada

prosedur analisis dari lembaga tersebut (Lampiran 6). Sebanyak 1 ml sampel

ditambahkan dengan 1 ml eter, kemudian dikocok dengan vorteks selama 1 menit.

Pembilasan dengan eter tersebut dilakukan sebanyak tiga kali. Filtrat eter ditampung

dan dikeringkan, kemudian dilarutkan dengan 2 ml metanol 60% dan dikocok dengan

vorteks. Selanjutnya filtrat disaring dengan milifor 0,45 µm, kemudian sebanyak 10

µL filtrat disuntikkan ke HPLC. HPLC yang digunakan yaitu merk Shimadzu

L20344700989 35 Mpa, dengan kolom C18, detektor SPD-M 20, fase

gerakmenggunakan metanol 60%, kecepatan aliran 0,5 ml/menit, waktu 15

menit,suhu 40°C, dan pada panjang gelombang 530 nm. Konsentrasi AIA (ppm)

ditentukan melalui konversi luas daerah serapan sampel terhadap kurva standar AIA

(33)

HASIL

Penapisan Kapang yang Berpotensi dalam Produksi AIA

Sebanyak 51 kapang asal serasah tanaman hutan yaitu 19 dari Katingan (Tabel

1) dan 32 dari Tarakan (Tabel 2) telah diuji potensinya dalam memproduksi AIA.

Kapang-kapang yang berasal dari dua daerah ini seluruhnya mampu menghasilkan

AIA dengan kadar yang sangat bervariasi (Lampiran 3). Secara umum,

kapang-kapang asal Katingan memproduksi AIA (1,92±0,26 ppm) lebih tinggi dibanding

kapang-kapang asal Tarakan (1,08±0,14 ppm) (Gambar 3a). Isolat kapang asal

Katingan merupakan isolat kapang terpilih dalam memproduksi AIA.

Produksi AIA dengan cara inkubasi statis (2,72±0,89 ppm) lebih tinggi

dibandingkan dengan cara digoyang (1,92±0,26 ppm) (Gambar 3b). Cara inkubasi

statis merupakan cara inkubasi yang dipilih dalam produksi AIA.

Gambar 3 (a)Rataan kadar AIA yang dihasilkan oleh isolat kapang asal Katingan dan Tarakan dengan inkubasi digoyang;(b) Rataan kadar AIA yang dihasilkan oleh isolat kapang asal Katingan dengan inkubasi statis dan digoyang.

Pengaruh penyimpanan terhadap produksi AIA dari 19 isolat kapang asal

Katingan bervariasi tergantung kepada jenis kapangnya. Sebesar 36,84% isolat

kapang asal Katingan dipengaruhi oleh proses penyimpanan dalam produksi AIA.

Produksi AIA pada kapang yang lainnya (63,16%) tidak dipengaruhi oleh proses

penyimpanan. Jika produksi AIA dipengaruhi oleh proses penyimpanan, maka

sebanyak 31,58% mengalami penurunan produksi AIA secara nyata dan sebaliknya

sebanyak 5,26% mengalami kenaikan produksi AIA secara nyata (Tabel 3).

(34)

Tabel 3 Produksi AIA dari isolat asal Katingan sebelum dan setelah proses penyimpanan selama tiga bulan pada suhu 10°C

Nama Kapang No. Aksesi

Kadar AIA (ppm) Sebelum

penyimpanan

Setelah penyimpanan

Acremonium sp. IPBCC 07.548 7,83±0,16 b 3,52±0,46 a

Aspergillus ornatus IPBCC 07.554 1,85±0,09 a 4,50±0,92 b

Gliocladium deliquescens IPBCC 07.543 6,96±2,18 b 2,23±0,38 a

Paecylomyces sp. IPBCC 07.550 0,94±0,71 a 1,33±0,08 a Penicillium herqueii IPBCC 07.557 1,38±0,18 a 1,46±0,05 a Penicillium janthinellum IPBCC 07.542 0,88±1,24 a 1,23±0,05 a Penicillium miczynskii IPBCC 07.541 0,33±0,15 a 1,12±0,00 a

