• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebaran Spasial dan Potensi Reproduksi Populasi Siput Gonggong (Strombus turturela) di Teluk Klabat Bangka Belitung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sebaran Spasial dan Potensi Reproduksi Populasi Siput Gonggong (Strombus turturela) di Teluk Klabat Bangka Belitung"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

SEBARAN SPASIAL DAN POTENSI REPRODUKSI POPULASI SIPUT GONGGONG (Strombus turturela) DI TELUK KLABAT

BANGKA – BELITUNG

JUDISTIRA SIDDIK C651050061

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul “Sebaran Spasial Dan Potensi Reproduksi Siput Gonggong (Strombus turturella) Di Teluk Klabat” merupakan karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing, dan belum pernah diajukan untuk program sejenis diperguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar pustaka.

Bogor, Juli 2011

(3)

ABSTRACT

Dog conch (Strombus turturella) as a popular food source has undergone a rapid decreasing in population because of habitat destruction. A research has been done in Klabat bay, Bangka Belitung in 3 months to assess habitat characteristics and individual spatial distribution using PCA and CA. Based on environmental biophysical and chemical parameter, spatial distribution consists of cluster formed by temperatur, pH, DO, and sand; cluster formed by depth and turbidity; and cluster formed by salinity, TOM, and clay. Spatial distribution based on shell-size consists of small cluster (20,39 mm - 38,53 mm); medium cluster (38,54mm - 56,68 mm); and big cluster (56,69 mm - 78,34 mm). Length-weight analysis result shows a negative allometric growth pattern (b= 2,787). Furthermore, spatial distribution based on gonad maturity index consists of GMI 0 formed by DO, turbidity, depth, temperatur, pH, and sand; GMI I formed by temperatur, DO, pH, sand, salinity, TOM, clay and mud; and GMI III formed by salinity, TOM, clay and mud, depth and turbidity. Spawning pattern analysis shows that conch spawning season reach its peak during May and June annually.

(4)

SEBARAN SPASIAL DAN POTENSI REPRODUKSI POPULASI SIPUT GONGGONG (Strombus turturela) DI TELUK KLABAT

BANGKA – BELITUNG

JUDISTIRA SIDDIK

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

SEBARAN SPASIAL DAN POTENSI REPRODUKSI POPULASI

SIPUT GONGGONG (

Strombus turturella

) DI TELUK KLABAT

BANGKA-BELITUNG

JUDISTIRA SIDDIK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Penelitian : Sebaran Spasial dan Potensi Reproduksi Populasi Siput Gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat Bangka-Belitung

Nama : Judistira Siddik NRP : C651050061 Program Studi : Ilmu Kelautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA

Ketua Anggota

Dr. Ir. Safar Dody, M.Si

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah scasarjana

(7)

i

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2008 ini adalah “Sebaran Spasial dan Potensi Reproduksi Siput Gonggong Di Teluk Klabat Bangka-Belitung”. Penelitian ini terfokus pada penggalian informasi yang bertujuan untuk pengembangan dan perlindungan habitat serta kehidupan siput gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat pada khususnya.

Pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA, selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, nasehat dan motivasi secara terus menerus dengan penuh dedikasi dari awal perencanaan penelitian sampai selesainya tesis ini.

2. Dr. Ir. Safar Dody M.Si, selaku anggota pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, saran dan koreksian-koreksiannya, sehingga menambah kualitas tesis ini.

3. Rektor Universitas Nasional dan Dekan Fakultas Biologi UNAS, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister di Institut Pertanian Bogor.

4. Isteriku Prihastini,Dra dan putra-putri tersayang yang dengan penuh kesabaran dan kasih sayang selalu mendoakan dan memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Saudara-saudaraku di ilmu kelautan (IKL) angkatan 05 dan di “Kosan Gugah Sari”(KGS) yang selalu memberikan motivasi dan saran-saran dengan “canda-canda nya”, sehingga menambah semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

6. Abang, Mas, Kakak2 Ku yang dengan penuh sabar dan pengertiannya selalu memberikan dukungan moril dan materil hingga selesainya tesis ini. 7. Sahabat, saudara2ku di Fakultas Biologi Unas yang selalu mengingatkan

saat-saat rasa “malas” menyelimuti perasaan ini.

8. Pa Danu, mba Denti, mba Yanti dan seluruh staf di ilmu kelautan (FPIK) IPB yang banyak membantu serta memotivasi agar terselesaikannya tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kata “sempurna”, namun demikian penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 maret 1958, merupakan putra ke sebelas dari dua belas bersaudara dari ayah Ahmad Siddik dan ibu Yohana. Pendidikan sarjana di tempuh di Fakultas Biologi UNAS Jakarta, lulus pada tahun 1988. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada program studi Ilmu Kelautan di Institut pertanian Bogor, baru terlaksana pada tahun 2005, dengan biaya sendiri (mandiri).

(9)

ii

1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) ... 7

2.2. Morfologi dan Anatomi ... 7

3.3.1. Penentuan Stasiun Pengamatan ... 16

3.3.2. Pengambilan Sampel ... 17

3.4. Analisis Data ... 20

3.4.1. Karakteristik Habitat Siput Gonggong ... 20

3.4.2. Kepadatan dan Pola Distribusi Populasi ... 22

3.4.3. Pengelompokan Stasiun Penelitian Berdasarkan Karakteristik Habitat ... 23

3.4.4. Morfometrik ... 23

3.4.5. Hubungan Panjang – Bobot ... 23

3.4.6. Potensi Reproduksi ... 24

III. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Karakteristik Habitat Siput Gonggong ... 27

4.2. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan ... 27

(10)

iii

4.2.2. Salinitas... 28

4.2.3. Derajat keasaman (pH) ... 29

4.2.4. Komposisi Butiran dan Total Organik Mater (TOM)... 30

4.3. Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air dan Sedimen ... 33

4.4. Kepadatan dan Pola Penyebaran Populasi Siput Gonggong ... 36

4.4.1. Kepadatan Populasi ... 36

4.4.2. Pola Penyebaran Populasi Siput Gonggong ... 37

4.5. Morfometrik ... 40

4.5.1. Sebaran Ukuran Siput Gonggong ... 40

4.5.2. Sebaran Populasi Siput Gonggong Berdasarkan kelas Ukuran ... 41

4.5.3. Hubungan Panjang – Berat ... 42

4.6. Potensi Reproduksi ... 46

4.6.1. Nisbah kelamin ... 46

4.6.2. Fekunditas ... 48

4.6.3. Tingkat kematangan Gonad ... 51

4.6.4. Indeks kematangan Gonad ... 53

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 54

5.2. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(11)

iv DAFTAR TABEL

Halaman

1. Parameter, alat dan bahan penelitian ... 15

2. Rataan Komposisi dan TOM Sedimen di Teluk Klabat... 30

(12)

v

7. Peta lokasi penelitian di Teluk Klabat, Provinsi Bangka-Belitung ... 14

8. Posisi Stasiun pengamatan di Teluk Klabat, Provinsi Bangka-Belitung 17 9. Contoh penempatan transek kwadrat dilokasi penelitian... 18

10. Diagram reprentasi sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter fisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2, serta sumbu 1 dan 3... 33

11. Diagram analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan dengan modalitas ukuran dan jenis kelamin siput gonggong pada sumbu 1 dan2... 34

12. Diagram analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan dengan tingkat kematangan gonad pada sumbu 1 dan 2... 36

13. Kepadatan siput gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat... 39

14. Grafik sebaran ukuran siput gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat... 41

14. Pengelompokan stasiun berdasarkan sebaran kelas ukuran individu siput gonggong (Strombus turturella) ... 42

15. Kurva hubungan morfometrik panjang-berat siput gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat ... 43

16. Kurva hubungan panjang-berat siput jantan di teluk Klabat ... 44

17. Kurva hubungan panjang-berat siput betina di Teluk Klabat ... 45

18. Kurva hubungan panjang-berat anakan siput di teluk Klabat ... 46

19. Organ reproduksi luar pada siput gonggong (Strombus turturella) ... 46

20. Jumlah dan persentase siput gonggong (Strombus turturella) jantan dan betina di teluk Klabat... 47

21. Jumlah koloni telur siput gonggong (Strombus turturella) yang dilepas ke alam ... 49

22. jumlah koloni telur siput gonggong (Strombus turturella) di Ds. Romodong, Teluk Klabat... ... 49

23. Koloni telur siput gonggong hasil pemijahan di alam ... 49

(13)

vi

25. Butira-butiran telur siput gonggong yang terlindungi di dalam kapsul .. 50

26. Puncakpemijahansiputgonggong(Strombusturturella)

(14)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel Halaman

1. Karakteristik fisik-kimia perairan Teluk Klabat ... 58

2. Analisis Karakteristik fisik-kimia perairan Teluk Klabat... . 58

3. Sebaran ukuran siput gonggong (Strombus turturella)... 60

4. Analisis koresponden stasiun dengan tingkat kematangan gonad... 63

(15)

1 I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinetraksi membentuk suatu sistem (Bengen, 2004).

Teluk Klabat yang terletak di bagian utara pulau Bangka termasuk didalam Kabupaten Bangka Induk, memiliki bentuk yang cukup unik seolah-olah terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar melebar yang berhadapan langsung dengan laut lepas (laut Natuna), dimana karakteristik perairannya masih dipengaruhi oleh krakteristik lautan. Di bagian tengahnya menyempit dimana terdapat pelabuhan Blinyu dan bagian dalam teluk Klabat melebar lagi, tempat bermuaranya dua sungai yang cukup besar yaitu Sungai Layar dan Sungai Antan. Kedua sungai tersebut ditumbuhi hutan mangrove yang cukup lebat.

