• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hematology and Blood Chemistry Profile of Dog Infected Chronically by Babesia sp. and Haemobartonella sp. Combination

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hematology and Blood Chemistry Profile of Dog Infected Chronically by Babesia sp. and Haemobartonella sp. Combination"

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL HEMATOLOGI DAN KIMIA DARAH ANJING

YANG TERINFEKSI KOMBINASI

Babesia sp.

DAN

Haemobartonella sp.

KRONIS

LENI MAYLINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Profil Hematologi dan Kimia Darah Anjing yang Terinfeksi Kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. Kronis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Leni Maylina

(4)

RINGKASAN

LENI MAYLINA. Profil Hematologi dan Kimia Darah Anjing yang Terinfeksi Kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. Kronis. Dibimbing oleh DONDIN SAJUTHI dan ANITA ESFANDIARI.

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari status kesehatan anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis melalui

pengamatan terhadap profil hematologi dan kimia darah. Penelitian menggunakan 28 ekor anjing yang telah didiagnosis positif terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. Anjing dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan ras, yaitu BM/Belgian Malinois (n= 4), GR/Golden Retriever (n=3), LR/Labrador Retriever (n=6), GS/German Shepherd (n=6), and RW/Rotweiller (n=9).

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendapatkan temuan klinis. Sampel darah diambil dari vena chepalica antibrachii untuk menghitung derajat infeksi,

hematologi rutin (jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah trombosit, jumlah leukosit total, jumlah limfosit, monosit, neutrofil segmen, neutrofil batang, eosinofil dan basofil). dan kimia darah (aktivitas AST dan ALT, konsentrasi total bilirubin, bilirubin conjugated, bilirubin unconjugated,

total protein, ureum, kreatinin, sodium, potasium, pH, pCO2, HCO3-, pO2 dan

sO2).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ras anjing memiliki derajat infeksi terhadap Babesia sp. dan Haemobartonella sp. ≤ 1 % (derajat infeksi

ringan). Temuan klinis yang didapatkan bervariasi, meliputi kepucatan membran mukosa, konjungtiva dan sklera hiperemi, aritmia, bradikardia, takhikardia, splenomegali, diare berdarah dan infestasi caplak. Jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah trombosit cenderung lebih rendah (dibandingkan nilai normal) pada semua kelompok ras anjing, dengan indeks eritrosit berupa normositik normokromik dan mikrositik normokromik. Temuan lain berupa konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, ureum, dan total

protein yang cenderung lebih tinggi (dibandingkan nilai normal), sedangkan tekanan oksigen (pO2) dan saturasi oksigen (sO2) cenderung lebih rendah

(dibandingkan nilai norrmal) pada semua kelompok ras anjing.

(5)

SUMMARY

LENI MAYLINA. Hematology and Blood Chemistry Profile of Dog Infected Chronically by Babesia sp. and Haemobartonella sp. Combination. Supervised

by DONDIN SAJUTHI and ANITA ESFANDIARI.

The objective of this experiment was to study the hematology and blood chemistry profiles of dog infected chronically by Babesia sp. and Haemobartonella sp. combination. Twenty eight dogs 2-8 years of age positively infected the combination of Babesia sp. and Haemobartonella sp. were devided

into five groups depending on breeds, i.e. BM/Belgian Malinois (n= 4),

GR/Golden Retriever (n=3), LR/Labrador Retriever (n=6), GS/German Shepherd

(n=6, and RW/Rotweiller (n=9). Physical examination were done to obtain clinical

findings. Blood samples were collected from cephalica antibrachii vein to

determine the degree of infection, routine hematology (erythrocyte count, hemoglobin concentration, hematocrit, leukocyte count, neutrophyl, eosinophyl, basophyl, limphocyte, monocyte, and thrombocyte count) and clinical chemistry (ALT and AST activity, bilirubin count, conjugated bilirubin, unconjugated bilirubin, protein count, ureum, creatinine, sodium, potassium, pH, pCO2, HCO3,

pO2 andsO2).

Results of this study indicated that the degree of infection of Babesia sp.

dan Haemobartonella sp. were < 1 % at all breed of dogs. Clinical findings were various including pale mucous membrane, hiperemic conjunctiva and sclera, arythmia, bradycardy, tachycardy, splenomegaly, bloody diarrhea, and ticks infestation. The erythrocyte count, hemoglobin concentration, hematocrit, and thrombocyte counts tend to be lower than normal range at all groups. The other findings such as total bilirubin, conjugated bilirubin, ureum, and total protein tend to be higher than normal range, while oxygen tension (pO2) and oxygen

saturation (sO2) tend to be lower than normal range at all breed of dogs..

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

PROFIL HEMATOLOGI DAN KIMIA DARAH ANJING

YANG TERINFEKSI KOMBINASI

Babesia sp.

DAN

Haemobartonella sp.

KRONIS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(8)
(9)

Judul Tesis : Profil Hematologi dan Kimia Darah Anjing yang Terinfeksi

Kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. Kronis

Nama : Leni Maylina

NRP : B351100031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD Ketua

Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Drh. Agus Setiyono, MS, PhD

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini adalah Profil Hematologi dan Kimia Darah Anjing yang Terinfeksi Kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. Kronis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., PhD dan Ibu Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi selaku pembimbing, Bapak drh. Agus Wijaya, MSc., PhD selaku penilai serta Bapak drh. Agus Setiyono, MS., PhD., APVet selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan yang telah banyak memberi kemudahan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap pimpinan beserta Tim Dokter dari Klinik Veteriner (KOMPOL drh. R. Chaindrapraso Saleh, IPTU drh. Fitri Patmawati, IPTU drh. Adi, drh. Jeanni Dumayanti) dan tim K-9 Direktorat Polisi Satwa Kelapa Dua, Depok, Pimpinan beserta Staf Laboratorium Praktek Dokter Hewan Bersama (PDHB) drh. cucu K. Sajuthi, dkk., Staf Laboraorium Patologi Klinik Rumah Sakit BRIMOB Kelapa Dua, Depok beserta seluruh Staf Pengajar Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH-IPB yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami (drh. Didid Wahyu Jatmiko), anak (Raihan Arya Sena Jatmiko), ayah (alm. Bapak H. Darsam), ibu (Hj. Tatik Syafiati, Spd), mertua (Bapak Mulyono, SPd dan Ibu Kustati, SPd) serta seluruh keluarga, atas segala doa, pengertian, dukungan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2013

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

3 METODE 15

Waktu dan Tempat 15

Alat dan Bahan 15

Desain Penelitian 17

Prosedur Analisis Data 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19

5 SIMPULAN DAN SARAN 53

Simpulan 53

Saran 53

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN 59

(14)

DAFTAR TABEL

1 Persentase eritrosit berparasit pada kelima ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 20 2 Hasil pemeriksaan keadaan umum semua kelompok ras anjing yang

terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 23

3 Temuan klinis yang ditemukan selama pemeriksaan fisik dan observasi pada kelima kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp.

dan Haemobartonella sp. kronis 24

4 Rata-rata parameter hematologi pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 26

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus hidup Babesia sp. 7

2 Proses destruksi eritrosit 8

3 Babesia canis dan Babesia gibsoni 11

4 Haemobartonella canis pada eritrosit anjing 13

5 Desain penelitian 17

6 Identifikasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. serta morfologi

eritrosit: sferosit → sebagai tanda adanya anemia yang dimediasi sistem

imun 19

7 persentase eritrosit berparasit pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 21 8 Rata-rata jumlah eritrosit (x106/µL) pada semua kelompok ras anjing

yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 27

9 Rata-rata konsentrasi hemoglobin (g/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis 28

10 Rata-rata nilai hematokrit (%) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 28 11 Rata-rata jumlah trombosit (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing

yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 30

12 Rata-rata jumlah leukosit total (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis 31

13 Rata-rata jumlah limfosit (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 32

14 Rata-rata jumlah monosit (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 33

15 Rata-rata jumlah neutrofil segmen (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis 33

16 Rata-rata jumlah neutrofil batang (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis 34

17 Rata-rata jumlah eosinofil (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 35

18 Rata-rata jumlah basofil (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 35

19 Rata-rata aktivitas AST (IU/L) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 38

20 Rata-rata aktivitas ALT (IU/L) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 39 21 Rata-rata konsentrasi total protein (g/dL) pada semua kelompok ras

anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis 39

22 Rata-rata konsentrasi bilirubin total (mg/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

(16)

