commit to user
PENDIDIKAN KAUM MARGINAL DALAM NOVEL
LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA (KAJIAN STRUKTURALISME GENETIK)
TESIS
Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Mencapai Jenjang S2
Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh:
SUTRI
S 840809032
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
commit to user
commit to user
commit to user PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Sutri
NIM : S840809032
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul DIMENSI PENDIDIKAN
KAUM MARGINAL DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA
HIRATA (KAJIAN STRUKTURALISME GENETIK) adalah betul-betul karya
saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi
dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari
tesis tersebut.
Surakarta, Juli 2011
Yang Membuat Pernyataan,
Sutri
commit to user MOTTO
Satu titik dalam relativitas waktu masa depan itu adalah saat ini.
(Andrea Hirata)
Semangat adalah cikal bakal keberhasilan. Banyak orang kuat gagal karena ragu-
ragu menggunakan kemampuan yang dimiliki. Sebagian besar orang gagal karena
mengabaikan kekuatannya sendiri.
(C. Rajagopalachari)
Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia,
tetapi hanya kamu sendiri yang menangis; dan pada kematianmu semua orang
menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum.
(Mahatma Gandhi)
Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian karena
kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan.
(Sayyid Ahmad Hasyimi)
commit to user PERSEMBAHAN
Dengan segenap kerendahan hati, karya kecil ini penulis
persembahkan kepada:
1. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang tidak pernah berhenti
menyayangi, mendoakan, dan mendukung, semoga berkah Allah
senantiasa menaungi dalam setiap langkah kehidupan.
2. Adik-adikku (Lis dan Ian) yang selalu memberi motivasi untuk
menjadi model bagi kalian.
3. Drs. Adyana Sunanda, terimakasih sudah berbagi ilmu dan buku
referensi serta meluangkan waktu untuk berdiskusi.
4. Taufik Agung Laksono, terimakasih untuk doa dan dukungannya.
Semoga langkah ke depan berjalan mudah dan indah.
5. Sahabat-sahabatku Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Angkatan 2009.
commit to user KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena berkat
dan rabmat-Nya tesis yang berjudul “Dimensi Pendidikan Kaum Marginal dalam
Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata (Kajian Strukturalisme Genetik)”
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan,
dukungan, maupun doa dan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali
ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada
semua pihak yang telah turut membantu hingga terselesainya tesis ini. Penulis
ucapkan kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., selaku Direktur PPs UNS yang telah
memberikan izin penyusunan tesis ini.
3. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia yang memberikan izin dan motivasi dalam penyusunan tesis
ini.
4. Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd., sebagai pembimbing I yang telah membimbing
penulis dalam penyusunan tesis mi dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Di
tengah kesibukannya telah memberikan bimbingan, masukan, dan gagasan demi
sempurnanya tesis ini.
commit to user
5. Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., selaku pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, pengarahan, dan masukan yang berharga kepada penulis
sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
6. Bapak dan Ibu Dosen di Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu yang bermanfaat dan membekali
penulis tentang teori-teori pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia
sehingga wawasan penulis semakin luas.
7. Rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana khususnya Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberikan semangat dan bertukar
pikir sehingga tesis ini dapat diwujudkan.
8. Rekan-rekan dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta terima kasih atas
suguhan wacananya selama ini dan motivasi untuk menyelesaikan tesis ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
hingga diwujudkannya tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dan kesempurnaan.
Maka dan itu, berbagai saran, masukan, dan kritik yang membangun demi
sempurnanya tesis ini sangat penulis harapkan. Semoga berkat dan rahmat Allah
selalu menyertai setiap langkah kita. Amin.
Surakarta, Juli 2011
Penulis
commit to user DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
LEMBAR PERSETUJUAN... .. ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PENYATAAN... . iv
MOTTO... . v
PERSEMBAHAN... . vi
KATA PENGANTAR... . vii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
ABSTRAK... xvi
ABSTRACT ... xvii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
BAB II KERANGKA TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN DAN KERANGKA BERPIKIR... 15
A. Kerangka Teori ... 15
1. Hakikat Pendekatan Strukturalisme Genetik... 15
commit to user
a. Pengertian Pendekatan Strukturalisme Genetik ... 15
b. Struktur Karya Sastra ... 21
1) Tema ... 24
2) Alur ... 25
3) Tokoh ... 25
4) Latar ... 25
c. Fakta Kemanusiaan ... 26
d. Subjek kolektif/ Subjek Transindividual ... 27
e. Pandangan Dunia ... 29
f. Konsep Pemahaman-Penjelasan dan Keseluruhan- Sebagian... 32
2. Novel ... 36
3. Hakikat Pendidikan Kaum Marginal ... 41
a. Pengertian Pendidikan ... 41
b. Pengertian Kaum Marginal... 47
c. Pengertian Pendidikan Kaum Marginal... 47
B. Penelitian yang Relevan ... 55
C. Kerangka Berpikir ... 60
BAB III METODE PENELITIAN... 61
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 61
B. Bentuk/Strategi Penelitian ... 61
C. Data dan Sumber Data ... 62
D. Teknik Pengumpulan Data... 63
commit to user
E. Validitas Data... 63
F. Teknik Analisis Data... 64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68
A. Struktur Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata yang Mencerminkan Problematika Tokoh Akibat Hubungan Antartokoh Maupun Lingkungannya ... 68
B. Kehidupan Sosial Andrea Hirata yang Berhubungan dengan Novel Laskar Pelangi... 108
C. Latar Belakang Sejarah atau Peristiwa Sosial Budaya Masyarakat Indosesia yang melahirkan Laskar Pelangi... 112
1. Latar Belakang Penciptaan... 120
2. Karya-karya Andrea Hirata ... 126
3. Ciri khas Karya Andrea Hirata... 128
D. Dimensi Pendidikan Kaum Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata ... 136
1. Kesadaran Magis (Magical Consciousness) ... 142
2. Kesadaran Naif (NaivalConsciousness)... 143
3. Kesadaran Kritis (CriticalConsciousness ... 143
4. Kesadarannya Kesadaran (the Consice of the Consciousness)... 144
E. Pandangan Dunia (Vision du Monde) Andrea Hirata... 144
F. PEMBAHASAN ... 156
commit to user
BAB V PENUTUP... 161
A. Simpulan... 161
B. Implikasi... 166
C. Saran... 167
DAFTAR PUSTAKA... 169
LAMPIRAN
commit to user DAFTAR GAMBAR
Skema 1: Makna dan Hakikat Praxis ... 47
Skema 2: Pendidikan Humanisasi... 49
Skema 3: Kerangka Berpikir... 60
Skema 4: Komponen Analisis Data Model Interaktif ... 66
commit to user DAFTAR TABEL
[image:14.612.176.443.238.496.2]
Tabel 1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian... 61
commit to user DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Jurnal ... 174
Lampiran 2 Biografi ... 178
Lampiran 3 Artikel ... 182
Lampiran 4 Sinopsis ... 211
commit to user ABSTRAK
Sutri, S 840809032. PENDIDIKAN KAUM MARGINAL DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA (KAJIAN STRUKTURALISME GENETIK). Pembimbing I: Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd, Pembimbing II: Dr. Nugraheni E.W., M. Hum., Surakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) Mendeskripsikan dan menjelaskan
struktur yang membangun novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang
mencerminkan problematika tokoh akibat hubungan antartokoh dan lingkungannya. 2) Mendeskripsikan dan menjelaskan kehidupan sosial pengarang (dimensi
pendidikan kaum marginal) Andrea Hirata yang berhubungan dengan novel Laskar
Pelangi; 3) Mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosial masyarakat
(dimensi pendidikan kaum marginal) yang mengkondisikan lahirnya novel Laskar
Pelangi. 4) Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi.
