• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBARAN SPASIAL DAN POTENSI REPRODUKSI POPULASI SIPUT GONGGONG (Strombus turturela) DI TELUK KLABAT BANGKA BELITUNG JUDISTIRA SIDDIK C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEBARAN SPASIAL DAN POTENSI REPRODUKSI POPULASI SIPUT GONGGONG (Strombus turturela) DI TELUK KLABAT BANGKA BELITUNG JUDISTIRA SIDDIK C"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

SEBARAN SPASIAL DAN POTENSI REPRODUKSI POPULASI SIPUT GONGGONG (Strombus turturela) DI TELUK KLABAT

BANGKA – BELITUNG

JUDISTIRA SIDDIK C651050061

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul “Sebaran Spasial Dan Potensi Reproduksi Siput Gonggong (Strombus turturella) Di Teluk Klabat” merupakan karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing, dan belum pernah diajukan untuk program sejenis diperguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar pustaka.

Bogor, Juli 2011

Judistira Siddik NRP.C651050061

(3)

ABSTRACT

Dog conch (Strombus turturella) as a popular food source has undergone a rapid decreasing in population because of habitat destruction. A research has been done in Klabat bay, Bangka Belitung in 3 months to assess habitat characteristics and individual spatial distribution using PCA and CA. Based on environmental biophysical and chemical parameter, spatial distribution consists of cluster formed by temperatur, pH, DO, and sand; cluster formed by depth and turbidity; and cluster formed by salinity, TOM, and clay. Spatial distribution based on shell-size consists of small cluster (20,39 mm - 38,53 mm); medium cluster (38,54mm - 56,68 mm); and big cluster (56,69 mm - 78,34 mm). Length-weight analysis result shows a negative allometric growth pattern (b= 2,787). Furthermore, spatial distribution based on gonad maturity index consists of GMI 0 formed by DO, turbidity, depth, temperatur, pH, and sand; GMI I formed by temperatur, DO, pH, sand, salinity, TOM, clay and mud; and GMI III formed by salinity, TOM, clay and mud, depth and turbidity. Spawning pattern analysis shows that conch spawning season reach its peak during May and June annually.

(4)

SEBARAN SPASIAL DAN POTENSI REPRODUKSI POPULASI SIPUT GONGGONG (Strombus turturela) DI TELUK KLABAT

BANGKA – BELITUNG

JUDISTIRA SIDDIK

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

SEBARAN SPASIAL DAN POTENSI REPRODUKSI POPULASI

SIPUT GONGGONG (Strombus turturella) DI TELUK KLABAT

BANGKA-BELITUNG

JUDISTIRA SIDDIK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(6)

Judul Penelitian : Sebaran Spasial dan Potensi Reproduksi Populasi Siput Gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat Bangka-Belitung

Nama : Judistira Siddik

NRP : C651050061

Program Studi : Ilmu Kelautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA

Ketua Anggota

Dr. Ir. Safar Dody, M.Si

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah scasarjana

Dr. Neviaty P. Zamani Msc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(7)

i

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2008 ini adalah “Sebaran Spasial dan Potensi Reproduksi Siput Gonggong Di Teluk Klabat Bangka-Belitung”. Penelitian ini terfokus pada penggalian informasi yang bertujuan untuk pengembangan dan perlindungan habitat serta kehidupan siput gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat pada khususnya.

Pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA, selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, nasehat dan motivasi secara terus menerus dengan penuh dedikasi dari awal perencanaan penelitian sampai selesainya tesis ini.

2. Dr. Ir. Safar Dody M.Si, selaku anggota pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, saran dan koreksian-koreksiannya, sehingga menambah kualitas tesis ini.

3. Rektor Universitas Nasional dan Dekan Fakultas Biologi UNAS, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister di Institut Pertanian Bogor.

4. Isteriku Prihastini,Dra dan putra-putri tersayang yang dengan penuh kesabaran dan kasih sayang selalu mendoakan dan memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Saudara-saudaraku di ilmu kelautan (IKL) angkatan 05 dan di “Kosan Gugah Sari”(KGS) yang selalu memberikan motivasi dan saran-saran dengan “canda-canda nya”, sehingga menambah semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

6. Abang, Mas, Kakak2 Ku yang dengan penuh sabar dan pengertiannya selalu memberikan dukungan moril dan materil hingga selesainya tesis ini. 7. Sahabat, saudara2ku di Fakultas Biologi Unas yang selalu mengingatkan

saat-saat rasa “malas” menyelimuti perasaan ini.

8. Pa Danu, mba Denti, mba Yanti dan seluruh staf di ilmu kelautan (FPIK) IPB yang banyak membantu serta memotivasi agar terselesaikannya tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kata “sempurna”, namun demikian penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 maret 1958, merupakan putra ke sebelas dari dua belas bersaudara dari ayah Ahmad Siddik dan ibu Yohana. Pendidikan sarjana di tempuh di Fakultas Biologi UNAS Jakarta, lulus pada tahun 1988. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada program studi Ilmu Kelautan di Institut pertanian Bogor, baru terlaksana pada tahun 2005, dengan biaya sendiri (mandiri).

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta, sejak tahun 1998 sampai saat ini. Sebuah makalah dengan judul “ Sebaran Spasial Siput Gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat Bangka-Belitung” segera diterbitkan di Jurnal Ilmu Dan Budaya, Vol.33, No. 26-27, ISSN No. 01262602. UNAS Press. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program magister penulis.

(9)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan Penelitian ... 4 1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) ... 7

2.2. Morfologi dan Anatomi ... 7

2.3. Habitat dan Adaptasi ... 9

2.4. Reproduksi dan Siklus Hidup ... 11

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 13

3.2. Alat dan Bahan ... 15

3.3. Prosedur Penelitian ... 16

3.3.1. Penentuan Stasiun Pengamatan ... 16

3.3.2. Pengambilan Sampel ... 17

3.4. Analisis Data ... 20

3.4.1. Karakteristik Habitat Siput Gonggong ... 20

3.4.2. Kepadatan dan Pola Distribusi Populasi ... 22

3.4.3. Pengelompokan Stasiun Penelitian Berdasarkan Karakteristik Habitat ... 23

3.4.4. Morfometrik ... 23

3.4.5. Hubungan Panjang – Bobot ... 23

3.4.6. Potensi Reproduksi ... 24

III. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Karakteristik Habitat Siput Gonggong ... 27

4.2. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan ... 27

(10)

iii

4.2.2. Salinitas... 28

4.2.3. Derajat keasaman (pH) ... 29

4.2.4. Komposisi Butiran dan Total Organik Mater (TOM)... 30

4.3. Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air dan Sedimen ... 33

4.4. Kepadatan dan Pola Penyebaran Populasi Siput Gonggong ... 36

4.4.1. Kepadatan Populasi ... 36

4.4.2. Pola Penyebaran Populasi Siput Gonggong ... 37

4.5. Morfometrik ... 40

4.5.1. Sebaran Ukuran Siput Gonggong ... 40

4.5.2. Sebaran Populasi Siput Gonggong Berdasarkan kelas Ukuran ... 41

4.5.3. Hubungan Panjang – Berat ... 42

4.6. Potensi Reproduksi ... 46

4.6.1. Nisbah kelamin ... 46

4.6.2. Fekunditas ... 48

4.6.3. Tingkat kematangan Gonad ... 51

4.6.4. Indeks kematangan Gonad ... 53

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 54

5.2. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(11)

iv DAFTAR TABEL

Halaman 1. Parameter, alat dan bahan penelitian ... 15 2. Rataan Komposisi dan TOM Sedimen di Teluk Klabat... 30 3. Pola Penyebaran Spasial Siput Gonggong (Strombus turturella) ... 39

(12)

v DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6

2. Bentuk cangkang gonggong (Strombus turturella) ... 8

3. Bentuk operkulum ... 8

4. Siput gonggong di habitatnya ... 10

5. Alat kelamin jantan dan betina pada siput gonggong dewasa ... 11

6. Siklus Hidup Gonggong ... 12

7. Peta lokasi penelitian di Teluk Klabat, Provinsi Bangka-Belitung ... 14

8. Posisi Stasiun pengamatan di Teluk Klabat, Provinsi Bangka-Belitung 17 9. Contoh penempatan transek kwadrat dilokasi penelitian... 18

10. Diagram reprentasi sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter fisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2, serta sumbu 1 dan 3... 33

11. Diagram analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan dengan modalitas ukuran dan jenis kelamin siput gonggong pada sumbu 1 dan2... 34

12. Diagram analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan dengan tingkat kematangan gonad pada sumbu 1 dan 2... 36

13. Kepadatan siput gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat... 39

14. Grafik sebaran ukuran siput gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat... 41

14. Pengelompokan stasiun berdasarkan sebaran kelas ukuran individu siput gonggong (Strombus turturella) ... 42

15. Kurva hubungan morfometrik panjang-berat siput gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat ... 43

16. Kurva hubungan panjang-berat siput jantan di teluk Klabat ... 44

17. Kurva hubungan panjang-berat siput betina di Teluk Klabat ... 45

18. Kurva hubungan panjang-berat anakan siput di teluk Klabat ... 46

19. Organ reproduksi luar pada siput gonggong (Strombus turturella) ... 46

20. Jumlah dan persentase siput gonggong (Strombus turturella) jantan dan betina di teluk Klabat... 47

21. Jumlah koloni telur siput gonggong (Strombus turturella) yang dilepas ke alam ... 49

22. jumlah koloni telur siput gonggong (Strombus turturella) di Ds. Romodong, Teluk Klabat... ... 49

23. Koloni telur siput gonggong hasil pemijahan di alam ... 49

(13)

vi 25. Butira-butiran telur siput gonggong yang terlindungi di dalam kapsul .. 50 26. Puncakpemijahansiputgonggong(Strombusturturella)

(14)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel Halaman

1. Karakteristik fisik-kimia perairan Teluk Klabat ... 58

2. Analisis Karakteristik fisik-kimia perairan Teluk Klabat... . 58

3. Sebaran ukuran siput gonggong (Strombus turturella)... 60

4. Analisis koresponden stasiun dengan tingkat kematangan gonad... 63

(15)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinetraksi membentuk suatu sistem (Bengen, 2004).