23 Rata-rata konsentrasi bilirubin conjugated (mg/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan

Haemobartonella sp. kronis 40

24 Rata-rata konsentrasi bilirubin unconjugated (mg/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan

Haemobartonella sp. kronis 41

25 Rata-rata konsentrasi ureum (mg/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 42 26 Rata-rata konsentrasi kreatinin (mg/dL) pada semua kelompok ras

anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis 43

27 Rata-rata pO2 (mmHg) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi

kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 44

28 Rata-rata sO2 (%) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi

kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 45

29 Rata-rata pH darah pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 45

30 Rata-rata pCO2 (mmHg) pada semua kelompok ras anjing yang

terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 46

31 Rata-rata konsentrasi HCO3- (mEq/L) pada semua kelompok ras anjing

yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 47 32 Kurva disosiasi hemoglobin (HbO2) pada semua kelompok ras anjing

yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 48

33 Rata-rata konsentrsi natrium (mEq/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis 50

34 Rata-rata konsentrasi kalium (mEq/dL) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji statistik persentase eritrosit berparasit semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis 61

2 Uji statistik bobot badan semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 63 3 Uji statistik temperatur tubuh pada semua kelompok ras anjing yang

terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 64

4 Uji statistik frekuensi nafas (RR) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis 65

5 Uji statistik frekuensi denyut jantung pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 66

6 Uji statistik jumlah eritrosit pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 67 7 Uji statistik konsentrasi hemoglobin (Hb) pada semua kelompok ras

anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 68

8 Uji statistik rata-rata nilai hematokrit (Hct) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 69

9 Uji statistik rata-rata jumlah trombosit pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 70

10 Uji statistik rata-rata jumlah leukosit total pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 71

11 Uji statistik rata-rata jumlah limfosit pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 72

12 Uji statistik rata-rata jumlah monosit pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 73

13 Uji statistik rata-rata jumlah neutrofil segmen pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan

Haemobartonella sp. kronis 74

14 Uji statistik rata-rata jumlah neutrofil batang pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan

Haemobartonella sp. kronis 75

15 Uji statistik rata-rata jumlah eosinofil pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 76

16 Uji statistik rata-rata jumlah basofil pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

(18)

17 Uji statistik rata-rata konsentrasi ureum pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 78

18 Uji statistik rata-rata konsentrasi kreatinin pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 79

19 Uji statistik rata-rata aktivitas AST pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis 80

20 Uji statistik rata-rata aktivitas ALT pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemotbartonella sp.

kronis 81

21 Uji statistik rata-rata konsentrasi total protein pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan

Haemobartonella sp. kronis 82

22 Uji statistik rata-rata konsentrasi bilirubin total pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan

Haemobartonella sp. kronis 83

23 Uji statistik rata-rata konsentrasi bilirubin conjugated pada semua

kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan

Haemobartonella sp. kronis 84

24 Uji statistik rata-rata konsentrasi bilirubin unconjugated pada semua

kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan

Haemobartonella sp. kronis 85

25 Uji statistik rata-rata pH darah pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 86

26 Uji statistik rata-rata pCO2 pada semua kelompok ras anjing yang

terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 87

27 Uji statistik rata-rata konsentrasi HCO3- pada semua kelompok ras

anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 88

28 Uji statistik rata-rata pO2 pada semua kelompok ras anjing yang

terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 89

29 Uji statistik rata-rata sO2 pada semua kelompok ras anjing yang

terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis 90

30 Uji statistik rata-rata konsentrasi natrium pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

sp. kronis 91

31 Uji statistik rata-rata konsentrasi kalium pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anjing memiliki tingkat intelegensi dan kesetiaan yang tinggi sehingga dapat dilatih sebagai penjaga, pelacak bahan peledak dan narkoba serta pengendali huru-hara. Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) mendirikan Sub Direktorat Satwa (sekarang Direktorat Polisi Satwa) yang memiliki unit K-9 yang khusus memfasilitasi pelatihan anjing pelacak dan pengendali massa. Anjing yang dilatih di Direktorat Polisi Satwa antara lain Belgian mallinoise (BM), Golden retriever

(GR), Labrador retriever (LR), German shepherd (GS), dan Rotweiller retriever

(RW) (POLRI 2007). Anjing-anjing tersebut dipilih karena mudah dilatih dan dapat dimanfaatkan sebagai anjing pekerja, misalnya sebagai hewan kesayangan, pemburu, pencari jejak dan penyelamat, penjaga, pemandu dan pelacak (Grandjean 2006).

Pemeliharaan anjing di Direktorat Polisi Satwa memiliki kendala, diantaranya adanya gangguan oleh ektoparasit. Ektoparasit yang sering ditemukan pada anjing adalah caplak Rhipicephalus sanguineus. Caplak ini hidup di permukaan kulit anjing dan menghisap darah melalui pembuluh darah perifer yang berada di bawah kulit. Caplak berpotensi sebagai vektor berbagai penyakit yang disebabkan oleh protozoa maupun riketsia (Levine 1994).

Protozoa yang ditularkan oleh caplak diantaranya Babesia sp., dan oleh

riketsia diantaranya Haemobartonella sp.. Spesies Babesia yang sering ditemukan

menginfeksi anjing adalah Babesia canis dan Babesia gibsoni. Keduanya

merupakan protozoa yang hidup intraeritrosit (intrasitoplasmik) (Stockham dan Scott 2002), sedangkan Haemobartonella sp. (pada anjing Haemobartonella canis) hidup epieritrositik. Baik Babesia sp. maupun Haemobartonella sp.,

keduanya dapat menyebabkan anemia hemolitik secara akut maupun kronis, tergantung dari derajat infeksi dan keaktifan agen penyebab (Weiss dan Wardrop 2010).

Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi Babesia sp. (babesiosis) tersebar di seluruh dunia, terutama di negara tropis dan subtropis (Lubis 2006). Hal ini terkait dengan cara penularan protozoa ini, dimana penularannya dapat terjadi melalui vektor caplak, sehingga kemungkinan penularan antar sesama anjing sangat besar. Kasus babesiosis dilaporkan terjadi pada spesies sapi, kuda, domba, kucing, anjing, dan hewan liar (seperti rubah, rusa dan hewan pengerat) (Yatim dan Herman 2006).

Kasus haemobartonellosis lebih sering dilaporkan terjadi pada kucing (Weiss dan Wardrop 2010). Belum ditemukan laporan mengenai studi epidemiologi kasus infeksi oleh Haemobartonella sp. di Indonesia. Infeksi

tunggal oleh Haemobartonella sp. menunjukkan manifestasi klinis ringan pada anjing, sedangkan infeksi tunggal Babesia sp. dapat memperlihatkan gejala

(20)

Kombinasi infeksi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. dapat menunjukkan manifestasi klinis yang lebih nyata dibandingkan dengan infeksi yang terjadi secara tunggal (Birkenheuer et al. 2007).

Pemberian terapi untuk babesiosis dan haemobartonellosis pada anjing didasarkan pada kondisi penderita dan derajat infeksi. Imidocarb diproprionat sejak lama telah digunakan untuk pengobatan babesiosis, sedangkan doksisiklin dan klindamisin adalah obat terbaru yang dimanfaatkan untuk pengobatan babesiosis dan haemobartonellosis. Faktor yang mempengaruhi keputusan pemberian terapi diantaranya adalah status kesehatan anjing, yang dapat dinilai melalui pemeriksaan hematologi dan kimia darah (Aielo 2002).