Bentuk Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, sedangkan pendekatan penelitian adalah pendekatan stukturalisme genetik yang menekankan teks sebagai objek kajian. Data dalam penelitian ini berupa kata, frasa, klausa, kalimat, wacana
yang terdapat dalam novel Laskar Pelangi. Sumber data penelitian ini adalah novel
Laskar Pelangi yang diterbitkan oleh penerbit Bentang, Yogyakarta 2008. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik analisis data yang digunakan adalah model dialektik yang dikemukakan oleh Lucien Goldmann dan model interaktif.
Hasil Penelitian ini adalah: (1) Struktur yang terjalin dalam novel Laskar
Pelangi memiliki aspek-aspek yang saling berkaitan dan menguatkan satu sama lain. Aspek-aspek struktural tersebut secara padu membangun peristiwa-peristiwa dan makna cerita novel. (2) Kehidupan sosial Andrea Hirata yang berhubungan dengan
novel Laskar Pelangi mencakup latar belakang sejarah atau peristiwa sosial budaya
masyarakat Indonesia yang melahirkan Laskar Pelangi; dimensi pendidikan kaum
marginal ada dua ciri orang termarginalkan (tertindas). Pertama, alienasi dari diri dan lingkungannya. Kedua, self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa.
(3) Pendidikan kaum marginal dalam Laskar Pelangi terdapat pemetaan tipologi
kesadaran manusia dalam empat kategori; kesadaran magis (magic conscousness),
kesadaran naif (naival consciousness); kesadaran kritis (critical consciousness) dan
kesadarannya kesadaran (transformation consciousness). (4) Pandangan dunia (vision
du monde) Andrea Hirata sebagai pengarang terhadap novel Laskar Pelangi mencakup problematika ketidakberpihakan sistem pendidikan pada kaum marginal;
problematika kemiskinan (sosial ekonomi) dalam novel Laskar Pelangi; dan
kesenjangan sosial antara kaum elite dan kaum marginal
Kata kunci : Dimensi pendidikan, kaum marginal, strukturalisme genetik
commit to user ABSTRACT
Sutri. S 840809032. MARGINAL EDUCATION IN THE LASKAR PELANGI
NOVEL BY ANDREA HIRATA (STUDY OF GENETIC STRUCTURALISM). Advisor I: Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd, Advisor II: Dr. Nugraheni E.W., M.
Hum., Surakarta: Indonesian Language Education Study Program, Post Graduate
Program of Sebelas Maret University of Surakarta, 2011.
The aims of this study was to 1) Describe and explain the structure of that
building Laskar Pelangi novel by Andrea Hirata which reflects the character
problematic due to the relationship between character and environment. 2) Describe and explain the social life of the author (marginal educational dimension) Andrea
Hirata, related to Laskar Pelangi novel; 3) Describe and explain the social
background of society (marginal education dimensional) that conditioned the birth of the Laskar Pelangi novel. 4) Describe and explain the Andrea Hirata’s views in the Laskar Pelangi novel.
Form of research is qualitative descriptive, while the research approach is an approach the genetic structuralism that emphasizes text as an object of study. The data in this study in form of words, phrases, clauses, sentences, discourse contained in the Laskar Pelangi novel. Data source of this study is Laskar Pelangi novel that published by Bentang, Yogyakarta 2008. Data collection methods used the technique literature, see, and record. Analysis technique used is a dialectical model proposed by Lucien Goldmann and interactive model.
The results of this study are: (1) The structure that exists in the Laskar
Pelangi novel has aspects that are interrelated and reinforce each other. Structural aspects of a coherent building events and novel meanings. (2) Andrea Hirata’s social
life associated with Laskar Pelangi novel includes historical background or events of
socio-cultural Indonesia community that gave birth to Laskar Pelangi; marginal
education dimensional there are two features of marginalized people (the oppressed). First, alienation from self and environment. Second, self-depreciation, feeling stupid,
not knowing anything. (3) Marginal Education in the Laskar Pelangi in the typology
mapping the human consciousness into four categories: magic conscousness, naive consciousness; critical consciousness and consciousness transformation. (4) Andrea
Hirata’s world view (vision du monde), as the author of Laskar Pelangi novel include
impartiality problematic educational system in the marginal society; poverty problem
(social economy) in the Laskar Pelangi novel, and social gap between the elite and
marginal.
Key words: education dimensions, marginal, genetic structuralism
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan bentuk kegiatan imajinatif, kreatif, dan produktif
dalam menghasilkan sebuah karya yang memiliki nilai rasa estetis serta
mencerminkan realias sosial kemasyarakatan. Faktor lingkungan membentuk karya
sastra karena ditulis pengarang sebagai anggota masyarakat yang bersumber dari
masyarakat.
Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk
mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang berisi ide, gagasan, dan pesan
tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang serta
menggunakan media bahasa sebagai penyampaiannya. Karya sastra merupakan
fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Karya sastra lahir dari
pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa pengarang secara
mendalam melalui proses imajinasi (Aminuddin, 1990: 57).
Karya sastra memiliki objek, tidak berdiri sendiri, terikat oleh dunia dalam
kata yang diciptakan pengarang berdasarkan realitas sosial, dan pengalaman
pengarang. Hal ini sejalan dengan pemikiran Rahmat Djoko Pradopo (2002: 59) yang
mengemukakan bahwa karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi
oleh pengalaman dari lingkungan pengarang. Sastrawan sebagai anggota masyarakat
tidak akan lepas dari tatanan masyarakat dan kebudayaan. Semua itu berpengaruh
dalam proses penciptaan karya sastra.
commit to user
Penciptaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan proses imajinasi
pengarang dalam melakukan proses kreatifnya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Rahmat Djoko Pradopo (2001: 61) yang mengemukakan bahwa karya sastra lahir di
tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya
terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya. Akan tetapi karya sastra tidak
hadir dalam kekosongan budaya. Herder (dalam Atmazaki, 1990: 44) menjelaskan
bahwa karya sastra dipengaruhi oleh lingkungannya maka karya sastra merupakan
ekspresi zamannya sendiri sehingga ada hubungan sebab akibat antara karya sastra
dengan situasi sosial tempat dilahirkannya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra
lahir dari latar belakang dan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan
eksistensi dirinya. Sebuah karya sastra dipersepsikan sebagai ungkapan realitas
kehidupan dan konteks penyajiannya disusun secara terstruktur, menarik, serta
menggunakan media bahasa berupa teks yang disusun melalui refleksi pengalaman
dan pengetahuan secara potensial memiliki berbagai macam bentuk representasi
kehidupan. Ditinjau dari segi pembacanya karya sastra merupakan bayang-bayang
realitas yang dapat menghadirkan gambaran dan refleksi berbagai permasalahan
dalam kehidupan.
Media karya sastra adalah bahasa. Fungsi bahasa sebagai bahasa karya sastra
membawa ciri-ciri tersendiri. Artinya, bahasa sastra adalah bahasa sehari-hari itu
sendiri, kata-katanya dengan sendirinya terkandung dalam kamus, perkembangannya
commit to user
secara khusus, yang ada adalah bahasa yang disusun secara khusus sehingga
menampilkan makna-makna tertentu (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 334-335).
Karya sastra bukan hanya untuk dinikmati tapi juga dimengerti, untuk itulah
diperlukan kajian atau penelitian dan analisis mendalam mengenai karya sastra.
Chamamah (dalam Jabrohim, 2003: 9) mengemukakan bahwa Penelitian sastra
merupakan kegiatan yang diperlukan untuk menghidupkan, mengembangkan, dan
mempertajam suatu ilmu. Kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan ilmu
memerlukan metode yang memadai adalah metode ilmiah. Keilmiahan karya sastra
ditentukan oleh karakteristik kesastraannya.