(16)

2

Pemanfaatan sumberdaya di daerah pesisir cukup intensif mengingat lokasi ini sangat mudah di akses oleh masyarakat. Masyarakat yang mendiami daerah pesisir sangat bergantung pada sumberdaya yang ada disekitarnya sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan protein hewani dari laut yang juga dapat dijadikan sebagai salah satu komoditi yang bernilai ekonomis. Salah satu komponen hayati pesisir yang memiliki potensi protein hewani yang tinggi adalah Siput Gonggong (Strombus turturella), yang termasuk dalam kelas Gastropoda, merupakan kelas terbesar dalam filum Moluska. Organisme ini berperan baik dalam proses mineralisasi, pendaur ulangan bahan organic, maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi organisme konsumen yang lebih tinggi. Menurut Barnes (1994), anakan Strombidae merupakan makanan bagi anak-anak ikan yang bersifat karnivor. Dan terutama sifat organisme ini yang cukup sensitip terhadap perubahan lingkungan.

Selanjutnya menurut Amini dkk (1987), Siput Gonggong (Strombidae) merupakan salah satu biota pesisir yang memiliki daya rekruitmen yang relatif terbatas dan rentan terhadap degradasi habitat, dimana lambat laun akan mengalami penurunan populasi akibat dari eksploitasi yang kontinyu, serta pengrusakan habitat yang terus berlangsung. Pertimbangan lainnya, Gastropoda (siput gonggong) merupakan organisme yang menetap dikawasan pasang-surut, keberadaannya dapat memberikan gambaran kondisi lingkungan kawasan tempat hidupnya (habitat). Jumlah dan jenisnya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan kawasan pasang-surut.

(17)

3

dipertahankan secara lestari. Upaya pengaturan pemanfaatan siput gonggong yang baik memerlukan informasi dasar mengenai Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dan preferensi habitatnya di alam. Dengan demikian, penelitian Bioekologi siput gonggong terutama yang berkaitan dengan sebaran ukuran, populasi dan kematangan gonad perlu dilakukan agar dapat memberikan masukan dalam penataan dan pengaturan pemanfaatan siput gonggong.

1.2. Perumusan masalah

Ancaman kepunahan organisme laut terutama moluska di berbagai ekosistem akibat eksploitasi yang berlebihan, berubahnya ekosistem oleh sebab- bencana alam, konversi ekosistem, pencemaran, maupun kerusakan fisik oleh sebab-sebab lain seperti penambangan di darat maupun di perairan pesisir, menyebabkan habitat dari moluska dan biota lainnya di perairan semakin terancam. Hal yang sama juga terjadi di perairan pulau Bangka, khususnya daerah utara pulau Bangka (Teluk Klabat) yang merupakan salah satu habitat siput gonggong yang potensial di perairan Kabupaten Bangka Induk, Propinsi Bangka-Belitung.

(18)

4

Bila kondisi tersebut berlangsung terus-menerus dalam kurun waktu tertentu maka akan mengakibatkan kepunahan. Di lain pihak penurunan kualitas lingkungan yang di indikasikan dengan laju sedimentasi yang cukup tinggi sebagai akibat penambangan timah di daratan maupun perairan pantai yang semakin banyak dilakukan oleh masyarakat penambang timah inkonvensional (TI) memberikan andil dalam proses degradasi lingkungan. Akibat dari faktor-faktor diatas, maka ukuran maksimum, jumlah dan frekwensi penemuan siput di alam juga berkurang.

Sebagai salah satu sumber penopang ekonomi masyarakat, penelitian terhadap sumber daya siput Gonggong diarahkan kepada pemulihan habitat dan populasi biota tersebut agar rekruitmen secara alamiah serta pasokan bibit lewat kegiatan budidaya perairan dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Dalam rangka usaha menjamin kelestarian siput gonggong di daerah Teluk Klabat diperlukan informasi mengenai biologi dan ekologi dasar dengan pendekatan terhadap analisa populasi dan habitat siput di alam yang mengkaji beberapa elemen seperti ukuran, sebaran populasi, kepadatan populasi, kematangan gonad dan kandungan gizi siput, terhadap faktor-faktor lingkungan yang meliputi parameter fisika, kimia perairan yang berpengaruh di Teluk Klabat. Secara umum kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menelaah sebaran populasi berdasarkan karakteristik habitat siput gonggong (Strombus turturella).

2. Mengkaji potensi reproduksi siput gonggong (Strombus turturella). 1.4. Manfaat Penelitian

(19)

5

keberadaannya dapat terus berlangsung dan akan menambah pendapatan

(20)

6 Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Ekosistem Pantai

Komponen Abiotik

Komponen Biotik

Potensi Reproduksi Karakteristikm

morfometrik

Sebaran Kepadatan dan Kelimpahan

Degradasi Lingkungan

Kualitas Perairan Kualitas Sedimen

Populasi Siput Gonggong

Berat

Tubuh Morfologi dan Anatomi

Reproduksi

TKG

Ukuran Kematangan

(21)

7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella)

Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) menurut Ruppert dan Barnes (1994); adalah sebagai berikut:

Kingdom :

Filum :

Kelas : Gastropoda Subkelas : Prosobranchia

Ordo :

Famili : Strombidae Genus : Strombus

Spesies : Strombus turturella

Menurut Morton (1979); , siput gonggong termasuk dalam Genus Strombus, Famili Strombidae, Super Famili Strombacea dan Ordo Megagastropoda.

2.2. Morfologi dan Anatomi

(22)

8 Gambar 2. Bentuk cangkang Gonggong ( Strombus turturella ) (Dody, 2006)

Sebagian besar jenis-jenis siput mempunyai tutup cangkang yang disebut operkulum yang menempel pada kakinya. Pada saat sedang tidak sedang berjalan, operkulum ini menutupi bagian bukaan cangkang (Kozloff, 1990). Operkulum berbentuk pipih memanjang dan bergerigi (Gambar 2), yang berfungsi ganda untuk melindungi tubuh yang berada dalam cangkang, dan sebagai alat bantu berpindah tempat (Ruppert et al, 1994).

Cangkang Kaki

Operkulum

(23)

9

endapan pigmen berwarna. Periostrakum berfungsi untuk melindungi lapisan dibawahnya yang terdiri dari kalsium karbonat terhadap erosi.

Lapisan kalsium karbonat terdiri atas 3 lapisan atau lebih, yang terkuat adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella dan paling dalam adalah lapisan nacre atau hypostrakum. Lapisan prismatik terdiri atas kristal kalsite yang tersusun vertikal, masing-masing diseliputi matrik protein yang tipis, Lapisan tengah dan lapisan nakre terdiri atas lembaran-lembaran aragonite dalam matrik organik tipis (Suwignyo dkk, 2005). Sebagian besar jenis-jenis siput mempunyai tutup cangkang yang disebut operkulum yang menempel pada kakinya. Pada saat sedang tidak sedang berjalan, operkulum ini menutupi bagian bukaan cangkang (Kozloff, 1990)

2.3. Habitat dan Adaptasi

Di alam siput gonggong menyukai habitat pasir berlumpur. Menurut Amini (1986), siput gonggong banyak terdapat hidup di perairan pantai dengan dasar pasir berlumpur dan kondisi perairan dimana banyak ditemukan rumput laut. Sedangkan menurut Dharma (1988), Strombus hidupnya diatas pasir, jika berjalan seperti melompat-lompat dengan menggunakan operkulum atau penutup cangkangnya yang berbentuk seperti pisau berduri. Salinitasnya berkisar antara 26 – 32 %o, pH antara 7,1 – 8,0, oksigen terlarut 4,5 – 6,5 ppt, kecerahan air 0,5 – 3,0 meter serta suhu berkisar antara 26 – 300

(24)

10

hasil penelitian Aswandy dan Hutomo (1988) di Teluk Banten, menemukan 10 jenis moluska yang berasosiasi dengan padang Lamun. Famili Strombidae merupakan famili yang dominan keberadaannya di Teluk Kotania Seram Barat (Cappenberg,1996); Patterson J K (1995).

Sedangkan Peristiwady (1994) dari hasil penelitiannya di pantai Selatan Lombok mendapatkan sedikitnya terdapat 4,99% dari seluruh jenis makrofauna yang berasosiasi dengan padang Lamun adalah moluska. Dari tiga teluk yang ada di pantai Selatan Lombok ditemukan sebanyak 70 spesies moluska yang berasosiasi dengan padang Lamun dan yang kelimpahannya tertinggi adalah Strombus labiatus, S. Luhuanus, kondisi perairan dengan salinitas berkisar antara 33,20 – 33,50 %o, suhu antara 26,50 – 26,590 C dan kandungan oksigen 2,79 – 4,12 mg/l serta pH berkisar antara 8,30 – 8,35. Menurut Stoner et al (1996), anakan siput dari marga Strombus biasanya selalu berasosiasi dengan tumbuhan lamun jenis Thalassia testudinum dan Syringodium filiforme (Gambar 4).