Teluk Klabat yang terletak di bagian utara pulau Bangka termasuk didalam Kabupaten Bangka Induk, memiliki bentuk yang cukup unik seolah-olah terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar melebar yang berhadapan langsung dengan laut lepas (laut Natuna), dimana karakteristik perairannya masih dipengaruhi oleh krakteristik lautan. Di bagian tengahnya menyempit dimana terdapat pelabuhan Blinyu dan bagian dalam teluk Klabat melebar lagi, tempat bermuaranya dua sungai yang cukup besar yaitu Sungai Layar dan Sungai Antan. Kedua sungai tersebut ditumbuhi hutan mangrove yang cukup lebat.

Dilihat dari segi bahari, hutan mangrove mempunyai arti yang sangat penting, berbagai jenis hewan laut hidup dikawasan ini atau sangat bergantung pada ekosistem hutan mangrove. Perairan mangrove dikenal berfungsi sebagai tempat asuhan (nursery ground) bagi berbagai jenis hewan aquatik yang mempunyai nilai ekonomi penting, seperti ikan, udang, kerang-kerangan (Macnae, 1974). Sumbangan terpenting hutan mangrove terhadap ekosistem pesisir adalah lewat daun yang gugur. Luruhan daun mangrove merupakan sumber bahan organik penting dalam rantai makanan dilingkungan perairan yang mencapai 7-8 ton/tahun. Daun yang gugur kedalam air segera menjadi bahan makanan bagi berbagai biota laut, atau dihancurkan lebih dahulu oleh kegiatan bakteri dan fungi (jamur). Hancuran bahan organik kemudian menjadi bahan makanan penting bagi cacing, krustase dan hewan-hewan inipun menjadi makanan bagi hewan-hewan lain yang lebih besar dan seterusnya (Head dan Odum, 1972).

(16)

2

Pemanfaatan sumberdaya di daerah pesisir cukup intensif mengingat lokasi ini sangat mudah di akses oleh masyarakat. Masyarakat yang mendiami daerah pesisir sangat bergantung pada sumberdaya yang ada disekitarnya sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan protein hewani dari laut yang juga dapat dijadikan sebagai salah satu komoditi yang bernilai ekonomis. Salah satu komponen hayati pesisir yang memiliki potensi protein hewani yang tinggi adalah Siput Gonggong (Strombus turturella), yang termasuk dalam kelas Gastropoda, merupakan kelas terbesar dalam filum Moluska. Organisme ini berperan baik dalam proses mineralisasi, pendaur ulangan bahan organic, maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi organisme konsumen yang lebih tinggi. Menurut Barnes (1994), anakan Strombidae merupakan makanan bagi anak-anak ikan yang bersifat karnivor. Dan terutama sifat organisme ini yang cukup sensitip terhadap perubahan lingkungan.

Selanjutnya menurut Amini dkk (1987), Siput Gonggong (Strombidae) merupakan salah satu biota pesisir yang memiliki daya rekruitmen yang relatif terbatas dan rentan terhadap degradasi habitat, dimana lambat laun akan mengalami penurunan populasi akibat dari eksploitasi yang kontinyu, serta pengrusakan habitat yang terus berlangsung. Pertimbangan lainnya, Gastropoda (siput gonggong) merupakan organisme yang menetap dikawasan pasang-surut, keberadaannya dapat memberikan gambaran kondisi lingkungan kawasan tempat hidupnya (habitat). Jumlah dan jenisnya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan kawasan pasang-surut.

Indikasi terhadap penurunan jumlah populasi siput Gonggong mulai dirasakan oleh nelayan setempat dengan semakin berkurangnya hasil tangkapan mereka serta ukuran siput yang semakin mengecil. Jika hal ini dibiarkan terus berlangsung akan berakibat punahnya biota tersebut dan berimplikasi terhadap kegiatan perekonomian setempat. Kearifan tradisional yang diterapkan selama ini terhadap penyelamatan sumberdaya laut tanpa didasari dengan hasil kajian ilmiah, tidak akan banyak membantu. Mengingat tingkat eksploitasi yang terjadi telah melebihi daya dukung lingkungan yang ada, untuk itu diperlukan daerah pengambilan dan ukuran siput yang dimaksudkan agar populasi siput dapat

(17)

3

dipertahankan secara lestari. Upaya pengaturan pemanfaatan siput gonggong yang baik memerlukan informasi dasar mengenai Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dan preferensi habitatnya di alam. Dengan demikian, penelitian Bioekologi siput gonggong terutama yang berkaitan dengan sebaran ukuran, populasi dan kematangan gonad perlu dilakukan agar dapat memberikan masukan dalam penataan dan pengaturan pemanfaatan siput gonggong.

1.2. Perumusan masalah

Ancaman kepunahan organisme laut terutama moluska di berbagai ekosistem akibat eksploitasi yang berlebihan, berubahnya ekosistem oleh sebab- bencana alam, konversi ekosistem, pencemaran, maupun kerusakan fisik oleh sebab-sebab lain seperti penambangan di darat maupun di perairan pesisir, menyebabkan habitat dari moluska dan biota lainnya di perairan semakin terancam. Hal yang sama juga terjadi di perairan pulau Bangka, khususnya daerah utara pulau Bangka (Teluk Klabat) yang merupakan salah satu habitat siput gonggong yang potensial di perairan Kabupaten Bangka Induk, Propinsi Bangka-Belitung.

Kerusakan habitat dan populasi biota laut akibat aktifitas manusia maupun sebab-sebab lain, akan memberikan dampak yang cukup serius. Dampak kerusakan ini akan berpengaruh pada siput gonggong (Strombus turturella) yang merupakan salah satu jenis moluska dari kelas Gastropoda dan berpotensi sebagai sumber daya alami yang memiliki nilai gizi tinggi serta disukai masyarakat sebagai bahan makanan olahan, juga mempunyai nilai tambah yang cukup tinggi bagi perekonomian masyarakat di sekitar pantai. Di pulau Batam dan Riau, siput gonggong (Strombus turturella) dijual dalam bentuk olahan maupun segar. Beberapa restoran “Sea Food” menjual dengan harga yang cukup tinggi per porsinya (berisikan 10-15 ekor), sedangkan yang sudah dalam bentuk olahan (kerupuk) dijual dengan harga Rp 100.000,- - Rp 150.000,- per Kg. Hal ini menyebabkan meningkatnya permintaan, sehingga mengakibatkan tingginya tingkat eksploitasi pada musim-musim tertentu terhadap siput tersebut. Tekanan yang diterima mengakibatkan berkurangnya populasi di alam serta penurunan dalam hal ukuran.

(18)

4

Bila kondisi tersebut berlangsung terus-menerus dalam kurun waktu tertentu maka akan mengakibatkan kepunahan. Di lain pihak penurunan kualitas lingkungan yang di indikasikan dengan laju sedimentasi yang cukup tinggi sebagai akibat penambangan timah di daratan maupun perairan pantai yang semakin banyak dilakukan oleh masyarakat penambang timah inkonvensional (TI) memberikan andil dalam proses degradasi lingkungan. Akibat dari faktor-faktor diatas, maka ukuran maksimum, jumlah dan frekwensi penemuan siput di alam juga berkurang.

Sebagai salah satu sumber penopang ekonomi masyarakat, penelitian terhadap sumber daya siput Gonggong diarahkan kepada pemulihan habitat dan populasi biota tersebut agar rekruitmen secara alamiah serta pasokan bibit lewat kegiatan budidaya perairan dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Dalam rangka usaha menjamin kelestarian siput gonggong di daerah Teluk Klabat diperlukan informasi mengenai biologi dan ekologi dasar dengan pendekatan terhadap analisa populasi dan habitat siput di alam yang mengkaji beberapa elemen seperti ukuran, sebaran populasi, kepadatan populasi, kematangan gonad dan kandungan gizi siput, terhadap faktor-faktor lingkungan yang meliputi parameter fisika, kimia perairan yang berpengaruh di Teluk Klabat. Secara umum kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menelaah sebaran populasi berdasarkan karakteristik habitat siput gonggong (Strombus turturella).