Penicillium notatum IPBCC 07.555 7,20±0,11 b 5,06±0,46 a

Penicillium sp. IPBCC 07.536 4,48±2,80 b 1,25±0,52 a Penicillium sp. IPBCC 07.537 4,75±2,64 b 2,21±0,57 a Penicillium sp. IPBCC 07.538 0,82±1,15 a 1,00±0,16 a Penicillium sp. IPBCC 07.539 1,82±1,15 a 0,77±0,11 a Penicillium velutenum IPBCC 07.535 1,57±0,09 a 0,88±0,38 a Trichoderma harzianum IPBCC 07.545 0,50±0,71 a 0,71±0,08 a T. harzianum IPBCC 07.546 2,13±0,88 a 0,46±0,05 a T. harzianum IPBCC 07.547 0,39±0,51 a 0,81±0,05 a Trichoderma koningii IPBCC 07.552 2,07±0,62 a 1,54±0,33 a Trichoderma

longibranchiatum IPBCC 07.556 1,13±0,18 a 1,29±0,46 a Trichoderma viridae IPBCC 07.551 4,75±0,35 b 0,75±0,03 a

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% (DMRT).

(a) (b) (c) (d)

(35)

Empat isolat kapang yang menghasilkan AIA tertinggi dijadikan sebagai

sumber inokulum pada uji selanjutnya. Empat isolat kapang tersebut diambil dari

hasil uji produksi AIA setelah penyimpanan ialah Acremonium sp.IPBCC

07.548(Gambar 4a) memproduksi AIA sebesar 3,52±0,46 ppm, A. ornatusIPBCC

07.554 (Gambar 4b)memproduksi AIA sebesar 4,50±0,92 ppm, G.

deliquescensIPBCC 07.543 (Gambar 4c)memproduksi AIA sebesar 2,23±0,38 ppm,

dan P. notatumIPBCC 07.555(Gambar 4d) memproduksi AIA sebesar 5,06±0,46

ppm.

Toleransi Kapang terhadap pH Asam

Produksi AIA dari keempat kapang terpilih dipengaruhi oleh pH medium. pH

optimum untuk produksi AIA bervariasi tergantung kepada jenis kapangnya (Gambar

5a). Namun secara umum, produksi AIA mencapai maksimum pada pH 5,5. pH

medium pada akhir masa produksi AIA berubah (meningkat atau menurun) dari pH

awalnya (Tabel 4).

Gambar 5 (a) Kadar AIA dan (b) bobot kering biomasa dari (

) Acremonium sp.IPBCC 07.548, (▲) A. ornatusIPBCC 07.554, (

) G. deliquescensIPBCC 07.543, dan (

) P. notatumIPBCC 07.555.

(36)

Bobot kering biomasa tidak berkorelasi nyata terhadap produksi AIA pada

berbagai pH awal medium.Pertumbuhan miselium (bobot kering

biomasa)menunjukkan pertumbuhan yang baik pada pH asam. Bobot kering biomasa

miselium A. ornatus IPBCC 07.554, G. deliquescens IPBCC 07.543,dan P. notatum

IPBCC 07.555 cenderung menurun dengan kenaikan pH media kultur. Sebaliknya,

bobot kering biomasa miselium Acremonium sp.IPBCC 07.548 cenderung

meningkat(Gambar 5b).

Tabel 4 pH awal dan pH akhir dalam produksi AIA pada kapang terpilih

pH awal

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% (DMRT).

Produksi AIA oleh Acremonium sp.IPBCC 07.548 optimum pada pH 5,5

(Gambar 5a), tumbuh optimum pada pH 7,3 (Gambar 5b), dan pH awal medium

cenderung tidak berubah kecuali pada pH awal medium 7,3menurun menjadi

5,85±0,07(Tabel 4).A. ornatus IPBCC 07.554sangat menurunkan pH mediumawalnya

(Tabel 4). A. ornatus IPBCC 07.554menunjukkan toleransi yang kuat terhadap asam

karena A. ornatus IPBCC 07.554tumbuh baik di pH asam dan tumbuh optimum pada

pH 5,0 (Gambar 5b). Namun demikian, produksi AIA dari A. ornatus IPBCC 07.554

sangat rendah pada pH asam tetapi optimum pada pH 7,3 (Gambar 5a), padahal pada

pH 7,3 tumbuhnya relatif terhambat (Gambar 5b).Pada akhir produksi AIA, pH akhir

medium G. deliquescens IPBCC 07.543 relatif tidak berubah dari pH awalnya (Tabel

4). Produksi AIA oleh G. deliquescens IPBCC 07.543 mencapai maksimum pada pH

5,5 dan tumbuh optimum pada pH 4,5 (Gambar 5b), tetapi pada pH ini produksi AIA

relatif rendah (Gambar 5a). pH akhir medium P. notatum IPBCC 07.555 cenderung

menurun (Tabel 4) dan menunjukkan toleransi terhadap kondisi asam. Hal ini

ditunjukkan oleh pertumbuhannya yang baik di pH asam dan optimum pada pH 4,5

(Gambar 5b).P. notatum IPBCC 07.555 selain menunjukkan pertumbuhan yang baik

(37)

asam (Gambar 5a). Produksi AIA dari P. notatum IPBCC 07.555 optimum pada pH

5,0 dan 5,5 (Gambar 5a).