(25)

11 2.4. Reproduksi dan Siklus Hidup

Menurut Barker (2001), banyak gastropoda alat kelaminnya terpisah, sehingga tiap individu adalah dioseus dengan satu gonad yang terletak dekat apex. Secara umum Gastropoda memiliki alat kelamin yang terpisah, begitu pula halnya dengan siput gonggong (Strombus turturella).

Penelitian tentang reproduksi siput gonggong (Strombus turturella) belum banyak dilakukan baik di daerah tropis maupun sub-tropis. Musim penangkapan siput gonggong di perairan P. Bintan – Riau mencapai puncaknya pada bulan Mei hingga Oktober (Amini, 1986). Menurut Barnes (1994), kebanyakan gastropoda bersifat dioseus dengan sebuah gonad (ovari atau testis) terletak dekat saluran pencernaan dalam massa viseral (Gambar 5).

Gambar 5. Siput Gonggong jantan dan betina dewasa (Dody, 2009).

Ketika terjadi perkawinan, pembuahan terjadi di dalam, kemudian telur dibungkus semacam agar dan dikeluarkan dalam bentuk rangkaian kalung, pita atau berkelompok, telur siput gonggong berbentuk seperti rangkaian kalung (Gambar 6).

♂ ♀

(26)

12 Gambar 6. Siklus Hidup Gonggong ( Dody, 2009 )

Stadium trochophore berlangsung didalam pembungkus telur dan menetas sebagai larva veliger yang berenang bebas. Ciri khas larva veliger adalah mempunyai velum yang bersilia, kaki, mata dan tentakel. Velum berfungsi sebagai alat untuk berenang dan mengalirkan makanan ke mulut karena veliger merupakan pemakan suspensi (Appeldorn, R.S., 1988). Pada akhir stadium veliger kaki sudah cukup besar untuk merayap, maka larva turun ke substrat dan melakukan metamorfosa. Velum hilang dan bentuk tubuh berubah seperti dewasa. Saat metamorfosa merupakan saat yang paling kritis dalam daur hidup gastropoda (Barnes, 1994); (Anonim, 1990). Menurut Barker (2001); Cob Z C, (2007) :

1) Fertilisasi telur (telur berdiameter 0,23 mm dan kuning telur berdiameter 0,18 mm).

2) Fase trokofor yang mulai aktif berenang (19 jam setelah pemijahan). 3) Fase veliger muda (umur 29 jam dengan panjang 0,26 mm).

4) Fase veliger yang mulai aktif berenang dan sudah memiliki organ stigmas dan cephalic tentakel (umur 2,5 hari dengan panjang 0,29 mm).

(27)

13

6) Fase pertumbuhan memasuki stadia larva dan mulai membentuk cangkang peristomal (umur 13 hari).

7) Fase dewasa yang telah memiliki organ respirasi (140 hari dengan panjang tubuh 3,0 mm).

8) Fase selanjutnya membentuk cangkang muda (160 hari dengan panjang tubuh 3,7 mm).

9) Fase dewasa

(28)

14 III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan, yaitu bulan Mei sampai Juli. Dua bulan dilakukan pengambilan sampel di lapangan dan satu bulan untuk analisa laboratorium. Lokasi penelitian terletak di Perairan Teluk Klabat Bangka Belitung (Gambar 7). Analisa kualitas air dan sedimen dilakukan di laboratorium P2O-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

Teluk Klabat termasuk dalam Kabupaten Bangka Induk, Pulau Bangka. Perairan sekitar Teluk Klabat memiliki ekosistem muara sungai (estuaria), ekosistem mangrove dan ekosistem karang. Bentuk Teluk Klabat cukup unik, seolah-olah terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar melebar di tengah menyempit dimana terletak pelabuhan Blinyu dan bagian dalamnya melebar lagi. Dalam penelitian ini lokasi pengambilan sampel hanya dilakukan pada lokasi bagian luar, sedangkan teluk bagian tengah dan dalam tidak dilakukan pengamatan.

(29)

15

Sumber:

BAKOSURTANA 2006

Teluk Klabat

Kabupaten

Provinsi

B k B li

(30)

16 3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian serta parameter yang diukur disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1. Parameter, Alat dan Bahan Penelitian

Parameter Metode analisis/alat

FISIKA-KIMIA AIR: 1. Suhu (0

2. pH

C) 3. DO (mg/l)

4. Organik Total/TOM (mg/l) 5. Salinitas (%o)

3. Redoks potensial (mV) 4. TOM (mg/l)

Saringan bertingkat pH-meter

Redoks potensiometer Timbangan O Hauss

BIOLOGI DAN REPRODUKSI SIPUT GONGGONG: 1. Morfometri

2. Bobot tubuh

Kaliper

(31)

17 3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Penentuan Stasiun Pengamatan

Stasiun pengamatan berada pada Teluk Klabat bagian luar dengan dua lokasi utama, yakni:

a. Lokasi 1 : Teluk bagian luar sisi timur dengan aktivitas utama merupakan alur pelayaran, dan aktivitas penangkapan ikan. Sedangkan aktivitas penambangan timah tidak dijumpai di areal ini. Penentuan titik sampel di mulai pada sisi timur teluk yang berdekatan dengan Tanjung Penyusuk menyusuri perairan pantai desa Romodong hingga ke Tanjung Gudang. Di lokasi sisi timur ini terdapat enam stasiun penelitian, yakni stasiun 1,2,3,4,5 dan 6.

b. Lokasi 2 : Teluk bagian luar sisi barat dengan aktivitas utama aktivitas penangkapan ikan dan penambangan timah. Penentuan titik sampling dengan menyusuri pantai sebelah barat Teluk Klabat. Areal ini diperkirakan merupakan habitat siput gonggong yang potensial, dengan kondisi substrat terdiri dari pasir dan pasir berlumpur. Nelayan pencari siput gonggong memfokuskan aktivitasnya di daerah ini. Vegetasi yang tumbuh di daerah pantai umumnya cemara. Selain itu dijumpai pula beberapa pulau kecil yang bervegetasi serta beberapa pulau berupa tonjolan batu dan gosong pasir yang muncul ke permukaan saat air surut.

(32)

18 Gambar 8. Posisi Stasiun Pengamatan di Teluk Klabat, Provinsi

Bangka-Belitung (Bakosurtanal, 1997)

3.3.2. Pengambilan Sampel

a. Pengambilan Sampel Siput Gonggong

Pengambilan sampel siput pada tiap stasiun di lakukan pada saat surut terendah (kedalaman air mencapai 0,5 m – 1 m) dengan cara meletakan transek kwadrat berukuran 1 x 1 meter yang terbuat dari besi dan pada salah satu sudutnya diikatkan pelampung berupa gabus sterofoam . Siput gonggong yang berada di dalam transek kwadrat di ambil dengan tangan secara snorkeling. Dari setiap kwadran sampel dimasukan kedalam kantong waring dan diberi label menandai stasiun pengambilan.

Setiap stasiun terdiri dari 4 transek garis berjarak 50 meter setiap garis dan tiap transek garis terdiri dari 10 transek kuadrat. Transek garis

1

2

3

4 5

6 13

11 10 9

8

7 12

14

(33)

19

ditentukan dari arah darat ke laut. Penempatan transek kwadrat di lapangan disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Contoh penempatan transek kwadrat di lokasi penelitian b. Kualitas air

Pengukuran kualitas air dilakukan dengan dua cara yaitu secara insitu dan pengukuran di laboratorium. Pengukuran secara insitu dilakukan dengan cara mengambil contoh air pada masing-masing stasiun pengamatan. Parameter kualitas air yang diukur di lapangan meliputi suhu, oksigen terlarut (DO), pH, salinitas, dan turbiditas, sedangkan kandungan bahan organik total diukur di laboratorium dengan mengambil contoh air yang selanjutnya dianalisis di P2O-LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Jakarta.

c. Kualitas sedimen dan fraksi sedimen

Contoh sedimen diambil pada stasiun yang sama dengan pengambilan contoh air. Sedimen diambil kurang lebih 500 gram dengan menggunakan Ekman Grab dan dimasukkan ke dalam plastik serta disimpan dalam cool box. Sampel sedimen selanjutnya dianalisis di P2O-LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Jakarta.

