• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Bioekologi Habitat Siput Gonggong (Strombus turturella) di Desa Bakit, Teluk Klabat, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Bioekologi Habitat Siput Gonggong (Strombus turturella) di Desa Bakit, Teluk Klabat, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung."

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI BIOEKOLOGI HABITAT SIPUT GONGGONG

(

Strombus turturella

) DI DESA BAKIT, TELUK KLABAT,

KABUPATEN BANGKA BARAT, PROVINSI KEPULAUAN

BANGKA BELITUNG

DERSY KARDOVA UTAMI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Studi Bioekologi Habitat Siput Gonggong (Strombus turturella) di Desa Bakit, Teluk Klabat, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

Dersy Kardova Utami C24070012

(3)

RINGKASAN

Dersy Kardova Utami. C24070012. Studi Bioekologi Habitat Siput Gonggong (Strombus turturella) di Desa Bakit, Teluk Klabat, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dibimbing oleh Fredinan Yulianda dan Yusli Wardiatno

Siput gonggong (Strombus turturella) merupakan salah satu gastropoda dalam famili Strombidae yang banyak ditemukan di perairan dangkal ataupun pasir berlumpur dan banyak dimanfaatkan untuk konsumsi dan dijual. Saat ini permintaan akan daging siput gonggong meningkat dan adanya aktivitas penambangan timah di sekitar wilayah tersebut berpotensi merusak habitat dan menurunkan populasi siput gonggong di alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi bioekologi siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat bagi pengelolaan populasi siput gonggong.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga April 2011 di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penentuan lokasi berdasarkan informasi nelayan yang biasa menangkap dan mengumpulkan siput gonggong. Pengambilan contoh siput gonggong dilakukan dengan transek 1x1 m2 yang peletakkannya berdasarkan penarikkan contoh secara acak sistematik. Analisis data yang digunakan meliputi tipologi substrat, kepadatan, pola sebaran jenis yang dilakukan dengan persamaan densitas dan Indeks Sebaran Morisita, distribusi frekuensi panjang, hubungan panjang cangkang dan bobot total, serta nisbah kelamin.

Kualitas perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat memiliki kondisi fisika dan kimia perairan relatif masih cukup baik dengan suhu perairan berkisar antara 28-29,7 °C, salinitas berkisar antara 31,0-33,0 ‰, derajat keasaman (pH) berkisar antara 7-8, oksigen terlarut (DO) berkisar antara 5,26-6,67 mg/l, Total Padatan Tersuspensi (TSS) berkisar antara 7-33 mg/l, kekeruhan berkisar antara 2,5-10 NTU, kandungan logam Pb dalam air berkisar antara 0,000-0,012 mg/l, dan substrat berupa pasir hingga pasir berlempung. Pola sebaran siput gonggong adalah mengelompok dengan kepadatan siput gonggong berkisar antara 14-23 ind/20 m2. Ukuran siput gonggong secara keseluruhan berkisar antara 46,80-60,95 mm dengan modus frekuensi panjang pada ukuran 52,11-53,87 mm pada betina dan ukuran 50,34-52,10 mm pada jantan. Rasio kelamin siput antara jantan dan betina adalah ideal. Pola pertumbuhan total siput gonggong dilokasi penelitian menunjukkan pola pertumbuhan allometrik negatif, dimana individu siput gonggong yang ditemukan cenderung memanjang dengan persamaan pertumbuhan W=0,006 L2,076.

Strategi pengelolaan siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat antara lain adalah peningkatan kualitas perairan dan substrat dengan mengatur frekuensi penambangan timah yang limbahnya berpotensi menutupi substrat tempat hidup siput gonggong. Selain itu membuat instalasi pengolahan limbah timah untuk mencegah beban pencemar yang masuk ke perairan. Pengadaaan penyuluhan kepada masyarakat untuk tidak menangkap siput gonggong yang berukuran lebih dari 53,87 mm, sehingga dapat memberikan kesempatan siput untuk memijah dan berkembangbiak. Mengadakan pergiliran pemungutan siput gonggong berdasarkan tempat pada waktu surut yang berlainan.

(4)

STUDI BIOEKOLOGI HABITAT SIPUT GONGGONG

(

Strombus turturella

) DI DESA BAKIT, TELUK KLABAT,

KABUPATEN BANGKA BARAT, PROVINSI KEPULAUAN

BANGKA BELITUNG

DERSY KARDOVA UTAMI C24070012

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul Skripsi : Studi Bioekologi Habitat Siput Gonggong (Strombus turturella) di Desa Bakit, Teluk Klabat, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Nama : Dersy Kardova Utami

NIM : C24070012

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19630731 198803 1 002 NIP. 19660728 199103 1 002

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002

(6)

PRAKATA

Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Studi Bioekologi Habitat Siput Gonggong (Strombus turturella) di Desa Bakit, Teluk Klabat, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Februari hingga April 2011 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam memberikan bimbingan, masukan, dan arahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan Penulis. Namun demikian Penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Februari 2012

Penulis

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji tamu serta Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku anggota program studi yang telah memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ir. Gatot Yulianto, selaku pembimbing akademik atas dukungannya kepada penulis selama menuntut studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.

4. Bpk. Safar Dody selaku pembimbing lapang pada saat penelitian yang telah memberikan arahan, saran, masukan dan informasi sekunder selama melakukan penelitian di lapang.

5. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, Dr. Ir. Niken TM Pratiwi, M. Si, Dr. Ir. Majariana Krisanti, M. Si, dan Ibu Siti Nursiyamah yang telah memberikan nasihat dan semangat.

6. Keluarga tercinta: bapak, ibu, saudara kandung (Dicky, Reza, dan Abiel), serta seluruh keluarga besar H. Zainal Bakri atas doa, kasih sayang, semangat, perhatian, kesabaran, dan dukungan baik moril maupun materil yang telah diberikan kepada Penulis.

7. Kepala Desa Bakit dan masyarakat Dusun Belembang (Keluarga Bpk. Firdaus dan Umi) atas segala bantuan dan kerja samanya.

8. Rifian W. Ermawan, S. Pi yang selalu memberikan dukungan dan semangat. 9. Seluruh staf Tata Usaha dan Civitas MSP terutama Mbak Widar, Mbak

Maria, dan Mbak yani atas bantuan, dukungan, dan kesabaran yang diberikan. 10. Sahabat (Kaha, Riani, Gema), Rekan-rekan terbaik MSP 44 atas dukungan dan

semangat yang diberikan serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pangkal Pinang pada tanggal 12 Desember 1989 sebagai putri pertama dari pasangan Bapak Azhar Hasyim, S.P dan Ibu Zakila. Pendidikan formal penulis dimulai dari TK YKAI Palembang (1994-1995), SD Negeri 165 Palembang (1995-2001), SLTP Negeri 19 Palembang (2001-2004), SMA Negeri 10 Palembang (2004-2007). Pada tahun 2007 Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI. Kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selain mengikuti perkuliahan, Penulis aktif dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) sebagai anggota Divisi Minat dan Bakat (2009/2010) dan anggota Divisi Kesekretariatan (2010/2011). Selain itu juga Penulis aktif dalam Paduan Suara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB (ENDEAVORE) (2009/2010) dan Pecinta Tari Saman Bungong Puteh, IPB (2009/2011). Penulis diberi kesempatan dan kepercayaan menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Fisiologi Hewan Air (2009/2011), Asisten Mata Kuliah Metode Penarikan Contoh Perikanan (2010/2011), dan Asisten Mata Kuliah Manajemen Sumberdaya Perikanan (2011/2012).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Penulis menyusun skripsi dengan judul “Studi Bioekologi Habitat Siput Gonggong (Strombus turturella) di Desa bakit, Teluk Klabat, Kabupaten

Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 3

1.4. Manfaat ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Siput Gonggong (Strombus turturella) ... 4

2.2. Habitat dan Tingkah Laku Siput Gonggong (Strombus turturella) . 5 2.3. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Siput Gonggong... 5