Sifat Antagonistik

Uji antagonistik menunjukkan bahwa isolat-isolat kapang terpilih tidak

bersifat antagonis. Hal ini ditunjukkan oleh nilai persentase hambatan dari setiap

kapang yang diuji sangat rendah yaitu berkisar antara 0,00-0,65% (Tabel 5). Dengan

demikian, semua isolat kapang terpilih digunakan dalam uji produksi AIA dalam

bentuk konsorsium.

Tabel 5 Interaksi penghambatan pertumbuhan antara dua isolat kapang terpilih

Isolat Persentase (%) penghambatan isolat kapang terhadap

Acremonium sp. A. ornatus G. deliquescens P. notatum

Acremonium sp. - 0,00±0,00 0,00±0,00 0,13±0,14

A. ornatus 0,08±0,04 - 0,00±0,00 0,39±0,18

G. deliquescens 0,53±0,12 0,65±0,09 - 0,57±0,13

P. notatum 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 -

Produksi AIApada Beberapa Konsorsium Kapang

Secara umum, produksi AIA pada beberapa konsorsium kapang lebih tinggi

dibandingkan dengan bentuk kultur tunggal. Produksi AIAP. notatum IPBCC 07.555

dalam bentuk kultur tunggal menghasilkan AIA tertinggi. Kehadiran P. notatum

IPBCC 07.555 pada bentuk konsorsium apapun selalu menghasilkan kadar AIA yang

tinggi (Gambar 6).

Gambar 6 Produksi AIA dari kultur tunggal dan beberapa konsorsiumkapang. Keterangan: (A)Acremonium sp.IPBCC 07.548, (B)A. ornatusIPBCC 07.554, (C) G.

deliquescensIPBCC 07.543, (D)P. notatumIPBCC 07.555, (E)IPBCC 07.543+548, (F)IPBCC 07.543+554,(G) IPBCC 07.543+555, (H)IPBCC

(38)

07.548+554, (I)IPBCC 07.548+555, (J)IPBCC 07.554+555, (K)IPBCC 07.543+548+554, (L)IPBCC 07.543+548+555, (M)IPBCC 07.543+554+555, (N)IPBCC 07.548+554+555, (O)IPBCC 07.543+548+554+555.

Kemampuan kapang dalam produksi AIA bervariasi menurut bentuk

konsorsiumnya, yaitu berkisar 3,28±0,07 ppm hingga 10,51±1,25 ppm. Produksi AIA

tertinggi diperoleh oleh konsorsium G yaitu antara G. deliquescens IPBCC 07.543

denganP. notatum IPBCC 07.555 yang diikuti oleh konsorsium M, L, dan O

(Gambar 6). Produksi AIA tertinggi dari setiap bentuk konsorsium dikultur ulang

untuk uji konfirmasi produksi AIA dengan menggunakan HPLC.

Konfirmasi Produksi AIA

Uji konfirmasi produksi AIA dengan menggunakan HPLC dari konsorsium

terpilih (G, L, M dan O) menunjukkan bahwa produksi AIAtertinggi diperoleh oleh

konsorsium M yaitu sebesar 38,66 ppm diikuti oleh konsorsium O (23,58 ppm), G

(23,13 ppm), dan L (21,57 ppm) (Tabel 6).

Tabel 6 Konfirmasi produksi AIA dari konsorsium terpilih dengan menggunakan HPLC

Kode Sampel Kadar AIA (ppm)

kontrol 0,00

G 23,13

L 21,57

M 38,66

O 23,58

Kromatogram HPLC untuk produksi AIA dari setiap bentuk konsorsium

terpilih menunjukkan profil puncak dengan waktu retensi 7,1 (Gambar7). Waktu

retensi ini sama dengan waktu retensi pada kromatogram standar AIA dengan

konsentrasi 1 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm (Lampiran 4). Profil puncak

dengan waktu retensi selain 7,1 (Gambar 7) diduga sebagai profil puncak untuk

(39)

(a) (b)

(b) (d)

(40)

PEMBAHASAN

Penapisan Kapang yang Berpotensi dalam Produksi AIA

Sebanyak 19 kapang asal serasah tanaman hutan dari Katingan dan 32 dari

Tarakan seluruhnya berpotensi menghasilkan AIA dengan kadar yang sangat

bervariasi. Secara umum, potensi produksi AIA oleh kapang-kapang asal Katingan

(1,92±0,26 ppm) lebih tinggi dibanding kapang-kapang asal Tarakan (1,08±0,14

ppm). Hal ini menunjukkan bahwa AIA selain disintesis oleh tumbuhan tinggi, tetapi

dapat juga disintesis oleh cendawan berfilamen AIA(Yurekliet al. 2003).