2. Mengkaji potensi reproduksi siput gonggong (Strombus turturella).

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang status siput gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat, yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan sumberdaya siput gonggong di alam, agar

(19)

5

keberadaannya dapat terus berlangsung dan akan menambah pendapatan

(20)

6

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Ekosistem Pantai Komponen Abiotik Komponen Biotik Potensi Reproduksi Karakteristikm morfometrik Sebaran Kepadatan dan Kelimpahan Degradasi Lingkungan Kualitas Perairan Kualitas Sedimen Populasi Siput Gonggong Berat

Tubuh Morfologi dan

Anatomi Reproduksi TKG Ukuran Kematangan Status Populasi

(21)

7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella)

Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) menurut Ruppert dan Barnes (1994); adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Mollusca Kelas : Gastropoda Subkelas : Prosobranchia Ordo : Megagastropoda Famili : Strombidae Genus : Strombus

Spesies : Strombus turturella

Menurut Morton (1979); , siput gonggong termasuk dalam Genus

Strombus, Famili Strombidae, Super Famili Strombacea dan Ordo Megagastropoda.

2.2. Morfologi dan Anatomi

Siput gonggong memiliki satu cangkang yang memperlihatkan perputaran spiral dengan sudut 180º, disebut torsion (pilinan/putaran ), umumnya putaran cangkang bersifat dekstral (kekanan), yaitu putaran yang terjadi saat pertumbuhan berlawanan dengan arah jarum jam seperti pada Gambar 2 (Barnes, 1967; Dharma, 1988). Linder (1975), mencatat ciri-ciri gonggong lainnya ialah memiliki cangkang berbentuk seperti kerucut, terdiri dari tiga lapisan periostrakum, lapisan prismatik yang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan lapisan nacre (lapisan mutiara). Bentuk kepala jelas, mempunyai tentakel, mata dan radula serta probosis yang besar yang berguna untuk menyapu dan menyedot makanan yang bercampur dengan lumpur yang berada di dasar perairan (Barnes, 1994).

(22)

8

Gambar 2. Bentuk cangkang Gonggong ( Strombus turturella ) (Dody, 2006) Sebagian besar jenis-jenis siput mempunyai tutup cangkang yang disebut operkulum yang menempel pada kakinya. Pada saat sedang tidak sedang berjalan, operkulum ini menutupi bagian bukaan cangkang (Kozloff, 1990). Operkulum berbentuk pipih memanjang dan bergerigi (Gambar 2), yang berfungsi ganda untuk melindungi tubuh yang berada dalam cangkang, dan sebagai alat bantu berpindah tempat (Ruppert et al, 1994).

Cangkang Kaki

Operkulum

Gambar 3. Bentuk Operkulum Strombus turturella (Ruppert et al, 1994) Menurut Ruppert dan Barnes (1994), siput gonggong memiliki cangkang yang tepinya menebal dan berwarna serta memiliki tutup memipih panjang dengan siphon. Cangkang siput gonggong terdiri atas 4 lapisan, lapisan terluar adalah Periostrakum yang merupakan lapisan tipis terdiri dari bahan protein seperti zat tanduk, disebut conchiolin atau conchin. Pada lapisan ini terdapat

(23)

9

endapan pigmen berwarna. Periostrakum berfungsi untuk melindungi lapisan dibawahnya yang terdiri dari kalsium karbonat terhadap erosi.

Lapisan kalsium karbonat terdiri atas 3 lapisan atau lebih, yang terkuat adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella dan paling dalam adalah lapisan nacre atau hypostrakum. Lapisan prismatik terdiri atas kristal kalsite yang tersusun vertikal, masing-masing diseliputi matrik protein yang tipis, Lapisan tengah dan lapisan nakre terdiri atas lembaran-lembaran aragonite dalam matrik organik tipis (Suwignyo dkk, 2005). Sebagian besar jenis-jenis siput mempunyai tutup cangkang yang disebut operkulum yang menempel pada kakinya. Pada saat sedang tidak sedang berjalan, operkulum ini menutupi bagian bukaan cangkang (Kozloff, 1990)

2.3. Habitat dan Adaptasi

Di alam siput gonggong menyukai habitat pasir berlumpur. Menurut Amini (1986), siput gonggong banyak terdapat hidup di perairan pantai dengan dasar pasir berlumpur dan kondisi perairan dimana banyak ditemukan rumput laut. Sedangkan menurut Dharma (1988), Strombus hidupnya diatas pasir, jika berjalan seperti melompat-lompat dengan menggunakan operkulum atau penutup cangkangnya yang berbentuk seperti pisau berduri. Salinitasnya berkisar antara 26 – 32 %o, pH antara 7,1 – 8,0, oksigen terlarut 4,5 – 6,5 ppt, kecerahan air 0,5 – 3,0 meter serta suhu berkisar antara 26 – 300

Asosiasi antara rumput laut dengan Gastropoda, famili Strombidae khususnya, banyak ditemukan oleh para peneliti. Menurut Amini (1986),

Strombus canarium banyak ditemukan pada substrat pasir berlumpur yang di

tumbuhi rumput laut samo-samo (Enhalus accoroides) dan Thalassia spp. Dari C (Amini, 1986). Sedangkan Latama dan Nessa (1994), melakukan penelitian komposisi dan densitas Gastropoda di Pulau Kodingareng Keke, Sulawesi Selatan, yang berdasarkan kisaran kedalaman. Diperoleh hasil, pada kedalaman 1-5 meter kepadatan tertinggi didominasi oleh marga Strombus dengan substrat terdiri dari pasir dan karang mati. Menurut Litaay (1994), Strombidae dan Cypraeidae mendominasi keberadaanya di rataan terumbu Pulau Samalona (Sulawesi Selatan) yang bersubstrat pasir.

(24)

10

hasil penelitian Aswandy dan Hutomo (1988) di Teluk Banten, menemukan 10 jenis moluska yang berasosiasi dengan padang Lamun. Famili Strombidae merupakan famili yang dominan keberadaannya di Teluk Kotania Seram Barat (Cappenberg,1996); Patterson J K (1995).

Sedangkan Peristiwady (1994) dari hasil penelitiannya di pantai Selatan Lombok mendapatkan sedikitnya terdapat 4,99% dari seluruh jenis makrofauna yang berasosiasi dengan padang Lamun adalah moluska. Dari tiga teluk yang ada di pantai Selatan Lombok ditemukan sebanyak 70 spesies moluska yang berasosiasi dengan padang Lamun dan yang kelimpahannya tertinggi adalah

Strombus labiatus, S. Luhuanus, kondisi perairan dengan salinitas berkisar antara

33,20 – 33,50 %o, suhu antara 26,50 – 26,590 C dan kandungan oksigen 2,79 – 4,12 mg/l serta pH berkisar antara 8,30 – 8,35. Menurut Stoner et al (1996), anakan siput dari marga Strombus biasanya selalu berasosiasi dengan tumbuhan lamun jenis Thalassia testudinum dan Syringodium filiforme (Gambar 4).

(25)

11

2.4. Reproduksi dan Siklus Hidup

Menurut Barker (2001), banyak gastropoda alat kelaminnya terpisah, sehingga tiap individu adalah dioseus dengan satu gonad yang terletak dekat apex. Secara umum Gastropoda memiliki alat kelamin yang terpisah, begitu pula halnya dengan siput gonggong (Strombus turturella).

Penelitian tentang reproduksi siput gonggong (Strombus turturella) belum banyak dilakukan baik di daerah tropis maupun sub-tropis. Musim penangkapan siput gonggong di perairan P. Bintan – Riau mencapai puncaknya pada bulan Mei hingga Oktober (Amini, 1986). Menurut Barnes (1994), kebanyakan gastropoda bersifat dioseus dengan sebuah gonad (ovari atau testis) terletak dekat saluran pencernaan dalam massa viseral (Gambar 5).

Gambar 5. Siput Gonggong jantan dan betina dewasa (Dody, 2009).

Ketika terjadi perkawinan, pembuahan terjadi di dalam, kemudian telur dibungkus semacam agar dan dikeluarkan dalam bentuk rangkaian kalung, pita atau berkelompok, telur siput gonggong berbentuk seperti rangkaian kalung (Gambar 6).

♂ ♀

(26)

12

Gambar 6. Siklus Hidup Gonggong ( Dody, 2009 )

Stadium trochophore berlangsung didalam pembungkus telur dan menetas sebagai larva veliger yang berenang bebas. Ciri khas larva veliger adalah mempunyai velum yang bersilia, kaki, mata dan tentakel. Velum berfungsi sebagai alat untuk berenang dan mengalirkan makanan ke mulut karena veliger merupakan pemakan suspensi (Appeldorn, R.S., 1988). Pada akhir stadium veliger kaki sudah cukup besar untuk merayap, maka larva turun ke substrat dan melakukan metamorfosa. Velum hilang dan bentuk tubuh berubah seperti dewasa. Saat metamorfosa merupakan saat yang paling kritis dalam daur hidup gastropoda (Barnes, 1994); (Anonim, 1990). Menurut Barker (2001); Cob Z C, (2007) :

1) Fertilisasi telur (telur berdiameter 0,23 mm dan kuning telur berdiameter 0,18 mm).

2) Fase trokofor yang mulai aktif berenang (19 jam setelah pemijahan). 3) Fase veliger muda (umur 29 jam dengan panjang 0,26 mm).

4) Fase veliger yang mulai aktif berenang dan sudah memiliki organ stigmas dan

cephalic tentakel (umur 2,5 hari dengan panjang 0,29 mm).