Informasi mengenai infeksi kombinasi babesiosis dan haemobartonellosis pada anjing di Indonesia belum ada laporannya. Selama ini belum ada informasi mengenai gambaran hematologi dan kimia darah pada infeksi kombinasi kedua penyakit ini di Indonesia. Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa lebih dari 50 % anjing di Direktorat Polisi Satwa Polri Kelapa Dua terinfeksi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.. Oleh karena itu

penelitian ini penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Anjing dapat dimanfaatkan sebagai anjing pelacak yang membantu polisi dalam melakukan tugasnya. Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya anjing-anjing tersebut disebut sebagai anjing polisi yang tergabung dalam sebuah tim khusus yang disebut K-9. Anjing polisi di Direktorat Polisi Satwa Kelapa dua, Depok banyak didatangkan dari Amerika (Amerika Serikat dan Kanada) serta Eropa (Belanda), dimana negara-negara tersebut adalah endemik babesiosis pada anjing. Masalah utama pemeliharaan anjing di Kelapa Dua terutama adanya infestasi ektoparasit caplak. Beberapa laporan penelitian disana menyebutkan bahwa caplak yang menginfeksi anjing adalah jenis Riphicephalus sanguineus, dimana caplak ini merupakan vektor parasit darah dan riketsia; diantaranya adalah

Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

Babesiosis pada anjing (oleh Babesia canis dan atau Babesia gibsoni)

merupakan protozoa yang hidup intraeritrosit (intrasitoplasmik) (Stockham dan Scott 2002), sedangkan Haemobartonella sp. pada anjing (Haemobartonella

canis) hidup pada permukaan eritrosit. Keduanya akan mengakibatkan eritrosit mengalamai kerusakan (membran, hemoglobin, dan fleksibilitas) sehingga terjadi proses destruksi. Destruksi eritrosit besar-besaran berpotensi menyebabkan anemia. Jika destruksi eritrosit berhubungan dengan mediator sistem imun, maka terjadi anemia hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular yang akan memperparah anemia. Pemecahan eritrosit akan berdampak pada oksigenasi jaringan (terjadi hipoksia dan hipoksemia) (Price dan Wilson 2006; Macfarlane et al. 2000). Hipoksia pada jaringan akan mengganggu organ-organ vital dalam

(21)

haemobartonellosis dapat menyebabkan pula terjadinya trombositopenia (Weiss dan Wardrop 2010).

Temuan klinis yang muncul merupakan manifestasi klinis dari anemia dan trombositopenia Infeksi kronis oleh kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. sering tidak memunculkan gejala klinis dan sering terlewatkan. Padahal,

infeksi kronis merupakan tahap dimana anjing menjadi pembawa (carrier) yang

menjadikan penyebaran kedua agen ini semakin meluas. Seringkali anjing dilaporkan mati secara tiba-tiba dengan gambaran patologi berupa kerusakan multi organ (terutama organ jantung, ginjal dan hati). Gambaran darah dapat merepresentasikan kondisi anjing pada saat masih hidup. Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai profil hematologi dan kimia darah anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah infeksi kombinasi

Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis mempengaruhi profil hematologi dan

kimia darah pada anjing.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari profil hematologi dan kimia darah pada anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis. . Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah informasi tentang status kesehatan anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis melalui pemeriksaan hematologi dan kimia darah

(22)
(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Anjing (Canis familiaris)

Anjing merupakan salah satu hewan yang banyak dipelihara karena mempunyai hubungan erat dengan manusia. Beberapa tujuan dari pemeliharaan anjing antara lain sebagai hewan kesayangan, hewan penjaga, dan juga sebagai hewan pelacak. Hal ini dikarenakan anjing memiliki tingkat kecerdasan dan pengabdian yang tinggi kepada manusia (Grandjean 2006).

Salah satu keistimewaan anjing adalah daya penciumannya yang sangat tajam. Kemampuan penciuman yang sangat tajam pada anjing dapat dimanfaatkan untuk melacak keberadaan barang ataupun orang sehingga sangat membantu polisi dalam memecahkan permasalahan kriminal seperti adanya bom, narkoba, maupun pencarian orang. Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa merupakan salah satu unit di bawah POLRI yang menangani pelatihan dan pemeliharaan anjing pelacak. Anjing yang sering dipilih sebagai anjing pelacak adalah ras Belgian Malinois

(Belgian Shepherd), Golden Retriever, Labrador Retriever, German Shepherd dan Rottweiler (POLRI 1996).

Anjing-anjing tersebut dipilih sebagai anjing polisi karena memiliki berbagai keistimewaan. Belgian Malinois memiliki karakter sangat energik dan

aktif, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai anjing pelacak, penjaga, dan penyelamat. Golden Retriever adalah anjing yang berani, aktif, memiliki

penciuman tajam, dan memiliki ingatan yang istimewa, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai anjing pemandu, penyelamat, dan pendeteksi obat-obatan.

Labrador Retriever merupakan raja anjing pemburu yang memiliki karakteristik

sangat aktif, gesit, memiliki penciuman yang sangat tajam, pandai berenang, memiliki ingatan visual dan mampu merekam jejak lokasi dengan baik, sehingga anjing ini baik digunakan sebagai penjaga, penyelamat dan pendeteksi obat-obatan. German Shepherd memiliki kewaspadaan yang tinggi, cepat belajar,

ramah, berani, patuh pada perintah, dan memiliki penciuman yang istimewa, sehingga anjing ini dapat dimanfaatkan sebagai anjing pekerja (pemburu, pencari jejak dan penyelamat, penjaga, dan pemandu). Rottweiler memiliki kekuatan luar

biasa, pekerja keras dan tidak akan pernah menyalak tanpa ada penyebab, sehingga anjing ini dapat dimanfaatkan sebagai anjing polisi, militer, penjaga dan pengendali massa (huru hara) (Grandjean 2006).

Anjing-anjing yang dipergunakan sebagai anjing polisi tersebut masuk ke dalam kategori ras besar dan dapat dilatih menjadi anjing pekerja (working dog).

(24)

Babesiosis pada Anjing

Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Babesia sp..

Babesia sp. merupakan protozoa intraeritrositik yang dapat ditularkan melalui vektor caplak. Penyakit ini ditularkan pada anjing yang imunitasnya menurun atau dalam kondisi imunosupresi. Tingkat keparahan penyakit ini dipengaruhi oleh faktor umur, ras dan status/kondisi premunisi (Benavides dan Sacco 2007). Kondisi premunisi yaitu keseimbangan yang terjadi antara respon imun hewan yang terinfeksi dengan kemampuan parasit untuk memunculkan gejala klinis (Mandell et al. 2010; Wulansari 2002). Ras anjing diduga merupakan faktor

predisposisi dan mempengaruhi infeksi ini. Hasil penelitian Mellanby et al.

(2011) menunjukkan bahwa anjing ras besar pekerja (working dogs) memiliki

resiko terinfeksi babesiosis lebih besar dibandingkan dengan anjing ras mini (Mellanby et al. 2011).

Secara historis, Babesia diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan spesies

mamalia yang diinfeksi. Babesia besar mempunyai panjang 3 sampai 6 pm,

sedangkan Babesia kecil mempunyai panjang 1 sampai 3 pm ((Iqbal et al. 2011).

Dua spesies Babesia yang sering menginfeksi anjing adalah Babesia canis dan Babesia gibsoni. Keduanya merupakan protozoa yang hidup intraeritrosit

(intrasitoplasmik) (Stockham dan Scott 2002). Babesia canis adalah spesies yang

diidentifikasi sebagai Babesia besar. Babesia canis mencakup tiga subspesies, yaitu Babesia canis vogeli, Babesia canis canis, dan Babesia canis rossi. Ketiga

subspesies tersebut secara genetik berbeda, ditularkan oleh vektor yang berbeda, dan memiliki distribusi geografis yang berbeda dengan berbagai tingkat patogenitas (Iqbal et al. 2011).

Babesia canis vogeli memiliki distribusi di seluruh dunia, ditularkan oleh Rhipicephalus sanguineus, dan dianggap kurang patogen. Babesia canis canis

ditemukan terutama di Eropa, ditularkan oleh Dermacentor reticulatus, dan cukup

patogen. Babesia canis rossi adalah endemik di Afrika, ditularkan oleh Haemaphysalis leachi, dan merupakan subspesies sangat ptogen.Babesia gibsoni

(B. gibsoni) merupakan spesies yang diidentifikasi sebagai Babesia kecil.. Babesia gibsoni memiliki distribusi di seluruh dunia, ditularkan oleh Haemaphysalis, dan memiliki derajat infeksi yang bersifat subklinis sampai

infeksi berat yang dapat menyebabkan kematian (Iqbal et al. 2011). Selain

ditularkan melalui vektor caplak, agen ini dilaporkan dapat juga ditularkan melalui aplikasi tranfusi darah dari donor ke resipien apabila anjing pendonor bersifat carrier dan melalui transplasental dari induk ke anak (Fukumoto et al.

2005). .

Siklus Hidup Babesia sp.