Medium kultur pada produksi AIA dari kapang asal kedua daerah tersebut

ditambahkan pepton 1%sebagai sumber nitrogen eksogen (Hasan 2002). Yurekliet

al. (2003) mengemukakan bahwa produksi AIApada L.

sajor-Produksi AIA dipengaruhi oleh suhu, cahaya, waktu inkubasi, maupun

sumber karbon yang tepat. Sumber karbon yang digunakan ialah sukrosa3%. Sukrosa

digunakan selain sebagai komponen standar dari media Czapek dox, juga merupakan

disakarida

caju menurun jika

medium kultur tidak mengandung sumber nitrogen eksogen. Namun, penambahan

0,015 ppm triptofan relatif tidak memberikan peningkatan produksi AIA pada

Penicillium sp. IPBCC 09.620, tetapi produksi AIAmeningkat hingga 27,78 kali dari

kontrol setelah penambahan pepton 1%ke dalam medium kultur (Imaningsih 2010).

Hasil penelitian pendahuluan terhadap beberapa kapang simpanan IPBCC

menunjukkan bahwa penambahan triptofan 0,0015-0,015 ppm ke dalam medium

kultur tidak menunjukkan adanya produksi AIA (data tidak dipublikasikan).

Penambahan triptofan eksogen pada konsentrasi tertentu menyebabkan kejenuhan dan

hambatan balik pada biosintesis AIA (Zhao et al. 2001). Kapang-kapang asal

Katingan dan Tarakan diduga mampu mensintesis triptofan endogen sebagai

prekursor AIA dengan menggunakan sumber N dari pepton.

yang seringdigunakanuntukproduksi metabolitsekunder (Adrio & Demain

2003). Glukosamerupakansumberkarbonyang pertama kali digunakanuntuk

memproduksisel dalam pertumbuhan somatis,sehingga berpengaruh terhadap

(41)

Produksi AIA juga dipengaruhi oleh cara inkubasi. Kapang yang diinkubasi

dalam keadaan statis (2,72±0,89 ppm) menghasilkan AIA dengan konsentrasi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan cara digoyang (1,92±0,26 ppm). Hal ini berbeda

dengan laporanYurekliet al. (2003) yang mengemukakan bahwa produksi

AIAmenjadi meningkat jika kapang diinkubasi pada mesin penggoyang.

Pada inkubasi statis, miselium kapang tumbuh di permukaan medium dan

bersporulasi, sedangkan pada inkubasi digoyangkapang tumbuh membentuk butiran

(pelet) dan tidak bersporulasi. Miselium yang berbentuk pelet dan tidak bersporulasi

diduga berhubungan dengan pembentukan metabolit sekunder pada fase stasioner.

Fase stasioner berhubungan dengan diferensiasi, sporulasi, dan produksi metabolit

sekunder yang memiliki aktivitas biologi (Kavanagh 2005). Cara inkubasi digoyang

dapat menyebabkan struktur AIA rusak oleh oksigen karena proses dekarboksilasi

yang mengakibatkan hilangnya gugus karboksil (Taiz & Zeiger 2002).

Inkubasi kapang dalam produksi AIA dilakukan dalam kondisi gelap selama 9

hari. Kondisi gelap diharapkan dapat meningkatkan produksi AIA karena menurut

Yurekliet al. (2003) bahwa produksi AIApada L.

sajor-Berdasarkan hasil penapisan di atas, maka isolat asal Katingan dan cara

inkubasi statis dipilih untuk uji pengaruh proses penyimpanan terhadap produksi

AIA. Sebagian besar (63,16%) isolat kapang asal Katingan tidak dipengaruhi oleh

proses penyimpanan dalam memproduksi AIA. Jika dipengaruhi oleh penyimpanan,

hanya sebanyak 31,58% mengalami penurunan dan 5,26% mengalami kenaikan

dalam produksi AIA. Penurunan produksi AIA oleh sebagian kecil kapang asal

Katingan ini diduga disebabkan oleh subkultur berulang (Hall 1980;Qu et al.2006).