Widati (dalam Jabrohim, 2003: 31) menjelaskan bahwa penelitian adalah
proses pencarian sesuatu hal secara sistematik dalam waktu yang lama (tidak hanya
selintas) dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan-aturan yang berlaku agar
penelitiannya maksimal dan dapat dipahami oleh masyarakat luas.
Dibutuhkannya pemahaman masyarakat terhadap karya sastra yang dihasilkan
pengarang maka penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme genetik.
Teori strukturalisme genetik menekankan hubungan antara karya dengan lingkungan
sosialnya. Manusia berhadapan dengan norma dan nilai dalam lingkungan
masyarakat, karya sastra juga mencerminkan norma serta nilai yang secara sadar
difokuskan dan diusahakan untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Sastra
mencerminkan kecemasan, harapan dan aspirasi manusia. Oleh karena itu
kemungkinan karya sastra dapat menjadi ukuran sosiologis paling efektif untuk
commit to user
merupakan pendekatan yang tidak meninggalkan faktor genetik atau asal-usul
penciptaan sebuah karya berupa unsur sosial.
Pada prinsipnya teori strukturalisme genetik memandang karya sastra tidak
hanya struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya tetapi merupakan hasil
strukturasi pemikiran subjek penciptanya yang timbul akibat interaksi antara subjek
dengan situasi sosial tertentu (Goldmann, 1970: 584). Struktur karya dalam
pandangan Goldmann merupakan struktur dinamis yang lahir dari dinamika
pemikiran manusia.
Hubungan manusia dengan lingkungannya menurut Goldmann termanifestasi
dalam tiga ciri utama perilaku manusia: pertama adanya tendensi manusia untuk
beradaptasi dengan lingkungannya agar hubungan lebih bermakna. Kedua, adanya
tendensi ke arah konsistensi menyeluruh dan penciptaan bentuk-bentuk struktural.
Ketiga, adanya tendensi mengubah dan mengembangkan struktur tersebut sebagai
bukti sifat-sifat dinamik (Goldmann, 1970: 118-119).
Penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik mempunyai kelebihan
karena teks sastra diperlakukan sebagai sasaran utama penelitian dan dianggap
sebagai suatu totalitas yang tidak sekadar terdiri dari unsur-unsur yang lepas-lepas
(Sapardi Djoko Damono, 1979: 46). Teks sastra sebagai hasil proses sejarah manusia
akan bermakna jika dipahami secara menyeluruh dalam hubungan antarbagian teks
dan sejarah masyarakat pengarang.
Keunggulan strukturalisme genetik tidak hanya berorientasi pada teks, tetapi
juga pada pengarang dan latar belakang sejarah yang mengkondisikan kelahiran karya
commit to user
Prinsip dasar strukturalisme genetik adalah mempertimbangkan hal-hal yang
melatarbelakangi lahirnya karya sastra. Peneliti dalam menganalisis karya sastra yang
diteliti dapat dikaitkan dengan menghubungkannya dengan hal-hal di luar teks. Hal
ini didasarkan pada kenyataan bahwa karya sastra lahir karena kegelisahan pengarang
melihat realitas. Karya sastra kemudian dapat diteliti dari hubungannya dengan
sejarah zaman yang melahirkannya.
Salah satu genre karya sastra adalah novel. Novel merupakan salah satu
ragam prosa selain puisi dan drama, di dalamnya terdapat peristiwa yang dialami oleh
tokoh-tokohnya secara sistematis serta terstruktur. Hal ini sejalan dengan pemikiran
Panuti Sudjiman (1990: 55) yang menyatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang
panjang, menyuguhkan tokoh-tokoh, dan menampilkan serangkaian peristiwa dan
latar belakang secara terstruktur. Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi,
prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan
dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan,
diantaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki
media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling
luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling
umum digunakan dalam masyarakat.
Novel Laskar Pelangi karya novelis Andrea Hirata buah karya yang
mencengangkan. Sebagai karya pertama yang ditulis seseorang yang tidak berasal
dari lingkungan sastra, dan tidak tunduk pada selera pasar. Kelebihan novel Laskar
Pelangi (LP) adalah ceritanya diangkat dari kehidupan nyata. Novel-novel sekarang
commit to user
pada novel Laskar Pelangi (LP). Novel ini mengisahkan sepuluh anak kampung di
Pulau Belitong, Sumatera Selatan. Mereka bersekolah di sebuah SD Muhammadiyah
di Belitong yang bangunannya hampir rubuh dan di malam hari menjadi kandang
ternak. Sekolah itu hampir ditutup karena muridnya tidak sampai sepuluh sebagai
persyaratan minimal.
Keberuntungan atau lebih tepatnya takdir, masih berpihak pada sepuluh anak
kampung Pulau Belitong tersebut. Sebelum sekolah tersebut ditutup, ada salah satu
siswa yang bernama Harun mendaftarkan diri. Akhirnya, sekolah ini tetap eksis
melanjutkan pendidikan untuk anak-anak Belitong. Kelebihan yang dimiliki
pengarang (Andrea Hirata) dalam karya-karyanya dari segi stilistik yang menarik,
mengungkapkan setiap kejadian secara sistematis, terarah dan kronologis, sehingga
penulis tertarik untuk mengkaji masalah-masalah yang terdapat di dalam novel
tersebut.
Dimensi pendidikan kaum marginal menjadi tema dalam novel Laskar
Pelangi, termarginalkan secara ekonomi dan termarginalkan secara politik. Sebagai
kaum marginal mereka tetap berjuang memperoleh pendidikan untuk mengubah
kehidupan mereka. Mereka bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing, atap
sekolah bocor jika hujan, dan papan tulis berlubang sehingga terpaksa ditambal
dengan poster Rhoma Irama. Mereka mengesampingkan anggapan bahwa orang
miskin dilarang sekolah.
Munculnya stigma masyarakat marginal bahwa orang miskin dilarang sekolah
karena tidak adanya keberpihakan sekolah pada mereka. Sistem pendidikan yang
commit to user
menjadikan sekolah sebagai barang mewah. Sebagaimana diungkapkan Eko Prasetyo
(2009: 26) bahwa bukan hanya kebijakan pendidikan yang payah, kebijakan
pemerintah yang lain juga menyebabkan rakyat semakin sulit untuk mendapatkan
pendidikan, kebijakan peperintah itu secara tidak langsung adalah pelarangan orang
miskin dilarang sekolah.
Eko Prasetyo (2009: 21; 25) menyatakan bahwa jika biaya pendidikan mahal
maka pendidikan bisa manjadi biang utama proses pemiskinan. Pemiskinan menjadi
proses yang terus berjalan seperti mesin penggiling, orang tua berhadapan dengan
situasi darurat tanpa mampu mengambil pertimbangan. Biaya pendidikan sama
besarnya dengan biaya kesehatan. Keduanya ditempatkan sebagai kebutuhan Primer.
Orang tua tidak segan-segan meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan biaya
sekolah. Kebutuhan untuk sekolah sama seperti keperluan untuk makan dan minum.
Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi tampak menyajikan konsep
sekolah yang berpihak pada kaum marginal, pemenuhan kebutuhan publik dalam
pendidikan dan wujud protes pendidikan bukan hanya dimiliki oleh segelintir orang
dengan kelas sosial tertentu. Konsep pembelajaran variatif yang ditekankan pada budi
pekerti dominan ditampilkan Andrea Hirata dalam karyanya.