Darat

U

Transek kuadrat Transek garis

(34)

20 d. Pengukuran Morfometri Cangkang dan Bobot Tubuh

Pengukuran morfometrik siput dilakukan memakai caliper dengan ketelitian 1,00 mm, mengikuti metode Bailey dan Green (1988), terhadap karakter-karakter: (1) panjang cangkang (Pc), Panjang cangkang diukur dari ujung anterior ke ujung posterior cangkang Sedangkan pengukuran terhadap bobot tubuh dilakukan dengan menggunakan timbangan OHAUS Precision Plus, dengan ketelitian 0,001 gr. Penimbangan dilakukan meliputi berat total siput, cangkang dan daging baik basah maupun kering. Selanjutnya bobot cangkang tanpa daging ditimbang begitu juga dengan bobot daging tanpa cangkang (bobot tegumen) ditimbang.

e. Potensi Reproduksi • Nisbah Kelamin

• Tingkat Kematangan Gonad • Indeks Kematangan Gonad • Fekunditas

(35)

21

dihasilkan oleh seekor induk betina dalam satu koloni, maka dilakukan koleksi beberapa koloni telur untuk dihitung jumlahnya menggunakan metode gravimetri (Effendie, 1979).

3.4. Analisa Data

3.4.1. Karakteristik Habitat Siput Gonggong

Untuk melihat karakteristik habitat siput gonggong digunakan pendekatan analisis statistik multi variable dengan Analisis Komponen Utama (AKU = Principal Component Analysis, PCA) (Bengen, 2000). Analisis ini memungkinkan adanya suatu reduksi terhadap dimensi dari ruang-ruang agar dapat lebih mudah dibaca dengan kehilangan informasi sesedikit mungkin. Metode ini bertujuan mendeterminasi sumbu-sumbu optimum tempat diproyeksikannya individu-individu dan / atau variabel-variabel.

Data variabel fisika-kimia perairan yang diperoleh tidak memiliki pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama, data tersebut perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian

Nilai sesudah pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai variabel dengan nilai rata-rata, yakni:

x = Nilai rata-rata variabel

Sementara pereduksian merupakan hasil bagi antara variabel yang telah dipusatkan dengan nilai simpangan baku variabel, yang dirumuskan sebagai berikut:

S C R=

dengan: R = Nilai pereduksian C = Nilai pemusatan

(36)

22

Untuk menentukan hubungan antara dua variabel digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds, 1988), yaitu: Rs x s = As x n At

Korelasi linear antara dua variabel yang dihitung dari indeks sintetiknya merupakan peragam dari dua variabel yang telah dinormalkan. Tahapan ini sebenarnya merupakan suatu usaha untuk mentransformasikan p variabel kuantitatif awal (inisial), yang kurang lebih saling berkorelasi, ke dalam p variabel kuantitatif baru yang disebut komponen utama. Dengan demikian hasil dari analisis ini tidak berasal dari variable-variabel awal (inisial) tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier variabel-variabel asal.

= Matriks transpose (pertukaran baris dan kolom) dari matriks A

Diantara semua indeks sintetik yang mungkin, analisis ini mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini disebut komponen utama pertama atau sumbu ke-1 (F1), yaitu suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun yang dijelaskan oleh komponen utama ini. Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil dengan F1 dan memiliki ragam individu terbesar. Komponen utama kedua memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus sehingga diperoleh komponen utama ke-p, di mana bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil.

Prinsip Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang berkoresponden) pada data. Jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut:

(37)

23

Semakin kecil jarak Euclidean antara dua stasiun, maka semakin mirip karakteristik fisika kimia air dan substrat antar kedua stasiun tersebut dan sebaliknya semakin besar jarak Eclidean antara dua stasiun, maka semakin berbeda karakteristik karaktersitik fisika kimia air dan substrat kedua stasiun tersebut.

3.4.2. Kepadatan dan Pola Distribusi Populasi a. Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi menunjukkan rataan individu suatu jenis siput perpetak dari seluruh contoh yang diamati, yaitu menggunakan rumus:

D = ∑Xi / n dengan: ∑Xi = jumlah total individu siput n = luas seluruh petak contoh

b. Pola Sebaran

Pola penyebaran siput gonggong dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan Indeks Morisita (Id). Indeks ini tidak dipengaruhi oleh luas petak pengamatan dan sangat baik untuk membandingkan pola pemencaran populasi (Brower et al, 1990). Rumus yang dipergunakan adalah:

Nilai indeks morisita yang diperoleh diinterpretasikan sebagai berikut: = jumlah individu jenis i per petak.

Id < 1, distribusi individu cenderung acak Id = 1, distribusi individu bersifat merata

Id > 1, distribusi individu cenderung berkelompok.

(38)

24

Sebaran jenis, ukuran siput gonggong berdasarkan karakteristik biofisik dianalisa menggunakan metode Corespondence Analysis (CA) (Legendre & Legendre, 1983; Foucart, 1985; Bengen, 1998). Analisis ini didasarkan pada matriks data yang terdiri atas I baris (stasiun pengamatan) dan J kolom (jenis siput gonggong dengan kelas ukuran tertentu) dimana pada perpotongan baris I dan kolom J ditemukan kelimpahan siput gonggong. Matriks ini merupakan tabel kontingensi stasiun pengamatan dan modalitas jenis siput gonggong berdasarkan kelas ukuran. Pada tabel kontingensi, I dan J mempunyai peranan yang simetris, membandingkan unsur-unsur I (untuk tiap J) sama dengan membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari nij/ni. Untuk masing-masing nij/nj, dengan

ni = ∑ nij (jumlah subjek I yang memiliki semua karakter j) dan nj = ∑ nij (jumlah jawaban karakter j).

Pengukuran kemiripan antar dua unsur I1 dan I2

d

dari I dilakukan melalui pengukuran jarak khikuadrat dengan rumus:

2 ( i,i’) = ∑( Xij/Xi – Xi’j/ Xi’ )2

dengan: Xi = Jumlah baris I untuk semua kolom J Xj

Xj = Jumlah kolom J untuk semua baris I

3.4.4. Morfometrik

Analisis hubungan morfometrik antara panjang cangkang dengan lebar dan tinggi cangkang siput gonggong adalah:

P = a + bL

3.4.5. Hubungan panjang –Berat

Pola pertumbuhan siput dapat diketahui melalui hubungan panjang cangkang dengan bobot tubuh siput (berat basah) yang dianalisis melalui

(39)

25 jumlah siput betina / jantan

Jumlah seluruh sampel

dimana : W = berat basah (gr)

L = panjang cangkang (mm) a dan b = konstanta

Untuk menguji apakah konstanta b sama dengan 3 atau tidak (isometrik atau allometrik) dilakukan uji t. Persamaan diatas juga dilakukan terhadap jenis kelamin.

3.4.6. Potensi Reproduksi 3.4.6.1. Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin dianalisa dengan cara membandingkan jenis siput betina dan jantan secara keseluruhan dikalikan dengan 100 %.

Nisbah kelamin = x 100 %

Untuk membandingkan apakah siput jantan dan betina seimbang atau tidak maka dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Kuadrat (Sugiono, 2001).

= Frekuensi yang diobservasi h = Frekuensi harapan

3.4.6.2. Fekunditas

(40)

26

Pengamatan fekunditas bertujuan untuk mengetahui potensi reproduksi siput gonggong yang dilakukan hanya pada individu betina dan waktu yang diamati hanya bulan Mei, Juni dan bulan Juli. Pengamatan dilapangan dilakukan dengan cara menyelusuri garis transek yang sejajar dengan garis pantai dan pengambilan sampel telur dilakukan hanya tiga (3) transek disetiap stasiunnya. Untuk mengetahui rata-rata jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk betina dalam satu koloni, maka dilakukan koleksi beberapa koloni telur untuk dihitung jumlahnya menggunakan metode gravimetri (Effendie, 1979).

3.4.6.3. Tingkat Kematangan Gonad

(41)

27

%

100

x

w

wg

GSI

=

Pi = Proporsi ikan matang gonad pada kelas ke – i (pi = ri/ni) Ri = Jumlah ikan matang gonad pada kelas ke – i

Ni = Jumlah ikan pada kelas ke – i

qi = 1 – pi, panjang ikan pada waktu mencapai kematangan gonad yang pertama adalah M = antilog m. Untuk mengetahui rata-rata jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk betina dalam satu koloni, maka dilakukan koleksi beberapa koloni telur untuk dihitung jumlahnya menggunakan metode gravimetri (Effendie, 1979).

3.4.6.4. Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad sering disebut juga “koefisien kematangan” atau index of maturity. Namun yang banyak dipakai adalah Gonado Somatics Indeks (GSI) yang gunakan untuk mengukur aktivitas gonad (Effendie, 2002) dengan rumus sebagai berikut:

Dimana :

GSI = Gonado somatics indeks/indeks kematangan gonad (%) Wg = berat gonad (gram)

W = Berat tubuh ikan (gram)

(42)

28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Habitat Siput Gonggong

Teluk Klabat memiliki bentuk yang cukup unik, seolah-olah terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar melebar di tengah menyempit, dimana terletak pelabuhan Blinyu dan bagian dalamnya melebar lagi (Gambar 7). Lokasi penelitian berada di teluk bagian luar yang dibagi menjadi dua bagian (sisi), bagian Barat dan bagian Timur. Kondisi perairan pada saat pengambilan sampel dalam kondisi surut terendah, Lokasi Timur (stasiun 1– 6), memiliki hamparan pantai pasir yang relatif pendek dengan substrat dasar perairan, berpasir. Lokasi Barat (stasiun 7- 14) hamparan pantai pasir yang sangat panjang (luas) dengan substrat dasar perairan, pasir berlumpur.