Caplak terinfeksi merozoit selama menghisap eritrosit dan tetap infektif selama beberapa generasi melalui transmisi transovarial (Boozer dan Macintire 2005) Babesia sp. memiliki siklus perkembangan aseksual (skizogoni) yang

(25)

memasuki inang mengalami siklus pre-eritrositik, dimana akan mengikuti aliran limfe dan membentuk tropozoit (infektif). Beberapa hari kemudian terbentuk badan berinti banyak (schizont) yang berisi merozoit. Semakin banyak jumlah

merozoit menjadikan schizont pecah dan melepaskan merozoit ke dalam aliran darah. Merozoit yang menginfeksi eritrosit berubah menjadi tropozoit muda dan jika telah matang berubah lagi menjadi schizont yang dapat pecah kembali dan

melepaskan merozoit lain yang akan menginfeksi eritrosit lain di sekitarnya (Gardiner et al. 2002). Siklus hidup Babesia sp. dijelaskan melalui Gambar 1.

Gambar 1 Siklus hidup Babesia sp. (Gardiner et al. 2002)

Patogenesis

Babesiosis ditularkan melalui gigitan vektor, salah satunya yaitu

Rhipicephalus sanguineus. Sporozoit akan ditemukan dalam sirkulasi darah pada

inang (anjing) setelah terinfeksi selama 2 sampai 3 hari (Igarashi et al. 1988).

Infeksi oleh Babesia sp. dimulai ketika inang tergigit caplak yang

mengandung sporozoit Babesia sp. di dalam kelenjar ludahnya. Sporozoit yang

memasuki inang mengalami siklus pre-eritrositik, mengikuti aliran limfe dan membentuk tropozoit (Gardiner et al. 2002). Tiga sampai empat hari kemudian

terbentuk badan berinti banyak (skizont) yang berisi merozoit. Semakin banyak

(26)

Gambar 2 Proses destruksi eritrosit a) infeksi Babesia sp. dalam eritrosit; b)

Penetrasi merozoit Babesia sp. ke dalam eritrosit mengaktifkan

komplemen (C3b) (Kaneko et al. 1997); c) hemolisis intravaskular

dan ekstravaskular akibat destruksi eritrosit oleh Babesia sp. yang diperantarai sistem imun (Stockham dan Scott 2002)

a b

(27)

Di dalam tubuh inang, organisme menempel pada membran eritrosit dan ditelan melalui proses endositosis. Mekanisme masuknya merozoit melalui proses endositosis, yang terdiri dari tiga tahap: 1) usaha untuk tidak dikenali inang dan penempelan ke membran eritrosit; 2) invaginasi eritrosit mengelilingi merozoit untuk membentuk parasitophorus vacuole; dan 3) membran eritrosit menutup

setelah invasi merozoit selesai (Igarashi et al. 1988). Tahap selanjutnya, membran

luar (berasal dari parasitophorus vacuole eritrosit inang) segera terlepas, sehingga

parasit dapat berkontak langsung dengan sitoplasma eritrosit. Merozoit yang menginfeksi eritrosit berubah menjadi tropozoit muda dan jika telah matang berubah lagi menjadi skizont yang dapat pecah kembali dan melepaskan merozoit

lain yang akan menginfeksi eritrosit lain disekitarnya (Gardiner et al. 2002). Penetrasi merozoit ke dalam eritrosit terjadi melalui mekanisme: 1) kontak merozoit menyebabkan membran plasma teraktivasi sehingga jalur komplemen juga teraktivasi dan merozoit memperoleh komplemendi permukaan eritrosit dan melalui reseptor komplemen pada sitoplasma terbentuk ikatan yang kuat; dan 2) merozoit memiliki reseptor C3b sehingga dapat mengikat C3b yang terdapat pada permukaan membran eritrosit (Igarashi et al. 1988).

Eritrosit yang terinfeksi merozoit (Gambar 2a), berikatan dengan komplemen yang melapisi eritrosit (Gambar 2b). Kerusakan membran eritrosit diduga diakibatkan oleh lisis osmotik dalam sirkulasi (hemolitik intravaskular) (Gambar 2c). Eritrosit yang dilapisi oleh komplemen diekspresikan melalui proses fagositosis oleh sel makrofag (Gambar 2c) menghasilkan kerusakan eritrosit, yang akan dibuang dalam ruang ekstravaskular pada limpa dan hati (hemolisis ekstravaskular) (Weiss dan Wardrop 2010).

Pembelahan terus-menerus merozoit yang tidak terbendung mengakibatkan eritrosit-eritrosit lain di sekitar eritrosit berparasit juga ikut terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi oleh parasit ini mengalami destruksi (Gardiner

et al. 2002). Daya hidup eritrosit normal pada anjing adalah 100 hari, namun

dengan adanya infeksi ini menyebabkan pemendekan umur eritrosit sampai kurang dari setengahnya (Weiss dan Wardrop 2010), sehingga banyak eritrosit akibat infeksi parasit ini didestruksi lebih cepat dari umurnya.

Parasitemia adalah suatu keadaan dimana parasit ditemukan dalam sirkulasi darah. Parasitemia dikaitkan dengan siklus hidup Babesia sp. dan

terdeteksi di dalam sirkulasi selama periode prepaten. Periode prepaten adalah periode perkembangan sporozoit menjadi tropozoit dan periode ketika merozoit menginfeksi eritrosit. Periode ini membutuhkan waktu selama 1 – 2 minggu (Urquhart et al. 2003).

Parasitemia yang disebabkan oleh B. canis dapat berlangsung selama 3-4

hari, diikuti periode hilangnya parasit dari peredaran darah perifer selama kurang lebih 10 – 14 hari. Selanjutnya, periode inkubasi dan perkembangan merozoit terjadi antara 2 – 12 minggu (Quin et al. 2008). Biasanya persentase parasitemia

mencapai 1.5 % atau lebih pada stadium perkembangan. Tingkat parasitemia tersebut telah mampu memunculkan gejala klinis. Gejala klinis yang muncul berupa demam, kepucatan membran mukosa, pembesaran limpa dan hati, takhikardia serta urin menjadi lebih gelap. Parasitemia mencapai puncak (>1.5 % - >5 %) pada 4 sampai 6 minggu setelah infeksi (Boozer dan Macintire 2005).

(28)

menimbulkan gejala klinis, maka bisa dipastikan hewan menjadi carrier (Kocan et al. 2010). Setelah 2 minggu pasca infeksi akan terjadi parasitemia kedua, dengan

jumlah parasit lebih banyak di dalam eritrosit, sebagai hasil perbanyakan secara pembelahan (Subronto 2005). Parasitemia dapat terjadi berulang-ulang ketika inang berada dalam kondisi dengan kekebalan tubuh yang menurun. Sistem kekebalan tubuh yang ada, tidak benar-benar menghilangkan infeksi, dan hewan akan menjadi carrier kronis (Boozer dan Macintire 2005).

Anemia hemolitik dan trombositopenia merupakan gambaran utama babesiosis pada anjing. Anemia disebabkan oleh ekstra dan intravaskular hemolisis. Destruksi eritrosit akibat immune mediated hemolytic anemia (IMHA)

terjadi karena adanya antigen Babesia sp. pada permukaan eritrosit. Hal ini menyebabkan kerusakan eritrosit, baik intravaskular maupun ekstravaskular (Gambar 2c). Destruksi eritrosit tersebut akan memunculkan gejala hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (ikterus/jaundice) (Boozer dan Macintire 2005).

Gejala Klinis

Gejala klinis muncul setelah periode inkubasi, dimana derajat parasitemia mencapai > 1.5 %, dan diperkirakan terjadi dalam waktu 4 – 6 minggu pasca infeksi. Gejala klinis pada infeksi perakut ditandai dengan kegagalan respirasi (dyspnoe) hingga kematian secara tiba-tiba. Secara umum, gejala klinis pada

infeksi akut yang muncul pada anjing penderita babesiosis berupa demam, membran mukosa anemis sampai ikterus, hati dan limpa membesar, berat badan menurun, gangguan saluran cerna (muntah dan diare berdarah), gangguan saluran pernafasan, takikardia dan urin berwarna lebih gelap (Lubis 2006). Gejala klinis pada infeksi kronis sering tidak tampak, namun terkadang ditemukan membran mukosa anemis, demam intermiten dan penurunan berat badan (Tilley dan Smith 2011).

Babesia gibsoni dapat menyebabkan infeksi yang bersifat hiperakut, akut, dan kronis. Infeksi hiperakut yang langka terutama terjadi pada anak anjing yang baru lahir dan mengakibatkan kematian dengan cepat. Infeksi tersebut diduga diperoleh dari induknya. Infeksi Babesia gibsoni akut biasanya memunculkan

gejala demam, kelesuan, trombositopenia, dan anemia, sedangkan infeksi babesia kronis bisa sama sekali tanpa gejala atau bisa juga disertai dengan demam intermiten, lesu, dan penurunan berat badan (Boozer dan Macintire 2005).