Subkultur berulang pada media agar-agaryang berbeda mengakibatkan (1) perubahan caju meningkat jika kultur

diinkubasi dalam keadaan gelap. Inkubasi selama 9 hari dilakukan untuk meyakinkan

bahwa fase pertumbuhan kapang benar-benar sudah berada pada fase stasioner. Pada

umumnya kapang mulai memasuki fase stasioner pada hari ketujuh (Griffin 1994).

Selain itu, waktu inkubasi dalam produksi AIA yang pernah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya berkisar antara 5-15 hari (Bau 1981; Tuomi et al. 1995; Hasan 2002;

(42)

karakteristik morfologi dan fisiologi dari kultur murni sebelumnya;

(2)ketidakstabilanbiosintesismetabolitsekunder, hasil

metabolitberfluktuasi,danmenurunsecara drastisselamasiklussubkultur; dan

(3)ukuraninokulummemilikidampakbesarterhadap stabilitasbiosintesis metabolit

sekunder (Hall 1980; Qu et al.2006).

Penurunan aktivitas biosintesis AIA sebagai metabolit sekunder oleh kapang

asal serasah tanaman hutan diduga tidak ada hubungannya dengan proses

penyimpanan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya ketidakkonsistenan produksi AIA dari

setiap kapang yang diuji. Ketidakkonsistenan respon ini setidaknya untuk beberapa

jenis tidak menunjukkan hubungan secara langsung terhadap lama penyimpanan

(Hwang 1976). Arabiet al. (2007) melaporkanbahwapenyimpanan dan

pengawetanCochliobolussativus menimbulkan masalah,yaitu kelangsungan hidup

yang rendah danakibat kontaminasiketika cendawan disimpandimedia PDA

Produksi AIA pada berbagai pH awal medium tidak berkorelasi nyata

terhadap bobot kering biomasa miselium. Pertumbuhan miselium (bobot kering

biomasa) menunjukkan pertumbuhan yang baik pada pH asam. Bobot kering biomasa

miselium A. ornatus IPBCC 07.554, G. deliquescens IPBCC 07.543, dan P. notatum .

Toleransi Kapang terhadap pH Asam

Kemampuan produksi AIA dari keempat kapang terpilih dipengaruhi oleh pH

medium. pH optimum untuk produksi AIA bervariasi tergantung pada jenis kapang.

Namun secara umum, produksi AIA mencapai maksimum pada pH 5,5. Walaupun

medium kultur dalam kondisi ekstrem masam (pH 4,5), masam sangat kuat(pH 5,0),

dan sangat masam (pH 5,5) (Sparks 2003)setiap kapang terpilih masihmampu

memproduksi AIA. Hal ini membuktikan bahwa kapang-kapang tersebut toleran

terhadap kondisi asam. Organisme toleran asam adalah organisme yangsecara genetik

toleran atau organisme yang telah mengalami prosesadaptasi fisiologi sehingga

menjadi toleran terhadap kondisi asam (Keyser & Munns 1979). Selain itu, Bau

(1981) menyatakan bahwa S.cerevisiae dan A. niger mampu memproduksi AIA pada

(43)

IPBCC 07.555 cenderung menurun dengan kenaikan pH medium kultur. Sebaliknya,

bobot kering biomasa miselium Acremonium sp.IPBCC 07.548 cenderung meningkat.

Rousk et al. (2009) mengemukakan bahwa pengaruh pH terhadap pertumbuhan

kapang dapat meningkat hingga lima kali jika kapang ditumbuhkan pada pH yang

lebih rendah (4,5-5,5).

Produksi AIA oleh Acremonium sp.IPBCC 07.548 optimum pada pH 5,5.

Acremonium sp.IPBCC 07.548 tumbuh optimum pada pH 7,3 dengan produksi AIA

relatif tinggi walaupun pH awal 7,3 menurun menjadi 5,85±0,07 pada akhir masa

inkubasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Yunasfi (2008) yang menyatakan bahwa

pada umumnya Acremonium sp. tumbuh optimum pada pH 6 atau yang mendekati pH

netral walaupun belum ada laporanAcremonium sp. mampu memproduksi AIA.

Kemampuan Acremonium sp.IPBCC 07.548 memproduksi AIA pada pH sangat

masam (5,5) menunjukkan bahwa kapang ini toleran terhadap kondisi asam. Selain

itu, produksi AIA oleh Acremonium sp. IPBCC 07.548 pada pH awal 7,3 menurun

menjadi 5,85±0,07 mendekati pH optimum dalam produksi AIA. Kecilnya bobot

kering biomasa Acremonium sp. IPBCC 07.548 diduga disebabkan oleh kecepatan

pertumbuhan Acremonium sp. yanglambat(Yunasfi 2008).

