• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Skema 4: Komponen Analisis Data Model Interaktif

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa pada saat pengumpulan data, peneliti selalu membuat reduksi data dan sajian data. Data yang berupa catatan yang terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya adalah data yang telah digali dan

Pengumpulan Data

Reduksi Data Penyajian Data

commit to user

dicatat. Berpijak pada dua bagian data tersebut peneliti menyusun rumusan pengertiannya secara singkat berupa pokok-pokok temuan yang penting, yang disebut reduksi data. Kemudian dilakukan penyusunan sajian data berupa cerita sistematis dan logis dengan suntingan peneliti supaya makna peristiwanya menjadi lebih jelas dipahami. Berdasarkan sajian data dilakukan penarikan kesimpulan sementara dilanjutkan verifikasi.

Apabila simpulan dirasa barang karena rumusan data dalam sajian data, maka peneliti kembali melakukan pengumpulan data untuk mencari pendukung simpulan yang telah dikembangkan sebagai usaha pendalaman data. Begitu berulang-ulang sampai mendapat simpulan yang memuaskan.

commit to user BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan inti penelitian pendidikan kaum marginal dengan pendekatan strukturalisme genetik, peneliti melakukan analisis data dari sumber data novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Analisis data dilakukan dalam lima bagian.

Pertama, analisis data yang berhubungan dengan struktur novel Laskar Pelangi karya

Andrea Hirata dalam membentuk totalitas makna yang terlihat melalui hubungan antartokoh dengan lingkungannya sehingga terlihat problematika yang dihadapi oleh masing-masing tokoh. Kedua, analisis data yang berkaitan dengan kehidupan sosial

Andrea Hirata yang berhubungan dengan novel Laskar Pelangi. Ketiga, analisis data

yang berhubungan dengan latar belakang sejarah atau peristiwa sosial budaya

masyarakat Indonesia yang melahirkan Laskar Pelangi. Keempat, analisis data yang

berkaitan dengan dimensi pendidikan kaum marginal dalam novel Laskar Pelangi

karya Andrea Hirata. Kelima, analisis data yang berhubungan dengan pandangan

dunia Andrea Hirata tentang masyarakat Indonesia dalam novel Laskar Pelangi.

Kelima bagian analisis tersebut diuraikan sebagai berikut.

A. Struktur Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata yang

Mencerminkan Problematika Tokoh Akibat Hubungan Antartokoh Maupun Lingkungannya

Analisis struktural karya sastra merupakan jembatan dan prioritas utama dalam menganalisis unsur-unsur sastra lebih mendalam yang tidak dapat dihindari dari tahap penelitian sastra karena analisis struktural akan memudahkan dalam mengidentifikasi dan mendeskripsikan tiap-tiap unsur sastra yang ada. Hal ini sejalan

commit to user

dengan pandapat A.Teeuw (1984: 61) yang mengemukakan bahwa analisis struktural merupakan prioritas utama sebelum analisis yang lain, tanpa analisis struktural kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri tidak akan terungkap.

Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik yang bersangkutan. Tahap awal karya sastra diidentifikasi dan dideskripsikan unsur- unsurnya, tahap selanjutnya menjelaskan hubungan dan fungsi tersebut yang bertujuan untuk menunjang serta membentuk suatu totalitas kemaknaan secara terpadu.

Struktur karya sastra merupakan sesuatu yang bulat dan bersifat otonom, antarunsur saling terkait dan tidak dapat berdiri sendiri. Hal ini sejalan dengan pemikiran Rahmat Djoko Pradopo (2003: 269) yang mengemukakan bahwa struktur merupakan keseluruhan yang bulat, yakni bagian-bagian yang membentuknya tidak bisa berdiri sendiri diluar struktur itu, sebuah karya sastra terdiri dari unsur-unsur yang bersistem, dimana unsur-unsur tersebut terjadi hubungan yang timbal balik saling menentukan jadi, kesatuan unsur-unsur dalam karya sastra bukan hanya berupa kumpulan unsur-unsur yang berdiri sendiri, melainkan hal-hal yang saling terkait dan saling bergantung.

Novel sebagai salah satu bentuk cerita rekaan, memiliki struktur yang kompleks oleh sebab itu untuk memahami novel tersebut harus dianalisis unsur- unsurnya (Hill dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002: 24). Analisis struktural tidak sekedar memecah struktur novel menjadi fragmen-fragmen yang tidak berhubungan

commit to user

tetapi harus dipahami bagian dari keseluruhan. Jadi untuk memahami novel Laskar

Pelangi haruslah terlebih dahulu dianalisis unsur-unsurnya.

Stanton (2007: 22-36) mendeskripsikan unsur-unsur pembangun karya sastra terdiri dari fakta cerita (alur, tokoh, dan latar), tema, dan sarana cerita.

1. Fakta Cerita

Fakta cerita adalah hal konkret yang secara langsung membentuk cerita. Stanton mengelompokkan alur, tokoh, dan latar ke dalam fakta cerita. Fakta cerita

sering disebut sebagai struktural factual atau tahapan factual. Fakta cerita ini

sangat terlihat jelas dan mengisi cerita secara dominan, sehingga pembaca sering mendapatkan kesulitan untuk mengidentifikasi unsur-unsurnya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa fakta cerita bukan bagian yang terpisah dari cerita dan hanya merupakan salah satu aspeknya, cerita dipandang secara tertentu (Stanton, 2007: 22).

2. Tema

Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. Tema merupakan aspek utama yang sejajar dengan makna dalam kehidupan manusia, sesuatu yang dijadikan pengalaman begitu diingat (Stanton, 2007: 36).

3. Sarana Cerita

Sarana cerita adalah metode pengarang untuk memilih dan menyusun detail atau bagian-bagian cerita, agar tercapai pola yang bermakna. Tujuan sarana cerita ini agar pembaca dapat melihat fakta-fakta cerita melalui sudut pandang,

commit to user

gaya bahasa, simbol-simbol, imajinasi dan juga cara pemilihan judul di dalam karya sastra.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa analisis struktural merupakan suatu penelitian yang didasarkan pada unsur internal karya sastra yang merupakan satu kesatuan otonom untuk mengungkap makna secara keseluruhan.

Analisis dalam penelitian ini bersifat obyektif. Unsur-unsur yang akan dianalisis di dalam penelitian ini adalah tema, alur, latar dan penokohan karena keempat unsur tersebut saling berkaitan dan dapat membentuk satu kesatuan makna dalam cerita rekaan. Dibawah ini akan dibahas unsur-unsur intrinsik yang

terdapat dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata sebagai berikut.

a. Tema

Tema adalah makna yang ditemukan dalam suatu cerita. Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007: 70) mengemukakan bahwa tema adalah dasar cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih bersinonim dengan ide

utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).

Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita atau sebagai gagasan utama sebuah karya sastra. Gagasan utama itu telah dirumuskan oleh pengarang sebelum memulai membuat karya sastra hingga diberbagai peristiwa, konflik, pemikiran dan unsur intrinsik lainnya. Tema sebuah cerita sesuai dengan pengalaman pengarang. Biasanya pengalaman yang dijadikan sebagai tema adalah pengalaman yang sulit dilupakan. Kebanyakan cerita melukiskan dan menganalisis kejadian-kejadian secara umum atau yang

commit to user

berhubungan dengan emosi manusia, cinta, dan duka cita, ketakutan kedewasaan, perjalanan iman, penghianatan, kekecewaan, dan perjalanan usia (Stanton, 1965: 21-22).

Menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2007: 68). Adapun lebih lanjut dijelaskan oleh Stanton (2007: 44-45) bahwa tema dibagi menjadi empat, yaitu:

1) interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai

detail menonjol dalam sebuah cerita;

2) interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail

cerita yang saling berkontradiksi;

3) interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada

bukti-bukti yang tidak jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit);

4) interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita

bersangkutan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tema merupakan makna yang terkandung dalam cerita. Pencarian tema dapat dilakukan dengan menyimpulkan keseluruhan isi cerita. Adapun tema yang

terkandung dalam novel Laskar Pelangi adalah pendidikan kaum marginal

yang membawa tokoh-tokoh dalam novel ini, anak-anak sekolah serba kekurangan tetapi memiliki sumber inspirasi yang kuat yang terjelma pada guru-gurunya. Inspirasi ini menjadi motivasi membentuk pribadi yang mandiri dan menjadi sarana mencapai cita-citanya. Perekonomian dan kemiskinan

commit to user

yang menjadi inti novel tersebut. Kesenjangan ini mendorong semangat kaum muda yang mencintai tanah kelahirannya, Belitong untuk belajar dengan penuh ketekunan.

Laskar Pelangi mengangkat tema kehidupan dan pendidikan di tengah perekonomian yang miskin di daerah pedalaman Belitong, pulau kaya penghasil timah. SD tersebut hanya memiliki sepuluh siswa, kondisi bangunannya sangat memprihatinkan karena hampir roboh dan di malam hari bangunan tersebut menjadi kandang ternak. Kegigihan mereka dan jasa Ibu Muslimah. Satu-satunya guru di sekolah tersebut yang rela mengajar bertahun-tahun tanpa digaji, mereka semua berhasil menjalani pendidikan. Keterbatasan tersebut tidak menjadi penghalang mereka untuk memperoleh pendidikan dan mewujudkan cita-cita serta impian mereka.

Laskar Pelangi bercerita mengenai semangat dalam menempuh pendidikan dalam situasi yang serba kekurangan, tetapi akhirnya dapat meraih yang dicita-citakan serta tokoh-tokohnya dapat menemukan jati dirinya. Hal

tersebut tampak pada kutipan berikut.

Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, katika korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan yang bersahaja itu mulai hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status kasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari para petinggi

PN Timah yang disebut ”orang staf” atau urang setap dalam dialek

lokal sampai oada para tukang pikul pipa instalasi panambangan serta

warga suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung

timah. Salah satu atribut diskriminasi itu adalah sekolah-sekolah PN (Laskar Pelangi, 2008: 41).

commit to user

Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah negeri, dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang renta dalam

berbagai ukuran (Laskar Pelangi, 2008: 50).

Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan maksudku mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi kami, sepuluh kawan sekelas ini, memang semuanya orang susah. Ayahku contohnya, hanya pegawai rendahan di PN

Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok tailing, yaitu

material buangan dalam instalasi pencucian timah yang disebut wasserij. Selain bergaji rendah, beliau juga rentan dari risiko kontaminasi radio aktif dari monazite dan senotim. Penghasilan ayahku lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah Syahdan yang bekerja di bagan dan gudang kopra. Penghasilan ayah Syahdan sendiri sebagai tukang dempul perahu, serta ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan sekaligus. Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan gudang kopra tempat kelapa-kelapa

busuk itu bersemedi adalah sama saja. Ia tak punya sense of fashion

sama sekali dan di lingkungannya tidak ada yang mengingatkannya

bahwa sekolah berbeda dengan keramba (Laskar Pelangi, 2008: 67-

68).

Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang melekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu. Kami seperti anak-anak bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus. Sekali lagi kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum, Trapani yang rupawan, Syahdan yang liliput, Kucai yang sok gengsi, Sahara yang ketus, A Kiong yang polos, dan pria kedelapan__yaitu Samson __yang duduk

seperti patung Ganesha (Laskar Pelangi, 2008: 85).

Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan Bodega seperti yang kualami, tapi bukan baru sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke sekolah. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah membolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri membayangkan

perjalanannya (Laskar Pelangi, 2008: 93).

Kembali kami berada dalam sebuah situasi yang mempertaruhkan reputasi. Lomba kecerdasan. Dan kami berkecil hati melihat murid-murid negeri dan sekolah PN membawa buku-buku teks

commit to user

yang belum pernah kami lihat. Tabal berkilat-kilat dengan sampul berwarna-warni, pasti buku-buku mahal. Sebagian peserta berteriak-

teriak keras menghafalkan nama-nama kantor berita (Laskar Pelangi,

2008: 363).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tema dari

novel Laskar Pelangi adalah perjuangan dan kegigihan serta semangat anak-

anak kaum marginal yang menyebut dirinya Laskar Pelangi memperoleh

pendidikan untuk mewujudkan cita-cita dan impian mereka dalam situasi serba kekurangan, kesenjangan perekonomian dan kemiskinan.

b. Alur

Alur cerita sering juga disebut dengan Plot. Plot merupakan jalan cerita yang dirangkaikan pada peristiwa-peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat. Plot secara singkat dapat didefinisikan sebagai jalannya sebuah cerita, tetapi dalam sebuah novel untuk mengetahui bagaimana pengarang menyusun cerita yang bersifat kronologis. Plot atau alur juga pengurutan dan berbagai peristiwa yang disajikan oleh pengarang. Hal ini sejalan dengan pendapat Stanton (2007: 26) yang mengungkapkan bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur merupakan peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal fisik saja seperti ujaran atau tindakan tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter,

commit to user

kilasan-kilasan pandangannya, ketepatan-ketepatannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya.

Plot atau alur cerita sebuah fiksi menyajikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian kepada pembaca tidak hanya dalam sifat kewaktuan atau temporalnya, tetapi juga dalam hubungan-hubungan yang sudah diperhitungkan (Suminto A.Sayuti, 2000: 30).

Tahapan dalam plot atau alur oleh Tasrif (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007: 149-150) dapat dibagi menjadi lima tahapan. Tahapan-tahapan plot tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Tahap Penyituasian (situation)

Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar atau tokoh- tokoh. Berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

2) Tahap Pemunculan konflik (generating circumstances)

Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

3) Tahap Peningkatan Konflik (rising Action)

Tahap ini merupakan tahap di mana peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik- konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan- pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks tidak dapat terhindari.

commit to user

4) Tahap Klimaks (climaks)

Konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilalui atau ditimpakan pada tokoh cerita mencapai intensitas puncak.

5) Tahap Penyelesaian (denovement)

Konflik yng telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, diberi jalan keluar, cerita diakhiri.

Suminto A.Sayuti (2000: 31-32) mengemukakan bahwa strukur plot sebuah fiksi dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal, tengah, dan akhir. Bagian-bagian tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Bagian Awal

Bagian awal sebuah cerita boleh jadi mengandung dua hal yang penting, yakni pemaparan atau eksposisi dan elemen instabilitas. Eksposisi merupakan istilah yang biasanya dipergunakan pengarang untuk menunjuk pada proses yang dipilih dan dipergunakan untuk memberitahukan (berbagai) informasi yang diperlukan dalam pemahaman cerita. Eksposisi biasanya merupakan fungsi primer dalam kaitannya dengan awal suatu cerita sedangkan eleman instabilitas merupakan elemen ketidakstabilan yang memberikan peluang bagi adanya suatu pengembangan cerita.

2) Bagian Tengah

Bagian tengah plot cerita masih ada hubungannya dengan elemenelemen ketidakstabilan yang terdapat pada situasi awal karena

commit to user

elemen-elemen ketidakstabilan tersebut pada bagian tengah ini

mengelompok dengan sendirinyadan membentuk a pattern of conflict

‘pola konflik’, selain itu juga terdapat komplikasi dan klimaks, komplikasi

merupakan perkembangan konflik permulaan, atau konflik permulaan

yang bergerak dalam mencapai klimaks, sedangkan klimaks merupakan

titik intensitas tertinggi komplikasi yang darinya titik hasil (out come)

cerita akan diperoleh dan tidak terelakkan.