Diagnosis

Diagnosis pada kasus infeksi B. canis akut didasarkan pada gejala klinis yang muncul dan ditemukannya parasit Babesia sp di dalam eritrosit melalui

pemeriksaan ulas darah. Pada pemeriksaan ulas darah, Babesia besar (Babesia canis) tampak terlihat seperti buah pear, sedangkan Babesia kecil (Babesia gibsoni) tampak sebagai inti kecil bersitoplasma (Boozer dan Macintire 2005)

(Gambar 3).

(29)

(Immunoflourescent Antibody Test), IFT (Indirect Fluorescent Test), ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), dan PCR (Polymerase Chain Reaction)

(Iqbal et al. 2011; Boozer dan Macintire 2005).

a b

Gambar 3 Babesia canis (a) dan Babesia gibsoni (b) di dalam eritrosit anjing

(Boozer dan Macintire 2005)

Gambaran Hematologi dan Kimia Klinik Babesiosis pada Anjing

Anemia dan trombositopenia merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada anjing dengan infeksi babesiosis tunggal. Gejala klinis yang muncul pada penderita babesiosis merupakan manifestasi klinis dari adanya anemia (Iqbal et al. 2011).

Destruksi eritrosit akibat infeksi Babesia sp. secara besar-besaran akan menyebabkan terjadinya anemia. Sumsum tulang meresponnya dengan cara meningkatkan produksi eritrosit muda (retikulosit) yang akan dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah retikulosit yang sangat tinggi di dalam sirkulasi darah (retikulositosis) bisa mengindikasikan adanya proses hemolisis. Penghitungan jumlah retikulosit dalam sirkulasi merupakan kunci diagnosis adanya anemia hemolitik. Destruksi eritrosit pada anemia hemolitik umumnya terjadi di dalam limpa sehingga organ ini akan mengalami pembesaran. Rata-rata masa hidup eritrosit pada kejadian ini sangat pendek, berkisar antara 10-20 hari (Sibuea et al.

2009), dimana masa hidup eritrosit pada anjing dalam keadaan normal berkisar antara 100 – 110 hari (Weiss dan Wardrop 2010; Colville dan Bassert 2002).

Destruksi eritrosit menyebabkan terjadinya pemecahan eritrosit besar-besaran sehingga di dalam hati terbentuk bilirubin yang berlebihan. Kemampuan hati dalam mengkonjugasi bilirubin terbatas, menyebabkan kadar bilirubin

unconjugated di dalam darah akan meningkat sehingga penderita terlihat

kekuningan (ikterus/jaundice) yang disebut sebagai ikterus prehepatik.

Pemecahan eritrosit berlebihan akan berdampak pada menurunnya ikatan hemoglobin–oksigen (HbO2). Ikatan ini yang membawa oksigen beredar dalam

(30)

Manifestasi klinis yang terlihat adalah adanya takhikardia akibat hipoksemia dan hipoksia (Price dan Wilson 2006).

Pengobatan dan Pencegahan

Tujuan utama pengobatan pada kasus babesiosis adalah untuk menekan perkembangan parasitemia dan mengembangkan keadaan premunisi. Imidocarb dipropionat adalah obat yang direkomendasikan oleh FDA (Food and Drug Association) untuk pengobatan babesiosis pada anjing. Dosis yang disarankan

adalah 6,6 mg/kg, diberikan secara intramuskular, dengan dosis yang diulang dalam dua minggu berikutnya (Tilley dan Smith 2011).

Efek samping yang paling sering dilaporkan muncul setelah pemberian imidocarb adalah sakit di lokasi penyuntikan dan tanda-tanda kolinergik, seperti hipersalivasi, defekasi, dan panting. Pemberian atropin dosis 0,022 mg/kg secara subkutan, 15 sampai 30 menit sebelum pemberian imidocarb dapat mengurangi tanda-tanda kolinergik (Tilley dan Smith 2011). Imidocarb efektif digunakan untuk semua subspesies Babesia canis. Meskipun tidak dapat

mengeliminasi/menghilangkan seluruh parasit dalam darah, imidocarb dapat menurunkan mortalitas pada infeksi Babesia gibsoni (Iqbal et al. 2011).

Obat-obatan lain yang bisa diberikan adalah kombinasi atovakuon (Mepron Glaxo Smith Kline) dengan dosis 13.5 mg/kg BB secara oral, azitromisin 10 mg/kgBB secara oral sekali/hari selama 10 hari. Studi terbaru menunjukkan bahwa pemberian klindamisin 10 mg/kg BB secara oral selama 14 hari efektif untuk terapi babesiosis pada anjing tanpa efek samping. Pemberian terapi suportif berupa terapi cairan dan/atau tranfusi darah tergantung pada kondisi dan derajat anemia anjing (Iqbal et al. 2011).

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah kontrol terhadap caplak sebagai vektor penyakit. Tindakan pencegahan ini termasuk kontrol caplak (sanitasi lingkungan dan hewan menggunakan Butox®), screening induk, screening donor

darah, serta mencegah perkelahian antar anjing untuk mempersempit penularan infeksi antar anjing (Iqbal et al. 2011).

Haemobartonellosis pada Anjing

Infeksi oleh Haemobartonella sp. disebabkan oleh Mycoplasma haemocanis, yang sebelumnya dikenal sebagai Haemobartonella canis.

Mycoplasma haemocanis merupakan mikroorganisme yang masuk ke dalam

kelompok riketsia. Mycoplasma haemocanis disebut juga sebagai "Hemotropic mycoplasma”. Mikroorganisme ini mampu bertahan hidup tanpa oksigen, dan tidak memiliki dinding sel sejati, sehingga membuat mereka tahan terhadap antibiotik (Subronto 2006). Mycoplasma merupakan gram negatif dan tahan asam

serta bereproduksi melalui pembelahan biner (Aielo 2002). Siklus hidup

Haemobartonella sp. sampai saat ini belum banyak dilaporkan. Laporan yang ada

terbatas pada informasi bahwa riketsia mampu hidup dalam berbagai stadia caplak dan sewaktu-waktu dapat dipindahkan ke hewan lain (Subronto 2006).

(31)

dan gangguan sirkulasi (takhikardia dan kerapuhan kapiler) (Gretillat 2008). Anjing penderita haemobartonellosis akut biasanya akan menunjukkan tanda-tanda depresi, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, dan demam. Kematian dapat terjadi pada kasus yang parah, (Nash 2012).

Patogenesis

Patogenesis haemobartonellosis belum banyak dilaporkan. Menurut Weiss dan Wardrop (2010) serta Stockham dan Scott (2002), proses infeksi

Haemobartonella sp. terkait dengan mediator imun. Babesiosis dan

haemobartonellosis memiliki kesamaan dalam mengaktifkan sistem komplemen (Weiss dan Wardrop 2010; Stockham dan Scott 2002).

Diagnosis

Diagnosis didasarkan pada ditemukannya Hemobartonella canis pada

preparat ulas darah (Gambar 4). Bila dilihat secara mikroskopis, Mycoplasma haemocanis tampak dalam bentuk rantai atau bisa berupa organisme individu

yang menembus permukaan eritrosit (Gambar 4). Polymerase Chain Reaction/PCR merupakan tes yang sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis

anjing yang terinfeksi Hemobartonella canis (Kumarl et al. 2011).

Gambar 4 Haemobartonella canis pada eritrosit anjing

(Boozer dan Macintire 2005)

(32)

Terapi

Tujuan utama pengobatan haemobartonellosis adalah untuk menekan perkembangan Haemobartonella sp. Terapi untuk Mycoplasma haemocanis

adalah tetrasiklin yang diberikan secara oral (dosis 20-22 mg/kgBB, tiga kali sehari selama 21 hari) atau kloramfenikol (diberikan secara intravena dengan dosis 20-22 mg/kgBB, dua atau tiga kali sehari selama 9 sampai 21 hari). Karena terapi antibiotik tidak sepenuhnya menghilangkan M. haemocanis, tanda-tanda

klinis dapat muncul kembali jika penyakit imunosupresif yang mendasarinya berkembang. Pemberian glukokortikoid secara oral (dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari, diberikan secara bertahap) efektif jika infeksi Mycoplasma haemocanis

berhubungan dengan anemia hemolisis yang diperantarai kekebalan (Immune Mediated Hemolytic Anaemia/IMHA). Terapi suportif berupa terapi cairan dan

tranfusi darah diberikan ketika hewan menderita anemia berat (Kumarl et al.