Aspergillus ornatus IPBCC 07.554 menunjukkan toleransi yang kuat terhadap

kondisi asam karenaA. ornatus IPBCC 07.554 tumbuh baik di pH asam dan optimum

pada pH 5,0 serta sangat menurunkan pH awal medium. Namun demikian, produksi

AIA dari A. ornatus IPBCC 07.554 tergolong sangat rendah pada pH asam tetapi

optimum pada pH 7,3, padahal pada pH 7,3 tumbuh relatif terhambat. pH akhir yang

sangat rendah ini diduga disebabkan banyaknya asam-asam organik yang lain selain

AIA seperti asam oksalat, asam sitrat, dan asam glukonat yang dapat menurunkan pH

medium kultur (Santi et al. 2000).

Pada akhir masa inkubasi produksi AIA, pH akhir medium G. deliquescens

IPBCC 07.543 relatif tidak berubah dari pH awalnya. Produksi AIA oleh G.

deliquescens IPBCC 07.543 mencapai maksimum pada pH 5,5, tumbuh optimum

pada pH 4,5 dan cenderung menurun dengan meningkatnya pH medium kultur, tetapi

(44)

menunjukkan toleran terhadap kondisi asam. Selain itu, G. deliquescens IPBCC

07.543 mengindikasikan memiliki kemampuan tumbuh pada kisaran pH yang cukup

luas. Hal ini berbeda dengan G. roseum yang tumbuh optimum pada kisaran 6,4-8,0

(Isaac 1954).

Penicillium notatum IPBCC 07.555 selain menunjukkan pertumbuhan yang

baik di pH asam juga mampu memproduksi AIA dengan kadar yang cukup tinggi

pada pH asam. Produksi AIA dari P. notatum IPBCC 07.555 optimum pada pH 5,0

dan 5,5. pH akhir medium P. notatum IPBCC 07.555 cenderung menurun dan

menunjukkan toleran terhadap kondisi asam. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan

yang baik di pH asam dan optimum pada pH 4,5. Kapang P. notatum IPBCC 07.555

menunjukkan produksi AIA, pertumbuhan, dan toleran terhadap kondisi asam yang

lebih baik dibandingkan dengan kapang terpilih lainnya. Imaningsih (2010)

menyatakan bahwa Penicilliumsp. 09.620 asal serasah tanaman hutan meranti dapat

memproduksi AIA hingga 27,78 kali lipat dari kontrol setelah penambahan pepton

1%.

Sifat Antagonistik

Interaksi antagonistik pada isolat kapang terpilih tidak menunjukkan sifat

antagonis. Nilai persentase hambatan pertumbuhan dari setiap kapang yang diuji

sangat rendah yaitu berkisar antara 0,00-0,65%. Nilai penghambatan ini sangat kecil

jika dibandingkan dengan penghambatan oleh A. niger

Gliocladium deliquescens IPBCC 07.543 sama sekali tidak menunjukkan

adanya respon penghambatan dalam pertumbuhan dari setiap lawan antagonis kapang

terpilih. G. deliquescens dikenal sebagai kapang antagonis yang dapat menghambat

pertumbuhan kapang patogen (Abou-Zeid et al. 2008).G.deliquescens secara

signifikan menghambat pertumbuhan radial dari semua koloni patogen yang diuji bila

dibandingkan dengan kontrol. Sebesar 63,33% G. deliquescens menghambat terhadapFusarium solani yaitu

sebesar 75% (Madhanraj2010) danPleospora herbarum yaitu sebesar 55,4%

(45)

pertumbuhan P. chrysogenum dan 29,75% terhadap Cephalosporiummadurae(

Hasil uji konfirmasi produksi AIA dengan menggunakan HPLC menunjukkan

bahwa kapang-kapang dari konsorsium terpilih (G, L, M dan O) memproduksi AIA.

Hal ini ditunjukkan oleh profil puncak waktu retensi yang sama dengan waktu retensi

pada standar AIA komersial yaitu 7,1. Dengan demikian, senyawa indol yang

dihasilkan oleh konsorsium terpilih merupakan jenis AIA.Produksi AIAtertinggi

didapat oleh konsorsium M yaitu sebesar 38,66 ppm diikuti oleh konsorsium O

(23,58 ppm), G (23,13 ppm), dan L (21,57 ppm). Hasil uji kadar AIA pada

konsorsium kapang terpilih dengan menggunakan HPLC lebih tinggi dibanding hasil

pengujian dengan menggunakan pereaksi Salkowski. Hal ini menunjukkan

Abou-Zeidet al. 2008).