4.2. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan

Hasil pengukuran parameter fisik kimia perairan selama penelitian di Teluk Klabat dapat dilihat pada Lampiran 1

4.2.1. Suhu

(43)

29

Suhu tertinggi 29,7°C dijumpai pada Stasiun 3,4,13 dan 14 (Lampiran 1). Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan disekitarnya antara lain kedalaman dan intensitas cahaya matahari serta musim. Suhu terendah di dapatkan pada stasiun 6, hal ini disebabkan kondisi perairannya berada di mulut Teluk Klabat yang mendapat pengaruh langsung dari massa air laut teluk bagian dalam yang mendapat tambahan massa air dari sungai yang masuk ke Teluk Klabat dibanding stasiun lainnya, kondisi ini mengakibatkan kolom air lebih stabil.

4.2.2. Salinitas

Kadar salinitas di Teluk Klabat berkisar antara 31,6 ‰ – 33 ‰. Daerah pesisir seperti Pantai Teluk Klabat dimana daerah tersebut dapat terendam pada saat pasang tertinggi dan muncul ke permukaan pada saat surut terendah, sangat memungkinkan memiliki kadar salinitas yang tinggi sebagai akibat dari penguapan.

(44)

30 4.2.3. Derajat Keasaman (pH)

Hasil pengukuran pH di lokasi penelitian cenderung bersifat basa. Dimana kisaran pH pada Teluk Klabat 7,6 – 7,7. Nilai tersebut memperlihat bahwa pH perairan cenderung bersifat basa dan termasuk normal bagi pH air laut di Indonesia yang pada umumnya bervariasi antara 6.0 - 8.5. Hutasoit (1991) menyatakan perairan yang mempunyai pH dengan kisaran 6.50 – 7.50 dikategorikan perairan cukup baik sedang perairan yang mempunyai pH dengan kisaran 7.50 – 8.50 dikategorikan perairan sangat baik. jika dibandingkan dengan hasil penelitian Muchtar, 1993 di Lombok Selatan yang mendapatkan nilai pH antara 8.3-8.35, maka nilai pH perairan yang diperoleh pada penelitian ini reltif lebih rendah. Hal ini mungkin saja terjadi melihat kondisi perairan yang berbeda. Menurut EPA (1996), biota laut memiliki kisaran pH ideal 6,5 sampai 8,5. Ini artinya kadar pH yang terdapat di Pantai Teluk Klabat masih bisa dikatakan berada dalam keadaan normal yang dibutuhkan bagi biota perairan di daerah tersebut. Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Derajat Keasaman (pH) air laut cenderung berada dalam keseimbangan karena ekosistem air laut mempunyai kapasitas penyangga yang mampu mempertahankan nilai pH. Menurut Odum (1971), air laut merupakan sistem penyangga yang sangat luas dengan pH relatif stabil sebesar 7 hingga 8,5.

(45)

31

sebaran organisme yang metabolismenya tergantung pada sebaran faktor-faktor kimia tersebut.

4.2.4. Komposisi butiran dan Total Organic Matter (TOM) sedimen

Hasil analisis laboratorium dari ukuran partikel substrat yang merupakan habitat siput gonggong diklasifikasikan menurut skala Wenworth yang menggolongkan partikel dari lempung (clay) sampai batu besar (boulder) dengan diameter 1/4096 mm sampai 2048 mm, setelah terklasifikasi kemudian didapatkan persentase rataan ukuran partikel berdasarkan stasiun. Jenis substrat sangat berkaitan dengan kandungan oksigen, sirkulasi air dan ketersediaan nutrien dalam sedimen. Komposisi butiran sedimen di sisi Timur dan Barat Pantai Teluk Klabat bagian luar memiliki dua jenis yang tidak terlalu berbeda dan didominasi oleh pasir, oleh karena itu bisa dikatakan secara keseluruhan substrat di Pantai Teluk Klabat pasir berlumpur (Tabel 2).

Tabel 2. Rataan Komposisi Sedimen dan TOM di Pantai Teluk Klabat.

Komposisi substrat, perairan Teluk Klabat secara umum adalah pasir berlumpur. Penyebaran partikel dasar ini disusun dan dikelompokan menurut Skala Wenworth (Tabel 2). Komposisi pasir bisa terbentuk dari patahan karang dan sisa-sisa biota yang telah mati. Sedimen berpasir memiliki kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan sedimen yang halus, karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi kendalanya pada sedimen berpasir tidak terlalu banyak terdapat bahan organik (Wood, 1987).

(46)

32

TOM pada suatu perairan dipengaruhi oleh kandungan bahan organik di sedimen melalui proses pengendapan ke dasar perairan. Laju pengendapan tersebut sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus. Partikel yang halus akan terbawa oleh aliran air yang deras. Kisaran TOM pada perairan ini tidak terlalu tinggi yaitu berkisar antara 0,51 – 12,3 mg/l. Kandungan bahan organik terlarut pada masing-masing stasiun menunjukkan nilai yang bervariasi. TOM tertinggi dijumpai pada stasiun 8 dan 14 dengan rata-rata sebesar 12,33 dan 6,64 mg/l yang terendah dengan rata-rata 0.51 dan 0,98 mg/l terdapat pada stasiun 2 dan stasiun 11. Kandungan TOM dalam perairan sangat dipengaruhi oleh pemasukan zat-zat dari daratan dan adanya erosi dari hulu sungai yang banyak mengandung bahan organik (Susetiono, 1999).

Secara keseluruhan nilai TOM lebih tinggi ke arah muara sungai, hal ini sangat berhubungan dengan adanya partikel-partikel lumpur yang terbawa arus dari dua sungai yang bermuara di Teluk Klabat bagian dalam, kecepatan arus yang semakin kecil ke arah Teluk Klabat bagian luar ( lokasi penelitian ), stasiun 1 dan stasiun 11 serta stasiun 8 dan stasiun 14 dan juga nilai salinitas yang semakin tinggi, dimana tingginya salinitas sangat berhubungan dengan kandungan bahan-bahan mineral yang ada dalam perairan tersebut. Tekstur sedimen sangat erat kaitannya dengan fraksi butiran sedimen.

Tingginya bahan organik di Teluk Klabat disebabkan karena banyaknya sisa-sisa biota seperti hewan, serasah dari lamun dan alga yang telah mati kemudian terendapkan. Menurut Wood (1987), Pada sedimen yang halus, walaupun oksigen sangat terbatas tetapi kandungan bahan organik tersedia dalam jumlah yang banyak. Sedangkan menurut Susetiono (1999), dari hasil penelitiannya di Teluk Kuta, Lombok, NTB, banyaknya partikel halus dan TOM di Teluk Kuta menunjukkan bahwa lingkungan Teluk Kuta mempunyai tingkat turbulensi yang rendah.

(47)

33

sekitarnya dan kecepatan arus. Kandungan bahan organik terlarut pada masing-masing stasiun menunjukkan nilai yang bervariasi.

4.3. Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air dan Sedimen

Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air terhadap stasiun pengamatan dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama. Menurut Legendre dan Legendre (1983), untuk mendeterminasi distribusi karakteristik fisik kimia perairan antar stasiun pengamatan, digunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisis, PCA ). Analisis Komponen Utama digunakan karena parameter lingkungan perairan lebih tepat dalam menerangkan ordinasi. Data parameter lingkungan yang dianalisis mempunyai unit pengukuran yang berbeda, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama terlebih dahulu dilakukan pemusatan dan pereduksian terhadap data. Hasil dari analisis matriks korelasi data fisika kimia perairan menunjukkan bahwa kontribusi dua komponen utama terhadap ragam total mencapai 68,606 % dari ragam total, sedangkan kontribusi tiga komponen utama terhadap ragam total mencapai 80,499 % dari ragam total. Sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1 dan 2 dimana masing-masing sumbu menjelaskan 39,851% dan 28,756% dari ragam total, sedangkan sumbu 3 memberikan kontribusi 11,893 % dari ragam total. Nilai akar ciri (eigenvalue) dari ketiga komponen secara berurutan adalah 3,895; 2,876; dan 1,189. Hasi analisis pada Lampiran 2.

(48)

34 Gambar 10.a,b. Diagram lingkaran korelasi antara parameter fisik kimia

lingkungan pada sumbu 1 dan 2, serta sumbu 1 dan 3.

Gambar 10c,d. Diagram representasi sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter fisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2, serta sumbu 1 dan 3.

Ket : tmp= temperatur pH= pH DO = oksigen terlarut sal = salinitas Kkrh= kekeruhan lmpr = lumpur kpdtn= kepadatan liat = liat kdlm = kedalaman psr = pasir TOM = total kandungan organik

Adanya korelasi negatif antara DO pada sumbu pertama positif dengan liat pada sumbu pertama negatif, menunjukan bahwa semakin banyak kandungan tanah liatnya, maka kandungan oksigennya akan sedikit, begitu juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan adanya korelasi diantara parameter-parameter tersebut

(49)

35

Kelompok I terdiri atas stasiun 3 dan 4 serta stasiun13 dan stasiun 14 yang dicirikan dengan temperatur, pH dan substrat pasir serta DO. Kelompok II terdiri atas stasiun 8,10 dan stasiun 11 dan 12 yang dicirikan dengan kekeruhan, TOM dan lumpur yang tinggi. Dan kelompok III yang terdiri atas stasiun 1,2 stasiun 5,6,7 dan stasiun 9 yang dicirikan dengan kedalaman, salinitas dan liat yang tinggi.