(33)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Direktorat Polisi Satwa Polri Kelapa Dua Depok, Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit BRIMOB Kelapa Dua Depok dan di Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama bulan Mei-Oktober 2012.

Alat dan Bahan

Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah 28 ekor anjing (umur 2-8 tahun, tanpa membedakan jenis kelamin) yang positif terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.,. Anjing dibagi ke dalam lima

kelompok berdasarkan ras, terdiri dari ras Belgian Malinois/BM (4 ekor), Golden Retriever/GR (3 ekor), Labrador Retriever/LR (6 ekor), German Shepherd/GS (6 ekor) dan Rottweiler/RW (9 ekor).

Alat yang dipergunakan adalah cell counter blood analyzer Hemavet®,

instrumen Dialab Photometer DTN-410®, Abbott i-STAT®, tabung vacuum Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA), mikroskop, hand refraktrometer,

kertas saring, alat penghitung, tabung mikrohematokrit, pipet tetes, gelas obyek dan syringe 3 ml.

Reagen yang dipergunakan adalah kit untuk ureum, kreatinin, total protein,

Aspartate transaminase (AST), Alanine transaminase (ALT), bilirubin total,

bilirubin direct/conjugated; kit Hemavet®; dan CG8+ Cartridge®. Bahan lainnya

yaitu metanol, larutan Giemsa 10 % dan alkohol 70 %.

Metodologi

Metode

1. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan metode Widodo et al. (2011)

untuk mengidentifikasi temuan klinis. 2. Pengambilan Sampel Darah

Sampel darah diambil dari vena cephalica antibrachii sebanyak 2 ml menggunakan syringe 3 ml. Sebanyak 0.5 ml ditempatkan pada CG8+ cartridge®

dan sebanyak 1,5 ml pada tabung vacuum EDTA. Sampel darah dalam tabung vacuum EDTA diperlukan untuk pemeriksaan hematologi lengkap dan kimia darah, sedangkan sampel darah dalam cartridge digunakan untuk analisis gas

(34)

3. Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan hematologi lengkap dilakukan menggunakan cell counter - blood analyzer Hemavet®, meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin,

nilai hematokrit, indeks eritrosit, jumlah leukosit total, neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, monosit dan jumlah trombosit.

4. Penghitungan Persentase Eritrosit Berparasit

Pembuatan preparat ulas darah untuk penghitungan persentase eritrosit berparasit dilakukan dengan cara sampel darah segar diteteskan pada satu sisi gelas obyek. Salah satu sisi gelas obyek lain ditempatkan pada ujung gelas obyek pertama dengan membentuk sudut 30o - 45o. Gelas obyek kedua ditarik sampai menyentuh tetes darah dan dibiarkan menyebar sepanjang tepi gelas obyek kedua. Gelas obyek kedua didorong ke sepanjang permukaan gelas obyek pertama sehingga terbentuk ulas darah tipis dan merata.

Preparat ulas yang telah kering difiksasi ke dalam metanol selama 5 menit. Kemudian preparat diangkat dan dikeringkan di udara. Setelah kering, dilakukan pewarnaan menggunakan larutan Giemsa 10 % selama 45-60 menit. Kemudian preparat ulas yang telah diwarnai dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan di udara.

Preparat ulas darah dibaca di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali untuk pengamatan terhadap adanya Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

serta penentuan derajat infeksi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.. Persentase

eritrosit berparasit (parasitemia) dihitung berdasarkan rumus Sunaga et al. (2002)

sebagai berikut:

% Eritrosit berparasit (parasitemia) = Jumlah total eritrosit berparasit X 100 % (1000 eritrosit)

Menurut Ndungu et al. (2005), derajat infeksi dikategorikan berdasarkan

persentase eritrosit berparasit yang didapatkan. Kategori derajat infeksi ditentukan sebagai berikut:

____________________________________________ Persentase eritrosit berparasit Derajat infeksi ____________________________________________

< 1 % ringan

1 – 5 % sedang

> 5 % berat

_____________________________________________ 5. Pemeriksaan Kimia Darah

Pemeriksaan kimia darah yang meliputi aktivitas ALT dan AST, konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugate dan unconjugate, ureum dan

kreatinin dilakukan menggunakan instrumen Dialab Photometer DTN-410®, sedangkan konsentrasi total protein dianalisis menggunakan hand refraktrometer.

Analisis gas darah dilakukan dengan menggunakan Abbot i-STAT® dan kit CG8+ Cartridge yang meliputi pemeriksaan pH, tekanan karbondioksida (PCO2),

konsentrasi HCO3-, tekanan oksigen (PO2), saturasi oksigen (sO2), konsentrasi

(35)

Desain Penelitian

Desain penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 5. (Screening preparat ulas darah)

Identifikasi Agen Penyakit Hasil positif

(Kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp)

Anjing dikelompokkan berdasarkan ras Signalemen Anamnesis

Hematologi Pemeriksaan Fisik Kimia darah (Temuan Klinis)

Paremeter eritrosit AST

Eritrosit ALT

Hemoglobin Bilirubin total

Hematokrit Bilirubin conjugate

Indeks Eritrosit Bilirubin unconjugate

Parameter leukosit Ureum

Leukosit Kreatinin

Hitung jenis Total protein

Neutrofil segmen Gas darah

Nutrofil batang PO2

Eosinofil sO2

Basofil pH

Limfosit pCO2

Monosit HCO3-

Trombosit Elektrolit

Natrium Kalium

Prosedur Analisis Data

Data yang bersifat kualitatif disajikan secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif diuji secara statistik menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan analysis of variance (ANOVA). Data dinalisis menggunakan software

[image:35.595.93.511.83.753.2]

SPSS 17.0 for windows dan MS Office Excell 2007.

(36)
(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

Identifikasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. dilakukan melalui

pembuatan preparat ulas darah dengan menggunakan pewarnaan Giemsa. Diagnosis ditetapkan dengan ditemukannya “parasit” pada pemeriksaan ulas darah. Spesies Babesia sp. yang sering ditemukan menginfeksi anjing adalah

Babesia canis dan Babesia gibsoni. Keduanya merupakan protozoa yang hidup

intraeritrosit (intrasitoplasmik) (Stockham dan Scott 2002), sedangkan

Haemobartonella sp. (pada anjing yaitu Haemobartonella canis) hidup epieritrositik (Weiss dan Wardrop 2010).

Parasit Babesia sp. yang ditemukan berupa merozoit di dalam sitoplasma,

sedangkan Haemobartonella sp. berupa rantai (kelompok) dan organisme individu

pada permukaan eritrosit. Merozoit aktif membelah yang ditemukan pada

preparat ulas darah merupakan bentuk aktif Babesia sp., sedangkan bentuk tidak

aktif ditandai dengan sitoplasma maupun inti yang menghilang (Wulansari 2002).

[image:37.595.109.513.276.784.2]

Gambar 6 Identifikasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. serta morfologi

(38)

Hasil pengamatan pada preparat ulas darah yang disajikan pada Gambar 6 menunjukkan bahwa selain ditemukannya Babesia sp. dan Haemobartonella sp.,

ditemukan pula bentuk sferosit (Spherocyte) pada preparat ulas. Sferosit

merupakan salah satu bentuk eritrosit yang abnormal, yang bisa ditemukan pada anemia hemolitik yang diperntarai kekebalan. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), adanya sferosit mengindikasikan adanya anemia hemolitik yang diperantarai sistem imun (Immune Mediated Hemolytic Anaemia/IMHA).

Persentase Eritrosit Berparasit

Tabel 1 dan Gambar 7 memperlihatkan persentase eritrosit ber”parasit” pada semua kelompok ras anjing yag terinfeksi Babesia sp dan Haemobartonella sp. kronis. Hasil pengamatan memperlihatkan persentase eritrosit berparasit pada masing-masing ras anjing yang terinfeksi Babesia sp. berkisar antara 0.24 – 1.36

% (Belgian Malinois), 0.25–0.95 % (Golden Retriever), 0.19–0.77 % (Labrador Retriever), 0.21–0.39 % (German Shepherd) dan 0.11–0.47 % (Rottweiler).