Produksi AIApada Beberapa Konsorsium Kapang

Produksi AIA pada beberapa konsorsium kapang secara umum lebih tinggi

dibandingkan dengan bentuk kultur tunggal. AIA yang diproduksi bervariasi

tergantung kepada bentuk konsorsiumnya, yaitu berkisar 3,28±0,07 ppm hingga

10,51±1,25 ppm. Mittal et al. (2008) melaporkan bahwa kadar AIA yang dihasilkan

oleh dua galurA.awamori dan empat galurP.citrinum dalam bentuk konsorsium yaitu

sebesar 2,5 ppm sampai dengan 9,8 ppm. Dengan demikian, kadar AIA yang

dihasilkan oleh kapang terpilih asal Katingan dalam bentuk konsorsium tersebut tidak

jauh berbeda dengan kadar AIA yang dilaporkan oleh Mittal et al. (2008), bahkan

sedikit lebih tinggi.

Produksi AIAP. notatum IPBCC 07.555 dalam bentuk kultur tunggal

menghasilkan AIA tertinggi. Kehadiran P. notatum IPBCC 07.555 pada bentuk

konsorsium cenderung selalu menghasilkan kadar AIA yang tinggi. Produksi AIA

tertinggi didapat oleh konsorsium G. deliquescens IPBCC 07.543 dengan P. notatum

IPBCC 07.555. Pandya dan Saraf (2010)mengemukakan bahwa Gliocladium dan

Penicilliummerupakan cendawan yang toleran terhadap cekaman dan mampu

membentuk asosiasi mutualistik yang mengakibatkan peningkatan biomasa.

(46)

sensitivitas dan akurasi HPLC jauh lebih tinggi dibanding pengukuran dengan

menggunakan pereaksi Salkowski (Guinn et al. 1986). HPLC memiliki sensitivitas

yang tinggi pada jalur detektor sehingga memungkinkan selektivitas yang tinggi

terhadap fraksi-fraksi yang diuji (Guinn et al. 1986).

Pengujian AIA dengan menggunakan HPLC biasanya tidak menggunakan

panjang gelombang 530 nm tetapi pada panjang gelombang 254 nm (Guinn et al.

1986). Panjang gelombang yang digunakan untuk uji konfirmasi AIA dengan HPLC

dari konsorsium kapang terpilih ialah sama dengan panjang gelombang pada uji AIA

dengan menggunakan pereaksi Salkowski yaitu 530 nm. Dengan menggunakan

panjang gelombang 530 nm ini, dihasilkan kromatogram dengan satu profil puncak

pada waktu retensi 7,1. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa panjang gelombang

530 nm lebih spesifik untuk mendeteksi AIA. Menurut Guinn et al. (1986), pengujian

AIA dengan menggunakan panjang gelombang 254 nm kurang spesifik untuk AIA,

tetapi panjang gelombang ini dapat digunakan untuk uji AIA jika sampel sudah

dimurnikan dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, pengkajian lebih lanjut dari isolat-isolat

terpilih dalam penggunaan sumber glukosa, sumber nitrogen, suhu, dan waktu

inkubasi yang tepat untuk produksi AIA secara optimum perlu dilakukan. Selain itu,

pengkajian tentang aplikasi isolat terpilih baik pada skala laboratorium (bioasai)

maupun pada skala lapangan dalam kondisi asam, serta potensi isolat dalam produksi

(47)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kapang asal serasah tanaman hutan dari Katingan dan Tarakanseluruhnya

berpotensi sebagai penghasilAIAdengan kadar yang sangat bervariasi. Potensi

produksi AIAoleh kapang-kapang asal Katingan (1,92±0,26 ppm) lebih tinggi

dibanding kapang-kapang asal Tarakan (1,08±0,14 ppm). Produksi AIA dengan cara

inkubasi statis (2,72±0,89 ppm) lebih tinggi dibandingkan dengan cara digoyang

(1,92±0,26 ppm). Sebagian besar produksi AIA pada kapang asal Katingan (63,16%)

tidak dipengaruhi oleh proses penyimpanan pada suhu dingin (10°C) selama tiga

bulan. Produksi AIA dari empat isolat kapang asal Katingan terpilih yaitu

Acremonium sp.IPBCC 07.548(3,52±0,46 ppm),Aspergillus ornatusIPBCC

07.554(4,50±0,92 ppm),Gliocladium deliquescensIPBCC 07.543(2,23±0,38 ppm),

dan Penicillium notatumIPBCC 07.555(5,06±0,46 ppm) dipengaruhi oleh pH

medium.Kapang-kapang tersebut toleran terhadap asam pada pH optimum 5,5.