5) Fase veliger sempurna dalam tingkat pertumbuhan awal (umur 5 hari dengan panjang tubuh 0,29 mm).

(27)

13

6) Fase pertumbuhan memasuki stadia larva dan mulai membentuk cangkang peristomal (umur 13 hari).

7) Fase dewasa yang telah memiliki organ respirasi (140 hari dengan panjang tubuh 3,0 mm).

8) Fase selanjutnya membentuk cangkang muda (160 hari dengan panjang tubuh 3,7 mm).

9) Fase dewasa

Menurut Sugiarti dkk (2005), siput gonggong hidup sebagai deposit feeder, mempunyai probosis yang besar untuk menyapu dan menyedot endapan di dasar perairan.

(28)

14

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan, yaitu bulan Mei sampai Juli. Dua bulan dilakukan pengambilan sampel di lapangan dan satu bulan untuk analisa laboratorium. Lokasi penelitian terletak di Perairan Teluk Klabat Bangka Belitung (Gambar 7). Analisa kualitas air dan sedimen dilakukan di laboratorium P2O-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

Teluk Klabat termasuk dalam Kabupaten Bangka Induk, Pulau Bangka. Perairan sekitar Teluk Klabat memiliki ekosistem muara sungai (estuaria), ekosistem mangrove dan ekosistem karang. Bentuk Teluk Klabat cukup unik, seolah-olah terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar melebar di tengah menyempit dimana terletak pelabuhan Blinyu dan bagian dalamnya melebar lagi. Dalam penelitian ini lokasi pengambilan sampel hanya dilakukan pada lokasi bagian luar, sedangkan teluk bagian tengah dan dalam tidak dilakukan pengamatan.

Aktifitas utama di Teluk Klabat bagian luar adalah kegiatan pelayaran dan aktivitas penangkapan ikan, selain itu khusus di sisi barat teluk bagian luar juga dijumpai aktifitas penambangan timah.

(29)

15 Sumber: BAKOSURTANA 2006 Teluk Klabat Kabupaten Provinsi B k B li

Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian di Teluk Klabat Provinsi Bangka-Belitung (Bakosurtanal, 1997).

(30)

16

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian serta parameter yang diukur disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1. Parameter, Alat dan Bahan Penelitian

Parameter Metode analisis/alat

FISIKA-KIMIA AIR: 1. Suhu (0 2. pH C) 3. DO (mg/l) 4. Organik Total/TOM (mg/l) 5. Salinitas (%o) 6. Turbiditas (NTU)

Horiba Type U-10 Horiba Type U-10 Horiba Type U-10 Horiba Type U-10

Turbidimeter FISIKA-KIMIA SEDIMEN : 1. Fraksi sediment (%) 2. pH 3. Redoks potensial (mV) 4. TOM (mg/l) Saringan bertingkat pH-meter Redoks potensiometer Timbangan O Hauss

BIOLOGI DAN REPRODUKSI SIPUT GONGGONG: 1. Morfometri

2. Bobot tubuh

Kaliper

(31)

17

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Penentuan Stasiun Pengamatan

Stasiun pengamatan berada pada Teluk Klabat bagian luar dengan dua lokasi utama, yakni:

a. Lokasi 1 : Teluk bagian luar sisi timur dengan aktivitas utama merupakan alur pelayaran, dan aktivitas penangkapan ikan. Sedangkan aktivitas penambangan timah tidak dijumpai di areal ini. Penentuan titik sampel di mulai pada sisi timur teluk yang berdekatan dengan Tanjung Penyusuk menyusuri perairan pantai desa Romodong hingga ke Tanjung Gudang. Di lokasi sisi timur ini terdapat enam stasiun penelitian, yakni stasiun 1,2,3,4,5 dan 6.

b. Lokasi 2 : Teluk bagian luar sisi barat dengan aktivitas utama aktivitas penangkapan ikan dan penambangan timah. Penentuan titik sampling dengan menyusuri pantai sebelah barat Teluk Klabat. Areal ini diperkirakan merupakan habitat siput gonggong yang potensial, dengan kondisi substrat terdiri dari pasir dan pasir berlumpur. Nelayan pencari siput gonggong memfokuskan aktivitasnya di daerah ini. Vegetasi yang tumbuh di daerah pantai umumnya cemara. Selain itu dijumpai pula beberapa pulau kecil yang bervegetasi serta beberapa pulau berupa tonjolan batu dan gosong pasir yang muncul ke permukaan saat air surut.

Di areal ini juga beroperasi puluhan tambang timah rakyat (TI) yang mengeruk substrat untuk mendapatkan pasir timah. Kegiatan mengaduk-aduk ini yang menyebabkan rusaknya habitat siput gonggong di areal tersebut. Di lokasi sisi barat ini terdapat delapan stasiun penelitian, yakni stasiun 7,8,9,10, 11, 12, 13 dan 14 ) Posisi stasiun pengamatan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 8.

(32)

18

Gambar 8. Posisi Stasiun Pengamatan di Teluk Klabat, Provinsi Bangka-Belitung (Bakosurtanal, 1997)

3.3.2. Pengambilan Sampel

a. Pengambilan Sampel Siput Gonggong

Pengambilan sampel siput pada tiap stasiun di lakukan pada saat surut terendah (kedalaman air mencapai 0,5 m – 1 m) dengan cara meletakan transek kwadrat berukuran 1 x 1 meter yang terbuat dari besi dan pada salah satu sudutnya diikatkan pelampung berupa gabus sterofoam . Siput gonggong yang berada di dalam transek kwadrat di ambil dengan tangan secara snorkeling. Dari setiap kwadran sampel dimasukan kedalam kantong waring dan diberi label menandai stasiun pengambilan.

Setiap stasiun terdiri dari 4 transek garis berjarak 50 meter setiap garis dan tiap transek garis terdiri dari 10 transek kuadrat. Transek garis

1 2 3 4 5 6 13 11 10 9 8 7 12 14 U

(33)

19

ditentukan dari arah darat ke laut. Penempatan transek kwadrat di lapangan disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Contoh penempatan transek kwadrat di lokasi penelitian b. Kualitas air

Pengukuran kualitas air dilakukan dengan dua cara yaitu secara

insitu dan pengukuran di laboratorium. Pengukuran secara insitu dilakukan

dengan cara mengambil contoh air pada masing-masing stasiun pengamatan. Parameter kualitas air yang diukur di lapangan meliputi suhu, oksigen terlarut (DO), pH, salinitas, dan turbiditas, sedangkan kandungan bahan organik total diukur di laboratorium dengan mengambil contoh air yang selanjutnya dianalisis di P2O-LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Jakarta.

c. Kualitas sedimen dan fraksi sedimen

Contoh sedimen diambil pada stasiun yang sama dengan pengambilan contoh air. Sedimen diambil kurang lebih 500 gram dengan menggunakan Ekman Grab dan dimasukkan ke dalam plastik serta disimpan dalam cool box. Sampel sedimen selanjutnya dianalisis di P2O-LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Jakarta.

Darat

U

Transek kuadrat Transek garis

(34)

20

d. Pengukuran Morfometri Cangkang dan Bobot Tubuh

Pengukuran morfometrik siput dilakukan memakai caliper dengan ketelitian 1,00 mm, mengikuti metode Bailey dan Green (1988), terhadap karakter-karakter: (1) panjang cangkang (Pc), Panjang cangkang diukur dari ujung anterior ke ujung posterior cangkang Sedangkan pengukuran terhadap bobot tubuh dilakukan dengan menggunakan timbangan OHAUS

Precision Plus, dengan ketelitian 0,001 gr. Penimbangan dilakukan

meliputi berat total siput, cangkang dan daging baik basah maupun kering. Selanjutnya bobot cangkang tanpa daging ditimbang begitu juga dengan bobot daging tanpa cangkang (bobot tegumen) ditimbang.

e. Potensi Reproduksi • Nisbah Kelamin

• Tingkat Kematangan Gonad • Indeks Kematangan Gonad • Fekunditas

Untuk mengamati jumlah koloni telur yang dihasilkan di alam dilakukan pengamatan secara berkala setiap bulannya dengan menggunakan pengembangan metode manta tow yang diadopsi dari English et al (1994), dengan bantuan long boat bermesin tempel 15 PK. Garis transek sebanyak dua buah dipasang sejajar dengan garis pantai pada kedalaman 1,5 m dan 2 m. Pada salah satu sisi perahu diletakan sebilah kayu dengan posisi melintang sebagai tempat berpegangan bagi pengamat. Pencacahan koloni telur yang menggunakan hand counter dilakukan saat perahu bermotor mulai bergerak dengan kecepatan konstan (3-5 km/jam) menyusuri sepanjang garis transek. Luas areal daerah sapuan + 1.000 m2. Pencacahan koloni telur dilakukan dengan cara menyelusuri garis transek yang sejajar dengan garis pantai. Untuk mengetahui rata-rata jumlah telur yang

(35)

21

dihasilkan oleh seekor induk betina dalam satu koloni, maka dilakukan koleksi beberapa koloni telur untuk dihitung jumlahnya menggunakan metode gravimetri (Effendie, 1979).