Persentase eritrosit terinfeksi Babesia sp. paling tinggi dijumpai pada anjing

dengan ras Belgian Malinois, diikuti berturut-turut oleh anjing ras Golden Retriever, Labrador Retriever, German Shepherd, dan Rottweiler.

Persentase eritrosit terinfeksi Haemobartonella sp. berturut-turut berkisar antara 0-2.0% (Belgian Malinois), 0.3-0.7 % (Golden Retriever), 0.35-0.85 %

(Labrador Retriever), 0.2-0.8 % (German Shepherd) dan 0.23-0.65 %

(Rottweiler). Persentase eritrosit terinfeksi Haemobartonella sp. paling tinggi dijumpai pada kelompok anjing dengan ras Belgian Malinois, diikuti

berturut-turut oleh kelompok anjing ras Labrador Retriever, German Shepherd, dan Rottweiler (Tabel 1). Tidak ada perbedaan yang nyata pada persentase eritrosit berparasit Babesia sp. dan Haemobartonella sp. Diantara kelima kelompok ras

anjing tersebut (P>0.05), kecuali persentase eritrosit terinfeksi Haemobartonella sp. antara kelompok anjing ras Belgian Malinois dan Rottweiler (P<0.05).

Tabel 1 Persentase eritrosit berparasit pada kelima kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis

Infeksi (%) Ras Anjing

BM GR LR GS RW

Babesia sp. 0.8±0.56 ab 0.6±0.35a 0.48±0.29 ab 0.3±0.09 a 0.29±0.18 a

Haemobartonella sp. 1.0±1.0b 0.5±0.2ab 0.60±0.25ab 0.5±0.3ab 0.44±0.21a

BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd,

RW: Rottweiler; a, b, ab Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan

perbedaan yang nyata (p < 0.05)

Persentase eritrosit ber”parasit” Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

(39)

Destruksi eritrosit pada babesiosis terjadi karena parasit memperbanyak diri (multiplication) di dalam eritrosit tersebut. Namun demikian, banyaknya

[image:39.595.107.510.189.763.2]

eritrosit yang lisis belum tentu proporsional dengan tingkat parasitemia yang terjadi. Tingkat keparahan anemia yang ditimbulkan pada babesiosis tidak selalu sebanding dengan derajat parasitemia (Solihah 2013).

Tabel 1 menunjukkan rata-rata persentase eritrosit berparasit Babesia sp.

dan Haemobartonella sp. ≤ 1 % pada semua kelompok ras anjing dalam penelitian

ini. Tingkat parasitemia pada penelitian ini termasuk rendah. Tingkat parasitemia yang besarnya ≤ 1 % menunjukkan bahwa kelima kelompok ras anjing pada penelitian ini mengalami infeksi dalam tingkat ringan. Menurut Ndungu et al.

(2005), tingkat parasitemia atau derajat infeksi dikategorikan berdasarkan persentase eritrosit berparasit yang didapatkan, yaitu derajat infeksi ringan (persentase parasitemia <1%), derajat infeksi sedang (persentase parasitemia 1-5%), dan derajat infeksi berat (persentase parasitemia > 5%).

Gambar 7 Persentase eritrosit berparasit (%) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.

kronis

B: infeksi Babesia sp.; H: infeksi Haemobartonella sp.

Ras: BM: Belgian Malinois; GR: Golden Retriever; LR: Labrador Retriever; GS: German Shepherd; RW: Rottweiler

Tabel 1 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa semua kelompok ras anjing memiliki derajat infeksi terhadap Babesia sp. dan Haemobartonella sp. ≤ 1 %

(derajat infeksi ringan). Derajat infeksi biasanya sangat berkaitan dengan gejala klinis yang muncul. Derajat infeksi Babesia sp. yang sedang sampai tinggi

memiliki pengaruh lebih buruk terhadap gambaran darah dan manifestasi klinis yang dihasilkan sehingga lebih tampak gejalanya (Birkenheuer et al. 2003).

Temuan klinis yang diperoleh pada penelitian ini tidak memperlihatkan adanya gejala babesiosis seperti demam. Gejala kekuningan teramati,

(40)

masing pada satu ekor anjing kelompok ras Belgian Malinois dan German Shepherd. Hal ini diduga karena tingkat parasitemia yang terjadi rendah yaitu ≤

1%, dan infeksinya yang bersifat kronis.

Babesia sp. (intraeritrositik) dan Haemobartonella sp. (epieritrositik) merupakan “parasit” yang memiliki kemampuan memunculkan gejala klinis sangat beragam. Infeksi pada hewan diduga carrier (pembawa), meskipun

diberikan terapi antibiotik, parasitemia dapat berulang pada saat hewan mengalami stres atau penurunan daya tahan tubuh (Weiss dan Wardrop 2010).

Organisme Babesia sp. dapat menyebabkan anemia hemolitik akut pada

anjing yang mengalami imunosupresi, splenektomi atau bersamaan dengan infeksi yang lain (infeksi kombinasi). Pada hewan sehat yang terinfeksi kombinasi

Babesia sp. dan Haemobartonella sp., infeksi akan berkembang menjadi tipe

kronis, dimana infeksinya asimptomatik dan sporadik disertai dengan derajat parasitemia yang rendah (Weiss dan Wardrop 2010). Infeksi Babesia sp. yang bersifat kronis akan menyebabkan hewan dalam kondisi premunisi, yaitu keseimbangan yang terjadi antara respon imun hewan yang terinfeksi dengan kemampuan parasit untuk memunculkan gejala klinis (Mandell et al. 2010;

Wulansari 2002). Keadaan premunisi terjadi saat respon imun mampu menekan pertumbuhan parasit, mencegah hiperparasitemia, menurunkan kepadatan parasit, dan menekan patogenitas parasit sehingga tidak sampai menimbulkan gejala (asimptomatis) (MacDonald 2001; Kurtzhals et al. 1998).

Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat parasitemia diantaranya adalah faktor patogenitas spesies agen penyebab, splenektomi dan terdapatnya kombinasi infeksi dengan agen patogen yang lain. Infeksi tunggal oleh Babesia sp. kronis memiliki derajat infeksi ringan. Namun demikian, jika terdapat kombinasi dengan infeksi parasit darah lainnya akan menambah keparahan infeksi, karena tubuh mengalami infeksi ganda (Weiss dan Wrdrop 2010). Jika infeksi Babesia sp.

terjadi bersamaan dengan parasit yang lain dan terjadi saling mempengaruhi antar parasit, tingkat parasitemia yang ringan dapat memicu timbulnya gejala klinis (Birkenheuer et al. 2003).

Keadaan Umum dan Temuan Klinis

Bobot badan semua kelompok ras anjing yang secara alami terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis dapat dilihat pada Tabel

2. Kelompok anjing ras Belgian Malinois memiliki bobot badan berkisar antara 22.69 – 26.81 kg, masih dalam kisaran nilai normal (23.2 – 27.1 kg) menurut Morgan (2008). Kelompok anjing ras Golden Retriever memiliki bobot badan

(18.21 – 38.45 kg) dibawah kisaran nilai normal menurut Grandjean (2006) yaitu 30.4 – 33.7 kg. Bobot badan kelompok anjing ras Labrador Retriever, German Shepherd dan Rottweiler berturut-turut berkisar antara 27.01 – 32.33 kg (normal

30.7 – 35.5 kg); 22.4 – 28.94 kg (normal 28.4 – 35.9 kg); dan 27.76 - 40.24 kg (normal 39.7 – 46.8 kg).

Penurunan bobot badan pada hampir semua kelompok ras anjing diduga diakibatkan oleh anemia akibat infeksi oleh Babesia sp. dan Haemobartonella sp,

(41)

beserta oksigen diedarkan ke seluruh tubuh melalui darah. Kekurangan darah mengakibatkan transport terhambat sampai ke jaringan (Price dan Wilson 2006).

Tabel 2 memperlihatkan temperatur tubuh, frekuensi nafas, dan frekuensi denyut jantung pada kelima kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi

Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis. Secara umum, temperatur tubuh

semua kelompok ras anjing masih dalam kisaran nilai normal menurut Morgan (2008) dan tidak ada perbedaan temperatur tubuh yang nyata antar kelompok ras anjing (P>0.05).