Pertumbuhan kapang dalam bentuk konsorsium tidak menunjukkan adanya

respon antagonistik antar isolat terpilih yang satu dengan yang lainnya. Produksi AIA

dari kapang-kapang terpilih dalam bentuk konsorsium lebih tinggi dibandingkan

dengan kultur tunggal.

Saran

Isolat kapang-kapang terpilih sebelum dijadikan sebagai agen produksi AIA

secara in vitro, informasi kinetika produksi dalam sistem fermentasi perlu dipelajari.

Jika isolat kapang-kapang terpilih ini dijadikan agen produksi AIA secara in planta,

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Sater MA. 2001. Antagonistic interactions between fungal pathogen and leaf surface fungi on onion (Allium cepa L). Pak J Biol Sci 29:29-34.

Abou-Zeid AM, Altalhi AD, El-Fattah ARI. 2008. Fungal control of pathogenic fungi isolated from somewild plants in Taif Governorate, Saudi Arabia.MalJ Microbiol4:30-39.

Adrio JL, Demain AL. 2003. Fungal biotechnology. Int Microbiol 6:191-199.

AlvarezR, Nissen SJ, Sutter EG. 1989. Relationship betweenindole-3-acetic acid levels in apple (Malus pumila Mill.) rootstocks culturedin vitro and adventitious root formation in the presence of indole-3-butyricacid. Plant Physiol 89:439–443.

ArabiMIE, Jawhar M, Al-Daoude A. 2007. Viability of Cochliobolus sativus cultures after storageunder different conditions.JPlant Pathol 89:79-83.

Bao Fet al. 2004. Brassinosteroids interact with auxin to promotelateral root development in Arabidopsis. Plant Physiol 134:1624–1631.

Bau YS. 1981. Indole compounds in Saccharomyces cerevisiae and Aspergillus niger. Bot Bull Acad Sinica 22:123-130.

Bilkay IS, Karakoc S, Aksoz N. 2010. Indole-3-acetic acid and gibberellic acid production in Aspergillus niger. Turk J Biol 34:313-318.

Calvo AM, Wilson RA,Bok JW,Keller NP. 2002.Relationship between secondary metabolism and fungal development. Microbiol Mol Biol Rev 66:447-459.

Chung KR, Tzeng DD. 2004. Biosynthesis of indole-3-acetic acid by gall-inducing fungus Ustilago esculenta. J Biol Sci 4:744-750.

Cornejo HAC, Rodríguez LM, Penagos CC, Bucio JL. 2009. Trichoderma virens, a plant beneficial fungus, enhances biomass production and promotes lateral root growth through an auxin. PlantPhysiol149:1579–1592.

Fox EM, Howlett BJ. 2008. Secondary metabolism: regulation and role in fungal biology. Microbiol 11:481-487.

Davies PJ. 2004. Plant Hormones: Biosynthesis, Signal Tranduction, Action. Ed. ke-3. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.

Gambar

Gambar 1 Skema lintasan pembentukan AIA: (a) lintasan bergantung triptofan (b)
Tabel 1 Kapang asal serasah tanaman hutan dari Katingan
Tabel 2 Kapang asal serasah tanaman hutan dari Tarakan
Gambar 2. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulis menemukan bahwa program UNICEF No Lost Generation tahun 2011-2018 telah efektif dalam membantu aktor pemerintah untuk memenuhi, menegakkan, dan melindungi hak-

sinyal yang dihasilkan sangat besar dan jaringan dengan waktu relaksasi T2. pendek ini akan kelihatan hitam pada pembobotan

Hasil evaluasi di dapatkan pada hari ke 3 dengan tindakan keperawatan nyeri akut berhubungan dengan iskemia otot jantung teratasi sebagian, dengan kriteria hasil pada

[r]

Dengan kata lain program ini dibuat untuk aplikasi user friendly, dengan bantuan Visual Basic diharapkan program ini dapat bermanfaat serta dapat digunakan oleh

[r]

Oleh karena itu agar tercipta tertib administrasi, tertib pengelolaan keuangan, serta tertib dalam pelaksanaan pemungutan biaya kepada masyarakat, perlu ditetapkan

Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa penduduk usia lanjut dan usia balita yang berada di wilayah deliniasi memiliki rata-rata yaitu sebesar 11,06%, dimana kecamatan yang