Novel Laskar pelangi menyajikan konsep pembelajaran variatif yang
diterapkan oleh guru-gurunya. Pembelajaran tidak hanya berlangsung di dalam kelas,
tetapi juga di luar kelas. Siswa mengalami secara langsung dan menerapkan dalam
hidup bermasyarakat. Dirunut lebih jauh tampak bahwa pendidik dalam novel Laskar
commit to user
sekitar, terbatasnya sarana prasarana tidak menghalangi mereka untuk memenuhi hak
anak dalam memperoleh pendidikan.
Penerapan pembelajaran demikian tampak bahwa pendidik di perguruan
Muhammadiyah tidak menggunakan konsep pendidikan ‘gaya bank’ seperti yang
diungkapkan Paulo Freire. Pendidikan ‘gaya bank’ menurut Freire (1985: 50) anak
didik tidak dilihat sebagai subjek dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai
benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan atau dalil
pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu,
maka semakin baiklah gurunya dan semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia.
Anak didik hanya menghafal semua yang disampaikan oleh gurunya tanpa mengerti.
Anak didik adalah objek bukan subjek sebab dalam proses belajar mengajar guru
tidak memberikan pengertian kepada anak didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil
atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam
bentuk yang sama jika diperlukan.
Anak didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi
pada akhirnya anak didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta.
Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan
penindasan terhadap sesamanya manusia (Freire, 1985: 50-51).
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama
bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak
berpendidikan. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum
berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu dan menghadirkan perbedaan mencolok
commit to user
menjadi penindas masyarakat bawah melalui kekuasaan politik dan akumulasi
kekayaan karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin
miskin sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para
penindas. Kehidupan masyarakat yang sangat kontras melahirlah suatu kebudayaan
yang disebut Freire dengan kebudayaan bisu (Marthen Manggeng, 2005: 41).
Kaum marginal sama halnya dengan kaum tertindas. Adanya kaum tertindas
berarti ada pula kaum penindas. Kaum penindas menggunakan konsep pendidikan
gaya bank bekerjasama dengan aparat-aparat masyarakat paternalistik, di mana kaum
tertindas kemudian memperoleh sebutan yang diperhalus sebagai “kaum penerima
santunan” (Freire, 1985: 53). Hal ini tampak dalam novel Laskar Pelangi, ada
pengelompokkan pendidikan berdasarkan status ekonomi. Tertindas dari sisi politik
dan ekonomi yang berdampak pada pendidikan sangat kental dalam novel ini.
Suksesnya Laskar Pelangi yang mengangkat kehidupan kaum pinggiran
miskin dan terlupakan di Pulau Belitong (sekarang Provinsi Bangka Belitung)
menjadikan tokoh Ikal, Lintang, Mahar dkk. sebagai pahlawan-pahlawan baru
menggantikan tokoh `Cowok Idaman’ dalam kebanyakan karya teenlit atau tokoh
‘Nayla’ si Trauma Seks’ dalam kebanyakan sastra kelamin saat ini. Maka tidak heran,
bila sejumlah kritikus sastra memandang Laskar Pelangi sebagai fenomena baru, baik
di ranah kesusastraan maupun perfilman nasional. Hampir semua komentar pembaca
memberikan pujian, mulai dari cerpenis Linda Christanty, sineas Garin Nugroho dan
Riri Riza, kritikus sastra Nicola Horner, pecinta sastra Diphie Kuron, novelis Ahmad
commit to user
Umum Muhamadiyah, Syafii Ma’arif, sampai penyair-kritikus sastra Sapardi Djoko
Damono.
Novel Andrea Hirata menarik karena beberapa hal. Pertama, ia menceritakan
kehidupan suatu daerah yang hampir tidaak pernah masuk dalam pengetahuan sastra
Indonesia, yakni Pulau Belitong. Pulau timah ini hanya dikenal dalam pembicaraan
ekonomi dari pertambangannya oleh pemerintah, tetapi tidak dikenal perikehidupan
penduduk pribuminya. Karya Andrea ini memberikan informasi tangan pertama
tentang kehidupan masyarakat Belitong yang termarginalkan tersebut. Kedua, Andrea
mengangkat suatu tema yang menarik tentang pendidikan kaum marginal, baik secara
ekonomi maupun secara politik, bagaimana seorang anak yang dilahirkan dan hidup
dalam kemiskinan serta perekonomian keluarga yang tak menentu dan termarginalkan
akhirnya mencapai status terpandang dengan melanjutkan studinya ke Eropa. Ketiga,
Andrea menghadirkan kritik pada pelaku pendidikan terkait dengan sistem
pendidikan dan sistem pengajaran yang tidak memihak kaum marginal, Andrea
mencoba mematahkan stigma masyarakat marginal mengenai orang miskin dilarang
sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan secara rinci alasan penelitian
adalah sebagai berikut.
1. Novel Laskar Pelangi menampilkan tokoh anak-anak sekolah yang
termarginalkan secara ekonomi dan politik tetapi memiliki sumber inspirasi kuat
terjelma pada guru-gurunya. Inspirasi ini menjadi motivasi membentuk pribadi
commit to user
kaum marginal yang dapat merubah nasib mereka adalah mereka sendiri melalui
pendidikan.
2. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata belum dianalisis secara khusus
dengan pendekatan strukturalisme genetik terutama berhubungan dengan dimensi
pendidikan kaum marginal.
3. Analisis terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dengan pendekatan
strukturalisme genetik Lucien Goldman diperlukan untuk mengetahui dimensi
pendidikan kaum marginal.
Berdasarkan paparan di atas, maka novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata
dianalisis dengan pendekatan strukturalisme genetik untuk mendeskripsikan dimensi
pendidikan kaum marginal.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah struktur yang membangun novel Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata yang mencerminkan problematika tokoh akibat hubungan antartokoh dan
lingkungannya?
2. Bagaimanakah kehidupan sosial dan latar belakang sosial pengarang (dimensi
pendidikan kaum marginal) Andrea Hirata yang berhubungan dengan novel
Laskar Pelangi?
commit to user
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur yang membangun novel Laskar
Pelangi karya Andrea Hirata yang mencerminkan problematika tokoh akibat
hubungan antartokoh dan lingkungannya?
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan kehidupan sosial pengarang (dimensi
pendidikan kaum marginal) Andrea Hirata yang berhubungan dengan novel
Laskar Pelangi?
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosial masyarakat (dimensi
pendidikan kaum marginal) yang mengkondisikan lahirnya novel Laskar Pelangi?
4. Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan Andrea Hirata dalam novel Laskar
Pelangi?
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan berhasil dengan baik dan dapat mencapai tujuan
penelitian secara optimal, mampu menghasilkan laporan yang sistematis dan
bermanfaat secara umum.
1. Manfaat teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai studi
analisis terhadap sastra di Indonesia, terutama dalam bidang penelitian novel
Indonesia yang memanfatkan teori strukturalisme genetik.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam
mengaplikasikan teori sastra dan teori strukturalisme genetik dalam
commit to user
c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai konsep
pendidikan yang memanusiakan dalam pandangan Paulo Freire serta
aplikasinya.
d. Hasil penelitian dapat memberikan pengetahuan mengenai keberagaman
sekolah alternatif dalam dunia pendidikan.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada
peneliti dan ilmuwan, kalangan pendidikan, pembaca, dan penikmat karya sastra
untuk memahami dan mengapresiasi novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
a. Bagi Penelitian dan Ilmuwan
Penelaahan dan kajian tentang spesifikasi, kreativitas dan tema yang
membangun novel Laskar Pelangi dapat dijadikan bahan kajian lebih
mendalam oleh para peneliti yang selanjutnya dapat digunakan dalam
pengembangan kajian sastra khususnya novel.
b. Kalangan Pendidikan
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Laskar Pelangi dapat
dijadikan acuan-acuan refleksi dalam membentuk karakter manusia Indonesia
yang cerdas, ulet, konsisten, serta tidak cepat putus asa dalam mewujudkan
cita-cita hidupnya.
c. Bagi Pemimpin Pendidikan
Kritikan yang disampaikan secara halus dan kreatif yang terkandung di dalam
novel Laskar Pelangi dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
commit to user
d. Bagi Pembaca
Dapat memperoleh gambaran secara lebih jelas, rinci, dan sistematis baik
secara kritis maupun akademis tentang dimensi pendidikan marginal yang
commit to user BAB II
KERANGKA TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN
DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kerangka Teori
1. Hakikat Pendekatan Strukturalisme Genetik
a. Pengertian Pendekatan Strukturalisme Genetik
Dewasa ini telah banyak dikenal berbagai macam pendekatan dalam
penelitian sastra salah satunya yaitu pendekatan strukturalisme genetik.