2.3.1. Substrat dasar dan sedimen perairan ... 5

2.3.2. Suhu ... 6

2.3.3. Salinitas ... 7

2.3.4. Derajat keasaman (pH)... 8

2.3.5. Kekeruhan ... 8

2.3.6. Oksigen terlarut (DO) ... 8

2.3.7. Total Padatan Tersuspensi (TSS) ... 9

2.3.8. Timbal (Pb) ... 9

2.4. Struktur Populasi ... 10

2.4.1. Analisis frekuensi panjang ... 10

2.4.2. Hubungan panjang bobot ... 10

2.4.3. Nisbah kelamin ... 11

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 12

3.2. Alat dan Bahan ... 13

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 13

3.3.1. Stasiun penelitian ... 13

3.3.2. Pengambilan contoh siput gonggong ... 14

3.3.3. Analisis kualitas air ... 14

3.3.4. Analisis substrat ... 15

3.4. Analisis Data ... 16

3.4.1. Kepadatan populasi ... 16

3.4.2. Pola sebaran jenis ... 16

3.4.3. Distribusi frekuensi panjang ... 17

3.4.4. Hubungan panjang bobot ... 18

3.4.5. Nisbah kelamin ... 18

(10)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat ... 20

4.2. Substrat Dasar dan Sedimen Perairan ... 21

4.3. Suhu ... 22

4.4. Salinitas ... 23

4.5. Derajat keasaman (pH) ... 24

4.6. Oksigen Terlarut (DO) ... 25

4.7. Total Padatan Tersuspensi (TSS) ... 26

4.8. Kekeruhan ... 28

4.9. Timbal (Pb) ... 29

4.10. Kepadatan ... 31

4.11. Pola Sebaran Jenis ... 32

4.12. Distribusi Frekuensi Panjang ... 33

4.13. Hubungan Panjang Bobot ... 35

4.14. Nisbah Kelamin ... 37

4.15. Implikasi Penelitian untuk Pengelolaan Siput Gonggong di Perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat ... 38

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 40

5.2. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

LAMPIRAN ... 45

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Alat dan bahan ... 13 2. Tipologi substrat di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat... 21 3. Pola sebaran jenis siput gonggong di perairan Pantai Belembang,

Teluk Klabat ... 33 4. Hasil perhitungan hubungan panjang bobot total siput gonggong

di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat ... 36 5. Hasil perhitungan nisbah kelamin siput gonggong di perairan

Pantai Belembang, Teluk Klabat ... 38

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema perumusan masalah ... 2

2. Siput gonggong (Strombus turturella) ... 4

3. Ciri kelamin jantan dan betina induk siput gonggong (Dody 2008) .... 11

4. Peta lokasi penelitian di Desa Bakit, Dusun Belembang, Teluk Klabat, Kabupaten Bangka Barat. ... 12

5. Segitiga Millar (Brower et al. 1990) ... 15

6. Suhu rata-rata (°C) di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat ... 23

7 Salinitas rata-rata (‰) di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat ... 24

8. pH rata-rata di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat... 25

9. DO rata-rata (mg/l) di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat ... 26

10. TSS (mg/l) di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat ... 27

11. Kekeruhan (NTU) di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat ... 28

12. Kandungan logam Pb dalam air rata-rata (mg/l) di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat ... 29

13. Kepadatan rata-rata (ind/m2) siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat ... 31

14. Sebaran frekuensi panjang siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat (a) panjang keseluruhan jantan dan betina, (b) panjang keseluruhan betina, (c) panjang keseluruhan jantan. ... 34

15. Hubungan panjang bobot total siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat (a) keseluruhan jantan dan betina, (b) betina, (c) jantan... 36

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Siput gonggong (Strombus turturella) ... 46 2. Desain pengambilan contoh siput gonggong ... 47 3. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ... 48 4. Vegetasi dan berbagai aktivitas di sekitar perairan Pantai

Belembang,Teluk Klabat ... 50 5. Parameter kualitas air di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat .... 52 6. Kepadatan rata-rata (ind/m2) siput gonggong ... 54 7. Pola sebaran siput gonggong ... 55 8. Contoh perhitungan uji t nilai b pada hubungan panjang

cangkang dan bobot total siput gonggong ... 57 9. Contoh perhitungan uji chi square pada nisbah kelamin siput

gonggong ... 58 10. Kegiatan pengambilan contoh selama penelitian . ... 59

(14)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Siput gonggong (Strombus turturella) merupakan salah satu gastropoda yang termasuk kedalam famili Strombidae. Jenis siput ini banyak ditemukan di perairan dangkal ataupun pasir berlumpur dekat pesisir pantai, memanfaatkan alga serta detritus dan umumnya hidup berkoloni. Siput ini memiliki karakteristik seperti operkulum yang pipih panjang, mirip pisau berduri, serta dapat digunakan sebagai alat gerak di atas pasir atau lumpur. Selain itu hewan ini memiliki ulir yang meningkat di sepanjang cangkangnya dan lekukan stromboid. Siput gonggong juga memiliki kulit yang sangat keras dengan garis bulat pada cangkangnya dengan variasi warna cangkang kekuningan atau keemasan. Panjang maksimum spesies ini hingga 100 mm dan umumnya berukuran 65 mm. Siput gonggong merupakan hewan asli perairan Indo-Pasifik yang banyak ditemukan di perairan India-Srilanka, selatan Jepang, Australia bagian utara dan tentunya saja diperairan Indonesia, yaitu Pulau Bintan, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung, khususnya Teluk Klabat (zipcodezoo.com).

Teluk Klabat terletak pada koordinat 1° 31’304’’ LS–105° 41’052’’ BT (BAPPEDA 2007). Teluk ini merupakan salah satu areal perikanan tradisional yang memanfaatkan salah satu potensi sumberdaya perikanannya yaitu siput gonggong sebagai bahan makanan. Perairan Teluk Klabat, khususnya yang terdapat pada Desa Bakit, Dusun Belembang memiliki topografi pantai yang cukup landai yang menyebabkan ombak laut tenang, serta keadaan perairan laut yang berwarna biru dan berpasir putih. Kondisi perairan yang terdapat pada teluk tersebut dimanfaatkan masyarakat (nelayan) untuk mencari ikan, kekerangan ataupun biota laut lainnya.

(15)

1.2. Perumusan Masalah

Habitat mempunyai tiga peranan penting bagi biota yaitu sebagai tempat hidup, tempat berkembang biak atau reproduksi, dan tempat pemasok sumber makanan. Peranan habitat sebagai tempat hidup ditentukan oleh sifat fisika-kimia perairan tersebut. Perubahan yang terjadi pada sifat fisika dan kimia air maupun sedimen akan mempengaruhi ekosistem. Aktivitas penambangan timah yang terjadi di sekitar perairan Teluk Klabat telah mengakibatkan adanya masukan limbah yang dapat menutupi lapisan substrat habitat siput gonggong yang mengancam populasi dan habitat siput gonggong.

Permintaan daging siput gonggong dan harga jual dari produk olahan siput berupa keripik mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga penangkapan siput gonggong menjadi lebih tinggi yang mengakibatkan penurunan populasinya di alam. Namun belum banyak informasi yang didapatkan mengenai penyebab penurunan populasi tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukannya studi bioekologi habitat siput gonggong agar dapat diketahui tingkat kerusakan yang terjadi terhadap habitat dan status ekologinya, sehingga dapat menjadi dasar dalam strategi pengelolaan habitat siput gonggong (Gambar 1).

Gambar 1. Skema perumusan masalah Siput Gonggong

Mendiami habitat dasar laut (perairan dangkal)

Dipengaruhi oleh berbagai

Penambangan timah

Penangkapan siput

Populasi siput menurun

Bioekologi

Tingkat gangguan terhadap habitat dan

populasi siput

(16)

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi bioekologi siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat bagi pengelolaan populasi siput gonggong (Strombus turturella).

1.4. Manfaat Penelitian

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Siput Gonggong (Strombus turturella)

Sistematik klasifikasi siput gonggong adalah sebagai berikut (Wye 1997): Kingdom : Animalia

Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Ordo : Neotaenioglossa Famili : Strombidae Genus : Strombus

Spesies : Strombus turturella

Gambar 2. Siput gonggong (Strombus turturella) Sumber : zipcodezoo 2010

(18)

lipatan. Pada bagian tubuh yang tegak dengan beberapa alur spinal anterior yang menegak berbentuk kerucut, berkerut dan halus.

Cangkang siput gonggong lebih berfungsi sebagai alat gerak pengeruk substrat dan bela diri atau mempertahankan diri daripada sebagai tutup cangkang, karena tidak menutup seluruh daerah mulut cangkang (Yonge 1976). Pertumbuhan cangkang moluska sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan-bahan pembentuk cangkang, seperti: kalsium karbonat sebagai unsur makro, magnesium karbonat, silikat, fosfat, asam amino seperti: asam asparatik, serine, alanine dan lainnya sebagai unsur mikro (Bevelander et al 1981).