Pada sumbu 1 dan 3, sebaran stasiun membentuk 3 kelompok individu, yang masing-masing memiliki karakteristik biofisik kimia berbeda. Kelompok I terdiri atas stasiun 2,3, dan stasiun 4, serta stasiun 13 dan stasiun 14 yang dicirikan oleh kandungan oksigen terlarut, temperatur, pH dan substrat pasir yang tinggi. Kelompok II terdiri atas stasiun 2, 7 dan stasiun 9 serta stasiun 10 dicirikan oleh salinitas, TOM, liat dan lumpur, sedangkan kelompok III terdiri atas stasiun 1, 5 dan 6 serta stasiun 11 dan stasiun 12 dicirikan oleh kedalaman dan kekeruhan.

4.3.1. Distribusi Spasial Siput Gonggong Berdasarkan Kelas Ukuran dan Jenis Kelamin

Pengelompokan titik-titik pengamatan dari hasil analisis berdasarkan kelas ukuran terdiri atas tiga kelompok yang mempunyai keterkaitan yang erat antara siput gonggong dengan stasiun pengamatan (Gambar 11)(Lampiran 3).

(50)

36

Hasil analisis memperlihatkan siput gonggong kelompok A (ukuran 20,39 mm-38,53 mm) banyak terdapat di stasiun 2 dan stasiun 3 yang dicirikan

temperatur, DO, pH dan kandungan substrat pasir yang tinggi, diduga pasir dijadikan areal perlindungan bagi anakan gongong, yang pada fase veliger mempunyai velum yang bersilia, kaki, mata dan tentakel. Stasiun 5 yang dicirikan dengan kedalaman dan kekeruhan yang tinggi diperkirakan merupakan lokasi yang disenangi siput gonggong dikarenakan kondisi perairan yang demikian dapat melindungi larva-larva veliger dari serangan musuh. Menurut Barnes (1994), sesaat setelah menetas larva veliger berenang bebas merupakan saat-saat paling kritis dan stadium veliger disenangi ikan sebagai makannya. Kelompok B (ukuran 38,54 mm-56,68 mm) banyak terdapat di stasiun 4, 6 dan stasiun 13 serta stasiun 14, sedangkan kelompok C (ukuran 56,69 mm-74,83 mm) dan kelompok D (ukuran 74,89 mm-92,98 mm) banyak terdapat di stasiun 1,2,7 dan stasiun 8,9 serta stasiun 10 dan stasiun 11.

(51)

37 4.3.2. Distribusi Spasial Siput Gonggong Berdasarkan Tingkat Kematangan

Gonad

Gambar 12. Diagram analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan dengan tingkat kematangan gonad pada sumbu 1 dan 2.

Hasil pengukuran (Gambar 12) memperlihatkan distribusi spasial siput gonggong dengan tingkat kematangan gonad pada TKG 0, banyak dijumpai di stasiun 1,2 dan stasiun 3 serta di stasiun 5 yang dicirikan dengan kandungan oksigen tinggi, kekeruhan, kedalaman dan temperatur, pH dan substrat pasir. Kondisi lingkungan yang stabil sangat diperlukan oleh gonggong berukuran kecil, gonggong termasuk organisme yang sensitif terhadap perubahan lingkungan. Menurut Menurut Basmi (2000) suhu berperan penting dalam proses metabolisme dan laju fotosintesis organisme fitoplankton yang merupakan salah satu makanan bagi hewan bentos

(52)

38

antara lain temperatur yang stabil, DO yang tinggi, lumpur tempat berkamuflase menghindar dari predator. Lingkungan juga merupakan tempat tumbuh dan berkembang baik individu maupun populasinya. Pada stasiun 7,9 dan 10 serta stasiun 12 yang karakteristik lingkungannya mencirikan salinitas, TOM, lumpur dan liat serta kedalaman dan tingkat kekeruhan yang tinggi banyak ditemukan siput gonggong yang memasuki tingkat kematangan gonad empat (TKG IV). Lokasi ini diperkirakan sebagai lokasi untuk mendapatkan makanan dan sekaligus lokasi pertemuan gonggong dewasa untuk melakukan pemijahan.

Pengelompokan stasiun penelitian berdasarkan karakteristik habitat, stasiun penelitian tersebar di sepanjang pantai Timur dan Barat Teluk Klabat dengan masing-masing terdiri atas 6 stasiun berada di Timur dicirikan oleh nilai temperatur, pasir, salinitas dan pH hal ini sesuai dengan pengamatan dilapangan, tekstur sedimen memang menjadi faktor pembatas utama bagi penyebaran siput gonggong pada habitatnya. Siput gonggong jarang ditemukan pada substrat yang didominasi oleh pasir. Di pantai bagian Barat terdapat 8 stasiun, merupakan stasiun-stasiun yang berada di rataan pantai yang sangat lebar yang dicirikan dengan tingginya lumpur, TOM dan nilai kekeruhan.

Tingginya nilai-nilai variabel ini diduga dipengaruhi oleh aliran dari sungai dan laut yang membawa material bahan organik serta adanya proses pengadukan dari kedua massa air tersebut serta terjadinya pengendapan dirataan sangat luas yang merupakan ciri topografi di daerah tersebut.

4.4. Kepadatan dan Pola Penyebaran Populasi Siput Gonggong 4.4.1. Kepadatan Populasi

(53)

39

terdiri dari pasir berlumpur merupakan tempat hidup yang disenangi oleh siput gonggong (Amini,1986; Cappenberg,1996). Jumlah siput gonggong yang ditemukan pada stasiun 2, 3 dan stasiun 13 serta stasiun 14 adalah jumlah yang terkecil ( 2 indv/m2 ), diperkirakan lokasi stasiun – stasiun ini terletak di mulut teluk yang kondisi substratnya pasir miskin bahan organik yang berasal dari hasil penguraian bangkai dan sisa-sisa organisme oleh bakteri pengurai (Odum, 1993). Akibat erosi dibagian hulun sungai Antan dan sungai Layar dan kecepatan arus yang berasal dari laut Natuna masih sangat berpengaruh.

Gambar 12. Kepadatan Siput Gonggong ( Strombus turturella ) di Teluk Klabat.

Hal ini sesuai dengan pendapat Sudara dkk (1992) yang menyatakan bahwa moluska dari kelas gastropoda banyak ditemukan di daerah padang lamun yang kurang rapat. Sedangkan Hadijah (2000), mendapatkan banyak gastropoda yang berukuran kecil di pengaruhi oleh kerapatan dan jenis lamun.

4.4.2. Pola Penyebaran Populasi Siput Gonggong

(54)

40 Tabel 13. Pola Penyebaran Spasial Siput Gonggong (Strombus turturella).

Kelompok Sebaran Ukuran

Kelompok ukuran yang dianalisis hanya kelompok B yang mempunyai sebaran merata ( Id=1 ), sedangkan kelompok A, kelompok C dan kelompok D pola penyebarannya mengelompok ( Id > 1). Pada kelompok B merupakan kelompok yang berukuran kecil sampai sedang, kelompok yang memerlukan energi tinggi untuk pertumbuhan sel-sel somatis, sehingga sangat aktif mencari makanan yang menyebabkan pola penyebarannya merata, jika dihubungkan dengan lingkungannya yang memiliki kadar oksigen, substrat berpasir serta memberikan gambaran kondisi lingkungan yang miskin unsur hara, sehingga siput gonggong tersebar merata dalam mencari makanannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Wood (1987), yang menyatakan bahwa, sedimen berpasir memiliki kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan sedimen yang halus, karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi kendalanya pada sedimen berpasir tidak terlalu banyak terdapat bahan organik.

(55)

41

arus dari Teluk Klabat bagian dalam yang merupakan tempat bermuaranya beberapa Sungai besar yang membawa banyak material sedimen mengandung nutrien bagi pertumbuhan lamun dan serasah dari Mangrove yang hancur dan kandungan lumpur yang tebal juga mempengaruhi keberadaan siput gonggong di wilayah tersebut, karena lumpur yang terlalu tebal dapat mempengaruhi gerak (mobilitas) siput gonggong dalam mencari makanan dan mendapatkan pasangan sehingga pola penyebaran mengelompok siput gonggong di stasiun 8 kurang kuat (tinggi). Stasiun 12 dan stasiun 10 memiliki nilai indeks Morisita tertinggi dibandingkan dengan nilai Indeks pada stasiun lainnya. Tingginya indeks Morisita pada stasiun 12 dan stasiun 10 ini diperkirakan adanya pengaruh substrat pada stasiun 12 yang cenderung berpasir karena terletak di mulut teluk dimana pengaruh laut Natuna sangat besar dalam bentuk arus dan jenis substrat yang cenderung lebih banyak kandungan pasirnya. Kedua faktor tersebut akan dapat mengkondisikan siput gonggong untuk hidup secara berkelompok untuk dapat mempertahankan keberadaannya pada area tersebut. Menurut Sugiarti dkk (2005), siput gonggong hidup sebagai deposit feeder, mempunyai probosis yang besar untuk menyapu dan menyedot endapan di dasar perairan (Patterson J K, Raghunathan C and Ayyakkannu K, 1995).

