BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Skema 2: Pendidikan Humanisasi
commit to user
Menggambarkan betapa pentingnya Freire dalam dunia pendidikan dapat
disimak dari statemen Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres (1997) Educators
can be with Freire or against Freire, but not without Freire. Pernyataan ini menunjukkan signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia. Sebagai seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya yang tinggi kepada manusia. Berbekal kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan
sebuah dunia yang menos feio, menos malvado, menos desumano (less ugly, less
cruel, less inhumane) (dalam Agus Nuryatno. M, 2005).
Menurut kesaksian Martin Carnoy, Paulo Freire mempunyai arah politik pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich. Arah politik
pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the
oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam-macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya (dalam Agus Nuryanto, M, 2005).
Kondisi yang tidak berimbang sebab dominasi peran suatu kelompok dalam masyarakat kemudian melahirkan penindasan, tekanan-tekanan dan mungkin juga kekerasan fisik. Akibatnya struktur sosial yang ada hanya mewakili dari "sistem tuan dan budak". Kelompok lemah akan semakin tertindas dan hidup dalam keterbelakangan. Potensi-potensi manusiawi telah dinafikan akibat struktur yang membentuk antagonisme itu.
Bagi Paulo Freire, kondisi seperti itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Setiap penindasan apapun bentuknya tetap dinilai tidak manusiawi (dehumanisasi). Oleh
karena itu proses pendidikan harus memuat agenda untuk memanusiakan manusia
commit to user
dalam kebudayaan bisu (sub merged in the culture silence), yaitu suatu kondisi yang
senantiasa dalam ketakutan dan ketidakberdayaan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri (Mu’arif, 2010).
Ketimpangan sosial akibat dominasi peran (fungsi) dari sekelompok orang yang merasakan kenyamanan di atas penderitaan orang lain bukanlah kondisi yang harus dibiarkan begitu saja. Paulo Freire (1985) menggarisbawahi bahwa pendidikan harus bertujuan untuk membebaskan manusia dari kungkungan rasa takut atau tertekan akibat otoritas kekuasaan. Ia juga berpendapat bahwa pendidikan untuk membebaskan kaum tertindas harus didasarkan atas semangat optimisme, sikap kritis dan resistent. Optimisme berarti merubah pola pikir masyarakat dari kesadaran magis (magic consciousness) yang sangat determinis itu. Sikap ini merupakan langkah awal untuk mengubah sistem yang ada karena pada dasarnya setiap manusia itu memiliki
"kehendak" (will) dan "kebebasan" (freedom) untuk menentukan nasibnya sendiri.
Karena itulah, seseorang harusnya optimis dalam menghadapi proses kehidupan ini. Semuanya penuh dengan "keserbamungkinan".
Mengemansipasi mereka yang tertindas Paulo Freire (1985) berangkat dari
konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings.
Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensinya. Menjadi subjek atau makhluk yang lebih manusiawi
dalam pandangan Freire adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia.
Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Paulo Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya.
commit to user
Pelajaran yang bisa ditarik dari ajaran Paulo Freire untuk konteks pendidikan Indonesia adalah komitmen terhadap kaum marginal. Melalui perspektif Paulo Freire tidak ada lagi kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan antara kaum elite dan kaum marginal, sehingga sekolah tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo.
Ada dua kelompok kaum marginal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan
perhatian serius oleh publik dalam hal pendidikan: pertama, penyandang cacat.
Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan.
Pendidikan mereka dibedakan dengan kaum normal. Segregasi pendidikan ini telah
berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu bersaing dengan yang normal karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal. Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka tereksklusi dari sistem sosial orang- orang normal, jadilah mereka sebagai warga kelas dua. Anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan
kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya di sekolah. Kedua, anak-anak
jalanan. Secara kuantitas kelompok ini semakin banyak, terutama di kota-kota besar. Mereka adalah kaum miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan. Menggunakan perspektif Paulo Freire, kunci utama agar kedua kelompok dapat menjadi subjek yang otonom dan bisa mengkritisi realitas
commit to user
eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi struktur sosial yang adil. Kaum marginal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan keadilan dan berhak melawan segala bentuk diskriminasi (Agus Nuryanto. M, 2005).