3.4. Analisa Data

3.4.1. Karakteristik Habitat Siput Gonggong

Untuk melihat karakteristik habitat siput gonggong digunakan pendekatan analisis statistik multi variable dengan Analisis Komponen Utama (AKU = Principal Component Analysis, PCA) (Bengen, 2000). Analisis ini memungkinkan adanya suatu reduksi terhadap dimensi dari ruang-ruang agar dapat lebih mudah dibaca dengan kehilangan informasi sesedikit mungkin. Metode ini bertujuan mendeterminasi sumbu-sumbu optimum tempat diproyeksikannya individu-individu dan / atau variabel-variabel.

Data variabel fisika-kimia perairan yang diperoleh tidak memiliki pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama, data tersebut perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian

Nilai sesudah pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai variabel dengan nilai rata-rata, yakni:

_

x N C = i

dengan: C = Nilai pemusatan Ni = Nilai asli variabel

_

x = Nilai rata-rata variabel

Sementara pereduksian merupakan hasil bagi antara variabel yang telah dipusatkan dengan nilai simpangan baku variabel, yang dirumuskan sebagai berikut:

S C R=

dengan: R = Nilai pereduksian C = Nilai pemusatan

(36)

22

Untuk menentukan hubungan antara dua variabel digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds, 1988), yaitu: Rs x s = As x n At dengan: n x s Rs x s = Matriks korelasi r A ij s x n = Matriks indeks sintetis r

A

ij t

n x s

Korelasi linear antara dua variabel yang dihitung dari indeks sintetiknya merupakan peragam dari dua variabel yang telah dinormalkan. Tahapan ini sebenarnya merupakan suatu usaha untuk mentransformasikan p variabel kuantitatif awal (inisial), yang kurang lebih saling berkorelasi, ke dalam p variabel kuantitatif baru yang disebut komponen utama. Dengan demikian hasil dari analisis ini tidak berasal dari variable-variabel awal (inisial) tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier variabel-variabel asal.

= Matriks transpose (pertukaran baris dan kolom) dari matriks A

Diantara semua indeks sintetik yang mungkin, analisis ini mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini disebut komponen utama pertama atau sumbu ke-1 (F1), yaitu suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun yang dijelaskan oleh komponen utama ini. Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil dengan F1 dan memiliki ragam individu terbesar. Komponen utama kedua memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus sehingga diperoleh komponen utama ke-p, di mana bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil.

Prinsip Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang berkoresponden) pada data. Jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut:

= − = p j j i ij X X i i d 1 2 ' 2 2 ) ( ) , (

dengan: i,i’ = dua baris

(37)

23

Semakin kecil jarak Euclidean antara dua stasiun, maka semakin mirip karakteristik fisika kimia air dan substrat antar kedua stasiun tersebut dan sebaliknya semakin besar jarak Eclidean antara dua stasiun, maka semakin berbeda karakteristik karaktersitik fisika kimia air dan substrat kedua stasiun tersebut.

3.4.2. Kepadatan dan Pola Distribusi Populasi a. Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi menunjukkan rataan individu suatu jenis siput perpetak dari seluruh contoh yang diamati, yaitu menggunakan rumus:

D = ∑Xi / n

dengan: ∑Xi = jumlah total individu siput n = luas seluruh petak contoh

b. Pola Sebaran

Pola penyebaran siput gonggong dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan Indeks Morisita (Id). Indeks ini tidak dipengaruhi oleh luas petak pengamatan dan sangat baik untuk membandingkan pola pemencaran populasi (Brower et al, 1990). Rumus yang dipergunakan adalah: ) 1 ( ) ( 2 − − ∑ = N N N x n Id

dengan: Id = indeks distribusi Morisita N = jumlah total seluruh individu n = jumlah seluruh petak pengamatan ∑x2

Nilai indeks morisita yang diperoleh diinterpretasikan sebagai berikut: = jumlah individu jenis i per petak.

Id < 1, distribusi individu cenderung acak Id = 1, distribusi individu bersifat merata

Id > 1, distribusi individu cenderung berkelompok.

3.4.3. Pengelompokan Stasiun Penelitian Berdasarkan Karakteristik Habitat.

(38)

24

Sebaran jenis, ukuran siput gonggong berdasarkan karakteristik biofisik dianalisa menggunakan metode Corespondence Analysis (CA) (Legendre & Legendre, 1983; Foucart, 1985; Bengen, 1998). Analisis ini didasarkan pada matriks data yang terdiri atas I baris (stasiun pengamatan) dan J kolom (jenis siput gonggong dengan kelas ukuran tertentu) dimana pada perpotongan baris I dan kolom J ditemukan kelimpahan siput gonggong. Matriks ini merupakan tabel kontingensi stasiun pengamatan dan modalitas jenis siput gonggong berdasarkan kelas ukuran. Pada tabel kontingensi, I dan J mempunyai peranan yang simetris, membandingkan unsur-unsur I (untuk tiap J) sama dengan membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari nij/ni. Untuk masing-masing nij/nj, dengan

ni = ∑ nij (jumlah subjek I yang memiliki semua karakter j) dan nj = ∑ nij (jumlah jawaban karakter j).

Pengukuran kemiripan antar dua unsur I1 dan I2

d

dari I dilakukan melalui pengukuran jarak khikuadrat dengan rumus:

2 ( i,i’) = ∑( Xij/Xi – Xi’j/ Xi’ )2

dengan: Xi = Jumlah baris I untuk semua kolom J Xj

Xj = Jumlah kolom J untuk semua baris I

3.4.4. Morfometrik

Analisis hubungan morfometrik antara panjang cangkang dengan lebar dan tinggi cangkang siput gonggong adalah:

P = a + bL P = a + T L = a + T b b

3.4.5. Hubungan panjang –Berat

Pola pertumbuhan siput dapat diketahui melalui hubungan panjang cangkang dengan bobot tubuh siput (berat basah) yang dianalisis melalui

hubungan persamaan regresi kuasa (power regresion) sebagai berikut (Ricker, 1975): W = aLb atau Log W = log a + b log L

(39)

25 jumlah siput betina / jantan

Jumlah seluruh sampel

dimana : W = berat basah (gr)

L = panjang cangkang (mm) a dan b = konstanta

Untuk menguji apakah konstanta b sama dengan 3 atau tidak (isometrik atau allometrik) dilakukan uji t. Persamaan diatas juga dilakukan terhadap jenis kelamin.

3.4.6. Potensi Reproduksi 3.4.6.1. Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin dianalisa dengan cara membandingkan jenis siput betina dan jantan secara keseluruhan dikalikan dengan 100 %.

Nisbah kelamin = x 100 %

Untuk membandingkan apakah siput jantan dan betina seimbang atau tidak maka dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Kuadrat (Sugiono, 2001). Dimana : X2 F = Chi-Kuadrat o F

= Frekuensi yang diobservasi

h = Frekuensi harapan

3.4.6.2. Fekunditas

Fekunditas didapat dengan metode gabungan (Effendie, 2002) sebagai berikut : Dimana :

− − = k i h h f f f X 1 0 2 ( ) Q X x V x G F =

(40)

26 ) ( 2 X pi X X M = k + − ∑

[

]

±

1

96

,

1

2

ni

qi

pi

X

m

F = Jumlah total telur (butir) G = Berat gonad total (gram) V = Volume pengenceran (cc) X = Jumlah telur sebagian (butir) Q = Berat gonad sebagian (gr)

Pengamatan fekunditas bertujuan untuk mengetahui potensi reproduksi siput gonggong yang dilakukan hanya pada individu betina dan waktu yang diamati hanya bulan Mei, Juni dan bulan Juli. Pengamatan dilapangan dilakukan dengan cara menyelusuri garis transek yang sejajar dengan garis pantai dan pengambilan sampel telur dilakukan hanya tiga (3) transek disetiap stasiunnya. Untuk mengetahui rata-rata jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk betina dalam satu koloni, maka dilakukan koleksi beberapa koloni telur untuk dihitung jumlahnya menggunakan metode gravimetri (Effendie, 1979).

3.4.6.3. Tingkat Kematangan Gonad

Penentuan TKG secara morfologi dari ikan sampel dilakukan berdasarkan petunjuk Cassie dalam Effendie (1979). Untuk menentukan pertama kali matang gonad pada ikan dapat diduga dengan menggunakan metode Spearman – Karber (Udupa, 1986) dalam Omar, 2004) sebagai berikut :

Jika ά = 0,05 maka batas-batas kepercayaan 95 % dari m adalah : Antilog

Dimana :

M = Logaritma panjang ikan pada saat pertama kali matang gonad Xk

X = Selisih logaritma nilai tengah

= Logaritma nilai tengah kelas panjang pada saat semua ikan (100 %) sudah matang gonad

(41)

27

%

100

x

w

wg

GSI

=

Pi = Proporsi ikan matang gonad pada kelas ke – i (pi = ri/ni) Ri = Jumlah ikan matang gonad pada kelas ke – i

Ni = Jumlah ikan pada kelas ke – i

qi = 1 – pi, panjang ikan pada waktu mencapai kematangan gonad yang pertama adalah M = antilog m. Untuk mengetahui rata-rata jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk betina dalam satu koloni, maka dilakukan koleksi beberapa koloni telur untuk dihitung jumlahnya menggunakan metode gravimetri (Effendie, 1979).