3) Bagian Akhir

Bagian akhir plot cerita terdiri dari segala sesuatu yang berasal dari

klimaks menuju ke pemecahan (denoument) atau hasil ceritanya.

Burhan Nurgiyantoro (2007: 153-155) membedakan alur berdasarkan urutan waktu menjadi tiga jenis seperti berikut.

1) Plot Lurus, Maju atau Progresif

Plot sebuah novel dikatakan lurus, maju, atau progresif jika peristiwa-peristiwa yang pertama didikuti oleh peristiwa-peristiwa kemudian.

2) Plot Mundur, Sorot Balik atau Flash Back, Regresif

Plot Mundur, Sorot Balik atau Flash Back, Regresif adalah cerita

yang langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. Pembaca belum mengetahui situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan pertentangan dalam cerita tersebut.

commit to user

3) Plot Campuran

Plot campuran merupakan cerita yang di dalamnya tidak hanya mengandung plot progresif tetapi juga sering terdapat adegan-adegan sorot balik.

Berpijak pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alur merupakan jalinan urutan peristiwa yang membentuk sebuah cerita sehingga dapat dipahami oleh pembaca.

Adapun alur dalam novel Laskar Pelangi dianalisis berdasarkan

pendapat Tasrif, analisis alur dalam novel Laskar Pelangi dijelaskan sebagai

berikut.

1. Tahap Penyituasian (Situation)

Tahap ini dimulai ketika pendaftaran sekolah di SD Muhammadiyah yang miskin. Salah satu yang mendaftar di sekolah tersebut adalah Lintang. Lintang sangat antusias seperti teman-temannya yang lain. Sekolah tersebut terancam akan dibubarkan Depdikbud Sumatra Selatan jika jumlah siswa baru tidak mencapai sepuluh anak. Ketika itu baru sembilan anak yang menghadiri upacara pembukaan, akan tetapi tepat ketika pak Harfan, sang kepala sekolah akan berpidato menutup sekolah, Harun dan ibunya datang untuk mendaftarkan diri di sekolah Muhammadiyah, dari kisah tersebut cerita dimulai. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Baru sembilan orang Pamanda Guru…,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali mengucapkan hal yang sama yang telah diketahui semua

commit to user

orang. Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya (Laskar pelangi, 2008: 8).

Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami mereka satu per satu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para orangtua menepuk-nepuk bahunya untuk membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan pidato terakhir. Wajahnya tampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan salam pertama Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Trapani berteriak sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu.

“Harun!”

Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang sudah berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandengnya.

“Genap sepuluh orang…,” katanya.

Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak. Sahara berdiri tegak merapikan lipatan jilbabnya dan menyandang tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras (Laskar Pelangi, 2008: 7-8).

Semua siswa masuk kelas, Bu Muslimah mengelompokkan tempat duduk berdasarkan kemiripan. Ikal dan Lintang duduk sebangku karena sama-sama ikal. Lintang tampak berseri-seri dan semangat karena akan memulai harinya untuk belajar di sekolah tersebut. Semangat Lintang untuk memperoleh pendidikan tampak pada kutipan berikut:

commit to user

Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera masuk kelas. Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia memberontak, menepis pegangan ayahnya, melonjak, dan menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri. Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang, tak mau turun lagi. Ayahnya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja meloncati nasib, merebut pendidikan (Laskar Pelangi, 2008: 10).

Kemiskinan komunitas Melayu di daerahnya dan jarak antara sekolah dengan rumahnya yang jauh di pedalaman tidak menyurutkan langkah Lintang untuk pergi menimba ilmu di sekolah, hal ini tampak pada kutipan berikut:

Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau mengiginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang harus menjadi

Dokumen terkait