4.5. Morfometrik

Panjang cangkang merupakan komponen terbesar diantara semua komponen morfometri kerang. Untuk jenis gastropoda dengan bentuk tubuh relatif konstan, pengukuran komponen ukuran tubuh tidak merupakan masalah dan lebih akurat dibandingkan dengan hewan akuatik lainnya yang tubuhnya elastis dan berubah-ubah.

4.5.1. Sebaran Ukuran Siput Gonggong

(56)

42

siput gonggong di Teluk Klabat terbagi dalam empat (4) kelas ukuran yaitu: terkecil berkisar antara 20,39mm–38,53mm sebanyak 267 individu per/ 40m2, ukuran sedang 38,54mm–56,68mm berjumlah 655 individu/per 40m2 dan ukuran besar 56,69mm–74,83mm sebanyak 579 individu/per 40m2, ukuran terbesar antara 74,84mm–92,98mm/per 40m2 sebanyak 358 mm/per 40m2 (Gambar 13).

Gambar 13. Grafik sebaran ukuran siput gonggong (strombus turturella) di teluk Klabat.

Hasil pengelompokan berdasarkan ukuran panjang dan berat menggambarkan pada saat penelitian ini didominasi oleh siput gonggong berukuran besar. Hal ini dikarenakan pada bulan penelitian dilakukan adalah saat siput memijah (Mei-Juni), dan terjadi pertemuan antara siput jantan dan betina.

4.5.2. Sebaran Populasi Siput Gonggong Berdasarkan Kelas Ukuran ( panjang cangkang).

Selain menganalisis parameter fisika kimia dan sedimen sebagai variabel utama, pada Analisis Komponmen Utama yang disajikan pada Gambar 10, juga menganalisis variabel berdasarkan kelas ukuran siput gonggong, yang nantinya bermanfaat dalam menganalisis karakteristik habitat gonggong yang diketahui adanya keterkaitan dengan kondisi tempat hidupnya.

(57)

43 Gambar 14. Pengelompokan stasiun berdasarkan sebaran kelas ukuran

individu siput gonggong (Strombus turturella).

(58)

44 4.5.3. Hubungan Panjang - Berat

Hubungan panjang berat dari hewan-hewan akuatik dimaksudkan untuk menduga pola pertumbuhan dari hewan-hewan tersebut. Hubungan antara kedua komponen morfometrik tersebut dapat diestimasi melalui kecendrungan penyebaran data panjang dan berat yang diperoleh dari pengukuran komponen morfometrik. Pendugaan parameter b, koefisien hubungan panjang berat, dianalisis melalui pendekatan hubungan kuasa (power regresion).

Hubungan panjang dan berat total siput gonggong digambarkan berdasarkan persamaan model hubungan W = 0,002 L2,032 ( L=Panjang dan W=Berat ), dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,820, pola pertumbuhan siput secara keseluruhan menunjukkan pola pertumbuhan allometrik negatif ( b < 3 ), yaitu b = 2,032 ( Gambar 15 ).

Gambar 15. Kurva hubungan morfometrik panjang-berat siput gonggong (Strombus turturella) di Tl. Klabat.

(59)

45

pertumbuhan somatik antara pertambahan panjang dan pertambahan bobot tubuh yang dikenal dengan pertumbuhan isometrik. Keseimbangan pola pertumbuhan ini dapat dilihat dari nilai b dari hubungan panjang dengan bobot tubuh. Nilai b sangat ditentukan oleh bentuk tubuh. Bentuk tubuh kubus mempunyai pertumbuhan isometrik maka nilai b sama dengan tiga (3). Bentuk tubuh siput gonggong tidak seperti kubus, melainkan seperti krucut. Nilai b pada pertumbuhan isometrik siput gonggong tidak sama dengan 3 ( b = 2,032 ), hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan siput gonggong adalah allometrik negatif.

Hasil analisa data panjang dan berat siput gonggong dapat dipisahkan menurut jenis kelamin, diperoleh hubungan panjang berat siput jantan diekspresikan sebagai W = 0,003L2,124 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,957 dan nilai b = 2,124. Dari hasil uji lanjut dengan uji t (t student) terhadap koefisien b menunjukkan bahwa nilai b kurang dari 3 (allometrik negatif) dimana t = 233,15, yang berarti bahwa antara laju pertumbuhan berat dan panjang siput jantan, tidak seimbang (Gambar 16).

Gambar 16. Kurva hubungan panjang berat siput Strombus turturella jantan di Tl.Klabat.

(60)

46 Gambar 17. Kurva hubungan panjang berat siput gonggong (strombus

turturella) betina di Tel.Klabat

Hubungan antara komponen panjang cangkang dengan berat cangkang mengindikasikan terjadinya pertumbuhan allometrik yaitu laju pertambahan panjang cangkang tidak seiring dengan pertambahan beratnya. Hal ini terjadi selama penelitian yang berlangsung selama tiga (3) bulan pengamatan (Mei-Juni-Juli). Hasil tersebut berarti bahwa pertambahan ukuran cangkang lebih cepat bertambah dibandingkan pertambahan berat (cangkang ditambah dengan berat daging atau viscera weight).

Kondisi ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan tempat hidup siput gonggong (strombus turturella) kurang mendukung (mengalami degradasi lingkungan), karena pola pertumbuhan bergantung kepada ketersediaan makanan, dimana jika makanan berlimpah maka laju penambahan berat semakin cepat dan menghasilkan pertumbuhan yang allometrik positif. Hal ini, jika dibandingkan dengan penelitian Strombidae lainnya, ada pertumbuhan yang bersifat allometrik positif (nilai b>3), seperti penelitian yang dilakukan oleh Che Cob dkk (2008), terhadap Strombus canarium di Johar, Malaysia, yang mendapatkan pola pertumbuhan allometrik positif (nilai b=3,05).

(61)

47 Gambar 18. Kurva hubungan panjang berat siput gonggong (strombus

turturella) anakan (neuster) di Tel.Klabat

4.6. Potensi Reproduksi 4.6.1. Nisbah Kelamin

Secara morfologi organ reproduksi terdiri atas organ reproduksi luar dan organ reproduksi dalam. Organ reproduksi luar mudah terlihat apabila siput gonggong sedang aktif dengan mengeluarkan sebagian tubuhnya dari dalam cangkang. Organ reproduksi luar tersebut adalah penis pada siput jantan dan genital pore ( lubang genital ) dan vagina ( female opening ) pada siput betina ( Gambar 19 ).

Gambar 19. Organ reproduksi luar pada siput gonggong (Dody,2009). Sistem reproduksi seksual siput gonggong berdasarkan alat kelamin jantan dan betina (dioecious) terdapat pada individu yang berbeda.

(62)

48

Menurut Barnes (1988); Chaitanawisuti N dan Kritsanapuntu A. (1997) , lebih dari 99% hewan invertebrata melakukan reproduksi seksual. Dari hasil penelitian diperoleh siput gonggong yang dewasa, berjenis kelamin jantan berjumlah 652 individu (35%) dan jenis betina 940 individu (51%) serta anakan ( veliger ) berjumlah 267 individu (14%) (Gambar 20).

Gambar 20. Jumlah dan persentase siput gonggong (Strombus turturella) jantan dan betina di Teluk Klabat.

Rasio kelamin (sex ratio) antara siput jantan dan betina selama pengamatan berkisar antara 0,35 – 0,51. Rasio ini memperlihatkan bahwa populasi siput betina lebih banyak dibandingkan dengan populasi siput jantan. Hal ini diperkirakan saat pengambilan sampel pada bulan Mei-Juli yang merupakan bulan pemijahan untuk siput gonggong di Tl. Klabat.

Menurut Amini (1986), dari hasil penelitiannya di Kep. Riau, siput gonggong mencapai tingkat dewasa dan melakukan pemijahan pada bulan Mei-Oktober. Selanjutnya Dody (2009) mendapatkan puncak pemijahan siput gonggong (Strombus turturella) di Tl.Klabat terjadi pada bulan Mei dan Oktober.

(63)

49

disampaikan oleh Dody (2009), dari hasil pengamatan dilaboratorium didapatkan, siput gonggong jantan lebih aktif dibandingkan siput betina.

4.6.2. Fekunditas

Fekunditas diartikan sebagai jumlah telur yang matang sebelum dikeluarkan pada waktu memijah, fekunditas demikian merupakan fekunditas individu atau fekunditas mutlak (Effendie, 1992). Pengamatan fekunditas bertujuan untuk mengetahui potensi reproduksi siput yang dilakukan hanya pada individu betina (Stoner, A.W. dan M. Ray-Culp, 2000). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa siput gonggong melakukan pemijahan di alam pada bulan Mei dan Juni (Gambar 21),

Gambar 21. Jumlah koloni telur siput gonggong (Strombus turturella) yang di lepaskan ke alam.

(64)

50 Gambar 22. Jumlah Koloni Telur siput gonggong (Strombus turtrella)

di Ds Romodong, Teluk Klabat

Rangkaian rantai yang berisi kapsul telur bentuknya cukup kompak dan tidak mudah putus (Gambar 23).

Gambar 23. Koloni telur siput gonggong hasil pemijahan secara alami di laboratorium (Dody, 2009).

(65)

51 Gambar 24. Morfologi gonad siput gonggong yang siap memijah

(Dody, 2009).

Telur siput gonggong berbentuk bulat dengan rata-rata ukuran diameternya adalah 220µm (Gambar 25).

Gambar 25. Butiran-butiran telur siput gonggong yang terlindung didalam kapsul dan juga tersusun membentuk rantai di dalam lapisan pelindung.

(66)

52

(2007), pada saat dipijahkan dari induknya, butiran telur merupakan satu sel tunggal yang terbungkus dalam tiap kapsul. Menurut Dody (2009), siput gonggong yang berada di Teluk Klabat melakukan pemijahan pada bulan Mei dan Oktober.

4.6.3. Tingkat Kematangan Gonad

(67)

53

pertama kali pada panjang cangkang rata-rata 38 mm dan keong betina pada panjang cangkang 40 mm.

4.6.4. Indeks Kematangan Gonad (IKG)

Perkembangan gonad secara kuantitatif dapat diamati dengan indeks kematangan gonad, yaitu perbandingan antara bobot gonad dengan bobot tubuh (Effendi, 1997). Berdasarkan indeks kematangan gonad (IKG), perkembangan gonad siput mencapai puncak dua kali dalam satu tahun (Gambar 21) yaitu pada bulan Mei dan bulan Juni. Menurut Dody (2009), waktu kematangan gonad tidak persis sama antara siput jantan dan siput betina. Secara morfologi, gonad siput gonggong betina lebih cepat mencapai kematangan gonad dibandingkan siput gonggong jantan.

Gambar 26. Puncak pemijahan siput gonggong (Strombus turturella) di alam Siput gonggong betina telah mencapai IKG pada bulan Maret terus meningkat sampai bulan April, dimana pada bulan April gonad jantan baru mulai ada tanda-tanda kenaikan, memasuki bulan Mei terjadi puncak pemijahan baik siput jantan maupun siput betina. Puncak pemijahan ini terus meningkat sampai bulan Juni, pada siput gonggong jantan IKG mencapai puncaknya pada bulan Juli, pada saat yang bersamaan terjadi penurunan IKG siput gonggong betina.

(68)

54 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

• Sebaran spasial siput gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat dipengaruhi temperatur, pH dan DO serta salinitas dan substrat.

• Sebaran spasial siput gonggong berukuran besar dan matang gonad dipengaruhi oleh salinitas, temperatur dan kedalaman serta kekeruhan. • Siput gonggong besar (dewasa) sangat dipengaruhi oleh kedalaman,

kekeruhan, salinitas, kandungan TOM, kandungan lumpur dan liat yang tinggi.

• Siput gonggong (Strombus turturella), merupakan organisme yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.

• Tingkat kematangan gonad siput gonggong (Strombus turturella) terdiri atas lima tahap.

• Pada fase matang gonad dan pemijahan, ukuran siput betina cenderung lebih besar dari jantan.

• Perkembangan gonad dan pemijahan mencapai puncaknya di bulan Mei dan Juni.

• Induk siput gonggong melakukan pemijahan dengan mengeluarkan kapsul telur yang berisi telur sudah dibuahi.

Saran

- Perlu ada pengaturan pengambilan siput gonggong di alam, untuk tidak mengambil siput gonggong berukuran kurang dari 40 mm.

(69)

55 DAFTAR PUSTAKA

Abbott, R.T. 1960. The genus Strombus in the Indo-pacific. Indo-Pacific Mollusca, 1(2): 33-144.

Akbar S.N., Hartanto, S., Muhli, T dan Hermawan. 2005. The first successful breeding of marine snail (Strombus turturella) at regional center for marineculture development (RCMD) Batam-Riau Island, Indonesia, Regional Center for Mariculture Development (RCMD), Batam-Riau Island. 6p

Amini S. 1986. Studi pendahuluan gonggong (Strombus turturella) di perairan pantai Pulau Bintan-Riau. J. Pen. Perikanan Laut (36):23-29.

Amini, S dan Pralampita, W.A. 1987. Pendugaan pertumbuhan beberapa parameter biologi gonggong (Strombus turturella) di perairan pantai Pulau Bintan-Riau. J. Pen. Perikanan Laut No. 41 : 29-35.

Appeldorn, R.S. 1988. Age determination, growth, mortalit and age at first reproduction in adultqueen conch, Strombus gigas L., off Puerto Rico. Fish. Res., 6: 363-378.

Aswandy, I dan Hutomo, M. 1988. Komunitas Fauna Bentik pada Padang Lamun (Seagrass) di Teluk Banten, hal. 45-51. Perairan Indonesia : Biologi, Budidaya, Kualitas Perairan dan Oseanografi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

Barrnes, S.K. dan Ruppert, E.E. 1994. Invertebrate Zoology. Saunders Colledge Publishing. Philadelphia.

Bengen, D.G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir & Laut IPB.Bogor. 56 hlm. Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data

Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB, Bogor, 88 hlm.

Berg, C.J. 1976. Growth of the queen conch (Strombus gigas), with a discussion of thepracticality of its mariculture. Mar. Biol., 34:191-199.

Brower, J., Zar, J dan Von Ende, C. 1990. General Ecology. Field and Laboratory Methods. Brownn Company Publ. Dubugue, Iowa.

Brownell, W.N. 1977. Reproduction, Laboratory culture, and growth of Strombus gigas, S. costatus, and S. pugilis in Los Angeles. Scientific approaches to management of shellfish resources. Wiley & Sons, N.York.

(70)

56

Cardenas, E.B., Aranda, A.D dan Olivares, M.G. 2005. Gonad development and reprductive pattern of the fighting conch Strombus pugilis (LINN, 1758) (Gatsropoda, Prosobranchia) from Campeche, Mexico. J. Shellfish Research: 1127-1133.

Cardoso P.G., Lillebo A.I., Pardal MA., Ferreira S.M dan Marquas J.C. (2002). The effects of different primary producers on Hydrobia ulvae population dynamics: A case study in a temperate intertidal estuary. J. of Exp. Mar. Bio and Eco 277: 173–195.

Chaitanawisuti N dan Kritsanapuntu A. (1997). Laboratory spawning and juvenile rearing of the marine gastropod: Spotted Babylon, Babylonia areolata Link 1807 (Neogastropoda: Buccinidae) in Thailand. J. of Shellfish Research 16(1): 31–37.

Cob Z.C., Arshad A.B., Sidik B.J dan Mazlan A.G. (2008). Species description and distribution of Strombus (Mollusca, Strombidae) in Johor Straits and its Surrounding Areas. Sains Malaysiana. J. Res of Fish and Hydro, 3(2): 71-77.

Cob Z.C., Arshad A., Sidik B.J dan Mazlan A.G. (2008). Sexual maturity and sex determination in Strombus canarium Linnaeus, 1758 (Gastropoda: Strombidae). J. of Biol Sci

Cob Z.J., Japar S.B., Mazlan A.G dan Arshad A. (2005). Diversity and population structure characteristics of Strombus (Mesogastropod: Strombidae) in Johor Straits. In A R Sahibin, S Surif, M P Abdullah, A R Samsudin, A G Mohd. Rafek, W Ratnam, I A Ghani, B M Md. Zain, M N Md. Said, K A Abdul Adzis and N Y Foo (Eds.). Proceeding of the 2nd Regional Symposium on Environment and Natural Resources, 22–23 March 2005, Pan Pacific Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia, 198–205.

8 (3) : 616 – 621.

Cob Z C., Lotfi W.M., Idris H., Mazlan AG., Sidik B.J dan Arshad A. (2007). Pre- and post-hatch development of Strombus canarium veligers. In A J Mydin, A B Gor Yaman, R Omar, N Ahmad, G Usup, K R Mohamed, F K Sahrani (Eds.). Proceedings of the Conference on Marine Ecosystem of Malaysia, 29–30 May 2007. Putrajaya, Malaysia: Department of Marine Park, NRE.

Dharma B. 1988. Siput dan Kerang Indonesis. PT Sarana Graha. Jakarta.

Dody S. dan Marasabessy M.D. 2007. Sebaran spasial siput gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat. Makalah dibawakan pada Seminar Nasional Moluska.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2.  Bentuk cangkang Gonggong ( Strombus turturella ) (Dody, 2006)
Gambar 4.  Siput Gonggong di salah satu habitatnya ( Dody, 2007)
Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian di Teluk Klabat Provinsi Bangka-Belitung (Bakosurtanal, 1997)
+7

Referensi

Dokumen terkait