3.4.6.4. Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad sering disebut juga “koefisien kematangan” atau index of maturity. Namun yang banyak dipakai adalah Gonado Somatics Indeks (GSI) yang gunakan untuk mengukur aktivitas gonad (Effendie, 2002) dengan rumus sebagai berikut:

Dimana :

GSI = Gonado somatics indeks/indeks kematangan gonad (%) Wg = berat gonad (gram)

W = Berat tubuh ikan (gram)

(42)

28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Habitat Siput Gonggong

Teluk Klabat memiliki bentuk yang cukup unik, seolah-olah terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar melebar di tengah menyempit, dimana terletak pelabuhan Blinyu dan bagian dalamnya melebar lagi (Gambar 7). Lokasi penelitian berada di teluk bagian luar yang dibagi menjadi dua bagian (sisi), bagian Barat dan bagian Timur. Kondisi perairan pada saat pengambilan sampel dalam kondisi surut terendah, Lokasi Timur (stasiun 1– 6), memiliki hamparan pantai pasir yang relatif pendek dengan substrat dasar perairan, berpasir. Lokasi Barat (stasiun 7- 14) hamparan pantai pasir yang sangat panjang (luas) dengan substrat dasar perairan, pasir berlumpur.

4.2. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan

Hasil pengukuran parameter fisik kimia perairan selama penelitian di Teluk Klabat dapat dilihat pada Lampiran 1

4.2.1. Suhu

Berdasarkan pengukuran suhu air diseluruh stasiun pengamatan, ada pada kisaran nilai 29,0 – 29,7°C (Tabel 2). Suhu terendah ditemukan pada stasiun 6 ( ST.6 ), sedangkan yang tertinggi ditemukan pada stasiun 3,4,13 dan 14 ( ST 3,4,13 dan St 14 ). Menurut Nontji (1993) kisaran suhu permukaan Perairan Indonesia adalah 28-30° C, kisaran suhu ini masih memungkinkan untuk metabolisme berbagai jenis organisme yang berada di perairan tersebut, termasuk juga untuk makrozoobentos. Kisaran suhu tersebut merupakan kisaran suhu normal untuk perairan daerah tropis seperti Indonesia. Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), suhu alami air laut berkisar antara 30-33°C. Suhu di permukaan relatif sama dengan suhu di dasar perairan, hal ini karena padalokasi sampling berada di perairan dangkal. Dari nilai-nilai tersebut terlihat bahwa suhu perairan di semua lokasi pengamatan relatif sama dan berada dalam kisaran normal untuk daerah tropis. Melihat dari kisaran suhu tersebut maka bisa dikatakan bahwa di lokasi penelitian masih memiliki kisaran suhu yang normal terhadap kelangsungan hidup siput gonggong.

(43)

29

Suhu tertinggi 29,7°C dijumpai pada Stasiun 3,4,13 dan 14 (Lampiran 1). Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan disekitarnya antara lain kedalaman dan intensitas cahaya matahari serta musim. Suhu terendah di dapatkan pada stasiun 6, hal ini disebabkan kondisi perairannya berada di mulut Teluk Klabat yang mendapat pengaruh langsung dari massa air laut teluk bagian dalam yang mendapat tambahan massa air dari sungai yang masuk ke Teluk Klabat dibanding stasiun lainnya, kondisi ini mengakibatkan kolom air lebih stabil.

4.2.2. Salinitas

Kadar salinitas di Teluk Klabat berkisar antara 31,6 ‰ – 33 ‰. Daerah pesisir seperti Pantai Teluk Klabat dimana daerah tersebut dapat terendam pada saat pasang tertinggi dan muncul ke permukaan pada saat surut terendah, sangat memungkinkan memiliki kadar salinitas yang tinggi sebagai akibat dari penguapan.

Di perairan Teluk Klabat bagian dalam terdapat dua buah sungai yaitu Sungai Antan dan Sungai Layang mengalirkan airnya ke arah mulut pantai, dan sampling dilakukan pada saat air laut pasang naik sehingga pengaruh air tawar yang masuk ke pantai tidak sampai mempengaruhi salinitas perairan Teluk Klabat bagian luar, lokasi dimana pengamatan dan pengambilan sampel data dilakukan. Hal ini disebabkan pengaruh massa air laut Natuna yang cukup besar, sehingga salinitas menjadi relatif stabil dibanding Pantai Teluk Klabat bagian dalam. Variasi salinitas pada masing-masing lokasi terjadi karena adanya gerak pasang surut yang menyebabkan terjadinya pengadukan pada kolom air hingga terjadi pertukaran air secara vertikal. Di permukaan, air cenderung mengalir keluar sedangkan air laut merayap masuk dari bawah. Akibatnya antara ke duanya terjadi percampuran. Menurut Nontji (1993), sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.

(44)

30

4.2.3. Derajat Keasaman (pH)

Hasil pengukuran pH di lokasi penelitian cenderung bersifat basa. Dimana kisaran pH pada Teluk Klabat 7,6 – 7,7. Nilai tersebut memperlihat bahwa pH perairan cenderung bersifat basa dan termasuk normal bagi pH air laut di Indonesia yang pada umumnya bervariasi antara 6.0 - 8.5. Hutasoit (1991) menyatakan perairan yang mempunyai pH dengan kisaran 6.50 – 7.50 dikategorikan perairan cukup baik sedang perairan yang mempunyai pH dengan kisaran 7.50 – 8.50 dikategorikan perairan sangat baik. jika dibandingkan dengan hasil penelitian Muchtar, 1993 di Lombok Selatan yang mendapatkan nilai pH antara 8.3-8.35, maka nilai pH perairan yang diperoleh pada penelitian ini reltif lebih rendah. Hal ini mungkin saja terjadi melihat kondisi perairan yang berbeda. Menurut EPA (1996), biota laut memiliki kisaran pH ideal 6,5 sampai 8,5. Ini artinya kadar pH yang terdapat di Pantai Teluk Klabat masih bisa dikatakan berada dalam keadaan normal yang dibutuhkan bagi biota perairan di daerah tersebut. Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Derajat Keasaman (pH) air laut cenderung berada dalam keseimbangan karena ekosistem air laut mempunyai kapasitas penyangga yang mampu mempertahankan nilai pH. Menurut Odum (1971), air laut merupakan sistem penyangga yang sangat luas dengan pH relatif stabil sebesar 7 hingga 8,5.

Derajat keasaman merupakan faktor yang penting karena perubahan pH dapat mempengaruhi fungsi fisiologis khususnya yang berhubungan dengan respirasi (Arfiati dkk, 1999). Toleransi organisme air terhadap pH bervariasi, hal ini tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadium organisme. Batas toleransi organisme terhadap pH sangat bervariasi dan pada umumnya sebagian besar dari biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7 - 8.50. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimia dalam perairan dan juga akan memberi pengaruh terhadap keanekaragaman komunitas biologi perairan, pH 6 - 6.50 menyebabkan keanekaragaman bentos akan sedikit menurun (Novotny dan Olem 1994 dalam Effendi 2003). Menurut Odum (1993), ). Nilai pH pada suatu perairan akan mempengaruhi sebaran faktor kimia perairan, hal ini juga akan mempengaruhi

(45)

31

sebaran organisme yang metabolismenya tergantung pada sebaran faktor-faktor kimia tersebut.

4.2.4. Komposisi butiran dan Total Organic Matter (TOM) sedimen

Hasil analisis laboratorium dari ukuran partikel substrat yang merupakan habitat siput gonggong diklasifikasikan menurut skala Wenworth yang menggolongkan partikel dari lempung (clay) sampai batu besar (boulder) dengan diameter 1/4096 mm sampai 2048 mm, setelah terklasifikasi kemudian didapatkan persentase rataan ukuran partikel berdasarkan stasiun. Jenis substrat sangat berkaitan dengan kandungan oksigen, sirkulasi air dan ketersediaan nutrien dalam sedimen. Komposisi butiran sedimen di sisi Timur dan Barat Pantai Teluk Klabat bagian luar memiliki dua jenis yang tidak terlalu berbeda dan didominasi oleh pasir, oleh karena itu bisa dikatakan secara keseluruhan substrat di Pantai Teluk Klabat pasir berlumpur (Tabel 2).

Tabel 2. Rataan Komposisi Sedimen dan TOM di Pantai Teluk Klabat.

Komposisi substrat, perairan Teluk Klabat secara umum adalah pasir berlumpur. Penyebaran partikel dasar ini disusun dan dikelompokan menurut Skala Wenworth (Tabel 2). Komposisi pasir bisa terbentuk dari patahan karang dan sisa-sisa biota yang telah mati. Sedimen berpasir memiliki kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan sedimen yang halus, karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi kendalanya pada sedimen berpasir tidak terlalu banyak terdapat bahan organik (Wood, 1987).

Komposisi sedimen (%)

Kelas Tekstur

TOM

Pasir Debu Liat (mg/l)

(8-0,25mm) (0,125mm) (<0,063 mm)

88,61 3,55 7,84 Pasir 0,51-5,89

85,75 3,99 10,25

Pasir

(46)

32

TOM pada suatu perairan dipengaruhi oleh kandungan bahan organik di sedimen melalui proses pengendapan ke dasar perairan. Laju pengendapan tersebut sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus. Partikel yang halus akan terbawa oleh aliran air yang deras. Kisaran TOM pada perairan ini tidak terlalu tinggi yaitu berkisar antara 0,51 – 12,3 mg/l. Kandungan bahan organik terlarut pada masing-masing stasiun menunjukkan nilai yang bervariasi. TOM tertinggi dijumpai pada stasiun 8 dan 14 dengan rata-rata sebesar 12,33 dan 6,64 mg/l yang terendah dengan rata-rata 0.51 dan 0,98 mg/l terdapat pada stasiun 2 dan stasiun 11. Kandungan TOM dalam perairan sangat dipengaruhi oleh pemasukan zat-zat dari daratan dan adanya erosi dari hulu sungai yang banyak mengandung bahan organik (Susetiono, 1999).