Strukturalisme genetik adalah cabang penelitian dalam karya sastra yang tidak
meninggalkan faktor genetik atau asal-usul diciptakannya sebuah karya yaitu
unsur sosial.
Strukturalisme genetik merupakan penelitian sosiologi sastra. Yoseph
Yopi Taum (1997: 47) menyatakan bahwa sosiologi sastra sebagai suatu jenis
pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi
epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra
berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra
menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari
masyarakat. Karya sastra memiliki keterkaitan dengan jaringan-jaringan sistem
dan nilai dalam suatu masyarakat.
Berkaitan dengan hal di atas dalam menelaah hubungan antara sastra
dengan masyarakat Watt (dalam Sapardi Djoko Damono, 2000: 12-13)
mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang dapat diteliti. Ketiga hal tersebut
meliputi, pertama, sosiologi pengarang memfokuskan perhatiannya pada latar
commit to user
belakang sosial pengarang, sumber ekonomi pengarang, ideologi pengarang dan
integrasi sosial pengarang, sosiologi karya serta sosiologi pembaca. Kedua,
sosiologi karya sastra menitikberatkan perhatiannya terhadap isi teks karya sastra,
tujuan karya sastra dan masalah sosial yang terdapat dalam karya sastra. Ketiga,
sosiologi pembaca memfokuskan perhatiannya pada latar sosial pembaca, dampak
sosial karya sastra terhadap pembaca dan perkembangan sosial pembaca.
Kajian sosiologi sastra merupakan upaya melihat fenomena sosial secara
empiris dengan menggunakan teks sastra sebagai cermin fakta sosial. Meski
demikian, sastra bukanlah fakta sosial itu sendiri. Mengenai hal ini Max Weber
(dalam Wellek dan Austin Warren, 1993: 124) mengungkapkan bahwa
gejala-gejala sosial dalam sastra bukanlah fakta objektif dan pola perilaku, tetapi
merupakan sikap yang kompleks. Jadi, teks karya sastra yang ditulis pengarang
bukanlah suatu peristiwa yang langsung terjadi di tengah masyarakat, tetapi
pengarang memproses ide yang diperolehnya dengan imajinasinya sehingga isi
karya sastra menarik untuk dipahami.
Hippolyte Taine (dalam Yoseph Yapi Taum, 1997: 49) mengemukakan
bahwa karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (moment)
dan lingkungan (milieu). Ketiga hal tersebut mengantarkan pemahaman terhadap
iklim suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang yang selanjutnya
diwujudkan dalam karya sastra. Ras adalah sesuatu yang diwaris dalam jiwa dan
raga seseorang. Saat (moment) adalah situasi sosial politik pada suatu periode
tertentu. Lingkungan (milieu) meliputi keadaan alam, iklim dan sosial.
Konsep-konsep tersebut kemudian dikembangkan lebih sistematis dan
commit to user
Damono, 1979: 41). Strukturalisme genetik sebagai salah satu teori penelitian
sosiologi sastra bertumpu pada sosiologi teks dan sosiologi pengarang. Penelitian
dengan strukturalisme genetik hendak mengungkap masalah sosial dalam teks dan
integrasi sosial pengarang dalam masyarakatnya yang tercermin dalam teks. Oleh
karena itu, penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik selalu
mengaitkan antara karya sastra, pengarang sebagai penghasil karya, dan
masyarakat pengarang yang dianggap mampu mengondisikan pengarang untuk
menulis novel. Karya sastra bersumber dari kehidupan masyarakat dalam
konfigurasi status dan peranan yang terbentuk struktur sosial serta dengan
sendirinya menerima berbagai pengaruh sosial.
Adanya perangkat peralatan sastra dan kapasitas regulasi diri dalam
struktur intrinsiknya, karya sastra secara independen mampu membebaskan diri.
Ia menjadi otonom, dalam pengertian bahwa ia bukan lagi merupakan objek yang
tidak terpisahkan dengan struktur sosial yang menghasilkannya dan dengan
sendirinya memiliki kebebasan penuh dalam menunjukkan material-material
sosial. Keterpisahan karya seni dengan struktur sosialnya dianggap sebagai
keterpisahan secara konseptual. Apabila benar-benar terpisah dengan masyarakat,
justru karya seni akan menjadi artifisial (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 33).
Secara definisi, Goldmann (dalam Faruk, 1999: 13) menjelaskan bahwa
strukturalisme genetik adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra
semata-mata merupakan suatu struktur statis dan lahir dengan sendirinya. Karya
sastra oleh struktur katalogis pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif
commit to user
ekonomi tertentu. Pemahaman struktur karya sastra harus mempertimbangkan
faktor-faktor sosial yang melahirkannya dan sekaligus memberikan kepaduan
struktur karya sastra.
Hubungan manusia dalam lingkungannya menurut Goldmann
termanifestasi dalam tiga ciri utama perilaku manusia: pertama, adanya tendensi
manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya agar lebih bermakna. Kedua,
adanya tendensi ka arah konsistensi menyeluruh dan penciptaan bentuk-bentuk
struktural. Ketiga, adanya tendensi mengubah dan mengembangkan struktur
tersebut sebagai bukti sifat-sifat dinamik (Goldmann, 1970: 118-119).
Pendekatan strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan
terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik.
Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan
sosiolog Rumania-Perancis. Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis
struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas
berarti bahwa pendekatan strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian
terhadap analisis secara intrinsik dan ekstrinsik (Nyoman Kutha Ratna, 2006:
121-123).
Pendekatan strukturalisme genetik adalah bagian dari kajian sosiologi
sastra yang mengkaji karya sastra berdasarkan struktur luar karya sastra. Hadirnya
teori Lucien Goldmann berupa pendekatan strukturalisme genetik untuk mengkaji
unsur dalam dan unsur di luar karya sastra. Sastra merupakan representasi dari
kehidupan masyarakat berupa kritik sosial dalam masyarakat. Hal ini sejalan
commit to user
make sense of our lives, sosiology is an attempt to make sense of the ways in
which we live our lives. For the present writers, sosiology has itself always
represented a critical discipline.
Suwardi Endraswara (2003: 55-56) mengemukakan bahwa pendekatan
strukturalisme genetik adalah cabang penelitian sastra struktural yang tidak
murni. Strukturalisme genetik merupakan penggabungan antara struktural dengan
metode penelitian sebelumnya. Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu
menekankan latar belakang sejarah karya sastra, di samping memiliki unsur
otonom juga tidak bisa lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sastra sekaligus
mereprentasikan kenyataan sejarah yang mengkondisikan munculnya karya
sastra.
Teori strukturalisme genetik diutarakan oleh Molina (1991: 140) sebagai
berikut:
Goldmann’s interpretation of tragedy shows that there is a structural homology between dialectical Marxism and the schema of the tragic vision. Goldmann elaborated the letter in terms of three elements: god, man, and world. For him, God is translated into historical terms and made to signify human community, which, in turn, is indentified with realization of socialism in the Marxist sense.