Tabel 2. Hasil pemeriksaan keadaan umum semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis

Keadaan

Umum

Nilai

Normal*

Kelompok Ras Anjing

BM GR LR GS RW

BB (kg) 24.75±2.06 28.33±10.12 29.67±2.66 25.67±3.27 34.00±6.24

** 23.2 – 27.1 30.4 – 33.7 30.7 – 35.5 28.4 – 35.9 39.7 – 46.8

T (oC) 38 – 39.2 38.85±0.82a 38.93±0.31a 38.57±0.73a 38.57±0.55a 38.86±0.56a

RR (x/menit) 16 – 20 18.00±5.16a 20.00±4.00a 25.33±16.91a 33.33±10.63a 24.00±15.49a

HR (x/menit) 70 – 160 79.00±59.45a 57.33±26.63a 76.67±47.69a 115.33±55.51a 94.67±57.55a

BB: bobot badan, T: temperatur, RR: frekuensi nafas, HR: frekuensi denyut jantung; BM: Belgian Malinois, GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW:

Rottweiler; *Morgan (2008); **Nilai normal bobot badan (kg) masing-masing ras anjing

Frekuensi nafas kelompok anjing ras Belgian Malinois (13 - 23 kali/menit)

dan Golden Retriever (16 - 24 kali/menit) yang secara alami terinfeksi kombinasi Haemobartonella sp. dengan Babesia sp. memiliki kisaran nilai normal menurut

Morgan (2008) yaitu 16 – 20 kali/menit. Kelompok anjing ras Labrador Retriever, German Shepherd dan Rottweiler berturut-turut memiliki frekuensi nafas antara 8 – 42 kali/menit; 23 – 44 kali/menit; dan 9 - 33 kali/menit). Ketiga kelompok ras anjing ini memiliki frekuensi nafas yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan nilai normal. Tidak ada perbedaan frekuensi nafas antar kelompok ras anjing (P>0.05).

Secara umum, frekuensi denyut jantung pada semua kelompok ras anjing masih berada dalam kisaran normal (Tabel 2), kecuali pada kelompok anjing ras

Golden Retriever (kisaran antara 31 – 84 kali/menit) yang memiliki frekuensi

denyut jantung cenderung lebih rendah dari nilai normal. Tidak ada perbedaan pada frekuensi denyut jantung diantara kelima kelompok ras anjing tersebut (P>0.05).

Temuan Klinis

(42)

adalah ptechie (kelompok anjing ras Belgian Malinois dan Rottweiler); batuk (kelompok anjing ras Golden Retriever); dyspnoe, hepatomegali dan epistaksis

(kelompok anjing ras Belgian Malinois, German Shepherd dan Rottweiler),

aritmia bradikardia (semua kelompok ras anjing), takhikardia (semua kelompok ras anjing kecuali kelompok anjing ras Golden Retriever); kesakitan pada saat

palpasi ginjal (kelompok anjing ras Golden Retriever); dan vomitus (kelompok

[image:42.595.67.485.169.825.2]

anjing ras Belgian Malinois, Labrador Retriever dan Rottweiler).

Tabel 3. Temuan klinis yang ditemukan selama pemeriksaan fisik dan observasi pada kelima kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp.

dan Haemobartonella sp. kronis

Temuan Klinis % nTotal (n: 28)

BM GR LR GS RW

Membran mukosa

Anemis 10.71 10.71 21.43 7.14 7.14 Membran mukosa

Ikterus 3.57 0 0 3.57 0

Konjungtiva

hiperemi 3.57 3.57 3.57 7.14 10.71

Ptechie 7.14 0 0 0 10.71

Aritmia 3.57 3.57 10.71 10.71 10.71 Bradikardia 7.14 7.14 10.71 3.57 10.71 Takhikardia 3.57 0 7.14 10.71 10.71 Splenomegali 7.14 7.14 7.14 7.14 7.14

Hepatomegali 3.57 0 0 3.57 7.14

Ginjal: sakit 0 3.57 0 0 0

Epistaxis (O) 0 3.57 0 7.14 7.14

Batuk 0 3.57 0 0 0

Dispnoe 3.57 0 0 3.57 14.29

Ektoparasit 10.71 10.71 21.43 21.43 21.43

Vomitus (O) 0 7.14 3.57 0 10.71

Diare berdarah (O) 7.14 7.14 7.14 21.43 21.43 Data ditampilkan secara kulaitatif dalam bentuk persentase; O: observasi; BM: Belgian Malinois,

GR: Golden Retriever, LR: Labrador Retriever, GS: German Shepherd, RW: Rottweiler

Temuan klinis yang muncul merupakan manifestasi klinis dari anemia dan trombositopenia yang berdampak pada organ lain (Tabel 3). Penelitian Cardoso et al. (2010) menunjukkan bahwa gejala klinis yang muncul pada infeksi Babesia sp.

kombinasi dengan infeksi oleh Anaplasma, Leishmania, Erlichia, dan Hepatozoon, berupa letargi, urin kemerahan, hipertermia, anoreksia, membran

mukosa anemis, hipotermia, ikterus, muntah, kesakitan abdominal, ataksia,

discharge uterus, batuk, ptechi pada gusi, dan discharge mata.

Hasil penelitian Simões et al. (2011) menunjukkan bahwa babesiosis pada anjing dapat bersifat subklinis sampai fatal tergantung patogenitas spesies agen dan juga kepekaan individu inang yang dipengaruhi oleh umur, status imun dan infeksi. Manifestasi klinis babesiosis berupa letargi, anoreksia, selaput lendir anemis, hipertermia, hemoglobinuria dan splenomegali. Temuan klini berupa

(43)

babesiosis (Yadav et al. 2011). Manifestasi klinis trombositopenia dapat berupa

echymosis, ptechie, epistaksis, pendarahan saluran cerna (feses diare-berdarah),

perdarahan saluran kemih dan kelamin serta pendarahan sistem saraf pusat (Price dan Wilson 2006).

Parameter Hematologi

Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit, indeks eritrosit, jumlah trombosit, jumlah leukosit total, jumlah neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.kronis disajikan pada Tabel 3 dan

Gambar 8-18. Hampir semua kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi

Babesia sp. dan Haemobartonella sp. memperlihatkan jumlah eritrosit (Gambar 8) yang cenderung dibawah nilai normal menurut Morgan (2008). Jumlah eritrosit terendah ditemukan pada kelompok anjing ras Belgian Malinois (berkisar antara

1.87 – 5.63 x 106/µL), diikuti berturut-turut oleh kelompok anjing ras Labrador Retriever (berkisar antara 3.5

Gambar

Gambar 5 Desain Penelitian
Gambar 6 Identifikasi
Tabel 1 menunjukkan rata-rata persentase eritrosit berparasit Babesia sp.dan (2005), tingkat parasitemia atau derajat infeksi dikategorikan berdasarkan (persentase parasitemia <1%), derajat infeksi sedang (persentase parasitemia 1-yang besarnya ini
Tabel 3. Temuan klinis yang ditemukan selama pemeriksaan fisik dan observasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Busur api merupakan fenomena percikan api yang timbul akibat adanya arus gangguan hubung singkat, oleh sebab itu dengan adanya analisa terhadap busur api ini nantinya

Hasil wawancara dan observasi yang dilakukan restoran yang menyimpan bahan makanan dalam kulkas sudah sesuai dengan pesyaratan jenis makanan, Menyimpan bahan makanan

internal. pengembangan kawasan pola integrasi ternak ruminansia dengan tanaman jagung, karena umumnya jagung masih menjadi bahan makanan pokok penganti beras dan hampir

Penelitian yang akan di lakukan adalah jenis penelitian deskriptif -survei dengan menggunakan pendekatan waktu cross sectional .Variabel yang di teliti pada penelitian

Dikarenakan belum adanya aturan perundangan ( Hukum Positif ) yang mengatur transaksi perdagangan dengan model transaksi elektronik ( Electronic Commerce ) tersebut maka

adalah untuk menurunkan kadar zat-zat pencemar yang terkandung didalam air limbah industri sampai memenuhi persyaratan efluen yang berlaku..

4.1 Hasil Wawancara Peneliti Terhadap Konselor Kelas VIII H Pra Penelitian Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Sosiodrama 106 4.2 Hasil Observasi Peneliti Terhadap

21/1 @ 2009 Hak Cipta IPNT SULIT [Lihat sebelah.. 4) Maklumat berikut berkait dengan Bendahara Tun Abdul Jalil?. · Pada taboo 1699, telah dilantik menjadi sultan Johor dengan