Secara keseluruhan nilai TOM lebih tinggi ke arah muara sungai, hal ini sangat berhubungan dengan adanya partikel-partikel lumpur yang terbawa arus dari dua sungai yang bermuara di Teluk Klabat bagian dalam, kecepatan arus yang semakin kecil ke arah Teluk Klabat bagian luar ( lokasi penelitian ), stasiun 1 dan stasiun 11 serta stasiun 8 dan stasiun 14 dan juga nilai salinitas yang semakin tinggi, dimana tingginya salinitas sangat berhubungan dengan kandungan bahan-bahan mineral yang ada dalam perairan tersebut. Tekstur sedimen sangat erat kaitannya dengan fraksi butiran sedimen.

Tingginya bahan organik di Teluk Klabat disebabkan karena banyaknya sisa-sisa biota seperti hewan, serasah dari lamun dan alga yang telah mati kemudian terendapkan. Menurut Wood (1987), Pada sedimen yang halus, walaupun oksigen sangat terbatas tetapi kandungan bahan organik tersedia dalam jumlah yang banyak. Sedangkan menurut Susetiono (1999), dari hasil penelitiannya di Teluk Kuta, Lombok, NTB, banyaknya partikel halus dan TOM di Teluk Kuta menunjukkan bahwa lingkungan Teluk Kuta mempunyai tingkat turbulensi yang rendah.

Rendahnya turbulensi bisa dikarenakan daerah tersebut cenderung terlindungi atau juga karena terdapatnya hamparan lamun yang sangat lebat di daerah tersebut. Kandungan TOM dalam perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adanya pemasukan bahan organik dari lingkungan

(47)

33

sekitarnya dan kecepatan arus. Kandungan bahan organik terlarut pada masing-masing stasiun menunjukkan nilai yang bervariasi.

4.3. Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air dan Sedimen

Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air terhadap stasiun pengamatan dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama. Menurut Legendre dan Legendre (1983), untuk mendeterminasi distribusi karakteristik fisik kimia perairan antar stasiun pengamatan, digunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisis, PCA ). Analisis Komponen Utama digunakan karena parameter lingkungan perairan lebih tepat dalam menerangkan ordinasi. Data parameter lingkungan yang dianalisis mempunyai unit pengukuran yang berbeda, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama terlebih dahulu dilakukan pemusatan dan pereduksian terhadap data. Hasil dari analisis matriks korelasi data fisika kimia perairan menunjukkan bahwa kontribusi dua komponen utama terhadap ragam total mencapai 68,606 % dari ragam total, sedangkan kontribusi tiga komponen utama terhadap ragam total mencapai 80,499 % dari ragam total. Sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1 dan 2 dimana masing-masing sumbu menjelaskan 39,851% dan 28,756% dari ragam total, sedangkan sumbu 3 memberikan kontribusi 11,893 % dari ragam total. Nilai akar ciri (eigenvalue) dari ketiga komponen secara berurutan adalah 3,895; 2,876; dan 1,189. Hasi analisis pada Lampiran 2.

Diagram lingkaran korelasi parameter biofisik kimia lingkungan, pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 1a), sumbu 1 menunjukkan parameter pH berkorelasi positif terhadap, DO dan temperatur, tetapi berkorelasi negatif dengan kedalaman dan tanah liat (liat). Pada sumbu 2, salinitas berkorelasi posistif dengan lumpur dan TOM, tetapi berkorelasi negatif dengan salinitas dan substrat pasir. Pada sumbu 1 dan sumbu 3 (Gambar 10 a,b), sumbu 1 menunjukkan parameter DO berkorelasi positif terhadap temperatur, pH dan substrat pasir. Dan berkorelasi negatif dengan TOM, liat dan kedalaman, sedangkan pada sumbu 3 variabel temperatur berkorelasi positif dengan pH, DO dan pasir.

(48)

34

Gambar 10.a,b. Diagram lingkaran korelasi antara parameter fisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2, serta sumbu 1 dan 3.

Gambar 10c,d. Diagram representasi sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter fisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2, serta sumbu 1 dan 3.

Ket : tmp= temperatur pH= pH DO = oksigen terlarut sal = salinitas Kkrh= kekeruhan lmpr = lumpur kpdtn= kepadatan liat = liat kdlm = kedalaman psr = pasir TOM = total kandungan organik

Adanya korelasi negatif antara DO pada sumbu pertama positif dengan liat pada sumbu pertama negatif, menunjukan bahwa semakin banyak kandungan tanah liatnya, maka kandungan oksigennya akan sedikit, begitu juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan adanya korelasi diantara parameter-parameter tersebut

Sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik-kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 10c) membentuk 3 kelompok individu, yang masing-masingnya memiliki karakteristik biofisik-kimia yang berbeda.

(49)

35

Kelompok I terdiri atas stasiun 3 dan 4 serta stasiun13 dan stasiun 14 yang dicirikan dengan temperatur, pH dan substrat pasir serta DO. Kelompok II terdiri atas stasiun 8,10 dan stasiun 11 dan 12 yang dicirikan dengan kekeruhan, TOM dan lumpur yang tinggi. Dan kelompok III yang terdiri atas stasiun 1,2 stasiun 5,6,7 dan stasiun 9 yang dicirikan dengan kedalaman, salinitas dan liat yang tinggi.

Pada sumbu 1 dan 3, sebaran stasiun membentuk 3 kelompok individu, yang masing-masing memiliki karakteristik biofisik kimia berbeda. Kelompok I terdiri atas stasiun 2,3, dan stasiun 4, serta stasiun 13 dan stasiun 14 yang dicirikan oleh kandungan oksigen terlarut, temperatur, pH dan substrat pasir yang tinggi. Kelompok II terdiri atas stasiun 2, 7 dan stasiun 9 serta stasiun 10 dicirikan oleh salinitas, TOM, liat dan lumpur, sedangkan kelompok III terdiri atas stasiun 1, 5 dan 6 serta stasiun 11 dan stasiun 12 dicirikan oleh kedalaman dan kekeruhan.

4.3.1. Distribusi Spasial Siput Gonggong Berdasarkan Kelas Ukuran dan Jenis Kelamin

Pengelompokan titik-titik pengamatan dari hasil analisis berdasarkan kelas ukuran terdiri atas tiga kelompok yang mempunyai keterkaitan yang erat antara siput gonggong dengan stasiun pengamatan (Gambar 11)(Lampiran 3).

Gambar 11. Diagam analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan dengan modalitas ukuran dan jenis kelamin siput gonggong pada sumbu 1 dan 2.

(50)

36

Hasil analisis memperlihatkan siput gonggong kelompok A (ukuran 20,39 mm-38,53 mm) banyak terdapat di stasiun 2 dan stasiun 3 yang dicirikan

temperatur, DO, pH dan kandungan substrat pasir yang tinggi, diduga pasir dijadikan areal perlindungan bagi anakan gongong, yang pada fase veliger mempunyai velum yang bersilia, kaki, mata dan tentakel. Stasiun 5 yang dicirikan dengan kedalaman dan kekeruhan yang tinggi diperkirakan merupakan lokasi yang disenangi siput gonggong dikarenakan kondisi perairan yang demikian dapat melindungi larva-larva veliger dari serangan musuh. Menurut Barnes (1994), sesaat setelah menetas larva veliger berenang bebas merupakan saat-saat paling kritis dan stadium veliger disenangi ikan sebagai makannya. Kelompok B (ukuran 38,54 mm-56,68 mm) banyak terdapat di stasiun 4, 6 dan stasiun 13 serta stasiun 14, sedangkan kelompok C (ukuran 56,69 mm-74,83 mm) dan kelompok D (ukuran 74,89 mm-92,98 mm) banyak terdapat di stasiun 1,2,7 dan stasiun 8,9 serta stasiun 10 dan stasiun 11.

Kelompok C dan kelompok D merupakan kelompok yang berukuran besar dan jenis kelaminnya sudah terlihat jelas, dengan kondisi lingkungan di stasiun ini sesuai dengan persyaratan hidup dari siput gonggong selain itu pada stasiun-stasiun ini diperkirakan banyak terdapat makanan hasil limpahan dari teluk bagian dalam yang merupakan muara dari dua sungai yang cukup besar. Amini (1986) menyatakan, siput gonggong banyak terdapat di perairan pantai dengan dasar pasir berlumpur dan kondisi perairan dimana banyak ditemukan rumput laut, sedangkan Dody (2009), menyatakan siput gonggong yang hidup diperairan pulau Bangka banyak ditemukan pada substrat pasir berlumpur.

(51)

37

4.3.2. Distribusi Spasial Siput Gonggong Berdasarkan Tingkat Kematangan Gonad

Gambar 12. Diagram analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan dengan tingkat kematangan gonad pada sumbu 1 dan 2.

Hasil pengukuran (Gambar 12) memperlihatkan distribusi spasial siput gonggong dengan tingkat kematangan gonad pada TKG 0, banyak dijumpai di stasiun 1,2 dan stasiun 3 serta di stasiun 5 yang dicirikan dengan kandungan oksigen tinggi, kekeruhan, kedalaman dan temperatur, pH dan substrat pasir. Kondisi lingkungan yang stabil sangat diperlukan oleh gonggong berukuran kecil, gonggong termasuk organisme yang sensitif terhadap perubahan lingkungan. Menurut Menurut Basmi (2000) suhu berperan penting dalam proses metabolisme dan laju fotosintesis organisme fitoplankton yang merupakan salah satu makanan bagi hewan bentos

Tingkat kematangan gonad (TKG I) banyak dijumpai pada stasiun 4,6 dan stasiun 8, Stasiun 11 serta stasiun 13 dan stasiun 14 yang dicirikan oleh temperatur, DO, pH dan pasir juga salinitas, TOM, lumpur dan liat serta kedalaman dan kekeruhan, melimpahnya siput gonggong yang masih memiliki tingkat kematangan gonad I (TKG I) menunjukkan bahwa siput gonggong yang masih muda memerlukan kondisi lingkungan yang memenuhi syarat untuk hidup

(52)

38

antara lain temperatur yang stabil, DO yang tinggi, lumpur tempat berkamuflase menghindar dari predator. Lingkungan juga merupakan tempat tumbuh dan berkembang baik individu maupun populasinya. Pada stasiun 7,9 dan 10 serta stasiun 12 yang karakteristik lingkungannya mencirikan salinitas, TOM, lumpur dan liat serta kedalaman dan tingkat kekeruhan yang tinggi banyak ditemukan siput gonggong yang memasuki tingkat kematangan gonad empat (TKG IV). Lokasi ini diperkirakan sebagai lokasi untuk mendapatkan makanan dan sekaligus lokasi pertemuan gonggong dewasa untuk melakukan pemijahan.

Pengelompokan stasiun penelitian berdasarkan karakteristik habitat, stasiun penelitian tersebar di sepanjang pantai Timur dan Barat Teluk Klabat dengan masing-masing terdiri atas 6 stasiun berada di Timur dicirikan oleh nilai temperatur, pasir, salinitas dan pH hal ini sesuai dengan pengamatan dilapangan, tekstur sedimen memang menjadi faktor pembatas utama bagi penyebaran siput gonggong pada habitatnya. Siput gonggong jarang ditemukan pada substrat yang didominasi oleh pasir. Di pantai bagian Barat terdapat 8 stasiun, merupakan stasiun-stasiun yang berada di rataan pantai yang sangat lebar yang dicirikan dengan tingginya lumpur, TOM dan nilai kekeruhan.

Tingginya nilai-nilai variabel ini diduga dipengaruhi oleh aliran dari sungai dan laut yang membawa material bahan organik serta adanya proses pengadukan dari kedua massa air tersebut serta terjadinya pengendapan dirataan sangat luas yang merupakan ciri topografi di daerah tersebut.

4.4. Kepadatan dan Pola Penyebaran Populasi Siput Gonggong 4.4.1. Kepadatan Populasi

Jumlah dan kepadatan siput gonggong yang ditemukan selama penelitian diseluruh stasiun, seluruhnya ada 1859 individu (lampiran 3), yang tertinggi pada stasiun 7, stasiun 8 dan stasiun 11 masing-masing 5 indv/m2 , sedangkan yang terendah ditemukan pada stasiun 2, stasiun 3 dan stasiun 13 serta stasiun 14 masing-masing 2 indv/m2 ( Gambar 12 ). Tingginya jumlah siput gonggong pada stasiun 7 dan 8 diperkirakan masih banyaknya makanan akibat terbawa arus dari Teluk bagian dalam yang banyak menerima endapan lumpur dari sungai-sungai yang bermuara dan bentuk pantai yang landai serta kondisi substratnya yang

(53)

39

terdiri dari pasir berlumpur merupakan tempat hidup yang disenangi oleh siput gonggong (Amini,1986; Cappenberg,1996). Jumlah siput gonggong yang ditemukan pada stasiun 2, 3 dan stasiun 13 serta stasiun 14 adalah jumlah yang terkecil ( 2 indv/m2 ), diperkirakan lokasi stasiun – stasiun ini terletak di mulut teluk yang kondisi substratnya pasir miskin bahan organik yang berasal dari hasil penguraian bangkai dan sisa-sisa organisme oleh bakteri pengurai (Odum, 1993). Akibat erosi dibagian hulun sungai Antan dan sungai Layar dan kecepatan arus yang berasal dari laut Natuna masih sangat berpengaruh.

Gambar 12. Kepadatan Siput Gonggong ( Strombus turturella ) di Teluk Klabat.

Hal ini sesuai dengan pendapat Sudara dkk (1992) yang menyatakan bahwa moluska dari kelas gastropoda banyak ditemukan di daerah padang lamun yang kurang rapat. Sedangkan Hadijah (2000), mendapatkan banyak gastropoda yang berukuran kecil di pengaruhi oleh kerapatan dan jenis lamun.

4.4.2. Pola Penyebaran Populasi Siput Gonggong

Setiap populasi memiliki struktur sebaran individu yang disebut dengan pola sebaran populasi. Pola sebaran populasi ini terbagi menjadi 3 pola yaitu merata, acak, dan mengelompok. Untuk mengetahui pola apa yang dimiliki siput gonggong (Strombus turturella) maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan indeks morisita. Hasil analisis pola penyebaran siput gonggong

Strombus turturella) dengan menggunakan indeks morisita, berdasarkan sebaran

(54)

40

Tabel 13. Pola Penyebaran Spasial Siput Gonggong (Strombus turturella). Kelompok Sebaran Ukuran

(mm)

Nilai Indeks Morisita (Id)

A (20,39 – 38,53) 1,2

B (38,54 – 56,68) 1,0

C (56,69 – 74,83) 1,2

D (74,84 – 92,98) 1,3

Kelompok ukuran yang dianalisis hanya kelompok B yang mempunyai sebaran merata ( Id=1 ), sedangkan kelompok A, kelompok C dan kelompok D pola penyebarannya mengelompok ( Id > 1). Pada kelompok B merupakan kelompok yang berukuran kecil sampai sedang, kelompok yang memerlukan energi tinggi untuk pertumbuhan sel-sel somatis, sehingga sangat aktif mencari makanan yang menyebabkan pola penyebarannya merata, jika dihubungkan dengan lingkungannya yang memiliki kadar oksigen, substrat berpasir serta memberikan gambaran kondisi lingkungan yang miskin unsur hara, sehingga siput gonggong tersebar merata dalam mencari makanannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Wood (1987), yang menyatakan bahwa, sedimen berpasir memiliki kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan sedimen yang halus, karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi kendalanya pada sedimen berpasir tidak terlalu banyak terdapat bahan organik.

Ada beberapa faktor yang menentukan penyebaran siput gonggong di alam terutama faktor lingkungan dan keberadaan makanan ( Nybakken, 1988 ). Pola penyebaran berkelompok berkaitan dengan kemampuan larva hewan bentik memilih daerah yang akan ditempatinya. Jika substrat dan faktor fisika-kimia perairan tidak mendukung maka larva tidak akan menetap. Hal ini terlihat dari tabel 3 di atas yang menunjukkan bahwa stasiun 8 adalah stasiun yang memiliki indeks Morisita terendah, diperkirakan sebagai akibat dari terpengaruh banyaknya makanan yang terkandung dalam substrat yang mengandung lumpur yang terbawa

Gambar

Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian di Teluk Klabat Provinsi Bangka-Belitung (Bakosurtanal, 1997)
Tabel 1.  Parameter, Alat dan Bahan Penelitian
Gambar 9. Contoh penempatan transek kwadrat di lokasi penelitian  b. Kualitas air
Gambar  12. Diagram analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan  dengan tingkat kematangan gonad pada sumbu 1 dan 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kecamatan Onan Ganjang Dalam Angka 2018 merupakan publikasi tahunan yang diterbitkan oleh BPS Kabupaten Humbang Hasundutan.. Disadari bahwa publikasi ini belum sepenuhnya

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa respon struktur gedung beton bertulang berupa nilai base shear, simpangan antar lantai

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Peran Dewan Pengurus Kecamatan Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (DPK BKPRMI) Tomoni dalam pembinaan akhlak remaja di

Setelah Permen KP No.2 tahun 2015, ada kebijakan yang lebih spesifik lagi yaitu Permen KP nomor 71 tahun 2016 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat

Selain kesalahan-kesalahan di atas, kesalahan lain dalam bidang morfologi yang ditemukan pada dokumen dinas di Sekda Pemkot Mataram adalah penggunaan kata bentuk

Persepsi sosial pria transgender terhadap pekerja seks komersial secara umum adalah seorang wanita yang bekerja memberi layanan seks komersial yang berpenampilan

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pendidikan Ibnu Khaldun dalam perspektif sosiologi memandang pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi akal-pikiran,

Perbedaan dari dua jenis ini adalah SIR-10 menggunakan bahan baku yaitu 85% bokar (bongkahan karet) A dan 15% bokar B, sedangkan untuk jenis SIR-20 yang memiliki