Sapardi Djoko Damono (1979: 46) berpendapat bahwa “metode yang
dipergunakan Goldmann untuk mencari hubungan karya dengan lingkungan
sosialnya adalah strukturalisme historis, yang diistilahkannya sebagai
“strukturalisme genetik yang digeneralisir”, Goldmann sebelumnya meneliti
struktur-struktur tertentu dalam teks kemudian menghubungkan struktur-struktur
commit to user
dan kelas sosial yang mengikat si pengarang dan dengan pandangan dunia kelas
yang bersangkutan.
Penelitian strukturalisme genetik memandang karya sastra dari dua sudut
yaitu intrinsik dan ekstrinsik studi diawali dari kajian unsur intinsik. Kesatuan dan
koherensinya sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan
menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya, karya dipandang
sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek siosial, budaya,
politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan
dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Suwardi
Endraswara 2003: 56).
Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2006: 122) mengungkapkan
bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi stuktur bermakna, setiap gejala
memiliki ahli apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian
seterusnya sehingga setiap unsur menopang totalitas”.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap
unsur dalam karya sastra, baik itu unsur intrinsik maupun ekstrinsiknya,
masing-masing tidak dapat bekerja sendiri untuk menciptakan sebuah karya yang bernilai
tinggi. Semua unsurnya harus melebur menjadi satu untuk mencapai totalitas
makna. Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu
sama lain untuk menopang teori tersebut sehingga membentuk apa yang
disebutnya sebagai strukturalisme genetik. Kategori-kategori itu adalah (a)
struktur karya sastra (b) fakta kemanusiaan, (c) subjek kolektif, (d) pandangan
commit to user
b. Struktur Karya Sastra
Karya sastra merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif atau
masyarakat. Karya sastra mempunyai struktur yang koheren. Konsep struktur
karya sastra dalam strukturalisme genetik berbeda dengan konsep karya sastra
otonom. Goldmann menyatakan dua pendapat mengenai karya sastra. Pertama,
karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, dalam
usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu. Pengarang menciptakan semesta
tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Karena itu, dibedakan
karya sastra dari filsafat dan sosiologi. Filsafat mengekspresikan pandangan dunia
secara konseptual sedangkan sosiologi mengacu pada empirisitas (Faruk, 1999:
17).
Struktur karya sastra dalam pandangan Goldmann adalah konsep struktur
yang bersifat tematik. Yang menjadi pusat perhatian adalah relasi antara tokoh
dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitar tokoh. Goldmann
mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian nilai-nilai otentik yang
terdegradasi dalam dunia yang juga terdegradasi. Pencarian tersebut dilakukan
oleh seorang atau tokoh hero yang problematik (Faruk, 1994: 18).
Konsep struktur karya sastra dalam pandangan Goldmann yang bersifat
tematik artinya pusat perhatian antara relasi dengan tokoh, tokoh dengan tokoh
dan antara tokoh dengan objek sekitar novel sebagai cerita mengenai pencarian
nilai-nilai otentik yang terdegradasi dalam dunia dilakukan. Pencarian dilakukan
commit to user
tersirat muncul dalam cerita, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai dengan mode
dunia sebagai totalitas.
Karya sastra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar
kejadian-kejadian, yaitu kejadian-kejadian yang telah dibuat kerangka (pola-pola)
kreativitas dan imaji. Seluruh kejadian dalam karya sastra bahkan juga
karya-karya yang tergolong ke dalam genre yang paling absurd pun merupakan
prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kreativitas dan imajinasinya sastra memiliki kemungkinan yang paling
luas dalam mengalihkan keragaman alam semesta ke dalam totalitas naratif
semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional
(Nyoman Kutha Ratna, 2006: 35).
Karya sastra sebagai karya estetis dalam pandangan strukturalisme genetik
mempunyai dua estetika: estetika sosiologis dan estetika sastra. Berkaitan estetika
sastra sosiologis. Pendekatan strukturalisme genetik menunjukkan hubungan
antara salah satu pandangan dunia dan tokoh-tokoh serta hal-hal yang diciptakan
pengarang dalam karyanya. Berkaitan dengan estetika sastra, strukturalisme
genetik menunjukkan hubungan antara alam ciptaan pengarang dengan
perlengkapan sastra yang dipergunakan pengarang untuk menuliskannya (Sapardi
Djoko Damono, 1979: 43).
Membaca novel, secara tidak langsung salah satu sisi kehidupan suatu
masyarakat dapat dipahami. Hukum kehidupan suatu masyarakat dalam novel
juga mungkin berlaku pada masyarakat umumnya. Struktur masyarakat dapat
commit to user
Struktur karya satra merupakan representasi masyarakat, struktur karya
sastra mempunyai hubungan secara tidak langsung dengan struktur masyarakat.
Dalam hubungan tersebut, peran pengarang sangat menentukan. Struktur karya
sastra yang dihasilkan pengarang menyuarakan aspirasi kelompok sosial tertentu
melalui gambaran problematik hubungan tokoh-tokoh yang dilukiskan.
Karya sastra sebagai kreativitas maupun respon kehidupan sosial,
mencoba mengungkapkan perilaku manusia dalam suatu komunitas yang
dianggap berarti bagi aspirasi kehidupan seniman dan kehidupan manusia pada
umumnya. Dimensi-dimensi yang dilukiskan pengarang bukan hanya entitas
tokoh secara fisik, tetapi sikap, perilaku, dan kejadian-kejadian yang mengacu
pada kualitas struktur sosial. Sebagai dua dunia yang saling bergantung, keduanya
hadir dalam situasi dialogis. Masyarakat mempersiapkan entitas karya sastra
sesuai dengan formasi struktur sosial; sebaliknya karya sastra memanfaatkan
unsur-unsur sosial ke dalam sistem sastra dengan cara-cara yang ditentukan oleh
konvensi dan tradisi (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 34).
Struktur karya sastra dengan demikian harus dipahami sebagai totalitas
yang bermakna. Pemahaman itu dapat dilakukan dengan melihat hubungan antara
tokoh dengan tokoh lain maupun antara tokoh dengan lingkungannya.
Berdasarkan hubungan-hubungan tersebut terlihat problematika sang tokoh dalam
memeperjuangkan nilai kehidupan yang dianggap sesuai dengan kelompok
sosialnya dalam menghadapi kelompok sosial lain.
Konsep struktur karya sastra digunakan dalam penelitian ini untuk
mengetahui hubungan antara tokoh yang satu dengan yang lainnya maupun
commit to user
Berdasarkan hubungan tersebut terlihat bahwa masyarakat mengalami
problematika. Berdasarkan problematika yang dihadapi oleh masing-masing
tokoh akan terlihat aspirasi imajiner pengarang dalam struktur novel.
Struktur novel yang mencerminkan pandangan pengarang terlihat pada
problem yang dihadapi tokoh. Problematika tokoh utama disebabkan oleh tokoh
lainnya. Tokoh hero mengalami problematika karena senantiasa berusaha
memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam menghadapi tokoh lain
sebagai perwujudan kelompok sosial yang lain.
Perjuangan tokoh utama adalah manifestasi perjuangan subjek kolektif
atau kelompok sosialnya. Tokoh lain dalam hal ini merupakan subjek kolektif di
luar kelompok sosial tokoh hero. Pikiran-pikiran tokoh hero merupakan aspirasi
gagasan pengarang dalam memperjuangkan kelompok sosial pengarang.
1) Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam
pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu
diingat. Banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau
emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan,
keyakinan, pengingkaran manusia terhadap dirinya sendiri, atau bahkan usia
lanjut. Sama seperti makna pengalaman manusia, tema membuat cerita lebih
fokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita
akan pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema. Adapun cara yang
paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati
commit to user
2) Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam
sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang
terhubung secara kausal saja. Dua elemen dasar yang membangun alur adalah
konflik dan klimaks. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki ‘konflik
internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter
atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. Klimaks adalah saat
ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi.
Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik
dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan (Stanton,
2007).
3) Tokoh
Mengenai tokoh, Atar Semi (1988: 39) mengemukakan bahwa pada
umumnya fiksi mempunyai tokoh utama (a central character) yaitu orang
yang ambil bagian dalam sebagian besar peristiwa dalam cerita, biasanya
peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap
terhadap diri tokoh atau perubahan pandangan sebagai pembaca terhadap diri
tokoh tersebut.
4) Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam
cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang
berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan,
commit to user
c. Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan mempunyai peranan dalam sejarah berupa fakta
individual dan fakta sosial atau historis. Hal ini sejalan dengan Faruk (1994: 12)
yang menyatakan bahwa fakta kemanusiaan adalah seluruh hasil perilaku
manusia, baik verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu
pengetahuan. Fakta tersebut dapat berupa aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik
tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung dan sastra.
Fakta kemanusiaan pada hakikatnya ada dua, yaitu fakta individual dan fakta
sosial. Fakta yang kedua memiliki peranan dan sejarah, sedangkan pertama tidak,
sebab hanya merupakan hasil perilaku libidal seperti mimpi, tingkah laku orang
gila, dan sebagainya.
Goldmann (dalam Faruk, 1994: 13) menjelaskan bahwa “semua fakta
kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti” artinya fakta-fakta itu
sekaligus mempunyai struktur tertentu dari arti tertentu. Oleh karena itu,
pemahaman mengenai fakta-fakta kemanusiaan harus mempertimbangkan
struktur dan artinya.
Karya sastra sebagai fakta kemanusiaan merupakan struktur. Struktur
karya sastra bukanlah struktur yang statis tetapi dinamis. Karya sastra merupakan
produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan
destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat adalah karya sastra yang
bersangkutan (Faruk, 1999: 12).
Goldmann (1977: 159) beranggapan adanya homologi antara struktur
commit to user
Homologi menurut Nyoman Kutha Ratna (2006: 122) diturunkan melalui
organisme primitif yang sama dan disamakan dengan korespondensi, kualitas
hubungan yang bersifat struktural. Homologi memiliki implikasi dengan
hubungan bermakna antara struktur literer dengan struktur sosial. Nilai-nilai
otentik yang terdapat dalam strukturalisme genetik menganggap bahwa karya
sastra sebagai homolagi antara struktur karya sastra dengan struktur lain yang
berkaitan dengan sikap suatu kelas tertentu atau struktur mental dan pandangan
dunia yang dimiliki oleh pengarang dan penyesuaiannya dengan struktur sosial.
Bagi Goldmann (1977: 158-159) karya sastra dipandang: (1) bukan hanya
refleksi kenyataan dan kesadaran kelompok tertentu; (2) karya sastra berhubungan
dengan ideologi kolektif, filosofis dan teologis; (3) karya sastra berhubungan
dengan struktur mental kelompok sosial tertentu yang dapat diperluas melalui
hubungan individu dengan kelompok; dan (4) kesadaran kolektif bukanlah realitas
utama, akan tetapi struktur mental yang merupakan pandangan dunia.
Berpijak dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fakta
kemanusiaan adalah seluruh hasil perilaku manusia yang mempunyai struktur dan
arti tertentu berdasarkan pada fakta-fakta yang ada.
d. Subjek Kolektif/ Subjek Transindividual
Goldmann (dalam Faruk, 1994: 14) mengemukakan bahwa fakta
kemanusiaan, bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan merupakan
hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya. Subjek fakta kemanusiaan dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu subjek individual dan subjek kolektif.
commit to user
individual merupakan subjek fakta individual (libinal), sedangkan subjek kolektif
merupakan subjek fakta sosial (historis). Revolusi sosial, politik, ekonomi, dan
karya-karya kultural yang besar merupakan kenyataan sosial yang tidak akan
mampu menciptakannya. Penciptanya adalah subjek transindividual. Subjek
transindividual adalah subjek yang mengatasi individu, di dalam individu hanya
merupakan bagian. Subjek transindividual bukanlah kumpulan individu-individu
yang berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas.
Goldmann (dalam Faruk, 1994: 15) kosep subjek kolektif atau
transindividual masih sangat kabur karena subjek kolektif itu dapat berupa
kelompok kekerabatan, kelompok kerja, kelompok teritorial, dan sebagainya.
Untuk memperjelasnya, Goldmann mengelompokkannya sebagai kelas sosial.
Kelas sosial tersebut menurut Goldmann merupakan bukti dalam sejarah sebagai
kelompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan
menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah mempengaruhi perkembang
sejarah umat manusia.
Kelas-kelas sosial adalah kolektivitas yang menciptakan gaya hidup
tertentu dengan struktur yang ketat dan koheren. Kelas merupakan salah satu
indikator untuk membatasi kenyataan sosial yang dimaksudkan oleh pengarang
untuk mempengaruhi bentuk, fungsi, makna dan gaya suatu karya sastra.
Hubungan ini sesuai dengan pandangan marxis, karya disebut sebagai wakil kelas
sebab karya sastra dimanfaatkan untuk menyampaikan aspirasi kelompoknya.
Goldmann menspesifikasikan kelas sosial dalam pengertian marxis sebab baginya
commit to user
menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan
dan telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia.
Kajian strukturalisme genetik, subjek transindividual merupakan energi
untuk membangun pandangan dunia. Dikaitkan dengan pengarang, latar belakang
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu latar belakang karena afiliasi dan karena
kelahiran.
Meskipun istilah transindividual diadopsi oleh Goldmann dari khazanah
intelektual Marxis, khususnya Lukacs, Goldmann tidak menggunakan istilah
kesadaran kolektif dengan pertimbangan istilah ini seolah-olah menonjolkan
pikiran-pikiran kelompok. Sebaliknya, konsep transindividual menurut
Goldmann, menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi dengan struktur mental
kelompok.
Pendapat di atas dapat diartikan bahwa struktur karya sastra dapat
diselidiki asal-usulnya atau genetiknya. Asal-usul karya sastra tidak lain adalah
pengarang, selain itu pengarang menghasilkan karya sastra karena terdapat
faktor-faktor yang mengkondisikannya. Fakta sosial yang dianggap tidak sejalan dengan
aspirasi subjek kolektif pengarang itulah yang menyebabkan pengarang menulis
karya sastra.
e. Pandangan Dunia
Menurut Goldmann dalam Faruk (1994: 15-16) pandangan dunia
merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan,
aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara
commit to user
kelompk sosial yang lainnya. Masih menurut Goldmann pandangan dunia
merupakan kesadaran kolektif yang dapat digunakan sebagai hipotesis kerja yang
konseptual, suatu model, bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks
sastra. Pandangan dunia ini berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan
ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya.
Pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba, ia merupakan transformasi
mentalitas yang lama secara berlahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya
mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama. Proses panjang
tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa pandangan dunia merupakan
kesadaran yang mungkin tidak semua orang memahaminya. Kesadaran yang
mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke
arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif koheren dan terpadu mengenai
hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam semesta (Goldmann, 1981:
97).
Kesadaran demikian jarang disadari pemiliknya kecuali dalam
momen-momen krisis dan sebagai ekspresi karya sastra besar yang menurut Goldmann
berbicara tentang alam semesta dan hukum-hukumnya serta persoalan yang
tumbuh darinya (Faruk, 1994: 15).