Tatanan nilai positif Paulo Freire dalam bidang pendidikan relevan dan dapat disejajarkan dengan pilihan tema pendidikan yang berkembang saat ini yaitu orientasi institusi pendidikan yang berniat mencetak manusia mekanistis atau berusaha untuk lebih menghasilkan manusia yang berbudaya. Manusia yang berbudaya lebih diarahkan pada peralihan kebebasan dan humanisasi, sesuai dengan gagasan Paulo Freire.
Beberapa konsep Paulo Freire (1985) mengenai pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan dapat dilihat di bawah ini.
a. Pendidikan ditujukan pada kaum tertindas dengan tidak berupaya menempatkan
kaum tertindas dan penindas pada dua kutub berseberangan. Pendidikan bukan dilaksanakan atas kemurahatian palsu kaum penindas untuk mempertahankan status quo melalui penciptaan dan legitimasi kesenjangan. Pendidikan kaum tertindas lebih diarahkan pada pembebasan perasaan/ idealisme melalui persinggungannya dengan keadaan nyata dan praksis. Penyadaran atas kemanusiaan secara utuh bukan diperoleh dari kaum penindas, melainkan dari diri sendiri. Berpijak dari sinilah subjek-didik membebaskan dirinya, bukan untuk kemudian menjelma sebagai kaum penindas baru, melainkan ikut membebaskan kaum penindas itu sendiri. Pendidikan ini bukan bertujuan untuk menjadikan
commit to user
kaum tertindas menjadi lebih terpelajar, tetapi untuk membebaskan dan mencapai kesejajaran pembagian pengetahuan.
b. Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan Freire adalah suatu kampanye
dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus. Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua orang tanpa kecuali.
c. Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang
membebaskan dan kemudian memanusiakan. Menumbuhkan kesadaran yang
menjauhkan rasa takut akan kemerdekaan (fear of freedom) berupa:
1) kesadaran magis (magic consciousness)
Kesadaran magis merupakan tingkat kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia sebagai penyebab ketidakberdayaan. Proses pendidikan yang menggunakan logika ini tidak memberikan kemampuan analisis permasalahan masyarakat. Anak didik
secara dogmatik menerima keberanian dari guru tanpa ada mekanisme untuk
memahami makna ideologis dari setiap konsepsi kehidupan masyarakat;
2) kesadaran naif (naival consciousness)
Kesadaran yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah aspek manusia yang menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Kesadaran ini mencakup
masalah etika kreativitas (need for achevement) dianggap sebagai penentu
commit to user
mereka hal ini disebabkan salah masyarakat sendiri karena malas, tidak memiliki jiwa berwirausaha dan tidak mempunyai jiwa membangun. Oleh
karena itu man power development merupakan penentu perubahan.
Pendidikan dalam konteks ini tidak mempertanyakan sistem dan struktur bahkan sistem dan struktur yang ada sudah baik dan benar tanpa perlu dipertanyakan lagi. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan murid untuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut;
3) kesadaran kritis (critical consciousness)
Kesadaran ini melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Pendekatan struktur menghindari ‘blaming the victims’ dan lebih menganalisis
kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya serta dampaknya bagi masyarakat. Paradigma ini melatih anak didik untuk mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada serta mampu menganalisis bagaimana sistem dan struktur bekerja dan mentransformasikannya;
4) kesadaran kesadarannya kesadaran (the consice of the consciousness)
merupakan bentuk kesadaran tingkat tertinggi dan terdalam.
B. Penelitian yang Relevan
Sebuah penelitian agar mempunyai orisinilitas perlu adanya tinjauan pustaka berupa panelitian relevan. Tinjauan pustaka berupa penelitian yang relevan berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian dan analisis sebelumnya yang telah
commit to user
dilakukan. Tinjauan terhadap hasil penelitian dan analisis sebelumnya ini akan
dipaparkan yang berkaitan dengan novel Laskar Pelangi.
Analisis mengenai novel Laskar Pelangi sebelumnya telah dilakukan, antara
lain oleh Aldilla Nofrinda (2008) dalam bentuk tesis berjudul “Nilai-nilai Pendidikan
dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Tesis yang disusun Aldilla
merupakan penelitian eksploratif yang ditempuh dengan menggunakan metode semiotika untuk menganalisis wacana dengan memperhatikan tanda-tanda tertentu dalam objek penelitian sampai pada tingkat menemukan makna keseluruhan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Aldilla adalah penggunaan objek kajian
novel yaitu Laskar Pelangi, sedangkan perbedaannya pada pendekatan yang
dipergunakan. Penelitian Aldilla menggunakan pendekatan semiotik, sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme genetik.
Iwan Nurdaya Djafar (2008) dalam analisisnya yang berjudul “Dari Aspek
Saintifik Tetralogi Laskar Pelangi” mengemukakan bahwa Laskar Pelangi
merupakan novel bergaya Saintifik karena mensastrakan Fisika, Kimia, Biologi dan Astronomi, adanya penegasan perbedaan antara Astronomi dan Astrologi dalam
novel Laskar Pelangi, serta tokoh Mahar dan Flo yang mengidap over belief
(keimanan yang berlebihan) yang tergabung dalam Societeit Limpai. Persamaan
analisis tersebut dengan penelitian ini adalah menggunakan novel Laskar Pelangi
sebagai objek, sedangkan perbedaan penelitian ini dengan analisis di atas adalah penelitian ini mengkaji dimensi pendidikan kaum marginal, sedangkan dalam analisis di atas mengkaji aspek saintifik.
commit to user
Jakob Sumardjo (2008) dalam analisisnya “Kritik Buku: Biografi atau
Novel, Fakta atau Fiksi?” pengamat sastra ini memberikan simpulan bahwa Laskar
Pelangi sebagai biografi atau otobiografi (memoar) dari sebagian episode hidup
Andrea Hirata, dan Laskar Pelangi merupakan realitas (fakta) kehidupan Andrea
Hirata. Persamaan penelitian ini dengan analisis di atas adalah dalam hal penggunaan
objek yaitu novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Perbedaan penelitian ini
dengan analisis di atas terletak pada pokok bahasan yang dikaji, dalam penelitian ini mengkaji dimensi pendidikan kaum marginal, sedangkan dalam analisis di atas
mengkaji tentang kritik buku, apakah Laskar Pelangi berupa biografi atau novel?,
fiksi atau fakta? dapat disimpulkan bahwa Laskar Pelangi sebagai biografi atau
otobiografi (memoar) dari sebagian episode hidup Andrea Hirata, dan Laskar Pelangi
merupakan realitas (fakta) kehidupan Andrea Hirata.
Sri Setya Prihatin (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Novel Laskar
Pelangi (Analisis Struktur, Resepsi Pembaca, dan Nilai Pendidikan)”. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Berdasarkan penelitiannya dapat disimpulkan bahwa dilihat dari struktur,
plot atau alur novel Laskar Pelangi secara umum menggunakan plot atau alur maju.
Penokohan dan perwatakan yang diciptakan pengarang berhasil menggambarkan
secara riil karakter manusia. Setting atau latar cerita, tempat kejadian cerita novel
Laskar Pelangi yaitu di SD Muhammadiyah di wilayah Belitong. Berdasarkan point of view novel Laskar Pelangi menggunakan sudut pandang persona pertama (firt- person) atau gaya “aku”. Amanat novel Laskar Pelangi banyak memberi pencerahan
commit to user
para pendidik, generasi muda, dan para pemegang kebijakan di bidang pendidikan. Berdasarkan resepsi pembaca, semua pembaca yang diwawancarai berpendapat
bahwa novel Laskar Pelangi merupakan novel yang bernilai positif, novel yang dapat
meningkatkan kualitas tingkah laku dan kecerdasan moral pembaca.Adapun nilai-
pendidikan yang terkandung dalam novel Laskar Pelangi setidaknya ada empat
macam, yaitu nilai pendidikan keagamaan, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan kepahlawanan, dan nilai pendidikan sosial kemasyarakatan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Sri Setya Prihatin terletak pada dimensi kajian. Penelitian Sri Setya Prihatin menggali resepsi pembaca, dan nilai pendidikan, sedangkan penelitian ini menggali dimensi pendidikan kaum marginal.
Adek Setiawan (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Aspek Pendidikan
dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa dalam tema novel Laskar Pelangi adalah perjuangan dan semangat anak-anak
dalam memperoleh pendidikan di tengah himpitan kemiskinan dan diskriminasi
sosial. Alur dalam novel Laskar Pelangi menggunakan alur maju. Tokoh yang
berperan sebagai tokoh utama adalah Ikal, dan tokoh-tokoh lain adalah tokoh
bawahan yang mendukung tokoh utama. Latar tempat pada novel Laskar Pelangi
terjadi di Pulau Belitong, latar waktu terjadi pada pertengahan tahun 1970-an sampai pada tahun 1992. Kemudian latar sosial yang tergambar adalah perjuangan memperoleh pendidikan di tengah kondisi kemiskinan. Aspek pendidikan yang
terkandung dalam novel Laskar Pelangi adalah keteladanan guru, kesenjangan
commit to user
pendidikan inklusi, dan konsep pendidikan formal yang ideal. Persamaan penelitian
ini dengan penelitian Adek Setiawan adalah objek kajian berupa novel Laskar
Pelangi, sedangkan sisi perbedaan pada aspek kajian. Aspek kajian penelitian Adek Setiawan berupa aspek pendidikan, sedangkan penelitian ini difokuskan pada dimensi pendidikan kaum marginal.
Eko Marini (2010) dalam tesisya yang berjudul “Analisis Stilistika Novel Laskar Pelangi”. Program Studi Linguistik Deskriptif, Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta, ditemukan adanya keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata yaitu pada leksikon bahasa asing, leksikon bahasa Jawa, leksikon ilmu pengetahuan, kata sapaan dan kata konotatif. Kekhususan aspek morfologis
dalam novel Laskar Pelangi yaitu pada penggunaan afiksasi pada leksikon bahasa
Jawa dan bahasa Inggris, reduplikasi dalam leksikon bahasa Jawa dan kata majemuk
dalam bahasa Indonesia. Aspek sintaksis dalam novel Laskar Pelangi yaitu kalimat
majemuk, penggunaan pola kalimat inversi. Pemakaian gaya bahasa figuratif yaitu idiom, arti kiasan, metafora, metonimia, simile, personifikasi dan hiperbola. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Eko Marini terletak pada bidang ilmu
kajian. Eko Marini mengkaji novel Laskar Pelangi menggunakan kacamata linguistik
khususnya kajian stilistika, sedangkan panelitian ini menggunakan kacamata sastra dalam hal dimensi pendidikan kaum marginal.
commit to user
C. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam penelitian kualitatif hanya merupakan gambaran bagaimana setiap variabelnya dengan posisinya yang khusus akan dikaji dan dipahami keterkaitannya dengan variabel yang lain. Tujuannya adalah untuk menggambarkan bagaimana kerangka berpikir yang digunakan peneliti untuk mengkaji dan memahami permasalahan yang diteliti. Dengan pemahaman peta secara teoritik beragam variabel yang terlibat dalam penelitian, peneliti berusaha menjelaskan hubungan dan keterkaitan antar variabel yang terlibat, sehingga posisi setiap variabel yang akan dikaji menjadi jelas (Sutopo, 2002: 141).
Kerangka teori dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Karya Sastra Laskar Pelangi
Pandangan dunia dan latar belakang
sosial budaya pengarang Pendidikan Kaum Marginal (Paulo Freire Aspek-aspek struktural
tema, seting, alur, dan penokohan
Totalisasi Makna Novel
Strukturalisme Genetik
commit to user BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan sehingga tidak terpancang pada tempat. Penelitian ini dapat dilakukan di perpustakaan, di rumah maupun tempat tertentu yang telah dipersiapkan. Objek kajian dalam penelitian
ini adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 7 bulan yaitu mulai bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Juli 2011. Adapun jadwal pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
No Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst
1 Persiapan 2 Pengumpulan Data 3 Analisis Data 4 Verifikasi Data 5 Penyusunan Laporan 6 Ujian Tesis 7 Revisi Tesis B. Bentuk/Strategi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Hal ini disesuaikan dengan rumusan masalah penelitian yang telah ditetapkan. Dalam penelitian ini informasi yang bersifat kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis. Penelitian
commit to user
kualitatif menurut Lexy J. Moleong (2004: 4) yang mengutip pendapat Bogdan dan Taylor adalah sebagai berikut: ”metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati”. Penelitian ini menggunakan deskripsi berupa kata-kata tertulis dengan pendekatan strukturalisme genetik.
Pendeskripsian meliputi struktur yang membangun novel Laskar Pelangi,
pandangan dunia pengarang (Andrea Hirata) dan dimensi pendidikan kaum marginal. Pendekatan ini digunakan dalam rangka pemberian makna yang mendalam terhadap karya sastra yang diteliti dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat . Dilihat dari sisi pengarang, pengarang juga merupakan bagian komunitas masyarakat yang sadar atau tidak pola kehidupannjya akan terpengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data atau informasi penting yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Dana penelitian ini diperoleh melalui membaca.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah:
a. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata
b. Biografi penulis
c. Komentar-komentar para sastrawan tentang novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata
commit to user
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara sesuai jenis penelitian kualitatif yang dipilih. Menurut Gotz dan Le Comte, dalam Sutopo (2006: 66), berbagai strategi pengumpulan data dalam penelitian kualitatif secara umum dapat dikelompokkan ke dalam 2 cara, yaitu teknik pengumpulan data yang bersifat interaktif dan noninteraktif. Teknik yang bersifat interaktif, berarti ada kemungkinan terjadinya saling mempengaruhi antara peneliti dengan sumber datanya, karena sumber data berupa benda atau sumber datanya manusia atau yang lain, tidak mengetahui bila sedang diamati atau dikaji.
Teknik interaktif meliputi wawancara mendalam, observasi berperan, dan focus group discussion. Teknik non interaktif meliputi kuesioner, mencatat dokumen
atau arsip (content analysis), dan observasi tak berperan. Dalam melakukan
pengumpulan data, peneliti menyadari bahwa posisi dan peran utamanya adalah
sebagai alat pengumpul data (human instrument). Sehingga kualita data yang
diperoleh akan bergantung dari kualitas penelitian.
Dalam telaah novel Laskar Pelangi dengan pendekatan strukturalisme genetik
memadukan teknik pengumpulan data dialektik dan nonimperatif dengan melakukan pembacaan secara intensif terhadap novel, melakukan pencatatan secara aktif dengan
metode content analysis berdasarkan teori sastra yang telah dibahas di depan.
E. Validitas Data
Untuk mengukur validitas tentang pandangan dunia pengaruh dalam novel Laskar Pelangi, struktur yang membangun novel dan latar belakang sosial budaya
commit to user
Laskar Pelangi yang ada, peneliti membaca buku-buku dan rubrik yang berkaitan dengan pengarang dan hasil karyanya lewat internet.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk menganalisis novel Laskar Pelangi
karya Andrea Hirata guna mendapatkan gambaran konkrit, analisis dilakukan dengan menggunakan metode dialektik Goldmann. Goldmann mengembangkan sebuah metode yang disebutnya sebagai metode dialektik dengan dua pasang konsep; keseluruhan-bagian dan pemahaman-penjelasan (Goldmann, 1977: 7). Menurut Goldmann metode dialektik merupakan metode yang khas dan berbeda dari metode positivis, metode intuitif dan metode biografis yang psikologis (Goldmann, 1977: 8).
Sudut pandang dialektik mengukuhkan perihal tidak adanya titik awal yang mutlak, tidak adanya persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan karena dalam pandangan pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan individu hanya mempunyai arti jika ditempatkan dalam keseluruhannya. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan tentang fakta-fakta parsial yang membangun keseluruhan itu, karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian tidak dapat dipahami tanpa keseluruhan, proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar terus- menerus tanpa diketahui titik yang menjadi pangkal dan ujungnya (Goldmann, 1977: 5).
Teks sastra merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar dan membuatnya menjadi struktur berarti. Pemahaman mengenai teks sastra sebagai
commit to user
keseluruhan harus dilanjutkan dengan usaha menjelaskannya dengan menempatkan keseluruhan yang lebih besar. Dengan demikian dapat dijelaskan yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari. Penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar (Goldmann, 1970: 589-590)
Metode dialektik Goldmann bekerja secara timbal balik dari bagian ke keseluruhan, dari teks sastra ke masyarakat, ke pandangan dunia dan sebaliknya. Ia dapat dimulai dari mana saja dan berlangsung terus-menerus sampai ditemukan koherensi total antara struktur karya yang dihadapi dengan struktur sosial yang melatari. Teknik analisis data dalam strukturalisme genetik adalah metode dialektik dalam hal ini hubungan timbal balik antara struktur karya sastra dengan materialisme historis dan subjek yang melahirkan karya sastra (Sangidu, 2004: 29).
Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dengan menggunakan
analisis struktural. Analisis struktural dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Selanjutnya, mengelompokkan teks-teks
dalam novel Laskar Pelangi yang berkaitan dengan problematika tokoh melalui