2.2. Habitat dan Tingkah Laku Siput Gonggong (Strombus turturella)

Habitat siput gonggong umumnya adalah substrat lumpur berpasir yang banyak ditumbuhi tumbuhan bentik seperti lamun dan makro algae, mulai dari batas surut terendah hingga kedalaman ± 6 meter (Abbott 1960). Pemilihan habitat ini mengikuti ketersediaan makanan berupa detritus dan makro algae serta kondisi lingkungan yang terlindung dari gerakan massa air (Nybakken 1988).

Siput gonggong lebih bersifat epifauna atau hidup di atas permukaan substrat, walaupun hewan ini juga memiliki kebiasaan membenamkan diri pada waktu-waktu tertentu. Pemilihan ini dikarenakan kegiatan mencari makan dan reproduksi dilakukan di permukaan substrat. Jenis siput laut ini memiliki tingkah laku dalam beberapa fase sebagai berikut: fase membenamkan diri ke dalam substrat, fase aktif mencari makan di permukaan substrat, dan fase reproduksi. Siput gonggong akan membenamkan diri ke dalam substrat pada saat pergerakan masaa air mengaduk permukaan substrat (Hawkins & Sander 1982).

2.3. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Siput Gonggong 2.3.1.Substrat dasar dan sedimen perairan

(19)

dasar perairan, yaitu lumpur, pasir tanah liat berpasir, kerikil dan batu. Tipe substrat suatu perairan akan mempengaruhi penyebaran, kepadatan, dan komposisi bentos.

Penyebaran dan kepadatan siput berhubungan dengan diameter rata-rata butiran sedimen, kandungan debu dan liat, serta cangkang-cangkang biota yang telah mati, yang secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar ukuran butiran berarti semakin kompleks substrat, sehingga semakin beragam pula jenis biotanya. Menurut (Odum 1993) menyatakan bahwa substrat dasar yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi organisme bentik yang memiliki kepadatan dan keanekaragaman yang besar dibandingkan dengan perairan yang berpasir dan berlumpur halus.

Pada jenis sedimen berpasir, kandungan oksigen relatif besar dibandingkan pada sedimen yang halus karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi pada sedimen ini tidak banyak nutrien, sedangkan pada substrat yang lebih halus walaupun oksigen sangat terbatas tapi tersedia nutrien dalam jumlah besar (Wood 1987). Spesies siput gonggong umumnya mendiami substrat lunak dan dapat ditemukan pada substrat yang didominasi oleh pasir hingga pasir berlumpur (Dody 2007).

Distribusi dan kelimpahan moluska dipengaruhi oleh diameter rata-rata butiran sedimen, kandungan debu, liat, dan adanya kandungan cangkang-cangkang organisme yang telah mati dan kestabilan substrat. Kestabilan substrat dipengaruhi oleh pengadukan substrat oleh alat tangkap. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis epifauna meningkat pada substrat yang banyak mengandung cangkang organisme yang telah mati. Jenis-jenis dari kelas gastropoda dan bivalvia dapat tumbuh dan berkembang pada sedimen halus, karena memiliki alat-alat fisiologi khusus untuk beradaptasi pada lingkungan perairan yang memiliki tipe substrat berlumpur (seperti siphon yang memanjang) (Discoll & Brandon 1973 in Pratami 2005).

2.3.2.Suhu

(20)

sedikit lebih tinggi daripada yang di lepas pantai (Nontji 2002). Secara umum suhu air laut di sekitar perairan Teluk Klabat berkisar antara 29,28-30,67 °C. Suhu air pada lapisan permukaan memperlihatkan nilai yang lebih bervariasi daripada suhu air pada lapisan yang lebih dalam. Suhu pada lapisan permukaan cenderung lebih hangat daripada lapisan di bawahnya, dan maksimum suhu air teramati pada lapisan permukaan (BAPPEDA 2007). Menurut Dody 2007 bahwa siput gonggong hidup pada kisaran suhu antara 28,5-29,9 °C .

Pada perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, sehingga suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembangan organisme perairan. Perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya reproduksi (Nybakken 1988).

2.3.3.Salinitas

Salinitas adalah total konsentrasi dari seluruh ion terlarut dalam perairan yang dinyatakan dalam satuan gr/kg atau ‰. Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme, misalnya dalam distribusi biota akuatik. Penurunan salinitas di perairan estuari akan mengubah komposisi dan dinamika populasi organisme. Tanggapan atau respon organisme terhadap kadar salinitas berbeda-beda (Levinton 1982 in Ippah 2007). Nilai salinitas di sekitar perairan Teluk Klabat berkisar antara 24,95-32,73 PSU (BAPPEDA 2007). Menurut Dody (2007) bahwa siput gonggong pada kisaran salinitas antara 31,0-33,3 ‰.

(21)

2.3.4.Derajat keasaman (pH)

Toksisitas suatu senyawa kimia juga dipengaruhi pH. Senyawa ammonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Ammonium bersifat tidak toksik (innocuous). Namun pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan ammonia yang tak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Ammonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan ammonium (Tebbut 1992 in Effendi 2003). Menurut Odum (1971) bahwa perubahan pH pada perairan laut biasanya sangat kecil, karena adanya turbulensi massa air yang selalu menstabilkan perairan.

Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH akan mempengaruhi proses biologi kimiawi perairan. Keanekaragaman bentos mulai menurun pada pH 6-6,5 (Effendi 2003). Sementara menurut Nybakken (1992) lingkungan perairan laut yang memiliki pH yang bersifat relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,5-8,4. Menurut Dody (2007) bahwa siput gonggong hidup pada kisaran pH antara 7,60-7,67.

2.3.5.Kekeruhan

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA 1995, Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2003). Banyak organisme akuatik, khususnya filter feeder, tidak dapat mentolerir konsentrasi bahan inorganik dalam jumlah yang besar (Wetzel 2001 in Honata 2010). Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut pada kekeruhan menurut KEPMEN LH tahun 2004 adalah lebih dari 5 NTU.

2.3.6.Oksigen terlarut (DO)

(22)

tekanan atmosfer, luas permukaan air, dan persentase oksigen sekelilingnya (BAPPEDA 2007). Kadar oksigen berfluktuasi tergantung pada proses pencampuran, pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke dalam badan perairan (Effendi 2003).

Penurunan oksigen terlarut secara temporer selama beberapa hari biasanya tidak mempunyai pengaruh yang berarti karena moluska dapat melakukan metabolisme secara anaerob namun metabolisme ini akan menyebabkan organisme kekurangan energi sehingga mempengaruhi aktivitas lainnya seperti reproduksi dan pertumbuhan. Kadar oksigen terlarut optimum bagi moluska bentik adalah 4,1-6,6 mg/l, sedangkan kadar minimal yang masih dalam batas toleransi adalah 4 mg/l (Clark 1974). Menurut Sutamihardja (1978) in BAPPEDA (2007) kadar oksigen terlarut yang normal di perairan laut berkisar antara 5,7-8,5 mg/l.

2.3.7.Total Padatan Tersuspensi (TSS)

Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi dan tidak larut dalam air serta tersaring pada kertas saring Millipore dengan ukuran pori-pori 0,45 µm (APHA 1995). Total padatan tersuspensi (TSS) terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi 2003).

Menurut Arifin (2011), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat. Sedimentasi yang terjadi akan melapisi substrat tempat hidup makrozoobenthos sehingga keanekaragaman dan kelimpahannya menurun (Hawkes & Davies 1979 in Rahman 2009). Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut dalam kandungan TSS menurut KEPMEN LH tahun 2004 adalah 20-80 mg/l.

2.3.8.Timbal (Pb)

(23)

solar dari aktivitas penambangan tersebut, dapat menyebabkan peningkatan kadar Pb di lingkungan perairan (Bangun 2005).

Logam berat timbal dapat mempengaruhi biota akuatik yaitu; mengganggu organ seperti insang dalam proses respirasi dan ginjal dalam proses osmoregulasi, kemudian akan mempengaruhi keseimbangan energi, sehingga mempengaruhi mortalitas, pertumbuhan, reproduksi, serta berbagai aktivitas biota (Lloyd 1992 in Amien 2007). Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut dalam kandungan logam Timbal (Pb) menurut KEPMEN LH tahun 2004 adalah 0,008 ppm.

2.4. Struktur Populasi

2.4.1.Analisis frekuensi panjang

Analisis frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok ukuran ikan yang didasarkan kepada anggapan bahwa frekuensi panjang individu dalam suatu spesies dengan kelompok umur yang sama akan bervariasi mengikuti sebaran normal (Effendie 1997). Panjang ikan dapat ditentukan dengan mudah dan cepat di lapang, karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu distribusi normal sehingga umur bisa ditentukan dari distribusi frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur.

Kelompok umur bisa diketahui dengan menggelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas-kelas tersebut untuk mewakili panjang kelompok umur. Komposisi umur yang diketahui melalui analisis data frekuensi panjang kemudian digunakan untuk menentukan parameter pertumbuhan dengan metode-metode estimasi yang sesuai (Sparre & Venema 1999).

2.4.2.Hubungan panjang bobot

Analisis hubungan panjang bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan bobot. Bobot dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari perhitungan panjang bobot ini adalah untuk menduga bobot dari panjangnya atau sebaliknya. Selain itu juga dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan, dan pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 1997).

(24)

diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb, dimana W adalah bobot, L adalah panjang, a dan b adalah suatu konstanta. Hasil analisis hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b) yaitu harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b sama dengan 3 menggambarkan pola pertumbuhan isometrik yaitu pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot (Ricker 1975). Nilai b tidak sama dengan 3 menggambarkan pola pertumbuhan allometrik, yaitu pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Nilai b kurang dari 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus, dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobotnya. Nilai b lebih dari 3 menunjukkan pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjangnya (Effendie 1997).

2.4.3.Nisbah kelamin

Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan betina dalam suatu populasi. Nisbah 1:1 yaitu 50% jantan dan 50% betina merupakan suatu kondisi yang ideal. Namun pada kenyataannya kondisi ideal tersebut sering menyimpang yang disebabkan oleh faktor tingkah laku ikan itu sendiri, perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhannya. Perbandingan kelamin dapat berubah menjelang dan selama pemijahan (Nikolsky 1963).

Kelamin jantan siput gonggong memiliki tonjolan berwarna hijau yang disebut dengan penis (verge) yang dapat terlihat setelah daging siput dikeluarkan dari cangkang. Kelamin betina memiliki lubang genital atau genital pore yang sangat kecil, karena terdapat dalam rongga cangkang (mantel) (Dody 2008).

Gambar 3. Ciri kelamin jantan dan betina induk siput gonggong (Dody 2008) ♀

(25)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2011 di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat. Secara administrasi lokasi penelitian terletak di pulau Bangka bagian utara yaitu di Desa Bakit, Dusun Belembang, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Gambar 4).

Gambar 4. Peta lokasi penelitian di Desa Bakit, Dusun Belembang, Teluk Klabat, Kabupaten Bangka Barat.

(26)

3.2. Alat dan Bahan

Selama pengambilan contoh, digunakan beberapa alat dan bahan untuk pengukuran parameter biologi dan lingkungan perairan (Tabel 1). Sebagian alat digunakan pada pengukuran langsung di lapang, dan sebagian lagi pengukuran di laboratorium (Lampiran 3).

Tabel 1. Alat dan Bahan

3.3. Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Stasiun penelitian

Stasiun pengambilan contoh siput gonggong ditentukan berdasarkan keterwakilan spasial atau wilayah dengan mengikuti informasi dari nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan dan pengumpulan siput gonggong. Terdapat 3 stasiun yang menjadi daerah pengamatan (Gambar 4). Stasiun 1 terletak pada koordinat 01° 38’ 957’’ LS-105° 42’ 582’’ BT, stasiun 2 terletak pada koordinat 01° 30’ 533’’ LS-105° 42’ 355’’ BT, dan stasiun 3 terletak pada koordinat 01° 30’ 875’’ LS-105° 42’ 448’’ BT.

Parameter Satuan Alat/Metode Tempat analisis

FISIKA SEDIMEN

Tekstur % Grafik Segitiga Millar Laboratorium

BIOLOGI Siput gonggong Kepadatan Panjang cangkang Bobot ind/m2 mm gram

Transek 1x1 m2 Jangka sorong (ketelitian 0,01 mm) Timbangan analitik (ketelitian 0,0001 gr)

(27)

Stasiun penelitian dibagi menjadi tiga daerah pengamatan yaitu daerah tepi yang berjarak 0 sampai 60 meter dari tepi pantai, daerah tengah yang berjarak 60 sampai 120 meter dari tepi pantai, dan daerah terluar yang berjarak 120 sampai 200 meter dari tepi pantai (Lampiran 2). Penentuan daerah pengamatan didasarkan pada perbedaan kondisi lingkungan dan substrat perairan.

3.3.2.Pengambilan contoh siput gonggong

Pengambilan contoh siput gonggong di perairan teluk tersebut dilakukan ketika kondisi air surut. Pada setiap stasiun pengamatan digunakan metode transek untuk mengetahui kepadatan dan pola sebaran dari siput gonggong, dengan menggunakan tali sebagai garis acuan sepanjang 200 meter yang di letakkan tegak lurus atau secara vertikal dengan garis pantai. Penentuan garis acuan ini berdasarkan kondisi air surut. Penempatan transek menggunakan metode pengambilan contoh acak sistematik dengan kerangka sistematik berjarak 10 meter untuk tiap plot dalam 1 transek kuadrat berukuran 1x1 m2 dengan pengambilan contoh dari masing-masing stasiun sebesar 20 plot transek (Lampiran 2).

Pengambilan siput gonggong dilakukan dengan cara menyelam pada kedalaman 2 sampai 3 meter dengan menggunakan tangan atau without gear seluas transek pengamatan. Individu siput gonggong yang ditemukan dalam transek tersebut kemudian dihitung jumlah individunya dan diukur panjang cangkang dengan menggunakan jangka sorong serta bobot basah dengan menggunakan timbangan analitik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kelompok ukuran dari siput gonggong dan pola pertumbuhannya. Selain itu juga ditentukan jenis kelamin dari siput gonggong untuk mendapatkan nisbah atau rasio kelamin di alam.

3.3.3.Analisis kualitas air

(28)

3.3.4. Analisis substrat

Pengambilan contoh substrat dilakukan dengan menggunakan pipa paralon berdiameter 15 cm yang diletakkan di dasar perairan pada kedalaman 40 cm, kemudian substrat didasar diambil dengan menggunakan tangan dan diletakkan dalam kantong plastik. Contoh substrat dasar perairan diambil satu kali dalam pengamatan pada daerah tepi, tengah, dan terluar pada masing-masing stasiun pengamatan, yang dilakukan setelah pengukuran kualitas air dan pengambilan siput gonggong. Contoh substrat yang diambil kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengetahui komposisi (%) liat, debu, dan pasir. Penentuan tipe substrat ini menggunakan Segitiga Millar yang menggolongkan tipe substrat berdasarkan perbandingan liat, pasir, dan debu. Langkah-langkah penentuan tipe substrat:

1. Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi substrat. Misalnya, fraksi pasir 45%, debu 30%, dan liat 25%.

2. Menarik garis lurus pada sisi persentase pasir dititik 40% sejajar dengan sisi persentase debu, tarik garis lurus pada sisi persentase debu di titik 30% sejajar dengan sisi persentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi persentase liat 25% sejajar dengan sisi persentase pasir.

3. Hasil perpotongan ketiga titik tersebut menentukan tekstur substrat tersebut pada tekstur lempung liat.

(29)

3.4. Analisis Data 3.4.1.Kepadatan populasi

Kepadatan adalah jumlah individu per satuan luas dan volume (Brower et al. 1990). Kepadatan jenis siput gonggong per satuan luas dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

D

=

Keterangan:

D = Kepadatan jenis siput gonggong (individu/m2) x = Jumlah individu jenis siput gonggong

m = Luas kuadrat pengambilan contoh (m2) 3.4.2.Pola sebaran jenis

Penentuan pola sebaran jenis suatu organisme pada habitat, digunakan Indeks Sebaran Morisita ((Brower et al. 1990). Rumus untuk menghitung Indeks Sebaran Morisita sebagai berikut:

Id =

q

Keterangan:

Id = Indeks Sebaran Morisita

q = Jumlah kuadrat pengambilan contoh

ni = Jumlah individu jenis pada kuadrat contoh ke-i N = Jumlah total individu jenis dari semua kuadrat contoh

Hasil perhitungan Indeks Sebaran Morisita dibandingkan dengan kriteria sebagai berikut:

Id < 1 : Pola sebaran individu jenis bersifat seragam Id = 1 : Pola sebaran individu jenis bersifat acak

Id > 1 : Pola sebaran individu jenis bersifat mengelompok.

Untuk menguji kebenaran Indeks Sebaran Morisita diatas, digunakan suatu uji statistik, yaitu Uji chi-kuadrat (Brower et al. 1990) dengan persamaan berikut:

N

Keterangan: 2

= Nilai Chi-Kuadrat

n = Jumlah unit pengambilan contoh xi = Jumlah individu tiap stasiun

(30)

Hipotesis :

H0 : Id = 1 bersifat acak

H1 : Id ≠ 1 tidak acak (Id > 1, bersifat mengelompok ; Id < 1, bersifat seragam) Berdasarkan hasil perhitungan nilai 2 hitung dibandingkan dengan 2 tabel. Jika nilai 2 hitung lebih besar dari 2 tabel maka tolak H0 yang berarti bahwa pola sebaran siput gonggong adalah tidak acak, dan jika 2 hitung lebih kecil dari 2 tabel maka terima H0 yang menyatakan bahwa pola sebaran siput gonggong adalah acak. 3.4.3. Distribusi frekuensi panjang

Distribusi frekuensi panjang adalah distribusi ukuran panjang pada kelompok panjang tertentu. Distribusi frekuensi panjang didapatkan dengan menentukan selang kelas, nilai tengah kelas, dan frekuensi dalam setiap kelompok panjang. Tahapan-tahapan analisis sebaran frekuensi panjang sebagai berikut:

1. Menentukan nilai maksimum dan nilai minimum dari seluruh data panjang cangkang total siput.

2. Menentukan jumlah kelas dan interval kelas berdasarkan hasil pengamatan frekuensi pada setiap selang kelas panjang cangkang siput.

3. Menentukan limit bawah kelas bagi selang kelas yang pertama dan kemudian limit atas kelas. Limit atas didapatkan dengan cara menambahkan lebar kelas pada limit bawah kelas.

4. Mendaftarkan semua limit kelas untuk setiap selang kelas.

5. Menentukan nilai tengah kelas bagi masing-masing kelas dengan merata-ratakan limit kelas.

6. Menetukan frekuensi bagi masing-masing kelas.

(31)

3.4.4.Hubungan panjang bobot

Hubungan panjang bobot digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik dan allometrik (Hile 1936 in Effendie 1997). Kedua pola ini berlaku persamaan:

W = a Lb Keterangan:

= Bobot siput gonggong (gram)

L = Panjang cangkang siput gonggong (mm) a dan b = Konstanta

Jika dilinearkan melalui transformasi logaritma, maka diperoleh persamaan: Log W = Log a + b Log L

Mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi linier sederhana dengan Log W sebagai ’y’ (variabel tak bebas) dan Log L sebagai ’x’ (variabel bebas) yang dilakukan uji t (Sukimin et al. 2006), dengan hipotesis :

H0 : b = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik

Isometrik berarti pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan bobot. Allometrik positif, jika b ≥ 3 (pertambahan bobot lebih cepat dari pada pertambahan panjang) dan allometrik negatif, jika b < 3 (pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan bobot).

Keterangan :

b1 = Nilai b (hubungan dari panjang berat) b0 = 3

Sb1= Simpangan koefisien b

Selanjutnya, nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Kemudian untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, kaidah keputusan yang diambil mengacu pada Nasoetion & Barizi (1980) yaitu :

thitung > ttabel : tolak hipotesis nol (H0) thitung < ttabel : gagal tolak hipotesis nol (H0) 3.4.5.Nisbah kelamin

Analisi untuk mengetahui keseimbangan nisbah kelamin ikan jantan dan betina yaitu:

(32)

Keterangan:

X = Nisbah kelamin

J = Jumlah ikan jantan (ekor) B = Jumlah ikan betina (ekor)

Hubungan antara jantan dan betina dari suatu populasi ikan yang diteliti dapat diketahui dengan melakukan analisis nisbah kelamin menggunakan uji chi-square (X2) (Walpole 1993):

Keterangan:

X2 = Nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contohnya menghampiri sebaran khi-kuadrat

oi = Jumlah frekuensi ikan jantan dan betina yang teramati pada data ke-i ei = Jumlah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina pada data ke-i dengan hipotesis:

H0 : Jantan = betina H1 : Jantan ≠ betina

Selanjutnya, nilai 2hitung dibandingkan dengan nilai 2tabel pada selang kepercayaan 95%. Kemudian untuk mengetahui nisbah kelamin, kaidah keputusan yang diambil mengacu (Walpole 1993) yaitu :

(33)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat

Secara geografis Kabupaten Bangka Barat terletak pada posisi koordinat 01° 00’-02°10’ LS dan 105°00’-106°00’ BT. Kabupaten Bangka Barat memiliki luas wilayah 4.510,89 km2, yang terdiri dari daratan seluas 2.820,61 km2 dan perairan laut seluas 1.690,28 km2. Selain itu kabupaten ini memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 30 pulau dan panjang garis pantai mencapai 278,75 km (Pemerintah Kabupaten Bangka Barat 2010).

Secara administrasi Kabupaten Bangka Barat terbagi menjadi 6 kecamatan (Kelapa, Tempilang, Muntok, Simpang Teritip, Jebus, dan Parit Tiga), 4 kelurahan, 53 desa definitif dan 143 dusun. Diantara desa-desa tersebut terdapat 28 desa yang mempunyai wilayah laut atau bersinggungan dengan laut (BPS Kabupaten Bangka Barat 2010). Adapun batas-batas administrasi Kabupaten Bangka Barat adalah sebagai berikut :

Utara : Laut Cina Selatan Selatan : Selat Bangka Timur : Kabupaten Bangka

Barat : Selat Bangka dan Wilayah bagian Timur Sumatera Selatan.

(34)

4.2. Substrat Dasar dan Sedimen Perairan

Substrar dasar perairan merupakan parameter yang sangat penting bagi biota yang hidup di dasar perairan, khususnya siput gonggong sebagai habitat, tempat mencari makan, dan memijah atau bereproduksi. Hal ini disebabkan aktifitas siput gonggong banyak berhubungan dan dipengaruhi oleh kandungan dasar perairan.

[image:34.595.104.513.341.519.2]

Tipologi substrat di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat pada umumnya terdiri dari dua tipe, yaitu pasir dan pasir berlempung dengan komposisi pasir lebih dari 80% (Tabel 2). Substrat pasir dan pasir berlempung ini tergolong dalam tekstur yang memiliki sifat sedimen yang kasar, membentuk bola yang mudah sekali hancur dan agak melekat (DEPTAN 2011). Namun demikian siput lebih menyukai substrat yang lebih halus.

Tabel 2 . Tipologi substrat di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat

Stasiun Sub Stasiun Pasir % Debu % Liat % Tipe Substrat

Stasiun 1

Tepi 97,08 2,92 0,00 Pasir

Tengah 98,75 1,25 0,00 Pasir

Terluar 94,55 2,11 3,34 Pasir

Stasiun 2

Tepi 93,00 5,95 1,05 Pasir

Tengah 78,02 7,24 14,74 Pasir berlempung Terluar 85,97 8,59 5,44 Pasir berlempung Stasiun 3

Tepi 94,54 3,28 2,18 Pasir

Tengah 85,97 8,48 5,55 Pasir berlempung Terluar 82,07 6,65 11,28 Pasir berlempung Spesies siput gonggong banyak ditemukan pada stasiun 2 dan 3, pada daerah tengah yang berjarak 60 sampai 120 meter dari tepi pantai dan daerah terluar yang berjarak 120 sampai 200 meter dari tepi pantai, yang masing-masing kepadatannya sebesar 14-32 ind/20m2 dan 11-29 ind/20m2, dengan tipe substrat pasir berlempung. Sedangkan pada stasiun 1, stasiun 2 dan stasiun 3, pada daerah tepi yang berjarak 0 sampai 60 meter dari tepi pantai yang substratnya didominasi oleh pasir, sedikit ditemukannya siput gonggong dengan kepadatannya sebesar 12-27 ind/20m2.

(35)

oleh substrat yang lunak berupa pasir berlempung pada stasiun 2 dan 3. Hal ini disebabkan adanya aktivitas penambangan timah yang berada di tengah laut pada lokasi penelitian yang diduga dapat mempengaruhi kestabilan substrat akibat dari pengadukan substrat oleh buangan limbah dari aktivitas tersebut. Pembuangan limbah ke perairan tanpa pengolahan limbah sebelumnya dapat mempengaruhi substrat sebagai tempat tinggal dari biota bentik seperti siput gonggong. Sedangkan pada stasiun 1, substrat didominasi oleh pasir dikarenakan pada stasiun tersebut tidak mendapatkan pengaruh dari aktivitas penambangan timah.

Tekstur substrat dasar perairan di daerah pengamatan sama dengan keadaan substrat pantai pada umumnya, yaitu memiliki ukuran partikel halus di daerah batas air surut dan bersubstrat lebih kasar di daerah batas pasang tinggi (Nybakken 1988). Menurut Dody (2007) bahwa spesies siput gonggong umumnya mendiami substrat lunak dan dapat ditemukan pada substrat yang didominasi oleh pasir hingga pasir berlumpur dan berada pada areal yang tenang dan terlindung dari gerakan arus yang kuat. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dengan kondisi habitat saat di lokasi pengamatan dengan literatur yang didapat. Menurut Wood (1987) jenis substrat berpasir memiliki kandungan oksigen relatif besar karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, sehingga siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat, diduga memiliki kemampuan adaptasi yang cukup tinggi dan alat fisiologi khusus sehingga mampu beradaptasi pada lingkungan perairan yang memiliki tipe substrat pasir hingga pasir berlempung.

4.3. Suhu

(36)
[image:36.595.195.417.66.250.2]

Gambar 6. Suhu rata-rata (°C) di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat

Suhu perairan di Pantai Belembang, Teluk Klabat berfluktuasi yang dipengaruhi oleh iklim. Terutama suhu pada minggu ke-empat dan ke-enam yang mengalami penurunan yaitu berkisar antara 26-27 °C (Lampiran 5). Penurunan suhu ini disebabkan adanya masukan air hujan ke perairan. Menurut Nontji (2002) bahwa suhu air dipengaruhi oleh curah hujan, penguapan, kelembaban, dan intensitas matahari. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Peningkatan suhu air sampai skala tertentu (10°C) akan mempercepat laju metabolisme dan respirasi. Perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya reproduksi (Nybakken 1988). Suhu perairan di daerah penelitian masih cukup baik bagi kehidupan siput gonggong seperti yang dijelaskan oleh Dody (2007) bahwa, siput gonggong hidup pada kisaran suhu antara 28,5-29,9 °C.

4.4. Salinitas

Salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam dalam gram pada setiap kilogram air laut dan mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme, khususnya bagi siput gonggong. Kadar salinitas stasiun 1 berkisar antara 31,0-32,0 ‰ dengan rata-rata yaitu 29,2 ± 2,86 ‰, stasiun 2 kadar salinitas berkisar antara 31,0-33,0 ‰ dengan rata-rata 30 ± 3,16 ‰ , dan stasiun 3 kadar salinitas berkisar 31,0-33,0 ‰ dengan rata-rata yaitu 30,3 ± 2,66 ‰ (Gambar 7).

Stasiun pengamatan

1 2 3

S

u

h

u

(

oC)

(37)

Gambar 7. Salinitas rata-rata (‰) di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat. Kadar salinitas di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat berfluktuasi yang dipengaruhi oleh iklim. Terutama salinitas di minggu ke-empat dan ke-enam mengalami penurunan pada semua stasiun yaitu berkisar antara 25-27 ‰ (Lampiran 5). Penurunan ini disebabkan adanya masukan air hujan pada saat pengamatan yang memberikan pengaruh nyata terhadap kadar salinitas di stasiun pengamatan. Menurut Venberg dan Verberg (1972) in Ippah (2007) perubahan kadar salinitas dapat dipengaruhi oleh penguapan besar, curah hujan, dan berbagai aktivitas manusia yang mengeluarkan sejumlah besar air tawar. Kadar salinitas pada ketiga stasiun tersebut masih cukup baik untuk kehidupan siput gonggong seperti yang jelaskan oleh Dody (2007) bahwa kadar salinitas siput gonggong berkisar antara 31,0-33,3 ‰.

4.5. Derajat keasaman (pH)

Air laut merupakan penyangga (buffer) yang baik terhadap keadaan asam dan basa yang disebabkan oleh datangnya air tawar dari sungai sehingga nilai pH di perairan pantai lebih stabil. Nilai pH di perairan stasiun 1 sebesar 7 dengan rata-rata yaitu 7, stasiun 2 dan 3 memiliki nilai pH berkisar 7-8 dengan rata-rata masing-masing 8 ± 0,55 dan 8 ± 0,52 (Gambar 8 dan Lampiran 5) .

Nilai pH di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat memiliki kisaran yang normal bagi pertumbuhan siput gonggong. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yonvitner (2001) bahwa sebagian besar biota makrozoobenthos sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7,0-8,5. Nilai pH akan mempengaruhi proses biologi kimiawi perairan.

Stasiun pengamatan

1 2 3

Salin

it

as

(

o/ oo

)

(38)

Stasiun pengamatan

1 2 3

pH

4 5 6 7 8 9

Keanekaragaman bentos mulai menurun pada pH 6,0-6,5 (Effendi 2003). Sementara menurut Hawkes (1979) in Rahman (2009) menyatakan bahwa gastropoda (makrozoobentos) memiliki kisaran pH yang berbeda-beda dan relatif sempit dalam kisaran antara 7,5-8,4. Secara umum kondisi pH pada perairan Pantai Belembang tergolong normal dan mengarah ke basa. Hal ini sesuai dengan pernyataan BBP-PSPL UNRI (2010) bahwa siput gonggong hidup pada kisaran pH sebesar 8,10-8,41.

4.6 Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu bentuk gas terlarut yang paling penting dalam sistem kehidupan perairan. Nilai DO di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat stasiun 1 berkisar antara 5,35-6,5 mg/l dengan rata-rata yaitu 5,41 ± 0,27 mg/l, stasiun 2 memiliki nilai DO 5,33-6,67 mg/l dengan rata-rata yaitu 5,45 ± 0,20 mg/l , dan stasiun 3 memiliki nilai DO berkisar 5,26-6,67 mg/l dengan rata-rata yaitu 5,67 ± 0,58 mg/l (Gambar 9) .

(39)

bahwa kadar oksigen berfluktuasi tergantung pada pencampuran, pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke dalam badan perairan. Nilai oksigen terlarut terendah pada minggu ke-lima (Lampiran 5). Hal ini disebabkan suhu relatif lebih tinggi. Menurut Setyobudiandi (2000) in Ippah (2007), bahwa penurunan oksigen terlarut tidak mempunyai pengaruh yang berarti karena moluska dapat melakukan metabolisme secara anaerob.

Stasiun pengamatan

1 2 3

D

O

(

m

g/l

)

[image:39.595.118.421.210.398.2]

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 9 . DO rata-rata (mg/l) di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat Secara keseluruhan kadar oksigen terlarut pada semua stasiun pengamatan memiliki kadar oksigen terlarut yang normal di perairan laut berkisar antara 5,7-8,5 ppm (Sutamihardja 1978 in BAPPEDA 2007). Menurut Clark (1974) bahwa kadar oksigen terlarut optimum bagi moluska bentik adalah 4,1-6,6 mg/l, sedangkan kadar optimum yang masih dalam batas toleransi adalah 4 mg/l sehingga kadar oksigen terlarut pada ketiga stasiun masih dapat ditolerir oleh siput gonggong.

4.7. Total Padatan Tersuspensi (TSS)

(40)

Tepi Tengah Terluar

T

SS

(

m

g

/l

)

0 5 10 15 20 25 30 35

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Nilai TSS daerah tepi di setiap stasiun memiliki nilai TSS yang rendah jika dibandingkan dengan daerah tengah dan daerah terluar yang menuju ke arah laut. Hal ini diduga karena daerah tepi tidak mendapat pengaruh masukan dari daratan dan tidak adanya pengaruh aktivitas penambangan timah. Sedangkan nilai TSS tertinggi di daerah terluar pada setiap stasiun yang menuju ke arah laut. Peningkatan TSS di daerah terluar diduga karena mendapat pengaruh dari kegiatan penambangan timah di sebelah barat dari Pantai Belembang yaitu daerah Pantai Semulut, yang berjarak beberapa kilometer dari Pantai Belembang yang melakukan penambangan dengan menggunakan kapal keruk, kapal hisap, serta dominasi utama kegiatan penambangan ini dilakukan oleh penambang tradisional.

[image:40.595.162.484.93.291.2]

Daerah terluar yang menuju ke arah laut sedikit ditemukannya biota siput gonggong. Hal ini dikarena nilai TSS yang tinggi akibat pembuangan limbah dari aktivitas penambangan timah tersebut dapat menyebabkan pengadukan substrat dan sedimentasi, yang dapat menutupi lapisan substrat tempat hidup siput sehingga menghambat laju pertumbuhan dan mengakibatkan kelimpahannya menurun (Hawkes & Davies 1979 in Honata 2010). Nilai TSS pada daerah tepi dan tengah di setiap stasiun masih cukup baik dan tergolong rendah untuk kehidupan siput gonggong seperti yang dijelaskan oleh KEPMEN LH tahun 2004 bahwa konsentrasi TSS untuk biota adalah 20-80 mg/l.

(41)

4.8. Kekeruhan

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air (Effendi 2003). Pengambilan contoh pengukuran kekeruhan dilakukan pada saat pengamatan terakhir dan dilakukan sekali pengamatan. Nilai Kekeruhan di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat pada stasiun 1 berkisar antara 5-10 NTU, stasiun 2 memiliki nilai kekeruhan berkisar antara 2,5-10 NTU, dan stasiun 3 memiliki nilai kekeruhan berkisar antara 5,5-6,25 NTU (Gambar 11).

Tepi Tengah Terluar

Kek

er

u

h

an

(

NT

U)

0,00 1,25 2,50 3,75 5,00 6,25 7,50 8,75 10,00 11,25

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

[image:41.595.111.495.198.469.2]

Nilai kekeruhan tertingi di daerah terluar pada setiap stasiun yang menuju ke arah laut, yaitu stasiun 1 sebesar 10 NTU, stasiun 2 sebesar 10 NTU, dan stasiun 3 sebesar 6,25 NTU (Lampiran 5). Nilai kekeruhan tertinggi pada daerah terluar diduga adanya pengaruh dari aktivitas penambangan timah khususnya penambang timah apung tradisional di daerah Pantai Semulut yang berjarak beberapa kilometer dari Pantai Belembang yang membuang sisa penambangan (tailing) langsung ke laut sehingga terjadinya akumulasi partikel cemaran dari aktivitas tersebut dan memperkeruh perairan. Kekeruhan yang tinggi tidak disukai oleh organisme akuatik terutama makrozoobenthos (siput) karena mengganggu daya lihat dan sistem pernafasan ataupun sistem osmoregulasi, sehingga menghambat dalam proses pergerakan dan aktivitas mencari makan (Pescod 1973 in Honata 2010). Effendie (2003) menyatakan bahwa padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi

(42)

positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka makin tinggi nilai kekeruhan, akan tetapi tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti tingginya kekeruhan.

Nilai kekeruhan yang terendah di daerah tepi (Lampiran 5) pada setiap stasiun. Hal ini disebabkan karena daerah tersebut tidak adanya pengaruh aktivitas penambangan timah maupun pengaruh dari daratan sehingga nilai kekeruhan rendah dan banyak ditemukan biota siput gonggong. Nilai kekeruhan pada ketiga stasiun tersebut masih cukup baik untuk kehidupan siput gonggong seperti yang jelaskan oleh Pescod (1971) in Honata (2010), bahwa nilai kekeruhan yang masih dapat ditolerir bagi makrozoobentos adalah 30 NTU. Namun pada daerah terluar telah melebihi ambang baku mutu sebesar lebih dari 5 NTU (KEPMEN LH 2004).

4.9. Timbal (Pb)

Timbal atau lebih dikenal dengan nama timah hitam, termasuk golongan unsur transisi (IVA) dan terletak pada periode ke-enam dengan nomor atom 82. Logam Pb yang masuk ke dalam perairan sebagai dampak dari aktivitas kehidupan manusia, diantaranya air limbah industri yang berkaitan dengan logam Pb dan air buangan dari pertambangan bijih timah hitam (Bangun 2005). Kandungan logam Pb dalam air stasiun 1 diperoleh nilai rendah, stasiun 2 memiliki kandungan logam Pb dalam air berkisar antara 0,009-0,012 mg/l, dan stasiun 3 memiliki kandungan logam Pb dalam air berkisar antara 0,009-0,0102 mg/l (Gambar 12 dan Lampiran 5).

Tepi Tengah Terluar

P

b

dalam

a

ir

(

m

g

/l

)

0,000 0,002 0,004 0,006 0,008 0,010 0,012 0,014

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Gambar 12. Kandungan logam Pb dalam air rata- rata (mg/l) di perairan Pantai

(43)

Kandungan logam Pb di stasiun 1 diperoleh nilai yang tidak terdeteksi dari setiap daerah yang diteliti. Hal ini dikarenakan kandungan logam Pb dalam air pada perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat memiliki nilai yang rendah dan masih berada di bawah batas deteksi Atomic Absorption Spectrophotometer (ASS) yakni sebesar 0,0002 ppm untuk logam Pb. Kandungan Pb yang rendah ini terkait dengan ketersediaan logam tersebut secara alami di perairan yang sangat rendah yaitu sebesar 0,00003 ppm (Waldichuck 1974 in Amien 2007). Selain itu rendahnya kandungan logam Pb dalam kolom air dapat disebabkan oleh adanya pengaruh iklim, dalam hal ini curah hujan. Menurut Darmono (1995) in Bangun (2005), menyatakan bahwa kandungan logam dalam air dapat berubah bergantung pada lingkungan dan iklim. Pada musim hujan, kandungan logam akan lebih kecil karena proses pelarutan. Selain itu diduga dapat dipengaruhi oleh arus yang berkembang, sehingga dapat melarutkan logam Pb yang ada di perairan.

(44)

terdapat dalam sedimen dan terakumulasi dalam daging siput gonggong. Namun demikian belum ada kajian lebih lanjut mengenai hal ini.

4.10. Kepadatan

Kepadatan merupakan jumlah individu yang tertangkap persatuan luas area pengambilan contoh. Siput gonggong pada stasiun 1 memiliki kepadatan rata-rata individu berkisar antara 12-27 ind/20m2, stasiun 2 memiliki kepadatan rata-rata individu berkisar antara 14-32 ind/20m2, sedangkan stasiun 3 memiliki kepadatan rata-rata individu berkisar antara 11-29 ind/20m2.

Tepi Tengah Terluar

In

d

/m

2

0 2 4 6 8 10 12 14 16

[image:44.595.107.486.166.495.2]

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Gambar 13. Kepadatan rata-rata (ind/m2) siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat.

Kepadatan rata-rata di daerah tepi yang berjarak 0 sampai 60 meter dari tepi pantai di ketiga stasiun memiliki nilai kepadatan yang rendah, jika dibandingan dengan daerah tengah yang berjarak 60 sampai 120 meter dan daerah terluar yang berjarak 120 sampai 200 meter dari tepi pantai. Hal ini dikarenakan pada jarak 0 sampai 60 m dari tepi pantai (daerah tepi) memiliki tipe substrat dominan berpasir, sedangkan habitat spesies siput gonggong umumnya mendiami substrat lunak yang didominasi oleh pasir berlumpur (Dody 2007). Selain itu juga pada daerah tepi dan tengah merupakan daerah yang banyak dilakukannya penangkapan secara berlebihan oleh nelayan dan berdasarkan pola penyebarannya siput gonggong menyebar secara berkelompok yang berarti bahwa suatu individu jenis hanya dapat ditemukan di tempat tertentu sesuai dengan preferensi habitatnya.

(45)

Kepadatan rata-rata tertinggi di daerah terluar yang berjarak 120 sampai 200 m dari tepi pantai yang banyak ditemukan spesies siput gonggong. Hal ini diduga karena daerah terluar memiliki kualitas air yang baik untuk mendukung kehidupan siput gonggong dan tidak mendapat pengaruh dari daratan, selain itu juga memiliki substrat pasir berlempung yang tergolong substrat lunak. Substrat lunak ini memiliki bahan organik yang tinggi mengandung sumber makanan potensial bagi siput gonggong. Kandungan bahan organik pada substrat ini berasal dari bakteri kemosintetik atau bakteri sulfur yang mendapatkan energi dari hasil oksidasi beberapa senyawa sulfur yang tereduksi sebagai sulfida (H2S) yang merupakan produsen primer (Nybakken 1988). Selain itu juga kepadatan yang tinggi ini dapat diakibatkan adanya kegiatan reproduksi ataupun migrasi yang disebabkan buruknya kondisi pada daerah yang dalam, berupa pengadukan oleh massa air laut (Abbott 1960). Peningkatan kepadatan pada daerah terluar diduga karena daerah tersebut merupakan daerah pembesaran bagi siput gonggong, sehingga kepadatan lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Namun belum ada kajian lebih lanjut mengenai hal ini.

4.11. Pola Sebaran Jenis

Kondisi lingkungan perairan pada saat pengamatan sangat mempengaruhi pola sebaran jenis disuatu perairan. Penentuan sebaran jenis dengan menggunakan Indeks Sebaran Morisita dimaksudkan untuk mengetahui pola sebaran jenis yang didapat berupa seragam, mengelompok, atau acak. Jenis dengan pola sebaran seragam sangat jarang ditemukan di alam. Namun mungkin masih dapat terjadi.

(46)
[image:46.595.110.516.208.338.2]

ini didukung oleh beberapa faktor, diantaranya pola arus yang berkembang yang dapat menyebabkan terakumulasinya nutrien dan tersebarnya larva di areal tersebut, banyaknya gosong pasir yang membentuk daerah-daerah terlindung bagi siput gonggong serta relatif jauhnya dari lokasi pemukiman (Dody 2007) (Tabel 3).

Tabel 3. Pola sebaran jenis siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat.

Waktu Pengamatan N n xi² χ²hitung χ²(0,05) Pola Sebaran

5 Maret 2011 74 20 1850 426,0000 30,144 Mengelompok 12 Maret 2011 57 20 1125 337,7368 30,144 Mengelompok

19 Maret 2011 88 20 2594 501,5455 30,144 Mengelompok 26 maret 2011 39 20 521 228,1795 30,144 Mengelompok 2 April 2011 53 20 997 323,2264 30,144 Mengelompok 9 April 2011 49 20 875 308,1429 30,144 Mengelompok

Gabungan 360 120 7962 2294,000 30,144 Mengelompok

Pola sebaran mengelompok pada siput gonggong akan ditemukan pada musim pemijahan di daerah pasang surut hingga daerah sublitoral (Abbott 1960). Pola sebaran mengelompok ini juga berkaitan erat dengan hewan bentik untuk memilih daerah yang akan ditempatinya, khususnya substrat yang ada. Tipe substrat tertentu akan menarik atau menolak jenis hewan bentik untuk mendiami serta faktor-faktor fisik kimia yang berpengaruh pada kehidupan hewan bentik. Terdapatnya hewan bentik dewasa berarti daerah tersebut cocok untuk habitat hidup. Kemampuan hewan bentik memilih daerah untuk menetap serta kemampuannya untuk menunda metamorfosis membuat penyebarannya tidak acak (Nybakken 1998).

4.12. Distribusi Frekuensi Panjang

(47)

Gambar 14. Sebaran frekuensi panjang siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat (a) panjang keseluruhan jantan dan betina, (b) panjang keseluruhan betina, (c) panjang keseluruhan jantan. Frekuensi kelompok ukuran yang ditemukan berbeda-beda dan cenderung meningkat setiap minggunya. Siput gonggong yang diamati selama penelitian di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat berjumlah 102 individu, dengan jumlah betina dan jantan masing-masing 50 dan 52 individu. Panjang minimum dan maksimum siput gonggong secara keseluruhan baik jantan maupun betina adalah 46,80 dan 60,95 mm.

Modus distribusi frekuensi panjang betina pada ukuran panjang 52,11-53,87 mm dan jantan pada panjang 50,34-52,10 mm. Perbedaan modus antara jantan dan betina, menunjukkan adanya pergeseran modus ke kiri pada jantan, yang menandakan pemanfaatan pada ukuran yang mengalami rekruitmen ataupun

[image:47.595.113.514.103.502.2]
(48)

pertumbuhan. Berdasarkan informasi dari nelayan, bahwa pada bulan Februari sampai Juni merupakan musim penangkapan efektif dalam setahun dengan puncak penangkapannya terjadi pada bulan Maret, sehingga diduga ukuran yang banyak tertangkap antara 50,34-53,87 mm. Namun untuk menentukan musim pemijahan dan rekruitmen siput gonggong di Pantai Belembang, Teluk Klabat perlu dilakukan kajian lebih lanjut.

Panjang total maksimum siput gonggong antara jantan dan betina di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat adalah 60,95 mm. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dody (2007) bahwa panjang maksimum pada bulan Maret 2007 sebesar 78,40 mm dan bulan April 2009 panjang maksimum siput gonggong dapat mencapai 86,37 mm. Adanya perbedaan panjang maksimum yang diperoleh dapat diduga, disebabkan oleh beberapa faktor yaitu perbedaan pengambilan contoh, keterwakilan contoh yang diambil, dan diduga terjadinya tekanan penangkapan yang tinggi tiap tahunnya serta degradasi lingkungan yang terjadi disekitar lokasi pengamatan yang disebabkan oleh adanya aktivitas penambangan timah di laut sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan makanan dan merusak habitat siput gonggong.

4.13. Hubungan Panjang Bobot

Contoh siput gonggong pada perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat secara keseluruhan sebanyak 102 individu, terdiri dari 50 individu betina dan 52 individu jantan. Hubungan panjang bobot total siput gonggong secara keseluruhan memiliki persamaan W = 0,006 L2,076 , betina memiliki persamaan W = 0,05 L1,556, dan jantan memiliki persamaan W = 0,008 L1,98 (Gambar 15).

(49)
[image:49.595.106.486.91.610.2]

Gambar 15. Hubungan panjang bobot total siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat (a) keseluruhan jantan dan betina, (b) betina, (c) jantan.

Tabel 4. Hasil perhitungan hubungan panjang bobot total siput gonggong di perairan Pantai Belembang, Teluk Klabat.

W = 0,006L2,076

R² = 0,708 n = 102

5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

45,00 48,00 51,00 54,00 57,00 60,00

W = 0,05L1,556

R² = 0,746 n = 50

5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

45,00 48,00 51,00 54,00 57,00 60,00

B o bo t to ta l (g ra m ) (b)

W = 0,008L1,98

R² = 0,711 n = 52 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

45,00 48,00 51,00 54,00 57,00 60,00

panjang cangkang (mm)

(c)

n a b R2 t

hitung ttabel Pola pertumbuhan

Gabungan 102 0,006 2,076 0,708 16,5640 1,9876 cenderung memanjang

Betina 50 0,05 1,556 0,746 14,2334 2,0066 cenderung memanjang

(50)

Menurut Bagenal (1978) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan nilai b selain perbedaan spesies adalah faktor lingkungan, tahap perkembangan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, bahkan perbedaan waktu dalam hari karena perubahan isi perut, selain itu juga dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran yang diamati. Pola pertumbuhan cangkang siput gonggong dipengaruhi oleh pertumbuhan mantel. Organ ini berperan dalam penyerapan bahan pembentuk cangkang. Pertumbuhan akan terganggu akibat parasit yaitu cacing trematoda yang menyerang organ gonad, sehingga selain kerdil juga dapat menyebabkan mandul (Lindner 1979). Kecepatan pertumbuhan rata-rata hewan ini sebesar 0,16 mm/hari pada hewan muda dan kecepatan pertumbuhan akan melambat pada saat mulai memasuki stadia dewasa (Vermeij & Zipser 1986).

Nilai koefisien determinasi pada hasil analisis hubungan panjang bobot memiliki nilai yang kecil. Hal ini diduga dalam pengambilan contoh kurang mewakili lokasi pengamat

Gambar

Gambar 1. Skema perumusan masalah
Gambar 2. Siput gonggong (Strombus turturella)
Gambar 3.  Ciri kelamin jantan dan betina induk siput gonggong (Dody 2008)
Gambar 4. Peta lokasi penelitian di Desa Bakit, Dusun Belembang, Teluk Klabat,
+7

Referensi

Dokumen terkait