Visi duniawi merupakan kesadaran kolektif terhadap totalitas pikiran yang
ekspresinya dapat berupa aspirasi atau perasaan yang sama sekali bukan sekedar
kenyataan empiris, itulah sebabnya, menurut Goldmann visi duniawi selalu
muncul seiring dengan krisis sosial. Oleh karena itu sebagai pelopor
commit to user
ekspresi teoritik dari suatu kelas sosial pada saat bersejarah tertentu. Vision du
monde selalu mencerminkan pandangan kelas sosial karena tumbuh dan
berkembang dari situasi sosial-ekonomi tertentu yang dihadapi suatu komunitas
(Wahyu Wibowo, 2003: 30-31).
Visi duniawi tidak lepas dari tragedi dalam karya sastra yang dituangkan
pengarang dalam karyanya. Lucien Goldmann (1991: 18) berpendapat mengenai
hal ini sebagai berikut:
The universe of tragedy is a universe where God is absent; not merely non-existent as He is for the empiricists or rationalists, but absent; that is to say, that everything that happens situates itself in reletion to Him, and to the fact that He never intervenes. Lukacs defined tragedy as a play in which God is the only spectator, but a passive spectator who doesn’t intervene in tehe action or in the destiny of the heroes.
Menurut Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) karya sastra
sebagai struktur memiliki makna merupakan wakil pandangan dunia penulis tidak
sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian,
dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang
menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui
pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikanya. Karya sastra tidak akan
dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah
melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat dapat
mengakibatkan penelitian menjadi pincang.
Pandangan dunia memicu subjek untuk mengarang dan dianggap sebagai
salah satu ciri keberhasilan suatu karya dalam rangka strukturalisme genetik,
commit to user
tertentu. Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan
nilai-nilainya, sekaligus memperoleh artinya bagi masyarakat. Berdasarkan penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia adalah keseluruhan gagasan,
aspirasi, dan perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama
anggota-anggota suatu kelompok sosial yang lain yang diwakili oleh pengarang sebagai
bagian dari masyarakat.
f. Konsep Pemahaman-Penjelasan dan Keseluruhan-Bagian
Konsep ini terkait dengan metode yang digunakan oleh teori
strukturalisme genetik. Karya sastra harus dipahami sebagai struktur yang
menyeluruh. Pemahaman karya sastra sebagai struktur menyeluruh akan
mengarah pada penjelasan hubungan sastra sosial budaya sehingga mempunyai
makna.
Karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang
lebih kecil. Karena itu pemahaman terhadap karya sastra dilakukan dengan
konsep keseluruhan-bagian. Teks karya sastra itu sendiri merupakan bagian dari
struktur keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya menjadi struktur berarti.
Konsep tersebut melahirkan metode dialektika. Prinsip dasar metode ini adalah
bahwa karya sastra dengan realita masyarakat mempunyai hubungan dialektika,
hubungan yang secara tidak langsung. Karya sastra mempunyai dunia yang
berlainan, karya sastra dan realita dapat dilihat melalui proses interpretasi.
Perhatian pertama tertuju pada teks karya sastra dan perhatian yang kedua
commit to user
Konsep pemahaman-penjelasan dalam metode dialektika. Pemahaman
adalah usaha pendeskripsian struktur objek karya sastra yang dikaji, sedangkan
penjelasan adalah usaha menghubungkan pemahaman ke dalam struktur yang
lebih besar.
Konsep keseluruhan-bagian mengemukakan dialektika antara keseluruhan
dan bagian. Keseluruhan hanya dapat dipahami dengan mempelajari
bagian-bagiannya dan bagian-bagian tersebut dapat dipahami jika ditempatkan dalam
satu keseluruhan. Pemahaman dilihat sebagai suatu proses yang melingkar
terus-menerus; dari keseluruhan ke bagian dan dari bagian kekeseluruhan (Ekarini
Saraswati, 2003: 81).
Teori strukturalisme genetik pada prinsipnya memadukan analisis
struktural dengan materialisme historis dan dialektik. Karya sastra harus dipahami
secara keseluruhan terhadap hal yang bermakna. Teks sastra memiliki kepaduan
total. Unsur-unsur yang memebentuk teks mengandung arti sehingga dapat
memberikan gambaran yang lengkap dan padu terhadap makna secara
keseluruhan dalam karya tersebut.
Goldmann memandang karya sastra sebagai produk strukturasi pandangan
dunia sehingga cenderung mempunyai struktur yang koheren. Sebagai struktur
yang koheren karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian
yang lebih kecil. Oleh karena itu, pemahaman terhadapnya dapat dilakukan
dengan konsep keseluruhan bagian. dalam batas teks karya sastra yang dimaksud
dengan keseluruhan dan bagian adalah keseluruhan dan bagian teks sastra.
commit to user
“in this respect, the process of investigation is the same throught out the whole field of the sciences of man. The research worker must secure apattern, a model composed of a limited number af elements and relationships, starting from which he must be able to account for the great majority of the empirical data of which the object studied is thought to be composed….
Once the recearch worker has advenced as far as possible in the internal coherence of the work and its structural modes h must direct himself toward explanation”.
Eksplanasi pada kutipan terakhir dinyatakan Goldmann dengan maksud
penggabungan struktur internal yang diterangkan dalam struktur yang lebi besar,
di dalam struktur internal hanya berupa elemen saja. Keterangan ini
mengimplikasikan pengertian bahwa bagi Goldmann struktur internal bukan
tujuan akhir pemahaman karya sastra. Berarti atau tidaknya suatu karya sastra
hanya dapat diuketahui dengan memasukkannya dalam struktur yang lebih besar.
Pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari
(Goldmann, 1970: 589), sedangkan penjelasan adalah usaha manemukan makna
struktur dengan menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar
(Goldmann, 1970: 590), dengan kata lain pemahaman adalah usaha untuk
mengerti makna bagian dengan menempatkan ke dalam keseluruhan yang lebih
besar (Faruk, 1988: 106).
Penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik Sapardi Djoko
Damono (1979) memberikan ciri-ciri strukturalisme genetik sebagai suatu metode
sebagai berikut.
1) Perhatiannya terhadap keutuhan dan totalitas: kaum strukturalis percaya
bahwa yang menjadi dasar telaah strukturalisme genetik bukanlah
bagian-bagian totalitas tetapi jaringan hubungan yang ada antara bagian-bagian-bagian-bagian itu
commit to user
2) Strukturalisme genetik tidak menelaah struktur pada permukaannya, tetapi
struktur yang ada di balik kenyataan. Kaum strukturalis berpandangan bahwa
yang terlihat dan terdengar, misalnya, bukanlah struktur yang sebenarnya,
tetapi hanya bukti adanya struktur.
3) Analisis yang dilakukan oleh kaum strukturalis menyangkut struktur yang
sinkronis (bukan diakronis). Perhatian kaum strukturalis lebih difokuskan
pada hubungan-hubungan yang ada pada suatu saat di suatu waktu, bukan
dalam perjalanan waktu. Struktur sinkronis dibentuk oleh jaringan hubungan
struktural yang ada.
4) Strukturalisme genetik adalah metode pendekatan yang antikausal. Kaum
strukturalis dalam analisisnya sama sekali tidak menggunakan sebab-akibat;
mereka menggunakan hukum perubahan bentuk.
Langkah-langkah penelitian dengan metode strukturalisme genetik yang
ditawarkan oleh Laurenson dan Alan Swingewood (1972) yang disetujui oleh
Goldmann adalah sebagai berikut.
a) Penelitian sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula diteliti strukturnya
untuk membuktikan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu
dan holistik.
b) Penghubung dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra yang
dihubungkan dengan sosial budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan
commit to user
c) Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif,